Disusun Oleh:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
TANGERANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien dengan SSJ-TEN umumnya datang dengan keluhan utama demam di atas 39
derajat celsius, nyeri tenggorokan, konjungtivitis, juga lesi dengan karakteristik target-like,
seperti berpasir, dan atipikal. Setidaknya 10% dari pasien dengan SSJ dan 30% pasien NET
meninggal akibat gejala dan kerusakan jaringan yang dialami. Sampai saat ini belum
ditemukan tatalaksana yang paling efektif dalam mengatasi SSJ-TEN. Prognosis yang baik
dapat dicapai dengan diagnosis yang cepat dan tepat, penghentian penggunaan obat pencetus
gejala, dan terapi suportif yang intensif dan cermat.3
Oleh karena hal tersebut, tenaga medis khususnya dokter perlu mengerti dengan benar
tentang SSJ-TEN agar dapat menegakkan diagnosis dini dan memberikan penanganan yang
tepat sehingga membantu meningkatkan angka harapan hidup pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah reaksi
mukokutan akut yang mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis luas serta lepasnya
jaringan epidermis dan epitel mukosa. Pada tahun 1922, Stevens dan Johnson pertama
kali melaporkan dua kasus erupsi kulit diseminata terkait dengan stomatitis erosif dan
keterlibatan okular yang parah. Pada tahun 1956, Lyell menggambarkan pasien dengan
kehilangan epidermis sekunder akibat nekrosis dan memperkenalkan istilah nekrolisis
epidermal toksik. Karena SSJ dan NET memiliki gejala klinis, histopatologis, faktor
risiko, penyebab, dan perjalanan penyakit yang identik dan hanya dibedakan berdasarkan
tingkat keparahannya, tampaknya lebih tepat untuk menggunakan sebutan nekrolisis
epidermal (atau epitel) untuk keduanya, seperti yang diusulkan oleh Ruiz-Maldonado
(nekrosis epidermal diseminata akut) dan Lyell (nekrolisis eksantematik).2
C. ETIOLOGI
Penyebab SSJ masih belum diketahui secara keseluruhan namun obat-obatan menjadi
faktor penyebab utama.20 Berikut obat-obatan yang cukup berpengaruh pada kejadian SSJ
dan NET menurut penelitian yang dilakukan oleh Mockenhaupt et al.4
Selain itu, ditemukan juga kasus SSJ-NET yang terkait dengan infeksi Mycoplasma
pneumoniae, penyakit virus, dan imunisasi, terutama pada anak-anak. Dalam banyak
kasus, terdapat infeksi klinis, namun meskipun sudah dilakukan pemeriksaan
laboratorium tambahan, tidak ada agen virus atau bakteri tertentu yang dapat dideteksi.
39 kasus SSJ-NET telah dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang. Beberapa di
antaranya merupakan bentuk ekstrim dari penyakit graft-versus-host akut (GVHD);
lainnya terjadi akibat reaksi tubuh terhadap obat.2
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko SSJ-NET mencakup infeksi HIV, fenotipe HLA (human leukocyte
antigen) tertentu, dan polimorfisme gen yang mengkoding enzim CYP (cytochrome
P450).3, 6 Penyakit tertentu seperti HIV/AIDS, keganasan, atau penyakit autoimun, juga
merupakan predisposisi individu mengalami SSJ-NET.20
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi SSJ-NET belum diketahui secara jelas. Sampai saat ini, ada anggapan
SSJ-NET disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi
akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi
aktivitas sistem komplemen. Sehingga akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target-organ). Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sebagai
reaksi radang.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersikulasi dalam darah
mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan lunak. Di sini antibodi berikatan
dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini
menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya
peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil.
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil
limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen meningkat sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. Limfosit T
peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan
terlepasnya mediator (limfokin). Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan
klinis dan histologis.
Selain itu, ada yang menganggap bahwa NET merupakan bentuk berat Sindrom
Stevens-Johnson karena pada sebagian penderita SSJ, penyakitnya berkembang
menjadi NET. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spektrum yang
hampir sama. Ada pun pandangan lain yang menganggap NET berbeda dengan SSJ
karena pada NET tidak didapati kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome
Stevens-Johnson dan eritema multiformis. Gambaran histologiknya juga berlainan.
NET dipercaya merupakan immune-related cytotoxic reaction yang menghancurkan
keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. NET menyerupai reaksi
hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama dan
reaksinya meningkat cepat pada pajanan ulang.
Anamnesis
● Biasanya, proses penyakit bermula dari infeksi saluran pernapasan atas yang
nonspesifik.7
○ Gejala prodormal biasanya berlangsung antara 1-14 hari berupa demam, sakit
tenggorokan, sakit kepala, dan malaise.
○ Muntah dan diare biasanya bukan merupakan gejala prodromal.
● Lesi mukokutaneus dapat timbul secara mendadak. Biasanya muncul pada akhir
minggu ke 2 - 4. Lesi biasanya tidak disertai rasa gatal.
● Riwayat demam yang memberat harus dipikirkan adanya suatu infeksi yang
memberat; walaupun pada 85% kasus disertai dengan demam.
● Adanya selaput pada mucosa oral yang berat dapat mengakibatkan kesulitan untuk
makan dan minum.
● Dapat disertai gejala pada genitourinaria berupa disuria dan inkontinensia uri.
● Gejala lain yang dapat muncul berupa:
○ Batuk berdahak yang purulen
○ Sakit kepala
○ Malaise
○ Arthralgia
Pemeriksaan Fisik
Rash awalnya berupa makula yang kemudian berkembang menjadi papula, vesikel,
bulla, plak urtikaria, atau eritema.7
● Lesi dapat berupa bulla yang kemudian rupture, yang mengakibatkan lapisan kulit
menjadi terbuka. Kulit tersebut dapat terkena infeksi sekunder.7
● Rash dapat ditemukan hanya pada satu area di tubuh, yang paling sering pada
punggung.
● Mukosa biasanya timbul lesi berupa eritema, edema, lepuh, kulit yang terkelupas,
ulcerasi, dan nekrosis. Contoh pada tipe ini dapat lihat gambar di bawah ini.7
Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus Stevens-Johnson syndrome, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
mengobservasi keadaan umum pasien dan bukan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Leukositosis dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri. Eosinofilia dapat disebabkan oleh alergi. Jika diduga adanya infeksi
atau tapering off kortikosteroid tidak lancar, dan dipertimbangkan adanya faktor lain,
maka dapat dilakukan kultur darah. Kulit darah diambil, dikompres dengan spiritus
dilutus (alkohol 70%) dan kasa steril selama setengah jam untuk menghindari
kontaminasi.
Semua kasus yang dicurigai NET dapat dilakukan biopsi kulit dan hapusan
immunofluoresensi untuk pertimbangan jika diduga pemphigus/pemphigoid namun tidak
selalu harus dilakukan. Laboratorium didapatkan adanya leukositosis, peningkatan enzim
transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal, dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal menunjukkan apoptosis
keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya nekrosis di seluruh
lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan epidermis dan
dermis.
Gambar 9. Penampakan histologis NET: (A) Nekrosis epidermis pada puncak penyakit,
dengan respon inflamasi yang minim pada lapisan dermis. Perhatikan adanya celah pada
preparat. (B) Tampak nekrosis komplit pada lapisan epidermis yang sudah terlepas dari
lapisan dermis dan tampak terlipat seperti lembaran kertas.
G. TATALAKSANA
Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak
perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau
burn centers. Tatalaksana suportif diperlukan untuk terus dilakukan sambil memantau
keadaan pasien demi mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam nyawa.14
● Pengobatan simptomatik8
○ Dukungan asupan nutrisi sejak dini dengan memasang nasogastric tube (NGT), diet
tinggi protein dan rendah garam.
● Pengobatan spesifik5, 8
H. PROGNOSIS
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit,
prognosisnya buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35%, jadi lebih
tinggi daripada Sindrome Steven Johnson yang hanya 5% atau 10-15% pada bentuk
transisional, karena NET lebih berat. Tenaga medis dapat menggunakan tabel
SCORTEN, yaitu sistem skoring prognostik yang dikembangkan untuk menilai tingkat
mortalitas.2, 3, 5, 9, 10
SCORTEN
FAKTOR PROGNOSTIK POIN
Usia > 40 tahun 1
Laju nadi > 120x/menit 1
Mengidap kanker atau keganasan darah 1
Luas tubuh yang terkena >10% 1
Level serum urea > 10 mM 1
Level serum bikarbonat <20 mM 1
Level serum glukosa > 14 mM 1
Scorten Mortality rate (%)
0–1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
5 90
Tabel 3. SCORTEN
I. DIAGNOSIS BANDING
Eritema multiforme (EMF) adalah reaksi hipersensitivitas akut yang jarang terjadi.
Umumnya dipicu oleh infeksi virus herpes simpleks (HSV). Pemicu lainnya termasuk
infeksi M. pneumoniae, obat-obatan tertentu, dan imunisasi. EMF terutama dialami oleh
orang dewasa antara 20-40 tahun.11 Gambaran klinis termasuk ruam dengan penampilan
yang bervariasi, awalnya berupa lesi makula dan papula, yang berkembang menjadi lesi
target yang khas, nikolsky sign (‒). Ruam pertama muncul pada daerah punggung tangan
dan kaki kemudian meluas ke proksimal. Lesi target memiliki 3 zona: zona merah/coklat
gelap bagian dalam, dikelilingi oleh zona pucat, dan cincin eritematosa pada bagian
paling luar. Dapat terjadi nekrosis epitel pada zona paling dalam. Gejala yang timbul bisa
saja asimtomatik atau menyebabkan pruritus dan rasa terbakar yang menyakitkan.
Gambar 11. Eritema multiform
Biasanya dialami oleh anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Etiologi penyakit ini yaitu
Staphylococcus aureus. Manifestasi klinis yang dapat diperhatikan dari pasien yakni
berupa deskuamasi, eritema perioral, dan nikolsky sign (+). Hal yang membedakan SSSS
dari SSJ dan NET yaitu pada SSSS lesi tidak muncul pada membran mukosa.12, 17
Penyebab dan patofisiologi SSJ masih belum diketahui secara keseluruhan namun obat-
obatan menjadi faktor penyebab utama. Sampai saat ini, ada anggapan SSJ-NET disebabkan
oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Selain itu, ditemukan juga kasus SSJ-NET yang
terkait dengan infeksi Mycoplasma pneumoniae, penyakit virus, dan imunisasi, terutama pada
anak-anak. Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat perlu dilakukan agar dapat menentukan
penanganan yang tepat dalam menangani keluhan dan gejala yang dialami pasien. Hasil
pemeriksaan laboratorium SSJ-NET tidak khas, sehingga pada kasus ini pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk mengobservasi keadaan umum pasien dan bukan untuk
membantu menegakkan diagnosis kecuali pada kasus tertentu yang perlu dibedakan dengan
diagnosis bandingnya. Pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1
tidak perlu penanganan special, sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau
burn centers. Tatalaksana suportif harus terus dilakukan sambil memantau keadaan pasien
demi mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam
nyawa.
DAFTAR PUSTAKA