Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK,


BEDAH KEPALA DAN LEHER

UNITED AIRWAY DISEASE

Disusun oleh:
Jason Leonard Wijaya - 01073200030
Khrisna Aristia Hutomo - 01073200035

Pembimbing:
dr. Niken Ageng Rizki, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK,


BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
PERIODE JANUARI – FEBRUARI 2022
TANGERANG
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit yang melibatkan sistem saluran pernafasan bagian atas serta bagian bawah yang saling
berhubungan disebut sebagai United Airway Disease. Pada umumnya, yang banyak dibahas di
dalam karya ilmiah mengenai united airway disease hanyalah hubungan penyakit rhinitis alergi
dan asma. Akan tetapi, united airway disease tidaklah hanya sekedar kesatuan di antara penyakit
rhinitis alergi dan asma.

Konsep United Airway Disease baru dikenal beberapa waktu terakhir padahal sudah diteliti selama
bertahun-tahun oleh para ahli. Penjelasan terkait korelasi antara penyakit-penyakit yang dapat
disebut sebagai kesatuan ini belum diketahui secara keseluruhan, tetapi berdasarkan beberapa
laporan ilmiah terbaru diketahui ada hubungan yang kuat di antara beberapa jenis penyakit pada
saluran pernapasan atas, saluran pernapasan bawah, dan telinga bagian tengah.

Penemuan terkait united airway disease ini dapat membantu para tenaga medis dalam menangani
penyakit-penyakit yang ternyata memiliki hubungan baik secara histologis maupun histopatologis.
Hal tersebut karena selama ini penyakit-penyakit ini sering ditangani secara terpisah dan kurang
mendapatkan perhatian sebagai suatu penyakit sistemik yang berhubungan. Maka dari itu
penulisan dari referat ini bertujuan untuk memaparkan mengenai konsep united airway disease
sehingga para tenaga medis dapat mencegah perburukan dan dapat memberi tatalaksana yang tepat
dan menyeluruh.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saluran Pernapasan

Sistem pernapasan merupakan sebuah sistem organ yang berperan untuk menghantarkan udara
dari lingkungan sekitar hingga mencapai alveolus di mana akan terjadi pertukaran
karbondioksida dengan oksigen, sehingga dapat disalurkan ke organ lain melalui sistem
sirkulasi darah. Sistem pernapasan secara garis besar terdiri dari cavum nasi, sinus paranasal,
faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus (bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius),
duktus alveolar, dan alveoli. Saluran napas dapat diklasifikan menjadi dua bagian, yaitu saluran
pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah. Saluran pernapasan atas terdiri dari cavum
nasi, sinus paranasal, dan faring sedangkan saluran pernapasan bawah dimulai dari laring,
trakea, bronkus, bronkiolus, duktus alveolar dan alveoli.
 Hidung
Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali nares anterior yang dindingnya
tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit
dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis
silindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya ada konka
nasalis superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa hidung umumnya
mengandung banyak pleksus pembuluh darah.
 Sinus Paranasal
Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak yang
berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis, etmoidalis dan
sphenoidalis.
 Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu dan
menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada saat bernapas
udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga: nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan
laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki muskularis
mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu
dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis
gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.

 Laring

Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara faring
dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik
mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada tulang
tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel
bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi
laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis). Ada
2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara).
Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan
lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara (otot rangka).
Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N Laringealis superior.

 Trakea

Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh jaringan ikat
fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan
limfoid dan kelenjar.

 Bronkus

Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer

bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak
teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang sama
sekali. Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas lipatan
memanjang. Epitel bronkus: kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar
submukosa. Lamina propria: serat retikular, elastin, limfosit, sel mast, eosinofil.

 Bronkiolus

Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak


mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar.
Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak
mengandung sel goblet.

 Bronkiolus Respiratorius

Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan: epitel kuboid,
kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli).

 Duktus Alverolaris

Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.

 Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya


pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.
Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh
serat kolagen, dan elastis halus.

2.2. Persarafan di Antara Saluran Pernapasan Atas dan Bawah

Terdapat hubungan persarafan di antara saluran pernapasan atas dan bawah, dalam penelitian
yang dilakukan oleh Mazzone et al 2016 ditemukan bahwa persarafan sensorik jaringan kulit
dan membran mukosa di kepala mamalia, termasuk saluran hidung, berasal dari ganglia
trigeminal dengan sebagian besar serat sensorik mencapai mukosa hidung melalui saraf
etmoidalis anterior. Persarafan trigeminal dilanjutkan oleh persarafan dari nervus
glosofaringeal dan nervus vagal pada tingkat nasofaring, faring dan palatum molle. Lalu
persarafan vagal juga menginervasi laring dan saluran udara yang lebih distal, lalu
diproyeksikan melalui nervus faringeal, nervus laringeal superior, nervus laringeal inferior,
dan percabangan dari nervus vagus di paru-paru yang pada akhirnya akan memediasi
bronkokonstriksi dan juga berperan dalam refleks-refleks yang menghubungkan saluran
pernapasan atas dan bawah.

2.3. Histologi Saluran Pernapasan

Secara histologis, saluran napas dilapisi dengan mukosa yang terdiri dari epitelium,
membran basal, dan lamina propria. Epitelium dari mukosa saluran napas (disebut juga
sebagai epitelium respiratorius) atas merupakan epitelium berjenis epitel kolumnar
pseudostratifikasi yang dilengkapi dengan silia yang terdiri atas sel goblet, sel kolumnar
dengan silia, sel basal, brush cells, sel serosa dan sel Kutchitsky.

 Sel Goblet
Sel-sep epitel dari saluran napas 30% di antaranya terdiri atas Sel Goblet yang berperan
untuk memproduksi mucinogen. Mucinogen yang terhidrasi (juga disebut sebagai
mucin) pada saat dilepaskan ke lingkungan yang basah (aqueous environment) dan
bercampur dengan zat lain disebut sebagai mucus. Sama seperti sel-sel goblet lainnya,
secara struktural memiliki stem yang ramping yang berada di basal dan juga memiliki
sel theca yang melebar yang berperan sebagai granul sekretorius. Pada daerah basal sel
goblet, juga ditemukan banyak retikulum endoplasma kasar, badan golgi, mitokondria,
dan banyak ribosom. Sedangkan, sel theca ini mengandung banyak granul dengan
ukuran yang bervariasi yang mengandung mucinogen. Selain itu, juga terdapat
plasmalemma di bagian apikal yang memiliki microvilli-microvilli pendek.

 Sel Kolumnar Bersilia


Sel kolumnar bersilia membentuk kira-kira 30% dari sel epitel pada saluran
pernapasan. Berbentuk tinggi dan ramping, sel kolumnar bersilia pada saluran napas
memiliki nukleus yang terletak di daerah basal, sedangkan pada daerah apikal terdapat
silia dan mikrovili. Sebagian dari sitoplasma sel ini juga banyak mengandung
mitokondria dan badan golgi. Sedangkan sisa sebagian sitoplasma pada sel kolumnar
bersilia ini mengandung retikulum endoplasma dan ribosom. Silia pada sel ini
berfungsi untuk menyingkirkan lendir beserta isinya melewati nasofaring sebelum di
buang ke luar dari tubuh.

 Sel Basal
Sel basal pada epitelium saluran napas yang berukuran pendek ini menyusun sekitar
30% dari total sel-sel yang ada di lapisan epitelium saluran napas. Sel-sel basal ini
terletak di membran basal, tetapi sisi apikalnya tidak mencapai lumen. Sel-sel ini
berperan sebagai sel punca di mana sel ini akan menggantikan sel goblet, sel kolumnar
bersilia, dan brush cells yang rusak.

 Brush Cells
Brush cells atau sel mukosa granul kecil merupakan sel kolumnar dengan mikrovili
tinggi yang memenuhi sekitar 3% dari total sel pada lapisan epitelium saluran napas.
Sampai saat ini peran dari brush cells ini belum diketahui secara pasti, akan tetapi
beberapa peneliti mengusulkan bahwa brush cells ini berkaitan dengan ujung saraf;
maka dari itu beberapa penelitian menyimpulkan bahwa mereka mungkin memiliki
peran dalam aktivitas sensorik. Selain diyakini memiliki hubungan dengan aktivitas
sensorik, peneliti lain juga mempercayai bahwa brush cells hanyalah sel goblet yang
telah melepaskan mucinogennya.

 Sel Serosa
Sel serosa merupakan sel yang berbentuk kolumnar yang membentuk sekitar 3% dari
total sel pada lapisan epitelium saluran napas. Sel serosa ini memiliki mikrovili dan
granula apikal yang di dalamnya terdapat sekret yang mengandung komposisi yang
sampai sekarang belum diketahui.

 Sel Kulchitsky
Sel Kulchitsky, memenuhi 3% hingga 4% dari total populasi sel pada lapisan epitelium
saluran napas. Sel Kultchitsky memiliki kemampuan untuk mendeteksi kadar oksigen
dan karbon dioksida dalam lumen saluran napas. Sel ini berkaitan erat dengan ujung
saraf sensorik yang tidak termyelinasi, di mana secara keseluruhan dapat disebut
sebagai pulmonary neuroepithelial bodies. Selain itu, sel Kulchitsky juga mengandung
banyak granula pada sitoplasma basalnya di mana terdapat banyak agen seperti amina,
polipeptida, asetilkolin, serotonin, dan adenosin trifosfat. Dalam kondisi hipoksia,
agen-agen ini dilepaskan ke celah sinaptik dan ke dalam ruang jaringan ikat pada
lamina propria dan berperan sebagai hormon parakrin atau dapat memasuki perederan
darah dan berperan sebagai hormon. Oleh karena itu, sel Kulchitsky ini dipercaya dapat
memberikan efek lokal untuk mengurangi hipoksia secara terbatas dengan mengatur
perfusi dan ventilasi daerah sekitarnya, atau memberi efek secara general melalui
serabut saraf eferen yang meneruskan informasi mengenai kondisi hipoksia ke
respiratory regulator yang terletak di medula oblongata.

Akan tetapi, setiap organ pada saluran pernapasan memiliki ciri khas jika ditinjau
secara histologis. Pada kavum nasi, banyak terdapat epitel respiratorius tetapi pada
bagian lain dari kavum nasi juga dapat ditemukan epitel olfaktori yang memiliki
ketebalan yang lebih besar jika dibandingkan dengan epitel respiratorius dan juga
disertai dengan silia khusus yang berperan sebagai reseptor olfaktori. Sedangkan pada
laring dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni vestibular folds dan vocal folds. Pada
vestibular folds, dapat ditemukan banyak epitel respiratorius dan kelenjar seromukosa
sedangkan pada vocal folds selain terdapat epitel respiratorius juga dapat ditemukan
epitel pipih berlapis.
Sedangkan, untuk struktur histologis dari trakea dan bronkus ternyata dapat ditemukan
banyak persamaan, kedua organ ini sama-sama dilengkapi dengan epitel respiratorius,
kelenjar seromucinous, otot polos, dan jaringan kartilago. Akan tetapi beberapa
perbedaan yang dapat terlihat di antara trakea dan bronkus adalah ditemukannya cincin
kartilago pada trakea yang bebentuk seperti huruf C dengan otot polos, sedangkan
kartilago yang ada pada bronkus berbentuk plakat. Selain itu, pada bronkus ditemukan
jumlah sel goblet dan kelenjar seromucinous yang lebih sedikit jika dibandingkan
dengan trakea.
Pada bronkiolus primer, secara histologis dapat ditemukan epitel kolumnar dengan silia
serta sel goblet dalam jumlah kecil. Sedangkan terdapat perbedaan di antara bronkiolus
primer dengan bronkiolus terminal dan respiratorius yaitu tidak lagi ditemukannya
epitel kolumnar dengan silia tetapi dapat ditemukan sel-sel kuboid dengan silia.
Perbedaan di antara bronkiolus terminal dengan bronkiolus respiratorius terletak pada
ada tidaknya alveoli-alveoli tunggal.
Untuk alveolus sendiri, lapisan epitel dari alveolus terbentuk atas pneumosit tipe 1 dan
pneumosit tipe 2. Pneumosit tipe 1 merupakan kumpulan sel skuamosa yang relatif
besar dan lebar yang membentuk bagian alveolar dari air-blood barrier yang
merupakan 95% komposisi dari alveolus, sedangkan pneumosit tipe 2 merupakan
kumpulan sel kuboid yang terletak pada septum alveolar. Selain itu, pada jaringan ikat
dari septum alveolar dan lumen dari alveolus juga dapat ditemukan makrofag alveolar.

2.4. Transportasi Mukosiliar

Transportasi mukosiliar atau clearance mucosiliar adalah suatu mekanisme mukosa saluran
pernapasan untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada lendir/mukus ke arah nasofaring. Transportasi Mukosiliar terdiri dari dua
sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara
berdampingan. Sistem ini didasari dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus.
Pada lapisan mukosa terdapat enzim muramidase yang berfungsi untuk melawan bakteri.
Enzim muramidase ini memiliki cara kerja yang mirip dengan immunoglobulin A (IgA),
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Pada hidung, juga
dapat ditemukan immunoglobulin G (IgG) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret
hidung sewaktu serangan akut atau infeksi virus. Ujung silia pada sistem transportasi
mukosiliar ini dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian
digerakkan kearah posterior bersama materi yang terperangkap di dalam mukus ke arah
nasofaring. Trasportasi mukosilia yang ini sangat penting untuk menjaga kebersihan dan
kelembapan dari saluran napas. Bila sistem ini tidak bekerja dengan baik maka mukus yang
mengandung materi-materi yang seharusnya dibuang akan menjadi tempat bertumbuhnya
patogen-patogen yang dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan. Pada hidung,
pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung
umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke
dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus paranasal akan bergerak secara
spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut
berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia
tidak selalu sama pada berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan
gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada
dinding lateral kavum nasi, sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang
berasal dari sinus frontalis dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian
melalui anteroinferior orifisium dari tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sedangkan sekret yang berasal dasri sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di
resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinfeior orifisium tuba eustachius menuju
nasofaring.

2.5. Produksi Karbon Monoksida pada Saluran Pernapasan

Terdapat banyak sumber dari produksi karbon monoksida yang diproduksi oleh tubuh, tetapi
pemecahan dari heme menjadi biliverdin dan karbon monoksida merupakan sebuah
mekanisme yang paling berperan dalam pembentukan karbon monoksida secara endogen.
Sebuah enzim yang bernapa heme oxygenase, dengan dua bentuk isoform (HO-1 dan HO-2).
Tingkat immunoreaktivitas dari HO-2 ini sudah pernah diteliti dan dinilai mirip dengan badan
sel pada sel saraf pada ganglia parasimpatetik lokal pada trakea dan bronkus pada manusia.
Hal ini dapat membuktikan bahwa karbon monoksida dapat berperan sebagai modulator di
dalam proses neurotransmisi di paru-paru. Selain itu, sebuah penelitian telah menemukan
bahwa aktivitas yang melibatkan immunoreaktivitas dari HO-1 dan HO-2 telah ditemukan
pada otot polos dan epitel respiratorius dari marmot percobaan yang dapat mengidikasikan
bahwa karbon monoksida berperan langsung dalam regulasi saluran pernapasan. Selain itu,
juga ditemukan aktivitas serupa yang telah diobservasi pada epitel respiratorius yang juga
berhubungan dengan otot polos pada pembuluh arteri dan vena pada lapisan submucosa dan
kelenjar seromukosa. Pada saat dibandingkan, udara yang diekspirasi dari hasil pernapasan
hidung dinilai lebih mengandung kadar karbon monoksida yang lebih tinggi dibandingkan
hasil ekspirasi dari pernapasan mulut.
2.6. Produksi Nitrogen Monoksida pada Saluran Pernapasan
2.7. Pertukaran Gas pada Telinga Tengah

Ruang telinga tengah dan mastoid bertukar gas dengan empat mekanisme berbeda yaitu pertukaran
gas pada telinga bagian dalam melalui membran round window, pertukaran gas bertekanan
atmosfer sekitar melalui membran timpani, dari peredaran darah sekitar melalui mukosa telinga
tengah, dan dari nasofaring melalui tuba eustachius. Tiga mekanisme pertama dilakukan melalui
proses difusi secara pasif, sedangkan mekanisme terakhir (dari nasofaring melalui tuba eustachius)
dilakukan melalui proses difusi secara aktif.

Komponen dari gas yang terdapat pada telinga tengah ternyata tidak jauh berbeda dengan
komponen gas yang terdapat dalam darah dan udara sekitar yakni oksigen (O2), karbon dioksida
(CO2), nitrogen (N), argon (Ar), dan air (H2O). Kadar gas-gas tersebut dinyatakan dalam bentul
tekanan parsial P(x). Pada rongga telinga tengah, kadar P(N) tidak jauh berbeda jika dibandingkan
dengan P(N) pada kompartemen lain. Sedangkan P(O2) pada telinga tengah sedikit lebih rendah
kadarnya dan P(CO2) sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kadar P(CO2) pada darah vena.
Oksigen dan nitrogen dipindahkan melalui proses difusi pasif melalui mukosa telinga ke dalam
kompartemen darah, sedangkan karbon dioksida dan uap air akan berpindah melalui proses difusi
pasif dari darah ke rongga telinga tengah. Pertukaran gas pada telinga tengah sangat dipengaruhi
oleh sel-sel lapisan mukosa, laju difusi spesifik gas yang konstan, dan sistem vaskular pada
struktur di sekitarnya.
2.8.United Airway Disease

2.8.1. Definisi
Suatu keadaan di mana terjadi peradangan pada saluran pernapasan atas dan saluran
pernapasan bawah disebut sebagai united airway disease. Konsep dari united airway disease
ini adalah “one airway, one disease”. Gangguan-gangguan yang terjadi pada saluran napas atas
dan bawah memiliki kesamaan dari segi patologis secara makroskopis dan segi histologis
secara mikroskopis (contoh: rinitis dan asma).
2.8.2. Epidemiologi
Dalam beberapa dekade ke belakang, di negara barat prevalensi rhinitis alergi telah meningkat
sebanyak 30% sejak awal tahun 2000. Beberapa penelitian mengusulkan bahwa 30% dari
penderita rhinitis alergi memiliki faktor komorbid asma dan 70% dari penderita asma memiliki
faktor komorbid rhinitis alergi. Selain itu, sebuah studi mengatakan bahwa penderita rhinitis
alergi yang disertai asma, cenderung memiliki asma yang tidak terkontrol. Kedua penyakit ini
berkembang secara berdampingan jika dilihat secara morfologis dan fungsional, serta memiliki
kesamaan dalam kaskade peradangan terhadap alergen. Tidak hanya rhinitis alergi,
rhinosinusitis eosinofilik kronis juga memiliki hubungan erat dengan severe asthma.
Hubungan Saluran Pernapasan Atas, Saluran Pernapasan Bawah, dan Telinga Tengah pada
United Airway Disease: Terdapat dua fenotipe dalam proses peradangan, peradangan
eosinofilik dan non-eosinofilik. Beberapa studi mengatakan bahwa selain saluran pernapasan
atas dan saluran pernapasan bawah, ternyata telinga tengah juga memiliki peran dalam
terjadinya united airway disease. Meski belum diketahui secara pasti, hubungan di antara
telinga tengah dengan saluran nafas diyakini terhubung melewati zat-zat yang dilepaskan
akibat reaksi allergi pada hidung yang akan mempengaruhi telinga tengah melalui duktus
nasolakrimal dan sistem lakrimasi atau secara tidak langsung melalui sistem peredaran darah.
2.8.3. Teori Mekanisme Terjadinya Peradangan Saluran Pernapasan Atas dan Bawah
 Decrease in postnasal drainage of inflammatory mediators from the uppper to the lower
airways
Mekanisme ini pada umumnya didasari oleh adanya aspirasi dari zat-zat pro-
inflamatori yang berasal dari saluran pernapasan melalui post-nasal discharge ke
dalam saluran pernapasan bawah.
 Reduction of systemic mediators disseminated by the upper airway
Mekanisme ini pada umumnya didasari oleh adanya pelepasan zat-zat pro-inflamatori
akibat peradangan pada saluran pernapasan atas, dan disalurkan ke saluran pernapasan
bawah melalui sumsum tulang.
 Neural modulation via the nasal-bronchial reflex
Mekanisme ini didasari oleh aktivitas neural setelah terjadinya reaksi antar antigen dan
antibodi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Konno et al pada seorang penderita
rinitis alegi menyatakan bahwa terdapat rangsangan sinyal dari ujung saraf sensorik
pada hidung yang diteruskan ke nervus trigeminal dan diteruskan ke sisi kontralateral
melalui saraf simpatetis.

2.9. Refleks Nasal

2.9.1. Refleks Nasobronkial

Persarafan sensoris hidung berasal dari persarafan saraf trigeminal. Sedangkan saluran napas
bagian bawah mendapatkan persarafan melalui saraf vagus. Adanya reflek nasobronkial yang
berasal dari ujung-ujung saraf sensoris yang berjalan menuju sistem saraf pusat melalui saraf
trigeminus dan mengikuti jalur eferen melalui saraf vagus untuk menghasilkan kontraksi otot
polos pada saluran napas masih menjadi perdebatan selama bertahun-tahun.Refleks
nasobronkial ini terungkap dari penelitian yang dilakukan oleh Kaufman dan Wright pada
tahun 1969 dimana mereka membuktikan pemberian silikat di mukosa hidung individu yang
sehat dapat menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas bagian bawah. Spasme dari
bronkus yang diakibatkan pemberian silikat ini ternyata dapat dihambat dengan pemberian
atropin dan reseksi dari saraf trigeminus. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Yan et al. di mana terjadi penurunan volume FEV1 setelah melakukan uji provokasi
histamin pada hidung penderita rhinitis alergika dan penderita asma yang stabil. Cepatnya
respon dari saluran napas bagian bawah terhadap uji provokasi hidung ini menunjukkan adanya
kemungkinan mekanisme refleks nasobronkial terhadap interaksi dari united airway disease
2.9.2. Refleks Nasopulmonal

Refleks ini memiliki lengkung refleks yang terdiri dari saraf trigeminal dan saraf vagus.
Cabang aferen atau sensorik dari lengkungan ini terdiri dari divisi oftalmikus dan maksila
superior dari kelima saraf, dan akar sensorik dan inti akhir sensorik trigeminus. Cabang eferen,
atau motorik, dibentuk oleh nukleus motorik dorsal vagus, nukleus ambiguus, dan serat eferen
nervus vagus. Bagian-bagian tertentu dari hidung lebih erat berhubungan dengan refleks naso-
pulmonal daripada yang lain, dan area hidung yang, jika dirangsang, lebih mungkin
menyebabkan bronkospasme disebut area asmagenik, area pemicu, atau regio ethmoid. Area
ini dimulai dengan batas bawah konka medial, dan mencakup semua saluran udara atas yang
membentang dari batas ini ke pelat cribriform, baik permukaan lateral dan septal hidung
disertakan. Dibatasi di depan oleh ujung anterior konka tengah, meluas ke posterior ke rongga
sphenoid, tubuh sphenoid, dan mungkin termasuk rongga sphenoid.Secara lateral memanjang
dari septum ke lempeng lateral ethmoid

2.9.3. Refleks Nasofaringeal

Refleks nasofaringeal dapat diaktifkan dengan stimulasi dalam bentuk gas, air, atau stimulasi
listrik. Pada refleks nasofaringeal, nervus ethmoidalis berperan penting dalam mekanisme ini
dengan menginervasi saluran hidung dan nares eksternal, dan sangat penting dalam melindungi
jalan napas bagian atas. Studi pada anjing membuktikan bahwa stimulasi hidung meningkatkan
tonus vagal parasimpatis, yang mengurangi denyut jantung dan mempengaruhi cardiac output.
Sebaliknya, refleks nasofaring meningkatkan tonus simpatis, menyebabkan resistensi
pembuluh darah perifer yang lebih besar (dengan pengecualian resistensi karotis), sehingga
mempertahankan nilai tekanan darah yang stabil. Perubahan diferensial dalam aliran vaskular
pada tingkat karotis menunjukkan redistribusi aliran darah ke otak. Gambaran fisiologis refleks
nasofaring yang disebutkan di atas menunjukkan perannya sebagai refleks pengawet oksigen
yang kuat, mirip dengan refleks menyelam.

Anda mungkin juga menyukai