Anda di halaman 1dari 20

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

SINDROM STEVENS-JOHNSON DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

Disusun Oleh:

Felicia Lidya Kong 01073210066


Khrisna Aristia Hutomo 01073210104

Pembimbing:

dr. Nana Novia Jayadi, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG

2022
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan


reaksi pada jaringan mukosa dan jaringan kulit yang terjadi dalam waktu singkat (akut) dan
mengancam nyawa ditandai dengan kerusakan epidermis yang meluas bahkan dapat
menyebabkan epidermis terkelupas dan terlepas. Kedua penyakit ini memiliki gejala klinis,
histopatologis, faktor risiko, penyebab, dan perjalanan penyakit yang identik sehingga hanya
dibedakan berdasarkan tingkat keparahannya. SSJ-NET termasuk penyakit yang jarang
ditemui namun dapat dialami oleh setiap rentang usia dan faktor risikonya meningkat pada
usia di atas 40 tahun.1, 2, 3

Pasien dengan SSJ-TEN umumnya datang dengan keluhan utama demam di atas 39
derajat celsius, nyeri tenggorokan, konjungtivitis, juga lesi dengan karakteristik target-like,
seperti berpasir, dan atipikal. Setidaknya 10% dari pasien dengan SSJ dan 30% pasien NET
meninggal akibat gejala dan kerusakan jaringan yang dialami. Sampai saat ini belum
ditemukan tatalaksana yang paling efektif dalam mengatasi SSJ-TEN. Prognosis yang baik
dapat dicapai dengan diagnosis yang cepat dan tepat, penghentian penggunaan obat pencetus
gejala, dan terapi suportif yang intensif dan cermat.3

Oleh karena hal tersebut, tenaga medis khususnya dokter perlu mengerti dengan benar
tentang SSJ-TEN agar dapat menegakkan diagnosis dini dan memberikan penanganan yang
tepat sehingga membantu meningkatkan angka harapan hidup pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah reaksi
mukokutan akut yang mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis luas serta lepasnya
jaringan epidermis dan epitel mukosa. Pada tahun 1922, Stevens dan Johnson pertama
kali melaporkan dua kasus erupsi kulit diseminata terkait dengan stomatitis erosif dan
keterlibatan okular yang parah. Pada tahun 1956, Lyell menggambarkan pasien dengan
kehilangan epidermis sekunder akibat nekrosis dan memperkenalkan istilah nekrolisis
epidermal toksik. Karena SSJ dan NET memiliki gejala klinis, histopatologis, faktor
risiko, penyebab, dan perjalanan penyakit yang identik dan hanya dibedakan berdasarkan
tingkat keparahannya, tampaknya lebih tepat untuk menggunakan sebutan nekrolisis
epidermal (atau epitel) untuk keduanya, seperti yang diusulkan oleh Ruiz-Maldonado
(nekrosis epidermal diseminata akut) dan Lyell (nekrolisis eksantematik).2

KRITERIA Eritema Sindrom SSJ-NET NET NET pada


Multiform Stevens- Overlap dengan Eritema
Minor Johnson Makula yang Luas
(Tanpa
Bercak)
Kulit yang <10 <10 10–30 >30 >10
terlepas (%)
Lesi tipikal + − − − −
targetoid
Lesi atipikal Meninggi Datar Datar Datar −
targetoid
Makula − + + + −
Distribusi Umumnya Tersebar Tersebar Tersebar Tersebar luas
pada luas luas luas
esktremitas
Tabel 1. Definisi SSJ-TEN
B. EPIDEMIOLOGI

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) termasuk


penyakit yang jarang ditemukan. Secara general, ada 1-6 kasus SSJ per 1 juta penduduk
tiap tahun. Sedangkan, angka kematian NET mencapai 25-35% dan angka kematian SSJ
5-12%. Penyakit ini bisa diderita oleh semua rentang usia namun akan terjadi
peningkatan risiko pada usia di atas 40 tahun. Kasus lebih sering terjadi pada populasi
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Menurut data yang
diperoleh dari ruang rawat inap rumah sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), terdapat
57 kasus SSJ dan NET pada tahun 2010-2013. Di antaranya terdapat 47,4% kasus SSJ,
19.3% kasus overlap SSJ-NET, dan 33.3% kasus NET.1

C. ETIOLOGI

Penyebab SSJ masih belum diketahui secara keseluruhan namun obat-obatan menjadi
faktor penyebab utama.20 Berikut obat-obatan yang cukup berpengaruh pada kejadian SSJ
dan NET menurut penelitian yang dilakukan oleh Mockenhaupt et al.4

Obat-obatan dengan risiko tinggi sebagai pencetus SSJ-NET


Penggunaannya harus dievaluasi dengan hati-hati, dan harus segera dicurigai
ketika pasien memiliki riwayat konsumsi obat-obatan ini.
• Allopurinol
• Lamotrigine
• Cotrimoxazole (dan sulfonamide antiinfektif lainnya maupun sulfasalazine)
• Carbamazepine
• Nevirapine
• NSAIDs (golongan oxicam, contohnya meloxicam)
• Phenobarbital
• Phenytoin
Ketika pasien terpapar beberapa obat dengan manfaat yang diharapkan tinggi,
waktu pemberian penting untuk diperhatikan demi menentukan obat mana yang
harus dihentikan, dapat dilanjutkan, atau diperkenalkan kembali.
Risiko berbagai antibiotik untuk menginduksi timbulnya SSJ-NET memiliki risiko
yang sama besarnya tetapi secara substansial lebih rendah daripada risiko yang
ditimbulkan oleh anti-infeksi golongan sulfonamid.
Asam valproat tampaknya tidak meningkatkan risiko SSJ/TEN dibandingkan
dengan anti-epilepsi lainnya.
Diuretik dan antidiabetik oral dengan struktur sulfonamid tampaknya tidak
menjadi faktor risiko SSJ-NET.
Obat-obatan dengan risiko sedang (cukup signifikan namun lebih ringan)
sebagai pencetus SSJ-NET
• Cephalosporines
• Macrolides
• Quinolones
• Tetracyclines
• NSAIDs (golongan asam acetic, contohnya diclofenac)
Drugs with no increased risk for SSJ/TEN
Obat-obatan yang tidak berisiko sebagai pencetus SSJ-NET
• Beta-blockers
• ACE inhibitors
• Calcium channel blockers
• Thiazide diuretics (dengan struktur sulfonamide)
• Sulfonylurea antidiabetics (dengan struktur sulfonamide)
o Insulin
• NSAIDs (golongan asam propionic, contohnya ibuprofen)
Tabel 2. Daftar obat yang memiliki keterkaitan pada kasus SSJ-NET

Selain itu, ditemukan juga kasus SSJ-NET yang terkait dengan infeksi Mycoplasma
pneumoniae, penyakit virus, dan imunisasi, terutama pada anak-anak. Dalam banyak
kasus, terdapat infeksi klinis, namun meskipun sudah dilakukan pemeriksaan
laboratorium tambahan, tidak ada agen virus atau bakteri tertentu yang dapat dideteksi.
39 kasus SSJ-NET telah dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang. Beberapa di
antaranya merupakan bentuk ekstrim dari penyakit graft-versus-host akut (GVHD);
lainnya terjadi akibat reaksi tubuh terhadap obat.2

D. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko SSJ-NET mencakup infeksi HIV, fenotipe HLA (human leukocyte
antigen) tertentu, dan polimorfisme gen yang mengkoding enzim CYP (cytochrome
P450).3, 6 Penyakit tertentu seperti HIV/AIDS, keganasan, atau penyakit autoimun, juga
merupakan predisposisi individu mengalami SSJ-NET.20

E. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi SSJ-NET belum diketahui secara jelas. Sampai saat ini, ada anggapan
SSJ-NET disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi
akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi
aktivitas sistem komplemen. Sehingga akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target-organ). Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sebagai
reaksi radang.

Reaksi hipersensitif tipe III (Reaksi imun kompleks)

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersikulasi dalam darah
mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan lunak. Di sini antibodi berikatan
dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini
menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya
peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil.

Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam


jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen dan antibodi di tempat tersebut. Reaksi
tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik
ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi
pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut.

Reaksi hipersensitif tipe IV (Reaksi tipe lambat)

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil
limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen meningkat sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. Limfosit T
peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan
terlepasnya mediator (limfokin). Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan
klinis dan histologis.

Selain itu, ada yang menganggap bahwa NET merupakan bentuk berat Sindrom
Stevens-Johnson karena pada sebagian penderita SSJ, penyakitnya berkembang
menjadi NET. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spektrum yang
hampir sama. Ada pun pandangan lain yang menganggap NET berbeda dengan SSJ
karena pada NET tidak didapati kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome
Stevens-Johnson dan eritema multiformis. Gambaran histologiknya juga berlainan.
NET dipercaya merupakan immune-related cytotoxic reaction yang menghancurkan
keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. NET menyerupai reaksi
hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama dan
reaksinya meningkat cepat pada pajanan ulang.

Adanya bukti yang mendukung beberapa jalur immunopatologik yang mengacu


pada apoptosis keratinosit, sebagai berikut:
▪ Aktivasi Fas-ligand pada membran keratinosit → death receptor–mediated
apoptosis.
▪ Pelepasan protein dekstruktif (perforin dan granzyme B) dari sitotoksik T
limfosit akibat interaksi dengan sel yang mengekspresikan major
histocompatability complex (MHC) class I.
▪ Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines
(interferon-γ, tumor necrosis factor-α [TNF-α], dan beberapa interleukin).
▪ sekresi granulisin yang diinduksi oleh paparan CTLs, natural killer cells, dan
natural killer T cells.

F. DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS

Anamnesis

● Biasanya, proses penyakit bermula dari infeksi saluran pernapasan atas yang
nonspesifik.7
○ Gejala prodormal biasanya berlangsung antara 1-14 hari berupa demam, sakit
tenggorokan, sakit kepala, dan malaise.
○ Muntah dan diare biasanya bukan merupakan gejala prodromal.
● Lesi mukokutaneus dapat timbul secara mendadak. Biasanya muncul pada akhir
minggu ke 2 - 4. Lesi biasanya tidak disertai rasa gatal.
● Riwayat demam yang memberat harus dipikirkan adanya suatu infeksi yang
memberat; walaupun pada 85% kasus disertai dengan demam.
● Adanya selaput pada mucosa oral yang berat dapat mengakibatkan kesulitan untuk
makan dan minum.
● Dapat disertai gejala pada genitourinaria berupa disuria dan inkontinensia uri.
● Gejala lain yang dapat muncul berupa:
○ Batuk berdahak yang purulen
○ Sakit kepala
○ Malaise
○ Arthralgia

Pemeriksaan Fisik

Tanda tanda utama:

1. Kelainan pada kulit berupa bercak-bercak perdarahan dibawah kulit.


2. Bercak merah bulat pada kulit dengan bagian tengah terdapat lepuh kecil hingga kulit
terkelupas luas, basah dan berdarah.
3. Kelainan pada mukosa (hidung, mata, mulut, kelamin), bentuknya bisa berupa bibir
terkelupas dan berdarah, kelamin lepuh terkelupas dan konjungtivitis (radang selaput
bola mata).

Gambar 1. Krusta hemoragik


tingkat sedang pada bibir dan
makula dengan bentuk seperti
target pada telapak tangan dan
jari—mirip dengan lesi pada
eritema multiform. (Oleh: Alan B.
Storrow, MD.)13
Gambar 2. Berbentuk targetoid, separuh konfluen, tampak makula eritematosa dan bulla
di atasnya.15

Gambar 3. Konjungtivitis pada pasien Stevens-Johnson syndrome

Rash awalnya berupa makula yang kemudian berkembang menjadi papula, vesikel,
bulla, plak urtikaria, atau eritema.7

● Lesi di tengah dapat berupa vesikular, purpura, atau nekrotik.7


● Lesi yang khas berupa lesi berbentuk target. Lesi tersebut merupakan patognomonik.
Pada eritema multiforme, lesi memiliki dua zona warna. Ditengah dapat berupa
vesicular, purpuric, atau nekrotik; dan dikelilingi oleh zona macular eritema. Yang
biasa disebut dengan “target lession”.7
Gambar 4. Gambaran bulla

● Lesi dapat berupa bulla yang kemudian rupture, yang mengakibatkan lapisan kulit
menjadi terbuka. Kulit tersebut dapat terkena infeksi sekunder.7

Gambar 5. Gambaran kulit yg terkelupas pada Stevens-Johnson syndrome

● Lesi urtikaria biasanya tidak gatal.


● Dapat terjadi infeksi yang mengakibatkan terbentuknya jaringan parut.
● Lesi dapat timbul dimana saja mulai dari telapak tangan sampai telapak kaki.
Gambar 6. Gambar terkelupasnya kulit pada telapak kaki

● Rash dapat ditemukan hanya pada satu area di tubuh, yang paling sering pada
punggung.
● Mukosa biasanya timbul lesi berupa eritema, edema, lepuh, kulit yang terkelupas,
ulcerasi, dan nekrosis. Contoh pada tipe ini dapat lihat gambar di bawah ini.7

Gambar 7. Krusta membran mukosa pada sindrom Stevens-Johnson


Gambar 8. Nekrolisis epidermal toksik pada pasien 6 berusia bulan.16

Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus Stevens-Johnson syndrome, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
mengobservasi keadaan umum pasien dan bukan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Leukositosis dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri. Eosinofilia dapat disebabkan oleh alergi. Jika diduga adanya infeksi
atau tapering off kortikosteroid tidak lancar, dan dipertimbangkan adanya faktor lain,
maka dapat dilakukan kultur darah. Kulit darah diambil, dikompres dengan spiritus
dilutus (alkohol 70%) dan kasa steril selama setengah jam untuk menghindari
kontaminasi.

Pencitraan radiologis bukan pemeriksaan rutin dan diindikasikan jika terdapat


kecurigaan terhadap pneumonitis. Selain itu bronkoskopi, esofagogastroduodeniskopi
dan colonoskopi jika terdapat indikasi. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti,
bukan merupakan prosedur kegawatdaruratan, mendapatkan bula subepidermal dengan
sel epidermal nekrosis yang menyeluruh. Didapatkan juga infiltrat, limfosit, pembuluh
darah dermis superfisial, edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler,
degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal, nekrolisis
sel epidermal dan kadang-kadang adneksa, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.7
Uji tempel dan uji tusuk bertujuan untuk mencari agen penyebab dilakukan setelah
pasien pulih dan minimal 2 minggu tidak mengkonsumsi kortikosteroid. Uji provokasi
oral yang merupakan baku emas pada erupsi obat alergik tidak dilakukan pada eritema
multiforme mayor karena dapat berakibat fatal.1 Pemeriksaan imunofluoresen dapat
memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan
imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang
berumur kurang dari 24 jam. 7

Semua kasus yang dicurigai NET dapat dilakukan biopsi kulit dan hapusan
immunofluoresensi untuk pertimbangan jika diduga pemphigus/pemphigoid namun tidak
selalu harus dilakukan. Laboratorium didapatkan adanya leukositosis, peningkatan enzim
transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal, dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal menunjukkan apoptosis
keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya nekrosis di seluruh
lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan epidermis dan
dermis.

Gambar 9. Penampakan histologis NET: (A) Nekrosis epidermis pada puncak penyakit,
dengan respon inflamasi yang minim pada lapisan dermis. Perhatikan adanya celah pada
preparat. (B) Tampak nekrosis komplit pada lapisan epidermis yang sudah terlepas dari
lapisan dermis dan tampak terlipat seperti lembaran kertas.
G. TATALAKSANA

Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak
perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau
burn centers. Tatalaksana suportif diperlukan untuk terus dilakukan sambil memantau
keadaan pasien demi mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam nyawa.14

Gambar 10. Tatalaksana SSJ-NET

● Pengobatan simptomatik8

○ Terapi pengganti cairan tubuh secepatnya: untuk mengatur dan mempertahankan


keseimbangan cairan dan elektrolit.

○ Suhu ruangan dipertahankan 28 – 30oC untuk mencegah hipotermi.

○ Dukungan asupan nutrisi sejak dini dengan memasang nasogastric tube (NGT), diet
tinggi protein dan rendah garam.

○ Debridemen ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.


○ Konsultasi disiplin ilmu lain: THT, mata, penyakit dalam, gigi dan mulut, dan
lainnya. Mata diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, diberi tetes air mata
buatan, tetes mata antibiotik, dan vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut
dan cegah timbulnya synechiae. Mulut berkumur dengan larutan antiseptik atau
antifungal beberapa kali sehari.

● Pengobatan spesifik5, 8

○ Kortikosteroid masih kontroversial, beberapa penelitian menyatakan penggunaan


pada fase akut dapat mencegah perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan
steroid tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan efek samping, terutama sepsis.

○ Intravenous Immunoglobulin. Gunakan high-dose dikarenakan adanya fas-mediated


cells death.

○ Cyclosporin A. Agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi


Th2 sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L,
nuclear factor dan TNF-α.

○ Plasmapheresis/Hemodialysis. Tujuannya untuk mengeluarkan medikasi


penyebab, metabolitnya, atau mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak
direkomendasikan karena kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan dengan
kateter intravaskular.

○ Anti-TNF agents. Anti-TNF monoclonal antibodi telah berhasil dipakai untuk


mengobati beberapa pasien, tapi pada penggunaan thalidomide dihentikan karena
dilaporkan banyaknya kematian.

H. PROGNOSIS

Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit,
prognosisnya buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35%, jadi lebih
tinggi daripada Sindrome Steven Johnson yang hanya 5% atau 10-15% pada bentuk
transisional, karena NET lebih berat. Tenaga medis dapat menggunakan tabel
SCORTEN, yaitu sistem skoring prognostik yang dikembangkan untuk menilai tingkat
mortalitas.2, 3, 5, 9, 10

SCORTEN
FAKTOR PROGNOSTIK POIN
Usia > 40 tahun 1
Laju nadi > 120x/menit 1
Mengidap kanker atau keganasan darah 1
Luas tubuh yang terkena >10% 1
Level serum urea > 10 mM 1
Level serum bikarbonat <20 mM 1
Level serum glukosa > 14 mM 1
Scorten Mortality rate (%)
0–1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
5 90
Tabel 3. SCORTEN

I. DIAGNOSIS BANDING

Eritema multiforme (EMF)10, 18

Eritema multiforme (EMF) adalah reaksi hipersensitivitas akut yang jarang terjadi.
Umumnya dipicu oleh infeksi virus herpes simpleks (HSV). Pemicu lainnya termasuk
infeksi M. pneumoniae, obat-obatan tertentu, dan imunisasi. EMF terutama dialami oleh
orang dewasa antara 20-40 tahun.11 Gambaran klinis termasuk ruam dengan penampilan
yang bervariasi, awalnya berupa lesi makula dan papula, yang berkembang menjadi lesi
target yang khas, nikolsky sign (‒). Ruam pertama muncul pada daerah punggung tangan
dan kaki kemudian meluas ke proksimal. Lesi target memiliki 3 zona: zona merah/coklat
gelap bagian dalam, dikelilingi oleh zona pucat, dan cincin eritematosa pada bagian
paling luar. Dapat terjadi nekrosis epitel pada zona paling dalam. Gejala yang timbul bisa
saja asimtomatik atau menyebabkan pruritus dan rasa terbakar yang menyakitkan.
Gambar 11. Eritema multiform

Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)10

Biasanya dialami oleh anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Etiologi penyakit ini yaitu
Staphylococcus aureus. Manifestasi klinis yang dapat diperhatikan dari pasien yakni
berupa deskuamasi, eritema perioral, dan nikolsky sign (+). Hal yang membedakan SSSS
dari SSJ dan NET yaitu pada SSSS lesi tidak muncul pada membran mukosa.12, 17

Gambar 12. Staphylococcal scalded skin syndrome


BAB III
PENUTUP

Penyebab dan patofisiologi SSJ masih belum diketahui secara keseluruhan namun obat-
obatan menjadi faktor penyebab utama. Sampai saat ini, ada anggapan SSJ-NET disebabkan
oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Selain itu, ditemukan juga kasus SSJ-NET yang
terkait dengan infeksi Mycoplasma pneumoniae, penyakit virus, dan imunisasi, terutama pada
anak-anak. Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat perlu dilakukan agar dapat menentukan
penanganan yang tepat dalam menangani keluhan dan gejala yang dialami pasien. Hasil
pemeriksaan laboratorium SSJ-NET tidak khas, sehingga pada kasus ini pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk mengobservasi keadaan umum pasien dan bukan untuk
membantu menegakkan diagnosis kecuali pada kasus tertentu yang perlu dibedakan dengan
diagnosis bandingnya. Pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1
tidak perlu penanganan special, sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau
burn centers. Tatalaksana suportif harus terus dilakukan sambil memantau keadaan pasien
demi mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam
nyawa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Effendi E. H, Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksin in Ilmu


penyakit kulit dan kelamin, Widaty S, Budimulja U. (Eds.) 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2016:199-200.
2. Mockenhaupt M, Roujeau J. Epidermal necrolysis (stevens-johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis). Kang S, & Amagai M, & Bruckner A.L., & Enk A.H., &
Margolis D.J., & McMichael A.J., & Orringer J.S.(Eds.), Fitzpatrick's Dermatology,
9e. New York: McGraw Hill. 2019.
3. Micheletti R, & Rosenbach M, & Wintroub B.U., & Shinkai K. Cutaneous drug
reactions. Jameson J, & Fauci A.S., & Kasper D.L., & Hauser S.L., & Longo D.L., &
Loscalzo J(Eds.), Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e. New York: McGraw
Hill. 2018.
4. Mockenhaupt M, Viboud C, Dunant A, Naldi L, Halevy S, Bavinck J et al. Stevens–
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Assessment of Medication Risks
with Emphasis on Recently Marketed Drugs. The EuroSCAR-Study. Journal of
Investigative Dermatology. 2008;128(1):35-44.
5. McCance K, Huether S. Pathophysiology. 6th ed. St. Louis, Mo.: Mosby Elsevier;
2010:1692.
6. Sekula P, Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi L, Bouwes Bavinck J, Halevy S et al.
Comprehensive Survival Analysis of a Cohort of Patients with Stevens–Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Journal of Investigative Dermatology.
2013;133(5):1197-1204.
7. Parrilo S.J., Stevens-Johnson syndrome. Jefferson Medical College and Philadelphia
College of Osteopathic Medicine. Philadelphia. 2010.
8. Ho HHF. Diagnosis and management of Stevens-Johnsonsyndrome and toxic
epidermal necrolysis. The Hongkong Medical Diary 2008;13(10):17-20.
9. Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, et al: SCORTEN: A severity-of-illness
score for toxic epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149.
10. Oakley A, Krishnamurthy K. Stevens Johnson Syndrome. National Center for
Biotechnology Information. 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459323/
11. Lamoreux MR, Sternbach MR, Hsu WT. Erythema multiforme. Am Fam
Physician .2006; 74(11): p.1883-1888. pmid: 17168345.
12. Smith C. Erythema Multiforme, Stevens–Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. In: Soutor C, Hordinsky MK.
eds. Clinical Dermatology. New York: McGraw Hill. 2017.
13. Hardin J. Stevens-Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis. In: Knoop KJ,
Stack LB, Storrow AB, Thurman R. eds. The Atlas of Emergency Medicine, 5e. New
York: McGraw Hill. 2021.
14. Stein S. Stevens-Johnson Syndrome. In: Stern SC, Cifu AS, Altkorn D. eds. Symptom
to Diagnosis: An Evidence-Based Guide, 4e. New York: McGraw Hill. 2020.
15. Kaye A. Stevens-Johnson syndrome. Public Health Image Library (PHIL). 2022.
Available from: https://phil.cdc.gov/Details.aspx?pid=3282
16. Kaye A. Toxic epidermal necrolysis. Public Health Image Library (PHIL). 2022.
Available from: https://phil.cdc.gov/Details.aspx?pid=3284
17. Handler MZ, Schwartz RA. Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis and
management in children and adults.. J Eur Acad Dermatol Venereol .2014; 28(11):
p.1418-23. doi: 10.1111/jdv.12541
18. Wetter DA. Pathogenesis, Clinical Features, and Diagnosis of Erythema Multiforme.
In: Post TW, ed. UpToDate .Waltham, MA:
UpToDate.https://www.uptodate.com/contents/pathogenesis-clinical-features-and-
diagnosis-of-erythema-multiforme
19. Garfunkel LC, Kaczorowski J, Christy C. Pediatric Clinical Advisor E-Book: Instant
Diagnosis and Treatment. Elsevier Health Sciences. 2007.
20. Milana C, Smith MA. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic
Epidermal Necrolysis. In: Usatine RP, Smith MA, Mayeaux, Jr. EJ, Chumley HS. eds.
The Color Atlas and Synopsis of Family Medicine, 3e. New York: McGraw Hill.
2019.

Anda mungkin juga menyukai