Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang


Penyakit kulit sekalipun tidak berbahaya, mempunyai dampak yang
besar bagi pasien baik secara fisik maupun psikologik. Kecepatan dan
ketepatan diagnosis sangat penting untuk pengobatan, yang tentu akan
mempengaruhi pada kesembuhan dan prognosis pasien.
Banyak variasi gambaran klinis dari satu penyakit kulit, dan
sebaliknya satu bentuk kelainan klinis bisa didapati pada beberapa penyakit.
Hal semacam ini sangat penting diketahui dan dipelajari oleh tenaga
kesehatan.
Penyebab penyakit kulit di sebabkan oleh banyak faktor penyebab,
salah satu penyebabnya adalah akibat dari infeksi bakteri dan virus. Banyak
sekali penyakit kulit akibat infeksi bakteri dan virus, akan tetapi dalam
makalah ini kami akan membahas tentang Folikulitis dan Herpes Simpleks
yang banyak terjadi di masyarakat.

1.2         Rumusan Masalah


Bagaimanakah gambaran tentang penyakit Folikulitis dan Herpes Simpleks?

1.3        Tujuan
1) Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit
Folikulitis dan Herpes Simpleks
2) Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi Folikulitis dan Herpes Simpleks
b. Untuk mengetahui etiologi Folikulitis dan Herpes Simpleks
c. Untuk mengetahui patofisiologi Folikulitis dan Herpes Simpleks
d. Untuk mengetahui manifestasi Folikulitis dan Herpes Simpleks
e. Untuk mengetahui komplikasi Folikulitis dan Herpes Simpleks

1
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Folikulitis dan Herpes
Simpleks
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan Folikulitis dan Herpes
Simpleks
h. Untuk mengetahui pencegahan Folikulitis dan Herpes Simpleks

1.4         Manfaat
a. Memberikan informasi pada mahasiswa tentang penyakit
Folikulitis dan Herpes Simpleks serta berbagai hal lain yang
berhubungan dengan penyakit ini.
b. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit Folikulitis dan
Herpes Simpleks
c. Sebagai sumber informasi bagi pihak lain yang ingin
melakukan penelitian atau hal lain yang ada kaitannya
dengan penyakit Folikulitis dan Herpes Simpleks

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 FOLIKULITIS
1. PENGERTIAN
Folikulitis adalah infeksi folikel rambut, biasanya oleh bakteri
staphylococcus aureus. Peradangan terjadi di folikel. Faktor resiko terjadi
trauma pada kulit dan higien buruk. (Corwin, 2011)
Folikulitis merupakan infeksi bakteri pada folikel rambut yang
menyebabkan pembentukan pustula. (Kowalak, 2011)
Folikulitis adalah peradangan yang hanya terjadi pada umbi akar rambut
saja. Berdasarkan letak munculnya, bisul jenis ini dapat dibedakan menjadi
2, yaitu superficial atau hanya di permukaan saja dan yang letaknya lebih
dalam lagi disebut profunda. (Rahayu, 2007)
Folikulitis adalah peradangan pada selubung akar rambut (folikel) yang
umumnya disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus. Folikulitis
timbul sebagai bintik-bintik kecil disekeliling folikel rambut. (Rifki, 2011)
Secara umum folikulitis dapat di klasifikasikan menjadi beberapa bagian,
yaitu :
1) Folikulitis berdasarkan letaknya
a. Folikulitis Superficial
 Pseudomonas Folikulitis
Sekitar 12 sampai 48 jam terpajan, akan timbul papul
kemerahan sampai dengan adanya pustul. Ruam akan
bertambah berat pada bagian tubuh yang tertutup pakaian
renang dengan air yang terkontaminasi dengan pseudomonas.
 Tinea Barbae
Lebih sering disebabkan oleh jamur Trychopyton verrucosum
atau Trychopyton mentagrophytes. Folikulitis tipe ini juga
terjadi di daerah dagu pria ( jenggot ). Tinea barbae
menyebabkan timbulnya bintik-bintik putih yang gatal.
 Pseudofolikulitis Barbae

3
Pada inflamasi folikel rambut di daerah jenggot,
pseudofolikulitis barbae menyebabkan jenggot menjadi
keriting.
 Pityrosporum Folikulitis
Lebih sering terjadi pada dewasa muda. Folikulitis tipe ini
menimbulkan gejala kemerahan, pustul dan gatal pada daerah
punggung, dada dan kadang-kadang daerah bahu, lengan atas
dan wajah. Disebabkan oleh infeksi ragi, seperti malassezia
furfur, sama halnya seperti jamur yang menyebabkan ketombe.
b. Folikulitis Profunda
 Folikulitis Gram negative
Lebih sering berkembang pada seseorang dengan terapi
antibiotik jangka panjang dengan pengobatan akne. Antibiotik
mengganggu keseimbangan normal bakteri pada hidung, yang
akan mempermudah berkembangnya bakteri yang berbahaya
( Bakteri Gram-negatif ). Pada umumnya hal ini tidak
membahayakan, karena flora di hidung akan kembali normal
apabila pemakaian antibiotik dihentikan.
 Folikulitis Eosinofilik
Terutama terjadi pada penderita dengan HIV positif. Folikulitis
tipe ini memiliki gejala khas yaitu inflamasi yang berulang,
luka yang bernanah (pus), terutama terjadi pada wajah tetapi
dapat juga terjadi pada punggung dan lengan atas. Luka
biasanya menyebar, sangat gatal dan seringkali menimbulkan
hipopigmentasi. (Anonymus, 2009)

2) Folikulitis berdasarkan penyebabnya


a. Folikulitis bakterial
Folikulitis bakterial terjadi ketika bakteri memasuki tubuh lewat
luka, goresan, sayatan bedah, atau berkembang biak pada kulit dekat
folikel rambut. Bakteri dapat terperangkap di folikel dan infeksi

4
dapat menyebar dari folikel rambut ke bagian lain dari tubuh.
Folikulitis bakterial bisa dangkal atau mendalam. Folikulitis dangkal,
yang disebut juga impetigo, terdiri dari bintil berisi nanah yang
terangkat dari kulit. Bintil itu sering dikelilingi oleh lingkaran
kemerahan.
Folikulitis dalam terjadi ketika infeksi menyerang lebih dalam dan
melibatkan lebih banyak folikel untuk menghasilkan furunkel dan
karbuncle. Ini lebih serius daripada folikulitis dan dapat
menyebabkan kerusakan permanen dan menimbulkan luka yang
membekas pada kulit. Folikulitis bakterial biasanya terjadi pada
anak-anak dan orang dewasa. Staphylococcus aureus adalah
penyebab folikulitis bakterial terbanyak. Ini juga menyebabkan
sikosis, yaitu infeksi kronis yang melibatkan seluruh folikel rambut.
Selain itu spesies streptococcus, pseudomonas, proteus dan bakteri
coliform juga menjadi penyebab folikulitis bakterial.
b. Folikulitis jamur
Seperti namanya folikulitis jamur ini disebabkan karena infeksi
jamur. Infeksi jamur dangkal ditemukan di lapisan atas kulit, infeksi
jamur dalam menyerang lapisan kulit yang lebih dalam. Infeksi dari
folikel rambut juga dapat menyebar ke dalam darah atau organ
dalam.
Jamur Dermatophytic , jamur Pityrosporum dan folikulitis ragi
kandida adalah penyebab utama folikulitis jamur. Folikulitis
dermatophytic paling sering disebabkan oleh spesies zoofilik, yaitu
spesies jamur yang menunjukkan daya tarik atau persamaan dengan
hewan. Kondisi ini ditandai dengan munculnya bintil folikuler di
sekitar plak eritematosa berwarna merah yang mengeras. Penetrasi
jamur yang dalam menyebabkan peradangan yang tinggi dan
menentukan besarnya kerontokan rambut yang terjadi akibat infeksi.
c. Folikulitis virus
Folikulitis Virus melibatkan berbagai infeksi virus pada folikel
rambut. Infeksi karena virus herpes sederhana (HSV) sering berubah

5
menjadi luka berbintil atau borok, dan akhirnya  menjadi kerak.
Infeksi yang disebabkan oleh kontagiosum moluskum
mengindikasikan sebuah imunitas tertahan yang bermanifestasi
sebagai papula berwarna keputihan dan gatal yang berada di daerah
jenggot. Ada juga beberapa laporan tentang folikulitis yang
disebabkan oleh infeksi herpes zoster.
d. Folikulitis parasit
Parasit yang menyebabkan folikulitis biasanya adalah patogen kecil
yang bersembunyi di dalam folikel rambut untuk tinggal atau
bertelur di sana. Kutu rambut seperti demodex folliculorum dan
demodex brevis adalah penghuni alami pada folikel pilo-sebaceous
manusia. (Anonymus, 2011)

2. ETIOLOGI
Setiap rambut tubuh tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu
kantong kecil di bawah kulit. Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel
juga terdapat pada seluruh tubuh kecuali telapak tangan, telapak kaki dan
membran mukosa seperti bibir.
Etiologi yang paling sering menyebabkan folikulitis adalah kuman
staphylococcus aureus koagulase-positif. Penyebab lainnya dapat
meliputi:
1) Klabsiella, Enterobacter, atau Proteus (mikroorganisme ini
menyebabkan folikulitis gram negatif pada pasien yang mendapat
terapi antibiotik jangka panjang)
2) Pseudomonas aeruginosa (mikroorganisme yang hidup dalam
lingkungan hangat dan memiliki PH tinggi serta kandungan klorin
yang rendah)

3. PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme penyebab ini memasuki tubuh dan biasanya lewat retakan
sawar kulit (serta tempat luka). Kemudian mikroorganisme tersebut
menyebabkan reaksi inflamasi dalam folikel rambut.

6
Terdapatnya sel-sel inflamasi dalam dinding dan ostium dari folikel rambut, membuat
pustul berbasis folikular. Jenis sel-sel inflamasi yang sebenarnya dapat bervariasi dan
dapat tergantung pada etiologi dari folikulitis, tahap di mana spesimen biopsi diperoleh,
atau keduanya. Peradangan dapat berupa terbatas pada aspek superfisial dari folikel
dengan keterlibatan utama dari infundibulum atau peradangan dapat mempengaruhi
aspek superfisialis dan profunda dari folikel. Folikulitis profunda dapat terjadi akibat dari
lesi kronis folikulitis superfisialis atau dari lesi yang dimanipulasi, dan ini pada akhirnya
dapat menyebabkan jaringan parut Peradangan utama dari folikel rambut yang terjadi
sebagai akibat dari berbagai infeksi, atau dapat menjadi sekunder terhadap trauma atau
oklusi folikular.Meskipun etiologi erupsi papulopustular sekunder untuk reseptor faktor
pertumbuhan epidermal(EGF-R) inhibitor tidak diketahui, itu adalah hipotesis terjadi
sekunder untuk diferensiasiepidermis abnormal yang mengarah pada obstruksi dan
peradangan folikel selanjutnya.

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis folikulitis berbeda beda tergantung jenis infeksinya. Pada
bentuk kelainan superfisial, bintik-bintik kecil (papul ) berkembang di
sekeliling satu atau beberapa folikel. Papul kadang-kadang mengandung
pus ( pustul ), ditengahnya mengandung rambut serta adanya krusta
disekitar daerah inflamasi. Infeksi terasa gatal dan agak sakit, tetapi
biasanya tidak terlalu menyakitkan. Tempat predileksi folikulitis
superfisial yaitu di tungkai bawah.
Folikulitis profunda akan merusak seluruh folikel rambut sampai ke
subkutan sehingga akan teraba infiltrat di subkutan dan dapat
menimbulkan gejala yang lebih berat yaitu sangat sakit, adanya pus yang
akhirnya dapat meninggalkan jaringan ikat apabila telah sembuh.
(Anonymus, 2009)

5. KOMPLIKASI
Pada beberapa kasus folikulitis ringan, tidak menimbulkan komplikasi
meskipun infeksi dapat rekurens atau menyebar serta menimbulkan plak.
Komplikasi pada folikulitis yang berat, yaitu :

7
1) Selulitis
Sering terjadi pada kaki, lengan atau wajah. Meskipun infeksi awal
hanya superfisial, akhirnya akan mengenai jaringan dibawah kulit atau
menyebar ke nodus limfatikus dan aliran darah.
2) Furunkulosis
Kondisi ini terjadi ketika furunkel berkembang ke jaringan dibawah
kulit ( subkutan ). Furunkel biasanya berawal sebagai papul berwarna
kemerahan. Tetapi beberapa hari kemudian dapat berisi pus, sehingga
akan membesar dan lebih sakit.
3) Skar
Folikulitis yang berat akan meninggalkan skar atau jaringan ikat
( hipertropik / skar keloid ) atau hipopigmentasi
4) Kerusakan folikel rambut
5) Hal ini akan mempermudah terjadinya kebotakan permanen

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Riwayat pasien yang memperlihatkan folikulitis sebelumnya sudah
ada
2) Pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya lesi kulit untuk
penegakan diagnosis folinokulitis
3) Pemeriksaan kultur luka pada tempat yang terinfeksi (biasanya
memperlihatkan S. aureus)
4) Kanaikan jumlah sel darah putih (leukositosis) yang mungkin
terjadi.

7. PENATALAKSANAAN
Kadang folikulitis dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari, tetapi
pada beberapa kasus yang persisten dan rekurens perlu penanganan
lebih lanjut.
1) Umum

8
Cukup dengan menjaga kebersihan diri terutama kulit, menghindari
garukan dan faktor pencetus seperti gesekan pakaian atau mencukur
dan luka atau trauma.
2) Khusus, terbagi 2 yaitu secara tropikal dan secara sistemik :
a. Topikal
 Kemicetin salap 2 %
 Kompres PK 1/ 5000 solusio sodium chloride 0,9 %( jika ada
eksudasi)
 Salep natrium fusidat.
b. Sistemik
Antibiotik (umumnya di berikan 7 – 10 hari) misalnya :
 Penisilin dan semisintetiknya.
 Penisilin G prokain injeksi 0,6 – 1,2 juta IU, IM selama 7 –
14 hari, 1 – 2 kali/ hari.
 Ampisilin 250 – 500 mg/ dosis, 4 kali/ hari
 Amoksisilin, 250 – 500 mg/ dosis, 3 kali/ hari
 Kloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal penisilin),
dosis 250 – 500 mg, 4 kali / hari.
 Dikloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal penisilin),
dosis 125 – 250 mg, 3 -4 kali/ hari.
 Eritromisin 250 – 500 mg 3 – 4 kali/ hari(dewasa) dan 12, 5 – 25
mg/kbBB/ dosis 3 – 4 kali/ hari(anak).
 Klindamisin 150 – 300 mg 3 – 4 kali/ hari (dewasa) dan 8 –
20mg/ kgBB/ dosis 3- 4 ksli/ hari(anak).(1, 6, 7, 8)
Penggunaan antiseptik dapat di berikan sebagai terapi tambahan
( misalnya : Chlorhexidine) tetapi jangan di gunakan tanpa pemberian
antibiotik sistemik.
Dianjurkan pemberian antibiotik sistemik dengan harapan dapat
mencegah terjadinya infeksi kronik.

8. PENCEGAHAN
1) Perawatan hiegine perorangan serta keluarga yang baik

9
2) Untuk menghindari penularan bakteri kepada anggota keluarga
lain, beri tahu pasien agar menggunakan handuk dan lap mukanya
sendiri. Beri tahu pula bahwa barang-barang ini harus direndam
dulu dalam air panas sebelum dicuci (atau cuci dengan mesin cuci
yang menggunakan air panas)
3) Pasien harus mengganti pakaian dan perlengkapan tidurnya (seperti
sprei, selimut, sarung bantal, dll) setiap hari dan semua barang ini
harus dicuci memakai air panas
4) Anjurkan pasien untuk mengganti perban dengan sering dan segera
membuangnya dalam kantung kertas ke tempat sampat.

2.2 HERPES SIMPLEK


1. PENGERTIAN
Herpes simpleks adalah suatu lesi akut berupa vesikel berkelompok, dapat
satu atau beberapa kelompok (berada dekat mukokutan).
Herpes yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) adalah sejenis
penyakit yang menjangkiti mulut, kulit, dan alat kelamin. Penyakit ini
menyebabkan kulit melepuh dan terasa sakit pada otot di sekitar daerah
yang terjangkit.Hingga saat ini, penyakit ini masih belum dapat
disembuhkan, tetapi dapat diperpendek masa kambuhnya.
Herpes adalah infeksi virus pada kulit yang paling umum. Kondisi yang
muncul karena infeksi ini sangat bervariasi meliputi infeksi tanpa gejala,
pilek dan herpes pada genital.
Herpes genetalia merupakan infeksi akut pada genetalia dengan gambaran
khas berupa vesikel berkelompok pada dasar eritema dan cenderung bersifat
rekuren.
Transmisi atau penularan infeksi virus herpes simpleks paling sering terjadi
melalui kontak erat dengan individu yang pada daerah permukaan kulit dan
mukosanya mengeluarkan virus, dalam sekresi oral atau genital. Inokulasi
virus pada lesi kulit atau mukosa akan menimbulkan respons imunitas seluler
awal tetapi jika terjadi penghambatan pada virus, maka akan terjadi
reepitelisasi pada lesi ( Daili, Sjaiful & Judanarso, Jubianto ).

10
Herpes simpleks genitalis dapat ditularkan melalui kontak seksual, dan
mengenai organ-organ seks tubuh seperti vagina dan daerah sekitamya
(bokong, anal dan paha) atau melalui aktivitas seksual oral (organ oral seks).
Tetapi tidak dapat ditularkan melalui udara atau melalui air, misalnya jika
seseorang berenang di kolam renang.
Infeksi ini dapat berupa kelainan pada daerah orolabial atau herpes
orolabialis serta daerah genital dan sekitarnya atau herpes genitalis, dengan
gejala khas adanya vesikel berkelompok di atas dasar yang eritema. Di antara
keduanya herpes genitalis merupakan salah satu penyakit infeksi menular
seksual yang sering menjadi masalah karena sukar disembuhkan, sering
rekuren, juga karena penularan penyakit ini yang dapat terjadi pada
penderita yang tanpa gejala atau asimtomatis.

2. ETIOLOGI DAN EPIDEMOLLOGI


1. Penyebab : Herpes Simpleks Virus merupakan penyebab
terjadinya infeksi herpes simpleks.
Sedangkan herpes simplex genetalia umumnya disebabkan oleh herpes
simplek virus tipe 2 ( herpes virus hominis tipe 2 ), sebagain kecil dapat
pula oleh tipe 1.
2. Umur : dewasa muda / masa seksual aktif.
3. Jenis kelamin : insiden yang sama pada pria dan wanita.
4. Ras : kulit hitam lebih banyak dari kulit putih
5. Risiko mendapatkan infeksi genetalia adalah keaktifan seksual yang
bertambah, umur muda pada saat pertama kali melakukan hubungan
seks, bertambahnya jumlah pasangan seksual, status imun penderita.
6. Faktor pencetus : menstruasi, koitus, gangguan pencernaan, stress
emosi, kecapaian, dan obat – obatan
7. Klasifikasi :
Herpes simpleks dibagi dalam 2 serogroup, yaitu:
 Herpes Simpleks tipe 1 ( HSV-1)
HSV-1 menyebabkan infeksi oral, ocular dan wajah.
 Herpes Simpleks tipe 2 ( HSV-2)

11
HSV-2 atau disebut dengan herpes genital ditularkan melalui
hubungan seksual dan menyebabkan vagina terlihat seperti bercak
dengan luka mungkin muncul iritasi, penurunan kesadaran yang
disertai pusing, dan kekuningan pada kulit (jaundice) dan kesulitan
bernapas atau kejang.
HSV adalah yang paling berat dan dimulai setelah masa inkubasi 4
- 6 hari. Tetapi, bagaimanapun kedua tipe virus tersebut dapat
menyebabkan penyakit dibagian tubuh manapun

3. PATOFISIOLOGI
Infeksi herpes simpleks mengikuti pola yang biasa pada family virus
herpes yaitu:
a. Infeksi primer
Hampir semua orang yang terinfeksi tidak mengetahui episode pertama
dari infeksi herpes simpleks. Pada gejala individu, infeksi primer adalah
tahap di mana mungkin rasa nyeri muncul dan gejala memanjang pada
tahap ssesudah itu. Infeksi primer mungkin berlangsung selama
beberapa hari.
b. Masa laten (inkubasi)
Virus yang awalnya menginfeksi sel epitel membran mukosa dan kulit
akan menyerang sel saraf sensori selama masa laten. Pada masa ini
virus tidak melakukan replikasi tetapi hidup. Pada keadaan ini adanya
stressor emosi atau fisiologik dapat menyebabkan virus aktif kembali.
c. Infeksi sekunder (reaktivasi)
Virus melakukan replikasi pada reaktivasi dari infeksi baik dengan
menunjukan gejala atau tanpa gejala. Pada kasus lain dapat terjadi
penyebaran virus pada orang lain. Umumnya reinfeksi simtomatik tidak
terlalu parah dan dalam waktu yang lebih singkat dari infeksi primer.
Gejala yang muncul kembali dari infeksi mempunyai periode
prodromal dan dapat diketahui dengan adanya sensasi gatal, panas,atau
kesemutan.

12
Infeksi herpes genitalis dimulai bila sel epitel mukosa saluran hospes (host)
yang rentan terpapar oleh virus yang ada dalam lesi atau sekret genital orang
yang terinfeksi. HSV menjadi inaktif, melekat pada sel epitel masuk
dengan cara meleburkan diri di dalam membran. Sekali masuk di dalam sel
akan terjadi replikasi menghasilkan banyak vinon sehingga sel-selnya akan
mati. Virus juga memasuki ujung saraf sensoris yang mensarafi saluran
genital. Virion masuk ke dalam inti sel neuron dan ganglia sensorik.
Infeksi oleh virus herpes 1 atau 2 akafi menginduksi glikoprotein yang
berhubungan pada permukaan sel-sel yang terinfeksi. Setelah terjadi
infeksi, sistem imunitas humoral dan seluler akan terangsang oleh
glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respons imun. Pada hewan coba
tikus, antibodi spesifik akan muncul dalam serum setelah 3 hari, sel T
sitotoksik setelah 4 hari dan imunitas seluler fungsional setelah 5 hari.
Sifat virus berbeda dari bakteri, di mana bakten bersifat independent, dapat
bereproduksi sendiri sedangkan virus harus dibantu oleh sel untuk
bereproduksi. Virus masuk ke dalam sel manusia dan dapat membuat
virus lain. Demikian juga pada sel manusia yang terinfeksi oleh herpes
simpleks, sel tersebut akan melepas virus baru sebelum mati. Sel yang mati
tersebut akan menghasilkan kerusakan pada jaringan yang ditandai atau
dimulai dengan munculnya gambaran vesikula.
Virus herpes dapat juga menginfeksi suatu sel yang kemudian akan
membuat virus baru lagi untuk kemudian virus tersebut akan bersembunyi di
dalam sel. Bersifat hanya menunggu. Virus yang tersembunyi dalam sel sistem
saraf ini disebut sebagai neuron. Dan masa menunggu tersebut kita sebut
sebagai masa laten. Virus laten dapat menunggu dalam neuron dalam
beberapa hari, bulan atau tahun.
Pada suatu waktu virus aktif kembali dan menyebabkan sel tersebut
menghasilkan virus baru sehingga mfeksinya menjadi aktif. Kadang-
kadang infeksi yang aktif tersebut tidak menimbulkan gejala atau
asimtomatis. Tetapi dapat menularkan ke orang lain. Jadi seseorang yang
tanpa gejala, dapat juga menularkan ke orang lain.

13
Infeksi aktif ini akan dikontrol oleh sistem imun tubuh kita, sampai fase
penyembuhan dari sakitnya. Di antara masa infeksi aktif dari virus tersebut,
dapat timbul masa laten. Pada masa laten selanjutnya virus menjadi aktif lagi
dan sekali lagi menyebabkan terjadinya sakit. Dan keadaan ini disebut sebagai
rekurensi.
Bersamaan dengan infeksi awal, virus herpes simpleks ini akan menuju saraf
sensorik perifer masuk ke ganglion sensorik atau otonom pada masa laten.
Kekambuhan yang rerjadi biasanya berhubungan dengan adanya
reaktivasi strain virus awal dari ganglion yang terinfeksi secara laten.
Mekanisme atau pun faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya
peningkatan frekuensi reaktivasi belum diketahui dengan pasti.
Diduga faktor yang meningkatkan frekuensi reaktivasi adalah faktor dari
virus itu sendiri juga dari hospes, di mana pada penderita yang mempunyai
imunitas yang rendah akan mengalami reaktivasi yang lebih sering dengan
kondisi yang parah.
Tidak terdapat imunitas alami terhadap virus herpes simpleks yang
menginfeksi untuk pertama kalinya. Jadi tidak ada antibodi di dalam sirkulasi
yang melawan virus tersebut. Atau tidak ada imunitas seluler yang melawan
herpes (sebagaimana ditunjukkan oleh pembentukan limfosit) terhadap
antigen virus herpes.
Selama fase induksi, infeksi menjadi tidak terkontrol, infeksi herpes
simpleks dapat menyebar, memburuk dengan durasi yang lebih lama
daripada infeksi herpes rekurens. Keadaan ini memburuk secara klinis
danNiibedakan dengan cara, menghitungjumlah din melihat karakteristik dari
imunitas seluler. Ketika imunitas tubuh seseorang dirangsang maka
gambaran infeksi herpes simpleks secara khas akan muncul sehingga
fungsi antibodi menjadi kurang berarti.
Kekambuhan yang sering terjadi pada penderita dengan infeksi herpes
simpleks, akan menyebabkan terjadinya peningkatan imunitas seluler
pada kebanyakan penderita. Sel-sel T yang sebelumnya menginfeksi
seseorang secara in vitro akan membentuk bias atau sel darah baru setelah
terpapar dengan antigen Herpes. Selama 12 minggu akan terjadi peningkatan

14
pembentukan sel-sel darah yang jumlahnya sama dengan antigen herpes.
Secara in vivo hal ini dapat atau tidak dapat mencegah munculnya imunitas
seluler tetapi dapat juga dipakai dalam membatasi daerah yang terinfeksi virus
Herpes, dengan masa penyembuhan kurang dari 2 minggu.
Seperti infeksi virus yang lain, pada infeksi virus herpes simpleks ini akan
terbentuk antibodi IgG, IgM dan IgA. Titer antibodi IgG dan IgM akan
menurun lebih cepat setelah infeksinya terkontrol. Titer IgG muncul secara
indefinitif, yang menunjukkan bahwa imunitas humoral protektif yang
muncul adalah akibat dari rangsangan oleh virus hidup atau oleh vaksinasi.
Keberadaan antibodi terhadap virus herpes simpleks 1 merupakan
peningkatan perlindungan paling tinggi melawan infeksi yang disebabkan
oleh herpes virus tipe 2 atau sebaliknya, atau disebabkan oleh reaktivasi
silang.
Faktor status imunologi seseorang pada beberapa kasus mungkin
berhubungan dengan efek dari faktor imunologi penyakit ini.4 Kekambuhan
dibedakan dari infeksi primer dalam hal, ukuran vesikelnya yang kecil dan
dalam kelompok yang tersendiri juga tidak disertai gejala konstitusional.
Adanya keluhan gatal dan panas terjadi pada 1 sampai 2 jam. Secara normal
akan terjadi penyembuhan dalam 7—10 hari. Tanpa meninggalkan sikatriks,
muncul juga gambaran lesi yang kecil-kecil yang sama dengan lesi pada labia,
vagina atau serviks yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri yang hebat.

4. MANIFESTASI KLINIS
Derajat keparahan penyakit dapat dilihat dari gambaran klinis dan
frekuensi serta seringnya kekambuhan dari herpes genitalis ini juga
dipengaruhi oleh faktor hospes dan virus, seperti tipe virus serta keadaan
imunitas hospes. Faktor hospes yang ikut mempengaruhi derajat keparahan
penyakit adalah umur, suku, inokulasi atau latar belakang genetik.
Masa inkubasi dari herpes simpleks ini umumnya berkisar antara 3—7
hari tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat tetapi
bisa juga asimtomatis, terutama bila lesi pertama herpes genitalis, ditemukan di
daerah serviks.

15
Manifestasi klinis herpes genitalis dapat dibedakan antara episode
yang pertama dengan episode kekambuhan herpes genitalis. Pada episode
pertama herpes genitalis, sering bersama-sama dengan gejala sistemik
disertai gejala pada genital maupun ekstragenital.
Gejala sistemik yang muncul seperti nyeri, sakit tenggorokan,
panas, pusing, gatal, kesemutan, limfadenopati, malaise dan myalgia
dilaporkan terjadi 40% pada laki-laki dan 70% pada wanita dengan HSV2
primer. Muncul pada awal penyakit dan mencapai puncaknya pada hari ke-3
—4 setelah onset penyakitnya. Gejala lokal yang muncul berupa nyeri, gatal,
disuria dan adenopati inguinal. Discharge uretra dan disuria dapat muncul
pada sepertiga pasien laki-laki dengan infeksi HSV2.
Pada keadaan imunokompeten, bila seseorang terinfeksi virus herpes
simpleks maka manifestasinya sebagai berikut : dapat berupa episode pertama
infeksi primer, episode nonprimer, lesi rekuren, lesi asimtomatis atau terjadi
infeksi yang tidak khas atau atipik.
1) Episode Primer Pertama Infeksi Herpes Simpleks Genitalis
Infeksi primer adalah infeksi yang pertama kali dengan HSV 2 atau 1.
Tampak dalam 2-1 hari setelah inokulasi.
a. Sering kali disertai gejala sistemik seperti demam, nyeri kepala, malaise
dan mialgia.
b. Sifat lesi dan pelepasan virus berlangsung lama dan dapat mengenai
banyak tempat di genital atau luar genital.
c. Gejala klinis berupa nyeri dan iritasi pada lesi bertambah dalam
6-7 hari pertama sakit dan men- capai puncaknya antara 7-11 hari
sakit.
d. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening di mana lesi di genital berupa
papula, berkembang menjadi vesikel berdingding tipis di atas dasar
eritematosa sebelum pecah menjadi ulkus. Ulkus basah akan menjadi
krusta basah yang mengering. Reepitelisasi kulit yang terkena terjadi di
bawah krusta kering yang akhirnya lepas.

16
Pada masa laten dan masa infeksi aktif, adanya infeksi ini dapat
dengan mudah dipahami dengan melihat gambaran lesi yang muncul
pada genital dan disebut sebagai infeksi primer.

Herpes simpleks genetalis, tampak vesikula bergerombol di atas


kulit yang eritematus.

Herpes simpleks genetalis, tampak erosi multipel akibat vesikula yang


sudah pecah dan di beberapa tempat masih terdapat vesikula.

2) Episode nonprimer pertama infeksi herpes simpleks genitalis


Individu yang pernah terpapar dengan HSV1 dan 2 sebelumnya
telah mempunyai seropositif pada saat episode pertama yang disebut
nonprimer. Episode ini menyerupai masa rekurensi yaitu lebih ringan dan
infeksi primer dengan masa tunas yang lebih panjang. Sebagian besar
orang, pada pemeriksaan serologisnya telah mendapat infeksi HSV1
jarang didapatkan pada seorang yang pernah terinfeksi HSV2
sebelumnya.

17
Pada episode pertama nonprimer infeksi sudah berlangsung lama,
tetapi belum menimbulkan gejala klinis dan tubuh sudah membentuk zat
anti sehingga gejala yang muncul lebih ringan.

3) Herpes genitalis rekurens


a. Lebih bersifat ringan dan bersifat lokal.
b. Sebagian besar infeksi dengan HSV2 ini akan terjadi
kekambuhan
Yaitu infeksi utama bersifat subklinis atau asimtomatis.
Dikatakan bahwa kekambuhan pada HSV2 terjadi 6 kali lebih sering
daripada HSV1. Sebagian besar pasien yang mempunyai seropositif
untuk HSV2 tidak dapat dikenali adanya infeksi pada HSV. Dua
puluh persen pasien sering kambuh dan 60% dari lesi klinisnya
mempunyai kultur positif untuk HSV2.
Pria lebih sering mengalami kekambuhan. Kekambuhan pada
pria rata-rata 5 kali per tahun sedangkan pada wanita rata-rata 4 kali
per tahun. Secara keseluruhan 60% pasien dengan HSV akan
mengalami rekurensi klinis dalam tahun pertama.
Kekambuhan akan terjadi bila ada faktor pencetus yang akan
menyebabkan reaktivasi virus dalam ganglion sehingga virus turun
melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang
dipersyarafinya. Untuk kemudian bereplikasi dan multiplikasi dan
menimbulkan lesi 2. Virus akan terus-menerus dilepaskan ke
sel-sel epitel dan adanya faktoij pencetus menyebabkan
kelemahan pada daerar tersebut dan lesi menjadi rekurens. Faktor
pencetus kekambuhan:
 Adanya trauma minor,
 Infeksi lain termasuk panas yang bersifat ringan atau pasien tidak
mengeluh panas,
 Infeksi saluran nafas atas,
 Radiasi ultraviolet,
 Neuralgia trigeminal,

18
Juga pada kasus setelah operasi intrakranial karena penyakit
ini, operasi gigi, atau oleh tindakan dermabrasi.
 Bahkan kadang-kadang seorang wanita mendapat
kekambuhan dari keadaan ini saat dirinya menstruasi.
Pada anak-anak biasanya mempunyai gambaran vesikel yang
lebih besar walau angka kejadian munculnya jarang. Rekurensi
lebih sering terjadi pada bagian tubuh yang sama. Meskipun vesikel
biasanya berbentuk tidak teratur dalam satu garis atau satu distribusi
saraf.
Pada keadaan laten, bila ada faktor pencetus maka akan
terjadi replikasi virus sehingga terjadi lesi rekurens. Pada saat itu di
dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga gejalanya
lebih ringan daripada saat infeksi primer.
c. Gejala Klinis:
 Nyeri
 Iritasi lesi genital yang akan meningkat setelah hari ke 6 sampai
ke 7 dari masa sakitnya
 Pembesaran limfonodi inguinal dan femoral secara umum
bersifat nonf luktuasi serta nyeri pada perabaan.
d. Gambaran klinis infeksi herpes genitalis yang rekuren sebagai
berikut.
 Vesikel kecil-kecil yang multipel bergerombol pada satu sisi muncul
pada kulit yang normal atau daerah kemerahan, berisi cairan
jernih kemudian akan tampak keruh dan purulen, kering dan
berkrusta menyembuh setelah 7-10 hari, lesi yang matang
terdiri atas vesikel bergerombol dan atau pustula di atas kulit
yang eritematosa dengan dasar edema. Gerombolan vesikel dan
erosi ini biasanya tampak pada vagina, rektum atau penis dan
dapat muncul vesikel baru lagi pada hari ke-7-14. Lesi bisa
bilateral dan sering meluas. Gejala sistemik yang muncul berupa
panas dan flu tetapi sering pada wanita gejala yang paling
menonjol adalah nyeri pada vagina dan nyeri saat kencing.

19
 Adanya krusta yang kekuningan atau keemasan
mengindikasikan adanya superinfeksi dengan bakteri
 Pembesaran kelenjar regional dengan nyeri sering ditemukan.
 Gambaran eritema multiforme sering bersamaan dengan
infeksi HIV dan berespons dengan pemberian antivirus
sebagai profilaksis.

4) Herpes genitalis atipikal


Atipikal adalah istilah yang menggambarkan manifestasi herpes simpleks
genitalis yang tidak khas atau atipikal. Tidak berupa vesikel sering berupa
fisura, furunkel, ekskoriasi dan eritema vulva nonspesifik disertai rasa
nyeri dan gatal pada wanita sedangkan pada pria berupa fisura linier pada
preputium dan bercak merah pada glans penis.

5) Reaktivasi subklinis atau herpes simpleks genitalis asimtomatis


Episode transmisi seksual dan vertikal terjadi pada fase ini.
Reaktivasi HSV subklinis paling tinggi terjadi dalam 6 bulan setelah
terinfeksi. Di mana jika seseorang yang telah menderita herpes genitalis
selama bertahun-tahun akan melepaskan virus secara subklinis separuhnya
dibandingkan wanita yang menderita kurang dari 2 tahun.

5. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling signifikan dari HSV adalah ensefalitis,
meupakan kasus fatal sekitar 60-80%. HSV dapat muncul sebagai
penyakit menular seperti pneumonia, colitis, atau esofagitis pada pasien
AIDS. Infeksi primer atau rekuren selama hamil dapat menimbulkan
infeksi congenital janin dan bayi baru lahir. Komplikasi dapat berupa
infeksi lokal sampai dengan kelainan dan kadang meninggal.
Komplikasi herpes simpleks genitalis dapat berupa perluasan lesi
lokal dan penyebaran virus ke lokasi ekstragenital, susunan saraf pusat dan
bahkan bisa juga terjadi superinfeksi jamur. Pada pria dapat terjadi
impotensia. Infeksi menyeluruh bisa terjadi pada toraks dan ekstremitas,

20
penyebaran mukokutan pada pasien dengan dermatitis atopik atau
kehamilan.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Kulit
a. Lokalisasi : Pada wanita biasanya pada labia mayora, labia minora,
klitoris dan introitus vagina. Pada pria vesikel biasanya terdapat
pada prepusium, glans penis dan korpus penis.
b. Efloresensi : Vesikel berkelompok diatas daerah eritematosa pada
alat kelamin. Vesikel mudah pecah, meninggalkan ulkus – ulkus
kecil, dangkal dan jika sembuh tidak menimbulkan jaringan parut

2) Diagnosis Klinis
Dibedakan antara infeksi HSV genital dengan penyebab lain ulkus
genital baik infeksi atau bukan. Didiagnosis suatu HSV bila ditemukan
kelompok vesikel multipel berukuran sama, timbulnya lama dan sifatnya
sama dan nyeri. Hal ini harus dibedakan dengan ulkus yang disebabkan
oleh Treponema pallidun. Walaupun dapat terjadi koinfeksi antara
keduanya.

3) Diagnosis Laboratorium
a. Isolasi virus.
b. Deteksi DNA HSV dengan polymerase chain reaction (PCR).
c. Pemeriksaan serologi
 Deteksi antigen HSV secara enzyme immunoassay (EIA).
 Peningkatan titer antibodi anti-HSV pada serum yang diambil
segera dan sesudah 1 episode memiliki keterbatasan. Bermanfaat bila
pada episode pertama infeksi.
d. Pemeriksaan histopatologi
Didapatkan gambaran yaitu Vesikel – vesikel pada lapisan stratum
spinosum berisi cairan yang mengandung sel – sel epitel akntolitik,
leukosit, sel raksasa dan fibrin. Vesikel mukosa berbeda dengan vesikel

21
kulit yaitu vesikel mukosa relative tak berisi cairan, jumlah fibrin lebih
banyak serta sel – sel diatas vesikel lebih tebal dan edema.

4) Diagnosa Banding
a. Sifilis
b. Ulkus Mole
c. Limfagranuloma venerum
d. Balanopstitis
e. Skabies
f. Lesi septic dan trauma

7. PENATALAKSANAAN
Pengobatan herpes umumnya sama, di manapun herpes tersebut
timbul. Yang penting si penderita harus menjaga daerah tersebut tetap
bersih dan kering. Anda dapat membersihkan daerah sekitar dengan saline
(larutan garam) dan sesudahnya harus segera dikeringkan. Jika daerah
terinfeksi terlalu lembab, dapat mengundang infeksi sekunder (infeksi
lanjutan).
1) Medis
a. Pengobatan lesi inisial / episode pertama yang diberikan dapat
dibagi menjadi 3 bagian.
 Pengobatan profilaksis, yaitu meliputi penjelasan kepada pasien
tentang penyakitnya, psikoterapi dan proteksi individual.
 Pengobatan nonspesifik, yaitu pengobatan yang bersifat
simtomatis
 Pengobatan spesifik, yaitu pengobatan berupa obat-obat
antivirus terhadap virus herpes.
Pengobatan simtomatis dan antivirus berupa asiklovir 5 x
200 mg/hari /oral selama 7—10 hari atau 3 x 400 mg. Jika ada
komplikasi berat dapat diberikan asiklovir intravena 3 x 5
mg/kgBB/hari selama 7—10 ban.

22
Pada keadaan imunokompeten resistensi terhadap asiklovir
diperkirakan sekitar 3%. Pada penderita dengan frekuensi
rekurensi yang tinggi dapat diberikan terapi asiklovir sebagai obat
supresif kronis dalam dosis 400 mg dua kali sehari dan dapat
menyembuhkan 50% dari lesinya.
b. Lesi Rekurens
Jika lesi ringan: simtomatis
Jika lesi berat : dapat diberikan asiklovir 5 X 200 mg/hari per oral
selama 5 hari atau 2 X 400 mg/hari atau Valasiklovir 2 x 500
mg/hari atau Famsiklovir 2 x 125-250 mg /hari.

2) Non Medis
a. Menjaga kebersihan local
b. Menghindari trauma atau factor predisposisi

8. PENCEGAHAN
Semua orang dengan aktivitas seksual yang aktif sebaiknya diberikan
penjelasan tentang risiko penularan penyakit infeksi menular seksual ini.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita yang tanpa
gejala atau asimptomatik kurang mengenal penyakitnya sehingga dapat
menularkan kepada pasangannya. Maka dianjurkan untuk melakukan
hubungan seksual secara lebih aman dan juga setia pada pasangan masing-
masing

BAB III

23
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Folikulitis adalah infeksi folikel rambut, biasanya oleh bakteri
staphylococcus aureus. Peradangan terjadi di folikel. Faktor resiko terjadi
trauma pada kulit dan higien buruk
2. Herpes simplek genetalia merupakan penyakit menular seksual,
penularannya melalui hubungan seksual maupun permukaan kulit.
3. Gejala yang sering adalah nyeri serta klien kebanyakan mengalami
gangguan psikologi maupun psikososial.
4. Penanganan dapat berupa medis maupun non medis dimana peran perawat
disini adalah penanganan non medis yaitu memberikan health education
dalam mencegah penularan herpes genetalia

3.2 Saran
1. Sebagai ilmu pengetahuan untuk memberikan intervensi pada pasien
folikulitis dan herpes simplek genetalia.
2. Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada makalah ini, maka
dapat dikembangkan untuk penulisan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

24
Anonymus. 2012. Folikulitis, Bisul, & Karbunkel.
http://medicastore.com/penyakit/343/Follikulitis_Bisul_&_Karbunkel.ht
ml diakses tanggal tanggal 1 Oktober 2012
Anonymus. 2012. Penyebab Folikulitis. http://doktermu.com/penyebab-
folikulitis.html diakses tanggal tanggal 1 Oktober 2012
Carpenito. L. Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta
Kowalak, P. Jennifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta
Rahayu. 2007. Bisul Bayi bag 2. http://www.balita-anda.com/bisul -bayi-
bag2.html diakses tanggal tanggal 1 Oktober 2012
Rifkind, Malik. 2011. Folikulitis.
http://www.scribd.com/doc/73463927/FOLIKULITIS-M-Rifkind diakses
tanggal tanggal 1 Oktober 2012
Anonim. 2004. Herpes Simplex. Dalam Wikipedia yang diakses melalui
http://en.wikipedia.org/wiki/Herpes_simplex. Diakses pada tanggal 1
Oktober 2012
Braig ,Suzanne. 2004. Management of Genital Herpes during Pregnancy: the
French Experience. Herpes Journal of IHMF.
http://www.ihmf.org/112Braig . Diakses pada tanggal 1 Oktober 2012.
Carpenito, Lynda J. 2001. Buku saku DIAGNOSA KEPERAWATAN Edisi 8.
Penerbit buku kedokteran EGC
Daili, Sjaiful & Judanarso, Jubianto. 2007. Infeksi Menular Seksual: Herpes
Genitalis edisi ketiga, hal 125-139. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitasb Indonesia.
Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI

25

Anda mungkin juga menyukai