Disusun Oleh :
Fergie Merrywen Tamu Rambu
112016032
Dokter Pembimbing
dr. Endang Soekmawati, Sp.KK
Etiopatogenesis
Hingga saat ini penyebab dan patomekanisme LE kutan belum diketahui secara pasti,
tetapi berhubungan erat dengan pathogenesis LES. Factor pejamu (suseptibilitas, Hormonal) dan
Faktor Lingkungan menyebabkan hilangnya self-tolerance dan menginduksi proses autoimun.
Hal ini di ikuti aktifasi dan ekspansi system imun sehingga mencetuskan penyimpangan
imunologik yang berdampak pada beberapa organ dan tampilan klinis penyakit. Beberapa
penelitian baru memfokuskan pada peran sinyal interferon- (IFN-) dalam patogenesis LE.
Selain predisposisi genetic, pajanan factor lingkungan, misalnya radiasi ultraviolet (UV),
infeksi virus, obat, rokok mempunyai peranan besar dalam perkembangan penyakit LE. Radiasi
UV mempunyai peranan paling penting dalam fase Induksi penyakit LE Kutan. UVB
memyebabkan apoptosis keratinosit dan Autoantigen Ro/ SS-A, La/SS-B, serta calreticulin,
berpindah dari lokasi normal di dalam keratinosit ke permukaan sel. UVB juga di ketahui
menginduksi dan meningkatkan ekspresi beberapa kemokin sehingga mengaktifkan sel T
autoreaktif dan IFN-, sel dendrit yang mempunyai peran utama dalam pathogenesis LE.
Gambaran Klinis
Manifestasi klinis keterlibatan kulit pada pasien LE sangat sering ditemukan dan sangat
bervariasi. Klasifikasi Gilliam (1982) yang sering digunakan dan mudah diterapkan pada
kelainan kulit LE yang sangat bervariasi. Gilliam membagi berdasarkan gambaran karasteristik
histopatologis, yaitu LE kutan spesifik dan LE kutan non-spesifik. Sangat penting membedakan
kedua subtype LE Kutan spesifik, karena keterlibatan kulit mencerminkan aktivitas penyakit
LES. LE Kutan akut mencerminkan keparahan LES, sedangkan LE Kutan Kronik biasanya
menunjukkan tidak ada kelianan sistemik.
Klasifikasi Lupus Eritematosus Kutan berdasarkan Gilliam, sebagai berikut :
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa antibody mempunyai hubungan erat dengan LE, sehingga pada LE kutan akut
sering ditemukan titer tinggi ANA, anti-dsDNA, anti-Sm, dan hipokomplementemia. Penanda
pada LE Kutan Subakut adalah autoantibodi anti-Ro/SS-A (70-90%) dan anti-La/SS-B (30-50%).
ANA dapat ditemukan pada 60-80% dan factor rheumatoid pada sepertiga pasien LE Kutan
Subakut. Pada yang rendah (30-40%). Hanya 5% pasien DLE di temukan titer ANA tinggi.
Pada pemeriksaan histopatologi LE Kutan spesifik dapat di temukan hiperkeratotik, atrofi
epidermal degenerasi mencair sel basal, penebalan membrane DEJ, edema pada dermis, deposit
musin, serta infiltrate sel mononuclear yang dominan tersebar di perivascular dan sekitar adneksa
kulit.
Pada pemeriksaan imunoflouresens langsung pada kulit yang tampak normal pasien LES
dapat di lihat pita terdiri atas deposit granular immunoglobulin G, M, atau A dan komplemen C3
pada taut epidermal-dermal yang disebut lupus band. Hal ini dapat dilihat pada 90-100% pasien
LES.
Diagnosis Banding
LE Kutan akut lokalisata dapat menyerupai rosasea dan dermatomiositis. LE Kutan akut
generalisata menyerupai hipersensitivitas obat, reaksi fotoalergi atau fototoksis, dan ekasantema
viral. Lesi papuloskuamosa pada LE Kutan subakut member gambaran menyrupai eritema
anulare sentrifugum dan granuloma anulare. Lesi DLE terkadang menyerupai lesi karsinoma sel
skuamosa, keratosis aknitik dan keratoakantoma.
Penatalaksanaan
Langkah utama dalam tatalaksana LE Kutan adalah evaluasi kemungkinan keterlibatan
sistemik. Penghindaran terhadap radiasi UV dan penggunaan tabir surya setiap hari sangat
penting dalam mencegah perluasan dan eksaserbasi penyakit, sehingga pasien perlu di berikan
edukasi mengenai hal tersebut. Pada lesi yang sedikit atau Lokalisata, pemberian kortikosteroid
topical potensi sedang-tinggi dapat bermanfaat. Terkadang dapat diberikan suntikan
kortikosteroid intralesi.
Kortikosteroid sistemik, antimalaria, retinoid, dan imunosupresan di berikan pada LE
kutan yang luas atau tidak respons terhadap terapi topical. Perlu perhatikan pada efek samping
akibat penggunaan terapi sistemik jangka panjang. Misalnya retinopati akibat penggunaan
antimalaria.
Glukokortikoid lokal
Walau beberapa digunakan preparat dengan potensi intermediate seperti triamsinolon
acetonide 0,1 % untuk area sensitive seperti wajah, agen topical kelas I superpoten seperti
clobetasol propionate 0,05 persen atau betametasin diproprionat 0,05%. Penggunaan dua kali
Terapi sistemik
-Antimalaria
Satu atau kombinasi dari antimalaria aminoquinolon dapat efektif pada sekitar 75%
pasien dengan LE Kutan yang gagal dengan menggunakan terapi local. Resiko toksisitas retina
harus didiskusikan dengan pasien, dan pemeriksaan ophtalmologis sebelum terapi disarankan.
Walaupun begitu, resiko dari retinopati antimalaria sangat jarang apabila dosis maksimum
perhari dari agen ini tidak berlebihan. ( hidroksi klorokuin 6,5 mg/kgbb/hari, berdasarkan berat
pertama terapi. Saat respon klinis adekuat tercapai, dosis perhari diturunkan sampai dosis
maintenance perhari 200 mg/hari paling tidak selama satu tahun untuk minimalisir angka
rekurensi. Apabila tidak ada respon terlihat selama 6-8 minggu terapi, quinacrine hidroklorid
dapat ditambahkan. Apabila setelah 4 sampai 6 minggu, tidak mencapai respon klinis yang
diaminodiphenilsulfone. Dosis inisial sebesar 25 mg per oral dua kali sehari dapat ditingkatkan
-Glukokortikoid sistemik
Dapat diberikan glukokortikoid sistemik pada penyakit kulit berat dan simptomatik,
metiprednisolon dapat diberikan secara intravena. Pada beberapa kasus akut, dosis moderat dari
glukokortikoid oral ( prednisone 20 40 mg/hari dapat diberikan sebagai single dose pada pagi
hari ) dapat digunakan sebagai terapi suplemen selama loadingfase pada penggunaan agen
antimalaria.1
Azatioprin 1,5-2 mg/kgBB/hari per oral atau Mycophenolate mofetil dapat digunakan
pengobatan CLE, khususnya SCLE. Namun, agen ini juga dikenal dapat menginduksi SLE
maupun CLE.1
-Thalidomid
produksi TNF alfa. Laporan mengenai penggunaan thalidomide untuk terapi LE Kutan oleh
Barba-Rubio dan Franco-Gonzales. Pada tahun 1983 Knop et al melaporkan adanya perbaikan
Pada sebuah studi nan random, thalidomide efektif untuk menangani LE Kutan refrakter
yang tidak respon terhadap agen anti malaria, steroid, maupun agen immunosurpresif lainnya.
ACLE
Baik pada bentuk local maupun general berkaitan dengan aktivitas SLE. Sehingga
prognosis pasien dengan ACLE mirip dengan pola SLE. Baik 5 year survival ( 80-90 persen )
dan 10 year survival ( 70-90 persen ) . Survival rate telah meningkat secara progresif selama
empat dekade ini dimungkinkan oleh diagnosis yang lebih dini dengan pemeriksaan
SCLE
Karena SCLE baru dikenal sebagai penyakit yang berbeda selama dua dekade ini, luaran
jangka panjang yang diasosiasikan dengan SCLE belum ada. Pengalaman penulis bahwa
kebanyakan pasien dengan SCLE mempunyai rekurensi intermiten dari penyakit kulitnya pada
waktu yang panjang tanpa progresi dari keterlibatan sistemik. Dari pengalaman penulis juga,
sekitar 15 % pasien dengan SCLE akan menjadi SLE, termasuk nefritis lupus. Studi jangka
panjang terhadap SCLE diperlukan untuk menentukan resiko sesungguhnya dari progresi
CCLE
Hampir semua pasien dengan lesi klasik DLE yang tidak tertangani akan mengalami lesi
yang tidak nyeri, daerah luas dengan distrofi kulit, dan scarring alopecia yang secara psikososial
sangat berpengaruh. Namun dengan penanganan yang tepat, penyakit kulit ini dapat dikontrol.
Kadang bias terjadi remisi spontan. Kematian akibat SLE tidak biasa pada pasien dengan DLE
local. Karena hanya 5% kemungkinan seseorang dengan DLE berkembang menjadi SLE.1
Cutaneus Lupus erythematosus Disease Area and Severity Index( CLASI ) dikembangkan
untuk menilai hasil dari terapi pada CLE. Parodi et al menemukan 60 hasil luaran yang tersedia
untuk SLE, tidak ada satupun yang cukup sensitive untuk menilai aktivitas dari CLE. Sebagai
tambahan, hanya sedikit yang diketahui mengenai perkembangan CLE, keparahan dari gejala,
PENUTUP
Cutan Lupus Erythematosus merupkan manifestasi klinis lupus erythematosus pada kulit.
Pada pasien dengan LE Kutan ada kemungkinan perkembangan menjadi sistemik SLE. Terbagi
atas LE spesifik skin disease dan LE non spesifik skin disease sebagai payung dari banyaknya
kelompok dari LE Kutan, dan dengan manifestasi klinis yang sangat beragam. Pengenalan
terhadap LE Kutan dapat memberikan gambaran tentang keparahan, dan progresi akan menjadi
sistemik, dan prognosis ke depannya. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap LE
Kutan ini karena data-datanya yang masih terbatas.
Daftar Pustaka
1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, Ilmu penyakit kulit dan kelamin, ed. 7,
2016.h.300-3
2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, et al. Fitzpatrick: Dermatology in
general medicine:seventh edition. McGraw-Hill companies.
3. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick color atlas & synopsis of clinical dermatology:sixth
edition. McGraw-Hill companies.
4. Kuhn A, Stitcherling M, Gisela Bonsmann. Clinical manifestations of cutaneus lupus
erythematosus. JDDG;2007 (5):1124-1140.
5. Berberr ALCV, Mantese SAO. Cutaneus lupus erythematosus-clinical and laboratory
aspects. An Bras Dermatol. 2005:80(2):119-31.