Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KEPERAWATAN KRITIS

ARDS

Disusun Oleh

Kelompok 2

1. Novy Maulid Diana (30902000260)


2. Nurin Hakiki Rizki (30902000261)
3. Putri Novyana Sari (30902000262)
4. Rachmawati (30902000264)
5. Umi Tamami (30902000265)
6. Zulham Efendi (30902000266)
7. Khasful Muna (30902000267)
8. Elva Widya Pribadi (30902000269)
9. Tri Pradika Putri (30902000270)
10. Uli Haris Sa’adah (30902000271)

S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
ARDS adalah keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut
yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru (aryanto
swondo,2006).
ARDS mengakibatkan terjadinya gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba
ditandai dengan sesak nafas yang hebat, hipoksemia dan infiltrate yang menyebar
dikeduabuah paru.ARDS (juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana
sebelumnya paru sehat,sindrom ini kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap
tahun,dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS.
Faktor resiko menonjol adalah sepsis kondisi pencetus lain termasuk trauma
mayor,tenggelam, inhalasi asap atau kimia. Perawatan akut secara khusus menangani
perawatan kritis dengan intubasi dan ventilasi mekanik (doenges 1999 hal 217)
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa
trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. ARDS terjadi
sebagian akibat cedera atau trauma pada membrane alveolar kapiler yang
mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang intrerstisial alveolar dan perubahan
dalam jaringan-jaringan kapiler. Terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam
paru-paru.ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan,yang
mengarah pada kolapsalveolar. Komplian paru menjadi sangat menurun atau paru-
paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas
residual fungsional,hipoksia berat dan hipokapin (brunner & suddart 616).
Oleh karena itu, penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus dari
perawat untuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut
dikarenakan klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat
mengancam jiwa klien.
B. Rumusan masalah
a. Apa yang dimaksud dengan ARDS?
b. Bagaimana etiologi dari ARDS?
c. Bagaimana patofisiologi dari ARDS?
d. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari ARDS?
e. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan dari ARDS?
f. Bagaimana komplikasi dari ARDS?
g. Bagaimana asuhan keperawatan dari ARDS?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang ARDS dan Asuhan keperawatan pada klien dengan kasus
ARDS.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahi pengertian ARDS
b. Untuk mengetahui etiologi ARDS
c. Untuk mengetahiu patofisiologi dari ARDS
d. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang ARDS
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan dari ARDS
f. Untuk mengetahui komplikasi dari ARDS
g. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan dari ARDS
BAB II

LANDASAN TEORI

A. LAPORAN PENDAHULUAN ARDS


1. Anatomi sistem pernafasan
Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea,
karina, bronchus principalis, bronchuslobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus
terminalis, bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan
alveoli.Terdapat Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan
lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior.Pulmo
dextra terdapat fissura horizontal yang membagi lobus superior dan lobus media,
sedangkan fissura oblique membagi lobus media dengan lobus inferior.Pulmo
sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus superior dan
lobusinferior.Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis (luar)
dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum
pleura)
1) Hidung
Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior
yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang
rawan.Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan
rambut.Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis silindris bersilia bersel goblet
dan mengandung sel basal.Didalamnya adakonka nasalis superior, medius dan
inferior.Lamina propria pada mukosa hidung umumnya mengandungbanyak
pleksus pembuluh darah.
2) Sinus Paranasal
Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang
tengkorak yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris,
frontalis, etmoidalis dan sphenoidalis.
3) Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut.Saluran napas dan makanan
menyatu dan menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke
oesophagus. Pada saat bernapas udara dihantarkan ke laring.Ada 3 rongga :
nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Mukosa pada nasofaring sama
dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan laringofaring sama dengan
saluran cerna.Mukosa faring tidak memilki muskularis mukosa. Lamina
propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu dengan
jaringan ikat interstisiel.Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis
gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.
4) Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak
antarafaring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan
krikoid. Muskulus ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus
intrinsik mengikat laring pada tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan
fonasi. Lapisan laring merupakan epitel bertingkat silia. Epiglotis memiliki
epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar.Fungsi laring untuk membentuk suara,
dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis).Ada 2 lipatan mukosa yaitu
pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah diantara
pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan lamina
propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot
rangka).Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N
Laringealis superior.
5) Trakea
Tersusun atas 16 –20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi
oleh jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan,
mukosa, epitel bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.
6) Bronchus
Cabang utama trakea disebutbronki primer atau bronki utama. Bronki
primer bercabang menjadi bronki lobar bronki segmental bronki
subsegmental. Struktur bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin
berupa lempeng tulang rawan tidak teratur. Makin ke distal makin berkurang,
dan pada bronkus subsegmental hilang sama sekali. Otot polos tersusun atas
anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas lipatan memanjang.Epitel bronkus :
kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar submukosa.Lamina
propria : serat retikular, elastin, limfosit, sel mast, eosinofil.
7) Bronchiolus
Cabang ke 12 –15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan,
tidak mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan
ikat longgar. Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel
Clara).Lamina propria tidak mengandung sel goblet.
8) Bronchiolus respiratorius
Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru.
Lapisan : epitel kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis
(alveoli).
9) Duktusalveolaris
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli
bermuara.
10) Alveolus
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat
terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang
dihirup. Jumlahnya 200 -500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar
alveoli disokong oleh serat kolagen, dan elastis halus.[9]Sel epitel terdiri sel
alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar ( sel alveolar tipe II).
Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% , menempati 95 % alveolar
paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar.Sel
alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal
bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan berlamel.Sel
alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan ini fungsinya
untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi.Jaringan diantara 2 lapis
epitel disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast,
sedikit limfosit.Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn.Sel fagosit utama
dari alveolar disebut makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma sel ini terisi
badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel lainnya.
11) Pleura
Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung
serat elastin, fibroblas, kolagen.Yang melekat pada paru disebut pleura viseral,
yang melekat pada dinding toraks disebut pleura parietal.Ciri khas
mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfe.Saraf adalah cabang n.
frenikus dan n. interkostal.

2. Fisiologi sistem pernafasan


Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
1) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat volunter
terletak dicortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron motorik otot
pernafasan melalui jaras kortikospinal.
2) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan
otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari
sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di antara bagian lateral dan
ventral jaras kortikospinal.

Serat saraf yang meneruskan impuls inspirasi, berkumpul pada neuron motorik
N.Phrenicus pada kornu ventral C3-C5 serta neuron motorik intercostales externa
pada kornu ventral sepanjang segmen toracal medulla. Serat saraf yang
membawa impuls ekspirasi, bersatu terutama pada neuron motorik intercostales
interna sepanjang segmen toracal medulla.

10Neuron motorik untuk otot ekspirasi akan dihambat apabila neuron motorik
untuk otot inspirasi diaktifkan, dan sebaliknya. Meskipun refleks spinal ikut
berperan pada persarafan timbal-balik (reciprocal innervation), aktivitas pada
jaras descendens-lah yang berperan utama. Impuls melalui jaras descendens akan
merangsang otot agonis dan menghambat yang antagonis. Satu pengecualian
kecil pada inhibisi timbal balik ini aadalah terdapatnya sejumlah kecil aktifitas
pada akson N.Phrenicus untuk jangka waktu singkat, setelah proses inspirasi.
Fungsi keluaran pasca inspirasi ini nampaknya adalah untuk meredam daya
rekoil elastik jaringan paru dan menghasilkan pernafasan yang halus (smooth).
3. Definisi ARDS
Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi
kegawat daruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi
cairan di alveoli yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga
distribusi oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Definisi ARDS mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Adult Respiratory Distress Syndrome
didefinisikan pertama kali tahun 1994 oleh AECC (American-European
Consensus Conference). Definisi ARDS menurut AECC adalah:
1) Gagal napas dengan onset yang bersifat akut
2) Rasio PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg
3) Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru kardiogenik.
4) Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-
tanda peningkatan tekanan pada atrium kiri.
4. Tanda Gejala
Gejala ARDS dapat berbeda-beda pada setiap penderitanya, tergantung
penyebab, tingkat keparahan, dan apakah ada penyakit lain yang diderita, seperti
penyakit jantung atau penyakit paru-paru.

Beberapa gejala dan tanda yang dapat muncul pada penderita ARDS adalah:

 Napas pendek dan cepat


 Sesak napas
 Tekanan darah rendah (hipotensi)
 Tubuh terasa sangat lelah
 Keringat berlebih
 Bibir atau kuku berwarna kebiruan (sianosis)
 Nyeri dada
 Denyut jantung meningkat (takikardia)
 Batuk
 Demam
 Sakit kepala atau pusing
 Bingung

5. Etiologi
Adult Respiratory Distress Syndrome dapat disebabkan karena inflamasi,
infeksi, gangguan vaskular dan trauma di intratorakal maupun ekstratorakal.
Menentukan etiologi ARDS sangat penting secara klinis agar dapat dilakukan
tatalaksana dengan tepat. Acute Respiratory Distress Syndrome dapat disebabkan
oleh mekanisme langsung di paru maupun mekanisme tidak langsung di luar paru.
Etiologi ARDS akibat kelainan primer paru dapat terjadi akibat aspirasi,
pneumonia, inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan ektraparu terjadi
akibat sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan
seperti heroin (table 2). Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik
yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak
selanjutnya adalah sepsis berat akibat infeksi lain di luar paru.
6. Patofisiologi
Dikaji dari gambaran klinis ARDS, secara teori menunjukkan pirau intra
pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya kembang
(compliance) paru-paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) disertai
dengan takipnea yang berat akibat hipoksemia dan bertambahnya kerja
pernapasan sekunder terhadap penurunan daya kembang paru-paru. Pada
auskultasi dapat terdengar krepitasi, rhonchi atau wheezing. Penderita tampak
sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen
selama bernafas spontan. Kesadaran akan berubah/gelisah, dan penderita biasanya
mengalai hipotensi/syok disertai takikardi. Saat dikonsulkan untuk perawatan di
ruang intensif didapatkan tanda desaturasi, takipnea, takikardi, pasien tampak
gelisah dan hipotensi, pada pemeriksaan fisik ditemukan rhonchi basah kasar di
kedua lapangan paru serta gambaran AGD sesaat sebelum pasien dikirim ke ruang
intensif menunjukkan gambaran hipoksemia dengan PaO2 40,60 mmHg dan SaO2
80,6% (Pradnyani, Aryabiantara, dan Parami 2018).
Dispnea merupakan keluhan subjektif yang timbul bila ada perasaan tidak
nyaman maupun gangguan/kesulitan lainnya saat bernafas, yang tidak sebanding
dengan tingkat aktivitas. Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular,
emboli paru, saluran napas seperti  asma, emfisema, acute respiratory distress
syndrome (ARDS),  bronkitis kronik, penyakit parenkimal, penyakit vaskular
paru  seperti hipertensi paru primer, penyakit pleura seperti pneumotoraks, 
penyakit dinding paru seperti  trauma, penyakit venooklusi paru seperti fibrosis,
dll. Berdasarkan waktu terjadinya dispnea dibagi menjadi 3 (Pradnyani,
Aryabiantara, dan Parami 2018) yaitu
1. dispnea mendadak (akut) disebabkan oleh pneumotoraks, emboli paru masif,
asma, aspirasi benda asing
2. dispnea bertahap dan semakin berat dalam beberapa jam atau hari terdapat
pada pneumonia, asma, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) eksaserbasi
akut
3. dispnea bertahap dan semakin berat dalam beberapa minggu, bulan, atau tahun
terjadi pada efusi pleura, PPOK, TB paru, anemia, gangguan otot-otot
pernafasan.
Tahapan patofisiologi ARDS secara klasik digambarkan dalam 3 tahapan yang
berurutan dan tumpang tindih (Bakhtiar 2018)
1. Fase eksudatif dari jejas paru, temuan patologis disebut sebagai diffuse
alveolar damage. Terdapat membran hialin yang melapisi dinding alveolar dan
cairan edema yang mengandung protein di ruang alveoler, terjadi pula
gangguan pada epitel dan infiltrasi neutrofil pada interstitial dan alveoli. Area
hemorrhage dan makrofag dapat ditemukan di alveoli. Fase yang berlangsung
5- 7 hari ini diikuti oleh yang disebut sebagai fase proliferatif pada beberapa
pasien. Pada titik ini, membran hialin telah mengalami organisasi dan fibrosis.
Obliterasi kapiler pulmonal dan deposisi kolagen pada interstitial dan alveolar
dapat diamati bersamaan dengan penurunan jumlah neutrofil dan derajat
edema paru.
2. Fase cproliferatif ini diikuti oleh fase fibrosis yang tampak pada gambaran
radiologis pada ARDS persisten (lebih dari 2 minggu). Awalnya jejas langsung
maupun tidak langsung pada paru diduga menyebabkan proliferasi mediator
inflamasi pada mikrosirkulasi paru. Neutrofil ini mengaktifkan dan bermigrasi
dalam jumlah besar melewati endotel pembuluh darah dan permukaan epitel
alveolar, melepaskan protease, sitokin, dan reactive oxygen species (ROS).
Migrasi dan pelepasan mediator ini mengarah kepada permeabilitas vaskuler
yang patologis, timbulnya jarak pada barier sel epitel alveolar serta nekrosis
sel alveolar tipe I dan II. Hal ini sebaliknya menyebabkan edema paru,
pembentukan membran hialin, dan kehilangan surfaktan yang menurunkan
komplians paru dan membuat pertukaran gas sulit terjadi. Selanjutnya terjadi
infiltrasi fibroblas yang mengarah pada deposisi kolagen, fibrosis, dan
akhirnya perburukan penyakit.
3. Pada fase penyembuhan terjadi berbagai hal secara bersamaan. Sitokin
antiinflamasi menginaktivasi neutrofil yang teraktivasi yang akan mengalami
apoptosis dan fagositosis. Sel alveolar tipe II berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel alveolar tipe I, memperbaiki integritas dari pelapis epitelial dan
membuat gradien osmotik yang menarik cairan keluar dari alveoli ke dalam
mikrosirkulasi dan sistem limfatik paru. Secara simultan sel alveolar dan
makrofag menghilangkan bahan protein dari alveoli sehingga paru dapat pulih.

7. Pemeriksaan penunjang ARDS


1. Foto thorax anteroposterior  menunjukkan jantung dengan besar dan bentuk
normal, pada paru tampak infiltrat dengan air bronchogram di parahilar kanan
dan kiri.
2. Pemeriksaan radiologi  mula-mula tidak ada kelainan jelas pada foto dada,
setelah dilakukan 12-24 jam akan tampak infiltrate tanpa batas .
3. Biopsi paru  terdapat adanya pengumpulan granulosit secara abnormal
dalam parenkim paru.
4. Pemeriksaan AGD  didapatkan adanya hipoksemia kemudian hiperkapni
dengan asidosis respiratorik.
5. Chest X-rey  pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat juga
telihat adanya bayangan infiltrate alveolar ditengah region perihilar paru-paru.
Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan
infiltrate alveolar menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan lobus paru-
paru, tidak terjadi pembesaran pada jantung.
6. Rontgen dada  untuk melihat densitas atelectasis dan elevasi diaphragm
dengan overdistensi ductus alveolar.
7. Analisa gas darah  menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa.
8. Rontgen thorkas  menegtahui etilogi distress nafas.

8. Penatalaksanaan ARDS
a. Penatalaksanaan Medis
1) Manajemen hemodinamik
Pendekatan yang optimal terhadap manajemen hemodinamik pasien
ARDS disebutkan oleh beberapa studi yang membandingkan beberapa
strategi berbeda. Sebelum studi-studi tersebut, tidak jelas apakah klinisi
harus memberikan diuretik untuk mengurangi edema paru dengan
munculnya kemungkinan terjadi hipovolemia dan syok atau bebas dalam
hal pemberian cairan untuk menjaga perfusi jaringan.ARDSNet, yaitu
sebuah studi RCT (randomized controlled trial) multisenter yang
membandingkan strategi pemberian cairan yang diukur dari tekanan vena
sentral pada 1000 subyek dengan ARDS dengan hasil kelompok yang diberi
perlakuan strategi cairan konservatif dengan tujuan tekanan intravaskuler
yang lebih rendah, menunjukkan perbaikan oksigenasi dan hari bebas
ventilator lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang diberi
perlakuan strategi cairan yang liberal. Lebih penting lagi, kelompok yang
diberi perlakuan strategi cairan konservatif, angka kejadian dialisis atau
syok tidak lebih tinggi daripada kelompok satunya dan angka kematian
pada kelompok ini juga tidak berbeda jauh, sehingga hasil dari studi ini
menyebutkan bahwa pemberian cairan yang konservatif aman dan lebih
menguntungkan untuk pasien dengan ARDS.
Awalnya rekomendasi ini tampak tidak sejalan dengan prinsip
tatalaksana sepsis dari penelitian Rivers dkk yang secara dini dan agresif
memberikan resusitasi cairan, namun hasil yang berbeda dari beberapa studi
itu tidak sulit untuk digabungkan.2, 15 Pertama-tama, penting untuk diingat
bahwa pasien pada studi ARDSNet dimasukkan dalam penelitian rata-rata
setelah 24 jam terdiagnosis sebagai ALI, rentang waktunya lebih lama
dibandingkan dengan studi oleh Rivers dkk (rentang waktu 6 jam). Protokol
studi ARDSNet secara khusus didesain untuk menghindari pemicu atau
memperburuk syok atau edema paru.
Studi ARDSNet menggunakan algoritme yang kompleks untuk
pemberian cairan yang belum digunakan secara luas. Untuk saat ini,
direkomendasikan untuk mengatur pemberian cairan secara konservatif
untuk pasien yang tidak dalam keadaan syok, namun juga menghindari
pemberian diuretik berlebihan dan keadaan hipovolemia. Jenis cairan yang
baik digunakan untuk pasien ARDS merupakan hal yang perlu diteliti lebih
lanjut. Penggunaan koloid berbasis pati (starch) sudah tidak
direkomendasikan untuk pasien sepsis, karena sebuah randomized trial
menemukan insidensi gagal ginjal yang lebih tinggi pada pasien sepsis berat
yang mendapatkan 10% pentastarch dibandingkan dengan pasien yang
mendapatkan Ringer lactate. Apakah pentastarch menimbulkan efek yang
sama pada pasien ARDS tanpa sepsis berat belum diketahui.15 Secara teori,
pemberian albumin lebih baik, karena albumin akan meningkatkan tekanan
onkotik intravaskular dan mencegah edema paru.
Sebuah studi placebo-controlled menunjukkan bahwa pemberian
albumin dan furosemide. selama 5 hari menyebabkan perbaikan oksigenasi
secara substansial dan signifikan, dan disertai penurunan detak jantung.
Sebuah studi lanjutan menyebutkan bahwa perbaikan oksigenasi bukan
disebabkan oleh albumin, melainkan furosemide. Sebuah clinical trial
terhadap pasien yang dirawat di ICU menyebutkan bahwa pemberian
albumin aman, seperti pemberian kristaloid, namun studi ini tidak secara
spesifik memilih pasien ARDS, dan juga hanya mengamati hasil jangka
pendek. Harus diingat juga bahwa albumin merupakan produk darah,
sehingga pemberian albumin berkaitan dengan risiko penularan penyakit
meskipun kecil. Oleh karena itu peran albumin pada kasus ARDS masih
belum jelas dan membutuhkan studi lebih lanjut.
2) Farmakoterapi
Usaha untuk mengembangkan terapi farmakologis untuk ARDS sejauh
ini masih belum berhasil, belum ada farmakoterapi yang secara jelas dapat
mengurangi angka kematian ARDS meskipun telah banyak studi dilakukan
untuk meneliti agen-agen yang potensial. Kesimpulan yang bisa ditarik dari
berbagai studi yang meneliti berbagai macam agen adalah meskipun
didapatkan hasil yang efektif saat dilakukan percobaan secara in vitro atau
pada binatang, kebanyakan terapi potensial gagal mengurangi angka
mortalitas atau hasil lain yang penting pada percobaan pada manusia,
beberapa jenis agen memperbaiki oksigenasi namun tidak mengurangi
angka mortalitas ARDS.
Kortikosteroid Berdasarkan patofisiologi inflamasi pada ARDS, telah
banyak dilakukan penelitian tentang kortikosteroid dosis tinggi. Pada
beberapa penelitian, tujuannya adalah untuk mencegah ARDS pada pasien
dengan risiko (contoh: syok septik), sedangkan pada penelitian lain steroid
diberikan pada kasus ARDS yang telah bermanifestasi. Yang umum
diberikan adalah Metilprednisolon 30mg/kgBB setiap 6 jam selama 1-2
hari, namun tidak satupun dari penelitian-penelitian tersebut yang
menunjukkan keuntungan dari pemberian steroid, salah satu penelitian
menyebutkan kejadian infeksi yang lebih tinggi pada pasien yang mendapat
terapi steroid.4 Penggunaan steroid telah lama diperkirakan akan berguna
pada fase lebih lanjut ARDS, yaitu fase fibroproliferatif.
Tingkat sitokin plasma yang meningkat secara persisten tampaknya
berhubungan dengan perburukan survival rate ARDS. Hal ini mendukung
teori yang menyebutkan bahwa ARDS fase lanjut (>7 hari setelah onset)
ditandai dengan inflamasi persisten yang mungkin memberikan respon
terhadap steroid. Beberapa studi menyebutkan bahwa kelompok yang
diberikan steroid menunjukkan tingkat mortalitas yang lebih rendah,
oksigenasi yang lebih baik, penurunan disfungsi organ, dan ekstubasi lebih
awal. Saat yang tepat untuk memberikan steroid masih menjadi perdebatan,
namun dinilai masih masuk akal untuk mempertimbangkan pemberian
steroid pada pasien yang tidak membaik dalam 7-14 hari, karena pada
subgrup penelitian didapatkan keuntungan dan tidak terbukti adanya
kerugian.
3) Vasodilator inhalasi
Vasodilator inhalasi, termasuk nitric oxide dan prostacyclin, secara
selektif menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah paru yang membantu
memperbaiki status oksigenasi tanpa efek samping buruk pada
hemodinamik sistemik. Nitric oxide menyebabkan dilatasi pembuluh darah
dengan meningkatkan pengubahan cyclic guanosine monophosphate yang
mengarah pada relaksasi otot polos. Prostacyclin seperti epoprostenol dan
alprostadil bekerja pada reseptor prostaglandin dengan meningkatkan level
cyclic adenosine monophosphate yang menyebabkan relaksasi pembuluh
darah. Selain vasodilatasi, agen-agen ini juga menyebabkan efek pulmonal
dan kardiovaskular yang menguntungkan, seperti mengurangi tahanan
vaskular paru, mengurangi afterload ventrikel kanan, dan meningkatkan
volume sekuncup ventrikel kanan (Bakhtiar and Maranatha, 2015).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Terapi Umum
a) Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya), Sedasi
dengan kombinasi opiat benzodiasepin, karena penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan
dosis minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat
b) Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau diuretik.
2) Terapi Ventilasi
a) Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakeal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/menit
atau terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan
simple mask) untuk mempertahankan PaO2 sekitar 70 mmHg atau
lebih dalam beberapa jam.
b) Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik
disertai dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang
tertimbun di alveoli dan mengatasi mikro-atelektasis sehingga akan
memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q).
c) Tergantung tingkat keparahannya maka penderita dapat diberi ventilasi
non-invasif seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation.
Metode ini tidak direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan
kesadaran atau dijumpai adanya peningkatan kerja otot pernafasan
disertai peningkatan laju nafas dan peningkatan PCO2 darah arteri.
d) Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 - 15 ml/kg
dapat mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal
sehingga dapat terjadi rupture alveolus, deplesi surfaktan dan
kerusakan pada membra alveolar-kapiler. Untuk menghindari hal
tersebut maka digunakan volume tidal yang rendah (6 ml/kg) dengan
tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O, plateu inspiratory pressure < 30
cmH2O serta pemberian PEEP antara 8-14 cm H2O untuk mencegah
atelektasis dan kolaps alveoli.
e) Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure
Control. Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai
parameter keberhasilan dan panduan terapi.
f) Restriksi cairan dan diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler paru dan mengatasi kelebihan cairan paru
(lung water). Akan tetapi harus diingat bahwa dehidrasi yang
berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal
ginjal.
g) Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan
darah sehingga tidak terjadi atelektasis.
h) Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah di paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonal
dan oksigenasi arteri. Pemberian nitric oxide tidak akan berpengaruh
terhadap tekanan darah sistemik, namun demikian efek samping
subproduk NO berupa peroksi nitrit dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan paru. Oleh karena itu pengunaannya sangat ketat yaitu
pada keadaan ekstrem dimana terjadi hipoksemia akut yang refrakter
terhadap tindakan suportif yang diberikan (Gattinoni et al., 2016)
3) Nutrisi
Nutrisi telah disimpulkan bahwa manipulasi pada diet dapat
memperbaiki sistem imun dan meningkatkan hasil terapi penyakit
inflamasi, seperti sepsis dan ARDS. Strategi yang telah dilakukan antara
lain suplementasi arginin, glutamin, asam lemak dan antioksidan. Sebuah
studi randomized meneliti efek nutrisi enteral modifikasi yang meliputi
pemberian eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, dan bermacam-
macam antioksidan dibandingkan dengan nutrisi enteral kontrol pada pasien
dengan ARDS, dengan hasil kelompok yang diberi nutrisi enteral
modifikasi tersebut mengalami perbaikan oksigenasi, pengurangan jumlah
neutrofil pada cairan bilasan alveolar, penurunan lama rawat, dan
penurunan kebutuhan ventilasi mekanik.
Formula yang diperkaya dengan asam lemak dapat memberikan efek
baik untuk pasien ARDS karena berkompetisi dengan PUFA dan
meminimalkan sintesis eikosanoid proinflamatori. Banyak studi lain yang
meneliti pemberian nutrisi enteral modifikasi (sering disebut imunonutrisi)
dengan hasil yang masih kontroversi, sehingga peran imunonutrisi pada
manajemen ARDS masih belum jelas. Hal lain yang terkait dengan ini
adalah seberapa banyak nutrisi enteral yang harus diberikan. Pada sebuah
studi randomized controlled trial terbaru, jumlah pemberian nutrisi enteral
tidak mempengaruhi hasil terapi dari ALI (Bakhtiar and Maranatha, 2015).

9. Komplikasi
a. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi
b. komplikasi saluran nafas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang seperti
edema laring dan stenosis subglotis
c. Resiko infeksi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated
Pneumonia), ISK, flebitis
d. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
e. Multysystem organ failure
f. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuscular jangka panjang
g. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia
B. KONSEPASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian primer
a. Airway : Mengenali adanya sumbatan jalan napas
1. Peningkatan sekresi pernapasaN
2. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
3. Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
4. Jalan napas bersih atau tidak
b. Breathing
1. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, retraksi.
2. Frekuensi pernapasan : cepat
3. Sesak napas atau tidak
4. Kedalaman Pernapasan
5. Retraksi atau tarikan dinding dada atau tidak
6. Reflek batuk ada atau tidak
7. Penggunaan otot Bantu pernapasan
8. Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak
9. Irama pernapasan : teratur atau tidak
10. Bunyi napas Normal atau tidak
c. Circulation
1. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
2. Sakit kepala
3. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
4. mengantuk
5. Papiledema
6. Penurunan haluaran urine
d. Disability
1. Keadaan umum : GCS, kesadaran, nyeri atau tidak
2. Adanya trauma atau tidak pada thorax
3. Riwayat penyakit dahulu / sekarang
4. Riwayat pengobatan
5. Obat-obatan / Drugs

2. Pemeriksaan fisik
a. Mata
1. Konjungtiva pucat (karena anemia)
2. Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
3. Konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau endokarditis)
b. Kulit
1. Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer)
2. Sianosis secara umum (hipoksemia)
3. Penurunan turgor (dehidrasi)
4. Edema
5. Edema periorbital
c. Jari dan kuku
1. Sianosis
2. Clubbing finger
d. Mulut dan bibir
1. Membrane mukosa sianosis
2. Bernafas dengan mengerutkan mulut
e. Hidung
1. Pernapasan dengan cuping hidung
f. Vena leher : Adanya distensi/bendungan
g. Dada
1. Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas pernafasan,
dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)
2. Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan
3. Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara melewati
saluran /rongga pernafasan)
4. Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
5. Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction rub,
/pleural friction)
6. Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
h. Pola pernafasan
1. Pernafasan normal (eupnea)
2. Pernafasan cepat (tacypnea)
3. Pernafasan lambat (bradypnea)

BAB III

PEMBAHASAN

I. IDENTITAS PASIEN
a. Inisial pasien : AS
b. Nomor RM :-
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Umur : 24 tahun
e. Berat badan : 75 Kg
f. Alamat : Denpasar
g. Agama :
II. Riwayat Kesehatan
Diagnosa medis : near drownig with ARDS, acute pneumonia
Keluhan utama : penurunan kesadaran
Riwayat penyakit sekarang : ± 6jam sebelum masuk RS pasien tenggelam
di pantai ± 15menit. Sebelum dibawa ke RS kondisi pasien tidak sadar,
mata terbuka, tidak ada respon dan tidak bernafas. Setelah itu dilakukan
resusitasi janjung selama 5 menit, kemudian pasien tiba-tiba dapat bernafas
spontan kembali dan mata kembali fokus namun tidak dapat bersuara.
AIRWAY = tidak terdapat sumbatan jalan nafas.

BREATHING = tachypneu, takikardi, hipoksia berat, terdapat suara


pernafasan wheezing dan ronchi, RR : 32x/menit, terdapat retraksi
intercostal, nasal flare +, suprasternal retraksi, tidak tampak deformitas,
pasien terpasang ventilator.

CIRCULATION = HR : 162x/menit, nadi kuat, wajah sianosis,


berkeringat dan pucat, SpO2 : 37%.

DISABILITY = kesadaraan somnolen

1. Analisa Data

Hari/tangg Analisa Data Diagnosa


al
1 DS = - - Gangguan ventilasi spontan b.d
DO = kesadaran : samnolen kelemahan otot pernafasan.
TD : 110/89, N : 162x/menit,
RR : 32x/menit, S : 36 °c, Airway
clear, tidak ada obstruksi, SpO2 :
37 %, Pasien tampak distress
pulmonal. Retraksi intercostal,
nasal flare, wajah sianosis,
keringat, dan pucat. Tidak
ditemukan tanda-tanda trauma.
Mata : PERRL. THORAX :
Tidak tampak deformitas, tidak
ada bruit, adanya intercostal dan
suprasternal retraksi., whezzing
(+), Rhonki (+).
2 DS = - - Gangguan pertukaran gas b.d
DO = terpasang ventilator, ketidakseimbangan ventilasi –
hipoksia + perfusi.
Chest x-ray didapatkan edema
paru dd/ pnuemonia
paru tidak terdapat
pneuomothorax.
3 DS = - - Gangguan sirkulasi spontan b.d
DO = TD : 110/70 mmHg, N : 88 penurunan fungsi ventrikel,
x/menit, S : 36,7°C. abnormalitas kelistrikan jantung.
pasien dirawat di ICU untuk
monitoring gagal nafas yang
disebabkan oleh near drowning.
Pasien diberikan diuretic dan
midazolam drip, anti antiarytmia.
Chest Xray ulang didapatkan
pelebaran mediastinum dan
subcutanneus emphysema.
4

2. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan ventilasi spontan b.d gangguan metabolisme dan kelelahan otot
pernafasan
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi – perfusi
c. Gangguan sirkulasi spontan b.d penurunan fungsi ventrikel, abnormalitas
kelistrikan jantung

3. SDKI, SLKI, SIKI


Menurut PPNI pada tahun 2017, pada pasien ARDS ditemukan 3 diagnosa
keperawatan
a. Gangguan ventilasi spontan b.d gangguan metabolisme dan kelelahan otot
pernafasan ( D.0004 )
Gejala dan tanda mayor :
- Subjektif : dipsnea
- Objektif : penggunaan otot bantu nafas meningkat, volume tidal
menurun, PCO2 meningkat, PO2 menurun, SaO2 menurun
Gejala dan tanda minor :
- Subjektif : -
- Objektif : gelisah, takikardia

L.01007. Ventilasi spontan


Ekspektasi : meningkat
Kriteria hasil :
- Dipsnea menurun
- Penggunaan otot bantu nafas menurun
- Takikardi menurun
- Gelisah menurun
- Volume tidal membaik
- PCO2 membaik
- PO2 membaik
I.01002. dukungan ventilasi
Observasi :
- Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
- Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status pernafasan
- Monitor status respirasi dan oksigenasi
Terapiutik :
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Berkan posisi semi fowler atau fowler
- Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
- Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
Edukasi :
- Ajarkan melakukan tehnik relaksasi afas dalam
- Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
- Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkhodilator, jika perlu

b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi – perfusi ( D.0003 )


Gejala dan tanda mayor :
- Subjektif : dipsnea
- Objektif : PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia, pH
arteri meningkat/menurun, bunyi nafas tambahan
Gejala dan tanda minor :
- Subjektif : pusing, penglihatan kabur
- Objektif : sianosis, diaforesis, gelisah, nafas cuping hidung, pola nafas
abnormal, warna kulit abnormal, kesadaran menurun

L.01003. Pertukaran gas


Ekspektasi : meningkat
Kriteria hasil :
- Tingkat kesadaran meningkat
- Dipsnea menurun
- Bunyi nafas tambahan menurun
- Takikardia menurun
- Pusing menurun
- Penglihatan kabur menurun
- Diaforesis menurun
- Gelisah menurun
- Nafas cuping hidung menurun
- PCO2 membaik
- PO2 membaik
- pH arteri membaik
- sianosis membaik
- pola nafas membaik
- warna kulit membaik

I.01014. pemantauan respirasi


Observasi :
- monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
- monitor pola nafas
- monitor adanya sumbatan jalan nafas
- palpasi kesimetrisan paru
- auskultasi bunyi nafas
- monitor saturasi oksigen
- monitor nilai AGD
- monitor hasil xray thoraks
Terapiutik :
- atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
- dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi :
- jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- informasikan hasil pemantauan, jika perlu
c. Gangguan sirkulasi spontan b.d penurunan fungsi ventrikel, abnormalitas
kelistrikan jantung ( D.0007 )

Gejala dan tanda mayor :

- Subjektif : tidak berespon


- Objektif : frekuensi nadi <50x/menit atau >150x/menit, tekanan darah
sistolik <60mmHg atau >200mmHg, frekuensi nafas <6x/menit atau
>30x/menit
- Kesadaran menurun atau tidak sadar

Gejala dan tanda minor :

- Subjektif : -
- Objektif : suhu tubuh <34,5°c, saturasi oksigen <85%, gambaran EKG
menunjukkan aritmia letal, gambaran EKG menunjukkan mayor.

L.02015. sirkulasi spontan

Ekspektasi : meningkat

Kriteria hasil :

- Saturasi oksigen meningkat


- Gambaran EKG aritmia menurun
- Frekuensi nadi membaik
- Tekanan darah membaik
- Frekuensi nafas membaik
- Suhu tubuh membaik

I.01025. manajemen jalan nafas buatan

Observasi :

- Monitor posisi selang ETT, terutama setelah mengubah posisi


- Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8 jam

Terapiutik :

- Kurangi tekanan balon secara periodik tiap shift


- Cegah ETT terlipat
- Berikan volume pre oksigenasi 1,5x volume tidal
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik jika diperlukan
- Ganti fiksasi ETT setiap 24jam
- Ubah posisi ETT secara bergantian setiap 24jam
- Lakukan perawatan mulut

Edukasi :

- Jelaskan pasien dan/atau keluarga tujuan dan prosedur pemasangan


jalan nafas buatan

Kolaborasi :

- Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk mucous plug yang tidak dapat
dilakukan penghisapan
BAB IV

PEMBAHASAN

ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma
jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. ARDS terjadi sebagian akibat
cedera atau trauma pada membrane alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan
kedalam ruang intrerstisial alveolar dan perubahan dalam jaringan-jaringan kapiler. Terdapat
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan
pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru.ARDS menyebabkan penurunan dalam
pembentukan surfaktan,yang mengarah pada kolapsalveolar. Komplian paru menjadi sangat
menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam
kapasitas residual fungsional,hipoksia berat dan hipokapin (brunner & suddart 616).
Daftar Pustaka
Artha Mulia, Wenny. 2013. Laporan Pendahuluan Respiratory Distress Syndrome.

Bakhtiar, Arief. 2018. “Acute Respiratory Distress Syndrome.” 4(2): 51–60.


Bruce D. Levy, Augustine M. K. Choi. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Kasper,
Fauci, Longo, Hauser, Jameson, Loscalzo, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine
19ed. New York: Mc-Graw Hill; 2015

Heil, M., Hazel, A. and Smith, J. (2008). The mechanics of airway


closure.Respiratory Physiology & Neurobiology, 163(1-3), pp.214-221.

Koh Y. Update in Acute Respiratory Distress Syndrome. Journal of Intensive Care. 2014;2:2.

Lesauskaite, V. and Ebejer, M. (1999). Age-related changes in the respiratory


system.Maltese Medical Journal, 11(1), p.25.

Maulina, Aini, dkk. 2018. Respiratory Distress Syndrome. Stikes Medika Nurul Islam Sigli.
Aceh.

Matthay MA, Zemans RL. The Acute Respiratory Distress Syndrome: Pathogenesis and
Treatment. Annu Rev Pathol. 2011;6:147-63

Pradnyani, Ni Putu Novita, I Wayan Aryabiantara, dan Pontisomaya Parami. 2018. “Dispnea
pada pasien multipel fraktur ekstremitas post open reduction internal fixation.”
Medicina 49(2): 57–61.
PPNI, tim pokja S. D. (2016). standar diagnosis keperawan indonesia. Dewan pengurus
pusat persatuan perawat nasional indonesia J.raya lenteng agung No.64 Jagakarsa,
jakarta selatan.
Tantra, H. (2018). Nyeri Akut. Journal of Chemical Information and Modeling.
Wood, C., Kataria, V., & Modrykamien, A. M. (2020). The acute respiratory distress
syndrome. Baylor University Medical Center Proceedings.
https://doi.org/10.1080/08998280.2020.1764817

Anda mungkin juga menyukai