Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN EVIDENCE BASED NURSING

INTOKSIKASI

Dosen Pengampu:
Purwadi Sujalmo, S.Kep., Ns. MN

Kelompok 2B :

1. Nabila Firda M.F. (18/429897/KU/20874)

2. Mellyta Audi Dewanti (18/429894/KU/20871)

3. Wuslatun Ni’mah (18/429909/KU/20886)

4. Denisa Rahmadanti (18/429883/KU/20860)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan........................................................................................................................... 2
D. Manfaat......................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 3
BAB III METODE PENCARIAN JURNAL............................................................................ 10
BAB IV PEMBAHASAN JURNAL ....................................................................................... 12
BAB V PENUTUP ................................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 17
B. Saran........................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus keracunan yang disebabkan oleh zat kimia berdasarkan laporan Sentra
Informasi Keracunan (SIKer) Nasional di Tahun 2016 terjadi sebanyak 792 kasus. Menurut
laporan CDC (2021) sebanyak 50.000 orang di US harus mengunjungi unit gawat darurat
akibat keracunan karbon monoksida (CO) setiap tahunnya. Sebanyak 430 orang tercatat
meninggal akibat keracunan karbon monoksida (CO). Sedangkan kasus keracunan karbon
monoksida (CO) di Indonesia yang tercatat sebanyak 81 orang, terhitung sejak Januari -
September 2014 dan sebanyak 16 orang diantaranya meninggal dunia.
Karbon monoksida (CO) dapat ditemukan pada udara di luar ruangan atau pun dari
asap hasil pembakaran kompor, tungku, gas, bahan bakar kendaraan, atau pembakaran arang
dan kayu. Kemudian di dalam ruang tertutup, CO akan menumpuk dan dapat meracuni
manusia dan hewan jika menghirup gas tersebut. Gas CO tidak memiliki warna, tidak
mengiritasi, tidak memiliki bau, dan hambar. Jika terhirup oleh manusia, gas CO akan
berikatan dengan hemoglobin lebih cepat daripada oksigen O2. Ikatan gas CO dengan
hemoglobin disebut karboksihemoglobin dan kecepatan pengikatan keduanya 200 kali lebih
cepat dibandingkan dengan oksigen dan hemoglobin. Hal ini berbahaya karena dalam waktu
singkat tubuh akan kekurangan oksigen O2 dan dapat mengganggu kerja sel-sel beserta fungsi
organ. Dampak secara langsung paling serius dari keracunan CO adalah terganggunya sel-sel
otot jantung dan juga gangguan sistem saraf.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu intoksikasi?


2. Bagaimana penatalaksanaan gawat darurat pasien intoksikasi?
3. Bagaimana dampak intoksikasi karbon monoksida?
4. Apa terapi yang dapat diberikan pada pasien intoksikasi CO di IGD?

1
C. Tujuan

1. Menemukan sumber dari literatur ilmiah mengenai intoksifikasi dan secara spesifik
intoksikasi karbon monoksida (CO) sesuai dengan topik pembahasan seminar EBN blok 4.1
2. Mengetahui dan memahami mengenai penatalksanaan gawat darurat pasien intoksikasi
3. Mengetahui dan memahami mengenai intoksikasi karbon monoksida dan dampaknya
4. Mengetahui dan memahami mengenai pemberian terapi High Flow Nasal Cannula Oxygen
(HFNCO) pada korban keracunan karbon monoksida

D. Manfaat

1. Mahasiswa dapat menemukan sumber dari literatur ilmiah mengenai intoksifikasi dan secara
spesifik intoksikasi karbon monoksida (CO) sesuai dengan topik pembahasan seminar EBN
blok 4.1
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai penatalksanaan gawat darurat
pasien intoksikasi
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai intoksikasi karbon monoksida dan
dampaknya
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai pemberian terapi High Flow Nasal
Cannula Oxygen (HFNCO) pada korban keracunan karbon monoksida

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Intoksikasi
Definisi Intoksikasi
Intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat
psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi,
dan repon psikofisiologis. Intoksikasi atau keracunan juga dapat diartikan sebagai masuknya
suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh
bahkan sampai dapat menyebabkan kematian. Dalam pengertian sederhana keracunan adalah
kejadian masuknya racun kedalam tubuh manusia.

Penyebab Intoksikasi
Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal, berdasarkan wujudnya, zat yang
dapat menyebabkan keracunan antara lain: zat padat (makanan, obat-obatan), zat gas (CO2),
dan zat cair (alkohol, bensin, minyak tanah, zat kimia, pestisida, bisa/ racun hewan). Racun
racun tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa cara, diantaranya:
1. Melalui kulit
2. Melalui jalan napas (inhalasi)
3. Melalui saluran pencernaan (mulut)
4. Melalui suntikan
5. Melalui mata (kontaminasi mata)
Klasifikasi Racun
Racun diklasifikasikan menurut aksinya sebagai berikut:
1. Racun Korosif: racun ini adalah agen pengiritasi yang sangat aktif yang menghasilkan
peradangan dan ulserasi jaringan. Kelompok ini terdiri dari asam kuat dan basa.
2. Racun Iritan: racun ini menghasilkan gejala sakit di perut, muntah
 Racun Anorganik
Logam : arsen, merkuri, timbal, tembaga dan antimon
Non logam : fosfor, klorin, bromin, dan iodin
 Racun organik
Tumbuh-tumbuhan : minyak jarak
Hewan : ular, kalajengking,laba-laba
 Racun mekanik : bubuk kaca, debu berlian
3
3. Racun Saraf
Racun ini beraksi di sistem saraf pusa. Gejala yang dirimbulkan biasanya sakit kepala,
ngantuk, pusing, delirium, stupor, koma, dan kejang.
 Racun serebral: opium, alkohol, agen sedatif, agen hipnotik, anastetik.
 Racun spinal: Strychinine.
 Periferal: Curare.
4. Racun jantung : Digitalis, rokok.
5. Asphyxiants: Gas batubara, CO, CO2, war gasses
6. Lain-lain: Analgesik, antipiretik, penenang, antidepresan (Chadha, 2003)
Gejala Intoksikasi
Gejala umum saat terjadi intoksikasi atau keracunan berupa penurunan respon, gangguan
status mental (gelisah, takut), gangguan pernafasan, nyeri kepala, pusing ataupun gangguan
pengelihatan, mual ataupun muntah, lemas, lumpuh ataupun kesemutan. pucat ataupun kulit
kebiruan, kejang, syok, gangguan irama detak jantung ataupun pernafasan. Adapun gejala
khusus saat terjadi keracunan berdasarkan bagaimana racun masuk dalam tubuh,
1. Keracunan melalui mulut/alat pencernaan.
 Mual ataupun muntah
 Nyeri perut
 Diare
 Nafas ataupun mulut yang berbau
 Suara parau, nyeri di saluran cerna (mulut dan kerongkongan).
 Luka bakar atau sisa racun di daerah mulut
 Produksi air liur yang berlebih ataupun mulut menjadi berbusa.
2. Keracunan melalui pernafasan
 Gangguan pernafasan ataupun pernafasan
 Kulit kebiruan
 Nafas berbau
 Batuk ataupun suara parau.
3. Keracunan melalui kulit
 Daerah kontak berwarna kemerahan, nyeri, melepuh dan meluas
 Syok anafilaktik (gejala alergi yang mengancam nyawa yang dapat menyebabkan
penderita tidak sadarkan diri, melebarnya pembuluh darah, naiknya denyut nadi,
menurunnya tekanan darah, menyempitnya saluran nafas, ruam pada kulit, mual dan
anggota gerak yang hangat.
4
4. Keracunan melalui suntikan ataupun gigitan
 Luka di daerah suntikan ataupun gigitan berupa luka tusuk atau bekas gigitan
 Nyeri pada daerah sekitar suntikan ataupun gigitan dan kemerahan
Tetapi sedikit berbeda pada kasus gigitan ular:
 Demam.
 Mual dan muntah.
 Pingsan
 Lemah
 Nadi cepat dan lemah.
 Kejang
 Gangguan pernafasan.
Penatalaksanaan Intoksikasi
Penatalaksanaan umum saat terjadi intoksikasi atau keracunan
1. Airway
Faktor yang paling banyak berpengaruh terhadap kematian akibat overdosis obat dan
keracunan adalah karena kehilangan refleksi perlindungan jalur nafas dengan obstruksi
jalur nafas yang disebabkan oleh lidah yang kaku. Optimasi posisi jalan nafas dan lakukan
intubasi endotrakeal jika perlu. Penggunaan segera naloxon atau flumazenil dapat
menyadarkan pasien yang keracunan opioid atau benzodiazepin berturut-turut sehingga
intubasi endotrakeal tidak perlu dilakukan (Olson, 2004).
2. Breathing
Untuk menguji pernafasan yang adekuat dilakukan dengan mengukur gas darah arteri.
Pada pasien yang memiliki kadar pCO2 darah naik (misalnya >60mm Hg)
mengindikasikan pernafasan perlu dibantu dengan ventilasi. Jangan menunggu sampai
pCO2 pasien diatas 60mmHg untuk memulai ventilasi (Olson, 2004).
3. Circulation
Sirkulasi yang cukup diuji dengan mengukur tekanan darah, denyut nadi dan ritme.
Lakukan Cardiopulmonary resuscitation (CPR) jika tidak terasa denyut nadi dan lakukan
Advanced Cardiac Life support (ACLS) jika terjadi aritmia dan shock. Berikan infus
cairan dengan ringert laktat, larutan dekstrosa 5% dalam air atau normal salin. Pada pasien
yang memiiki sakit yang serius (koma, hipotensi, kejang) pasang alat kateter di kandung
kemih dan urin diambil untuk uji toksisitas racun dan pengeluaran urin tiap jam (Olson,
2004).
4. Dekontaminasi
5
Dekontaminasi bertujuan untuk mengurangi absorbsi racun di dalam tubuh dan dilakukan
bergantung cara masuk bahan racun.
a. Dekontaminasi permukaan
 Kulit
Agen korosif dapat dengan cepat melukai kulit dan harus dihilangkan segera.
Untuk dekontaminasi racun di kulit harus berhati-hati sehingga petugas kesehatan
yang menangani tidak ikut terkontaminasi. Kenakan alat pelindung (sarung tangan,
pakaian, dan kacamata) dan mencuci daerah yang terkena dengan segera. Lepaskan
pakaian yang terkontaminasi dan daerah yang terkena dialirkan dengan air yang
banyak. Cuci dengan hati-hati di belakang telinga, di bawah kuku, dan lipatan kulit.
Gunakan sabun dan sampo untuk zat berminyak (Olson, 2004).
 Mata
Kornea sangat sensitif terhadap agen korosif dan hidrokarbon. Mata yang terkena
disiram dengan air keran yang banyak atau salin. Jika tersedia, berikan anestesi
lokal tetes mata untuk memfasilitasi irigasi. Jika racun adala asam atau basa,
periksa pH airmata korban setelah irigasi dan irigasi diteruskan jika pH tetap
normal. Setelah irigasi selesai, periksa konjungtiva dan permukaan kornea.
Lakukan pemeriksaan fluorescein mata untuk melihat adanya cedera kornea.
Pasien dengan konjungtiva serius atau cedera kornea harus dirujuk ke dokter
spesialis mata segera (Olson, 2004).
 Inhalasi
Jauhkan korban dari paparan gas beracun kemudian periksa dan berikan oksigen
bila tersedia. Lakukan ventilasi bila perlu. Amati edema saluran nafas bagian atas
yang ditandai oleh suara serak.
b. Dekontaminasi saluran cerna
 Muntah
Sirup ipekak dapat diberikan untuk merangsang muntah dan akan efektif jika racun
sudah tertelan kurang dari satu jam dan diberikan dengan cepat. Setelah sirup ipekak
diberikan muntah akan terjadi dalam waktu 20-30 menit. Pemberian sirup ipekak
secara oral sebanyak 30 ml untuk dewasa dan 15 ml untuk anak dibawah 5 tahun, 10
ml untuk anak dibawah 1 tahun dan tidak direkomendasikan untuk anak dibawah 6
bulan. Setelah 2-3 menit, berikan 2-3 gelas air. Jika muntah tidak terjadi setelah 20
menit dari waktu pemberian, pemberian sirup ipekak dapat diulang. Ipekak tidak
boleh diberikan jika penyebab keracunan adalah agen konvulsan (antidepresan

6
trisiklik, opioid, kokain, isoniazid), tertelan agen korosif (asam atau basa), dan
tertelan hidrokarbon alifatik (Olson, 2004).
 Bilas lambung
Bilas lambung dilakukan untuk menghilangkan obat atau racun dalam bentuk padat
dan larutan, untuk memberikan arang aktif pada pasien yang tidak bisa menelan dan
untuk melarutkan dan mengeliminasi agen korosif dari perut dan mengosongkan
perut untuk keperluan endoskopi. Bilas lambung dapat dilakukan bila pasien dalam
keadaan sadar atau apabila napas telah dilindungi oleh pipa endotrakeal (Olson,
2004)
 Katarsis
Katarsis dilakukan untuk mempercepat pengeluaran toksin dari dalam saluran cerna
namun hal ini masih kontroversi karena belum ada penelitian ilmiah yang
membuktikan hal tersebut. Agen katarsis (10% magnesium sitrat 3-4ml/kg atau
70% sorbitol 1-2 ml/kg) diberikan bersamaan dengan arang aktif atau dicampur
membentuk bubur. Ulangi satu sengah kali dosis tersebut jika setelah 6-8 jam
pemberian tidak ada arang aktif dalam tinja (Olson, 2004)
 Arang aktif
Arang aktif banyak digunakan sebagai penyerap racun. Hanya beberapa racun yang
sedikit diserap oleh arang aktif seperti alkali, sianida,vetanol, fluorida, litium dan
besi. Berikan arang aktif 60-100g (1g/kg) per oral atau melewati gastric tube. Jika
jumlah racun yang tertelan diketahui pasti, berikan paling tidak 10 kali dosis racun.
Tambahkan satu atau dosis arang aktif pada interval 1-2 jam untuk dekontaminasi
lambung yang adekuat (Olson, 2004).
5. Antidotum
Antidotum hanya tersedia untuk beberapa obat dan racun. Antidotum yang paling sering
digunakan adalah Asetilsistein untuk keracunan parasetamol dan naloxon untuk keracunan
opioid.
B. Intoksikasi Karbon Monoksida (CO)
Definisi
Karbon monoksida (CO) merupakan gas beracun yang berasal dari pembakaran
bensin, kayu, arang, propana, atau bahan bakar lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, gas ini
terkandung dalam asap mobil, motor, kompor gas, tungku, dan lentera. Karbon monoksida
juga banyak ditemukan di udara yang tercemar oleh polusi udara.
Intoksikasi atau keracunan karbon monoksida adalah kondisi saat karbon monoksida

7
yang beredar di dalam darah menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala tertentu. Keracunan
karbon monoksida bisa terjadi akibat menghirup gas karbon monoksida dalam jumlah banyak.

Gejala
Keracunan gas karbon momoksida gejala didahului dengan sakit kepala, mual,
muntah, rasa lelah, berkeringat banyak, pyrexia, pernafasan meningkat, confusion, gangguan
penglihatan, kebinganan, hipotensi, takikardi, kehilangan kesadaran dan sakit dada mendadak
juga dapat muncul pada orang yang menderita nyeri dada. Pada kulit biasanya didapatkan
wama kulit yang merah seperti buah cherry, bisa juga didapatkan lesi di kulit berupa eritema
dan bula. Kematian kemungkinan disebabkan karena sukar bernafas dan edema paru.
Kematian akibat keracunan karbon monoksida disebabkan oleh kurangnya oksigen pada
tingkat seluler (seluler hypoxia).

Penatalaksanaan
Memindahkan pasien dari paparan gas CO dan memberikan terapi oksigen dengan
masker nonrebreathing adalah hal yang penting. Intubasi diperlukan pada pasien dengan
penurunan kesadaran dan untuk proteksi jalan nafas.
Kecurigaan terhadap peningkatan kadar HbCO diperlukan pada semua pasien korban
kebakaran dan inhalasi asa. Pemeriksaan dini darah dapat memberikan korelasi yang lebih
akurat antara kadar HbCO dan status klinis pasien. Walaupun begitu jangan tunda pemberian
oksigen untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut. Jika mungkin perkirakan berapa
lama pasien mengalami paparan gas CO. Keracunan CO tidak hanya menjadi penyebab
tersering kematian pasien sebelum sampai di rumah sakit, tetapi juga menjadi penyebab utama
dari kecacatan.
Pemberian oksigen 100 % dilanjutkan sampai pasien tidak menunjukkan gejala dan
tanda keracunan dan kadar HbCO turun dibawah 10%. Pada pasien yang mengalami gangguan
jantung dan paru sebaiknya kadar HbCO dibawah 2%. Lamanya durasi pemberian oksigen
berdasarkan waktu-paruh HbCO dengan pemberian oksigen 100% yaitu 30 - 90 menit.
C. Terapi oksigen high flow nasal cannula (HFNC)

Terapi oksigen high flow nasal cannula (HFNC) merupakan dukungan alat terapi
ventilasi non invansif yang telah ditetapkan dalam beberapa tahun terakhir sebagai alternatif
terapi ventilasi non invansif. HFNC digunakan untuk membantu memberikan oksigen dengan
konsentrasi tinggi yang dapat diberikan pada seseorang dengan gangguan pernapasan seperti
hipoksemia, bronkiolitis, asma, dll untuk mengurangi beban pernapasan, meningkatkan
8
kondisi klinis dan kenyamanan. Prinsip terapi oksigen dengan HFNC didasarkan pada sebuah
alat yang mampu memberikan kebutuhan oksigen yang hangat dan lembab pada aliran yang
tinggi melalui nasal kanul. Kanul ini dapat memberikan aliran sampai 60 L/menit dengan suhu
31-37 oC dengan kelembaban absolut 44 mg H2 O/L; FiO2 bervariasi antara 21-100%.
Penggunaan HFNC yang dapat menghangatkan dan melembabkan aliran udara memberikan
keuntungan fisiologis. Aliran udara yang tinggi membersihkan karbondioksida pada ruang
mati anatomis. HFNC juga mengurangi WOB (work of breathing) sehingga menurunkan
frekuensi napas (Nishimura, 2016). HFNC lebih banyak digunakan di unit gawat darurat dan
Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

9
BAB III METODE PENCARIAN JURNAL

A. Menentukan Pertanyaan Klinis


“Adakah intervesi emergensi yang meningkatkan kenyamanan pasien dengan
intoksikasi?”

B. Menentukan PICO
P : Intoxication

I : Emergency intervention

C:-

O : Comfort

C. Keyword
Intoxication AND Emergency intervention AND Comfort
D. Database
PubMed
E. Hasil

Artikel teridentifikasi melaui


database (n = 9)
Limitasi : 5 tahun terakhir
(2016-2021)
Setelah artikel yang dipublikasi
sebelum tahun 2016
dihilangkan (n= 5)
( n = 22) Limitasi : Free Full Text
Setelah artikel diskrining
(n = 3)

Setelah artikel diskrining judul


(n = 2)

Setelah artikel diskrining


abstrak (n = 1)

10
F. Identitas Artikel Jurnal

Judul artikel
A New Promising Treatment Strategy for Carbon Monoxide
Poisoning: High Flow Nasal Cannula Oxygen Therapy

Onder Tomruk, Kıvanç Karaman, Bulent Erdur, Hamit


Penulis
Hakan Armagan, Nesrin Gökben Beceren, Alten Oskay,
Haci Ahmet Bircan

Jurnal Medical Science Monitor

Volume -

Halaman 605-609

Tahun 2019

DOI 10.12659/MSM.914800

11
BAB IV
PEMBAHASAN JURNAL

A. Latar Belakang
Karbon monoksida (CO) merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau yang
dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar dan bahan organik yang tidak efisien. Hampir
50.000 korban mengunjungi unit gawat darurat di Amerika Serikat per tahun karena
keracunan CO. Meskipun banyak dari kasus ini adalah paparan non-fatal dengan berbagai
tingkat toksisitas, diperkirakan 1000 hingga 2000 pasien per tahun meninggal karena
toksisitas CO yang parah. CO memiliki afinitas lebih besar untuk mengikat hemoglobin
daripada oksigen yaitu sekitar 230-270 kali lebih besar yang menyebabkan tingkat oksigen
dalam jaringan berkurang. Pengobatan dasar untuk keracunan CO adalah dengan
mengurangi tingkat CO dalam darah sehingga dilakukan pemberian 100% oksigen
normobaric (NBO) atau oksigen hiperbarik. Sebagian besar gejala keracunan CO dapat
membaik hanya dengan NBO. Di UGD, pasien dengan gejala ringan harus menerima NBO
sampai kadar carboxy-hemoglobin (COHb) turun menjadi kurang dari 10% dan gejalanya
mulai hilang, biasanya pengobatan berlangsung selama sekitar 6 jam.
Terapi oksigen high flow nasal cannula (HFNC) merupakan alat pemberian oksigen
alternatif untuk pasien dengan hipoksemia. HFNC dianggap memiliki sejumlah keunggulan
dibandingkan sistem pemberian oksigen konvensional yaitu menghasilkan efek fisiologis
yang lebih baik, meningkatkan oksigenasi dengan menciptakan tekanan saluran napas atas
yang positif, menurunkan energi metabolisme pernapasan dengan mengurangi CO 2,
pembersihan sekresi yang lebih baik dan menghasilkan tingkat kenyamanan yang lebih
tinggi. Penggunaan HFNC telah meningkat di semua unit perawatan kritis. Kriteria
penyakit yang dapat diberikan HFNC meliputi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
apnea tidur, edema paru kardiogenik, infeksi saluran pernapasan akut yang parah, dan
kondisi pernapasan lainnya.
Belum ditemukan penelitian sebelumnya yang menyelidiki tentang kegunaan
HFNC pada korban keracunan CO. Penelitian ini berhipotesis bahwa pengobatan oksigen
dengan HFNC dapat dengan cepat menurunkan kadar COHb pada pasien dengan keracunan
CO dan mungkin lebih unggul daripada system pemberian oksigen konvensional atau
masker wajah konvensional (CFM) pada korban dengan keracunan CO.
B. Bahan dan Metode
12
Penelitian ini dilakukan di UGD rumah sakit universitas Suleyman Demirel, Isparta,
Turki dengan penerimaan rata-rata 60.000 pasien per tahun. Secara retrospektif dilakukan
peninjauan catatan medis pasien yang datang ke UGD dengan keracunan CO. Semua pasien
dengan kecurigaan keracunan CO menerima terapi oksigen melalui HFNC (36°C dan 40 L
/min laju aliran). Sebagai perbandingan, pasien yang menerima oksigen dengan CFM
dengan kecurigaan keracunan CO disaring secara retrospektif dari November 2016 hingga
April 2015. Karakteristik demografis, pretreatment, dan kontrol (pengobatan oksigen jam
pertama) analisis gas darah arteri (ABG) (Siemens PAPIDPoint® 500 System, Erlangen,
Jerman) nilai pada grup CFM dan HFNC dicatat.
Pasien dikeluarkan dari penelitian jika:
1. Pasien dirujuk langsung untuk terapi oksigen hiperbarik
2. Pasien memiliki kadar COHb rendah meskipun memiliki riwayat paparan CO
3. Pasien telah menerima terapi oksigen sebelum masuk ke UGD
4. Pasien tidak memiliki analisis gas darah arteri (ABG) pada awal dan/atau pada jam
pertama terapi oksigen

Analisis statistik dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) untuk
Windows (versi 20.0; Chicago, IL, USA). Distribusi data kuantitatif diperiksa menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov. Data deskriptif dinyatakan sebagai mean ± standar deviasi.
Sedangkan untuk kelompok independen, perbandingan statistik dilakukan dengan StudentT-
uji dan uji Mann-Whitney U untuk variabel yang terdistribusi normal dan tidak normal,
masing-masing. Uji chi-square diterapkan untuk variabel kategoris. AP nilai <0,05 dianggap
signifikan secara statistik. Penelitian ini disetujui oleh Dewan Etik Penelitian Klinis
Universitas Suleyman Demirel Fakultas Kedokteran (19 Desember 2018/209).
C. Hasil
1. Berdasarkan bagan alur pendaftaran pasien, didapatkan pasien dengan keracunan CO
yang dirawat di UGD antara tanggal April 2015 dan April 2018. Terdapat 38 pasien
yang masuk ke UGD antara April 2015– Oktober 2016 dan 55 pasien yang masuk
antara November 2016–April 2018. 25 pasien dikeluarkan dari penelitian karena
termasuk dalam kriteria eksklusi yang telah ditentukan dan akhirnya didapatkan 68
pasien yang dievaluasi. NBO diberikan melalui HFNC kepada 38 pasien (55,9%)
dan melalui CFM kepada 30 pasien (44,1%).

13
2. Berdasarkan tabel di bawah ini, nilai COHb sebelum pengobatan pada kelompok
HFNC lebih tinggi dari pada kelompok CFM. Namun, nilai COHb kontrol (pada jam
pertama) lebih rendah pada kelompok HFNC dibandingkan pada kelompok CFM (P
= 0,041).

3. Peningkatan delta karboksihemoglobin (D kadar COHb) lebih menonjol pada


kelompok HFNC dibandingkan dengan kelompok CFM (P =0,001). D PaO2 juga
lebih tinggi pada kelompok HFNC dibandingkan dengan kelompok CFM.

D. Diskusi
Tingkat COHb sebelum pengobatan sebanding antar kelompok. Namun, tingkat
COHb yang lebih rendah pada jam pertama, dan penurunan kadar COHb yang lebih tinggi
14
secara signifikan terjadi pada kelompok HFNC sehingga menunjukkan bahwa pengobatan
NBO dengan HFNC lebih efektif daripada pengobatan NBO dengan CFM pada korban
keracunan CO. Pengobatan NBO dengan HFNC dapat mempersingkat lama rawat inap di
rumah sakit, terutama pada pasien yang memiliki gejala klinis ringan dan tidak memerlukan
terapi oksigen hiperbarik untuk keracunan CO.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa HFNC merupakan alternatif untuk CFM yang
berpotensi menurunkan kadar COHb dengan cepat. Namun, tetap memerlukan pengujian
terkontrol dengan skala besar dan prospektif yang lebih lanjut. Terapi NBO dengan HFNC
dapat dipertimbangkan sebagai metode alternatif, bahkan untuk terapi oksigen hiperbarik
pada pasien dengan keracunan CO. Meskipun studi klinis lebih lanjut diperlukan, namun
terapi HFNC dapat menghilangkan kebutuhan terapi oksigen hiperbarik pada kelompok
pasien tertentu.
COHb sendiri dipengaruhi oleh FiO2 dan turun lebih cepat saat FiO2 meningkat.
Suplementasi dengan oksigen hingga 100% melalui masker CFM yang pas pada tekanan
atmosfer normal menurunkan waktu paruh COHb dari 320 menit menjadi 60 menit.
Namun, sistem ini dapat memberikan laju aliran oksigen maksimum yaitu 15 L/menit.
Selain itu kelemahan CFM dibandingkan HFNC meliputi memiliki pemanasan dan
pelembapan yang tidak memadai dari gas yang diinspirasi, dan masker yang menonjol.
Sedangkan, HFNC memiliki kemampuan untuk memberikan laju aliran dan fraksi oksigen
yang lebih tinggi. HFNC telah digunakan sebagai alternatif untuk sistem pemberian
oksigen standar selama lebih dari 20 tahun dan dapat memberikan laju aliran hingga 60
L/menit pada orang dewasa. Perangkat HFNC lebih baik daripada CFM dan
memungkinkan penyesuaian FiO2 terlepas dari laju aliran. HFNC telah digunakan secara
efektif untuk mengatasi hipoxemia dibandingkan dengan CFM pada kelompok pasien kecil
dengan gagal pernapasan akut dalam pengaturan unit perawatan intensif dan UGD. Selain
itu, juga dilaporkan bahwa 76% pemberi perawatan kesehatan lebih memilih HFNC
daripada terapi oksigen lainnya.
Dalam penelitian ini, nilai PaO2 meningkat secara signifikan dengan kedua metode
pemberian oksigen yang digunakan dalam penelitian retrospektif, tetapi peningkatan kadar
PaO2 lebih menonjol pada kelompok HFNC. Oleh karena itu, perlu untuk meningkatkan
ketersediaan perangkat HFNC di UGD sehingga dapat memberikan manajemen pasien
dalam periode pengobatan yang lebih pendek.
Kekurangan dalam penelitian ini meliputi:

15
1. Penelitian ini merupakan studi retrospektif yang melibatkan sejumlah kecil pasien.
Selain itu, tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa HFNC dapat digunakan
dengan aman sebagai pengganti terapi oksigen hiperbarik.
2. Penelitian ini tidak memiliki data tentang penilaian gejala klinis sebelum dan
sesudah pengobatan NBO dengan berbagai jenis pemberian oksigen. Oleh karena
itu, untuk selanjutnya perlu dilakukan studi yang terorganisir dengan baik untuk
mengevaluasi efek HFNC pada hasil akut dan kronis dari keracunan CO.
E. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa HFNC untuk pengobatan NBO lebih efektif
daripada CFM dalam mengurangi kadar COHb pada pasien dengan keracunan CO.
Penggunaan HFNC akan meningkatkan kenyamanan pasien dengan mempersingkat lama
perawatan di ruang UGD, terutama pada pasien yang memiliki temuan klinis ringan
keracunan CO.
F. Penerapan HFNC di Indonesia
HFNC dapat diterapkan di Indonesia. Pngembangan terbaru HFNC di Indonesia
telah dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yaitu mengembangkan
HFNC untuk pasien COVID-19 tahap awal, yang mana pasien yang masih dalam kondisi
dapat bernafas sendiri sehingga mencegah pasien mengalami gagal nafas serta tidak harus
diinkubasi menggunakan ventilator invasif. LIPI juga menegaskan bahwa alat ini juga dapat
digunakan untuk pasien diagnosa paru obstruktif kronik, Restrictive Thoracic Disease
(RTD), Obesity Hypoventilation Syndrome 5, deformitas dinding dada, penyakit
neuromuskular dan Decompensated Obstructive Sleep Apnea. Selain itu HFNC juga telah
diterapkan dibeberapa rumah sakit di Indonesia, namun belum semua rumah sakit di
Indonesia menerapkan HFNC sehingga pengembangan dan perbanyakan alat ini perlu
dilakukan agar rumah sakit di seluruh Indonesia dapat terfasilitasi oleh alat HFNC ini.

16
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Intoksikasi merupakan suatu kondisi dimana tubuh menerima zat sehingga
mengakibatkan ketidaknormalan mekanisme dan kasus terburuk yaitu terjadi kematian.
Penyebab intoksikasi dapat berasal dari zat padat, zat cair, dan zat gas. Salah satu zat gas yang
dapat menyebabkan intoksikasi adalah karbon monoksida (CO). Gas CO disebut beracun bagi
tubuh sebab mampu berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksi hemoglobin lebih
cepat 200x dibandingkan ikatan hemoglobin dengan oksigen. Hal ini berbahaya karena
pasokan oksigen untuk sel dan jaringan berkurang sehingga tubuh tidak bisa melakukan
fungsinya secara optimal. Dampak secara langsung yang serius adalah terganggunya kerja sel-
sel otot jantung dan gangguan sistem saraf. Penatalaksanaan darurat intoksikasi CO dapat
dilakukan dengan pertolongan airway, breathing, circulation, dan melakukan dekontaminasi
inhalasi. Pada prinsipnya, pengobatan intoksikasi CO dilakukan dengan mengurangi CO
dalam darah sehingga dapat diberikan terapi oksigen. Terapi oksigen dapat dilakukan dengan
pemberian 100% NBO atau pemberian CFM. Pemberian terapi oksigen HFNC yang diteliti
pada jurnal ini dinilai lebih efektif dibandingkan pemberian CFM dan NBO. Hal ini ditunjukan
dengan adanya peningkatan rasa nyaman pasien dan penurunan durasi perawatan di IGD. Di
Indonesia, terapi HFNC telah dilakukan pengembangan oleh LIPI dan diterapkan di beberapa
rumah sakit. Akan tetapi, belum semua rumah sakit menerapkan terapi HNFC sehingga masih
memerlukan pengembangan dan perbanyakan alat.

B. Saran
Perawat diharapkan mampu memahami dan mendalami mengenai terapi oksigen high flow
nasal cannula (HFNC) untuk meningkatkan kenyamanan pasien dengan mempersingkat
lama perawatan di ruang UGD.

17
DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Preventions. (2021, Maret 17). Carbon Monoxide Poisoning
(CO). Diakses dari https://www.cdc.gov/dotw/carbonmonoxide/index.html pada 7
September 2021
Katarina, I. (2020). Penggunaan High-Flow Nasal Cannula (HFNC) pada penderita COVID-
19. Wellness And Healthy Magazine. 3 (1), 21 –27
Nishimura, M. (2016). High-Flow Nasal Cannula Oxygen Therapy in Adults: Physiological
Benefits, Indication, Clinical Benefits, and Adverse Effects. Respiratory Care Vol 61
No 4 , 529-541.
Pandhika, Radian. (2015). Rhabdomyolisis dan Gagal Ginjal Akut pada Intoksikasi Karbon
Monoksida. Jurnal Kesehatan dan Agromedicine Unila, 2(3); 351-356. Diakses
Pramaswari M. Evaluasi penyebab keracunan serta analisis biaya. [tesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada;. 2104
Sentra Informasi Keracunan Nasional. (2021). Diakses dari http://ik.pom.go.id/v2016/ pada 7
September 2021
Soekamto T. H. (2018). Intoksikasi Karbon Monoksida .Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya

18

Anda mungkin juga menyukai