Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PBL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Makassar, 18 Juli 2013

MODUL 1
PILEK MENAHUN






Pembimbing:
dr. NURFACHANTY FATTAH
OLEH :
KELOMPOK VII B
Nama:
Suyudi K.P La Udo 110 211 0151
Rendra Suryawan 110 212 0019
Muhamad Shubhy 110 212 0020
Andi Mujtahida Barateng 110 212 0021
Muhammad Nur Islam 110 212 0032
Venasari 110 212 0033
Andi Sri Nurul Hikmah A 110 212 0034
Ade Akmal Hidayat 110 212 0081
Ahmad Azhar 110 212 0104
Ishmah Khairina 110 212 0105
Arini Pratiwi Hadipaty 110 212 0114
Nurkhaerani Ali Anshar 110 212 0120
Andi Purnamasari Amien 110 212 0144

Bagian Imunologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
2013

Skenario
Seorang laki-laki umur 34 tahun, guru SD di Mamuju datang di
poliklinik THT RS Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan utama sering
bersin disertai ingus encer dan hidung tersumbat terutama pada pagi
hari. Ada riwayat penyakit asma pada saat usia balita. Gejala ini sudah
dirasakan hampir tiap hari, mengganggu aktivitas mengajar dan
perlangsungannya sudah 5 tahun terakhir ini.

Kata kunci
1. Laki-laki umur 34 tahun
2. Keluhan utama sering bersin dan ingus encer
3. Hidung tersumbat terutama pada pagi hari
4. Ada riwayat asma saat balita
5. Gejala dirasakan hampir tiap hari
6. Mengganggu aktivitas
7. Sudah berlangsung 5 tahun terakhir










Pertanyaan :
1. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi dari organ yang
bersangkutan!
2. jelaskan patomekanisme penyakit yang diderita pasien!
3. jelaskan imunopatogenesis yang diderita pasien!
4. Apakah ada hubungan riwayat asma dengan gejala penyakit yang
diderita sekarang?
5. Mengapa keluhan pasien tersebut meningkat di pagi hari?
6. Apasaja DD (Diferensial Diagnosis) yang berhubungan dengan
gejala-gejala pada skenario diatas?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus skenario diatas?


















1. A. ANATOMI

HIDUNG :

Hidung terdiri dari:
-Hidung bagian luar
-Rongga hidung
Hidung bagian luar
- Berbentuk pyramid
- Dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan.
Rongga hidung (cavum nasi)
-Berbentuk terowongan dari depan kebelakang
-Dipisahkan oleh septum di bagian tengah menjadi cavum
nasi kanan dan kiri -Cavum nasi mempunyai 4 buah dinding,
yaitu:
o Dinding medial
o Dinding lateral
o Dinding inferior
o Dinding superior

Dinding medial hidung yaitu septum nasi, septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, pada dinding lateral terdapat konka yaitu;
a. Konka superior Kecil, dibagian atas
b. Konka media Lebih kecil, letaknya ditengah
c. Konka inferior Terbesar dan paling bawah letaknya

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Ada 3 meatus, yaitu:
Meatus inferior terletak diantara konka superior dengan dasar
hidung dengan rongga hidung.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral
rongga hidung.
Meatus superior merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media. Dinding superior merupakan merupakan dasar rongga
hidung dengan superior atau atap hidung sangat sempit.

FARING


Dinding faring dibentuk oleh:
o Selaput lendir.

o Fasia faringo basiler.
o Pembungkus otot.
o Sebagian fasia bukofaringeal.
Unsur faring meliputi:
o Muksa.
o Palut lender.
o Otot.
Faring terdiri atas:
o Nasofaring.
o Orofaring.
o Laringofaring (hipofaring).
1. Nasofaring
-Batas-batas:
- Superior: dasar tengkorak.
- Inferior: palatum mole.
- Anterior: rongga hidung.
- Posterior: vertebra servikal
-Struktur nasofaring:
- Adenoid.
- Jaringan limfa pada dinding nasofaring.

2. Orofaring (mesofaring)
-Batas-batas:
- Superior: palatum mole.
- Interior: tepi atas epiglotis.
- Anterior: rongga mulut.
- Posterior: vertebra servikal.
-Struktur penting di orofaring.
- Dinding posterior faring.
- Tonsila palatina.
- Fossa tonsil.
- Arkus anterior dan posterior.
- Uvula.
- Tonsil lingual (lidah).
- Foramen sekum.
3. Laringofaring (hipofaring).
-Batas-batas:
- Superior:Tepi atas epiglottis.
- Anterior: Laring.
- Inferior: Esophagus.
- Posterior: Vertebra servikal.
-Struktur penting:
- Valekuta atau kantong pil (pil pocket).
- Epiglotis.


LARING

Laring tersusun atas 9 Cartilago (6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar).
Terbesar adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal, bagian
depannya mengalami penonjolan membentuk adams apple, dan di dalam
cartilago ini ada pita suara.
Sedikit di bawah cartilago thyroid terdapat cartilago cricoid. Laring
menghubungkan Laringopharynx dengan trachea, terletak pada garis tengah
anterior dari leher pada vertebrata cervical 4 sampai 6.



TRAKEA
Trakea merupakan suatu saluran rigid yang memeiliki panjang 11-12 cm
dengan diametel sekitar 2,5 cm.
Terdapat pada bagian oesephagus yang terentang mulai dari cartilago
cricoid masuk ke dalam rongga thorax.
Tersusun dari 16 20 cincin tulang rawan berbentuk huruf C yang
terbuka pada bagian belakangnya.

Didalamnya mengandung pseudostratified ciliated columnar epithelium
yang memiliki sel goblet yang mensekresikan mukus. Terdapat juga cilia yang
memicu terjadinya refleks batuk/bersin.
Trakea mengalami percabangan pada carina membentuk bronchus kiri
dan kanan.


BRONKUS
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, disebut bronkus
lobaris kanan (3 lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus). Bronkus
lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris
kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus segmentalis ini
kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh
jaringan ikat yang memiliki : arteri, limfatik dan saraf .
1. Bronkus Primer(Utama) kanan berukuran lebih pendek, lebih tebal,
dan lebih lurus dibandingkan bronkus primer kiri karena arkus aorta

membelokkan trakea bawah ke kanan. Objek asing yang masuk ke
dalam trakea kemungkina di tempatkan dalam bronkus kanan.
2. Setiap bronkus primer bercabang senbilan ampai dua belas kali untuk
membentuk bronki sekunder dan tertier dengan diameter yang
semakin kecil. Saat tuba semakin menyempit, batang atau lempeng
kartilago mengganti cincin kartilago.
BRONKIOLUS
Bronkiolus merupakan percabangan dari bronkus disebut bronkiolus
segmentalis. Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus
Bronkiolus mengadung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir
yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan
napas.
Dinding bronkiolus mengandung otot polos & dipersarafi oleh sistem saraf
otonom, peka terhadap hormon tertentu dan zat kimia tertentu
Reaksi alergi histamin bronchocontriction.
Sympatik action bronchodilatation
Bronkus terbagi menjadi 3 yaitu :
Bronkiolus Terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis
(yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia)
Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori
Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara
jalan napas konduksi dan jalan udara pertukaran gas
Duktus alveolar dan Sakus alveolar
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar
dan sakus alveolar, dan kemudian menjadi alveoli


ALVEOLI
Kantung udara tipis, dapat mengembang dan berbentuk buah anggur yg
terdapat diujung percabangan bronkiolus respiratorius.
Terdiri atas 3 tipe :
Sel-sel alveolar tipe I : adalah sel epitel yang membentuk dinding
alveoli
Sel-sel alveolar tipe II : adalah sel yang aktif secara metabolik dan
mensekresi surfaktan (suatu fosfolipid yang melapisi permukaan
dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps).
Sel-sel alveolar tipe III : adalah makrofag yang merupakan sel-sel
fagotosis dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan.

Referensi: Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Hal :266-270

B. HISTOLOGI
HIDUNG
1). EP. RESPIRATORIK :
- Silia
-Sel Goblet
2). EP. OLFAKTORIUS
-Inti sel penyokong
-Sel basal
-Lamina propria : pemb. Darah, saraf olfaktorius dan kel. Olfaktorius
(Bowman)
LARING
1) Plica vocalis
* Mukosa : Ep.berlapis gepeng tidak bertanduk
* Lamina propria : padat yang tipis tanpa kelenjar
2) Laring
* Mukosa : Ep. Bertingkat semi silindris bersilia
* Lamina propria : kelenjar campuran seromukosa
TRAKEA
1)Dinding :
* mukosa
* submukosa : kelenjar trakealis seromukosa
* tulang rawan hialin : Jar. Ikat padat perikondrium
* adventisia : pembuluh darah , saraf, jar. Adiposa
2) Lumen : Ep. Bertingkat semu silindris bersilia dan sel goblet
3)Lamina propria : Serat jar.ikat halus

BRONKUS
* Bronkus ekstrapulmonal
* Bronkus intrapulmonal :
- Mukosa : Ep. Bronkus bertingkat semu silindris bersilia
- Lamina propria : jar.ikat halus dgn serat elastis ( tidak tampak ),limfosit.

BRONKIOLUS
1) Bronkiolus terminalis
*Mukosa : Ep. Selapis silindris
*Lamina propria : lapisan otot polos
*Adventisia
2) Bronkiolus respiratorius : zona transisi sistem konduksi respiratorik
pernapasan
Mukosa : Ep. Selapis kuboid
Bronkiolus respiratorius ductus alveolaris alveoli
Referensi : Atlas Histologi Difiore Ed.11 Hal :345


Fisiologi dari organ yang bersangkutan, yaitu :
a. Hidung berfungsi sebagai jalan udara pernafasan. Udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah ke arah nasofaring, dan seterusnya. Pada ekspirasi
terjadi hal sebaliknya.
b. Mukus pada hidung berfungsi untuk mengatur kondisi udara sekaligus
sebagai penyaring dan pelindung udara inspirasi dari debu dan bakteri
bersama rambut hidung dan silia.
c. Fungsi utama hidung adalah sebagai organ penghidu, dilakukan oleh
saraf olfaktorius.
d. Fungsi sinus paranasal antara lain sebagai pengatur kondisi udara,
sebagai penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu
resonansi suara, sebagai peredam perubahan tekanan udara,
membantu produksi mukus dan sebagainya.
Referensi : Fisiologi Manusia Guyton Ed. 11

2. Pada kontak pertama dengan Alergen atau tahap sensitisasi, makrofak
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap
allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk komplek peptidal MHC kelas II (Major
Histo compability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti inter
leukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi
Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4,
IL 5, dan IL 13 dapat diikat oleh reseptor di permukaan sel limfosit B,
sehingga Limfosit B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel Mastosit atau Basofil, sehingga kedua sel ini aktif. Bila mukosa yang
telah tersensitivitasi terpapar dengan allergen yang sama maka kedua
rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi atau
pecahnya dinding sel mastosit dan basofil dan terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk, terutama Histamin. Selain Histamin juga
dikeluarkan Prostaglandin D4, Leukotrien D4 , Leukotrien C4, Bradikinin,
Platelet Activiting Factor, dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF)
dll. Inilah yang disebut Reaksi Alergi Fase Cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain
adalah hidung tersumbat akibat fase dilatasi sinusoid.Pada Reaksi Alergi
Fase Cepat, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan alkumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respon ini tidak berhenti sampai sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala Hiperaktif atau Hiper responsive hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granule nya seperti ECP,
EDP, MBP, dan EPO.
Referensi: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THTKL Ed VI FKUI hal: 128
3. Asma dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas, ditandai
dengan adanya kalor, rubor, tumor, dolor, dan function laesa serta infiltrasi
sel-sel radang tanpa membedakan penyebab alergik dan nonalergik. Oleh

karna itu, paling tidak dikenal 2 jalur mencapai keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom.
Pada pasien asma perlu dipikirkan adanya rhinitis, sinusitis, polip
hidung, dan sebagainya, karena mempunyai hubungan yang erat. Sekitar
70-80% pasien asma mempunyai gejala rhinitis, sebaliknya sekitar 30%
pasien rhinitis mempunyai asma. Infeksi saluran napas atas yang
disebabkan virus sering memicu terjadinya serangan asma.
Rhinitis alergi adalah rhinitis dengan gejala bersin proksimal, pilek
encer, dan obstruksi nasi. Timbul pada orang berbakat atopi, jika terpapar
ulang dengan alergan spesifik yang pada orang normal tidak menimbulkan
reaksi. Saat kontak pertama kali, tubuh akan membentuk Ig E spesifik.
Penderita rhinitis alergika cenderung menjadi asma bronchial dengan
frekuensi diatas normal, peningkatan resiko ini tetap tidak jelas. Umumnya,
resiko asma kelihatannya meningkat seiring bertambah parahnya rhinitis,
dengan infeksi sinobronkial yang mencolok, dan bila sebelumnya sudah
menderita asma.
Pada jalur Ig E, masuknya alergan dalam tubuh akan diolah oleh APC
(antigen presenting cells = sel penyaji antigen), selanjudnya alergan akan
dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel Th inilah yang akan
memberi instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk Ig E, serta sel-sel radang seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator-mediator inflamesi seperti histamine akan mempengaruhi organ
sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus
dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran
napas.

Jadi, rhinitis alergan sama-sama disebabkan oleh hipereaktif dari tipe 1
yaitu Ig E, atau bisa juga disebabkan oleh aktifitas berulang dari Ig E,
karena sebelumnya pernah terpapar waktu balita sehingga, jika terpapar
kembali dengan alergan yang sama maka Ig E akan kembali aktif yang
mengeluarkan histamine. Histamine inilah yang menyebabkan asma dan
rhinitis.

Referensi:
1. Heru sundaru, sukamto, Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid I edisi V,
halaman 405,413
2. Buku ajar ilmu penyakit telinga dan tenggorok dr.sri herawati JPB,
SpTHT dan dr.sri rukmini, Sp.THT halaman 36, penerbit buku
kedokteran EGC
3. Sylvia a.price Lorraine m.wilson,patofisiologi, konsep klinis proses-
proses klinik, edisi 6, penerbit buku kedokteran EGC, volume 1
halaman 169

4. Urutan khas dari proses yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe 1
adalah 1) Paparan terhadap antigen allergen; 2) aktivasi sel Th2 dan sel B
terhadap antigen; 3) Produksi IgE oleh sel B sebagai respon terhadap
respon antigen paparan pertama; 4) interaksi antara antigen paparan
kedua dengan IgE pada permukaan sel mengakibatkan; 5) Aktivasi sel
bersangkutan dan pelepasan berbagai mediator yang tersimpan dalam
granula sitoplasma sel tersebut. Manisfestasi klinik dan keadaan
pathologic reaksi hipersensitivias disebabkan aksi mediator-mediator
tersebut.




Rinitis Alergi adalah gejala-gejala yang cocok yang tampak atau memburuk
sebagai respons terhadap pajanan allergen khusus. Rinitas Alergi dapat
menggambarkan pengaruh jaringan pada zat-zat mediator yang berasal dari
sel mast yang di kenal. Pelepasan histamine, leukotriene, prostaglandin D,
dan sebagainya, dari mukosa dapat terlihat setelah kontak langsung hidung
dengan allergen khusus. Penderita ini mengalami hidung tersumbat berat,
dan dapat melaporkan mengeluarkan sekresi hidung yang berlebihan
(rinore), bersin yang terjadi berulang dan cepat, serta terjadinya obstruksi
nasi.
5. Hal yang menyebabkan gejala semakin berat di pagi hari adalah tingginya
kelembapan udara di pagi hari, sehingga saat udara dingin maka akan
semakin banyak histamine yang dihasilkan. Seperti yang kita ketahui
histamin adalah adalah mediator yang dihasilkan dari proses granulasi pada
sel mast, setelah IgE bertemu dengan antigen. Histamine akan merangsang

saraf vidianus sehingga menimbulkan gatal dan bersin, merangsang
hyipersekresi mucus dan vasodilatasi pembuluh darah.
Selain cuaca yang dingin adapun factor lain yang memperberat gejala
pilek dan bersin adalah asap rokok, bau yang merangsang, dan perubahan
cuaca.
Referensi: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THTKL Ed VI FKUI hal:129

6. Berdasarkan gejala-gejala yang menjadi keluhan penderita, terdapat
empat jenis penyakit yang dapat menjadi Diagnosis Diferensiasi, yaitu :
1) Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan
allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulang dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986).
Etiologi dan patofisiologi : Rinitis alergi merupakan suatu penyakit
inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap
provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau taraf sentivisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan
mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan MHC kelas II (Mayor
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasekan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokinin seperti IL-1
yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferase menjadi Th 1 dan Th 2.
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokinin, seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
immunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastositatau basofl (sel

mediator), sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang telah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan akan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk histamine. Selain
histamine juga dikeluarkan Newly Format Mediators antara lain
prostaglandin D 2 (PGD2), leukotriene D 4 (LT D 4), leukotriene C 4
(LC4), bradikinin, platelet activating factor (PAF) dan berbagai sitokinin.
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF(granulosite macrophage colony stimulating
factor) dll). Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Sedangkan, pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinophil, limfosit, basofil, dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokinin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-
CSF dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinophil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti eosinophilic cationic protenin (ECP),
Eochiniphilic derivate protein (EDP) Mayor Basic Protein (MBP reply) dan
eosinophilic peroxidase atau EPO. Pada fase ini selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non specific dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
cuaca yang tinggi.
Gejala Klinis :
- Serangan bersin berulang-ulang
- Keluar cairan jernih pada hidung (rinore)
- Hidung tersumbat
- Mata gatal dan kadang disertai air mata (lakrimasi)
Penanganan :
- Pemberian antihistamin yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H-1 sel target
- Operatif, yaitu tindakan parsial (pemotongan sebagian konka inferior)
- Imunoterapi, pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan
gejala yang berat dan sudah berlangsung lama, serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Komplikasi :
- Polip hidung
- Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
- Rinosinusitis
Pencegahan :
- Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi
- Melakukan tes cukit (prick test) untuk mengetahui alergen penyebab
rhinitis.
Prognosis :
Penderita yang menderita rhinitis alergi akan tetap hipersensitif
terhadap alergen tertentu, hanya dengan cara menghindari kontak
dengan alergen agar tidak munculnya respon tubuh/ rhinitis alergi.

2.) Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis
tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topical hidung
dekongestan).
Etiologi dan patofisiologi : etiologi dan patofisiologi yang belum pasti
diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan
patofisiologis rhinitis vasomotor:
1. Neurogenic ( disfungsi system otonom). Dalam keadaan hidung
normal, persarafan simpatis lebih mendominasi. Sedangkan pada
rhinitis vasomotor diduga terjadi akibat ketidak seimbangan impuls
saraf otonom di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktifitas
system parasimpatis.
2. Neuropeptida. Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang di
akibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris
serabut C dihidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini
akan diikuti dengan peningkatan pelepasan neuro peptida seperti
substansi P dan kalsitonin gene-related protein. Yang menyebabkan
peningatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar. Keadaan ini

menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hipereaktifitas
hidung.
3. Ditrikoksida. Kadar Nitrioksida (NO) yang tinggi dan persisten dilapisan
epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis
epitel, sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke
lapisan sub epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktivitas yang
rekruitmen reflex vascular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma. Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi janglka
panjang dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik atau
neuropeptide.

Gejala Klinis :
- bersin (sneezer)
- keluarnya cairan jernih pada hidung (rinore)
- tidak disebabkan oleh alergen

Penanganan :
- Pemberian obat symptomatis, cuci hidung dengan larutan garam
fisiologis, kauterisasi, konka hipertrofi dengan larutan AgNO
3
25% atau
triklor-asetat pekat.
- Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter atau konkotomi,
parsial, konka inferior.
- Neureptomi N. Vidianus yaitu dengan melakukan pemotongan pada N.
Vidianus.

Komplikasi :
(-)
Pencegahan :
- Menghindari stimulus / faktor pencetus



Prognosis :
- Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan
rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.

3) POLIP HIDUNG ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan
didalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun
perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada
anak usia dibawah 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel
atau meningoensefalokel.
Etiologi dan patofisiologis :
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein,
terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara
yang berturbulensi, terutama didaerah sempit di kompleks ostiomeatal.
Terjadi prolapse sub mukosa yang diikuti oleh reepiteliasi dan
pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium
oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk
polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapilerdan gangguan regulasivaskular yang
mengakibatkan dilepaskannya sitokinin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun kerongga hidung dengan membentuk tangkai.
Gejala klinis
1. Hidung rasa tersumbat
2. Rinore mulai dari yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia
3. Kemungkinan disertai bersin-bersin
4. Rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal

Penanganan
1. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi (polipektomi
medikamentosa)
2. Dapat diberikan juga topical atau sistemik
3. Pada kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa
sangat dipertimbangkan untuk terapi bedah

Komplikasi
Apabila penderita juga menderita rhinitis alergi, maka peluang munculnya
kembali polip pasca operasi bisa saja terjadi

Pencegahan
1. Hampir sama dengan pencegahan rhinitis alergi yaitu dengan
menghindari iritasi yang menyebabkan alergi
2. Biasakan berpola hidup bersih
3. Usahakan melembabkan udara dirumah dengan pelembab udara

Prognosis
Apabila penderita juga menderita rhinitis alergi, maka peluang munculnya
kembali polip pasca operasi bisa saja terjadi
Referensi: Buku Ajar THTKL Ed VII hal : 101-129

4). Rhinosinusitis: Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering di
temukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai
salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis di defenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertati atau di picu oleh rhinitis sehingga sering disebut
rhinosinusitis. Penyebeb utamanya ialah selesma(common cold) yang

merupakan infeksi virus,yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri.
Etiologi dan patofisiologi: beberapa faktor etiologi dan predisposisi
antara lain ISPA akibat virus, bermacam Rhinitis terutama rhinitis alergi,
Rhinitis Hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-
meatal(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan immunology, diskinesia
silia seperti pada sindroma kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitis nya. Hipertrofi adenoid
dapat di diagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus juga mengandung
substansi anti mikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman masuk bersama udara pernpasan.
Organ-organ yang membentik KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula sereus. Kondisi ini dianggap sebagai rhinosinusitis
non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpuldalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret
menjadi purulen. Keadaan inidisebut sebagai rhinosinusitisakut bakteria
dan memerlukan terapi antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil(misalnya karena ada faktor pfedisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu

hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi.

Gejala klinis:
Hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka
Rhinorrhea purulen yang seringkali turun ke tenggorokan(post nasal
drip).
Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu
Penanganan:
Pemberian antibiotik dan dekongestan.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman
negatif gram dan anaerob.
Tindakan operasi yaitu bedah sinus endoskopi fungsional
Komplikasi:
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita)
Kelainan intra cranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural.
Osteomielitis dan abses superiostal
Kelainan paru
Pencegahan:
Menghindari lingkungan yang berpolusi buruk.
Menhindari asap rokok atau kebiasaan merokok.

Prognosis:
Viral sinusitis : biasanya sembuh tanpa pengobatan khusus
Bakteri sinusitis : sampai dengan 10% dari pasien tidak menanggapi
terapi antimikroba awal.


7. Penatalaksaannya:
a. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
b. Medikamentosa. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin
H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologi yang paling sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Atihistamin dibagi menjadi dua golongan yaitu antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative).antihistamin generasi
-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat
diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedativ). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan
cepat dan mmudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon
fase ceoat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk
mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Preparat kostikosteroid bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak behasil diatasi dengan obat lain. Sering
dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, furoad, dan triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosid
pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein, sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegak bocornya plasma. Hal
ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap
rangsangan allergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (
mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator
dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses

inflamasi dengan menghambat aktifasi sel neutrofil, eosinofil dan
monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
c. Operatif. Tindakan konkotomi parsial (pemotngan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple autfractured inferior tuginoplasty
perlu dipikirkan bila konka inferior hipertofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauteresasi memakai AgNO3 25% atau treklor
asetat.
d. Imunoterapi, cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan
gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tadak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody
dan penurunan IgE. Ada dua metode imunoterapi yang umum
dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.
Referensi : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL Ed VI FKUI hal: 131-132

Anda mungkin juga menyukai