Anda di halaman 1dari 65

Cermin 1995

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

87. Mata
September
1993 Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary

Artikel

5. Dasar-dasar Imunologik pada Penyakit Mata – Sofia Mubarika


Haryana, Marsetyawan Soesetyo
11. Kelainan Mata pada Sindrom Imunodefisiensi – Fatma Asyari 17.
Beberapa Kelainan Kornea yang Berhubungan dengan Proses
Imunologik – Gunawan
22. Infeksi Viral dan Strategi Pengobatan Anti-viral pada Penyakit
Mata – Suwardji Haksohusodo
30. Rejeksi Transplan – Bondan Harmani
34. Aspek Genetika pada Kelainan Uvea – Hartono
39. Penatalaksanaan Infeksi Jamur pada Mata – Bambang Susetio
42. Penanganan Gangguan Sistem Ekskresi Lakrimal – Hadisudjono
Sastrosatomo, Darmayanti Irwan, Lumongga Simangunsong
44. Keratotomi Radial – Sjamsu Budiono
47. Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior – Hafid Ardy
55. Penatalaksanaan Uveitis – Soedarman Sjamsoe
59. Bedah Refraktif Masa Kini – Istiantoro
64. R.P.P.I.K
Mata merupakan salah satu indera manusia yang paling penting; bersyu-
kurlah orang-orang yang dianugerahi mata yang sehat dan berfungsi baik,
apalagi bila sepasang mata tersebut juga memperindah penampilan. Bukankah
salah satu standar kecantikan adalah keserasian bentuk mata ?
Karena fungsinya tersebut, dengan sendirinya kita harus selalu memper-
hatikan dan memelihara kesehatannya dengan jalan menghindari penyakit dan
mencegah kerusakannya.
Cermin Dunia Kedokteran kali ini memilih masalah Penyakit Mata, khusus-
nya yang mengenai mata luar, kornea dan uvea sebagai topik utama; naskah-
naskah ini telah didiskusikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan
Dokter Spesialis Mata Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 9-10 Juli 1993
yang lalu. Naskah ini kami terbitkan dengan tujuan agar dapat pula diman-
faatkan oleh para sejawat yang tidak berkesempatan mengikuti pertemuan
tersebut, baik karena faktor.jarak maupun kesibukan.
Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan para sejawat, pembaca Cermin
Dunia Kedokteran.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Cermin 1995

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. B. Chandra
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Jakarta. Surabaya.
PEMIMPIN USAHA – Prof. Dr. R.P. Sidabutar
Rohalbani Robi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
PELAKSANA Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Sriwidodo WS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Semarang.
Jakarta.
TATA USAHA – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Sigit Hardiantoro – Drg. I. Sadrach
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
ALAMAT REDAKSI Jakarta.
Majalah Cermin Dunia Kedokteran – Prof. DR. Sumarno Poorwo Soe-
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 – DR. Arini Setiawati
darmo Bagian Farmakologi
Telp. 4892808 Kepala Badan Penlitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Fax. 4893549, 4891502 Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,
Jakarta
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 REDAKSI KEHORMATAN
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT – Dr. B. Setiawan Ph.D – Drs.Victor S. Ringoringo,SE,MSc.
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK – DR. Ranti Atmodjo – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PT Temprint
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 3
English Summary

GENETIC ASPECT OF UVEAL RADIAL KERATOTOMY MANAGEMENT OF UVEITIS


ANOMALIES
Sjamsu Budiono Soedarman Sjamsoe
Hartono Department of Ophthalmology, Faculty Department of Ophthalmology, Faculty
Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Airlangga University, Sura- of Medicine, Universltyoflndonesla/Cipto
of Medicine, Gajah Mada University/Dr baya, Indonesia Mangunkusumo General Hospital,
Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Jakarta, Indonesia
Indonesia Radial keratotomy is a surgical
procedure on cornea that is in- Uveitis can be caused by in-
Some genetically determined tended to reduce or to eliminate fections, immunologic reactions,
structural and pigmentary abnor- myopia. as part of systemic diseases or by
malities as well as inflammation This procedure needs special unknown factors.
affecting the iris have been dis- considerations and instruments; The management of uveitis
cussed. These abnormalities can it should also be preceded by consists of reduction of inflam-
be isolated entities or as part of careful examinations and detail- mation and elimination of causa-
genetic syndromes both chromo- ed plan of incisions. The compli- tive agents with particular con-
somic and genic syndromes. cations that should be taken into cern on the potential side effects
Iris coloboma, aniridia, WAGR account are delayed wound of the drugs used.
syndrome and ectopia pupillae healing, perforation, endophthal- The non specific drugs that can be
are the examples; abnormalities mitis, cicatrix, under/ overcorrec- utilized are mydriatics, cycloplegics,
of pigmentation are oculocuta- tion or astigmatism. corticosteroids and immunosuppre-
neous albino, ocular albino and sants, either through local or sys-
Waardenburg syndrome. The Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 44–6 temic administration; those drugs
.occurence of associations bet- brw should be used in combination
ween (a) HLA-B5 and Behcet with specific or causal therapy.
disease, and (b) HLA-B27 and
anterior uveitis in ankylosing Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 55–8
brw
spondylosis, uveitis in Reiter syn-
drome, iridocyclitis proves the
importance of genetic factors in
the pathogenesis of these
diseases.
Because iris abnormalities can
be parts of some more severe
clinical syndromes, a complete
physical examinations as well as
consultation to other experts of
uveal anomalies is important to
detect the occurence of mini-
mal abnormalities because of
variable expression of these
diseases.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 34–8


htn

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Artikel

Dasar-dasar Imunologik
pada Penyakit Mata
Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo
Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada, Yogyakarta

PENDAHULUAN (Th)(CD4+), T supressor (Ts)(CD8+), T cytotoxic (Tcyt)(CD8+),


Individu sehat melindungi dirinya terhadap mikroorgan- T delayed hypersensitivity (Tdth). Sel T dapat diidentifikasi
isme dengan berbagai mekanisme yaitu mekanisme imunitas karena dapat membentuk roset .pada eritrosit dombā melalui
alami dan imunitas spesifik. Mekanisme imunitas alami berupa CD2r. Sel T juga memiliki antigen permukaan sel CDS, CD3. Sel
barier fisik, sel fagositik darah dan jaringan, natural killer cell Th dan sel Ts merupakan sel regulator respons imun .
(NK), berbagai molekul dalam darah seperti komplemen, inter- Limfosit B ditandai dengan adanya molekul slg di permuka-
feron dan tumor necrosis factor (TNF). Imunitas alami bersifat an selnya, memerankan imunitas humoral yang dalam proses
tidak spesifik artinya tidak dapat membedakan substansi asing aktivasi dan diferensiasinya menjadi sel plasma penghasil anti-
tertentu:interferon a, (IFN a-), tumor necrosis factor (TNF). bodi (imunoglobulin=Ig). Dikenal beberapa kelas Ig yaitu IgM
Mekanisme pertahanan spesifik, dipacu oleh pemaparan terbanyak pada sirkulasi, IgG, IgA, IgE dan IgD yang juga
substansi asing (antigen), sistem ini berespon secara spesifik terdapat pada membran selnya sebagai reseptor. Selain reseptor
terhadap makromolekul tertentu, reaksinya akan meningkat ka- tersebut juga dijumpai reseptor untuk antigen-antibodi kompleks
rena pengaruh molekul-molekul sistem imun lain yang terlibat. (FcR), komplemen reseptor (C3dR), EBVr, juga antigen per-
Beda imunitas spesifik dari imunitas alami adalah bahwa reaksi mukaan sel CD 19, CD20 merupakan antigen lineage spesifik dan
imun (r.i.) spesifik dapat "mengingat" setiap mikroorganisme atau CD10, CD9 dan CD23 yang dijumpai umum pada sel B. Baik
antigen asing yang pemah dijumpainya. Perjumpaan berikutnya limfosit T maupun B di permukaannya mengekspresikan antigen
dengan antigen yang sama akan memacu secara cepat dan efektif MHC klas I dan sebagian MHC klas II yang penting untuk
sistem imunnya. Reaksi imun spesifik mempunyai mekanisme interaksi interseluler di samping memerlukan reseptor spesifik
protektif lebih tinggi dari pada non spesifik, bersifat langsung (IgR dan TcR). MHC (Major Histocompatibility Antigen) pada
dan ditujukan khusus di tempat masuknya benda asing. Imunitas mencit, pada manusia disebut HLA (Human Leucocyte Antigen)
spesifik diklasifikasikan dalam sistem imun humoral dan seluler. sangat penting peranannya dalam membedakan antigen self dan
Imunitas humoral terutama diperankan oleh sel B dengan me- nonself. Setiap antigen baik self atau nonself dikenali oleh sel
kanisme efektornya berupa antibodi, sedang imunitas seluler T hanya bila terdapat bersama dengan molekul MHC. Dikenal
diperankan oleh limfosit dengan mekanisme efektornya berbagai antigen HLA klas I, klas II, dan klas III. HLA terletak pada
sel T teraktivasi. kromosom 6, HLA klas I terdiri dari 4 lokus A, B, C, dijumpai
pada permukaan setiap sel bernukleus fungsinya mempresen-
tasikan fragmen antigen kepada sel T CD8, pada reaksi sitolisis
SISTEM IMUN TUBUH oleh sel terinfeksi virus. HLA-klas II terdiri dari HLA-DR, DQ,
Sistem imun tubuh merupakan sistem yang amat kompleks DP terdapat pada sebagian sel seperti sebagian dari set T ter-
dan melibatkan interaksi antar sel, gen dan molekul. Pengaturan aktivasi, sel B makrofag, dan antigen presenting cells (APC).
mekanisme sistem imun merupakan fungsi dari interaksi ter- Fungsi utama HLA klas II adalah dalam mempresentasikan
sebut. antigen bersama kepada sel T CD4. HLA klas III merupakan
Komponen selular terutama adalah limfosit T, B dan makro- antigen untuk komplemen T. HLA-B pada manusia terdapat
fag. Dikenal limfosit T dengan subpopulasinya yaitu sel T helper lebih kurang 50 allel yang berbeda, sehingga ekspresinya sangat

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI, 9-10 Judi 1993


di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 5


polimorfik. Antigenisitas berbeda dari HLA ini yang menye- berbagai sitokin, masing-masing dengan reseptornya masing-
babkan penolakan jaringan. Pada manusia terdapat 3 tipe HLA masing.
klas II yaitu DP, DG, DR. Untuk kasus yang ada hubungannya Interleukin-1 (IL-1). Dihasilkan oleh monosit. IL-1 memacu
dengan penyakit menunjukkan individu dengan tipe HLA ter- sintesis protein fase akut dan meningkatkan proliferasi sel T, juga
tentu lebih suseptibel terhadap infeksi karma virus mengguna- merupakan substansi penyebab panas endogen.
kan HLA molekul sebagai reseptornya. Jika ada kesamaan Interleukin-2 (IL-2). Disekresi oleh Th CD4+, substansi ini
antara antigen determinan clan molekul MHC host akan dapat penting untuk aktivasi sel T dan sel B dalam menghasilkan Ig.
menghambat respons imun sebab agen patogen terlihat sebagai Interleukin-3 (IL-3). Dihasilkan oleh limfosit T. Merupakan
self, sehingga tubuh tidak memberikan respons. Bila ada patogen faktor pertumbuhan untuk sel stem hematopoitik dan sel mast.
maka akan menimbulkan kerusakan jaringan misalnya pada Interleukin-4 (IL-4). Dihasilkan oleh Th2CD4+. Merupakan
autoimun. faktor pertumbuhan sel B dan sebagian sel T, substansi ini
Komponen molekiller yaitu antibodi atau imunoglobulin mempengaruhi peningkatan ekspresi molekul MHC klas II pada
yang dihasilkan oleh sel plasma. Ada 5 klas Ig yaitu IgM, IgG, sel B, memacu produksi IgE, IgGl.
IgA, IgE, IgD. Kelima klas Ig ini berperan dalam keadaan yang Interleukin-5 (IL-5). Disekresi terutama oleh sel Th2CD4+,
berbeda. IgM berbentuk pentamer, terutama berperan pada reaksi Substansi ini berperan pada stimulasi pertumbuhan sel B dan
imun primer. Reaksi imun sekunder biasanya menghasilkan sekresi Ig, juga memacu pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil.
IgG, sedang IgA khususnya berperan pada imunitas di daerah Interleukin-6 (IL-6). Disekresi oleh sebagian sel T dan bebe-
mukosa. IgD berperan pada fase diferensiasi sel B; sedang IgE rapa sel lain. IL-6 memacu sintesis protein fase akut, mening-
ban yak dihubungkan dengan reaksi alergi. Komponen molekuler katkan aktivasi sel T dan produksi IL-2. IL-6 memacu sel B
yang dihasilkan imunitas seluler berupa berbagai mediator yang menghasilkan Ig dan berperan sebagai CSF yang memacu per-
dikenal sebagai sitoksin atau limfokin. tumbuhan sel progeni darah.
Aktivasi scl dalam respon imun memcrlukan beberapa Interleukin-7 (IL-7). Dihasilkan oleh fibroblas, sel endotel dan
signal. Sebagian signal berupa substansi solubel yang dilepaskan sebagian sel T. IL-7 merupakan faktor pertumbuhan bagi sel pre-
olch berbagai sel. Substansi ini disebut sitokin. Sitokin berupa T dan sel pre-B.
glikoprotein, bersifat nonspesifik, yang disintesis dan disekresi Interleukin-8 (IL-8). Dihasilkan oleh beberapa tipe sel, IL-8
secara cepat dalam menanggapi rangsang dari luar. Sebuah sel merupakan faktor kemotaktik yang poten untuk sel PMN dan
dapat membuat beberapa sitokin. Satu sel dapat menjadi target granulosit lainnya.

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Colony stimulating factor (CSF). Disintesis oleh sel T dan DTH negatif.
monosit. Berperan memacu pertumbuhan sel darah muda. Immune complex. Inflamasi yang disebabkan adanya
Transforming growth factor (TGF-β). Disintesis oleh sel T dan imun kompleks biasanya terjadi setelah reaksi antigen antibodi
monosit. Memacu produksi IgA. yang kemudian diikuti aktivasi komplemen. Inflamasi yang di-
Tumor necrosis factor (TNF). TNF- β disintesis oleh monosit, sebabkan karena aktivasi komplemen dapat berarti memberi
TNF-5 disintesis terutama oleh sel T. Kedua substansi ini ter- imunitas pada tubuh tetapi juga menimbulkan reaksi hipersen-
utama mengaktivasi berbagai sel pada sistem imun dan non sitivitas. Reaksi hipersensitivitasnya dapat berupa reaksi kulit
imun, sitotoksik pada sel tumor in vivo. Arthus atau serum sickness sistemik. Antigen pemacu dapat
berupa protein dengan BM tinggi atau hapten. Untuk dapat
MEKANISME ELIMINASI ANTIGEN mengaktivasi komplemen perlu ikatan hapten dengan protein
Fungsi utama sistem imun adalah mencari dan menghancur- karier host. Reaksi yang terjadi sangat tergantung pada dosis
kan substansi asing dalam tubuh. Hal ini dilaksanakan dengan antigen terutama path serum sickness. Pemaparan dengan anti-
beberapa cara yaitu dengan direct killing (membunuh langsung) gen dalam jangka lama juga akan mempengaruhi. Diduga ada 4
sel target yang mengekspresikan antigen asing diperankan oleh macam kejadian.
T cyt. Sedangkan antibodi dieliminasi dengan berbagai cara yaitu a) Complement activating antibodies. Antibodinya harus
netralisasi toksin, netralisasi virus, opsonisasi bakteri, aktivasi antibodi yang mampu mengaktivasi komplemen. IgM dan IgG
komplemen dan antibody dependent sitotoksisitas (ADCC) yang (kecuali IgG4) merupakan antibodi yang dapat mengaktivasi
diperankan oleh NK sel, reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang komplemen melalui cara klasik. IgA dapat mengaktivasi kom-
diperankan oleh Tdth yang menimbulkan tanda-tanda radang. plemen melalui cara alternatif. IgE, IgD tidak mempunyai ke-
mampuan mengaktivasi komplemen, maka tidal( masuk dalam
PENGARUH PROTEKTIF & MERUGIKAN DARI keadaan imun kompleks ini.
RESPON IMUN TUBUH b) Pembentukan imun kompleks. Antigen-antibodi mem-
Inflamasi merupakan cara proteksi tubuh yang efisien ter- bentuk molekul yang besar dalam sirkulasi, yang kemudian di-
hadap mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam tubuh. deposisi di jaringan.
Setelah sembuh dari sakit akan terbentuk imunitas protektif, c) Deposisi Immune complex. Kompleks antigen-antibodi
tetapi sel atau mediator kimiawi yang terlibat dalam reaksi dideposisi pada beberapa jaringan. Bila imun kompleks tadi
inflamasi juga mampu merusak jaringan sehingga mengganggu cukup besar, maka akan ditangkap di membran basal glome-
fungsi organnya. Efek yang merugikan akibat inflamasi disebut rulus dan dalam pembuluh darah, yang dideposisi di lamina
sebagai reaksi hipersensitif (alergi). Reaksi inflamasi dapat di- elastika interna. Penempatan kompleks imun pada jaringan juga
golongkan dalam 4 tipe yaitu: 1. Cell mediated immunity (CMI) ditentukan oleh aliran darah, muatan ion dari kompleks imun.
atau delayed type hypersensitivity (DTH), 2. Immune complex, Pada reaksi kulit Arthus, konsentrasi tinggi dari kompleks imun
3. IgE Immediate phase, 4. Cutaneous basophil hypersensitivity. ditimbulkan karena injeksi antigen pada kulit yang kemudian
Cell Mediated Immunity (CMI) juga disebut delayed dideposisi secara lokal pada pembuluh darah. Pada keadaan di
hypersensitivity (DTH); istilah ini dipakai untuk menjelaskan mana antibodi dideposisi pada antigen yang terdapat pada sel
fenomena imunologik baik yang bersifat protektif maupun yang dapat menjadi autoantigen, yang menimbulkan reaksi autoimun.
merugikan. Mekanismenya adalah antigen dipresentasikan ber- d) Aktivasi komplemen. Aktivasi ini dapat dimulai melalui
sama molekul MHC Idas II oleh APC kepada sel Tdth. Akibat jalur klasik atau altematif, tergantung dari kelas imunoglobulin.
aktivasi tersebut sel Tdth akan melepaskan berbagai mediator Faktor radang utama dari komplemen adalah C5a, yang bersifat
(limfokin) sel Tdth dan juga akan menarik sel radang seperti khemotaktik terhadap neutrofil yang terdapat dalam jaringan
monosit, granulosit, limfosit T dan B dan sel basofil. Aktivasi maupun sirkulasi. Netrofil akan melepaskan enzim lisozymelan
makrofag oleh MAF akan meningkatkan ekspresi MHC klas II pada proses fagositosis menimbulkan oksigen toksik yang dapat
dan meningkatkan kemampuan fagositosis dan bakterisidnya. merusak membrana elastika interna pembuluh darah, yang
Akibat pelepasan limfokin terjadi khemotaksis, vasodilatasi, berakibat endotel kapiler membengkak dan berproliferasi se-
deposisi fibrin, dan pembentukan granuloma. Vasodilatasi hingga terjādi pengumpulan trombosit. Kemudian sel mono-
menghasilkan peningkatan sel dari sirkulasi, aktivasi sistem nuklear menginfiltrasi daerah itu.
koagulasi kinin menyebabkan deposisi fibrin yang penting
dalam deposisi reaksi inflamasi, dan rnemberikan indurasi Mekanisme kontrol untuk membatasi inflamasi kompleks
kutaneus. imun
Keadaan CMI/DTH secara alami terjadi selama peristiwa Baru-baru ini ditunjukkan bahwa enzym C3 convertase
infeksi, secara buatan misalnya pada imunisasi atau melalui (dibentuk karena aktivasi C3 oleh faktor B jalur alternatif) bila
kontak dengan berbagai zat kimia pada kulit atau membran melekat pada kompleks imun pada keadaan seimbang akan
mukosa,. Imunitas pada infeksi intraselular seperti tuberkulosis melepaskan ikatan antigen antibodi, sehingga imun kompleks
dan lepra, virus, Chlamydia, fungi, bakteri, protozoa, infeksi tidak terbentuk.
parasit. Pada keadaan tertentu tidal( terjadi reaksi inflamasi dari Pada keadaan normal imun kompleks dalam jumlah kecit
host keadaan ini disebut anergi yang ditandai dengan reaksi kulit tidak menimbulkan penyakit. Antigen dari makanan, dari ling-

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 7


kungan dan autoantigen dapat menimbulkan kompleks imun Limfosit tidak dijumpai pada stroma kornea maka hipersensitivi-
normal. Kompleks ini dieliminasi secara fagositosis oleh sel tas lambat tidak dapat terjadi. Kornea kadang-kadang mengalami
mononuklear yang dilengkapi dengan reseptor Fc IgG dan C3. peradangan yang biasanyadimulai padabagianlimbus kemudian
Jadi untuk terjadinya penyakit imun kompleks diperlukan : meluas ke kornea. Kepadatan struktur seluler kornea meng-
1. antigen dalam jumlah besar, 2. pembentukan molekul imun hambat inisiansi reaksi radang pada kornea, oleh karena itu trans-
kompleks yang besar sehingga dapat mengaktifkan sistem plantasi kornea dapat dilakukan tanpa inflamasi sebab limfosit
komplemen, 3. kegagalan sistem fagositosis mononuklear, tersensitisasi tidak dapat mencapai transplan. Transplantasi kornea
mungkin karena reseptor Fc abnormal. tidak menjadi masalah sebab antigen ABO tidak dijumpai pada
Mekanisme klinis inflamasi kompleks imun dapat berupa endotel kornea. Keberhasilan transplantasi kornea adalah 90%
reaksi Arthus, biasanya berupa bentuk ringan inflamasi, seperti (10% ketidakberhasilan karena adanya vaskularisasi atau ter-
pada gigitan insekta atau injeksi obat. Serum sickness manifes- jadinya saluran limfatik karena infeksi kronis).
tasinya berupa demam, limfadenopati, artralgia, dermatitis. Ke- Walaupun kornea tidak mengandung limfosit tetapi mata
adaan ini dapat terjadi akibat pemberian dalam jumlah besar setiap beberapa detik sekali dibasahi oleh cairan yang dipro-
serum hiperimun untuk pengobatan infeksi atau terjadi pada duksi kelenjar tarsalis superior yang mengandung limfosit yang
reaksi alergi terhadap penisilin atau fase prodromal infeksi virus. banyak.
IgE mediated inflammation. Respons inflamasi di sini
Korpus vitreum
diperantarai reaksi antara antigen dengan IgEr, path sel mast.
CV tak mempunyai sistem imun. Tetapi karena turnover CV
Akibat ikatan tersebut akan terjadi aktivasi sel mast, yang diikuti
sangat lambat, maka CV dapat bertindak sebagai adjuvant ter-
degranulasi dan pelepasan berbagai mediator, mula-mula penga-
hadap antigen.
ruhnya nampak pada pembuluh darah, otot polos dan kelenjar
sekretorik, kemudian baru diikuti reaksi inflamasi. Jenis infla- Retina dan nervus optikus
masinya adalah segera. Berbagai antigen misalnya alergen yang Retina tidak mempunyai sistem imun sendiri.
dihirup, obat-obatan per injeksi, mikroorganisme terutama ca-
Lensa
cing tertentu. Penting di sini adalah dosis antigen, kebalikan dari
Lensa memiliki sistem imun khusus. Pada lensa yang utuh
kompleks imun yang ditimbulkan akibat dosis antigen yang
tidal( ada antibodi atau limfosit atau molekul yang dapat masuk
tinggi, antibodi IgE terbentuk dari rangsangan antigen dalam
ke dalam lensa. Lensa sebenarnya penuh dengan antigen yang
jumlah kecil, dan sekali IgE ini terbentuk sejumlah kecil antigen
dapat memacu respons imunologik. Lensa tersusun atas 4 macam
cukup untuk memacu respons inflamasi. Rantai H IgE mem-
protein. Tiga di antaranya adalah alfa, beta dan gama kristalin
punyai afinitas tinggi terhadap sel mast (FceR) atau sel basofil.
yang bersifat solubel, sedang yang lain seperti albuminoid dan
Ikatan bersifat reversibel. Setelah sel teraktivasi, serentetan
tidak larut. Protein ini sebetulnya berasal dari kristalin alpha yang
kejadian perubahan biokimiawi terjadi. Mula-mula terjadi akti-
sifatnya seperti albumin. Protein yang paling antigenik adalah
vasi enzim pada membran yaitu serin oksidase, phospholipase C
kristalin alfa. Zat albumin sifatsebagai adjuvan schingga protein
dan adenil sikiase. Kemudian diikuti oleh influx ion Ca++
kristalin alpha dapat lebih antigenik. Bagian mata yang lain
ekstraselular ke dalam sel. Reaksi enzimatik pertama terjadi 15
seperti konjungtiva dan kelenjar air maw dilengkapi dengan
detik setelah ikatan IgE antigen terjadi. Kemudian akibat mo-
sistem imun lengkap, seperti limfosit T, B dan makrofag.
bilisasi protein kinase C dan siklus AMP intraselular meningkat,
yang menyebabkan fusi membran granula dalam sitoplasma Air mata
mast cell, yang kemudian diikuti dengan degranulasi. Histamin Kelompok mata dapat menyapu partikel dan membcrsihkan
dan leukotrien akan menimbulkan respons segera berupa erite- permukaan mata dan air maw dapat membuang partikel setelah
ma, edema lokal. MediatorPAFpenting pada reaksi lambat, yang disapu. Dalam air mata terkandung berbagai jenis Imunoglobulin
ditandai dcngan penarikan sel-sel radang terutama neutrofil dan (IgA, IgG, IgM, IgE). Kadar lg dalam air maw sebanding dengan
eosinofil. kadar dalam serum (lebih rendah). Sclain itu dalam mata terdapat
lizozim, komplemen dan histamin dalam kadar rendah. Ig pre-
SISTEM IMUN PADA MATA dominan di dalam air mats adalah IgA. Konsentrasi secretory (s)
Mata juga dilcngkapi dengan sistem imun yang unik baik IgA pada air mata tikus kurang lebih 200 µg/ml yang dihasilkan
imunitas alami maupun spesifik. Pertahanan alami dari adanya oleh sel-sel plasma di dalam kclenjar lakrimal. Jumlah total sel-
kelopak mata dengan dilcngkapi bulu mata, air maw yang me- sel penghasil Ig tersebut meningkat sesuai dengan pertambahan
ngandung berbagai zat anti baktcri scperti: laktoferin, betalisin, umur. Scl-sel penghasil Ig lainnya seperti IgG dan IgM terdapat
lisosim, antibodi dan bola maw yang utuh. Kornea dilengkapi pula dalam jumlah yang relatif sedikit daripada scl-scl untuk IgA.
dengan tight junction antar sel yang mclindungi terhadap Sebagai contoh, pada umur 21 hari (tikus), jumlah scl-scl peng-
masuknya partikel atau molekul asing. Permukaan sclnya di- hasil IgA adalah 10 dan 80 kali lebih banyak daripada jumlah sel-
tutupi dengan lapisan jala seperti mikroplika dan mikrovili. sel penghasil IgM dan IgG masing-masing/kelenjar lakrimal.
Molekul asing yang mencoba masuk ke dalam kornea harus
melalui berbagai rintangan tadi ditambah lagi dengan adanya Kelenjar lakrimalis
scrabut-serabut kolagen pada stroma dan mukopolisakarida. Kira-kira berjumlah 6–42 kelenjar pada jaringan konjung-

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


tiva atas. Sel radang, limfosit dijumpai pada daerah interstitial dengan vitiligo dan poliosis. Sindrom Vogt-Koyanagi Harada
dan pada kelenjar lakrimalis asesoria. Suing dijumpai sel eosi- gambaran klinisnya berupa inflamasi uvea kedua mata disertai
nofil dan (basofil tidak ada) juga dijumpai IgG, IgA, IgD, dan iridocyclits, choroiditis bercak. Vitiligo dan poliosis biasanya
IgE. menyertai kelainan ini. Pada kedua penyakit ini terjadi hipersen-
sitivitas lambat terhadap sel mengandung melanin. Material
Imunoglobulin pada jaringan math
solubel dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina diduga me-
Ig dijumpai pada semua struktur mata dan jaringan sekitar-
rupakan autoantigen. Selain itu ada dugaan juga bahwa infeksi
nya kecuali lensa. Konsentrasi tertinggi pada kornea, khoroid,
virus dapat mengganggu struktur pigmen pada mata, kulit dan
konjungtiva dan lain-lain. Konsentrasi sedang pada otot dan
rambut.
sklera, dan konsentrasi rendah dijumpai pada korpus siliare, iris,
Penyakit Behcet. Ditandai dengan iridosiklitis yang ber-
korpus vitreum, retina.
ulang dan hipopion. Diduga karena hypersensitivitas lambat,
tetapi adanya kenaikan serum komplemen menimbulkan dugaan
PENYAKIT IMUNOLOGIK PADA MATA
kemungkinan merupakan immune complex disease.
Penyakit imunologik pada math dapat digolongkan dalam
Trachoma, yang disebabkan karena infeksi Chlamydia
dua bagian besar yaitu: antibody mediated dan cellular mediated
trachomatis, adalah pen yebab utama kebutaan. Penyakit ini me-
disease. Penyakit mata yang dimasukkan ke dalam antibody
rupakan follicular conjunctivitis khronis, tapi sering melibatkan
mediated disease adalah hay fever conjunctivitis, vernal con-
kornea dalam bentuk keratitis punctata atau infiltrasi vaskuler
junctivitis dan atopic keratoconjunctivitis. Rheumatoid disease
(pannus). Patogenesis pannus bclum diketahui pasti. Diduga
yang mempengaruhi mata. Penyakit mata yang masuk dalam cell
bahwa infeksi inisial Chlamydia memic.0 proses imunologik di
mediated disease adalah ocular sarcoidosis, ophthalmia sym-
epitel konjungtiva, seperti ekspresi antigen MHC klas II. Ekspresi
phatica dan sindrom Vogt-Koyanagi Harada, reaksi transplan
klas II pada epitel ini mempunyai korcklsi positif dengan berat-
kornea dan lain-lain.
nya perubahan folikuler konjungtivam hipertrofi papiler dan
Hay fever conjunctivitis, bentuknya seperti penyakit atopik,
timbulnya pannus korneal. Gambaran histopatologik folikel-
antigen akan terikat pada IgEr pads sel mast yang diteruskan
folikcl pada konjungtiva yang meradang menunjukkan adanya
dengan pelepasan histamin dan amin vasoaktif yang lain, dengan
infiltrasi sel-sel T mengelilingi sel-sei limfosit B.
segala akibatnya.
Reaksi transplantasi kornea.Transplantasi kornea merupa-
Vernal conjunctivitis seperti hay fever conjunctivitis biasa-
kan pengobatan untuk kekeruhan kornea yang disebabkan karena
nya pada musim panas. Atopic keratoconjunctivitis seperti hay
trauma, bahan kimiawi, jaringan parut karena infeksi herpes,
fever conjunctivitis, interaksi IgE dengan antigen akan memacu
disfungsi sel endotel, kētatokonus, dan lain-lain. Kornea me-
degranulasi sel mast, selain itu juga terjadi infiltrasi sel mono-
rupakan jaringan manusia yang ditransplantasikan pertama kali,
nuklear pada papila konjungtiva.
sebab pada umumnya resipien toleran terhadap jaringan tadi. Hal
Termasuk Rheumatoid disease misalnya Ankylosing Spondy-
ini disebabkan karena: 1. kornea tidak mempunyai pembuluh
litis biasanya disertai kelainan pada mata berupa sakit, mata
darah dan vasa limfatika, 2. tidak pernah mengalami presensi-
merah dan fotofobi. Reiter disease lebih banyak mengenai pria
tisasi dengan antigen kornea sebelumnya. Reaksi terhadap
daripada wanita, kelainan pada mata berupa iridocyclitis pada
cangkok kornea biasanya disebabkan karena kerusakan kornea
kedua mats dan disertai hypopion. Pemphigus vulgaris, biasa-
akibat infeksi. Kornea semacam ini biasanya telah ditumbuhi
nya disertai dengan rasa sakit karena adanya penempelan anti-
pembuluh darah dan vasa limfatika. Oleh karena itu persyaratan
bodi pada antigen selular epithel conjunctiva.
agar transplantasi berhasil adalah endothelium kornea harus se-
Lens-induced uveitis merupakan keadaan yang jarang, diduga
hat, untuk menjaga agar kornea tetap jernih, mekanisme pompa
karena adanya antibodi beredar terhadap antigen lensa. Hal ini
tergantung pada energi untuk menjaga kornea dari pembengkakan
dapat terjadi pada lensa yang menjadi permeabel terhadap pro-
akibat air. Baik mekanisme seluler maupun humoral terlibat
tein akibat trauma atau penyakit.
dalam reaksi penolakan jaringan cangkok. Pada penolakan
Cell mediated disease. Penyakit ini dihubungkan dengan
cangkok awal (dalam 2 minggu) merupakan reaksi imunitas
cell mediated immunity atau delayed hypersensitivity. Berbagai
selular, sel Tcytbergerak dari limbus ke arah kornea membentuk
struktur mats diinvasi oleh sel mononuklear, terutama limfosit
garis penolakan. Reaksi penolakanlambat terjadi beberapa minggu
dan makrofag. Pada ocular sarcoidosis, terjadi panuveitis de-
sampai beberapa bulan setelah pencangkokan. Penolakan lambat
ngan peradangan nervus optikus dan pembuluh darah retina.
diperankan oleh antibodi, dengan ikatannya dengan komplemen
Penderita biasanya anergik terhadap berbagai antigen mikrobia,
akan mengaktivasi dan menarik PMN yang dapat membentuk
hal ini diduga karena aktivasi T supressor yang berlebihan.
seperti cincin pada kornea di tempat deposisi maksimal dari
Ophthalmia sympathica merupakan peradangan pada mata
kompleks imun.
kedua setelah mata pertama terkena trauma. Pada sebagian besar
kasus, uvea yang terkena trauma telah terpapar pada atmosfer
selama paling tidak 1 jam. Terjadi tanda-tanda uveitis anterior KEPUSTAKAAN
setelah selama 2 minggu sampai beberapa tahun post trauma,
pada mata yang tidak terkena trauma. Kelainan ini sering disertai 1. Abba TI. Mechanism of inflammation. In: BasictlumanImmunology, 1st ed.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 9


London: Prentice Hall International Inc. 1991. 6. Kervick GN, Pfugfelder, Haimovici R dkk. Paracentral rheumatoid corneal
2. Abbas AK, Lichtman All. Immunologic tolerance and regulation of the ulceration. Clinicalfeatures and cyclosporin therapy. Ophthalmology 1992;
immune system. In: Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia: W.B. 99: 80–88.
Saunders Co, 1991.
3. Allansmith MR. Clinical aspects of ocular immunology. In: The Eye and 7. Tuft SJ, Kemeny M, Dart JKG, Buckley RJ. Clinical features of atopic
Immunology. London: C.V. Mosby Co. 1982. keratoconjunctivitis. Ophthalmology 1991; 98: 1550–1558.
4. Davis JL, Mittal KK, Friedlin V dkk. HLA association and ancestry in Vogt 8. Vaughan D, Asbury T. Immunologic disease of the eye. In: General Ophthal
Koyanagi-Harada disease and sympathetic ophthalmia. Ophthalmolpgy, mology, 10th ed. Lange Med. Public., Japan 1983.
1990; 97: 1137–1142. 9. Benjamini E, Leskowitz. Hypersensitivity reactions: Antibody mediated,
5. Fong LP, de la Maza, Rice BA, Kuferman AE, Foster S. Immunopathology Typel-anaphylactic reactions. In: Immunology, a short course, 2nd ed. New
of scleritis. Ophthalmology 1991; 98: 472–478. York: John Wiley & Sons Inc. 1991.

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Kelainan Mata
pada Sindrom Imunodefisiensi
Fatma Asyari
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN Tabel 1. Jumlah kasus AIDS/HIV di Indonesia sampai Maret 1993


Imunodefisiensi adalah suatu keadaan menurunnya daya
Tahun AIDS HIV (+) Jumlah
tahan seseorang. Keadaan ini dapat terjadi pada :
1987 2 4 6
– Kelainan kongenital (agamaglobulinemia)
1988 2 4 6
– Usia lanjut 1989 2 5 7
– Pemakaian obat-obat imunosopresif (pada penderita kan- 1990 6 4 10
ker, transplantasi) 1991 9 9 18
– Sindrom imunodefisiensi akuisita (AIDS/SIDA). 1992 5 31 36
AIDS adalah suatu penyakit yang fatal yang mengenai 1993 5 49 54
multi sistem tubuh manusia yang disebabkan oleh virus Human Total 31 106 137
Immuno Deficiency (HIV), suatu Retrovirus yang secara lang-
sung menginfeksi sel-sel sistem imune terutama sel T sehingga Tabel 2. Jumlah kasus AIDS/HIV berdasarkan kebangsaan penderita
sampai Maret 1993
seluruh sistem imun menjadi lumpuh dan tidak sanggup menolak
kuman apapun yang masuk ke dalam tubuh penderita. Sebagai Tahun AIDS HIV (+) Jumlah
akibat menurunnya kekebalan tubuh ini terjadi beberapa infeksi Indonesia 19 49 68
oportunistik serta timbul tumor tertentu (yang tidak lazim serta Asing 12 52 64
jarang), tanpa ada penyebab imunodefisiensi yang lain. AIDS Tidak diketahui 0 5 5
masa kini sudah menjadi masalah di seluruh dunia, tidak ter-
Total 31 106 137
kecuali Indonesia. Meskipun penderita AIDS belum banyak
ditemukan, tapi kasus demi kasus sudah mulai bermunculan dan Tabel 2. Jumlah kasus AIDS/HIV di Indonesia berdasarkan jenis kelamin
tanpa diduga pertambahan kasus di Indonesia tergolong sangat Maret 1993
cepat, bahkan ditakutkan penyebaran AIDS di negara-negara
Kelamin AIDS HIV (+) Jumlah
Asia lebih cepat daripada di negara-negara Barat.
Kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia sampai Maret Laki-laki 31 85 116
1993 dapat dilihat pada tabel 1. Perempuan 0 17 17
Dalam 2 bulan terakhir terjadi 2 x lipat jumlah kasus dan Tidak diketahui 0 4 4
ini menunjukkan penambahan yang sangat cepat yang telah
menyebar pada 9 dari 27 propinsi di Indonesia.
netap dan progresif.
Imunologi AIDS 1. Kelainan pada imunitas seluler (CMI) ditandai dengan
HIV secara langsung menginfeksi sel-sel imun sehingga limfopenia terutama sel T helper dan rasio T helper: T supressor
terjadi gangguan fungsi imunologis penderita yang bersifat me- menjadi terbalik.

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea PERDAMI XXI 9-10 full 1993


di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 11


2. Kelainan Imunitas Humoral. atau bersama-sama dengan cotton wool spots dengan gambaran
3. Kelainan Kompleks Imun. klinis flame shaped, dot and blot, pungtata pada jaringan intra
4. Kelainan Imunitas Fagosit. retina perifer atau Roth's spot.
5. Kelainan Sitokins (Limfokin). Gambaran kelainan mikrovaskular yang dapat dideteksi
Kelainan-kelainan tersebut menyebabkan pada penderita AIDS: dengan pemeriksaan FFA antara lain: mikroaneurisma, te-
In Vivo : langiektasia dan daerah non perfusi serta capillary loss.
– penderita menjadi sangat rentan terhadap infeksi oportunis- Kelainan mikrovaskulopati konjungtiva dapat terlihat jelas
tik. dengan pemeriksaan slit lamp seperti dilatasi kapiler, kaliber
– timbul tumor yang tidak lazim. yang ireguler, mikroaneurisma, agregasi eritrosit (granular
– respons hipersensitivitas tipe lambat (seluler) tidak ada. appearance) serta aliran darah yang lambat. Kelainan ini mudah
In Vitro : terlihat pada pembuluh darah inferior konjungtiva bulbi.
– respons proliferasi limfosit terhadap antigen dan mitogen
terhambat.
– efek sitostatik baik spesifik maupun nonspesifik menurun. INFEKSI SEGMEN ANTERIOR MATA
– aloreaktivitas menurun.
a) Herpes Zoster Oftalmikus
– tidak dapat memberikan bantuan kepada limfosit B.
Infeksi HZO dapat menimbulkan morbiditas yang tinggi
Manifestasi AIDS pada mata pertama-tama dilaporkan oleh
serta menentukan prognosis penderita 61% dari penderita HZO
Holland et al, (1992). Dikatakan bahwa 80% penderita AIDS
di bawah usia 44 tahun (di New York City) merupakan anggota
disertai kelainan mata dan berdasarkan kenyataan ini dokter mata
dari kelompok risiko tinggi AIDS. HZO pada penderita AIDS/
mempunyai peranan yang penting bahkan yang pertama men-
HIV biasanya lebih berat dan berlangsung lebih lama dalam
deteksi, mendiagnosis adanya kelainan AIDS pada seseorang,
bentuk klinis lesi kulit, keratitis, uveitis anterior dan keratitis
dapat mengevaluasi hasil terapi dan progresivitas penyakit serta
dendritika. Status imunodefisiensi pada infeksi HIV menyebab-
menentukan prognosis.
kan infeksi virus lebih aktif dan persisten pada epitel kornea.
Manifestasi AIDS pada mata dapat dikelompokkan menjadi
Terapi dengan Acyclovir salep mata memberikan respons
4 kategori :
yang baik. Pada infeksi berat, asiklovir sistemik harus diberikan
1. Lesi yang berhubungan dengan mikrovaskulopati retina.
sedangkan steroid merupakan kontra indikasi untuk mencegah
2. Infeksi oportunistik.
imunodefisiensi yang lebih berat.
3. Tumor mata dan adneksa.
4. Kelainan neuro oftalmik yang berhubungan dengan kelain- b) Infeksi Virus Herpes Simpleks
an intrakranial. Infeksi Herpes Simpleks baikprimer maupun sekunder yang
Tabel 4. Kelainan mata yang scring dijumpai pada AIDS
luas dan rekuren pada kulit selaput lendir maupun mata me-
nunjukkan suatu keadaan imunodefisiensi.
Cotton wool spots 25–53% (75% autopsi) Pada penderita AIDS dengan infeksi HSV, vesicle dengan
CMV Retinitis 4–34%
Perdarahan retina 6–4% dasar eritem dijumpai pada regio mulut, genital dan perianal,
Sarkoma Kaposi konjungtiva 10% acapkali berulang dan luas sehingga pengobatan harus dalam
jangka waktu yang lama.
Tabel 5. Kelainan mata yang jarang dijumpai
Herpes Simpleks Keratitis
– Herpes Zoster oftalmikus – Lebih scring mengenai limbus perifer kornea dari pada
− Toxoplasmosis kornea sentral.
− Herpes simpleks retinitis – Rekurens sangat scring.
− Cryptococcus – Perjalanan penyakit lama.
Pengobatan dengan asiklovir memberikan hasil yang cukup
KELAINAN MIKROVASKULOPATI baik terhadap virus tersebut, dalam mencegah kekambuhan serta
Cotton wool spots yang dijumpai pada lebih dari 70% pen- menghentikan replikasi virus. Asiklovir sistemik dapat menca-
derita AIDS merupakan manifestasi klinis yang paling sering, pai akuous dan sistem saraf pusat sehingga dapat mencapai kadar
merupakan salah satu manifestasi kelainan mikrovaskuler retina. obat yang adekuat pada jaringan mata, otak maupun ganglion
Akibat kerusakan pada endotel pembuluh darah kapiler terjadi trigeminal tempat reservoir virus. Dosis: 5–10 mg/kg BB intra-
vaskulitis, mikro thrombus, dan menimbulkan gambaran klinis vena diteruskan dengan 200 mg 5x sehari Mama 2–3 minggu.
edema, iskhemi, cotton wool spots, perdarahan, Roth's spot dan Akan tetapi pada penderita AIDS dcngan infeksi HSV yang
mikro aneurisma pada retina. scring berulang dan luas pengobatan harus dalam jangka waktu
Perubahan-perubahan mikro vaskuler ini tidak spesifik karena yang lama.
menycrupai yang terjadi pada retinopati diabetika dan hipertensi,
anemia, SLE, leukemia dan dapat dilihat dengan jelas pada pe- c) Keratomikosis
meriksaan Fundus Fluorescein Angiography. Pada AIDS lesi Jika pada hospcs normal keratomikosis acapkali didahului
biasanya mcngcnai polus posterior dckat papil. olch trauma, atau pemakaian steroid, pada pendcrita AIDS ke-
Perdarahan retina pada AIDS dijumpai pada CMV Retinitis lainan ini dapat timbul secara spontan tanpa faktor predisposisi

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Gambar 1 . Konjungtiva pada Sarkoma Kaposi, gambarannya menyeru- Gambar 2a . Infeksi oportunistik sitomegalovirus yang sangat progresif
pai perdarahan subkonjungtiva cepat

pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua mata. Cytomegalovirus ditemukan pada seluruh lapisan retina dan
Jamur penyebab antara lain: Candida parapsilosis, Candida pigmen epitel retina kadang-kadang di khoroid. Pada 15 dari 100
albicans dan biasanya dapat disembuhkandengan terapi Ampho- penderita, CMV retinitis merupakan manifestasi initial penyakit
tericin B, miconazol, ketoconazol. AIDS. Data epidemiologik menunjukkan bahwa CMV dapat
d) Keratitis Bakteri ditularkan secara seksual. Hampir 100% laki-laki homoseks
Infeksi kornea oleh Pseudomonas aeruginosa, Stafilokok dengan infeksi HIV disertai seropositif CMV dan lebih dari
aureus dan epidermidis pada penderita dengan imunodefisiensi separuhnya CMV ditemukan pada urine dan semen.
biasanya lebih berat serta lebih luas mengenai sklera bahkan Lebih dari 90% penderita AIDS disertai infeksi CMV (pada
perforasi kornea. Pengobatan biasanya lebih sulit dan harus lebih pemeriksaan otopsi) dan lebih dari 50% terdapat CMV viremia.
intensif dengan antibiotik. Pengobatan masih merupakan masalah karena tidak ada
e) Molluscum contagiosum terapi spesifik untuk CMV, meskipun akhir-akhir ini dilaporkan
Pada penderita AIDS biasanya dengan onset yang lebih beberapa penelitian dengan antivirus yang dikenal dengan nama
cepat, lesi lebih besar dan lebih banyak. DHPG atau Ganciclovir. Obat ini efektif terhadap CMV, karena
dapat mencegah replikasi virus, akan tetapi tidak dapat meng-
INFEKSI OPORTUNISTIK SEGMEN POSTERIOR MATA eradikasi virus yang tetap berada di retina. Oleh karena itu pe-
makaian harus terus menerus untuk mencegah reaktivasi serta
a) Retinitis Cytomegalovirus mempertahankan agar lesi tidak meluas. Dosis 5 mg/kg BB
Infeksi Cytomegalovirus merupakan penyebab utama pe- intravena.
nurunan visus, kebutaan bahkan kematian pada penderita AIDS Pengobatan initial (induksi) selama 2–4 minggu dapat
hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Infeksi CMV pada menghentikan progresivitas retinitis, dan dengan dosis yang di-
retina disebabkan penyebaran secara hematogen ke retina. pertaha,tkan dapat menghambat atau memperlambat kekam-
Gambaran klinis yang khas pada retina dalam bentuk buhan. Pemberian secara intra vitreal 400 ug dalam 0.1 ml/
eksudat, edema, perdarahan, vaskulitis yang sangat progresif dan minggu dapat memberikan respons klinis yang sama dengan
berakhir dengan nekrosis, kalsifikasi serta atrofi seluruh lapisan pemberian secara intravena. Leukopenia merupakan efek toksik
jaringan retina, sedangkan jaringan khoroid relatif tidak terlibat, obat yang bersifat reversibel bila obat dihentikan akan tetapi
karena virus ini bersifat neurotropik ditambah lagi peranan reaktivasi dapat timbul 114 minggu setelah obat dihentikan.
membrana Bruch yang merupakan barrier mencegah masuknya Adenine Arabinoside 20 mg/kg BB secara temporer dapat
virus ke khoroid. Reaksi radang dapat juga terjadi di korpus mengurangi virus shedding serta menghambat progresivitas
vitreum dan menimbulkan kekeruhan vitreous. Diagnosis klinis penyakit. Phosphonoformate (Foscarnet), suatu inhibitor virus
tidak sulit, lesi retina yang khas yang disebut Pizza pie DNA polymerase, dapat melewati blood brain barrier dan di-
appereance dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan funduskopi. katakan efektif terhadap CMV, dosis 60 mg/kg BB 3 dd.
Ditemukannya antibodi terhadap CMV di dalam serum dan Asiklovir dan V idarabine dikatakan tidak efektif terhadap CMV,
akuos dapat menunjang diagnosis. Adanya CMV retinitis dapat karena enzimnya berbeda.
pula disertai infeksi CMV secara sistemik. Kekambuhan CMV retinitis sering terjadi meskipun masih

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 13


Gambar 2b : Retinitis sitomegalovirus luas yang mengenai seluruh ja- Gambar 3 : Infeksi oportunistik toksoplasmosis di retina
ringan retina

dalam pengobatan (30-40%) bahkan dapat mencapai 100% bila buhan.


pengobatan dihentikan. Pengobatan dengan Imunopotensiator
dapat membantu memperbaiki status imunologis penderita. c) Retinitis HIV
Efek samping Gansiklovir : Virus imunodefisiensi (HIV) sendiri dapat menginfeksi
− toksis terhadap sumsum tulang (anemia, neutropenia, jaringan retina seperti endotel kapiler retina dan sel-sel neuro
trombositopeni). retina dan menimbulkan retinitis nekrotik (seperti CMV), vasku-
− toksik terhadap hepar. litis serta deposit kompleks imun yang dapat memberikan gam-
− toksik terhadap ginjal. baran cotton wool spots. Kerusakan kapiler mempermudah
− atrofi testis. masuknya CMV ke dalam retina. Masih belum pasti apakah
− atrofi mukosa gastro intestinal. pengobatan dengan AZT dapat memperkecil angka kejadian
CMV merupakan penyebab kelnatian akibat infeksi oportu- cotton wool spot maupun CMV retinitis pada penderita AIDS.
nistik yang paling sering pada penderita AIDS, dan oleh karena
CMV retinitis merupakan manifestasi lambat penyakit AIDS
d) Retinitis Toxoplasmosis
hal ini menunjukkan prognosis yang buruk. Lesi retina meluas
Toxoplasmosis merupakan infeksi terbanyak kedua setelah
dengan cepat dalam waktu beberapa bulan dan tidak mungkin
CMV pada penderita AIDS. Berbeda dengan toxoplasmosis pada
terjadi rcmisi spontan. Terapi dikatakan efektif, apabila lesi
penderita dengan status imunologis yang kompeten yang biasa-
CMV menunjukkan perbaikan dan tidak timbul lesi baru.
nya akibat reaktivasi kista laten toxoplasmosis yang didapat
b) Retinitis Herpes Simpleks dan Varicella Zoster secara kongenital, pada penderita AIDS toxoplasma merupakan
Berbeda dengan CMV Retinitis yang bersifat kronis dan infeksi primer di retina atau penyebaran secara hematogen dari
progresif, Herpes simpleks atau varicella zoster virus menim- organ lain di luar mata terutama ensefalitis. Lebih dari 50%
bulkan kelainan akut dan self limited dengan gambaran klinis penderita dengan Toxoplasmosis Retinitis disertai ensefa litis
Acute Retinal Necrosis (ARN). Apabila CMV mencapai retina oleh karena itu pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras harus
mclalui penycbaran secara hematogen, HS dan VZ virus men- dilakukan.
capai retina mclalui jalur saraf (neural pathway) dan otak. Gam- Gejala klinis berupa floaters, fotofobi dengan uveitis ante-
baran klinis berupa fotofobi,floaters, penurunan tajam penglihat- rior granulomatous serta vitritis, fokal atau multifokal retinitis
an dan rasa nyeri pada mata atau periokuler. nekrotik dapat dijumpai pada pemeriksaan fundus yang dapat
Injeksi cpisklera, keratik presipitat granulomatous dengan meluas mengenai beberapa kwadran retina, kadang-kadang di-
gambaran vitritis. Nckrosis retina puffer luas, arteritis serta sertai perdarahan, ablatio rhegmatogen dan nekrosis retina.
neurotis optika dapat dijumpai pada satu atau kedua mata (1/3 Pada penderita AIDS infeksi toxoplasmosis tidak self
kasus bilateral). Ablatio retina regmatogdn (akibat robekan limited seperti halnya penderita dengan imuno kompeten, oleh
perifer retina) pada 50% pendcrita mcrupakan pcnycbab utama sebab itu pengobatan spesifik harus diberikan. Pirimetamin
penurunan visus. (Daraprim®) 25-50 mg/hari atau Klindamisin (Dalacin®) 300
Tanpa pengobatan ARN dapat mengalami perbaikan dalam mg 4x sehari selama 3-4 minggu. Kekambuhan sangat mudah
waktu 6 minggu. Pengobatan dcngan Asiklovir 500 mg intra- terjadi oleh karena itu pengobatan harus terus menerus. Steroid
vena tiap 8 jam sclama 7-10 jam dapat mcmpercepat pcnyem- sistemik tidak diberikan.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


e) Retinitis Sifilis jungtiva forniks, dan bulbi bagian inferior (menyerupai perda-
AIDS dan Sifilis keduanya merupakan infeksi akibat hu- rahan subkonjungtiva granuloma atau hemangioma). Tumor ini
bungan seksual dan angka kejadian sifilis pada penderita AIDS bersifat agresif, multifokal dan sering kambuh.
cukup tinggi. Ulkus durum dapat merupakan jalan masuk HIV ke Sarkoma Kaposi pada mata biasanya asimtomatik, kadang-
dalam darah; status imuno supresi yang terjadi meningkatkan kadang disertai iritasi ringan. Komplikasi seperti perdarahan,
kerentanan penderita terhadap infeksi serta transmisi sifilis. trichiasis, infeksi, gangguan kosmetis, proptosis, ptosis akibat
Manifestasi klinis sistemik dan okuler pada AIDS lebih limfedema dan perdarahan peri-okular serta diplopia akibat
berat, lebih lama dan sulit diobati serta mudah kambuh. Retinitis parese saraf okuler.
terjadi pada fase sifilis sekunder akibat diseminasi hematogen Tumor sarkoma Kaposi berwarna kemerah-merahan, padat,
(spirochaetaemia), biasanya disertai neurosifilis. Gambaran klinis dengan gambaran histopatologis yang karakteristik terdiri atas
berupa floaters, penurunan tajam penglihatan, fotofobi, uveitis proliferasi vaskuler, sel-sel spindle dan serat-serat retikulin,
anterior kadang-kadang disertai hipopion vitritis dan flebitis diduga berasal dari sel endotel. Tidak ada pengobatan spesifik
retina. untuk sarkoma Kaposi, hanya bersifat paliatif. Radioterapi mem-
Gambaran Retinitis nekrotik sifilis berupa : berikan respons baik pada 93–100% penderita dengan sarkoma
− bercak putih kekuning-kuningan pada retina perifer. Kaposi non epidemik yang terjadi pada penderita AIDS tidak
− bercak putih keabu-abuan berbentuk anular pada retina begitu memuaskan.
bagian dalam (pigmen epitel) pada polus posterior. Pengobatan dengan Interferon hanya 10% memberikan
Respons terhadap terapi Penisilin merupakan tes terapeu- respons baik, 20% memberikan respons partial sedangkan
tik dan diagnostik. Tes serologis FTA-ABS, MHA-TP, VDRL sebagian besar penderita tidak memberikan hasil yang baik.
biasanya positif. Terapi terhadap neurosifilis berupa :
• Penisilin akuous 2 juta unit IV/tiap 4 jam selama 1 minggu.
• Doksisilin 100 mg oral 2 dd selama 3 minggu (Penisilin
alergi). KELAINAN NEURO OFTALMIK
Pengobatan yang efektif akan disertai penurunan titer VDRL Akibat AIDS dapat ditemukan dalam bentuk klinis seperti:
dalam waktu 6 bulan. parese nervus kranialis, kelainan lapang pandangan, papil atrofi
yang merupakan manifestasi okular dari tumor ataupun infeksi
intra kranial.
f) Infeksi retina oleh mikro organisme lain
Meskipun Candidiasis mukokutan dan cryptococcal me-
ningitis sering terjadi pada penderita AIDS akan tetapi retinitis
akibat infeksi jamur sangat jarang, demikian pula Endoftalmitis HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN BAGI KON-
endogen akibat infeksi baked Bacillus cereus atau stafilokok TAK DENGAN PENDERITA AIDS
epidermis. Histoplasmosis okuler diseminata pernah dilapor- Oleh karena virus AIDS pernah diisolasi dari cairan tubuh
kan, dengan gambaran Minis retinitis, uveitis dan neuritis optika. (selain darah dan semen) seperti saliva, air mata, juga ditemukan
pada sel-sel epitel konjungtiva, kornea, akuous serta iris, serta
g) Pneumosistis carinii korioretinitis dosis minimal untuk dapat tertular HIV tidak diketahui dengan
Meskipun Pneumosistis carinii merupakan infeksi oportu- pasti, maka pencegahan terhadap inokulasi secara tidal( sengaja
nistik yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS (60%), haruslah diperhatikan. Meskipun sangat jarang, pernah dilapor-
akan tetapi kelainan mata yang disebabkan oleh parasit ini sangat kan 4 kasus yang tertular akibat tusukan jarum yang terkonta-
jarang. Gambaran klinis dalam bentuk lesi multifokal, bulat, minasi darah penderita HIV; 2 kasus tertular secara kontak
eksudat kekuning-kuningan pada koroid. Efektivitas pengobat- melalui kulit atau mukosa (HIV dapat ditularkan melalui kon-
an masih belum dapat diketahui dengan pasti, pada beberapa jungtiva!).
kasus terjadi regresi lesi dengan pengobatan Pentamidine Intra- Di Amerika pernah dilaporkan 84 kasus tenaga kesehatan
vena, akan tetapi kekambuhan terjadi apabila pengobatan sis- yang tertular HIV. Dokter dan perawat harus memperhatikan
temik dikurangi. hal-hal tersebut di bawah ini agar tidak tertular HIV :
1) Mencegah terjadi luka akibat terkena instrumen tajam atau
jarum terkontaminasi dengan cairantubuh pasien AIDS atau
kontak langsung melalui luka pada kulit/mukosa/konjungtiva.
TUMOR 2) Sarung tangan harus dipakai dalam menangani hal-hal yang
Tumor Sarkoma Kaposi dan Limfoma merupakan tumor berhubungan dengan cairan tubuh penderita dan pada setiap
yang sering terjadi dan berhubungan dengan AIDS. manipulasi kelopak mata, mukosa, atau bila terdapat luka ter-
Sarkoma Kaposi buka.
Sarkoma Kaposi merupakan salah satu manifestasi yang 3) Memakai baju pelindung (gowns) pada tindakan-tindakan
sering dijumpai pada penderita AIDS (24%) dan 20% dari yang memungkinkan terpercik darah/cairan tubuh penderita.
sarkoma Kaposi dapat mengenai mata, yaitu pada palpebra atas/ 4) Cuci tangan segera setelah melepaskan sarung tangan atau
bawah menyerupai hordeolum atau hemangioma dan pada kon- baju pelindung dan setelah setiap pemeriksaan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 15


5) Masker dipakai bila memeriksa di dalam ruangan penderita jarum suntik yang sudah dipakai tidak perlu ditutup kembali
dengan gejala batuk. Penderita AIDS dengan batuk harus me- untuk mencegah tertusuk jarum tersebut. Semua specimen yang
makai masker bila berada di tempat umum (meskipun belum didapat dari penderita AIDS harus diberi label infectious.
terbukti adanya transmisi AIDS melalui udara). Dokter mata harus terbiasa melihat manifestasi AIDS pada
6) Kaca mata/goggles harus dipakai bila berhubungan dengan mata, untuk dapat mendiagnosis secara dini, menilai hasil peng-
darah atau cairan tubuh yang mungkin muncrat dari penderita. obatan, progresivitas penyakit serta prognosis.
Transmisi melalui konjungtiva dapat terjadi.
7) Wanita hamil sebaiknya tidak merawat penderita AIDS KEPUSTAKAAN
untuk mencegah terinfeksi CMV pada janin.
1. Palestine AG et al. Ophthalmic involvement in Acquired Immuno-
8) Disinfeksi alat-alat instrumen (Tonometer) dengan cara: deficiency Syndrome. Ophthalmology 1984; 91 (Nov): 1092-1099.
direndam selama 5–10 menit dalam larutan : 2. Pepose JS et al. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Pathogenic
1. 3% hidrogen peroxida. mechanisms of Ocular Disease.
2. 10% sodium hipoklorit (bleach). 3. Sison RF et al. Cytomegalovirus retinopathy as the initial manifestation of
AIDS. Am. J. Ophthalmol 1991; 112: 243-249.
3. 70% etanol atau isopropanol. 4. Cochereau I et al. Efficacy and tolerance of intra vitreal ganciclovir in
Kemudian dibilas dan dikeringkan. CMV retinitis in AIDS. Ophthalmology 1991; 98: 1348-1355.
– Slit lamp biomikroskop harus dibersihkan dengan larutan 5. Nanda M et al. Fulminant pseudomonal keratitis and scleritis in HIV
desinfektan. infected patients. Arch. Ophthalmol 1991; 109: 503-505.
6. Specht CS et al. Ocular histoplasmosis with retinitis in patient with AIDS.
– Lensa kontak harus disterilisasi dengan H2O2 3% selama Ophthalmology 1991; 98(9): 1356-59.
10 menit. Cairan pembersih lensa kontak belum terbukti dapat 7. Foster RE et al. Presumed pneumocystis carinii choroiditis. Unifocal
menghambat pertumbuhan HIV. presentation, regression with intra venous Pentamidine and choroiditis
– Instrumen operasi dapat disterilisasi seperti biasa (otoklaf recurrence. Ophthalmology 1991; 98(9): 1360-65.
8. Holland GN. Ocular Manifestations of AIDS. Audio digest Ophthalmo-
uap atau gas). logy.
9) HIV harus diperiksa pada donor kōrnea (pemeriksaan ini 9. Ammann AJ. The immunology of AIDS. International Ophthalmology
sulit dilakukan) atau serologi HIV pada darah kadaver donor. Clinis, 1989; 29 (2).
10) Semua alat disposable yang terkontaminasi harus dimasuk- 10. Culbertson WW. Infection of the retina in AIDS. International Ophthalmo-
logy Clinic, 1989; 29 (2).
kan dalam tempat kedap air, puncture resistant dan diberi label, 11. Suriadi Gunawan. Masalah penyebaran AIDS di Indonesia. MKI93:43 (4).

Catatan Redaksi :
Naskah berjudul:'Virus HcpatitisC pada Hepatitis Menahun dan Sirosis Hati di Surabaya'
olch Widawati Socmarto yang ditcrbilkan dalam Cumin Dunia Kedokteran 1993; 85:
11–13 sudah pernah ditcrbitkan di Majalah Ilmu Pcnyakit Dalam Surabaya, vol. 17, no.
2, April–Juni 1991, hal. 38–44.
Dalam karangan tersebut, Tabe12 seharusnya seperti yang tercantum di bawah ini :

Tabel 2. Prevalensi Anti•HCV dikaitkan dengan HllsAg


HBsAg + HllsAg - Jumlah

HCV+ HCV+ HCV+


N N N
n % n %o n %
Hepatitis menahun 8 0 0 47 27 57.4 55 27 49,1
Sirosis hati 4 1 25 56 37 66 60 38 63.3
NLD 0 0 39 0 0

Jumlah 12 1 8.3 103 64 62

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Beberapa Kelainan Kornea yang
Berhubungan dengan Proses Imunologik
Gunawan
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada, Yogyakarta

PENDAHULUAN terhadap pengobatan anti-jamur baik sistemik maupun lokal.


Mata kadang-kadang dipandang sebagai sasaran khusus Hoetaryo (1988)(6) meneliti 183 penderita keratitis herpes sim-
untuk proses imunologi(1,2). Dalam kenyataannya kelainan pleks menyatakan, bahwa peradangan kornea di sini akibat
imunologik lebih banyak tampak pada mata dibanding dengan reaksi hipersensitivitas yang timbul karena adanya sel yang
organ lain di badan, sebab organ lain pada saat terjadi serangan rusak. Ishikawa (1991) memeriksa 50 kasus keratitis diskiformis
tetap dalam keadaan "tenang". Kelainan mata yang dijumpai dengan angka kekambuhan 30% dalam periode 2 tahun setelah
akibat proses imunologik dapat berupa konjungtiva yang hi- pengobatan antiviral dan kortikosteroid. Tokushima (1991)
peremi, khemosis, dan disertai rasa sakit. Jika proses imunologik menyatakan, bahwa keratitis virus merupakan penyakit yang
menyangkut kornea, dapat ditandai oleh hiperemi konjungtiva, banyak terjadi, dan merupakan penyakit yang sukar diobati.
epifora, fotofobia, dan kabur, kadang-kadang timbul rasa sakit. Tidak jarang di jumpai ulkus kornea yang pada pemeriksaan
Kekaburan yang berat akibat proses imunologik pada kornea kerokan dari dasar maupun dari tepi ulkus kornea tidak ditemu-
dapat menyebabkan kebutaan. kan kuman, baik pemeriksaan mikroskopik maupun pembiakan.
Parut kornea karena ulkus kornea merupakan penyebab Sebaliknya, walaupun pemeriksaan kerokan menemukan jamur,
terbesar kebutaan dan pengurangan penglihatan di mana-mana di bakteri atau virus, namun penanganannya yang telah sesuai
dunia. Kebanyakan proses kebutaan atau pengurangan penglihatan dengan hasil uji sensitivitas tidak mencapai hasil, proses radang
ini dapat dicegah, bilamana diagnosis sitologik ditegakkan terus berlangsung dan berakhir dengan kebutaan.
seawal mungkin dan ditangani secara benar(1). Karena berbagai permasalahan mengenai keratitis yang
Beberapa peneliti telah melaporkan tentang ketidakberha- tidak memuaskan, maka perlu dipikirkan kemungkinan adanya
silan menangani berbagai keratitis. Suwono (1988r) menerang- proses imunologik yang ikut berperan. Tulisan ini bertujuan
kan, bahwa dari 8 kasus ulkus kornea dengan hipopion pada untuk menelaah beberapa kelainan kornea yang melibatkan
tahun 1987 terdapat 6 kasus sembuh, sedangkan 2 kasus meng- proses imunologik. Dengan demikian diharapkan dalam pena-
alami eviserasi karena endoftalmitis. Syawal (1988)(3) meneliti nganan keratitis memiliki dimensi yang lebih luas namun lebih
25 penderita ulkus kornea antara tahun 1984–1987 dan 4 pende- terarah.
rita di antaranya mengalami eviserasi. Panda dan Gupta (1991)(5)
meneliti 91 mata dengan ulkus kornea karena bakteri stafilokok
yang menunjukkan, bahwa lebih dari 60% spesimen resisten REAKSI HIPERSENSITIVITAS
terhadap pemberian kloramfenikol dan kloksasilin dan 2 mata Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang
terjadi endoftalmitis. Selanjutnya Rahman dan Dhaka (1991) bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik dan didapat. Ada 2
melaporkan, bahwa keratitis jamur hanya 35% yang responsif macam imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XX! 9-10 Juti 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 17


secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk
macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem garis pertahanan yang pertama.
imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila- Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk dapat berubah, kalau di kornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan
menghancurkan antigen tersebut. untuk vaskularisasi rupa-rupanya timbul oleh adanya jaringan
Bilamana suatu alergen masuk tubuh, maka tubuh akan nekrosis, mungkin dipengaruhi adanya toksin, protease atau
mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka mikroorganisme. Secara normal kornea yang avaskuler tidak
ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang ter- mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi
jadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Reaksi imuno-
tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas logik di kornea dan konjungtiva kadang-kadang disertai dengan
atau alergi. kegiatan imunologik dalam nodus limfe yang masuk(2).
Reaksi hipersensitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti ber- Limbus, korneaperifer dan sklera letaknyaberdekatan dapat
ikut: ikut terkait dalam sindrom iskhemik kornea perifer, suatu ke-
lainan yang jarang terjadi, tetapi merupakan kelainan yang se-
Tipe I: reaksi anafilaksi
rius. Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, barangkali hubungan
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan
kornea dengan sklera di limbus dapat bertindak sebagai
antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel
nodulus limfe aksesorii yang ikut terkait dalam menimbulkan
basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini me-
penyakit imunologik. Antigen cenderung ditahan oleh
nimbulkan reaksi tipe cepat.
komponen polisakarida di membrana basalis. Dengan demikian
Tipe II: reaksi sitotoksik antigen dilepas dari kornea yang avaskuler, dan dalam waktu
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal lama akan menghasilkan akumulasi sel-sel yang memiliki
ini IgG dan IgM dengan adanya komplemen akan berikatan kompetensi imunologik di limbus. Sel-sel ini bergerak ke arah
dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel sumber antigen di kornea dan dapat menimbulkan reaksi imun
tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat. Menurut di tepi kornea. Sindrom iskhemik dapat dimulai oleh berbagai
Smolin (1986), reaksi allograft dan ulkus Mooren merupakan stimuli.
reaksi jenis ini. Bloomfield (1986) menerangkan, bahwa pada proses imu-
nologik secara histologik terdapat sel plasma, terutama di kon-
Tipe III: reaksi imun kompleks
jungtiva yang berdekatan dengan ulkus(7). Penemuan sel plasma
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen
merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada keratitis
membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neuro-
herpetika yang khronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi
trophic chemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya
akan timbul limfosit yang sensitif terhadap jaringan kornea(2).
peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada
pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat
berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri PENGEJAWANTAHAN REAKSI IMUNOLOGIK DI
(stafilokok, pseudomonas) dan jamur(2). Reaksi demikian juga KORNEA
terjadi pada keratitis Herpes simpleks(7).
Reaksi imunologik dapat terbatas hanya pada kornea atau
Tipe IV: reaksi tipe lambat
pada mata bagian luar. Namun dapat juga terjadi, bahwa kelain-
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan
an di kornea merupakan pengejawantahan reaksi imunologik
adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang
yang sistemik. Reaksi imunologik yang hanya terbatas di kornea
berperanadalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
misalnya : ulkus Mooren merupakan reaksi tipe II, keratitis
Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan anti-
herpes simpleks dan beberapa keratitis akibat infeksi dapat me-
gen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang
rupakan reaksi tipe III. Adapun reaksi penolakan pasca kerato-
berakibat terjadi peradangan lokal. Reaksi ini pada kornea di-
plasti merupakan reaksi tipe IV. Reaksi imunologik sistemik
jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti(2,7,8), keratokon-
dengan pengejawantahan di kornea misalnya terjadi sindrom
jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks(7) dan keratitis
SjSgren, dalam hal ini disertai dengan kelainan di konjungtiva.
diskiformis(9).
1. Ulkus Mooren
PATOFISIOLOGI Meskipun bukti kuat menunjukkan bahwa ulkus Mooren
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang se- adalah suatu fenomena auto-imun, tetapi penyebabnya yang
bagai pertahanan imunologik yang alamiah. Pada proses radang, tepat tetap merupakan misteri(2). Terjadinya ulkus Mooren di-
mula-mula pembuluh darah mengalami dilatasi, kemudian ter- dahului oleh infeksi atau trauma mata (Schanzlin,1983; Smolin,
jadi kebocoran scrum dan clemen darah yang meningkat dan 1986). Hal ini dapat diterangkan karena jaringan kornea telah
masuk ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah diubah sedemikian rupa sehingga lama tidak dikenal oleh
makrofag, leukosit polimorf nuklear, limfosit, protein C-reaktif, respon imun sendiri. Beberapa peneliti menunjukkan, bahwa
epitel kornea memiliki antigen yang spesifik. Antigen ini dapat

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


tersebar difus berada di 1/3 bagian depan stroma kornea yang dieksisi dapat berhasil pada beberapa kasus, tetapi keadaan ini
bentuknya berubah-ubah dan memegang peranan terjadinya dapat kambuh.
respon imun tersebut. Dengan demikian asumsi logiknya adalah Menurut Smolin (1986), penanganan ulkus Mooren mula-
mengingat penyakitnya terbatas pada epitel kornea dan 1/3 mula dengan steroid topikal (prednisolon asetat 1%) setiap jam,
bagian depan stroma, maka pengambilan jaringan tersebut dapat kemudian dinaikkan setiap 30 menit. Kalau mengalami penyem-
menyebabkan pengurangan proses penyakitnya. buhan diadakan penurunan dosis untuk kemudian dihentikan.
Banyaknya sel plasma dan eosinofil di jaringan konjungtiva Bilamana tidak membawa respon dapat dilakukan eksisi kon-
dan kornea menunjukkan bahwa penderita ulkus Mooren mem- jungtiva. Bilamana keduanya tidak berhasil, dapat diberi terapi
punyai penyakit imunitas. Sel plasma dapat berikatan dengan imunosupresif sistemik, setelah konsultasi internis atau onko-
complement binding antigen di kornea yang kemudian menarik logis. Penggunaan imunosupresif dapat menggunakan kom-
leukosit polimorfnuklear. Pada beberapa penderita ulkus Mooren binasi siklofosfamid 100 mg/hari. Selanjutnya Smolin (1986)
diketemukan komplemen di epitel kornea IgM dan IgG(2). Me- mengatakan bahwa penderita ulkus Mooren berusia lanjut dan
nurut Bloomfield, ulkus Mooren merupakan reaksi tipe III yang satu pihak lebih responsif terhadap terapi. Sedang yang dwipihak
aktin. mungkin tidak responsif terhadap semua jenis terapi.
Beberapa pengamat menyimpulkan bahwa konjungtiva Penggunaan lensa kontak hidrofilik pada ulkus Mooren
memegang peranan penting dalam proses imunopatologinya. mungkin dapat mengurangi rasa sakit yang hebat, namun hal
Brown et al. (dalam Schanzlin, 1983) melaporkan adanya ini tidak mempengaruhi jalan penyakitnya. Keratektomi dan
banyak sel plasma di konjungtiva dekat daerah ulkus kornea dan pembuatanflap konjungtiva tidak membawa hasil juga.
konjungtiva menunjukkan aktivitas kolagenolitik. Maumenee menyarankan pengambilan kornea bagian de-
Gambaran klinik ulkus Mooren berupa ulkus non purulen, pan, tetapi menurut Brown dan Mondino ternyata bahwa tindak-
khronik, progresif dan letaknya marginal. Infiltrat mulai dari an ini hanya berhasil pada jumlah kasus yang terbatas (Smolin,
stroma kornea bagian depan, merusak epitel di atasnya, kemu- 1986).
dian meluas sirkumlimbal dan sentripetal. Kira-kira 35% ulkus
Mooren bersifat dwipihak. Di antara ulkus dan limbus kornea 2. Reaksi penolakan
terdapat bagian kornea yang tidak terkena dan keadaan ini yang Tindakan operasi untuk mengganti kornea resipien yang
membedakan dengan ulkus marginalis yang disertai dengan sakit dengan kornea donor yang sehat kadang-kadang meng-
artritis rematoid, atau ulkus perifer Terrien(2). alami kegagalan oleh adanya reaksi penolakan dari resipien ter-
Ulkus Mooren mulai dari sebelah nasal atau temporal. hadap kornea donor. Reaksi ini dapat terjadi paling awal 2 atau
Cirinya adalah ulkus yang menggaung, mengenai 1/3 atau 1/2 3 minggu sampai beberapa tahun pasca bedah. Diagnosis reaksi
tebal kornea (Schanzlin, 1983; Smolin, 1986). Beberapa bagian penolakan ditegakkan berdasar hal-hal berikut: pengurangan
ulkus masih aktif, sedangkan bagian lain menyembuh. Ulserasi visus, mata merah, rasa yang tidak enak di mata dan silau. Pada
ini berlangsung antara 3–13 bulan. Sensasi kornea masih normal pemeriksaan terdapat injeksi perikornea graft yang udem, flare
atau sedikit menurun. Adanya hipopion atau perforasi jarang positif dan KP di graft.
terjadi. Kadang-kadang rasa sakit demikian berat, sehingga Angka keberhasilan pencangkokan kornea tinggi, karena
tidak responsif dengan pengobatan anestetika lokal atau anti- kornea yang avaskuler dan di kornea tidak ada saluran limfe(7).
flogistik. Kalau hal ini terdapat kemudahan peningkatan reaksi imunolo-
Diagnosis banding ulkus Mooren meliputi: (1) Ulkus kata- gik maka akan menimbulkan reaksi tipe IV, yang berupa reaksi
ral stafilokok yang tidak progresif, tepi ulkus tidak menggaung; penolakan.
(2) Degenerasi Terrien di sebelah nasal atas, berkembang sir- Menurut Smolin (1986), teknik operasi dapat digunakan
kqmlimbal, dengan vaskularisasi, tepinya tidak menggaung, untuk mengurangi kecendrungan reaksi penolakan. Reaksi pe-
lebih benigna; (3) Ulkus perifer karena infeksi (pneumokok, nolakan meningkat bilamana digunakan graft yang lebih besar
gonokok) dengan eksudat yang purulen; (4) Ulkus marginalis daripada 8,5 mm. Graft yang kecil mempunyai sedikitsel Langer-
karena artritis reumatoid, yang sifatnya dwipihak (50%), ter- hans, sel Langerhans terbanyak berada di dekat limbus.
utama pada wanita. Insiden reaksi penolakan pada kornea dengan vaskularisasi
Penanganan ulkus Mooren menurut Schanzlin (1983), pada adalah 10–12%. Insiden ini meningkat dengan adanya vaskulari-
zaman dahulu menggunakan asam karbol, formalin, tinktura sasi kornea yang makin banyak. Kecuali itu adanya trauma atau
jodii, asam nitrat, kuretage, asam trikhlorasetat, dan kauter radang kornea yang dapat melebarkan pembuluh darah atau
galvanisasi. Pengobatan yang diberikan dengan khemoterapi benang sutera yang menimbulkan vaskularisasi dapat
dan antibiotik seperti merkurisianida, suntikan subkonjungtiva meningkatkan kemungkinan reaksi penolakan.
dengan merkuri bikhlorida. Juga dilakukan iradiasi, injeksi vita- Penanganan terhadap reaksi penolakan tetap menggunakan
min Bl dan suntikan tuberkulin. Cara pengobatan ini semua di- kortikosteroid(2). Pada stadium awal penolakan endotel responsif
pandang tidak efektif. terhadap pemberian steroid topikal. Bilamana reaksi penolakan
Pavan-Langston (1985) menerangkan bahwa obat-obat itu meluas, sehingga banyak endotel yang rusak, maka pem-
imunosupresif mungkin bermanfaat. Eksisi konjungtiva dan berian steroid dapat menghentikan proses destruksi tersebut,
resesi kon jungtiva dengan atau tanpa krioterapi pada bagian yang tetapi tidak dapat mempertahankan kejernihan graft. Pemberian

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 19


steroid tetes merupakan hal yang panting. Prednison asetat mampu 4. Keratitis karena bakteri
menembus kornea dengan baik bilamana epitel masih utuh, Bakteri stafilokok mampu menghasilkan substansi. Sub-
sedangkan prednison fosfat tidak dapat menembus kornea. Bila- stansi ini meningkatkan kemampuannya untuk berlipat ganda
mana epitel telah dihilangkan, preparat fosfat akan menembus dan menyebar secara luas ke dalam jaringan. Substansi tersebut
dengan memuaskan. Bilamana diperlukan kortikosteroid sis- adalah eksotoksin, leukosidin, koagulase, dan enterotoksin. Per-
temik untuk reaksi penolakan yang sedang atau berat dapat mukaan stafilokok ditutupi dengan substansi yang dinamakan
diberikan 10–12 tablet prednison sehari selama 2 minggu, ber- protein A, yang menghambat fagositosis. Bakteri stafilokok yang
sama-sama dengan obat topikal. Sesudah 2 minggu pemberian telah difagositosis masih mampu bertahan dalam jangka waktu
obat sistemik dikurangi, sedangkan pemberian secara topikal lama.
ditingkatkan. Infeksi stafilokok mungkin merupakan suatu reaksi antigen-
Keratoplasti ulang perlu disiapkan bilamana graft yang antibodi pada ulkus kornea marginal. Apabila dilakukan kerokan
udem tidak hilang dengan terapi kortikosteroid yang maksimum ulkus tidak diketemukan mikroorganisme, merupakan tanda
selama 1 tahun. Penderita yang mengalami operasi ulang mem- bahwa ulkus kataral ini suatu fenomena imun(2,10). Ulkus mar-
punyai risiko tinggi untuk terjadinya reaksi penolakan. ginalis dan kultur yang negatif digambarkan sebagai hipersensi-
Salah satu efek samping pengobatan dengan kortikosteroid tivitas tipe III terhadap bakteri stafilokok(11)
baik sistemik maupun lokal pada mata ialah melambatkan dan Terapi ulkus kornea kataral dapat ditambah dengan steroid
mengurangi kualitas penyembuhan luka. Selanjutnya pemakaian tetes dalam regimen dengan dosis prednisolon 0,12% 2–3 kali
imunosupresif yang sistemik dapat mengakibatkan supresi sehari. Pada dasarnya dosis rendah adalah antiinflamasi, dosis
sumsum tulang(2). tinggi dapat bekerja sebagai imunosupresif, sehingga dapat ber-
peran untuk menekan reaksi imunologik(2).
3. Keratitis Herpes Simpleks
5. Keratitis superfisialis pungtata Thygeson
Pada dasarnya ketidakseimbangan imunitas penderita dapat
Keratitis ini memiliki basis reaksi imunologik, sebab res-
menyebabkan terjadinya aktivasi virus herpes dan selanjutnya
ponsif terhadap pemberian kortikosteroid. Biasanya terjadi pada
mampu menimbulkan keratitis. Suatu keratitis dendritika yang
mata yang tenang. Etiologinya tidak diketahui, diperkirakan
akut kadang-kadang disertai dengan riwayat depresi pertahanan
karena hipersensitivitas terhadap virus(7).
penderita mengenai kesehatannya maupun imunosupresi pen-
derita oleh penyakit yang mendasari. Kadang-kadang seseorang 6. Keratokonjungtivitis epidemika
penderita dapat menerangkan riwayat sires yang bersifat psiko- Keratokonjungtivitis epidemika kemungkinan kuat meru-
genik, adanya demam, dan lain-lain. Kondisi imunosupresi dapat pakan suatu reaksi hipersensitivitas yang terjadi karena infeksi
juga terjadi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik yang adenovirus tipe 8. Mengingat bahwa pemberian kortikosteroid
menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks(7). topikal menunjukkan perbaikan, berarti ini sangat mungkin me-
Pada infeksi virus mula-mula kadar IgM meningkat, kemu- rupakan reaksi hipersensitivitas. Beberapa penderita menunjuk-
dian kadar IgG dalam darah juga meningkat dan akhirnya tampak kan kekambuhan setelah 2 tahun, bilamana pemberian kortiko-
antibodi IgA dalam sekresi mukosa(2). Selanjutnya dikatakan, steroid dihentikan sama sekali. Oleh karena itu kortikosteroid
bahwa antibodi menghancurkan virus ekstraseluler. Virus yang harus diberikan hanya jika kekeruhan kornea yang letaknya
bergabung dengan antibodi terutama dengan IgA akan dicegah sentral dan mengganggu visus serta adanya keluhan subyektif(7).
perlekatannya dengan sel membran dan menginfeksi jaringan.
Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan BEBERAPA PRINSIP PENANGANAN
oleh IgG antibodi memudahkan fagositosis dan netralisasi virus. Pada dasarnya untuk mempertahankan imunitas, di-
Dalam keratitis virus herpes simpleks yang kambuh, terjadi perlukan rangsangan atau penekanan pada aspek tertentu dari
kelainan kornea yang khas ialah keratitis dendritik yang kadang- respon imun. Obat-obat yang diberikan adalah :
kadang sebagai keratitis marginal. Virus herpes simpleks yang
a) Imunosupresif
stromal disertai oleh reaksi tipe IV dapat terjadi pada penderita
Yang termasuk dalam imunosupresif ini ialah: obat anti-
yang mengalami depresi sistem imun akibat penggunaan kor-
mitotik atau sitostatik, kortikosteroid, serum antilimfositik dan
tikosteroid, karena usia lanjut, atau karena penyakit sistemik(2).
radiasi. Upaya ini ditujukan untuk menekan peradangan sebagai
Keratitis diskiformis dapat merupakan hasil reaksi tipe IV
reaksi imunogenik atau mcngawasi reaksi penolakan pasca ke-
terhadap antigen virus herpes(2,9). Dengan pemberian kortiko-
ratoplasti. Seyogyanya lebih baik menekan respon imun secara
steroid sedikit dapat menghasilkan kejemihan kornea sebagian
selektif.
atau seluruhnya akibat hilangnya udem dan infiltrat. Penanganan
dilakukan dcngan melakukan debridemen atau khemoterapi b) Penanganan respon alergi
topikal atau keduanya akan mampu mencegah sintesa virus, Mekanisme yang tepat mengenai reaksi alergi tidak jelas.
terutama untuk yang akut. Obat-obat antiviral seperti asiklovir Mungkin alergi merupakan suatu produksi berlebihan dari IgE.
dan kortikosteroid dapat diberikan untuk keratitis stromal. Pendekatan farmakologi adalah memodulasi efek mediator pada
Pcmbcrian vitamin A akan mcningkatkan sintesis antibodi dan se target mclalui penggunaan antihistamin, kortikosteroid,
dapat dibcrikan bersama-sama dcngan pcmberian hidrokortison. vasokonstriktor, dan inhibitor prostaglandin. Epincfrin bar-

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


khasiat sebagai vasokonstriktor pada dosis farmakologik untuk nyakit mata yang penanganannya tidak selalu efektif.
menghasilkan penurunan gejala simptomatik dari alergi tersebut.
KEPUSTAKAAN
c) Imunopotensiasi
Imunopotensiasi adalah penambahan respon imun non- 1. Vaughan DS, Asbury T. General Ophthalmology. Lange Medical Publica-
spesifik penderita dengan menggunakan substansi biologik se- tion, Los Altos, California. 1986.
cara luas. Banyak upaya ini masih pada tingkat eksperimental. 2. Smolin G, O'Connor GR. Ocular Immunology, 2nd ed. Little and Brown
Company, Boston. 1986.
d) Antibodi monoklonal 3. Soewono W. Penatalaksanaan ulkus kornea karena bakteri di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1988.
Antibodi monoklonal yang murni barn dapat berguna dalam 4. Syawal R. Ulkus kornea di RSU Ujung Pandang. Kongres PERDAMI VI,
oftalmologi baik sebagai alat diagnostik maupun sebagai imuno- Semarang. 1988.
terapi untuk menangani penyakit. 5. Panda A, Gupta SK. Topical fusidic acid therapy of chloramphenicol and
cloxacillin resistant staphylococcal keratitis. XIII Congress of the A.P.
e) Pertahanan imunologik dari mata bagian luar A.O, Kyoto, Japan. 1991.
Permukaan mata secara tetap terpapar bahan toksik, anti- 6. Hoetaryo N. Pengaruh debridemen pada penyembuhan keratitis super-
genik, dan serangan mikrobiologik. Untuk melindungi mata fisialis. Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1983.
7. Bloomfield SF. Clinical allergy and immunology of the external eye.
bagian luar terdapat mekanisme pertahanan yang non-spesifik, Dalam: Duane TD, Jaeger EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4.
misalnya air mata, flora di konjungtiva serta pertahanan terhadap Harper & Row Publisher, Philadelphia. 1986.
kerusakan epitel kulit, konjungtiva dan kornea. Sedangkan 8. Suyoto, Sutomo N. Tes-tes kulit untuk penyakit kulit alergi, dalam Kum-
mekanisme pertahanan imunologik spesifik terdiri dari limfosit pulan makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta.
1981.
di bawah epitel yang mendeteksi antigen, selLangerhans dan IgA 9. O'Day DM, Jones BR. Herpes simplex keratitis. Dalam: Duane TD, Jaeger
yang terdapat dalam air mata. EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4. Harper & Row Publisher, Phi-
ladelphia. 1986.
RINGKASAN 10. Harley RD. Pediatric Ophthalmology, 2nd ed., vol. II. WB. Saunders
Company, Philadelphia. 1983.
Telah dibicarakan laporan beberapa peneliti mengenai pe- 11. Flicker L, Ramakrishnan M, Seal D, Wright P. Role of cell-mediated
nanganan berbagai keratitis yang tidak berhasil. Telah dibicara- immunity to staphylococci in blepharitis. Am. J. Ophthalmol 1991; III:
kan pula dasar imunitas, 4 tipe reaksi hipersensitivitas secara 473-479.
sederhana dan pengejawantahan reaksi imunologik di kornea. 12. Arjatmo T. Dasar-dasar imunologi penyakit kulit alergi, dalam Kumpulan
makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta.
Pengejawantahan di kornea sebagai ulkus Mooren, reaksi peno- 13. Ohnishi N, Shimakawa M, Kawada N, Shirataki M. A case of the stromal
lakan pasca keratoplasti, keratitis herpes simplek dan beberapa keratitis associated with tuberculosis. XIII Congress of the A.P.A.O,
keratitis lainnya juga dibahas. Ulkus Mooren merupakan pe- Kyoto, Japan. 1991.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 21


Infeksi Viral dan Strategi Pengobatan
Anti-viral pada Penyakit Mata
Suwardji Haksohusodo
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada, Yogyakarta

SINOPSIS
Setelah pembangunan kesehatan telah berhasil mengatasi penyakit infeksi bakteriil,
parasit dan mikosis dengan berbagai obat antibiotika dan penataan sanitasi lingkungan,
maka infeksi viral yang tidak sensitif terhadap pengobatan antibiotika ini akan semakin
meluas di masyarakat, termasuk penyakit viral mata.
Hingga sekarang, obat-obat anti-viral telah mulai ikut berkembang maju, tetapi
yang lebih penting adalah: bagaimana menangani dan mengatur strategi pengobatannya,
mengingat patogenesis dari berbagai macam virus yang menyerang mata ternyata
beraneka ragam sesuai dengan golongannya, apakah golongan virus DNA, virus RNA,
atau golongan kuman yang terlalu besar dimensinya untuk dikatakan sebagai virus,
yaitu Chlamydia yang intinya mengandung materi biogenetik DNA maupun RNA,
suatu bakteri intraseluler sangat kecil, bersifat basofilik penyebab penyakit trachoma
(own Chlamydia trachomatis) dan penyakit keputihan/vaginal discharge yang disertai
radang mata disebut cervicitis-urethritis di sertai conjunctival blennorrhea (yang disebab-
kan oleh Clamydia oculo-genitale), dan apabila penyakit ini tidak diobati akan menye-
babkan kebutaan; sebenarnya kedua kuman ini sangat sensitif terhadap antibiotika rutin
misalnya sulfonamida atau eritromisin.
Sederetan golongan virus RNA yang sering menyerang mata segmen anterior mi-
salnya: Rubeola, Influenza, Mumps, semuanya hanya menyebabkan keratitis punctata
yang ringan sampai sedang saja, dan 'conjunctivitis, folikuler yang. berair, merupakan
penyakit yang akan sembuh sendiri (self-limiting disease), sedangkan pengobatannya
hanyalah suportif murni. Virus Rubella dan Cytomegalovirus (CMV) yang permu-
laan penyakitnya tidak kentara (insidious) dapat pula menjadi sistemik dan dampaknya
akan menghancurkan retina mata sedikitdemi sedikit. InfeksiRubella bersifat kongenital,
dapat menyebabkan keratitis bcrat, glaukoma dan chrorio-retinitis. Sedangkan CMV
kongenital maupun yang menyerang setclah kelahiran (acquired infection) selalu
merusak retina dan meinerlukan pengobatan khusus. CMV sebenarnya termasuk golong-
an virus DNA seperti: HSV (Herpes Simplex Virus) — VZV (Varicella Zoster Virus, yang

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI, 9-10 Juli 1993


di Yogyakarta

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


biasanya salah disebiut Herpes Zoster Ophthalmicus) – Adenovirus dan Vaccinia virus
Deretan virus-virus inilah yang akan menjadi fokus pembicaraan, mengingat patogene-
sisnya, cara penyebaran yang cepat di masyarakat, dan dampaknya sangat kompleks pada
organ-organ tubuh; jadi perlu dimengerti lcbih dahulu karena berkaitan sekali dengan
strategi pengobatannya, yang masing-masing memerlukan kekhususan pula.
Dalam pengalaman klinik, pengelolaan infeksi golongan virus RNA lebih mudah
dibandingkan dengan penanganan golongan virus DNA, karena virus DNA dapat langsung
menginfeksi masuk ke dalam inti sel inangnya, tidak terbatas hanya masuk ke sitoplasma-
sel seperti halnya virus RNA. Seandainya sel dirusakkan atau dimatikan oleh virus RNA,
maka setelah virus dieliminasi olch tubuh inang (oleh AB anti-viral, atau oleh mekanisme
lain), tubuh masih selalu siap untuk membangun/merevisi kembali sel-sel tersebut, se-
hingga penderita dapat segera menuju ke kesembuhan total. Sebaliknya sel yang intinya
terinfeksi DNA virus, sel tetap hidup lama, yang kemudian disebut sebagai infeksi laten.
HSV sebagai virus DNA dalam pengobatan mempunyai keunikan tersendiri, misal-
nya sifat biogenetiknya pada untaian DNA selalu ikut maju secara alamiah mengikuti
pengaruh lingkungan; yaitu HSV semula selalu sensitif terhadap Acyclovir karena
mensintesis enzim Thymidine kinase (sebagai HSV dengan TK-positif), kemudian apa-
bila terus menerus diberikan obat Acyclovir, virus akan melepaskan gena TK-nya, dan
generasi selanjutnya akan memproduksi anak-anak virion baru dengan DNA yang TK
negatif, sehingga HSV-TK negatif ini akan kebal terhadap pengobatan dengan Acyclovir,
sehingga perlu pengobatan alternatif yang lain.
Kunci kata : Infeksi viral penyakit mata – patogenesis golongan virus DNA/RNA/
Chlamydia – kemajuan sifat biogenetik virus – strategi pengobatan
antiviral.

PENDAHULUAN yang intinya tetap mengandung DNA-viral dan mampu suatu


Sebagian virus yaitu golongan Neurovirus, selain menye- ketika berbiak lagi, jadi merupakan infeksi laten dan memberi
rang mata, sering pula menyerang organ-organ sistim susunan kesempatan untuk rekurens. Dengan demikian golongan virus
saraf perifer maupun saraf pusat, atau sebaliknya. Sedang proses RNA lebih mudah diatasi, karena seandainya sitoplasma sel
patogenesisnya pada organ mata sendiri sangat beragam, tidak inang telah rusak atau matipun, tubuh inang selalu mampu
selalu sama di antara virus DNA dan RNA, tergantung pula pada memperbaiki dan mengganti dengan sel baru yang inti selnya
kondisi tubuh inang/penderita waktu terserang (sangat indi- bebas dari asam nukleat RNA-viral yang pernah menginfeksi-
viduil), kemudian disusul oleh dampak imunologinya. Situasi ini nya.
perlu dipahami dalam menangani masalah penyakit virus. Sistim kekebalan tubuh selalu mampu membentuk antibodi
Virus merupakan suatu partikel biologik yang dapat menye- spesifik yang cepat tanggap dan mengatasi infeksi viral tersebut.
babkan penyakit, mempunyai dimensi sangat kecil antara 10-300 Tetapi setelah itu terjadi masalah baru berupa proses imunologik
nanometer, tersusun atas molekul protein atau glikoprotein yang yang kurang menguntungkan, misalnya peristiwa auto-imun,
menyelubungi segulung untaian molekul asam nukleat RNA antibody dependent enhancement (ADE) yang malah meng-
atau DNA saja (tidal( pernah bersama-sama) dan tidak mampu gandakan jumlah virus infeksi kedua, dampak rcaksi hipersensi-
memperbanyak diri tanpa masuk lebih dahulu ke dalam sel hidup tivitas tubuh, dan lain-lain; sehingga penataan strategi peng-
yang akan dimanfaatkan untuk mengadakan sintesis biologik obatan viral matapun perlu mengacu semua hal pokok tersebut di
yang unik bagi generasinya, energi dan sistim ensimatik sel hidup atas, yaitu biogenetik, patogenesis dan imunologinya.
tersebut dimanfaatkan sehingga inti materi genetik DNA/RNA
dapat digandakan dan selanjutnya diproduksi anak-anak virion DASAR BIOGENETIK VIRUS DAN PATOGENESISNYA
baru dari bahan protein sitoplasma sel penderita dan siap meng- Virus pada umumnya terbagi terbagi menjadi 2 kelompok
infeksi sel lain; virus merupakan mikroorganisme bersifat para- besar, antara lain golongan virus DNA terdiri atas kelompok
sitis obligat, absolut dan mutlak pada tingkat genetik. Poxviridae, Herpesviridae, Adenoviridae, Papovaviridae,
Dasar ini mengawali pengertian tentang virus yang susunan Hepadnaviridae dan Parvoviridae, golongan virus RNA terdiri
dan fisiologinya berbeda dengan mikroorganisme bakteriil atau atas kelompok Paramyxoviridae, Orthomyxoviridae, Corona-
mikosis yang telah mempunyai organella lengkap. Golongan viridae, Arenaviridae, Retroviridae, Reoviridae, Picornaviridae,
virus RNA perlu masuk ke dalam sitoplasma sel, karena di Caliciviridae, Rhabdoviridae, Togaviridae/Flaviviridae dan
sinilah program replikasinya dilaksanakan, sedangkan golongan Bunyaviridae (Gambar 1).
virus DNA, invasi genetiknya harus sampai di inti-sel inang, Dengan mengetahui struktur morfologi berbagai golongan
sehingga meskipun sel telah mati, masih terdapat sebagian sel dan kelompok virus tersebut, maka sesuai dengan sifat bio-

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 23


Gambar 1. Morfologi golongan virus DNA dan RNA
Gambar 2. Patogenesis virus dalam sel-target penderita
genetik genom masing-masing inti DNA/RNA-nya, terdapat
perbedaan cara infeksinya ke dalam sel tubuh manusia. Setelah masih tinggi, Iebih dan 1/25.600, maka parental-DNA tidak
golongan virus RNA menempcl pada reseptor sel-target dan akan mengadakan replikasi, pengepakan dan pengumpulan
meleburkan membran sel, maka kumparan asam nukleat RNA (assembly) untuk membuat inti virus (Gambar 3). Selanjutnya
virus melebur ke dalam sitoplasma sel untuk memanfaatkan partiket inti-DNA virus mi tidak akan ketuar dan inti-set, ti-
biosintesis sel dalam menggandakan dirinya, yang kemudian dak akan me lengkapi diii dengan envelop viral dalam transport
akan menjadi anak-anak virion baru dan keluar dari set organ dan exocyto sis keluar sd menjadi virion baru. Partikel biogene-
yang terserang oleh induk virus tersebut. Pengenalan virus yang tik parental- DNA virus tetap berada di dalam mu-set penderita.
pertama menginfeksi penderita, olch sel-scl imunokompeten/
makrofaga biasanya segcra dapat mcmacu tcrjadinya antibodi
spesifik antiviral tersebut scbagai jawaban sistim imun tubuh
yang diperlukan untuk mclawan dan menghancurkan virion baru
dari hasil replikasi RNA dalam sitoplasma sal. Mekanisme
eliminasi virion dapat secara netralicasi, opsonisasi, aktivasi
komplemen atau ADCC yang diperankan oleh sel-sel NK (Natu-
ral Killer cells). Schingga sepintas mudah dimengcrti bahwa
infeksi oleh golongan virus RNA akan lekas sembuh, dan sering
dikatakan scbagai self limiting disease.
Golongan virus DNA ternyata agak berlainan, karena materi
genctik inti virus akan tcrus masuk ke dalam inti-sel pcndcrita,
dan sclanjutnya mengadakan replikasi DNA baru untuk mem-
buat generasi virion-virion golongan virus DNA baru dari dalam
inti-scl dan dilengkapi envelop virus dari sitoplasma set selama
perjalanan (transport cytoplasmic); dan melalui exositosis, keluar
dari sitoplasma menembus membran plasmik sel-target pen-
derita.
Seandainya kcadaan di luar membran plasmik set belum
menguntungkan bagi perkembangan virion selanjutnya, antara
Gambar 3. Monogenesis dan replikasi golongan virus DNA
lain salah satu faktor misalnya titer protektifAntibodi sel-HSV

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Hal tersebut menyebabkan golongan virus DNA selalu
mengadakan infeksi laten dan penyakitnya selalu persisten;
kemudian sewaktu-waktu apabila Titer Ab-protektif mengalami
penurunan kurang dari 1/25.600, dimulai lagi proses packing
DNA dan assembly dan selanjutnya menjadi virion baru yang
siap menginfeksi sel-sel lain, hal ini discbut sebagai proses re-
aktivasi viral. Dari strategi pengobatan, maka pada saat inilah
perlu segera diberi obat antiviral atau bila mungkin melindungi
sel-sel yang masih beltim terinfeksi dengan lindungan interferon.
Apabila parental-DNA dalam status laten, maka penggunaan
antiviral tidak akan berguna sama sekali.
Reaktivasi viral yang endogenous ini sukar dibedakan
manifestasi kliniknya, dari infeksi primer HSV, atau karena re-
infeksi exogenous. Tetapi berpedoman atas proses imunologik
pada infeksi persisten, maka gejala imunopatologik tetap akan
turut mewarnai manifestasi kliniknya (Gambar 4).
Dalam pengertian virologi, sel-sel tubuh penderita yang
terserang oleh virus mempunyai 3 macam nasib: Apabila virus
golongan RNA maka sel akan dimatikan seluruhnya, tetapi sisa

Gambar 5. Mekanisme masuknya virus Wilts Ayam

onkogenik tadi, sehingga sel terpacu untuk membelah diri tetapi


generasinya sel tidak seperti induk sel semula melainkan menjadi
sel tumor ganas (leukemia atau karsinoma).
DASAR IMUNOLOGI DAN CONTOH KEMUNGKINAN
PENYEBARAN INFEICSI VIRAL
Keadaan umum di luar membran-sel yang terinfeksi golong-
an virus-DNA sangat ditentukan oleh kadar atau titer Ab-protek-
tif tubuh penderita, hal ini dapat dilacak dengan sistim peme-
riksaan sederhana, yaitu: Passive Hemagglutination Assay HSV
khusus terhadap komponen glikoprotein gB yang terkandung
dalam lapisan luar envelop virus HSV-1 maupun HSV-2, yang
mempunyai keistimewaan antara lain :
– prosedur pemeriksaannya mudah dan cepat (3 jam),
– spesifisitasnya tinggi, secermat uji Elisa, uji Netralisasi, CF,
(uji Fiksasi komplemen),
Gambar 4. Infeksi viral HSV dan Reaktivasi virus yang persisten – mudah dilihat hasilnya (aglutinasi) tanpa alat canggih,
– tanpa ada risiko terinfeksi reagen pemeriksaan (HSV) ka-
rena yang dipakai hanya komponen glikoprotein envelop virus-
sel-sel yang masih hidup dapat mengadakan revisi dan penyem- nya yang telah dimurnikan (Haksohusodo S., 1989).
buhan total bagi penderita akan lebih terjamin. Apabila virus – dapat menentukan tingkat Ab anti-HSV protektif penderita.
golongan DNA maka sel akan diinfeksi untuk seterusnya (persis- Komponen gB dipakai sebagai sarana memantau keadaan
ten) yang mengakibatkūa adanya rekurensi; hal ini kemudian Ab anti HSV protektif penderita, karena gB dalam envelop virus
memberi kesempatan golongan virus onkogenik masuk ke da- berfungsi sebagai pemacu penetrasi tahap-awal dari nukleo-
lam sel-target tubuh, mengubah susunan gena materi genetik sel kapsid virus ke dalam sel-sel target penderita (Courtney, 1984).
sehingga menyebabkan generasi sel selanjutnya menjadi sel Peran fungsional dan sifat antigenic-determinant dari glikopro-
tumor ganas (leukemia atau karsinoma). tein gB memang berlainan dengan komponen glikoprotein gA,
Partikel virus dijemput oleh tonjolan-tonjolan membran-sel gC, gD dan gE, gD; misalnya hanya untuk neutralisasi viral.
dan langsung diinternalisasi di ujung tonjolan, kemudian berbon- Pelacakan adanya Ab anti-gB HSV dalam serum penderita
dong-bondong mengitari Zona Golgi; di sini virus melepaskan mudah dikerjakan karena pada stimulasi pertama antigen-deter-
materi biogenetik asam nukleatnya ke dalamnya. Setelah Zona minan komponen glikoprotein gB akan membentuk antibodi
Golgi mendekati inti-sel, maka program biosintesis asam nukleat spesifik terhadapnya. Antibodi ini (IgG) sifat antigeniknya
(DNA) inti turut diubah sesuai dengan asam nukleat virus sangat kuat dan bertahan lama dalam sirkulasi darah, mengingat

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 25


Seandainya serum penderita tidak mengandung IgG anti HSV
(atau disini spesifik terhadap komponen glikoprotein gB) maka
eritrosit yang terbungkus membran luarnya oleh komponen gB,
tidal( akan diikat oleh IgG yang bukan spesifik terhadap HSV,
artinya tidak ada hemaglutinasi (uji-Phassay-HSV = negatif).

A. Virus leukemia tikus


Gambar 7. Profit Umum Titer Ab anti glikoprotein g8 virus HSV

Berdasarkan data epidemiologik tentang tingginya titer Ab


anti HSV yang positif pada kelompok WTS dibandingkan ke-
lompok masyarakat umum yang sehat/penderita penyakit apa-
pun di RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta, maka dapat diperkira-
kan bahwa virus HSV (terutama HSV-2) tersebar melalui jalur
WTS yang memang terexpose atau kemungkinan mendapatkan
infeksi HSV lebih besar.

B. Virus Ca-mammae tikus

Gambar 6. Mekanisme masuknya virus ke dalam set-target penderita

infeksi HSV merupakan infeksi lat.en atau virusnya selalu per-


sisten; hat ini cocok untuk menera situasi IgG dalam darah
terhadap titer Ab protektif. Gambar 8. Hubungan antara Umur dan Angka rerata Ab positif terhadap
Prinsip ikatan Ab anti-gB dengan antigen gB viralnya yang HSV.
dapat dipantau dengan sistim pemcriksaan Phassay-HSV: me-
nempelkan komponen glikoprotcin gB virus (HSV-1 atau HSV- Dari pengalaman klinis di Bagian Obstetri/Ginekologi,
2) ke permukaan scl eritrosit domba (= disensitisasikan) supaya infeksi HSV (terutama HSV-2) oftalmikus ternyata memang
nanti dapat mengikat Ab anti-gB pendcrita, ikatan ini akan kebanyakan infeksi neonatal atau segera setelah bayi dilahirkan
menludahkan mcngendap bersama (peristiwa hemaglutinasi). oleh Ibu yang telah mengidap penyakit HSV sebelumnya (Titer

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


IgG anti-HSV telah tinggi), (pengidap infeksi TORCH + Tabel 3. Pemilihan pemeriksaan diagnostik laboratorik untuk menentu-
kan kepastian infeksi-viral intra-uterin sesuai screening gejala
Toxoplasma gondii, Rubella, CMV dan HSV). Maka untuk
penyakit mata yang mungkin ada kaitannya atau riwayat ke- Persiapan spesimen Penentuan Diagnostik
Infeksi-viral
mungkinan terinfeksi TORCH pada waktu bayi atau Ibunya, Skrining gejala : Laboratorium
perlu memonitor titer Ab anti HSV-nya lebih dahulu, kemudian 1. Rubella virus * Isolasi virus Rubella Demonstrasi titer Ab. anti
bila perlu untuk Toxoplasma, Rubella dan CMV. dari urin, usapan teng- Rubella (I & II)
Secara klinis pemantauan pertama (screening test) untuk hal gorok, darah atau * Pengamatan IgM-IgG
demonstrasi IgM anti Demonstrasi titer Ab. anti
ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Rubella CMV dan pclacakan Ab
* Katarak, Peny. Jantung IgM spesifik CMV, kalau
Tabel 1. Infeksi HSV Oftalmikus Kongenital, mikroph- perlu IgG spesifik
thalmi, lesi tulang Demonstrasi titer Ab. anti
panjang HSB tanpa memperhati-
2. Cytomegalo- * Isolasi CMV dari urin, kan Ab IgM spesifik anti-
virus usapan tenggorok, darah IiSV
Cara biakan jaringan Pemeriksaan titer Ab IgG-
FAT. Pewamaan secara anti HSV secara Phassay-
FAG pada sel-sel urin. IISV telah cukup bet-
* Klinik adanya Mikro- makna untuk pegangan
sefali, Pneumonitis, para klinisi
kalsifikasi serebral
periventrikuler
3. Herpes Simplex * Amati dan bedakan
Virus (HSV) gejala klinis HSV1,
IISV2 atau sindrom
neurologik pada anak
baru lahir s/d balita,
kalau perlu sampai
remaja
Tabel 2. Kelainan yang terjadi pads janin/bayi akibat infeksi TORCH * Adanya mikrosefali,
Pada Ibu Hamil chorioretinis, hepatitis,
retardasi psikomotor, ,
Infeksi Kelainan utama Kelainan lain cephalgia berat
Toksoplasma Hidro/mikrosefalus Hepatosplenomegali intermiten, ggn ke-
Korioretinitis Ikterus, limfadenopati, seimbangan
Kalsifikasi intrakranial retardasi psikomotor
Haksohusodo S, 1989
Rubella Katarak, tuli, kelainan Hepotosplenomegali,
jantung bawaan, trombositopeni, retardasi
strabismus psikomotor
Penelitian yang telah selesai untuk penentuan nilai atau Titer
Ab-protektif adalah terhadap infeksi HSV; untuk virus-virus lain
Cytomegalovirus Mikrosefali, tali Kalsifikasi intrakranial (CMV, Rubella, Measles) masih dalam program, karena hal ini
hepatosplenomegali, memang perlu dalam kaitannya dengan strategi pengobatan.
trombositopeni, purpura,
korioretinitis, retardasi Obat-obat anti-viral dianggap cukup dapat mengatasi infeksi
psikomotor viral, tetapi untuk pencegahan (tindakan preventif/profilaksis
secara umum) atau vaksinasi masih belum banyak dimasyara-
Herpes simpleks Mikrosefali Korioretinitis, hepatitis,
retardasi psikomotor,
katkan. Untuk menekan insidens infeksi-viral HSV atau CMV
intrapartum neonatal telah diusahakan vaksinasi CMV untuk ibu-ibu hamil
dengan CMV hidup yang telah dilemahkan, sedangkan untuk
PENGOBATAN ANTIVIRAL vaksin HSV direncanakan dibuat dari glikoprotein gB yang
Pengobatan penyakit HSV yang sudah diketahui titer Ab- tidak in feksius.
protektif penderitanya, berpedoman pada tingginya titer Ab ter-
sebut, tanpa memandang apakah Ab ini berupa IgM atau IgG;
karena HSV biasanya merupakan infeksi persisten, IgG yang
menjadi topik penilaian terjadinya reaktivasi atau rekuren se-
andainya titer Ab penderita menurun sampai di bawah 1/25.000. KESIMPULAN
Tetapi apabilapenderita belum pemah terserang HSV, IgM harus 1. Infeksi viral pada mata mempunyai manifestasi klinik be-
positif, dan kadang-kadang IgG masih rendah sekali (sekitar 1/ ragam, merupakan perpaduan antara perbedaan biogenesis/pato-
100 -1/6.400); ini merupakan penderita infeksi primer. Kedua- genesis golongan virus DNA/RNA dan dampak imunologinya.
nya dapat langsung diberikan obat anti-viral yang sesuai (lihat Hal ini dapat memberi pedoman dalam menentukan strategi
daftar). Setelah titer Ab telah cukup protektif (biasanya di atas pengobatan anti-viral.
1/25.600) dan gejala-gejala hilang (mereda), pengobatan di- 2. Profil titer Ab anti-glikoprotein gB virus HSV yang spesifik,
anggap cukup. diperiksa dengan uji Phassay-HSV dapat memberi petunjuk akan

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 27


Tabel 4. Beda sifat gol. virus Herpes Manusia Tabel 6. Infeksi Viral penyakit mata dan pengobatannya(2)

Manifestasi Etiologi Kemungkinan


klinik penyakit pengobatannya
– Adenoviral oculo & Adenovirus 3 + 7 a) Acyclovir,
pharyngo-conjunctivitis kadang 1, 4-6, 14 simptomatik, suportif
– Kerato conjunctivitis Adenovirus 1-3, b) Vidarabin mungkin
epidemics 7+8, 9, II, 19 dapat pada awal
infeksi, C.I. untuk .r
– Keratitis punctata selanjttnya
superfisial Thygeson Adenovirus 69, 70, c) IDU tidak efektif +
(Hemorrhagic conjunc- 71 C.I. (Meskipun in vitro
tivitis akuta) sensitif)
d) Vaksinasi (hanya untuk
militer, tidak praktis
untuk masyarakat
umum

Conjunctivitis Virus NCD (New Simptomatik, suportif


Castle Disease)
Conjunctivitis, keratitis, Gol. Pox viruses : Simptomatik, suportif
kerato-conjunctivitis a) MCV (Mollus- Simptomatik, Acyclovir,
Keterangan : Blepharitis ulcerativa cum contagiosum Idoxuridine
*) Kadang-kadang manusia dapat terinfeksi oleh virus Herpes Rhesus-B virus, Mollusco-
dengan prognosis jelek virus hominis)
Tabel 5. Infeksi Viral penyakit mata dan pengobatannya(1) b) virus Vaccinia,
Variola
Manifestasi Etiologi Kemungkinan
klinik penyakit pengobatannya Keratitis punctata Rubeola, Simptomatik, suportif
ringan/sedang, Influenza,
Nekrosis retina sebagian/ CMV - Rubella * Adenine Arabinoside conjunctivitis follicular Mumps
sentrallperiferal, * Ganciclovir (CMV yang berair
Uveitis periferal, Reti- kongenital)
nochoroiditis dengan * Foscamet (Phosphono- Hemorrhagic follicular Gol. Picoma virus*) – Simptomatik, suportif
nekrosis berat (seperti formiat) conjunctivitis + keratitis = Enterovirus tipe _ Contra indikasi
gejala Toxoplasmosis * Vaccine (sebelum punctata (pandemik) 69, 70, 71 , terhadap obat anti
kongenital) transplantasi ginjal) Apollo II viral o.k. terjadi peng-
* Acyclovir kabutan cornea sub
* Vidarabin) tak efektif Epotelial
Varicella Zoster Ophth.: * Simptomatis
* Conjunctivitis, scleritis VZV * Acyclovir, IDU, Keterangan :
* Keratitis, iridocyclitis, (varicella zoster *) Picornaviridae = – Rhinoviruses 105 serotipe
glaucoma virus) Vidarabin – Enterviruses = Coxsackie - A virus — 23 serotipe
Coxasackie - B virus – 6 serotipe
Trachoma a) Chlamydia tra- Sulfonamide, Oxytetra- Echovirus ––––––––– 31 serotipe
Cervicitis-urethritis + chomatis (bukan cyclin, Eritromisin Enterovirus ––––––––– 3 serotipe
conjunctival blennorrhea virus) Sulfonamide, Tetracyclin, 69-70-71
b) Chlamydia oculo- Eritromisin
genital (bukan
virus) pada infeksi primer atau proses reaktivasi dengan titer Ab anti-
Non-purulent Simptomatis, viral lebih rendah dari 1/25.600, langsung diberi pengobatan
conjunctivitis Virus Measles suportif mumi anti-viral yang sesuai.
* Herpetic keratitis HSV – TK (+) * Simptomatis, Acy- 3. Diagnostik laboratorik perlu diusahakan lebih cepat setelah
(Herpes comcalis) clovir*), diagnostik klinik telah jelas, sehingga pengobatan anti-viral
* Purulent conjunctivitis kadang-kadang * Vidarabin*) (yang mahal) dapat dihindarkan, seandainya etiologi penyakit
* Dendritic kcratitis oleh : * 5-jodo-2-deoxyuridine
(HSV rckurcns) HSV – TK (+) & obat-obat inhibitor
bukan virus tetapi hanya Chlamydia yang pengobatannya cukup
* Herpetic conjunctivitis sintesis DNA antibiotika sulfonamid atau eritromisin. Sedangkan apabila go-
anak longan virus RNA yang tidak berbahaya (self limiting disease)
cukup dengan pengobatan suportif murni.
Keterangan : 4. Proteksi terhadap infeksi viral golongan virus DNA adalah
*) Apabila titer Ab anti HSV penderita telah melampaui titer Ab. prolektif
(1/25.600) obat anti-viral TIDAK diberikan mutlak harus diusahakan (lihat tabel pengobatan) mengingat
virus ini cepat menyebar di masyarakat (misalnya HSV/CMV)
adanya reaktivasi karma titer Ab yang menurun di bawah nilai yang dapat menyerang mata pada janin, anak, dewasa sampai
Ab-protektif, sekaligus dapat menentukan kapan harus diberikan masyarakat manula. Vaksinasi untuk penyakit-penyakit ini sedang
obat anti-viral kepada penderita. Erupsi vesikel yang baru sedikit dalam proses pemantapan.

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


KEPUSTAKAAN 6. Haksohusodo Set al. Seroepidemiology of HSV in Yogyakarta, Indonesia.
Microbiol. Im. 1989; 33(9): 793–96.
1. Emond RTD. A Colour Atlas of Infectious Disease. Wolfe Medical Books. 7. Hanshaw JB, Dugeon JA, Marshall WC. Viral disease of the Fetus and
Smeets, Holland. 1974. Newborn. Majorproblem in Clinical Pediatrics. Vol. 17. Philadelphia,
2. Fenner F, White DO. Medical Virology. Second Edition. Academic Press London: WB Saunders Co. 1985.
Inc. New York. USA. 1976. 8. Krugman S, Ward R. Infectious Disease of Children. 4th ed. Mosby Co.,
3. Frenkel J. Toxoplasmosis. Pediatr Clin N Am 1985; 32(4): 917–32. St Louis, 1968; p. 20–30; 119–30; 279–95; 375–87.
4. Gelasso GJ, Merigea TC, Buchanan RA. Antiviral Agents and Viral 9. Matsunaga S et al. Measurement of HSV-antibodies using Phassay-HSV.
Disease of Man. New York: USA. Raven Press. 1979. Rinsho-Kensa-Kiki Shiyaku 1986; 9: 811–815.
5. Haksohusodo S. TORCH Infection affecting the fetus and newborn. 10. Ramsay AM, Emend RTD. Infectious Disease. Second Edition. London:
Advanced Course on Perinatology. Yogyakarta, June 1987. William Heinemann Medical Ltd. 1978.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 29


Rejeksi Transplan
Bondan Harmani
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN kornea.
Pada beberapa keadaan, transplantasi kornea merupakan
satu-satunya cara untuk memperbaiki tajam penglihatan dan Rejeksi transplan (graft rejection)
mengembalikan seseorang pada kehidupan sosial yang normal. Kekeruhan yang terjadi 2–3 minggu setelah transplantasi di
Tetapi pada kenyataannya, kemungkinan untuk terjadinya ke- mana transplan mengalami masa jernih sebelumnya merupakan
keruhan kornea yang disebut rejeksi transplan tetap merupakan terminologi yang dihubungkan dengan proses imunopatofisio-
risiko yang harus dihadapi. logi. Perihal rejeksi transplan akan dibicarakan lebih lanjut.
Beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya rejeksi dan
Antigen
cara-cara untuk menanggulanginya telah banyak diperdebatkan.
Antigen merupakan suatu protein kornea yang dapat diper-
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka kemung-
oleh dengan berbagai cara, antara lain elektroforesis, imuno-
kinan rejeksi ini dapat dikurangi.
elektroforesis, imunodifusi dan lain-lain. Pada kornea bovine
didapatkan 6–15 antigen. Padapenelitian dengan kornea manusia,
DEFINISI
IgG dan IgA didapatkan setengah sampai seperlima bagian
Gagal transplan (graft failure) serum, sedangkan IgM didapatkan dalam jumlah yang lebih
Kekeruhan transplan yang terjadi sebelum 2 minggu pasca sedikit.
transplantasi atau dalam hal ini transplan tidak pernah meng- Remky mendapatkan bahwa pada epitel kornea lebih
alami masa jernih setelah transplantasi. Merupakan terminologi banyak mengandung antigen dibandingkan stroma, dengan
umum untuk kekeruhan transplan. demikian ia berpendapat bahwa stroma kornea donor tidak ber-
Gagal transplan dihubungkan dengan : pengaruh pada proses rejeksi.
a) Kualitas donor Penelitian terakhir mendapatkan antigen histocompatibility
Terdapat kerusakan sel endotel donor sehingga sejak hari dalam proses rejeksi. Antigen ini terdapat pada seluruh per-
pertama, transplan tampak menebal, dengan lipatan-lipatan mukaan sel dan berbeda secara individu. Hal ini yang diperkirakan
membran Descemet. Walaupun kadang-kadang reversibel, te- mengapa pada seseorang dapat terjadi rejeksi sedangkan yang
tapi bila kerusakan sangat berat dan menetap setelah beberapa lainnya tidak. Antigen ini disebut Human Leucocyte Antigen
minggu tanpa mengalami kejernihan, maka transplan dalam (HLA). Didapatkan HLA-A, B, C dan DR. Peranan yang tepat
kcadaan irreversible. dari masing-masing HLA ini masih diperdebatkan, tetapi di-
b) Trauma operasi dapatkan konsensus bahwa HLA memang memegang peranan
Bilik mata depan yang dangkal menyebabkan pergeseran sel penting dalam proses rejeksi.
endotel dengan permukaan iris; perlekatan vitreous dengan endotel
scrta tindakan-tindakan mekanik, selama operasi atau irigasi MEKANISME REJEKSI
yang berlebihan akan menycbabkan disfungsi endotel dan edema Masih menjadi tanda tanya di mana terjadi interaksi antara

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di


Yogygkarta

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


antigen transplan dan sel yang tersensitisasi. Pandangan lama ditentukan adanya proporsi yang tepat pada HLA. Penderita
menyatakan bahwa sensitisasi terjadi ketika materi antigen dengan 2 tipe HLA yang sama, tingkat kegagalan mencapai 26%
transplan tersaring melalui pembuluh limfe perifer ke arah ke- dalam 1 tahun, sementara transplan dengan hanya 1 HLA yang
lenjar limfe regional. Diasumsikan bahwa materi antigen dapat cocok atau tidak sama sekali mempunyai tingkat kegagalan
pula berdifusi melalui kornea atau ke luar melalui pembuluh 57-62%.
limfe memasuki pembuluh limfe konjungtiva ke arah kelenjar
limfe regional. 4) Jenis transplantasi
Satu alternatif dikemukakan oleh Medawar, yaitu sensiti- Transplantasi tembus mempunyai kemungkinan rejeksi
sasi terjadi di perifer, kemungkinan pada pembuluh darah sedikit lebih besar dari lamelar karena beberapa sebab :
sekitar endotel transplan. Limfosit aktif mclewati parenkhim a) Transplan lamelar hanya mempunyai sedikit materi antigen.
transplan dan berjalan melalui pcmbuluh limfe ke kelenjar b) Pada transplantasi lamelar, sel endotel dalam kondisi lebih
regional di mana terjadi penumpukan sc1-sel imunologi. Sel baik.
limfoid aktif yang disebut limfosit memasuki sirkulasi secara c) Sedikit kemungkinan terjadinya kerusakan endotel berhu-
cepat setelah terbentuk pada kelenjar regional. Limfosit ini bungan dengan tindakan bedah.
berumur lama dan bersirkulasi dari pembuluh darah ke pem- d) Endotel dan membran Descemet tetap utuh dan ini akan
buluh darah limfe melalui kelenjar regional. Hidup yang lama ini mencegah sel limfoid yang tersensitisasi mencapai endotel.
dapat menjelaskan adanya persistensi dari reaksi berulang.
Pada transplantasi kornea proses sensitisasi HLA sama TANDA KLINIS
dengan proses di ginjal. Reaksi rejeksi pada manusia dapat terjadi antara 2 minggu
Adanya antibodi limfotoksik jaringan kornea pada pem- atau sampai beberapa tahun setelah transplantasi. Reaksi uvea
buluh darah perifer dapat dideteksi pada pasien dengan rejeksi. mula-mula ringan berupaflare dan set serta akumulasi Keratic
Pada tempat rejeksi terlihat sel PMN dan sel plasma yang precipitate (Kp) pada endotel dan injeksi silier.
menandakan adanya sel antibodi dan komplemen. Pada tipe perifer, Kp terlihat pada bagian bawah transplan.
Garis rejeksi akan migrasi bergerak sentripetal dan pigmen
menumpuk pada endotel. Donor menjadi edem karena sel en-
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI dotel berkompensasi akibat akumulasi sel limfoid.
1) Vaskularisasi kornea Pada tipe difus, Kp menyebar difus di permukaan endotel
Seperti diketahui kelenjar limfe regional dan pembuluh dan beberapa hari kemudian kornea menjadi edam.
limfe berperan pada reaksi transplan. Pada kedua reaksi ini, terbentuk membran pada permukaan
Pada tingkat pembuluh limfe kornea diperlihatkan ke- posterior kornea yang merupakan manifestasi lanjut. Pada pe-
mampuan host untuk mengenali antigen kornea sedangkan untuk nelitian eksperimental memperlihatkan bahwa reaksi epitel,
tingkat vaskularisasi kornea diperlihatkan kemampuan host stroma dan endotel menetap sampai beberapa tahun. Adanya
untuk (a) mengenal antigen, dan (b) membawa sel limfosit ke antigen ini menjelaskan mengapa rejeksi kadang-kadang lambat
tempat rejeksi. Pada penelitian host dengan kornea yang avas- terjadi.
kuler, terjadi rejeksi pada 3,5% transplan dalam waktu rata-rata
10 bulan, sedangkan pada host dengan vaskularisasi sedang Pemeriksaan histologi
(moderate) terjadi rejeksi 65%. Telah diteliti pula bahwa garis Garis rejeksi terdiri dari sel-sel lekosit PMN dan di be-
rejeksi biasanya dimulai di tempat dengan vaskularisasi maksi- lakangnya terdapat limfosit. Lekosit PMN dan limfosit juga ikut
mal. serta dalam rejeksi stroma.
Trauma atau inflamasi akan menyebabakan pelebaran Perubahan sel dapat berupa pelebaran endoplasmic reticu-
pembuluh darah dan menyebabkan neovaskularisasi, yang akan lum, pembentukan vakuola dan gambaran materi fagositosis dan
meningkatkan kemungkinan rejeksi. materi kristal, intrasitoplasma yang menggantikan keratosit
sewaktu kontrak dengan limfosit. Kerusakan struktur normal
2) Letak transplan dari kolagen pada stroma transplan terjadi pada area infiltrasi
Letak transplan yang eksentrik (dekat dengan pembuluh lekosit.
darah dan pembuluh limfe di limbus dibandingkan bila di sentral) Pada rejeksi endotel, garis rejeksi yang terdiri dari limfosit
dan pemakaian transplan yang besar (dekat dengan limbus akan primer bersama-sama dengan fibrin terdapat pada permukaan
membawa faktor antigen yang banyak) dapat meningkatkan endotel. Limfosit ini menginfiltrasi sel endotel dan sering
kemungkinan sensitisasi host dan dihubungkan dengan menggantikan sel endotel yang menutupi sel Descemet pada
meningkatnya kemungkinan rejeksi. Transplantasi kedua (re- area yang rusak berat dan pada area di mana membran Descemet
transplantasi) meningkatkan kemungkinan rejeksi. terbuka ke arah bilik mata depan. Pada keadaan ini edema stroma
tampak pada daerah yang rusak. Nukleus sel endotel menjadi
3) HLA matching lebih besar sedangkan hubungan antar sel akan menghilang.
Pada pasien dengan vaskularisasi yang berat dan mem- Pada kerusakan sel endotel yang parah, sitoplasma tampak
punyai risiko tinggi untuk rejeksi, keberhasilan transplantasi mengalami banyak kerusakan. Sel limfosit, monosit dan fibrin

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 31


tampak pada endotel. Limfosit akan mencapai sel endotel melalui Steroid akan meningkatakn adenilsiklase, siklik AMP (cAMP)
membran Descemet yang terbuka dari pembuluh darah yang pada lekosit, meningkatkan respon cAMP yang dihasilkan oleh
memasuki stroma. Membran Descemet akan membaik dalam prostaglandin E, dan memperkuat efek (3-adrenergic catechol-
beberapa bulan, dan perjalanan limfosit ini akan tertutup. Bila amine. Semua proses di atas akan menghilangkan terlepasnya
terjadi rejeksi, maka penyembuhan membran ini akan tertunda. amin vasoaktif (heparin.serotonin, histamin dan lain-lain) dari
Pada penelitian binatang kelinci, di mana sel limfoid tersen- sel mast dan sel basofil. Histamin yang terkandung dalam ja-
sitisasi oleh antigen donor dan resipien maka sel akan memasuki ringan akan dikurangi sehingga.dapat terjadi eosinopenia.
bilik mata depan dan tampak sebagai pock like areas pada sel Steroid juga menyempitkan pembuluh darah dan proses ini
endotel yang rusak. akan mengurangi permeabilitas vaskuler dan neovaskularisasi
Bila sel limfoid cocok dengan transpian tetapi tidak cocok postinflamasi. Penurunan ini akan berpengaruh pada kedua faktor
dengan resipien, maka jaringan transplan tetap jemih tetapi di- aferen dan eferen dari proses fenomena rejeksi.
kelilingi oleh daerah endotel resipien yang rusak. Gambaran Khemotaksis neutrofil akan hilang dan akan dicapai ke-
pock like area ini berbeda pada manusia dan peneliti berpen- stabilan enzim lisosoma, dan akhimya akan mengurangi jumlah
dapat bahwa sel limfosit yang tersensitisasi tersebut datang dari nekrosis jaringan dan neovaskularisasi. Proses ini juga me-
pembuluh darah yang tertekan bukan berasal dari humor aquos. nurunkan sejumlah monosit.
Proses perbaikan tergantung dari penyebaran sel endotel di Steroid dapat berperan langsung pada sistem imun.
antara donor resipien. Perbaikan ini tidak terdapat pada endotel Limfopenia dapat tercapai dalam 4-6 jam. Limfosit T lebih
manusia. Bila sel endotel mengalami kerusakan yang parah, sensitif terhadap steroid dibandingkan limfosit B. Proliferasi,
maka akan terbentuk membran retro korneal. Sel membentuk fungsi serta sirkulasi limfosit akan dihambat. Makrofag juga
membran Descemet yang rusak. terpengaruh dengan menurunkan metabolismenya.
Michels dan kawan-kawan berpendapat bahwa metaplasia Steroid akan mengurangi gerakan kompleks antigen anti-
sel endotel mungkin berperan alas terbentuknya membran retro bodi yang melalui membran basalis. Sebagian atau seluruh
korneal. steroid berperanan dalam rejeksi transplantasi, sebagai contoh
bahwa fagosit pada endotel transplan akan rusak dalam 24 jam
PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN pemakaian deksametason topikal.
Tindakan bedah
Terdapat cara pembedahan yang dapat menurunkan risiko Steroid topikal
rejeksi. Pembuangan lapisan epitel akan menurunkan jumlah Pada tingkat dini, rejeksi endotel bereaksi dengan terapi
antigen dan menurunkan jumlah sel-sel Langerhans. Prosedur steroid topikal, garis rejeksi pada endotel tetap di perifer, hanya
ini jangan dilakukan bila epitel yang intak diperlukan seperti tampak beberapa Kp dan edema stroma hanya ringan atau mod-
pada kasus trauma kimia. erate. Bila garis rejeksi makin menyebar dan lebih banyak
Penggunaan transplan yang kecil (7,5 mm) akan menurunkan endotel yang rusak, steroid hanya menunda proses destruksi
penyerbuan zat antigenik dan meletakkan jaringan donor jauh tetapi tidak dapat mempertahankan kejernihan transplan.
dari pembuluh darah limbal. Peletakan ini akan lebih baik pada Terapi steroid topikal yang adekuat dapat mengontrol atau
posisi sentral. mencegah reaksi kornea. Cukup diberikan dosis rendah anti
Pengangkatan jahitan terputus segera setelah terlihat ja- inflamasi dan dosis tinggi yaitu 15-30 menit. Pada saat pasca
ringan fibrovaskuler mencapai transplan akan menurunkan transplantasi dapat diberikan efek anti inflamasi, tetapi bila ter-
neovaskularisasi. Jahitan jelujur akan mencegah kebutuhan lihat proses rejeksi maka dapat diberikan dosis imunosupresi.
pengangkatan jahitan yang lebih awal. Nilon lebih baik dari
sutera dan akan menurunkan neovaskularisasi yang disebabkan Steroid subkonjungtiva
oleh jahitan. Bila diberikan subkonjungtiva maka preparat deksametason
lebih baik penetrasinya dibandingkan triamsinolon.
Penyimpanan donor
Beberapa cara dianjurkan untuk menurunkan faktor antigen Steroid sistemik
donor. Pemakaian kornea donor yang disimpan dalam kultur Bila dibutuhkan dapat diberikan 10-12 tablet prednison se-
organ atau media cair lainnya akan menurunkan risiko rejeksi. tiap hari sampai 2 m inggu, bersama-sama pemberian topikal. Se-
Pada kornca yang disimpan dalam media, tampak hilangnya telah 2 minggu dosis diturunkan dan dosis topikal ditingkatkan.
lapisan epitel yang berarti mengurangi faktor antigen. Pemberian alternating dengan dosis tinggi pada pagi hari akan
Cara yang lain adalah dengan merendam kornea di dalam mengurangi efek samping (seperti supresi adrenal) pada
scrum resipien dcngan asumsi bahwa protein donor akan larut pcmakaian jangka lama.
dan digantikan protein dari serum resipicn. Demikian pula
lekosit dan makrofag resipien disensitisasi oleh antigen donor. Terapi yang lain
Saat ini yang sering dipakai adalah siklosporin A. Selain
Kortikosteriod itu dipakai pula indometasin.
Steroid berperan pada banyak aspck dari rcaksi inflamasi. Siklosporin A merupakan imunomodulator kuat yang be-

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


kerja pada tingkat awal dari proses sensitisasi antigen, dengan Efek samping pengobatan
menekan fungsi limfosit T. Siklosporin A tidak menghambat Pengangkatan jahitan yang terlalu cepat akan menyebabkan
sistim fagositosis, tidak menghambat penyembuhan luka, kebocoran dan komplikasi lainnya. Bila kornea donor diletakkan
meningkat.kan tekanan intraokuler atau menginduksi perubahan dalam media kultur, harus diperhatikan kemungkinan konta-
lensa. minasi mikroorganisme di dalam media.
Pemakaian steroid yang lama akan menimbulkan reaksi
HLA matching alergi, gangguan mental Berta ulkus peptikum, diabetes, edema
Pemakaian jaringan kornea yang telah dilakukan HLA match- dan lain-lain. Pemakaian steroid topikal dapat memperlambat
ing akan berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi (vasku- penyembuhan dan mengganggu epitelisasi. Katarak dan glaukoma
larisasi kornea resipien). merupakan efek samping pemakaian steroid jangka panjang.
KEPUSTAKAAN
Retransplantasi 1. Smolin G. Ocular Immunology. Lea & Febiger Philadelphia 1981; hal.
Bila semuanya gagal, maka retransplantasi dapat diker- 247-283.
jakan. Bila edem kornea menetap setelah beberapa bulan maka 2. Smolin G. Inmmunology, The Cornea. Little, Brown and Company,
Boston/Toronto 1983; 95-97.
penderita dipersiapkan untuk retransplantasi. Retransplantasi 3. Volker-Diben HJ. The Effect of Immunological and Non-Immunological
mempunyai risiko rejeksi lebih besar daripada transplantasi Factors on Cornea Graft Survival. Dr W Junk Publisher/The Haque-
sebelumnya. Boston-Lancester 1984; 67-77.

Kalender Kegiatan Ilmiah


November 21-24, 1993 : KONGRES NASIONAL III PERKUMPULAN ENDO-
KRINOLOGI INDONESIA
Hotel Patra Jasa, Semarang, Indonesia
Secr.: Sub Bagian Endokrinologi–Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedoktcran Universitas Diponegoro/
RS Dr. Kariadi
Jl. Dr. Sutomo 16
Semarang, INDONESIA
Telp./Fax : 024 - 311759

Going to church doesn't make you. a Christian any more than going
to garage makes you an automobile (Billy Sunday)

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 33


Aspek Genetika pada Kelainan Uvea
Hartono
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada UPF. Penyakit Mata/Rumah Sakit Umum Pusat
Dr Sardjito, Yogyakarta

Key Words : genetic disease - iris abnormalities - structural abnormalities - pigmentary


abnormalities - HLA associated uveitis.

PENDAHULUAN Kalau dahulu pembuktian bahwa suatu kelainan atau sifat


Dengan makin berkurangnya penyakit infeksi dan malnu- normal merupakan karakter yang diwariskan biasanya hanya
trisi maka peran penyakit genetik menjadi sangat penting(1). berdasarkan pada kajian silsilah keluarga, kajian anak kembar,
Kalau dahulu penyakit genetik biasanya hanya dihubungkan dan kajian saudara-saudara penyandang karakter tertentu, se-
dengan masalah kecacatan bawaan, maka saat ini diketahui karang kajian-kajian dasar tersebut telah dikembangkan untuk
bahwa faktor genetik bahkan berperan pada kejadian beberapa mengetahui letak genanya dalam kromosom. Beberapa kajian
penyakit infeksi seperti difteri, dan adanya asosiasi antara HLA untuk mengetahui letak gena dalam kromosom di antaranya
dengan penyakit tertentu. adalah (1) analisis rangkai gen, (2) hibridisasi seluler, (3) hibri-
Penyakit genetik sangat banyak macamnya, tetapi keba- disasi molekuler, (4) pemetaan endonuklease restriksi, (5) ho-
nyakan frekuensi masing-masing penyakit genetik sangatlah mologi, (6) kajian aberasi kromosom, dan (7) pemetaan delesi
kecil. Namun demikian ada beberapa macam penyakit genetik dan efek dosis(3).
yang sering ditemukan pada etnik tertentu atau di daerah tertentu, Mata merupakan organ yang sangat sering terlibat dalam
misalnya penyakit Tay-Sachs pada orang Jahudi Askenazik, kelainan genetik baik sebagai kelainan terscndiri maupun se-
penyakit anemia sel sabit pada orang-orang Negro, penyakit bagai bagian dari sindrom tertentu. Geeraets (1976) telah
talasemia pada orang-orang di sekitar laut Tengah, dan anensefali mengumpulkan sebanyak 436 sindrom penyakit yang disertai ke-
pada orang-orang Irlandia(2). lainan mata, baik sindrom yang diwariskan (genetis) maupun
McKusick (1990) dalam edisi ke-9 bukunya yang terkenal nongenetis. Pengenalan kelainan mata genetis dengan demikian
dengan singkatan MIM (Mendelian Inheritance in Man) atau akan menjadi sangat penting agar dapat memberikan pertolongan
juga dikenal sebagai katalog McKusick, tclah mengumpulkan kepada pasien secara tcrpadu dan memadai.
kira-kira 5000 karakter monogenik atau yang diwariskan Dalam tulisan ini akan dibicarakan beberapa penyakit mata
mengikuti hukum Mendel, dan 4000 di ant9ranya adalah me- genetis, khususnya mengenai uvea. Pembicaraan hanya akan
rupakan karakter abnormal (penyakit). Dari 5000 karakter tadi dibatasi mengenai beberapa kelainan, untuk memberikan gam-
2000 diantaranya tclah diketahui letak genanya di dalam baran peran genetiknya.
kromosom inti sel(3).

Disampaikan pada Seminar RED-Kornea-Uvea Perdarni XXI, 9-10 Juli 1993


di Yogyakarta

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


PEMBAGIAN PENYAKIT GENETIK ASPEK GENETIK KF.LAINAN UVEA
Penyakit pada umumnya dapat digolongkan menjadi pe- Dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan beberapa kelain-
nyakit yang sebabnya karena faktor lingkungan, penyakit yang an uvea anterior (iris), baik mengenai kelainan bentuk, kelainan
sebabnya karena faktor genetik, dan penyakit yang sebabnya pigmentasi (warna), dan radang pada iris.
karena gabungan antara faktor lingkungan dan faktor genetik(1).
1. Kelainan bentuk iris
Lamy (1975) membagi penyakit genetik menjadi penyakit gen,
a) Koloboma iris
penyakit kromosom, penyakit cmbriopati(4).
Koloboma iris adalah cclah iris kongenital pada sektor nasal
Penyakitgen mutan, genopati dapatdibagi menjadi genopati
bawah, yang terjadi karena kegagalan penutupan mangkok optik
malformatif, genopati tisuler, dan genopati molekuler(5). Ber-
pada daerah fisura fetalis.
dasarkan sifat mutasi gen (dominan atau resesif) dan letak gen
Kelainan ini dapat beragam dari adanya lekukan pada pupil
dalam kromosom inti sel (pada autosom atau kromosom kela-
sampai defek sektoral jaringan uvea yang meluas dari iris sampai
min-X atau Y), maka pewarisan penyakit gen (penyakit genetik
nervus optikus(6). Fisura fetalis ini secara normal menutup pada
dalam arti sempit) dapat dibagi menjadi penyakit dominan
minggu kelima dan keenam pada saat embrio berukuran 10
autosom (DA), resesif autosom (RA), dominan terangkai-X
sampai 18 mm(7).
(D-X), resesif terangkai-X (R-X), dan terangkai-Y atau holan-
Mengenai pewarisan kelainan ini sebenarnya Snell pada
drik. Di samping gen dalam inti sel juga terdapat gen mito-
tahun 1908 telah memperlihatkan pewarisan koloboma iris pada
kondria. Mutasi gen mitokondria akan menyebabkan penya-
5 generasi yang menunjukkan adanya pewarisan dominan auto-
kit mitokondria, misalnya penyakit Leher. Karena pada sel benih
som. Kajian silsilah keluarga sampai saat ini tetap menyokong
(garnet) mitokondria hanya terdapat pada sel telur, maka pewaris-
adanya pewarisan dominan autosom. Kelainan ini mungkin
an penyakit mitokondria adalah istimewa, yaitu mengikuti garis
berbeda dengan aniridia. Gen untuk koloboma iris, khoroid, dan
ibu (maternal line), artinya hanya diwariskan dari ibu yang sakit.
retina telah diketahui berada pada kromosom nomor 2, tepatnya
Penyakit kromosom disebabkan oleh kelainan jumlah kro-
pada 2pter-p25.1 dekat dengan gena aniridia-l(3).
mosom atau kelainan struktur kromosom. Penyakit kromosom
biasanya menyebabkan kelainan berat, baik fisik maupun men- b) Aniridia
tal, dan bahkan letal (menyebabkan kematian), kecuali pada ke- Aniridia yang berdiri sendiri atau disertai kelainan mata
lainan kromosom kelamin bentuk tertentu. Kelainan kromosom yang lain memperlihatkan ekspresivitas (penampakan) yang
tidak selalu dapat dideteksi pada analisis kromosom, terutama sangat beragam. Aniridia biasanya disertai dengan pengurangan
pada delesi yang sangat kecil. Karena kelakuan kromosom saat visus, nistagmus, katarak, strabismus, ambliopia, dan hipolasia
pembentukan garnet juga mengikuti kaidah Mendel, maka pada nervus optikus(8). Kelainan iris sendiri dapat berupa (1) aniridia
dasarnya pewarisan penyakit kromosom adalah seperti pewaris- total, (2) tersisanya sedikit iris, (3) koloboma atipik, (4) kolo-
an penyakit dominan, asalkan kelainan kromosom tadi tidak boma tipik dengan penipisan iris, dan (5) penipisan iris dengan
berefek letal, cacat berat, atau infertilitas. pupil yang bulat(3.8). Pada pembawa gen yang mempunyai pupil
Embriopati adalah penyakit embrio dapatan akibat terpa- bulat, Mintz-Hittner et al. (1992) dapat memperlihatkan adanya
parnya si ibu saat kehamilan muda dengan bahan teratogenik. ketidak sempurnaan koloret dan pengurangan zona avaskuler
Jadi embriopati bukan penyakit genetik. Tetapi karena gambaran fovea(9).
fenotip embriopati tertentu sering menyerupai sindrom penyakit Pewarisan aniridia pertama kali dilaporkan oleh Macklin
genetik yang dikenal (efek fenokopi), maka embriopati penting pada tahun 1927, dan bersifat dominan autosom(10). Pewarisan
sebagai diagnosis banding. demikian tetap terbukti sampai sekarangdan bahkan letak genanya
Mengenai risiko rekurensi (artinya munculnya kembali dalam kromosom telah diketahui, Letak gena aniridia bisa berada
penyakit yang sama setelah kelahiran anak cacat) untuk penyakit pada kromosom nomor 2, yaitu pada 2p25 dekat dengan gena
monogenik adalah berkisar antara 25% sampai 100% (kecuali koloboma uvea, dan pada kromosom nomor 11, yaitu pada
pada mutasi baru); pada penyakit kromosom tergantung pada l 1p13. Aniridia yang disebabkan oleh mutasi gena pada kromo-
kariotip anak, ayah dan ibu; dan pada embriopati risiko rekuren som nomor 2 dan nomor 11 tidak dapat dibedakan. Aniridia yang
tadi praktis nol. Hal ini punting pada pemberian penyuluhan disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom nomor 2 disebut
genetik, karena ada penyakit yang ringan tetapi risikonya tinggi aniridia-1, sedangkan yang disebabkan oleh mutasi gen pada
dan ada penyakit yang berat tetapi risiko rekurensinya sangat kromosom 11 disebut aniridia-2(3). Angka mutasi untuk aniridia-
rendah. Kedua keadaan tadi biasanya bisa diterima oleh pasang- 1 dan aniridia-2 secara keseluruhan adalah 2,5 sampai 5 x 10-6 per
an suami-istri, dan mereka tidak takut untuk mempunyai anak garnet per generasi(11). Di samping aniridia autosomal dominan,
lagi. ternyata pada orang-orang Jepang juga dijumpai aniridia auto-
Dalam menetapkan diagnosis penyakit genetik dan cara somal resesif. Aniridia jenis ini mempunyai makula yang
penetapan pewarisannya, serta menentukan risiko rekurensinya baik(11).
kadang-kadang tidak mudah. Beberapa penyulit untuk ini adalah c) Aniridia bersama dengan tumor Wilms (sindrom WAGR)
(1) jumlah anak yang semakin sedikit, (2) adanya heterogenitas Tumor Wilms adalah tumor embrional ginjal yang analog
genetis, (3) adanya gen nonpenetran, (4) adanya keragaman dengan retinoblastoma dalam arti bahwa tumor ini diwariskan
ekspresivitas, dan (5) adanya mutasi baru(4). secara Mendel dan disebabkan oleh gangguan pada gen penekan

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 35


tumor atau tumor suppresor gene(11). Ternyata gen untuk timbul- kamptodaktili kelingking. Selain mikroftalmia pada mata juga
nya tumor Wilms ini sangat berdekatan letaknya dengan gen ditemukan iris yang halus dan berpori-pori. Pewarisan kelainan
untuk aniridia-2, yaitu pada 11p13. Delesi pada 11p13 ternyata ini adalah dominan autosom dengan ekspresivitas yang beragam.
mempunyai asosiasi dengan sindrotm WAGR (Wilms tumor, 4) Sindrom mata kucing (cat eye syndrome)
Aniridia, Genitourinary anomalies, and mental Retardation). Sindrom ini mempunyai gejala utama berupa koloboma iris,
Keadaan demikian adalah serupa dengan asosiasi antara delesi atresia ani, dan apendages preaurikuler. Kelainan merupakan
13q14 dengan retinoblastoma(12). Demikian pula teori dua kali penyakit kromosom, yaitu suatu trisomi parsiil kromosom 22,
mutasi dari Knudson juga berlaku untuk tumor Wilms(11). karena adanya tambahan 22q.
Kalau asosiasi antara delesi 13q14 pertama kali ditemukan
2. Kelainan warna iris
oleh Miller et al pada tahun 1964, maka asosiasi antara delesi
a) Albinisme
11p13 dengan sindrom WAGR ditemukan oleh Riccardi et at
Warna mata ditentukan oleh wama iris, dan warna iris ini
pada tahun 1978(3). Jadi aniridia-2 dapat berdiri sendiri atau
merupakan salah satu kriteria penentuan kekembaran secara
sebagai bagian dari sindrom WAGR.
fisik(15). Galton pada tahun 1889 membagi warna iris menjadi 8
Demikian pula tumor Wilms juga bisa berdiri sendiri atau
kategori, yaitu: cerah, biru dan biru gelap, hijau dan hijau biru,
sebagai bagian dari sindrom WAGR. Rupanya patahan pada
abu-abu gelap, coklat muda, coklat dan coklat tua, gelap, dan
11p13 akan menyebabkan aniridia-2, sedangkan delesi daerah
hitam(10).
11p13 akan menyebabkan sindrom WAGR. Dengan demikian
Albinisme termasuk dalam satu kelompok besar kelainan
adanya aniridia yang disertai kelainan genitourinaria atau re-
okulokutaneus. Ada dua jenis albino yaitu albino okulokutaneus
tardasi mental perlu dicari apakah juga menderita tumor Wilms
dan albino okuler. Albinisme okulokutaneus disebabkan oleh
dengan pemeriksaan USG berkala.
kekurangan atau ketiadaan pigmentasi pada kulit, rambut, dan
d) Pupil ektopik
mata. Pada albinisme okuler, terutama yang mengalami ganggu-
Pupil ektopik biasanya merupakan bagian dari ektopia lentis
an pigmentasi adalah mata. Kedua bentuk albinisme ini masih
dan pupil. Ektopia lentis dan pupil merupakan 7–19% dari ke-
dibagi lagi menjadi beberapa bentuk. Kedua bentuk albinisme
seluruhan ektopia lentis, dan ektopia lentis tanpa ektopia pupil
tadi sering disertai hipoplasi fovea, fotofobia, nistagmus dan
adalah 81–90%(13).
pengurangan tajam penglihatan.
Pada kelainan ini pupil berbentuk lonjong atau berbentuk
Albino okulokutaneus secara garis besar dibagi menjadi
celah, terletak ektopik, dan sulit dilatasinya. Kelainan ini biasa-
negatip tirosinase dengan frekuensi 1 dalam 13.000 kelahiran;
nya bilateral, asimetris, dan kadang-kadang terdapat mikrosfe-
positip tirosinase dengan frekuensi 1 dalam 15.000 kelainan path
rofakia. Katarak, glaukoma, dan ablasio retina dapat menyertai
Negro dan 1 dalam 40.000 pada kulit putih (Worobec-Victor et
kelainan ini(13). Pupil ektopik dapat pula vertikal sehingga
al., 1986). Albino okuler ditandai oleh hipomelanosis terutama
menyerupai mata kucing (Sorsby, 1951).
pada uvea dan retina, dengan atau tanpa hipopigmentasi fokal
Mengenai pewarisan pupil ektopik telah diperlihatkan oleh
pada kulit. Pewarisan albino okulokutaneus sebagian besar adalah
Waardenburg pada tahun 1932. Kelainan ini sebagian diwaris-
resesif autosom. Pewarisan albino okuler dapat secara terangkai-
kan secara dominan autosom dan sebagian diwariskan secara
X, resesif autosom, maupun dominan autosom (Worobec-Victor
resesif autosom (Sorsby, 1951; Nelson & Maumene, 1986).
et al., 1986).
e) Kelainan bentuk iris yang lain
b) Sindrom Waardenburg
Beberapa sindrom genik maupun kromosomik sering di-
Sindrom ini pertama kali dilaporkan oleh Waardenburg
sertai adanya kelainan bentuk iris yang abnormal. Beberapa
pada tahun 1951. Ia menemukan sindrom ini path 1,4% dari
sindrom yang perlu disebutkan adalah(14) :
anak-anak yang menderita ketulian bawaan. Berdasar data ini,
1) Sindrom kuku-patela maka perkiraan insidensi sindrom Waardenburg di Negeri Be-
Sindrom ini mempunyai tanda utama berupa displasia landa adalah 1 per 42.000 penduduk(16). Sindrom Waardenburg
kuku, hipoplasia patcla, dan spina iliaka yang menonjol. Pada memperlihatkan ekspresivitas yang beragam.
penderita ini kadang-kadang ditemukan iris yang berbentuk daun Hageman dan Delleman membedakan 2 jenis sindrom
semanggi. Sindrom kuku-patela diwariskan secara dominan Waardenburg (SW) yaitu: tipe I (SW I) dan tipe II (SW II) ber-
autosom. dasar ada tidaknya telekantus (Jones, 1988). Selanjutnya di-
2) Neurofibromatosis temukan adanya tipe III (SW III) dan tipe IV (SW IV). Gejala
Neurofibromatosis merupakan salah satu anggota fakoma- pokok SW I adalah (1) distopia konmtoreum, (2) akar hidung
tosis (hamartoma) dengan tanda utama berupa neurofibromata lebar, (3) hipertrikosis, (4) hipopigmentasi kulit dan rambut
multipcl, bcrcak kulit warna kopi susu (tache cafe au tail), dan kepala, (5) hcterokromia iris total atau parsial, (6) ketulian
lesi tulang. Pada iris pendcrita suing ditemukan nodula Lisch kongenital unilateral atau bilateral. Gejala pokok SW II adalah
(hamartomata iris pigmentosa). Penyakit ini diwariskan secara seperti SW I, tetapi tanpa telckantus. SW III disebut juga sin-
dominan autosom dengan ekspresivitas yang sangat beragam. drom Klcin-Waardenburg atau SW yang disertai kelainan
3) Sindrom okulodentodigital anggota alas, sedangkan SW IV disebut pula varian SW yang
Sindrom ini ditandai oleh mikroftalmia, hipoplasi email, dan disertai megakolon(17).

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


c) Kelainan pigmentasi iris lain bersifat kodominan. Secara teoritis akan terdapat kombinasi
Beberapa sindrom kromosomik juga sering ditandai oleh fenotip HLA sebanyak 3 x 107. Tetapi di dalam kenyataan hanya
kelainan wama (pigmentasi) iris. Beberapa sindrom yang perlu HLA tipe tertentu yang lebih sering dijumpai.
dikenal adalah(12,14,16) : Antibodi-antibodi terhadap antigen HLA dapat diperoleh
1) Sindrom Angelman dari para wanita multipara(19), tetapi tidak seperti antibodi ter-
Sindrom Angelman ataiu sindrom boneka gembira (happy hadap Rhesus, maka antibodi terhadap antigen HLA tidak ber-
puppet syndrome) ditandai oleh cara berjalan seperti boneka pengaruh pada fetus. Pewarisan HLA adalah secara kodominan
gembira, tertawa paroksismal, dan muka (wajah) yang khas. dan gena-gena tadi diwariskan dalam satu blok, karena gena-
Penderita ini memperlihatkan iris berwarna biru pucat. Sindrom gena tadi letaknya saling berdekatan (terangkai erat). Namun
ini mungkin diwariskan secara resesif autosom. demikian pindah silang juga dapat terjadi, dan pada urutan gena
2) Sindrom Down tertentu maka frekuensinya lebih besar dibandingkan dengan
Sindrom ini disebut pula mongolisme atau lebih tepat di- yang diharapkan apabila terjadi pindah silang secara normal.
sebut trisomi 21. Trisomi 21 merupakan kelainan-kromesom Keadaan demikian disebut linkage disequilibrium(18).
yang paling sering dijumpai, yaitu dengan frekuensi 1 per 700 Pada mulanya HLA ini diperkirakan hanya penting artinya
kelahiran. dalam genetika transplantasi, karena transplantasi antara dua
Trisomi 21 mempunyai tanda utama hipotoni, muka bulat individu kembar identik akan berhasil baik (mempunyai kesa-
dan datar, celah mata miring ke samping atas, bercak Brush- maan HLA praktis 100%), sedangkan pada dua individu yang
field pada iris, daun telinga kecil, dan leher lebar. Bercak Brush- hubungan keluarganya jauh maka hasilnya buruk karena adanya
field tampak jelas pada mata biru, berupa bercak-bercak kecil, perbedaan HLA yang besar (kecuali pada transplantasi kornea
putih, agak ireguler, membentuk cincin pada pertengahan se- yang memenuhi syarat). Ternyata sekarang antigen permukaan
pertiga intema dan sepertiga eksterna iris. ini banyak dihubungkan dengan kejadian penyakit tertentu yang
3) Sindrom X-fragil dahulu belum diketahui penyebabnya.-Individu dengan HLA
Sindrom X-fragil atau sindrom Martin-Bell merupakan tertentu temyata mempunyai risiko lebih tinggi untuk penyakit
penyakit kromosom yang lebih sering mengenai laki-laki. Sin- tertentu dibanding individu lain. Sebenarnya adanya asosiasi
thorn ini ditandai dengan defisiensi mental, displasia ringan marker genetika dengan penyakit tertentu telah lama diketahui,
jaringan ikat, dan makroorkhidisme. Pada mata ditemukan ada- misalnya asosiasi antara golongan darah 0 non sekretor dengan
nya iris yang berwarna biru pucat. ulkus peptikum pada tahun 1920. Mengenai HLA, pada tahun
1960 ditemukan adanya asosiasi antara HLA dengan penyakit
3. Uveitis dan HLA Hodgkin(3).
Antigen per,mukaan pada eritrosit telah lama dikenal, yaitu Adanya asosiasi HLA tertentu dengan uveitis jenis tertentu
misalnya yang menentukan golongan darah ABO, MNS dan mula-mula didasarkan pada adanya beberapa jenis uveitis yang
Rhesus. Antibodi terhadap antigen AB terdapat pada individu bersifat familial. Asosiasi antara HLA tertentu dengan uveitis
yang justru tidak mempunyai antigen AB, sedangkan anti Rhesus tertentu misalnya adalah(20,21) :
terjadi pada kehamilan yang tidak sesuai. Kemudian ternyata a) Iritis pada penyakit Behcet
juga terdapat antigen permukaan yang terdapat pada lekosit yang Penyakit ini ditandai oleh triad iritis, stomatitis aftosa, dan
disebut HLA (Human Leucocyt Antigen atau Histocompatibility ulserasi genitalia. Kelainan mata dapat pula berupa vaskulitis
Locus Antigen) yang merupakan bagian MHC (MajorHistocom- retina, oklusi vena retina, uveitis posterior, neuritis dan neuro-
patibility Complex). MHC sendiri merupakan seperangkat gena retinitis, dan akhimya timbul katarak.
yang terdapat pada kromosom nomor 6 pada lengan p(3). Tern yata penyakit Behcet mempunyai asosiasi dengan HLA-
MHC terdiri dari 3 kelas gena, yaitu kelas I, II, dan III. Yang B5. Pada orang Jepang temyata 30% orang normal mempunyai
termasuk HLA adalah I dan II, sedangkan kelas III meliputi gena- HLA-B5; sedangkan pada penderita sindrom Behcet maka 70%
gena untuk faktor B properdin, komplemen C2 dan C4, serta mempunyai HLA-B5. Keadaan demikian juga ditemukan di
hidroksilase-21(11,18). Selanjutnya temyata bahwa antigen HLA Perancis, Inggris, Israel, Turki, Jerman, dan Tunisia. Penyakit
tidak hanya terdapat pada dinding lekosit, tetapi juga terdapat Behcet temyata lebih berat pada kasus familial dan asosiasinya
pada dinding sel tubuh yang lain(11). lebih kuat pada pria daripada wanita.
Gena-gena kelas I meliputi HLA-A, HLA-B dan HLA-C b) Uveitis anterior pada spondilitis ankilosa
yang mengkode protein membran plasma sel-sel berinti. Gena- Penyakit ini ternyata mempunyai asosiasi kuat dengan HLA-
gena ini mengalami mutasi berkali-kali yang bersifat kodomi- B27, dan pada adanya antigen ini menyebabkan individu mem-
nan, sehingga terbentuk alel ganda (multiple allele), untuk HLA- punyai risiko terkena uveitis anterior adalah 20 kali lebih sering.
A (misalnya Al, A2), HLA-B (misalnya B12, B27) dan untuk HLA- HLA-B27 adalah positip pada 5–8% untuk kontrol normal dan
C (misalnya Cw1, Cw2). positip pada 85% untuk penderita spondilitis ankilosa.
Gena-gena kelas II meliputi HLA-DP, HLA-DQ dan HLA- c) Uveitis pada sindrom Reiter
DR yang mengkode antigen terutama pada limfosit B, makrofag Sindrom Reiter sering terjadi pada pria, dan ditandai oleh
dan limfosit T teraktivasi; tetapi kadang-kadang juga pada sel- uretritis non-bakterial, artritis, konjungtivitis, dan iridosiklitis
sel yang lain(11). HLA ini juga mengalami mutasi berkali-kali dan rekuren. Ternyata 75–80% kasus sindrom Reiter mempunyai

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 37


HLA-B27. peran faktor genetik untuk kejadian beberapa bentuk uveitis tadi.
d) Iridosiklitis tanpa varian rematoid Karena kelainan uvea mungkin merupakan bagian dari sin-
Insidensi uveitis anterior akuta ternyata ditemukan lebih thorn klinik yang lebih berat, maka perlu pemeriksaan yang
sering pada keluarga derajat satu dari penderita uveitis anterior lebh teliti atau konsultasi ahli lain. Pemeriksaan yang seksama
akuta yang mempunyai HLA-B27. Di Negeri Belanda kira-kira pada anggota keluarga penderita adalah penting karena bebe-
50% penderita uveitis anterior akuta mempunyai HLA-B27. rapa kelainan uvea memperlihatkan ekspresivitas yang beraneka
e) Iridosiklitis pada artritis rematoid juvenilis ragam.
Artritis ini merupakan satu bentuk artritis rematoid juve-
nilis, berupa monoartritis atau pausiartritis, sering terjadi pada KEPUSTAKAAN
pria. Sebanyak 10–20% kasus juga menderita uveitis anterior
1. Emery AEH, Mueller RF. Element of Medical Genetics, 7th ed. Churchill-
akuta, dan 75% dari mereka mempunyai HLA-B27. Livingstone, Edinbvurg. 1988.
Mengapa HLA tertentu (misalnya HLA-B27) memperlihat- 2. Garver KL, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975.
kan asosiasi dengan penyakit tertentu (misalnya spondilitis 3. McKusick VA. The Morbid Anatomy of the Human Genome. Howard
ankilosa) masih kabur. Untuk menerangkan hal ini ada dua Hughes Medical Institute, Bethesda. 1988.
4. Lamy M. Genetique Medicale, 2eme ed. Masson & Cie Editeurs, Paris.
hipotesis(18) : 1975.
1) Hipotesis rangkai gen, misalnya kepekaan terhadap spon- 5. Robert JM, Plauchu H. Genetique. dalam Debre R, Royer P (eds):
dilitis ankilosa paling tidak sebagian disebabkan oleh satu alel Collection Pediatric. Flammarion Medicine Sciences, Paris 1977. pp. 29-
Ank, yang merupakan gen yang letaknya dekat dengan lokus 37.
6. Scheie HG, Albert DM. Textbook of Ophthalmology, 9th ed. W.B. Saun-
HLA-B. Diperkirakan terdapat ketidakseimbangan rangkai gen ders Company, Philadelphia. 1977.
(linkage disequilibrium) dari ank B27, artinya bahwa gen Ank 7. Barber AN. Embryology of Human Eye. St. Louis: C.V. Mosby Co., 1955.
lebih sering bersama dengan HI,A-B27 dibanding dengan HLA- 8. Hittner HM, Roccardi VM, Ferrel RE, Borda RR, Justice J. Variable
B yang lain yang diharapkan apabila terjadi kombinasi secara expressivity in autosomal dominant aniridia by clinical electrophysiologic
and angiographic criterias. Am. J. Ophthalmol 1980; 89: 53-9.
acak. 9. Mints-Hittner HA, Ferrel RE, Lyons LA, Kritzer FL. Criteria to detect
2) Hipotesis efek antigen, yang mengatakan bahwa polipeptida minimal expressivity with families with autosomal dominant aniridia. Am.
yang dibentuk atas perintah (dikode oleh) alel B27 menyebabkan J. Ophthalmol 1992; 114: 700-7.
individu peka terhadap penyakit spondilitis ankilosa. Mungkin 10. Gates RR. Human Genetics. Vol. I. The Mac Milian Company, New York.
1952.
antigen B27 adalah reseptor permukaan sel untuk virus atau 11. Thompson WM, Mc Innes RR, Willard HF. Thompson & Thompsor
patogen yang lain. Atau molekul B27 mungkin menycrupai anti- Genetic in Medicine, 5th ed. W.B. Saunders Company, Philadephia. 1991.
gen suatu patogen, sehingga antibodi yang ditunjuk untuk me- 12. DeGrouchy J, Turleau C. Clinical Atlas of Human Chromosomes, 2nd ed.
lawan patogen juga menyerang jaringan host yang membawa John Wiley & Sons,. New York. 1984.
13. Nelson LB, Maumene IH. Extopia lentis, dalam Renie WA (ed): Gold-
antigen B27. berg's Genetic and Metabolic Eye Disease, 2nd ed. Little, Brown and Co,
Boston 1986. pp. 183-195.
RINGKASAN DAN SARAN 14. Gorlin RJ, Cohen MM, Levin LS. Syndromes of the Head and Neck, 3rd
Telah dibicarakan beberapa kelainan uvea khususnya iris, ed. Oxford University Press, New York. 1990.
15. Fraser FC, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975.
yang bersifat genetik, baik yang berupa kelainan bentuk, kelain- 16. Jones KL. Smith's Recognizable Pattern of Human Malformation, 4th ed.
an pigmentasi, maupun peradangan. Kelainan iris dapat meru- W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1988.
pakan kelainan tersendiri maupun sebagai bagian dari sindrom 17. Asher JH, Friedman TB. Mouse and hamster mutants as models for
genetik, baik sindrom genik maupun kromosomik. Waardenburg syndrome in human. J. Med. Genet. 1990; 27: 618-26.
18. Mange AP, Mange EJ. Genetics: Human Aspects, 2nd ed. Sinauer Asso-
Mengenai kelainan struktur (bentuk), iris telah diuraikan ciate Inc., Sunderland. 1990.
mengenai koloboma iris, aniridia, sindrom WAGR, dan pupil 19. Bach ML, Bach FH. Genetics of Histocompatibility, dalam McKusick VA,
ektopik. Mengenai kelainan pigmentasi telah dibicarakan Claiborne R (eds): Medical Genetics. H.P. Publishing Co. Inc., New York.
mengenai albino okulokutaneus, albino okuler, dan sindroma 1873.
20. Smith RE, Nozik RA. Uveitis: A Clinical Approach to Diagnosis and
Waardenburg. Management. William & Wilkins, Baltimore. 1980.
Adanya asosiasi antara (a) HLA-B5 dengan penyakit Behcet, 21. Merim S. Inherited Eye Diseases: Diagnosis and Clinical Management.
dan (b) HLA-B27 dengan uveitis anterior yang menyertai spon- Marcel Dekker Inc., New York. 1991.
dilitis ankilosa, uveitis yang menyertai sindrom Reiter, irido- 22. McKusick VA. Mendelian Inheritance in Man.9th ed. The Johns Hopkins
University Press, Baltimore. 1990.
siklitis tanpa varian rematoid juvenilis menunjukkan adanya

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Penatalaksanaan Infeksi Jamur
pada Mata
Bambang Susetio
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Saki: Mata Cicendo, Bandung

PENDAHULUAN bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea, Taiwan (selama 10


Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan baru-baru ini Bangladesh me-
kesehatan mata sebab kelainan ini menempati urutan kedua laporkan 46 dari 80 ulkus (kern ungkinan keratitis virus sudah
dalam penyebab utama kebutaan. Kekeruhan kornea ini terutama disingkirkan).
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur
dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak ETIOLOGI
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan Secara ringkas dapat dibedakan(5,6) :
jaringan perut yang luas(1,2,3). Infeksi jamur pada kornea atau 1) Jamur berfilamen (filamentous fungi); bersifat multiseluler
keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara oftalmolo- dengan cabang-cabang hifa.
gik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, a) Jamur bersepta: Fusarium sp, Acremonium sp, Aspergillus
padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sp, Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialo-
sesuai dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris phora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban tinggi(2,4). Setelah b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan 2) Jamur ragi (yeast)
kendala, karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia Jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida
secara komersial di Indonesia serta perjalanan penyakitnya yang albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
sering menjadi kronis. 3) Jamur difasik
Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang pada media
INSIDENSI perbiakan membentuk miselium: Blastomicessp, Coccidiodidies
Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada sp, Histoplasma sp, Sporothrix sp.
tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasus- Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu
kasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di berbeda penyebabnya, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp,
bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporan- sedangkan di Asia Timur Aspergillus sp.
laporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan
menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan MANIFESTASI KLINIK
peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal,penggunaan obat Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai
immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah pedoman berikut(4,5,6) :
baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik, seperti 1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid
dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melapor- topikal lama.
kan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus kornea, 22 beretio- 2) Lesi satelit.
logi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6 3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tapi yang ireguler

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea PERDAMI XXI 9-10 Juli 1993


di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 39


dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh. dicidin.
4) Plak endotel. 2) Golongan Imidazoles: Clotrimazole, Miconazole, Keto-
5) Hypopyon, kadang-kadang rekuren. conazole.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus. 3) Golongan Benzimidazole: Thiabendazoles.
7) Lesi kornea yang indolen. 4) Halogens: Yodium.
Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea 5) Antibiotik lain: Cyloheximide, Saramycetin, Griseofulvin.
yang memproduksi mikotoksin, enzim-enzim serta antigen ja- 6) Pyrimidine: Flucytosine.
mur sehingga terjadi nekrosis kornea dan reaksi radang yang 7) Lain-lain: Thimerosal, Tolnaftate, Cu-sulfat, Gentian Violet.
cukup berat.
Antibiotik polyene :
Berdaya anti fungi karena mengganggu permeabilitas
DIAGNOSIS LABORATORIK
membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler.
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif
Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan
belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis.
lisis permanen membran dibanding perubahan reversibel oleh
Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
yang bermolekul besar seperti Nystatin, Amphotericin B. Tidak
(sebaiknya dengan spatulaKimura)yaitu dari dasardan tepi ulkus
larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen, cahaya, air, panas.
dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram,
Golongan ini mempunyai daya antifungi spektrum luas tapi tidak
Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan
efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia.
masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%.
Nystatin semula tersedia secara komersial di Indonesia,
Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan di-
tetapi sekarang sedang tidak diproduksi. Mungkin bisa dibuat
wamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver,
dari tablet Mycostatin® (500.000 unit/tablet) dengan konsentrasi
tapi sayang perlu biaya yang besar.
100.000 unit/ml, walaupun vehikulum talknya iritatif terhadap
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential inter-
kornea dan konjungtiva.
ference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari
Amphotericin B 0,1% tersedia secara komersial dan bila
kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari preparat perenteral
memuaskan.
dengan mengencerkannya dengan akuades. Prepanat Ampho-
Selanjutnya dilakukan kultur dcngan agar Sabouraud atau
tericin B iritatif terhadap kornea dan konjungtiva. Obat ini
agar ekstrak maltosa(2,4,5,7).
efektif terhadap Aspergillus, Fusanium dan Candida. Pengobatan
intravena tidak dianjurkan karena toksik terhadap ginjal dan
OBAT-OBAT ANTI JAMUR
penetrasi ke kornea minimal.
Pengamatan klinik dan laboratorium memperlihatkan bahwa
Natamycin (piramycin) berspektrum luas seperti polyene
jamur berbeda sensibilitasnya terhadap anti jamur, tergantung
lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap Fusanium. Di Ame-
spesiesnya; hal ini sering dilupakan, ditambah lagi jenis obat anti
rika Serikat lanutan 5% sering dipakai dengan berhasil dan di
jamur yang terbatas tersedia secara komersial di Indonesia.
Eropa tersedia dalam bentuk salep 1% dan larutan 2,5%. Walaupun
Sccara ideal langkah-langkah yang ditempuh sama dengan
dalam vademikum salah satu industri farmasi tercantum, tetapi
pengobatan terhadap keratitis/ulkus baktcrialis(5,6) :
secara komersial agaknya tidak tersedia.
1) Diagnosis kerja/diagnosis klinik.
Griseofulvin tersedia luas secara komersial moral, sayang
2) Pemeriksaan laboratorik :
preparat ini sulit mencapai cairan tubuh atau janingan dalam
a) kerokan kornea, diwarnai dengan KOH, Gram, Giemsa atau
konsentrasi tinggi sehingga kurang bermanfaat secara oftalmo-
KOH + Tinta India.
logik.
b) kultur dengan agar Sabouraud atau ekstrak Maltosa.
Golongan Imidazol, dan ketokonazol dilaporkan efektif
3) Pemberian antijamur topikal berspektrum luas.
terhadap Aspergillus, Fusarium, Candida. Tersedia secara ko-
4) Penggantian obat bila tidak terdapat respon.
mersial dalam bentuk tablet. Mungkin bisa dibuat menjadi larut-
Obat yang ideal mcmpunyai sifat berikut(6) :
an (pernah dilaporkan), tetapi penulis bclum bcrhasil mcng-
1) Berspektrum luas.
aplikasikannya.
2) Tidak menimbulkan resistensi.
3) Larut dalam air atau pclarut organik. Halogen
4) Stabil dalam larutan air. Larutan 0,025% dilaporkan berhasil mcngobati infeksi
5) Berdaya penetrasi pada kornca sctclah pemberian secara Candida albicans, tetapi ccpat dinonaktifkan olch air mata dan
topikal, subkonjungtival atau sistcmik. berdaya penctrasi lemah pada kornea.
6) Tidak toksik. Diberikan secara kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril.
7) Tersedia sebagai obat topikal atau sistemik.
Jenis obat anti jamur adalah sebagai berikut : Thimerosal (Merthiolat)
1) Antibiotik polyene : In vitro dilaporkan baik untuk Candida, Aspergillus dan
a) Tetraene: Nustatin, Natamycin (Pimaricin) Fusarium, tapi diduga zat Hg ini cepat diinhibisi oleh radikal
b) Heptaene: Amphotericin B, Trichomycin, Hamyein, Can- sullihidril di jaringan okuler.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Obat ini ada di Vademikum salah satu pabrik farmasi terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat peng-
tetapi secara komersial tidak ada. obatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlu-
kan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
TERAPI
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh ter- KEPUSTAKAAN
batasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya sejawat
dim inta kreativitasnya dalam improvisasi pengadaan obat, yang 1. Marsetio M. Hasil Survai Morbidilitas dan Kebutaan di 8 Propinsi. Hasil
utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis kera- serta Laporan Yertemuan Kerja Upaya Kesehatan Mata dan Pencegahan di
tomikosis yang dihadapi; bisa dibagi(6) : Puskesmas dan Rujukannya. Depkes RI. Jakarta, 1983; p. 77–89.
2. Marsetio M, Bambang G, Susilo J. Fusarium keratitis, 6th Cong Asia
I. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. Pacific Academy of Ophthalmology Transac, Bali–Indonesia, 1976; p.
II. Jamur berfilamen. 277-279.
III. Ragi (yeast). 3. Budihardjo, Gunawan, Gunawan W. The causes of bilateral blindness in
IV. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur se- rural areas of the Yogyakarta Special Territory. Kumpulan Makalah
Kongres Nasional V Perdami, Yogyakarta. hal. 776-82.
jati. 4. Bambang Susetio. Diagnosis Laboratorik Keratomikosis dengan Peme-
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,0–2,5 mg/ml, riksaan pada sediaan langsung. Tesis pelengkap untuk mendapat Ijazah
Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan dokter spesialis mata. Universitas Padjadjaran Bandung, 1987.
Imidazole. 5. Jones DB, Sextan R, Rebell B. Mycotic Keratitis in South Florida: A
review of 39 cases. Trans Ophthalmol Soc VK 89: 7812, 1969.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, 6. Halde C, Okumoto M. Ocular Mycosis: A Study of B2 cases, Proc XX
Natamycin (obat terpilih), Imidazole (obat terpilih). Intemat Cong Ophthalmology part 2, Amsterdam, Excerpts Medica, 1966.
Untuk golongan III : Amphoterisin B, Natamycin, Imida- pp. 703-710.
zole. 7. Urn KH. Corneal Ulcers in Singapore. 6th Cong Asia Pacific Acad
Ophthalmol Transac. Bali–Indonesia, 1976. pp- 238-41.
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Anti- 8. Hussaini GM, Alin AH, Sugana T. Bacteriological studies on corneal
biotik. ulcers and its possible cause. &h Congr Asia Pacific Acad Ophthalmol
Pemberian Amphotericin B subkonjungtival hanya untuk Transac. Bali–Indonesia 1976. pp. 243-7.
usaha terakhir. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama 9. Jan JH, Kang DHK, Tsai RJF. Keratomycosis - ten years review, Current
Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medics, 1992.
pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) hal. 339-342.
guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis 10. Rahman MM. Fungal Keratitis. Current Aspects in Ophthalmology, vol 1.
anterior. Amsterdam: Excerpta Medica, 1992. hal. 311-38.
Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa 11. Grayson M. Disease of the Cornea. St Louis: CV Mosby Co. 1983, hal. 45-
101.
yaitu : 12. Upadhyay MA. Keratomycosis in Nepal, 6th Congr Asia Pacific Academy
1) Debridement of Ophthalmology Transac, Bali–Indonesia, 1976, hal. 249-263.
2) Flap konjungtiva, partial atau total 13. Wilson AL, Sexton RR. Laboratory Diagnosis in Fungal Keratitis, AJO
3) Keratoplasti tembus 1968; 66: 646.
14. Wang KP, Hsieh YF. Clinical diagnosis of fungal comeal infection with
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; differential interference contrast incorporated optical microscope, Current
kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medica 1992, hal.
(blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi 343-7.
ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di 15. Shrestha JK, Pokkarel BM, Upadhyay MP. Optimal growth media for
fungal culture, Current Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam:
stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan Excerpta Medica 1992, hat. 353-358.
klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya 16. Jones DB. Fungal keratitis, in Clinical Ophthalmology, vol 4. Philadelphia:
defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa Harper & Row 1987.

Patience is better than pride

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 41


Penanganan Gangguan Sistem
Ekskresi Lakrimal
Hadisudjono Sastrosatomo', Darmayanti Irwan2, Lumongga Simangunsong3
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia1,2,3, Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo1,2,3, RSMMC1 , Jakarta

PENDAHULUAN Jones 1 dan uji Jones 2.


Gangguan sistem ekskresi lakrimal mempunyai gambaran Pengujian ini agak rumit dan dalam penilaian klinis sehari-
umum yaitu timbulnya gejala epifora. Epifora ini dapat disertai hari pada umumnya menurut penulis tidak diperlukan. Semua
dengan tanda-tanda radang akut maupun kronis atau tanpa gejala pengujian di atas path dasarnya untuk memperoleh informasi
radang sama sekali. Pendekatan secara sistematik dan sederhana mengenai keadaan anatomis tertentu secara tidak langsung dapat
yang dapat diterapkan dalam klinik dikemukakan dalam makalah menimbulkan gangguan fungsi seperti misalnya eversi pungtum,
ini. ektropion dan lainnya menimbulkan epifora pada pasien.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS KLINIS
a) Dakriosistografi – cara ini relatif mahal dan memerlukan
Keadaan yang menentukan prognosis dan penanganan
ketrampilan ahli radiologi untuk mendapatkan foto yang baik.
gangguan sistem ekskresi lakrimal adalah derajat gangguan
Pemilihan jenis kontras yang sesuai kepekatannya penting dan
sakus lakrimalis.
dalam interpretasi fungsi tidak banyak manfaatnya karena
Tahapan pemeriksaan yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
penyuntikan kontras disertai penekanan.
a) Penekanan pada pangkal hidung di daerah sakus lakrimalis
b) Skintilografi – suatu pemeriksaan dengan menggunakan
dan penekanan ini akan membawa dua kemungkinan. Ke-
tracer radioaktif Technetium. RS Hasan Sadikin dan RS Mata
mungkinan pertama, keluarnya cairan dari pungtum lakrimalis
Cicendo sudah membuat suatu prosedur yang baik dalam men-
dan kemungkinan kedua tidak ada cairan yang berbalik dari
jalankan pemeriksaan ini. Departemen Kesehatan akan me-
pungtum tersebut. Keluarnya cairan dari pungtum menunjukkan
nyediakan Gamma-Camera di beberapa RS Daerah untuk tahun
adanya bendungan dan penimbunan cairan dalam sakus dan
anggaran 1993–1994 dan ini dapat dimanfaatkan oleh para
dalam pencatatan dinyatakan bahwa uji regurgitasi positif.
spesialis mata. Analisis fungsi sistem ekskresi lakrimal dapat
b) Sondase horisontal, uji ini penting dan dilakukan hanya pada
dibuat dalam real time.
arah horisontal. Hasil pengujian akan membedakan letak sum-
batan pada daerah pra sakus atau pasca sakus. Dibedakan
PENANGANAN GANGGUAN SISTEM EKSKRESI LA-
mengenāi tahanan yang didapat, suatu tahanan lunak (soft stop)
KRIMAL
menunjukkan sumbatan pada kanalikulus sedangkan suatu ta-
hanan keras (hard stop) menunjukkan hambatan pada saluran a) Atresia pungtum
nasolakrimalis. Pada umumnya sondase yang diteruskan ke arah Bila pungtum inferior tidak terbentuk, pemeriksaan skintilo-
vertikal pada orang dewasa dengan tujuan membuka aliran grafi dapat membantu penilaian sistim ekskresi keseluruhan.
nasolakrimalis dianggap suatu kontra indikasi. Mikroskop operasi mutlak digunakan untuk mencani lokalisasi
c) Uji yang memerlukan penggunaan zat pewarna yaitu uji pungtum. Insisi berbentuk bintang diteruskan dengan pemasang-

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di


Yogyakarta

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


an suatu silicone plug yang dibiarkan di tempat selama tiga pembedahan yaitu dakriositorinostomi. Pembedahan ini dilaku-
bulan. Irigasi melewati plug akan memberikan hasil positif bila kan pada keadaan peradangan tidak sedang dalam eksaserbasi
saluran ekskresi memang tidak ada kelainan. akut.
b) Sumbatan kanalikulus
TEKNIK TINDAKAN
Pada sumbatan kanalikulus keberhasilan tindakan sangat
Pengenalan anatomi penting dikuasai dengan benar. Bebe-
ditentukan oleh penyebab sumbatan. Pada kasus senilis, sum-
rapa hal yang sederhana dan scring diamati dalam klinik sebagai
batan ini sering oleh penyempitan suatu saluran yang pada uji
kesulitan yang sebenarnya tidak perlu.
sonde horizontal memberikan tahanan lunak. Dilatasi dengan
berbagai ukuran sonde dilakukan pada arah horizontal. Irigasi a) Pelebaran pungtum lakrimal
dan pemberian tetes mata steroid dilakukan pasca sondase. Bentuk kanalikulus berawal dari suatu saluran vertikal pada
Sumbatan akibat cedera dengan terputusnya kanalikulus inferior pungtum. Cara yang benar pada dilatasi adalah menempatkan
merupakan masalah yang lebih rumit dan memerlukan tindakan dilatator pada posisi vertikal terhadap pungtum dan setelah
yang khusus. Sumbatan kanalikulus komunikans juga memerlu- mcndapat tahanan lunak diubah arahnya ke arah medial. Hal
kan penanganan khusus yang lebih rumit. Konjungtivorinostomi yang sama juga dilakukan pada saat memasukkan jarum irigasi
dengan pemakaian tabung silikon dan cangkok mukosa meru- atau sonde.
pakan salah satu pilihan untuk mengatasi masalah ini.
b) Intubasi tabung silikon
c) Sumbatan naso-lakrimal
Aplikasi adrenalin untuk mengerutkan concha memerlukan
Dibedakan penanganan pada anak-anak dengan penanganan
waktu. Sondase yang dilakukan terburu-buru akan mendapatkan
pada orang dewasa.
halangan visualisasi pada rongga hidung. Logam khusus lentur
Epifora yang disertai hard stop menunjukkan letak sum-
tidak didorong dengan paksaan, tetapi diikuti sejauh mungkin
batan nasolakrimal. Perkembangan sistim ekskresi lakrimal,
mengikuti kelenturan duktus nasolakrimalis belahan mukosa.
khususnya duktus nasolakrimalis bervariasi pada anak-anak yang
Setelah tahanan tulang dirasakan baru diberikan tekanan untuk
mengalami kelainan pembukaan Membrana Hassner. Timbul-
masuk ke dalam rongga hidung di daerah meatus inferior.
nya epifora bersamaan dengan berfungsinya glandula lakrimalis
sebagai sistim sekresi.
RINGKASAN
Orang tua pada umumnya lebih menyukai cara yang tidak
Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan suatu
menyakiti anak. Sondage vertikal pada pendapat penulis se-
pendekatan sederhana pada masalah sumbatan sistem ekskresi
baiknya dihindari karena kemungkinan false route sangat besar.
lakrimal. Kasus yang lebih khusus dan tindakannya akan diajukan
Massage daerah lakrimal menjadi pilihan pertama. Massage
pada kesempatan berikutnya.
dengan tekanan pada pangkal hidung ke arah inferior dilakukan
satu-dua menit tiap hari. Bila dalam jangka waktu tiga bulan
tidak menunjukkan perbaikan maka irigasi berulang merupakan KEPUSTAKAAN
langkah berikutnya yang dilakukan sampai anak berusia 1(satu)
1. Hecht SD. Lacrimal system testing. 3rd International Symposium of
tahun. Batas usia ini tidak mutlak, apabila tanda radang tidak ada Plastic and Reconstructive Surgery of the Eye and Adnexa 1982. pp. 52-
maka irigasi dapat dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun. 54.
Suatu tindakan yang lebih agresif berupa intubasi tabung 2. Jackson IT. Nasolacrimal duct reconstructions. 3rd International Sympo-
silikon dari Jackson dapat juga dilakukan antara usia dua tahun sium of Plastic and Reconstructive Surgery of the Eye and Adnexa 1982.
pp. 59-63.
dengan pembiusan umum. Sumbatan nasolakrimal pada orang 3. Hadisudjono. Dakriosistorinostomi, pemasangan tabung nasolakrimal.
dewasa pada umumnya merupakan indikasi suatu tindakan Kongres Perdami. 1984.

Unlimited power is apt to corrupt the mind of those who possess it


(William Pitt)

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 43


Keratotomi Radial
Sjamsu Budiono
Universitas Airlangga, Surabaya

PENDAHULUAN 1) Informed Consent (I.C.) ini sangat diperlukan mengingat


Keratotomi Radial atau yang lazim disebut Radial Kerato- bahwa RK ini adalah operasi pada jaringan kornea normal.
tomy (=RK) adalah suatu operasi insisi radial pada kornea untuk Pasien hams dijelaskan mengenai tujuan operasi bahkan risiko
menurunkan atau mengobati miopia. operasi yang mungkin timbul seperti glare – silau, visus yang
Pada tahun 1940 Dr. T. Sato mengamati penderita-penderita berfuktuasi, diplopia dan kabur di senja hari. Dr. Ellis bahkan
keratokonus yang mengalami suatu hydrop pada kornea ternyata menunjukkan Video cara-cara operasi RK pada pasien-pasien
hydrop ini akan diawali kekeruhan kemudian menjadi jernih yang akan dioperasinya.
kembali disertai perubahan kerucut menjadi lebih sferis. Sato Penderita diterangkan pula untuk tetap memilih kaca mata
pada penelitian klinisnya kemudian melakukan perforasi dari atau lensa kontak bila memungkinkan. RK tidak boleh dipaksa-
membrana Descemet dengan harapan timbul suatu pengerutan kan, RK bukanlah operasi kosmetik.
dari kerucut keratokonus. Sato telah melakukan RK melalui 2) Pekerjaan
endotel kornea. Pekerjaan atau hobi seorang penderita miopia sering me-
Pada tahun 1972 Dr. Svyatoslav Fyodorov mendapatkan maksanya tidak bisa menggunakan kaca mata tebal seperti
pada seorang penderita laserasi kornea multipel setelah sembuh seorang pilot/penerbang, penggemar tenis, golf atau perenang,
temyata miopia yang dideritanya berkurang secara drastis. Peng- di samping itu orang yang sulit menggunakan lensa kontak se-
alaman ini yang mendorong Fyodorov untuk mengembangkan perti alcrgi dan iritasi, tidak senang memakai lensa kontak– takut
teknik insisi RK yang dikerjakan sampai saat ini. hilang dan lain-lain, sedang pemakai kaca mata sering merasa
Dengan RK maka insisi kornea midperifer menyebabkan terganggu akibat kaca mata tebal – kosmetik tampak jelek ke-
daerah ini menjadi lebih lengkung sehingga diharapkan kornea mungkinan pengembunan yang mengganggu pandangan.
sentral lebih datar dengan akibat miopia menjadi berkurang. 3) Umur
Walaupun sebagian para ahli bedah mata kurang menyetujui Umur juga berpengaruh; seperti seorang wanita 21 tahun
cara`Cara RK ini terlebih dengan ditemukannya Laser ablasi/ efek penurunan miopia yang dideritanya setclah dioperasi RK
photorefractive keratectomy = PRK serta cara bedah refraktif lebih nyata dibanding wanita berumur lebih 40 tahun.
yang lain namun RK ini masih merupakan bedah altematif untuk
4) Pemeriksaan mata
pengobatan miopia.
Pemeriksaan mata diperlukan scbclum operasi. Adanya
katarak, sikatrik kornea, penyakit-penyakit mata luardan riwayat
PEMILIHAN PASIEN/EVALUASI PRA BEDAH
herpes kcratitis akan menycbabkan timbulnya penyulit-penyulit
Sebelum melakukan operasi RK penting sekali untuk mcmilih
pasca bedah.
pasien yang sebaiknya dilakukan RK di samping evaluasi-
evaluasi pra bedah. 5) Derajat miopia
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : Ellis membagi miopia menjadi :

Disampaikan pada Seminar LED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Julki 1993


di Yogyakarta

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Myopia ringan : -1D s/d -3D 1.5 Diopters 18 to 25 4.25 mm 4 No
Myopia sedang : -3D s/d -6D 1.5 Diopters 26 to 35 4.50 mm 4 No
1.5 Diopters 36 to 40 4.75 mm 4 No
Myopia berat : lebih dari -6D 1.5 Diopters Over 40 4.75 mm 4 No
Miopia ringan dan miopia sedang terutama miopia sferis
(tanpa silindris) adalah kasus yang baik untuk para pemula. 2 Diopters 18 to 25 4.00 mm 4 No
6) Tekanan intra okuler 2 Diopters 26 to 35 4.25 mm 4 No
2 Diopters 36 to 40 5.50 mm 4 No
Tekanan bola mata terbaik untuk dilakukan RK adalah 2 Diopters Over 40 5.75 mm 4 No
antara: 12 mmHg - 20 mmHg. Tekanan di bawah 12 mmHg
2.5 Diopters 18 to 25 3.75 mm 4 No
sering menyebabkan koreksi yang kurang (under correction)
2.5 Diopters 26 to 35 4.00 mm 4 No
akibat elastisitas yang abnormal. 2.5 Diopters 36 to 40 4.25 mm 4 No
7) Diameter dan kurvatura kornea 2.5 Diopters Over 40 4.50 mm 4 No
Diameter dan ketebalan kornea sangat berpengaruh ter-
3 Diopters 18 to 25 3.50 mm 4 No
hadap hasil operasi. Diameter kornea yang normal berkisar 11
3 Diopters 26 to 35 3.50 mm 4 No
s/d 13 mm. Kornea di bawah 11 mm menyebabkan under correc- 3 Diopters 36 to 40 3.75 mm 4 No
tion, sedang di atas 13 mm menyebabkan insisi hams lebih 3 Diopters Over 40 4.00 mm 4 No
panjang sehingga penyulit-penyulit yang timbul juga lebih ba-
3.5 Diopters 18 to 25 3.25 mm 6 No
nyak. Kornea yang tipis menghasilkan koreksi yang lebih tepat. 3.5 Diopters 26 to 35 3.50 mm 6 No
Untuk pengukuran ketebalan kornea ini dapat digunakan 3.5 Diopters 36 to 40 3.75 mm 6 No
Pachymeter atau Ultrasonic Pachymeter. 3.5 Diopters Over 40 3.75 mm 6 No
4 Diopters 18 to 25 3.25 mm 8 No
INSTRUMEN/ALAT-ALAT 4 Diopters 26 to 35 3.25 mm 8 No
Alat-alat yang diperlukan untuk operasi RK saat ini telah 4 Diopters 36 to 40 3.75 mm 8 No
banyak tersedia. Alat operasi yang diperlukan di antaranya : 4 Diopters Over 40 3.75 mm 8 No
1. Jarum tumpul: untuk membuat optical center. 4.5 Diopters 18 to 25 3.25 mm 8 No
2. Optical Zone marker - bermacam-macam diameter. 4.5 Diopters 26 to 35 325 mm 8 No
3. Radial Cut marker dengan berbagai ukuran jumlah insisi. 4.5 Diopters 36 to 40 3.75 mm 8 No
4. Forsep fiksasi: untuk fiksasi konjungtiva. 4.5 Diopters Over 40 3.75 mm 8 No
5. Kanula irigasi: walaupun tersedia kanula irigasi tetapi se- 5 Diopters 18 to 25 3.25 mm 8 No
baiknya diusahakan selama operasi daerah operasi tidak terlalu 5 Diopters 26 to 35 3.25 mm 8 No
basah karena dapat menghapus tanda yang telah dibuat. 5 Diopters 36 to 40 3.25 mm 8 No
6. Diamond Knife: pisau mata berlian yang digunakan untuk 5 Diopters Over 40 3.50 mm 8 No
insisi, ujung pisau ini tidak berpori sehingga perawatannya tidak 5.5 Diopters 18 to 25 3.00 mm 8 No
terlalu sulit. 5.5 Diopters 26 to 35 3.25 mm 8 No
7. Coin gauge: untuk menghisap cairan di permukaan bola 5.5 Diopters 36 to 40 3.25 mm 8 No
mata. 5.5 Diopters Over 40 3.25 mm 8 No
6 Diopters 18 to 25 3.00 mm 8 No
KALKULASI 6 Diopters 26 to 35 3.00 mm 8 No
Dengan adanya UltrasonicPachymeter maka kalkulasi tebal 6 Diopters 36 to 40 3.00 mm 8 No
6 Diopters Over 40 3.00 mm 8 No
kornea baik sentral maupun perifer dapat mudah ditentukan.
Tetapi RK adalah suatu seni bukan sekedar operasi karena ke- 6.5 Diopters 18 to 25 3.00 mm 8 Yes
lengkungan kornea dan lain-lain sangat mempengaruhi hasil 63 Diopters 26 to 35 3.00 mm 8 Yes
operasi. Di samping faktor-faktor lain seperti tekanan intra 6.5 Diopters 36 to 40 3.00 mm 8 Yes
6.5 Diopters Over 40 3.00 mm 8 No
okuler dan lain-lain.
Berikut ini penulis salinkan daftar parameter Standar untuk 7 Diopters 18 to 25 3.00 mm 8 Yes
prosedur RK : 7 Diopters 26 to 35 3.00 mm 8 Yes
7 Diopters 36 to 40 3.00 mm 8 Yes
7 Diopters Over 40 3.00 mm 8 Yes

Tabel 1. Parameter Selection Table for Standard Radial Keratotomy 7.5 Diopters 18 to 25 3.00 mm 8 Yes
Procedure(4) 7.5 Diopters 26 to 35 3.00 mm 8 Yes
7.5 Diopters 36 to 40 3.00 mm 8 Yes
Myopia Age
Optical Number Peripheral 7.5 Diopters Over 40 3.00 mm 8 Yes
Zone Incision Redeepening
1 Diopter 18 to 25 4.50 mm 4 No Keterangan :
1 Diopter 26 to 35 4.75 mm 4 No Tabel diambil dari buku: Radial Keractotomy and Astigmatism Surgery, 2nd ed.
1 Diopter 36 to 40 5.00 mm 4 No oleh William Ellis M.D., FAGS.
1 Diopter Over 40 5.00 mm 4 No Untuk pemula dianjurkan melakukan 4 insisi - 8 insisi, bila
diperlukan lebih 8 insisi sebaiknya dikerjakan 3 bulan kemudian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 45


Redeepening perifer dikerjakan bila diperlukan untuk men- derita-penderita dengan riwayat herpes keratitis atau distrofi
dapatkan efek koreksi yang lebih akurat dan dikerjakan 6 mm epitel kornea.
senter optik. 2) Mikro dan makroperforasi: sering disebabkan diamond
knife tidak tegak lurus bahkan goyang ke arah lain atau mem-
PROSEDUR OPERASI buat garis sigmoid demikian pula tekanan yang adekuat dapat
Operasi RK dapat dikerjakan di klinik maupun di kamar menyebabkan perforasi.
operasi untuk menjaga sterilitas. Untuk operasi RK ini digunakan 3) Endoftalmitis, katarak atau iris inkarserasi sering terjadi
mikroskop operasi (operating microscope). 1 jam pra bedah setelah timbul perforasi.
penderita dapat diberikan diazepam oral. 4) Sikatrik yang tebal: dapat terjadi bila pisau yang dipakai
Pupil dibuat miosis dengan pemberian pilokarpin supaya tumpul atau irisari terlalu ke daerah limbus sehingga timbul
identifikasi senter optik lebih mudah di samping mengurangi perdarahan.
fotofobi dan rasa silau akibat lampu mikroskop. Pupil yang kecil 5) Diplopia monokular dan glare (silau) sering dikeluhkan
juga melindungi lensa bila terjadi mikroperforasi. Setelah di- terutama pada malam hari akibat pupil yang melebar dan men-
lakukan desinfeksi daerah operasi dilakukan anestesi lokal/meng- capai tepi irisan.
gunakan Xylocain block (O'Brian Block). Profilaksis dapat 6) Koreksi yang kurang atau berlebih (under/overcorrection).
berupa tetes mata antibiotika 4 x 1 tetes 1/4 jam pra bedah. Hal ini masih wajar terjadi s/d 1–2 D. terutama pada orang de-
Setelah ditutup duk steril mata dibuka dengan spekulum dan wasa muda, tetap seringkali keadaan tersebut berkurang dengan
pantokain tetes mata dapat diberikan. Penderita diminta melihat sendirinya sampai mencapai piano.
lampu mikroskop dan refleks sinar ini ditandai sebagai senter 7) Astigmatisme: sering terjadi aldbat zona optikal yang tidak
optik, selanjutnya dibuatZona Optikal (Optical Zone). Bola mata akttrat atau kedalaman insisi yang tidak merata.
kemudian difiksasi dengan forsep fiksasi dilanjutkan insisi
menggunakan Diamond Knife. PENUTUP
Arab insisi tegak lurus dapat dibuat dari Zona optikal menuju Demikianlah sedikit uraian mengenai keratotomi radial:
limbus atau sebaliknya, sedang forsep fiksasi dapat digerakkan walaupun belum seluruhnya terangkum termasuk operasi-ope-
ke kanan atau kiri sesuai kebutuhan. Setelah insisi terakhir dibuat rasi RK untuk astigmatisme tetapi diharapkan dapat memberi
(baik dengan atau tanpa pendalaman/redeepening) luka operasi gambaran sedikit mengenai RK yang jarang dikerjakan.
diperiksa ulang dengan menggunakan spekulum insisi (=inci-
sion speeder) untuk melihat apakah kedalaman insisi telah benar KEPUSTAKAAN
dan evaluasi barangkali terjadi mikroperforasi. Pada akhirnya
1. Berkeley RG, Sanders DR Piccolo Marcus. Effect of incision direction on
pada setiap luka insisi diirigasi dengan larutan B.S.S. untuk radial keratotomy outcome. J. Cataract Refract. Surg. November 1991; 17.
menghilangkan debris atau darah yang mungkin tinggal. Insisi 2. Beaman J. Radial keratotomy : Factors in Medicolegal Claims: Survey of
sebaiknya tidak melebihi limbus. Ophthalmology 1986; 30 (4).
Bila terjadi perdarahan dari daerah limbus sebaiknya cukup 3. Chiba K, Tzubota K et al. Morphometric analysis of corneal endothelium
following Radial Keratotomy, J. Cataract Refract Surg. May 1987; 13.
diserap dengan cotton sponges dan jangan dilakukan kauterisasi. 4. Ellis W. Textbook of Radial Keratotomy and Astigmatism Surgery, 2nd
Pada akhir prosedur diberikan suntikan gentamicin 1/2m1 Ed.
sub konjungtiva, mata diberi salep antibiotika dan dibebat. San Diego, California.
5. Grandon SC, Grandon GM. Effect of peripheral redeepening on radial
keratotomy surgery. J. Cataract Refract Surg. 1987; 13.
PENYULIT/KOMPLIKASI 6. Jardin SL, Massin Metal. Radial Keratotomy: Efficacy of Incision Deepen-
Beberapa penyulit pernah dilaporkan di antaranya : ing from a 6 mm Optical Zone: Eur. J. Implant Ref. Surg. 1989; 1.
1) Penyembuhan luka yang lama: sering terjadi pada pen- 7. Jory WJ. Bacterial Keratitis in Radial Keratotomy. J. Refract Surg. 1991; 3.

Lover's quarrels are the renewal of love

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior
Hafid Ardy
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Jamil, Padang

PENDAHULUAN SKEMA DIAGNOSTIK ETIOLOGIK


Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian Sesuai dengan teori patogenesis uveitis anterior dan gejala
depan badan siliar (pars plicata), kadang-kadang menyertai pe- uveitis anterior yang dapat menyertai kelainan organ lain di
radangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. sekitar maka untuk menemukan diagnosis etiologik diperlukan
Teori patogenesis uveitis anterior beragam, meliputi proses langkah-langkah sebagai berikut :
imunologik, komponen genetik, penyakit infeksi mikroba, 1. Penentuan lokalisasi uveitis.
reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh tumbuhan 2. Pertimbangan diagnosis banding.
dan obat-obatan dan infeksi fokal. Selama dekade terakhir terjadi 3. Pencatatan data laboratorium dan konsultasi.
perubahan pola etiologi uveitis anterior ditemukan penyebab 4. Diagnosis kerja/etiologik.
barn uveitis anterior dan akibat tindakan pembedahan dalam 5. Rencana pengobatan.
bola mata dengan teknologi canggih. Dengan anamnesis danpemeriksaan mata dapat diperkirakan
Kebutaan pada uveitis anterior disebabkan oleh penyulit- lokalisasi uveitis (Lihat Skema 1).
penyulit yang ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi per- Langkah selanjutnya ialah menetapkan diagnosis ban-
jalanan penyakit. Kronisitas dan rekurensi penyakit dipengaruhi ding. Setelah pemeriksaan laboratorium umum dan khusus dan
oleh faktor-faktor antara lain psikososial, geografi, genetik, konsultasi antar disiplin dapat ditentukan diagnosis kerja atau
umur, jenis kelamin dan demografi. etiologik. Rencanapengobatan telandapatdilakukan,pengobatan
Tujuan manajemen uveitis anterior ialah mencegah keru- spesifik untuk diagnosis etiologik telah diketahui, dan aspesifik
sakan struktur dan fungsi mata seperti sinekia posterior, sinekia untuk diagnosis kerja. Bagi kasus yang etiologinya belum dike-
anterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma, tahui dilakukan evaluasi berkala terhadap gambaran klinik dan
parut kornea, dan kekeruhan benda kaca. pemeriksaan lain yang masih dibutuhkan lagi. Kemudian di-
Oleh sebab itu dalam penanganan uveitis anterior diperlu- lakukan pencatatan kembali gejala baru untuk pertimbangan
kan diagnosis etiologik, mengingat keadaan yang telah dike- diagnosis etiologik.
mukakan di atas, maka untuk menemui etiologik uveitis anterior Agar skema ini dapat digunakan dengan baik, maka pem-
harus dilakukan secara sistematik berdasarkan anamnesis, pe- bicaraan selanjutnya mengenai klasifikasi, gambaran klinik,
meriksaan fisik umum dan mata, pemeriksaan laboratorium dan patologi gejala, diagnosis banding, dan diagnosis etiologik
konsultasi antara disiplin ilmu. Dengan pendekatan ini maka uveitis anterior.
dapat dicapai maksimal 80% diagnosis etiologik pada kasus-
kasus uveitis anterior. KLASIFIKASI
Dengan penemuan diagnosis etiologik, kebutaan disebab- 1) Klasifikasi morfologik :
kan oleh penyulit dapat diatasi. – purulen.

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 full 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 47


GEJALA SUBJEKTIF
1) Nyeri :
• Uveitis anterior akut
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya
dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap
atau hilang timbul.
Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial.
Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal.
Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan pera-
dangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit
menentukan derajat nyeri.
• Uveitis anterior kronik
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah ter-
bentuk keratopati bulosa akibat glaukoma sekunder.
2) Fotofobia dan lakrimasi
• Uveitis anterior akut dan subakut
Ditandai dengan blefarospasmus. Fotofobia disebabkan
spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif ter-
hadap cahaya. Derajat 3+–4+ blefarospasmus menetap, ringan
1+–2+ bila disinari dengan sinar yang kuat baru timbul bleforas-
pasmus. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan
Skema 1. Langkah-Iangkah untuk mencari diagnosa etiologik siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
• Uveitis anterior kronik
− non purulen. Gejala subjektif ini hampir tidak ada atau ringan.
serosa : akut atau kronik.
3) Kabur
plastik : akut atau kronik.
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat
2) Klasifikasi patologi-anatomi :
atau hilang timbul, tergantung penyebab.
– granulomatosa.
– non granulomatosa. • Uveitis anterior akut
3) Klasifikasi klinik: menurut cara timbul dan lama perjalan- Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, ke-
an penyakit : keruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel
radang dan fibrin.
− akut : mulai mendadak perjalanan penyakit kurang 5
minggu. • Uveitis anterior residif atau kronik
Disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan
− kronik ; mulai berangsur-angsur, perjalanan penyakit ber-
kornea seperti edema, lipatan Descemet, vesikel epitel dan
bulan-an atau tahunan.
keratopati.
4) Klasifikasi etiologik :
Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat mengalami
− eksogen : trauma, bedah mata atau serangan mikroba atau
kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema mene-
penyebab lain dari luar.
tap disertai neovaskularisasi stroma perifer dan pannus kornea.
− endogen : mikroba atau penyebab lain dari tubuh penderita. Gejala subyektif dicatat sebagai keluhan penyakit sekarang.
∗ sekunder terhadap penyakit sistemik. Anamnesis dilengkapi dengan riwayat penyakit yang pemah di-
∗ infestasi parasit, viral dan jamur. alami penderita, seperti penyakit sistemik, alergi, penyakit mata
∗ idiopatik. termasuk trauma, dan bedah mata. Ditanyakan juga data pribadi:
Klasifikasi dua yang pertama merupakan klasifikasi klasik. umur, jenis kelamin, pekerjaan, ras/suku, tempat tinggal, ke-
Oleh International Uveitis Study Group (1986) diajukan pem- biasaan makanan, hobbi dan perjalanan jauh. Penyakit dalam
bagian yang dapat memenuhi gambaran penyakit. Klasifikasi famili penting ditanyakan pada penderita.
tersebut meliputi :
− lokasi : uveitis anterior, intermedier, posterior, dan total. Gejala obyektif
− timbul penyakit : mendadak, pelan-pelan. Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik
− sifat serangan : sekali atau berulang. direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau
− lama : pendek, kurang dari 3 bulan, lama lebih dari 3 bulan. ultrasonografi.
− keaktipan penyakit : tidak ada, ringan, sedang atau berat. 1) Hiperemi
− respon terhadap kortikosteroid : baik atau kortikodependen. Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang
Dengan memakai klasifikasi ini maka dapat diketahui gambaran gelap.
penyakit uveitis yang sedang dihadapi. Merupakan gambaran bendungan pembuluh darah sekitar

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


kornea atau limbus. Gambaran merupakan hiperemi pembuluh pok besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup
darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu. besar karena hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak
• Uveitis anterior akut teratur. Bertambah lama membesar, menipis dan berpigmen
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat akibat fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah
hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva. jernih padaendotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil
• Uveitis anterior hiperakut dan sering menimbulkan perubahan endotel kornea gambaran
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan merupakan gelang keruh di tengah karena pengendapan pigmen
keratitis marginalis. dan sisa hialin sel.
Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada 3) Kelainan kornea :
pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi • Uveitis anterior akut
ke pembuluh darah badan siliar. Hubungan derajat hiperemi Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan
dengan kelainan kornea mengikuti pembagian Hogan 1959. etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes
Derajat nol : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
tidak ada. • Uveitis anterior kronik
Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan. Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan
Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai membran Descemet dan neovaskularisasi kornea.
hiperemi pembuluh darah episklera dan konjungtiva. Edema Gambaran edema kornea bcrupa lipatan Descemet dan vesikel
stroma dan epitel kornea difus dengan lipatan membran Descemet. pada epitel kornea. Harus dibedakan dari keratitis profunda
Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi difus misalnya keratitis disciformis dengan edema menetap,
episklera dan konjungtiva. Edema difus stroma dan epitel neovaskularisasi stroma perifer dan pannus.
kornea, lipatan Descemet, vaskularisasi perifer disertai per- Keratopati band akibat tekanan bola mata meninggi dan
mulaan fibrosis daerah tertentu stroma kornea. iridosiklitis pada anak.
Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah konjung- 4) Bilik mata
tiva, kemosis. Edema hebat stroma, keratitis bulosa dan vasku- Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh
larisasi perifer. meningkatnya kadar protein, set, dan fibrin.
2) Perubahan kornea 4.1) Efek Tyndall
• Keratik presipitat Menunjukkan ada atau menetap peradangan dalam bola
Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata.
mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuwos Pengukuran paling tepat dengan tyndalometri, tetapi secara
humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. klinik dapat dipakai pembagian dari IUSG 1986 (Tabel 1).
Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus. Tabel 1. Derajat jumlah sel dan efek Tyndall dalam bilik depan mata
Keratik presipitat dapat dibedakan : dengan pemeriksaan lampu cclah (IUSG 1986)
– Baru dan lama :
∗ baru bundar dan berwarna putih. Derajat Jumlah sel Efek Tyndall

∗ lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih. 0 Nol mu < 5 sel/lapangan Nol atau sedikit
– Jenis sel : 1 Ringan, 5–10 sel/lapangan Ringan
2 Sedang, 11–20 sel/lapangan Sedang tanpa plastik
∗ lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus
3 Agak berat, 21–50 sel/lapangan Agak berat dengan plastik
keabuan. 4 Hipopion
∗ limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelom-
pok kecil bulat batas tegas, putih. • Uveitis anterior akut
∗ makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat Kenaikan jumlah sel dalam bilik depan mata sebanding
fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai dengan derajat peradangan dan penurunan jumlah sel sesuai
mutton fat. dengan penyembuhan pada pengobatan uveitis anterior.
– Ukuran dan jumlah sel : • Uveitis anterior kronik
∗ halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menun-
retinitis/koroiditis, uveitis intermedia. Uveitis anterior akut dengan jukkan telah terjadi perubahan dalam permeabilitas pembuluh
etiologi penyakit sendi dan infeksi fokal. darah iris.
∗ kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom Posner- Ella terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksu-
Schlossman. dasi sel menunjukkan adanya eksaserbasi peradangan.
∗ mutton fat keabuan dan agak basah. Terdapat pada uveitis 4.2) Sel
granulomatosa disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, Vogt- Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel
Koyanagi-Harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui pada akan terganggu bila efek Tyndall hebat. Pemeriksaan dilakukan
uveitis non granulomatosa akut dan kronik yang berat. Mutton fat dengan lampu celah dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm dan
dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan fagositosis tinggi celah 3 mm dengan sudut 45. Dapat dibedakan sel yang
dan set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk kelom- terdapat dalam bilik mata depan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 49


Jenis sel : iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah
– limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan. mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupa-
– makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difago- kan tanda uveitis anterior granulomatosa.
sitosis. 5.4) Granuloma iris
– sel darah berwarna merah. Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris.
– pigmen kecil dan coklat. Granuloma iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan
4.3) Fibrin granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal,
benang atau bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap tebal padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi
pada kornea. dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut
Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.
fibrin ke dalam bilik depan mata (iritis plastik). 5.5) Sinekia iris
4 4) Hipopion Merupakan perlengkapan iris dengan struktur yang ber-
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata dekatan pada uveitis anterior karena eksudasi fibrin dan pigmen,
depan bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik kemudian mengalami proses organisasi sel radang dan fibrosis
depan lebih dari 4+. iris.
Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut de- 5.5.1) Sinekia posterior
ngan sebutan sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik, Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa.
juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik. Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang dise- tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midria-
butkan juga kelompok sindrom masquerade. Untuk membeda- tika akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk
kan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah di- sinekia seperti cinein, bila seklusi sempurna akan memblokade
lebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat dijumpai pada uveitis
oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma maligna, leukemi, granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih sering bentuk akut
sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan dan subakut, dengan fibrin cukup banyak. Ditemui juga pada
tumor metastasis. bentuk residif bila efek Tyndall berat.
5) Iris • Uveitis anterior akut: belum terjadi proses organisasi, se-
5.1) Hiperemi iris hingga sinekia posterior lebih mudah lepas dengan midriatika,
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. dengan meninggalkan jejak pigmen sedikit banyak pada kapsul
• Uveitis anterior akut depan lensa.
Edema dan eksudasi pada stroma iris, keadaan ini diper- • Uveitis anterior kronik: di mana sinekia posterior dibentuk
mudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur oleh jaringan fibrotik keabuan tanpa distorsi pupil tetapi dengan
iris normal hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan. perubahan pinggir pupil.
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris ka- 5.5.2) Sinekia anterior
dang-kadang tidak terlihat karma ditutupi oleh eksudasi sel. Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat
Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gonioskopi. Sinekia anterior timbul karena pada per-
dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal. mulaan blok pupil schingga akar iris maju ke depan menghalangi
5.2) Pupil pengeluaran akuos, edema dan pembengkakan pada dasar iris,
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma sehingga setelah terjadi organisasi dan eksudasi pada sudut irido-
iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter kornea mcnarik iris ke arah sudut.
pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri. Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan deter-
5.3) Nodul iris minan uveitis anterior, tetapi merupakan penyulit peradangan
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam kronik dalam bilik depan mata.
stroma tidak sclalu menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk 5.6) Oklusi pupil
olch limfosit, scl plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan
pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu me- membran radang pada pinggir pupil.
nunjukkan peradangan granulomatosa. – Uveitis anterior akut
5.3.1) Nodul Kocppc : Eksudasi protein dalam bilik depan mata disertai tarikan
Lokalisasi pinggirpupil, banyak, mcnimbul, bundar, ukuran hebat dacrah pupil.
kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Kocppe – Uveitis anterior kronik
mengalami pigmcntasi baik pada permukaan atau lebih dalam Proses organisasi sehingga membran radang berubah men-
mcrupakan hiasan dari iris. jadi membran fibrotik dengan neovaskularisasi.
5.3.2) Nodul Busacca Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi mem-
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul bran fibrovaskular dapat menyebabkan eversi epitel pigmen
Koeppe, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan sehingga terjadi ektropion uvea.

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


5.7) Atrofi iris • Uveitis serosa, ditemukan sebukan halus, kekeruhan putih
Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitcl pigmen keabuan.
belakang. • Uveitis plastik ditemukan lembaran kcabuan atau mem-
– Uveitis anterior kronik atau cksacrbasi akut brana siklitik di belakang lensa.
Terlihat derajat tertentu dari bcndungan dan hiperemi stroma, Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan
sehingga iris kehilangan struktur normal, karena mengalami bertambah. Bila lcbih banyak set mclekat terlihat penebalan
fibrosis karena hilang dan homogenisasi struktur iris berupa benda kaca dan terpisah. Derajat kekeruhan dapat mengganggu
depigmentasi. penglihatan (Tabel 2).
Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sek- Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkon-
toral terdapat pada iridosiklitis akut disebabkan olch virus, ter- trol, akan mengalami regresi dan pemecahan jaringan kolagen,
utama hcrpetik. pencairan dan retraksi, sehingga mengakibatkan lepas badan
5.8) Kista iris kaca. Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang badan kaca
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah akibat masuknya eksudasi radang melalui hialod belakang yang
kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris me- rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan membentuk
libatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea. perlengkctan dan kckeruhan bersama set radang dan membentuk
Pada beberapa keadaan, epitel yang melapisi kista keratinisasi eksudat berupa salju, tipikal pada uveitis intermedia, dan poste-
sehingga lesi diisi oleh bahan keratin, yang terlihat seperti rior. Kekeruhan ini akan bertambah membundar, keabuan,
mutiara. mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer.
6) Perubahan pada lensa Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan
Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis ante- bagian depan badan kaca, tetapi dapat meluas ke seluruh badan
rior, yaitu: pengendapan set radang, pigmen dan kekeruhan kaca dan setelah mengalami proses regresi organisasi dapat
lensa. menimbulkan penyulit vitreo-retina.
6.1) Pengendapan set radang
Tabel 2. Derajat kekeruhan badan kaca
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi
pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah Pemeriksaan oftalmoskop
Derajat Sel Kekeruhan
ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersen- Indirek
diri atau berkelompok pada permukaan lensa. 0 tidak ada jernih tidak ada
6.2) Pengendapan pigmen 1 1–12/lap sedikit belakang jelas
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan 2 12–35/lap ringan belakang sedikit kabur
3 35–100/lap sedang belakang detil kurang jelas
kapsul depan lensa, menunjukkan bekas sinekia posterior yang 4 > 100/lap hebat belakang detil tidak jelas
telah lepas. Sinekia posterior yang meny,erupai lubang pupil
disebut cincin dari Vossius. Keterangan : lap = lapangan
6.3) Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat 8) Perubahan tekanan bola mata
peradangan uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pem- Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipo-
bentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada toni), normal atau meningkat (hipertoni).
tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit. 8.1) Hipotoni
Akibat perlengketan iris terjadi pencairan serat. • Uveitis anterior akut
• Uveitis anterior kronik Hipotoni timbul karena sekresi badan siliar berkurang ka-
Terjadi perubahan degeneratif di depan kapsul depan dan rena peradangan.
subkapsul belakang. Predileksi daerah sentral menunjukkan • Uveitis anterior kronik
telah timbul reaksi hipersensitivitas daerah lensa tersebut ter- Hipotoni menetap karena perubahan badan siliar dan dapat
hadap stimuli toksik metabolik. Kekeruhan subkapsul belakang mengakibatkan atrofi bola mata.
dapat disebabkan pemberian kortikosteroid lokal atau sistemik. 8.2) Normotensi
Kekeruhan lensa (katarak) sering merupakan penyulit uveitis Menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik
anterior kronik atau residif. Reaksi radang pada uveitis anterior depan mata.
lebih sering mempercepat kekeruhan pada katarak senilis. 8.3) Hipertoni
7) Perubahan dalam badan kaca Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, pupil dan sudut irido-kornea oleh sel radang dan fibrin yang
eksudat fibrin dan sisa kolagen, di depan atau belakang, difus, menyumbat saluran Schlemm dan trabekula.
berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi ter- Hipertoni dijumpai juga pada uveitis disebabkan oleh virus
utama oleh set limfosit, plasma dan makrofag. herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner Schlossman.
Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel
dan kekeruhan di ruang belakang lensa dan badan kaca depan DIAGNOSIS BANDING
akibat eksudasi badan siliar. Setelah membicarakan tentang patologi gejala uveitis
anterior, maka gejala tersebut dapat ditentukan kemungkinan

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 51


diagnosa banding. riksaan klinik saja, kadang-kadang memerlukan pemeriksaan
1) Hiperemi sirkumkornea: keratitis, skleritis, konjungtivitis, laboratorium dan konsultasi antar disiplin.
glaukoma akut. Kesulitan disebabkan oleh :
2) Keratik presipitat : – Uvea bereaksi dengan cara yang sama terhadap berbagai
– halus banyak: iritis dan iridosiklitis akut oleh penyakit sendi agen penyebab, hanya dengan pemeriksaan lampu celah jarang
dan fokal infeksi. memberikan gambaran etiologi.
– kecil hanya beberapa: Sindrom Posner-Schlossman. – – Agen yang menyerang uvea anterior jarang didapat. Untuk
ukuran sedang, difus: heterokromik Fuchs. memudahkan menemui ctiologi dipakai skema etiologik sebagai
– mutton fat: tuberkulosis,, sarkoidosis, sifilis, lepra, Vogt- berikut :
Koyanagi-Harada. – bentuk eksogen: simpatikoftalmia, uveitis fakogenik, endof-
1) Fibrin: uveitis anterior plastik. talmitis karena trauma dan bedah.
2) Hipopion : – bentuk endogen :
– sekunder akibat infeksi kornea karena jamur, bakteri. infeksi :
– sekunder terhadap uveitis endogen : ∗ mikroba: sifilis, lepra tuberkulosis, viral, jamur, dan parasit.
∗ bukan infeksi: Penyakit Behcet, iridosiklitis akut, uveitis bukan infeksi :
fakoanafilaktik. ∗ hipersensitivitas terhadap mikroba: virus, jamur, Behcet,
∗ infeksi: endoftalmitis karena bakteri, jamur atau parasit. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada.
– diagnosis diferensial sindrom Masquerade. ∗ hubungan dengan penyakit sistemik: spondilitis ankilosa,
5) Nodul Koeppe: sarkoidosis. sindrom Reiter, artritis reumatoid juvenil.
6) Nodul Busacca: uveitis granulomatosa. Secara garis besar untuk menentukan idiopatik dibagi me-
7) Granuloma iris: sifilis tuberkulosis, lepra, sarkoidosis. nurut perjalanan penyakit. Dengan cara ini maka pemeriksaan
8) Kista iris: kongetital, trauma, glaukoma (pada pinggir iris, laboratorium dan konsultasi dapat diarahkan untuk menghindar-
dan uveitis anterior. kan pemeriksaan yang tidak diperlukan, sehingga beban biaya
9) Atrofi iris : penderita lebih hemat.
– difus : heterokromik Fuchs. Tabel 3. Diagnosis etiologik uveitis anterior akut dengan pemeriksaan
– fokal : herpes simpleks. anjuran
– segmental : herpes zoster.
– penyebab lain: pasca bcdah, pasca trauma, umur tua, Etiologi Pemeriksaan anjuran
glaukoma, diabetes melitus, atrofi iris esensial. Spondilitis ankilosa X-foto sakroiliaka, HLA-827, konsul rematologi
Sindrom Reiter X-foto sakroiliaka, HLA-B27, antibodi antinuklir,
10) Iritis dengan glaukoma : biakan konsul urologi dan rematologi.
– blok pupil Herpes simpleks Diagnosis klinik
– penyumbatan bilik depan mata dan sudut irido-kornea oleh Herpes zoster Diagnosis klinik
sinekia, sel, fibrin, bahan lensa, makrofag dan trabekulitis. Artritis reumatoid Faktor Rf, antibodi antinuklir, X-foto, konsul
imunologi, dan reumatologi
– glaukoma sekunder akibat kontusio bola mata. Infeksi fokal Titer ASO, Imunoglobulin, Protein C reaktif,
– glaukoma sekunder akibat pemberian kortikosteroid lokal. konsul gigi, THT, kebidanan
– Sindrom Posner-Schlossman. Tuberkulosis Tes kulit PPD, X-foto toraks, konsul penyakit
– glaukoma karena rubeosis iridis. dalam/paru
Siftlis VDRL, FTA-ABS
11) Iritis dengan kelainan paru: tuberkulosis, sarkoidosis gra- Sarkoidosis Tes ACE, lisozim, X-foto toraks, tes kulit
nulomatosis Wegener. anergi, biopsi konjungtiva. Skintigrafi Ga 67.
12) Iritis dengan kelainan kulit: sifilis, sindrom Reiter, lepra,
herpes zoster, sarkoidosis, Vogt-Koyanagi-Harada, Behcet Tabel 4. Diagnosis etiologik uveitis anterior kronik dengan pemeriksaan
Wegener -granul om atosi s. anjuran
13) Iritis dengan kelainan saraf pusat: Vogt-Koyanagi-Harada,
Etiologi Pemeriksaan anjuran
Behcet, simpatik oftalmia, sifilis, sarkoidosis, herpes simpleks.
Artritis rcumatoid Faktor Rf, antibodi antinuklir,
Iritis dcngan atritis: artritis rematoid juvenil, spondilitis juvcnil X-foto sendi lutut, konsul anak
ankilosa, sindrom Reiter, Wegener granulomatosis, Bchcet, dan Infeksi fokal Lihat uveitis anterior akut
sarkoidosis. Tuberkulosa Lihat uveitis anterior akut
14) Iritis dcngan penyakit saluran cema: sarkoidosis, Behcet, Sifilis Lihat uveitis anterior akut
Herpes zoster Diagnosis klinik
sindrom Reiter, spondilitis ankilosa. Hetcrokromik Fuchs Diagnosis klinik
15) Iritis pada anak: artritisrematoid juvenil, spondilitis ankilosa
juvenil, sarkoidosis, herpes simplcks, Bchcet. Dengan ditemui diagnosis etiologik, maka pengobatan
spesifik untuk uveitis anterior tclah dapat dibcrikan, kecuali
DIAGNOSIS ETIOLOGIK etiologi idiopatik (hampir 20% dari kasus) yang masih diobati
Etiologi uveitis anterior sulit ditegakkan dcngan peme- nonspesifik.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Denganpengobatan spesifik terhadapetiologi maka kronisi 27. Heydenreich A. Chronic Anterior Uveitis. Uveitis Update, Ed. K.M. Saari,
Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 119-124.
tas dan rekurensi dapat dihambat dan kebutaan karena penyulit 28. Ho AC, Guyer DR, Yannuzi LA. Ocular Syphilis: Classic Manifestations
uveitis anterior dapat diatasi. and Recent Observations. Semin. Ophthalmol. 8: 53-60.
29. Hoffmann A, Barth A, Brunner A et al. Die Uveitis in der Internistische
KEPUSTAKAAN Differential diagnose un1 Diagnostik. Med. Welt. 1990; 41: 491-499.
30. Hogan MJ, Kimura S, Thygeson li'. Signs and Symptoms of Uveitis. 1.
1. Abrams J. Therapy of Isoniazide-Theurapeutics Test in Tuberculous- Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1959; 47: 155-170.
Uveitis. Amer. J. Ophthalmol 1982; 94: 511-515. 31. James BG, Graham E, Hamblin A. Immunology of Multi system Ocular
2. Ahonen R, Makitie J. Herpes Simplex Virus Anterior Uveitis Uveitis Diseases. Surv. Ophthalmol. 1985; 30: 155167.
Update, ed K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984. pp 157-162. 32. Kanski JJ. Uveitis, A Colour Manual of Diagnosis and Treatment. Butter
3. Ardy H. Kebutaan pads uveitis. Proseding Simposium Pencegahan Gang - worths, London, 1987, pp. 1-11.
guan Fungsi Penglihatan, Padang, Agustus 1990, pp 23-35. 33. Kanski JJ. Uveitis in Juvenile Chronic Arthritis: Incidence, Clinical
4. Ardy . H.. Peradangan dalam bola mats, masa kini masa datang serta Features and Prognosis. Eye 1988; 2: 641-645.
pencegahan dan penanggulangan kebutaan. Pidato Pengukuhan. Pusat 34. Kanski D. Juvenile Arthritis and Uveitis. Surv. Ophthalmol. 1990; 34;
Penelitian Unand, Padang, Januari 1992. 253-267.
5. Ardy H. Epidemiology of Uveitis. Proceeding X"' Afro-Asian Congress 35. Kastler M. Uveites par allergic microbienne. L. Uveite, Phenomenons
Ophthalmology, Jakarta, July 1992. (dalam percetakan). immunologiques et allergiques. Ed. R. Campinchi et al, Masson Cie, Paris
6. Baarsma GS. The Epidemiology and Genetics of Endogenous Uveitis. A 1970, pp. 390-417.
Review. Cuff. Eye. Res. 1992; 11 (suppl): 1-I1. 36. Knox DL. Epidemiology of Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K.
7. Ben-Ezra D, Forrester J, Nussenblatt R et al. Uveitis Scoring Systems. 1981; 101: 294-296.
Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg, 1991 pp. 1-13. 37. Kraman-Kraljevic K, Stambuk K, Stambuk N, Kastelan A. A Prospective
8. Blagojevic M, Latkovic Z. Present Importance of Tuberculous Uveitis. Study on the Etiology of Uveitis. Curr. Eye. Res. 1990; 9 (suppl): 13-16.
Uveitis Update Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984 pp. 38. Krupin T, Leblanc RP, Becker Bet aL Uveitis Association with Topically
275-288. Administered Corticosteroid. Amer. J. Ophthalmol. 1970; 70: 883-889.
9. Bloch-Michel E. Uveitis allergiques. Allergiae immunologia cculare. Ed. 39. Laatikaneen L. Vascular Changes in the Iris in Chronic Anterior Uveitis.
F.D'Ermo. Masson Italiano, Milano. 1983. pp. 49-58. Brit. J. Ophthalmol. 1979; 63: 145-149.
10. Bloch-Michel E. Difficulties in the Knowledge of Uveitis. Acta Ophthal 40. Lagoutte F. Fon cs eiiniques de la ke:atouveite herpetique, L'herpes
mol. 1984; 163: 1115-1120. oculaire. Ed. Y. Pouliquen, Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212.
11. Bloch-Michel E, Dussaix E, Govot F et al. Origine des uveites evolutions 41. Lamba PA, Rohatgi J, Segal VN. Evidence of Subclinical Ural Involve-
des resultats du bilan etiologiques au cours des 20 demieres annees. ment in Leprosy. Acts XXV International Congress Ophthalmology,
(1966-1986). Bull. Soc. Ophthalmol. Fr. 1986. 6-7. Roma, May, 1986, Kugler Amsterdam, 1987, pp. 1707-1711.
12. Bloch-Michel E. International Uveitis Study Group. Reccomendations for 42. Machado A, Migueis, Sera L et al. Acute Anterior Uveitis in Clinical
the Evaluation of Intraocular Inflammatory Disease. Amer. J. Ophthalmol. Practice. Ophthalmology Today, Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpta
1986; 103: 234-235. Medica, Amsterdam, 1988, pp. 417-420.
13. Bloch-Michel E. Infection et hypersensibilite microbienne. Immuno 43. Manthey KF. Intraokulare Entzundungen. Ferdinand Enke-Verlag, Stutt-
pathologie de 1'oeil. Ed. J.P. Faure et al. Masson Cie, Paris 1988 pp. gart, 1988, pp. 6-11.
201-208. 44. Manthey KF. Etiologic Diagnosis of Uveitis. Ophthalmology Update. Ed.
14. Boke W. Chronische vordere uveites. Die Chronische-Entzunlichen K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 417-420.
Erkrankung des Auges. Ed. O. Lundt, Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart 45. Manthey KF. Epidemiology and Etiology of Uveitis. CULT. Opin. Ophthal-
1984, pp. 94-101. mol. 1991; 2: 452-457.
15. Brandt F, Malls OK, Anten JGF. Influenced of Untreated Plastic Iridocy 46. McMillin RB, Samples JR. Iritis after Herbicide Exposure. Amer. J.
clitis on Intraocular Pressure in leprous patients. Brit. J. Ophthalmol. 1981; Ophthalmol. 1985; 99: 726-727.
65: 240-242. 47. Michelson JB, Grossman KR, Limier JR. Iridocyclitis Masquerade Syn
16. Denis J. L'uveite herpetique primitive existe-t elle? L'herpes oculaire. Ed. drome. Surv. Ophthalmol. 1986; 31: 125-130.
Y. Pouliquen et al. Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212. 48. Michelson JB. Infectious Clinical Uveitis. Curr. Opin. Ophthalmol. 1990;
17. Demouchamps JP. Les methode actuelles de diagnostique etiologique de 1: 373-384.
l'uveite. J. Fr. Ophthalmol. 1986; 12: 869-873. 49. Moller-Jensen J, Marthinsen L, Linne I. Anterior Uveitis in IgA Nephro-
18. Demouchamps JP. Uveite anterieures. Encyclopaed. Med. Chir. Ophthal pathy. 1989.
mologic. Paris, 1989. 50. Moller-Hemerlink HK. Recent Topics in the Pathology Uveitis. Pathophy
19. Dua S, Dick AD, Watson J et al. A Spectrum of Clinical Science in Anterior siology and Therapy Ed. Kraus-Mackiew, et al, Thieme-Straton, New
Uveitis. Eye 1993; 7: 68-73. York, 1983, pp. 152-197.
20. Ducasse A, Segal A, Mathot E et al. Results of Etiological Investigations in 51. Nozik RA. The Management of Uveitis Approach. Proceeding First World
Uveitis. Ophthalmology Today. Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpts Uveitis. Symposium. Guaruja, Sao Paolo Brazil, March 1988, Ed. R.
Medica, Amsterdam, 1988, pp. 395-400. Belfort, Jr. et al., Livraria Roca Ltd., Sao Paolo, 1989, pp. 559-564.
21. Fajardo RV. Acute bilateral Anterior Uveitis Caused by Sulfa Drugs. 52. Nozik RA, Elliot JH. Uveitis and Infectious Diseases. Curr. Opin. Ophthal
Uveitis Update. Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. mol. 1990; 1: 371-372.
97-109. 53. Nussenblatt RB, Palestine AG. Uveitis, Fundamental and Clinical Practice.
22. Friedman AH, Luntz M, Henley WL. Diagnosis and Management of Yearbook Medical Publishers, Inc., 1989, pp. 163-184.
Uveitis. An Atlas Approach. William Wilkins, Baltimore, 1982, pp. 24-43. 54. O'Connor GR. The Initiation and Inflammation of Uvea. Transact. Ophthal
23. Fujikawa S. Advances in Immunology and Uveitis. Ophthalmology 1989; mol. Soc. U.K. 1981; 101: 292-293.
96: 1115-1120. 55. O'Connor GR. Factors related to the Initiation and Recurrence of Uveitis.
24. Green WR. Uveal Tract. Ophthalmic Pathology, Vol. III, An Atlas and Am. J. Ophthalmol. 1983; 96: 577-579.
Textbook, Ed. W.H. Spencer. W.B. Saunders Company, Philadelphia, 56. Pavesio CE, Nozik RA. Anterior and Intermediate Uveitis. Int. Ophthal
1986, pp. 163-184. mol. Clin. 1990; 30: 244-251.
25. Hayashi S, Neves R, Belfort R Jr. Epidemiology and Etiology of Uveitis. 57. Palimers GD, Papankonstatiou PG, Ladas JD. Herpes Simplex Induced
Curr. Opin. Ophthalmol. 1992; 3: 491-497. Keratouveitis. Ada XXV International Congress Ophthalmology. Roma,
26. Henderly DE, Genstier AJ, Smith RE, Rao NA. Changing Pattern of May 1986, Kugler, Amsterdam, 1987, pp. 1718-1721.
Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1987; 103: 131-136. 58. Palmares J, Coutine MF, Castro-Correira J. Uveitis in Northern Portugal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 53


Curr. Eye Res. 1990; 9 (suppl): 31-34. Saari, Excerpta Medics, Amsterdam, 1984, pp. 7-12.
59. Perkins ES. Uveitis in London and in Iowa. Ophthalmologica 1984; 189: 70. Silverstein AM. Perpetuation of Inflammation in Uveitis. Transact.
36-40. Ophthalmol. Soc. U.K. 1981; 101: 301-303.
60. Pezzi PP. Le flogosi uveali Masson Italiano, Milano, 1991, pp. 21-48. 71. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A Clinical Approach to Diagnosis and
61. Riedel KG. Fokal Infektion and Uveitis. Pathogenetische Zusammen Management. Williams Wilkins, Baltimore 1983, pp. 48-67.
hange? Die Chronische-entzundlichen Erkrankungen des Auges. Ed. O. 72. Tessler HH. The First Episode of Uveitis. Now Extensive a Search?
Lundt, Ferdinand Enke-Verlag, Stuttgart, 1984, pp. 189-197. Ophthalmology Debate. Ed. Th. A. Deutsch. Yearbook Medical Publishers
62. Rives JM, Guigon B, Richard L et al. Trouble oculo-orbital d'origin Inc., Chicago, 1989, pp. 160-165.
dentaire. Encyclopaed. Medical Chirur. 73 Numero Specialise. 1993, Paris. 73. Vassileva P. Tuberculosis in the Etiopathogenesis of Uveitis. Ophthalmo
63. Rothova A, Yan Vennendal WG, Linssen A et al. Clinical Features of Acute logy Today, ed. L.N. Ferraz de Olieveira. Excerpta Medica, Amsterdam,
Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1987; 103: 137-145. 1988 pp. 73-80.
64. Rothova A, Meenken C, Michels RPJ et al. Uveitis and Diabetes Mellitus. 74. Vergani S, Dimauro E, Davies ET et al. Complement Activation in Uveitis.
Amer. J. Ophthalmol. 1988; 106: 17-20. Brit. J. Ophthalmol. 1986; 70: 60-63.
65. Rothova A, Buitenhuis HJ, Meenken C et al. Uveitis and Systemic Disease. 75. Wakefield D, McClusky, Dunlop I, Penny R. Uveitis: Etiology and Disease
Brit. J. Ophthalmol. 1992; 76: 137-141. Associated in Australian Population. Aust. N.Z. J. Ophthalmol. 1986; 14:
66. Saari KM. Genetic Background of Acute Anterior Uveitis. Amer. J. 181-187.
Ophthalmol. 91: 711-720. 76. Weiner A, Benezra D. Clinical Patterns and Associated Conditions in
67. Saari KM, Ainosuvo S. Changes of Intraocular Pressure in Acute Anterior Chronic Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1991; 112: 151-158.
Uveitis. Uveitis Update, ed. K.M. Saari, Excerpta Medics, Amsterdam 77. Witmer R. Uveites anterieur de 1'enfant. Bull. Mem. Soc. Fr. OphthalmoL
1984, pp. 97-109. 1983; 94: 335-338.
68. Secchi AG. Cataract in Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K. 1982; 78. Witmer R. The Syndrome of Posner-Schlossman Ophthalmology Update.
102: 390-398. Ed. K.M. Saari, Excerpta Medics, Amsterdam 1984, pp. 125-128.
69. Schlaegel TFJr. Geographic and Race in Uveitis. Uveitis Update. Ed. K.M.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Penatalaksanaan Uveitis
Soedarman Sjamsoe
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Pengobatan terhadap uveitis berdasarkan dari diagnosis


Di Indonesia belum ada data akurat jumlah kasus uveitis, yang ditegakkan. Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, maka
di Amerika Serikat(1) didapatkan 10% gangguan penglihatan di- ada dua tindakan yang harus kita lakukan, yaitu(6) :
akibatkan oleh uveitis dengan kerugian material 10 jutaUS dollar 1. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi
per tahun. Dari survey rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis spesialistik.
merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah 2. Pengobatan inisial non spesifik.
katarak dan glaukoma(2). Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang
Banyak kelainan uvea yang dahulu kurang dimengerti pato- menyokong ke arah suatu etiologi, maka diberikan pengobatan
fisiologinya dengan pasti, dewasa ini sudah dapat dijelaskan bila yang spesifik terhadap etiologinya. Diagnosis yang ditegakkan
ditinjau dari sudut imunologi. Kemajuan teknik imunologik penting untuk pengobatan; pameo klasik yang terkenal no matter
juga telah dimanfaatkan dalam produksi berbagai vaksin dan what causes it, you're going to treat with steroid ini tidak
obat-obatan yang digunakan untuk memperbaiki sistem imun seluruhnya benar, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang
dalam memerangi infeksi dan digunakan untuk menekan fatal bila tidak diberi terapi spesifik seperti pads toxoplasmosis,
fungsi sistem imun yang berlebihan (hipersensitivitas, auto- tuberkulosis, sifilis, herpes, dan lain-lain.
imunitas dan transplantasi) pada jaringan mata. Pada makalah ini akan dibicarakan pengobatan uveitis non
Uveitis dapat disebabkan oleh(3,4) : spesifik maupun spesifik pada uveitis.
1. Infeksi: bakteri, jamur, virus, parasit
2. Non Infeksi :
a. agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan OBAT-OBATAN NON SPESIFIK(6,7,8)
lainnya). 1. Midriatik-sikloplegik
b. antigen spesifik pada mata (Oftalmia simpatika, uveitis 2. Kortikosteroid
imbas lensa). 3. Imunosupresan
c. penyakit sistemik (Behcet, Sarkoidosis, Vogt-Koyanagi
1) Midriatik-sikloplegik
Harada, Reiter, Rheumatoid arthritis).
3. Tidak diketahui (unknown). Macam obat Lama kerja
Prinsip pengobatan uveitis adalah(5) :
Midriacyl 0.5% 1% 2% 3 – 6 jam
1. Menekan peradangan Fenilefrin 2.5% 10% 4 – 10 jam
2. Mengeliminir agen penyebab Homatropin 1% 2% 4% 5% 18 – 36 jam
3. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata Atropin 0.5% 1% 2% 10 –14 jam
dan organ tubuh di Iuar mata.

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 55


Nussenblatt memakai homatropin sebagai sikloplegik karena kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan ter-
iris akan tetap dapat berkontraksi supaya tidak terjadi sinekia lebih dahulu sebelum dipakai.
posterior(8). Apabila sudah terjadi sinekia posterior dapat dilepas- Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan kom-
kan dengan atropin atau homatropin diteteskan tiap 5 menit, plikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi
kokain dan penilefrin(9). infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain(7,10).
2) Injeksi peri-okular
2) Kortikosteroid
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi
maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi
non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik
peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara
topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada
maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal/
salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti
Indikasi injeksi peri-okular adalah(6,10) :
inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang di-
1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes
pakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra
mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an(8). Ada 2
2. Uveitis unilateral.
cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis(6) :
3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
A. Lokal : 1. Tetes mata
4. Anak-anak.
2. Injeksi peri okular
5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
B. Sistemik
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi
A. Lokal pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik Lokasi injeksi peri-okular :
sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabila Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository
terjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop. (triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone
1) Tetes mata acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipenga- bolamata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon
ruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada
topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan jaringan intraokular selama 2–4 minggu sehingga tidak mem-
tergantung pada(9,10) : butuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat di-
b. Jenis kortikosteroid pakai dexametason 2–4 mg.
c. Jenis pelarut yang dipakai b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
d. Bentuk larutan Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior
a) Konsentrasi dan frekuensi pemberian (sklera, koroid, retina dan saraf optik).
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi Komplikasi injeksi peri-okular :
pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya. 1) Perforasi bola mata.
b) Jenis steroid 2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior.
preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena 3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama
penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk
fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradang- mengangkat steroid tersebut dari bola mata.
an pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. 4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
c) Jenis pelarut
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi B. Sistemik
obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat
endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai
lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak preparat prednison dengan dosis awal antara 1–2 mg/kg BB/hari,
sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating
larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal
kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan
(biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama
dan asetat bersifat biphasic. 2 minggu(8,11). Pada uveitis kronis dan anak-anak di mana bisa
d) Bentuk larutan terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan sus- gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara
pensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular alternating single dose.
lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi Indikasi kortikosteroid sistemik :

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


1. Uveitis posterior berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa me-
2. Uveitis bilateral nekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid
3. Edema makula dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem
4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter) imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit
5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti
akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom obat sitostatika(14,15,16)
Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak Uveitis terjadi akibat hipersensitivitas tipe III (response
lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan imun-complex) seperti pada uveitis fakoanafilaktik dan vasku-
lain-lain(8,10). litis pada penyakit Behcet, dan tipe IV (lambat) seperti pada
Oftalmia simpatika, penyakit Behcet, sarkoidosis dan lain-lain.
3) Immunosupresan
Tetapi Nussenblatt mengatakan bahwa peranan reaksi tipe III
A. Sitostatika
pada uveitis terbatas, sedangkan reaksi tipe IV sangat penting
B. Siklosporin A
dalam menerangkan mekanisme penyakit peradangan intra-
A. Siklostatika okular(8).
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah
refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat spesifik dengan(l7) :
klorambusil 0,1–0,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini di- 1) Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan
pertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan sampai 5–8 mg secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon,
selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.
sampai 6–12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisin 2) Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan block-
dosis 0,5 mg–1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/ ing sintensis IL-2.
hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan 3) Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natu-
Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams me- ral killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana
ngontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik
trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan. sel NK.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik 4) Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA
dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing
mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, ganggu- antigen dan elaborasi IL-1.
an gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi Mekanisme kerja kortikosteroid dalam response imun(l7) :
oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom(5,7,12). 1. Secara invitro menekan blastogenesis sel T.
Indikasi sitostatika(7,12) 2. Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable blocking sintesis limfokin/lymphotoxic factor.
2. Penyakit Behcet 3. Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga
3. Oftalmia simpatika menekan aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intra-
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra cellulare partikel antigen dan elaborasi plasminogen activation
indikasi sitostatikac'.12> : factor.
1. Uveitis dengan etiologi infeksi 4. Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten
2. Bila tidak ada : terhadap efek CsA.
– Internist/hematologist Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun(l7) :
– Fasilitas monitoring sumsum tulang 1. Menekan secara langsung produksi antibodi.
– Fasilitas penanganan efek samping akut 2. Menghambat fungsi sel T sitotoksik.
3. Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi
B. Siklosporin A
antibodi berkurang.
Pada pengobatan uveitis sering dipergunakan kortikosteroid
4. Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap
dengan dosis imunosupresi dan dalam jangka waktu lama, yang
sitostatika walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF.
dapat menimbulkan efek samping yang tidak diingini. Obat-obat
Hasil penelitian prospektif CsA pada pasien uveitis yang
sitostatika yang dipakai sebagai imunosupresan juga dapat
re rakter terhadap pengobatan konvensional di RSCM memberi-
menimbulkan efek samping yang lebih serius. Selain itu kedua
kan hasil yang cukup baik dalam hal memperbaiki penglihatan
jenis obat tersebut tidak spesifik dalam menekan peradangan
dan menekan peradangan dengan efek samping minimal(18).
intraokular, sehingga sering terjadi kegagalan pengobatan yang
akan berakhir dengan kebutaan. Maka perlu dicari altematif
PENGOBATAN SPESIFIK
pengobatan yang lain yang lebih efektif dan aman(13).
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan 1) Toxoplasmosis(6,8,19) :
yang relatif ban' yang tidak menimbulkan efek samping terlalu Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 57


kombinasi. banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam menanggulangi
a) Sulfadiazin atau trisulfa : penyakit mata, khususnya uveitis, baik untuk diagnostik, mau-
Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu. pun pengobatannya. Pengobatan kortikosteroid dan imuno-
b) Pirimetamin : supresan pada uveitis ibarat pisau bermata dua, bermanfaat bila
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali merupakan indikasi, di lain pihak dapat menyebabkan kompli-
25 mg/hari selama 3–6 minggu. kasi yang serius bila pemakaiannya tidak pada tempatnya. De-
c) Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) : ngan adanya obat-obat barn yang lebih efektif dan lebih selektif
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat cara kerjanya dalam pengobatan uveitis maka kita dapat meng-
sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam harapkan hasil yang lebih b3ik dibandingkan masa lampau.
folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya
tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxo- KEPUSTAKAAN
plasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin
1. U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye Council.
dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap Support for vision research, 1976; 20-22.
minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk 2. Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based
mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye
folinat 5 mg tiap 2 hari. health worldwide, issue no 7 1991.
3. O'Connor GR. Endogenous uveitis. Dalam: Kraus-Mackiw E & O'Connor
d) Klindamisin : GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and therapy 2nd ed. New York:
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik de- Thieme Medical Publ Inc, 1986; 47
ngan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat 4. BenEzra D. Disease of choroid and anterior uvea. Dalam: Michelson JC
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: (Ed). Michelson's Textbook of Fundus of the Eye, 3rd ed. New York:
Churchill Livingston, 1980; 435–438.
3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva 5. BenEzra D, Nussenblatt RB, Timonen P. Optimal use of Sandimmun in
klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik. endogenous uveitis. Berlin: Springer-Verlag 1988; 7
e) Spiramisin : 6. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.
7. Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists.
samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam men- American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.
cegah rekurensi. 8. Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical Prac-
f) Minosiklin : tice. Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125–131.
1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu. 9. Schaegel TF: Non spesific treatment of uveitis. Dalam Duane TD. (ed.):
Clinical Ophthalmology, vol. IV chapter 43. Harper & Row Publ. Phila-
g) Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi delphia 1986.
medikamentosa. 10. Havener WH. Ocular Pharmacology, 5th ed The C.V. Mosby Co. 1983.
(6,8,20) 11. Forrester WH. Liversidge J & Towler HM. Cyclosporin A & intra ocular
2) Infeksi virus : inflammatory disease. Dalam: Thomson AW (Ed). Sandimmun.. Mode of
a) Herpes simplex : action and clinical application. DordrechtBoston/London: Kluwer Aca-
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal anti- demic Publ, 1989; 159–180.
virus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea 12. Dinning WJ. Therapy-selected topics. Dalam: Kraus--Mackiw and
O'Connor GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and Therapy. Thiems
intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama Medical Publ Inc. New York, 1986; 104–226.
antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 13. Belin MW, Bouchard CS, Frantz S, Chimielinska J. Topical Cyclosporine
2–3 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. in high-risk corneal transplants. Ophthalmology 1989; 96: 1144–1150.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal 14. Nussenblatt RB, Scher I. Effect of Cyclosporine on T-cell sub-sets in
experimental autoimmune uveitis. Invest Ophthalmol. Vis. Sci. Jan 1985;
necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 26: 10-14.
mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari. 15. Striph G, Doft B, Rabin B, Johnson B. Retinal S antigen-induced uveitis.
b) Herpes zoster : The efficacy of cyclosporine and corticosteroid in treatment. Arch
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut Ophthalmol. Jan 1985; 104(1): 114–117.
16. Nussenblatt RB, Palestina AG, Chan CC. Cyclosporine A therapy in the
selama 10–14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang treatment on intra ocular inflammatory disease resistant to systemic cor-
tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis ticosteroids and cytotoxic agents. Am. J. Ophthalmol 1983; 93: 175–281.
anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal. 17. Kaplan HJ, Waldrep JC. Immunologic insights into uveitis and retinitis.
c) Sitomegalovirus : Ophthalmology 1984; 91: 655-665.
18. Sjamsoe S, Marsetio M, Asyari F et al. A clinical study with low dose
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian Cyclosporin A (Sandimmun) in the treatment of refractory intermmediate
intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus. and posterior uveitis. Tenth Afro-Asia Congress of Ophthalmology.
Jakarta 1992.
19. Engstrom RE, Holland GN, Nussenblatt RB, Jabs DA. Current practices in
the management of ocular toxoplasmosis. Am. J. Ophthalmol 1991; 111:
601–610.
20. Beyer CF, Hill JM, Kaufman HE. Antivirals and interferons. Dalam:
KESIMPULAN Stamper RL (Ed). Ophthalmology Clinics of North America. WB Saunders
Dengan kemajuan pengetahuan di bidang imunologi maka Co. Philadelphia, vol 2/no. 1. March 1989; 51–

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


Bedah Refraktif Masa kini
Istlantoro
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
UPF. Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Tabel 1. Bedah Refraktif Kornea


Bedah refraktif adalah suatu bedah mata bertujuan untuk Jenis Bedah Koreksi Kelainan
menghilangkan atau mengurangi kelainan refraksi agar terjadi Refraktif Kornea
Teknik Bedah Nama lain
Refraksi
perbaikan penglihatan. Bedah refraksi meliputi : Lamelar Keratomileusis Teknik Barraquer Miopia, hipemie-
− Bedah katarak dengan lensa intraokular. Keratotomi tropia dan afakia
− Bedah lensa intraokular saja. Keratektomi Epikeratoplasti Epikeratofakia Afakia, miopia,
Keratoplasti dan keratokonus
− Bedah refraktif kornea. tembus Keratofakia
Bedah refraktif dalam perkembangannya mengundang Termo- – Kornea Donor Teknik Barraquer Afakia dan
keadaan yang kontroversial. Penderita dengan kelainan refraksi keratoplasti – Lensa Artifisial Lensa intra- hipermetropia
yang penglihatannya normal dengan memakai kaca mata namun Keratoplasti korneal Afakia dan
Fotoretraktif miopia
tidak menghendaki kaca mata, bedah refraktif harus dilakukan Excimer Laser Hidrogel Polisulfon Keratokonus
secara aman dan berisiko kecil; di lain pihak pada keadaan Radial Miopia dan
kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi dengan kaca mata astigmat
atau lensa kontak, bedah refraksi harus dilakukan walaupun Radial dan Trapezoidal, Ruiz Astigmat
transversal L, T, setengah T
risikonya besar, misalnya pada keratokonus(1). dan lain-lain
Agar dapat mengikuti Nomenklatur dan manfaat Bedah Kresentik Insisi relaksasi Astigmat
refraktif Kornea, Waring III membuat klasifikasi sebagai berikut Crescentic wedge Wedge resection Astigmat
(Tabel)(2,3) : Transplantasi Astigmat
kornea
Keratokonus
TOPOCRAFI KORNEA DAN BEDAH REFRAKTIF
KORNEA Miopia
Permukaan depan kornea dengan tearfilm-nya adalah bagian Keratektomi
fntoretraktif
terbesar yang menentukan kekuatan refraksi, oleh sebab itu per- miopia
ubahan sedikit saja pada perm ukaan kornea dapat mempengaruhi PRK Kekeruhan kornea
tajam penglihatan status refraksi(4). Keratektomi Terapetik Kera- superfisial
Dengan analisis topografi kornea dapat diketahui : terapetik tektomi Laser
PTK
− Iregularitas permukaan kornea Trepanasi kornea Keratoplasti
− Besar astigmat Insisi linear Laser K.R. Miopia
− Kekuatan D lengkung kornea.

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 59


Perkembangan alat topografi kornea adalah(5) : Komplikasi MKM amat besar. Pada saat operasi: Mikro-
− Placido Disk keratom dan cryolathe. Pasca Bedah: Koreksi kurang atau ber-
− Plaeid9 Disk Keratoscopy lebihan, astigma ireguler, gangguan reepitelisasi, sikatrik, edema
− Keratometer kornea.
− Photokeratoscope MKM jarang dikerjakan lagi pada saat ini disebabkan oleh :
− Computerized Videokeratography 1) Teknik operasi yang rumit dan sulit
Keratometer dipakai klinis secara luas dan sangat berharga 2) Banyaknya alat yang digunakan dan amat mahal harganya
namun mempunyai keterbatasan(4). 3) Ketepatan koreksi yang sangat sulit dicapai
1) Keratometer mengukur 4 titik pada permukaan kornea pa- 4) Komplikasi yang besar
rasentral tanpa mengindahkan kornea bagian sentral dan perifer. 5) Diperlukan pembedah yang amat terlatih.
2) Keratometer menilai secara rata-rata dan simetris pada
titik-titik pada permukaan kornea semimeridien 180 yang ber- EPIKERATOFAKIA
lawanan. Teknik bedah refraktif ini dikembangkan oleh Kaufman
3) Hasil pengukuran keratometer sangat tergantung pada zona dan McDonald. Caranya adalah dengan melakukan penjahitan
permukaan kornea mempunyai nilai radius dan kekuatan refraksi precarved, lyophilized donor kornea (Kerato-Len Amo) yang
yang berbeda (zona diameter 4 mm mempunyai kekuatan 36 D telah direhidrasi kembali pada saat operasi pada kornea penderita
dan 2.88 mm berkekuatan 50 D). yang telah dibuang epitelnya. Teknik ini berdasarkan pada teknik
4) Ketepatan ukuran keratometer akan berkurang pada per- Barraquer namun lebih sederhana tanpa melakukan keratektomi
mukaan kornea sangat landai (flat) dan sangat besar pada kornea dengan mikrokeratom dan kemudian cryolathe yang sangat rumit
yang sangat lengkung (steep). dan teknik sangat sulit dikerjakan(9).
Computerized Videokeratography (CVK) dapat memecah- Indikasi
kan masalah tersebut di atas. CVK dengan teknologi imaging – Afakia dewasa dan anak-anak
mampu menggambarkan 6400–8000 discrete points pada per- – Miopia
mukaan kornea. Berbagai contoh keadaan di mana keratometer – Keratokonus.
tidak secara tepat menggambarkan permukaan kornea di-
bandingkan dengan Videokeratography adalah(6) : Teknik operasi
– Astigmat asimetri 1) Pemilihan kerato-lens AMO sesuai dengan koreksi refraksi.
– Pembacaan yang tidak tepat (Misleading keratometry) 2) Menentukan aksis sentral.
Dari hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peranan 3) Mengupas epitel kornea.
topografi kornea khususnya pemakaian Computerized Video- 4) Keratektomi anular.
kertography adalah amat penting dalam Bedah Refraktif Kornea. 5) Penjahitan keratolens ke kornea penderita.
6) Bandage kontak lensa.
BEDAH REFRAKTIF KORNEA MASA KINI Pengobatan pasca bedah
Pada saat ini Bedah Refraktif Kornea yang banyak dikerja- Kombinasi antibiotika dan steroid topikal.
kan adalah Keratotomi Radial dan Fotorefraktif Keratektomi
(PRK) Excimer Laser. Namun rintisan Prof. Barraquer pada Problem dan komplikasi Epikeratofakia
Bedah Refraktif Kornea dengan pemikiran dan idenya (Kera- – Penolakan Kerato-Len
tomileusis) merupakan dasar Bedah Refraktif masa kini dan di – Ketepatan koreksi hasil operasi
masa nlendatang. Di Amerika Serikat koreksi miopia dengan – Pemulihan kembali visus
Excimer Laser diperkirakan pada tahun 2000 adalah 62% jumlah – Re-epitelisasi terlambat
miopia atau jumlahnya 2.500.000(7). – Epitel defek
– Neovaskularisasi
KERTOMILEUSIS BARRAQUER – Sisa epitel di antara kerato-len dan membran Bouwman
Keratomileusis untuk miopia (MKM) telah dirintis oleh – Jaringan ikat pra-sentral pada kerotokonus.
Jose I. Barraquer lebih 30 tahun yang lalu. Pada MKM per- Pada saat sekarang karena komplikasi dan masalah produksi
mukaan depan kornea di mana kekuatan refraksi terbesar pada keratolen terbatas (FDA) epikeratofakia jarang dikerjakan. Namun
mata diubah kekuatannya dengan cara cryolathe agar dicapai epikeratofakia masih sangat efektif pada afakia anak.
keadaan emetropia(8).
Indikasi MKM adalah miopia tinggi dan tak tahan lensa
kontak. KERATOTOMI RADIAL
Teknik operasi MKM adalah : Perkembangan keratotomi radial(10).
1) Keratektomi lamelar dengan mikrokeratom. 1886 : Lans
2) Cryolathe dengan Barraquer Cryolathe. – insisi radial mendatarkan kornea.
3) Menjahit kembali lamel kornea yang telah diubah kekuatan – pendataran akan bertambah bila insisi makin dalam.
D refraksi ke kornea asal. – efek pendataran akan berkurang pada proses penyembuhan.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


1939 -1955 : Sato Seleksi penderita: Umur lebih 21 tahun; miopia bilateral
− Keratotomi anterior dan posterior. terbagi sebagai berikut : 2.00 – 3.12 D, 3.50 – 4.37 D,4.50–8.00
− Edema kornea 25 tahun kemudian. D. Tajam Penglihatan 20/20; refraksi stabil, perubahan tidak
1969 – 1977 : Yenelev lebih 0.50 D dalam satu tabula atau 1.00 D dalam 3 tahun.
– Keratotomi radial anterior. Teknik operasi: Zona Optik 4.0 mm untuk miopia 2.00 –
– 12–32 insisi. 3.12 D, 3.5 mm untuk miopia 3.50–4.37 D,3.0 mm untuk miopia
1972 – : Fyodorov 4.50 - 8.00 D. Pakhimetri intra operatif di ZO jam.9,12, 3 dan 6.
– formulasi prediksi berdasar berbagai faktor. Pisau berlian mikrometerpada kedalaman 100% pembacaan
– berbagai ukuran zona optik. pakhimetri tertipis. Jumlah insisi 8.
1978 - : U.S.A. Pengobatan pasca bedah: Antibiotika tetes mata tanpa
– Leo Bores pioner di Amerika steroid.
– Mikrometer pisau berlian. Hasil 3 tahun pengamatan: Dan 435 operasi K.R. didapat
– berbagai teknilk operasi khusus dalamnya insisi. hasil 58% mata 1.00 D refraksi emetropia dengan 26% koreksi
– PERK study. kurang dan 16% koreksi 1.00 D berlebih. Hasil operasi K.R.
efektif pada mata dengan miopia antara 2.00 - 4.37 D. Terdapat
Seleksi penderita 12% mata mengalami perubahan refraksi antara satu tahun
Berhubungan erat dengan teknik bedah keratotomi radial, sampai tahun ketiga. Dari pengamatan pada PERK study ini
seleksi penderita K.R. dibagi : faktor-faktor yang mempengaruhi hasil (predictability) kerato-
− Miopia rendah 1 - 3 D. tomi radial adalah :
− Miopia sedang 3 - 6 D. Penderita :
− Miopia tinggi 6 - 10 D. − seleksi
Berbagai keadaan perlu dipertimbangkan pada seleksi penderita − sifat biologi individu
K.R.(11). − perencanaan
1. Operasi K.R. harus memperbaiki fungsi penglihatan. Peralatan :
2. Kepentingan pekerjaan. – Pakhimeter ultrasound
3. Memberikan penerangan kepada penderita. – Micrometer Diamond Knife
4. Informed consent. Teknik operasi :
5. Faktor psikologis. − Teknik insisi sentrifugal atau sentripetal.
6. Umur 18-60 tahun. Pemeriksaan sebelum operasi(12) :
− re-deepening insisi perifer.
• Keratometri Faktor pengalaman pembedah juga sangat menentukan hasil
• Visus dan refraksi dengan sikloplegia K.R.
• Pakhimetri ultrasound
• Tekanan intraokular KERATEKTOMI FOTOREFRAKTIF (PRK)–EXCIMER
• Topografi LASER
• Pemeriksaan segmen anterior dengan seksama. Pemakaian teknologi Excimer Laser pada kornea sangat
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil keratotomi radial(13). bermanfaat untuk tujuan pengobatan dan bedah retraktif kor-
• zona optik nea(15). Teknologi bedah kornea dengan Excimer Laser merupa-
• dalam insisi kan puncak perkembangan bedah retraktif kornea pada saat ini.
• jumlah insisi Perkataan Excimer Laser merupakan kependekan Excited
• teknik insisi Dimer. Dimer berarti dua dalam satu senyawa, seperti senyawa
• umur penderita. molekul gas Zenon-Xe2, Argon-Ar2, Krypton-Kr2. Gas-gas ini
Dari faktor-faktor tersebut dirancang berbagai normogram (rare gas dimer)merupakan media laser.
untuk menentukan hasil K.R. antara lain adalah Thorntorn, Secara singkatperkembangan Excimer Laser sebagai berikut:
Deitz, DRS formula, A Mark formula dua. Ketepatan normo- 1982 : Srinavan dkk
gram dan formula tersebut masih tergantung dari : − argon fluoride Excimer Laser mampu mengurangi partikel
• rancangan yang baik terkecil tanpa menimbulkan panas. Fotoablatil").
• ketepatan peralatan yang dipakai 1983 : Srinavan dick
• teknik pemeriksaan pre-operatif − percobaan Excimer Laser pada berbagai jaringan.
• teknik operasi − rintisan Excimer Laser bidang kedokteran.
teknik operator. 1983 : Trokel, Srinavan
− fotoablatif Excimer Laser (193 mm) pada kornea bovin(l').
Evaluasi hasil Keratotomi Radial di Amerika Serikat 1987 : L'Esperance
(PERK Study) − fotoablatif keratektomi pertama pada kornea mata buta.
Di Amerika telah dilakukan penelitian prospektif untuk − histopatologi fotoablatif Excimer Laser kornea.
menilai efektivitas Keratotomi Radial(14). − fase I percobaan Excimer Laser(18).

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 61


1989 : McDonald D koreksi kurang atau berlebih pada penderita preoperasi sampai
– keratektomi fotoretraktif pertama(19) dengan minus 6.50 D(23).
1989 : Seiler Komplikasi dan efek samping PRK
– keratektomi fotoretraktif di Eropa. Koreksi berlebih terdapat pada semua penderita sampai
Pada saat sekarang di Amerika telah sampai tahap III per- dengan bulan pertama(20,21,24). Kekeruhan kornea (haze) terdapat
cobaan keratektomi fotoretraktif versi FDA. sampai dengan bulan pertama. Dilaporkan kenaikan tekanan
intraokular 5 mmHg pada 30% penderita(24). Gejala subyektif
Seleksi penderita keratektomi fotoretraktif (PRK) miopia
Silau dankesakitan terdapat hampir semua penderita pada minggu-
Indikasi PRK untuk miopia(20,21) : miopia ringan 2.00 – 6.00 D,
minggu pertama dan dapat dikurangi dengan pemberian Voltaren®
miopia sedang 6.00 – 10.00 D, miopia tinggi 10.00 – 15.00 D,
(Ciba) tetes mata(20).
astigmat < 1.00 D. PRK untuk astigmatismus(22): pada percobaan
Komplikasi berat tidak pemah dilaporkan. Pada miopia
FDA fase III PRK untuk miopia masih terbatas refraksi miopia
tinggi dengan diameter ablasi rendah menunjukkan silau (glare)
rendah dan sedang 1.00 – 6.00 D pada penderita umur lebih 18
pada malam hari.
tahun.
Kesimpulan sementara hasil PRK
Penderita dianjurkan melepaskan lensa kontak setidaknya
PRK pada miopia sampai dengan 6.00 sangat efektif(24,25).
dua minggu sebelum PRK.
Pemeriksaan histopatologi dan penyembuhan sangat baik dan
Pemeriksaan pra PRK :
komplikasi yang didapat sangat kecil(25). Namun pada miopia
Visus dan refraksi terbaik dengan sikloplegia
tinggi masih dikembangkan teknik PRK-nya.
Fungsi air mata
Topografi kornea: Computerized Video Keratoscope(23). KEPUSTAKAAN
Pemeriksaan lampu celah pada kornea
Pakhimetri. 1. Kaufman HE. Refractive surgery. Am. J. Ophth. 1987; 10: 355–7.
Teknik PRK 2. Waring III GO. A Classification of Refractive Corneal Surgery: Making
– Pemberian sedativum dan analgetikum 30 menit sebelum Sense of Keratospeak. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ.
Refractive Comeal Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986, XXI–XXIX.
PRK bila diperlukan. 3. Waring III GO. Classification and Terminology of Laser Comeal Surgery:
– Anestesi topikal. Making Sense of Keratospeak III. Refract and Corneal Surg. 1990; 6: 318–
– Menentukan aksis sentral kornea. 20.
– Mengerok epitel kornea secara manual. 4. Koch DD. From the Guest Editor. J. Cat. & Refract, Surgery 1993;
Supplement.
– Tes Ablasi pada PMMA. 5. Rabinowitz YS, Wilson SE, Klyce SD. Color Atlas of Corneal
– Melakukan PRK. Topography, Chap. 2–3. Igaku-Shoin New York Tokyo. 1993.
– Selama melakukan ablasi, mata penderita yang tidak 6. Sanders DR, Gills JP, Martin RG. When keratometric measurement do not
diablasi ditutup. accurately reflect Comeal Topography, J. Cat. & Refract. Surgery 1993;
19. Supplement 131–5.
– Diameter zona ablasi untuk miopia ringan 4 atau 5 mm pada 7. Jaimovitch L. U.S. PRK Myopia Market Potential. Infocus. The news
ablasi satu tahap dan untuk miopia tinggi 4.5 atau 6 mm ablasi letter of the International Society of Refractive Keratoplasty. 1–1. 1993.
secara bertahap. 8. SwingerCA. Keratomileusis for Myopia. Dalam: Sanders DR, Hofman RF,
Pengobatan pasca PRK Salz JJ. Retractive Comeal Surgery. Slack Corp. 1986. hal. 469–93.
9. McDonald MB, Kaufman HE. Epikeratophakia for Aphakia, Myopia, and
– Paska PRK diberikan pengobatan(20) : Keratoconus in the adult patient. Dalam: Sanders DR, Hofman RF. Salz JJ.
– Minggu pertama : Voltaren® tetes (Ciba) mata, antibiotik Refractive Comeal Surgery. Slack Corp. New Jersey, 1986. hal. 427-48.
tetes mata. 10. Waring III GO. History of Radial Keratotomy. Dalam: Sanders DR,
– Minggu kedua dan seterusnya : Hofman RF, Salz II. Comeal Refractive Surgery. Slack Corp. New Jersey
1986. hal. 5–12.
– Steroid dan antibiotik tetes mata diturunkan secara 11. Deitz MK. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Comeal Refractive
bertahap sampai kekeruhan (haze) kornea menghilang. Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986. hal. 35–48.
– Epitelisasi kornea secara penuh terjadi pada minggu per- 12. Hofman RF. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Comeal
tama sampai dengan minggu kedua. Refractive Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986. hal. 51–78.
13. Sanders DR, Deitz MR. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Sa1zJJ.
– Kekeruhan kornea (haze) menghilang secara bertahap pada Comeal Refreacive Surgery. Slack Corp. 1986. hal. 81–90.
minggu kedua sampai bulan kedua. 14. Waring III GO et al. Three year result of the prospective evaluation of
Hasil PRK Radial Keratotomy. Ophthalmol 1987; 94: 1339–54.
Hasil yang dilaporkan dari berbagai pusat di Amerika 15. Trokel SL. Development of the Excimer Laser in Ophthalmology: A
personal perspective. Refract. Comeal Surg. 1990; 6: 357–62.
(multicenter study) PRK pada penderita kelainan refraksi pre- 16. Srinivasan R, Leigh WJ. Ablative photodecompensation action of far
operasi minus 3.75 sampai 12.00 D hasilnya pada miopia sedang ultra violet (193 mm) Laser radiation on poly (ethylene terephthalate)
(3.12–6.00 D) didapatkan 67% plano sampai minus 1.00 D, film. J Am Chem Soc 1982; 104: 6784.
sedangkan pada miopia tinggi 16% plano sampai minus 1.00 D 17. Trokek SL, Srinivasan R, Braren B. Excimer Laser Surgery of the cornea.
Am. J. Ophthalmol 1983; 96: 710–15.
dan 26% rcfraksi minus 1.12 hingga 2.00 D. Semua penderita 18. L'Esperance FA. History and development of the Excimer Laser. Dalam:
mcmpunyai korcksi berlebih sampai dengan bulan pertama(20). Thomson FB, McDonald PJ Color Atlaslfext of Excimer Laser Surgery
Hasil PRK di Eropa 90% penderita menunjukkan hasil 1.00 the Cornea. Igaku-Shoin New York-Tokyo 1993.
19. McDonald MB, Kaufman HF, Frantz JM, Shofner S, Salmeron B, Klyce

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993


SD. Excimer Laser ablation in human eye. Arch Ophthalmol 1989; 107: Surgery the Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo 1993. hal. 53-62.
641-2. 23. Rabinowitz YS, Wilson SE, Klyce SD. Corneal Topography in Photo
20. McDonald MB, Leach DH. Myopic Photorefractive Keratectomy. U.S. refractive keratectomy. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/
Experience. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/Iext of Tect of Excimer Lasr Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo
Excimer Laser Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York Tokyo 1993. 1993. hal. 53-62.
hal. 37-51. 24. Seiler T. Photorefractive Keratectomy: European experience. Dalam:
21. Salz JJ, Maguen c, Macy J1, Papaioannou T, Holbauer J, Nesbum AB. One Thomson FB, McDonnel PJ. Color/Text of Excimer Laser Surgery of
year result of excimer laser Photorefractive Keratectomy. Refract Corneal 25. Cornea. Igaku-Shoin, New York-Tokyo 1993. hal. 53-62.
Surg 1992; 8: 269-73. 26. Zabel RW, Sher NA, Ostros CS, Parker P, Linstrom RL. Myopic Excimer
22. Compos M, McFDonnel PJ. Photorefractive Keratectomy: Astigmatism. Laser Keratectomy: A Preliminary Report. Refract and Corneal Surg 1990;
Dalam: Thomson FB, McDonncl PJ. Color Atlas/Text of Excimer Laser 6: 329-34.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 63


Ruang Penyegar dan
Penambah Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

Pilih jawaban yang tepat : 10. Keratokonjungtivitis epidemika mungkin disebabkan oleh :
1. Dihasilkan oleh fibroblas A. Interleukin-1 A. Bakteri
2. Dihasilkan oleh monosit B. Interleukin-2 B. Protozoa
3. Dihasilkan oleh limfosit T C. Interleukin-3 C. Reaksi hipersensitivitas
4. Merupakan penyebab demam endogen D. Interleukin-4 D. Jamur
5. Merupakan faktor pertumbuhan sistim E. Interleukin-5 E. Reaksi autoimun
6. Mempengaruhi pertumbuhan eosinofil F. Interleukin-6 11. Kelainan mata yang dapat menyertai tumor Wilms :
7. Mempengaruhi produksi IgE G. Interleukin-7 A. Aniridia
8. Dapat berperan sebagai colony H. Interleukin-8 B. Koloboma iris
stimulating factor C. Albinisme iris
D. Nodul iris
E. Pupil ektopik
9. Yang bukan sifat ulkus Mooren : 12. Dakriosistografi merupakan alat diagnostik untuk deteksi
A. Kronik kelainan :
B. Procresif A. Retina
C. Purulen B. Lensa
D. Letak marginal C. Iris
E. Menggaung D. Sistim lakrimal
E. Sistim saraf (n. optikus)

History is the record of an encounter between character and


circumstances

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Anda mungkin juga menyukai