Anda di halaman 1dari 60

1.

Ita, perempuan, umur 10 bulan, dibawa ibunya ke Instalasi Gawat Darurat


RSMP karena sesak nafas yang semakin hebat sejak 1 hari yang lalu. Dua
hari sebelumnya, Ita sudah mengalami sesak napas. Sejak mengalami sesak
nafas, Ita juga mengalami sulit makan dan minum.

a. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi sistem respirasi terkait pada


kasus?

Jawab:

Anatomi Sistem Respirasi

Anatomi dari sistem respirasi terbagi menjadi saluran napas atas


(upper respiratory tract) dan saluran napas bawah (lower respiratory tract).
Saluran napas atas dimulai dari hidung, pharynx, dan larynx. Sedangkan
saluran napas bawah dilanjutkan dari trakea, bronkus primer, bronkus
sekunder, bronkus tersier, bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratory,
ductus alveolaris, saccus alveolaris, dan alveolus.

1
a. Hidung ; Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung.
Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai
vestibulum (rongga) hidung.
b. Farinx
Merupakan pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan
krikoid. Maka ‘letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal).
c. Laringx
Terletak di depan bagian terendah farinx yang mernisahkan dari columna
vertebrata, berjalan dari farinx sampai ketinggian vertebrata servikals dan
masuk ke dalarn trachea di bawahnya. Larynx terdiri atas kepingan tulang
rawan yang diikat bersama oleh ligarnen dan membran.
d. Trachea
Trakea memiliki panjang kira-kira 9 cm. Trachea berjalan dari larynx
sarnpai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini
bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi)
e. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-
kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Cabang utama bronchus
kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian
menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi
bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai menjadi bronkhiolus
terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli
(kantong udara) dan akhirnya sampai menjadi bronkiolus respiratorius.
f. Alveolus
Merupakan tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli
pada dindingnya.
g. Paru-paru

2
Terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh
pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura
terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi
atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru
kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior (Snell, Richard S,
2006).

Gambar: Trachea, bronchi, bronchioli, ductus alveolaris, saccus


alveolaris, dan alveoli

Sumber: Snell, Richard S, 2006

Gambar: Mikroskopik lobulus sekunder dari kedalaman paru dan lobulus


primer

3
Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah
rongg dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk
paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru
dibungkus oeh selaput selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi
dua :

Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang


langsung membungkus paru-paru.
Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam dinding
dada.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum
pleura. Pada keadaan normal kavum pleura ini vakum/hampa udara
sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudat).
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
sel-sel epitel dan dan endotel. O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. Paru-paru dibagi menjadi dua, yakni :Paru-paru
kanan, terdiri dari 3 lobus: lobus pulmo dekstra superior, lobus medial,
lobus inferior. Paru-paru kiri, terdiri dari 2 lobus: pulmo sinister lobus
superior, pulmo sinister lobus inferior.
Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan yang lebih kecil
(segmentalis). Paru-paru kiri mempunyai 10 segment yaitu : 5 buah segment
pada lobus superior dan 5 buah segment pada inferior. Paru-paru kanan
mempunyai 10 segmet yakni : 5 buah segment pada lobus inferior, 2 buah
segment pada lobus medialis, 3 buah segment pada lobus inferior.
Tiap-tiap segment ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang
bernama lobulus. Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi
oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah geteh bening dan
saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam
lobulus, bronkiolus ini bercabang - cabang banyak sekali, cabang-cabang ini

4
disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus
yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.
Persarafan Paru:
Serabut aferrent dan eferrent visceralis berasal dari truncus sympaticus
dan serabut parasympatiscus berasal dari nervus vagus.
 Serabut symphatis
Truncusympaticus kanan dan kiri memberikan cabang – caang pada
paru membentuk plexus pulmonalis yang terletak didepan dan
dibelakang broncus prim. Fungsi saraf sympatis untuk merelaxasi
tunica muscularis dan menghambat sekresi bron cus.
 Serabut para sympatikus
Nervus vagus kanan dan kiri juga memberikan cabang – cabang pada
plexus pulmonalis kedepan dan kebelakang. Fungsi saraf
parasympaticus untuk konstraksi tunica muscularis akibatnya lumen
menyempit dan merangsang sekresi boncus.
(Snell, 2006)
Mikroskopi
Broncus
 Broncus extrapulmonal sangat mirip dengan trakea
 Tidak terdapat tulang rawberbentuk huruf “C”
 Epitel bertingkat torak dengan silia dan sel goblet
 Terdapat kelenjar campur
 Pada lamina propia terdapat berkas – berkas otot polos.
 Mucosa tidak rata, terdapat lipatan longitudinal karena kontraksi otot
polos.
Bronchiolus
 Tidak mempunyai tulang rawan dan pada lamina propia tidak
terdapat kelenjar
 Lamina propia terdapat otot polos dan serat elastin
 Pada bronkiolus besar masih terdapat sel goblet.

5
 Pada bronkiolus kecil, mucosa dilapisi sel – sel kuboid atau toraks
renda, terdapat sel tanpa silia, tidak terdapat sel goblet.
 Pada bronkiolus kecil terdapat sel clara yang menghasilkan
surfaktan.
Bronkiolus terminalis
 Mucosa dilapisi oleh selapis sel kuboid.
 Pada dinding tidak terdapat alveolus
 Pada lamina dapat dilihat serat – serat otot polos
Bronkiolus respiratory
 Epitel terdiri dari sel torak rendah atau kuboid
 Epitel terputus – putus, karena pada dinding terdapat alveolus.
 Tidak terdapat sel goblet
 Terdapat serat otot polos, kolagen, dan elastin.
Ductus Alveolaris
 Ductus alveolaris adalah saluran berdinding tipis, bebentuk kerucut.
 Epitel selapis gepeng
 Diluar epitel, dindingnya dibentuk oleh jaringan fiboelastis.
 Alveoli dipisahkan septum interalveolaris
Atria, Saccus alveolaris, dan Alveoli
 Ductus alveolaris bermuara keatria.
 Alveolus berupa kantung dilapisis epitel selapis epitel selapis gepeng
yang sanagt tipis.
 Pada septum interalveolare terdapat serat retikular dan serat elastin.

Histologi Sistem Respirasi


Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk
mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh
yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis. Fungsi ini disebut
sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari rongga hidung/mulut
hingga ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan
karbondioksida dengan pembuluh darah.

6
Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:

1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring,


trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris dan alveolus.

saluran pernapasan, secara umum dibagi menjadi pars konduksi dan pars
respirasi

Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel


bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan
mikroskop elektron dapat dilihat ada 5 macam sel epitel respirasi yaitu
sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal,
dan sel granul kecil.

7
Rongga hidung

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum
di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung).
Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum
memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua
oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media,
inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan
inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi
oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui.
Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler,
sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di
permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan
memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak),  sel
basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria.
Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel
olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat.
Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung
membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan
dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

8
epitel olfaktori, khas pada konka superior

Sinus paranasalis

Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus
sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung.
Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan
mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang
mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu
dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.

Faring

Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak


dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe
skuamosa/gepeng.

Laring

Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea.


Pada lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin
yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan

9
sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan
juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan
lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh
epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh
epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel
terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.

Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke


dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu
(plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa,
serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari
epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus
vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu
terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.

epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para
pars laringeal berupa epitel respiratori

Trakea

Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat


kelenjar serosa pada lamina propria dan tulang rawan hialin
berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung bebasnya berada di bagian
posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel
kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk

10
mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi
untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung
bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat
ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan
pengaturan lumen dan mencegah distensi berlebihan.

epitel trakea dipotong memanjang

epitel trakea, khas berupa adanya tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda
("c-shaped")

Bronkus

11
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea,
dengan lamina propria yang mengandung kelenjar serosa , serat
elastin, limfosit dan sel otot polos. Tulang rawan pada bronkus lebih
tidak teratur dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus yang lebih
besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan
dengan mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan
digantikan oleh pulau-pulau tulang rawan hialin.

Bronkiolus

Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada


mukosanya. Lamina propria mengandung otot polos dan serat elastin.
Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel goblet dalam epitel. Pada
bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat silindris
bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi
epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus
terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada epitel bronkiolus
terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang  memiliki granul sekretori dan
mensekresikan protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan
neuroepitel yang kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.

12
epitel bronkiolus terminalis, tidak ditemukan adanya tulang rawan dan
kelenjar campur pada lamina propria

Bronkiolus respiratorius

Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan


mukosa bronkiolus terminalis, kecuali dindingnya yang diselingi
dengan banyak alveolus. Bagian bronkiolus respiratorius dilapisi oleh
epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus,
epitel bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1. Semakin ke distal
alveolusnya semakin bertambah banyak dan silia semakin
jarang/tidak dijumpai. Terdapat otot polos dan jaringan ikat elastis
di bawah epitel bronkiolus respiratorius.

Duktus alveolaris

Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak


terdapat muara alveolus, hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang
disebut sebagai duktus alveolaris. Terdapat anyaman sel otot polos pada
lamina proprianya, yang semakin sedikit pada segmen distal duktus
alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen. Duktus
alveolaris bermuara ke atrium yang berhubungan dengan sakus
alveolaris. Adanya serat elastin dan retikulin yang mengelilingi muara
atrium, sakus alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus
mengembang sewaktu inspirasi, berkontraksi secara pasif pada waktu

13
ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya pengembangan secara
berlebihan dan pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan septa
alveolar yang tipis.

bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris dan


alveoli

Alveolus

Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen


dan karbondioksida antara udara dan darah. Septum interalveolar
memisahkan dua alveolus yang berdekatan, septum tersebut terdiri atas 2
lapis epitel gepeng tipis dengan kapiler, fibroblas, serat elastin, retikulin,
matriks dan sel jaringan ikat. Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi
97% permukaan alveolus, fungsinya untuk membentuk sawar dengan
ketebalan yang dapat dilalui gas dengan mudah. Sitoplasmanya
mengandung banyak vesikel pinositotik yang berperan dalam
penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2) dan
pembuangan partikel kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1
dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang mencegah
perembesan cairan dari jaringan ke ruang udara.

14
Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1, keduanya saling
melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2 tersebut berada di
atas membran basal, berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk
mengganti dirinya sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini memiliki ciri
mengandung badan lamela yang berfungsi menghasilkan surfaktan paru
yang menurunkan tegangan alveolus paru. Septum interalveolar
mengandung pori-pori yang menghubungkan alveoli yang bersebelahan,
fungsinya untuk menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan
memudahkan sirkulasi kolateral udara bila sebuah bronkiolus tersumbat.

Sawar darah udara dibentuk dari lapisan permukaan dan sitoplasma


sel alveolus, lamina basalis, dan sitoplasma sel endothel.

(Eroschenko. 2008)

Fisiologi Sistem Respirasi


Tractus respiratorius dapat dibagi menjadi:
 Pars Conductoria
Meliputi saluran yang menghubungkan antara bagian luar tubuh dengan
paru-paru untuk menyalurkan udara. Saluran ini terdiri dari:

15
 Hidung
 Pharynx
 Larynx
 Trachea
 Bronchus
 Bronchiolus
 Pars Respiratoria
Merupakan bagian dari paru-paru yang berfungsiuntuk pertukaran
gas antara darah dan udara. Bagian ini terdiri dari:
 Saccus alveolaris
 Alveolus.
Respirasi dibagi 2 yaitu internal dan eksternal:
 Respirasi internal (respirasi sel) merupakan proses metabolik
intrasel yang dilakukan di dalam miokondria, yang menggunakan
O2 dan menghasilkan CO2 selagi mengambil energi dari molekul
nutrien.
 Respirasi eksternal merupakan rangkaian kejadian dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
 Ventilasi atau pertukaran gas antara atmosfer dan kantung udara
(alveolus) di paru.
 Pertukaran O2 dan CO2 antara udara di alveolus dan darah di
dalam kapiler paru melalui proses difusi
 Pertukaran O2 dan CO2 antara darah di kapiler sistemik dan
jaringan.
 Transpor O2 dan CO2 oleh darah antara paru dan jaringan.
Namun pada system respirasi tidak melaksanakan semua tahap
atau langkah respirasi, system respirasi hanya merperan dalam ventilasi
dan pertukaran O2 dan CO2 antara paru dan darah. (Sherwood, 2012)

16
Pernapasan diatur oleh pusat pernapasan yang terdiri dari tiga
kelompok neuron yang terletak bilateral di medula oblongata dan pons
pada batang otak, yaitu: (1) kelompok pernapasan dorsal, di bagian dorsal
medula, terutama menyebabkan inspirasi; (2) kelompok pernapasan
ventral, di ventrolateral medulla, terutama menyebabkan ekspirasi; dan (3)
pusat pneumotaksik, disebelah dorsal bagian superior pons, mengatur
kecepatan dan kedalaman napas. (Guyton, 2012).
Fisiologi sistem pertahanan paru:
 Non-imun
 Selaput mukosa mengeluarkan mikroba melalui elevator mukosilia
 Fagositosis oleh makrofag alveolus, dan dapat bermigrasi ke elevator
mukosilia setelah mengikat mikroba.
 Fagositosis oleh nitrofil
 Complemen serum masuk dan hasilkan opsonin C3b
 Respon imun untuk mikroba yang telah mencapai kelenjar getah
bening.

17
 Imun
 IgA akan menghambat perlekatan mikroba ke sel epitel
 IgM, IgG akan mengaktifkan complemen sebagai opsonin
 Akumulasi sel T imun pada daerah infeksi

Sumber :

Snell, Richard. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.


Jakarta : EGC
Eroschenko. 2008. Atlas Histologi Difiore ed. 11. Jakarta : EGC
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem.Jakarta
: EGC.
Guyton. Arthur.C., Hall. John E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta : EGC

b. Apa makna Ita, perempuan, umur 10 bulan, dibawa ibunya ke Instalasi


Gawat Darurat RSMP karena sesak nafas yang semakin hebat sejak 1
hari yang lalu. Dua hari sebelumnya, Ita sudah mengalami sesak napas.
Sejak mengalami sesak nafas, Ita juga mengalami sulit makan dan
minum ?

Jawab :

Makna sesak nafas semakin hebat sejak 1 hari yang lalu

Sesak nafas bertambah berat diakibatkan karena progresifitas


penyakit. Akumulasi cairan di paru semakin banyak sehingga kapasitas
dan fungsi paru semakin menurun.

Abdoerrachman, M. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan


Anak FKUI.

18
Makna dari Sejak mengalami sesak nafas, Ita juga mengalami sulit
makan dan minum ?

Ita mengalami Bronkopneumonia dengan tingkat sangat berat.


Bronkopneumonia sangat berat terjadi bila terdapat sianosis sentral dan
anak tidak sanggup minum pada anak usia 2 bulan sampai anak usia
kurang dari 5 tahun, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi
antibiotik (Samuel, 2014).

Sumber :

Samuel, A. 2014. Bronkopneumonia on Pediatric Patient Vol 1 Ed 8.


Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

c. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus ?

Jawab :

Pneumonia pada balita adalah penyakit infeksi yang menyerang


paru-paru yang ditandai dengan batuk disertai napas cepat dan atau napas
sesak pada anak usia balita (0-5 tahun). Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi pneumokokus. Bakteri pneumokokus sering menyerang bayi dan
anak-anak di bawah usia 2 tahun. Bayi dan balita memiliki mekanisme
pertahanan tubuh yang masih rendah dibanding orang dewasa, sehingga
balita masuk ke dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti
influenza dan pneumonia. Anak-anak berusia 0-24 bulan lebih rentan
terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak berusia di atas 2
tahun. Hal ini disebabkan Imunitas yang belum sempurna dan saluran
pernapasan yang relatif sempit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
dengan usia penderita pneumonia sebanyak (41,4%) berusia 12-23 bulan.
Responden kasus terbanyak balita laki-laki sebanyak 26 responden
(74,3,0%) dan yang terendah balita perempuan sebanyak 9 responden
(25,7%). Hal ini sesuai dengan teori dan anak laki-laki adalah faktor
risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia. Hal ini disebabkan

19
diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan
dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh
anak laki-laki dan perempuan. Hal ini dihubungkan dengan kejadian
bronkiolitis dan pneumonia akibat virus yang lebih banyak mengenai
anak laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori menurut Maryunani yang
mengemukakan bahwa faktor risiko yang meningkatkan insiden
pneumonia yaitu balita dengan jenis kelamin laki-laki (Suryati, Natasha
and Id’ys, 2018).

Sumber :

Samuel, A. 2014. Bronkopneumonia on Pediatric Patient Vol 1 Ed 8.


Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Suryati, S., Natasha, N. and Id’ys, N. (2018) ‘Hubungan Faktor


Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian
Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tahtul Yaman Kota
Jambi’, Jurnal Daur Lingkungan, 1(2), p. 46. doi:
10.33087/daurling.v1i2.10.

d. Apakah penyebab / etiologi sesak nafas pada kasus?

Jawab :

Dispnea sebagai akibat peningkatan upaya untuk bernapas (work


of breathing) dapat ditemui pada berbagai kondisi klinis penyakit.
Penyebabnya adalah meningkatnya tahanan jalan napas seperti pada
obstruksi jalan napas atas, asma, dan pada penyakit obstruksi kronik.
Berkurangnya keteregangan paru yang disebabkan oleh fibrosis paru,

20
kongesti, edema, dan pada penyakit parenkim paru yang dapat
menyebabkan dispnea (Dr. R. Darmanto Djojodibroto, 2014).
Penyebab dispnea secara umum:
 Sistem kardiovaskular: gagal jantung;
 Sistem pernapasan: PPOK, penyakit parenkim paru, hipertensi
pulmonal, kifoskoliosis berat, faktor mekanik diluar paru (asites,
obesitas, efusi pleura);
 Psikologis (kecemasan); dan
 Hematologi (anemia kronik)
Penyebab dispnea akut: gagal jantung kiri, bronkospasme, emboli paru,
dan kecemasan (Dr. R. Darmanto Djojodibroto, 2014).

Sesak nafas dapat dicetuskan oleh beberapa hal dan dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
1) Peningkatan kebutuhan pernapasan seperti saat latihan,
demam, keadaan hipoksia, anemia berat, asidosis metabolik.
2) Penurunan kapasitas ventilasi (pertukaran antara udara dari
atmosfer (lingkungan eksternal) dan kantung udara
(alveolus paru), seperti pada efusi pleura, pneumothoraks,
massa intrathoraks, trama tulang iga, atau kelemahan otot.
3) Peningkatan resistensi (tahanan) saluran nafas, seperti pada
asma atau pada PPOK
4) Penurunan compliance paru (usaha yang dibutuhkan untuk
meregangkan atau mengembangkan paru-paru/seberapa
banyak perubahan dalam volume paru yang terjadi akibat
perubahan tertentu gradien tekanan transmural, gaya
yangmeregangkan paru), seperti pada fibrosis interstisial
dan edema paru. (The Society Of Respiratory Care
Indonesia, 2012).

Tabel Etiologi Sesak Nafas Akut dan Kronik

21
Akut Kronik
Edema Paru Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)
Asma Gagal jantung kiri
Trauma dinding dada dan Fibrosis interstisial difus
struktur intrathoraks
Pneumothoraks spontan Asma
Emboli paru Efusi pleura
Pneumonia Penyakit tromboembolik paru
Adult Respiratory Penyakit vaskular paru
Distress Syndrome
(ARDS)
Efusi pleura Sesak nafas psikogenik
Perdarahan paru Anemia berat
Stenosis trakea post intubasi
Gangguan hipersensitivitas
(The Society Of Respiratory Care Indonesia. 2012)

Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai


bercak-bercak infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan
maupun kiri yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan sering
terjadi pada bayi atau orang tua (Merrie TJ, 2005).

Sumber :
Dr. R. Darmanto Djojodibroto, Sp. P, FCCP (2014). Respirologi
(Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Merrie TJ, Campbell GD, Walker DH. Pneumonia. En: Kesper DL et.al,
editor. 2005. Harrison’s principles of internal medicine, 16 ed. Mexico:
The McGraw-Hill Companies Interamerican Editor.pp. 1690-1700.

e. Bagaimana patofisiologi sesak dan sulit makan minum pada kasus?

Jawab :

22
f. Apa kemungkinan penyakit dengan keluhan pada kasus?

Jawab :

g. Bagaimana klasifikasi sesak?

Jawab :

Berdasarkan berat ringannya keluhan, sesak napas dapat dibagi


menjadi lima tingkatan, yaitu:
1. Sesak napas tingkat I
Tidak ada pembatasan atau hambatan dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Sesak napas akan terjadi bila penderita melakukan
aktivitas jasmani lebih berat dari pada biasanya. Pada tahap ini,
penderita dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dengan baik.
2. Sesak napas tingkat II
Sesak napas tidak terjadi bila melakukan aktivitas penting atau
aktivitas yang biasa dilakukan pada kehidupan sehari-hari. Sesak
baru timbul bila melakukan aktivitas yang lebih berat. Pada waktu
naik tangga atau mendaki, sesak napas mulai terasa, tetapi bila
berjalan di jalan yang datar tidak sesak. Sebaiknya penderita
bekerja pada kantor/tempat yang tidak memerlukan tenaga lebih
banyak atau pada pekerjaan yang tidak berpindah-pindah.
3. Sesak napas tingkat III
Sesak napas sudah terjadi bila penderita melakukan aktivitas
sehari-hari, seperti mandi atau berpakaian, tetapi penderita masih
dapat melakukan tanpa bantuan orang lain. Sesak napas tidak
timbul di saat penderita sedang istirahat. Penderita juga masih
mampu berjalan-jalan di daerah sekitar, walaupun kemampuannya

23
tidak sebaik orang-orang sehat seumurnya. Lebih baik penderita
tidak dipekerjakan lagi, mengingat penyakit cukup berat.
4. Sesak napas tingkat IV
Penderita sudah sesak pada waktu melakukan kegiatan/aktivitas
sehari-hari seperti mandi, berpakaian dan lain-lain sehingga
tergantung pada orang lain pada waktu melakukan kegiatan sehari-
hari. Sesak napas belum tampak waktu penderita istirahat, tetapi
sesak napas sudah mulai timbul bila penderita melakukan
pekerjaan ringan sehingga pada waktu mendaki atau berjalan-jalan
sedikit, penderita terpaksa berhenti untuk istirahat sebentar.
Pekerjaan sehari-hari tidak dapat dilakukan dengan leluasa.
5. Sesak napas tingkat V
Penderita harus membatasi diri dalam segala tindakan atau aktivitas
sehari-hari yang pernah dilakukan secara rutin. Keterbatasan ini
menyebabkan penderita lebih banyak berada di tempat tidur atau
hanya duduk di kursi. Untuk memenuhi segala kebutuhannya,
penderita sangat tergantung pada bantuan orang lain.
Berdasarkan waktu:
1. Dispnea akut
Dispnea akut dengan awal yang tiba-tiba merupakan penyebab
umum kunjungan ke ruang gawat darurat. Penyebab dispnea akut
diantaranya penyakit pernapasan (paru-paru dan pernapasan),
penyakit jantung atau trauma dada.
2. Dispnea kronis
Dispnea kronis (menahun) dapat disebabkan oleh asma, Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK), emfisema, inflamasi paru-paru,
tumor, kelainan pita suara.
Berdasarkan kejadiannya:
1. Dyspnea pada saat istirahat/exercise
Perlu ditentukan tentang dyspnea yang diderita pasien, apakah
terjadinya secara dadakan (infeksi paru yang disebabkan oleh

24
bakteri, virus atau emboli paru) atau timbul secara
gradual/perlahan-lahan (emphycema, bronkhitis kronis).
Seseorang dapat mengalami suatu bentuk dyspnea setelah exercise
yang berlebihan, tetapi bila telah terjadi proses yang mengganggu
kapasitas paru, exercise yang ringan sekalipun dapat menimbulkan
dyspnea. Dyspnea yang terjadi disaat istirahat menunjukkan
adanya kegagalan kapasitas respirasi. Untuk menentukan luas dan
tingkat dyspnea, dokter akan berusaha untuk mendapatkan tanda
dan simtom yang lain yang ada kaitannya dengan dyspnea yang
dikeluhkan pasien.
2. Dyspnea posisional
- Orthopnea (dyspnea yang timbul pada posisi berbaring) pada
umumnya merupakan pertanda adanya disfungsi ventrikel kiri
yang menyebabkan terjadinya oedem paru kardiogenik.
Kebanyakan pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun
atau fibrosis interstisial yang telah meluas tidak
memperlihatkan atau sedikit mengalami ortopnea.
- Platypnea, didefenisikan sebagai dyspnea yang timbul pada
posisi berdiri, dyspnea bentuk ini dapat ditemukan pada
penyakit paru obstruktif menahun, cirrhosis dan post
pneumektomie. Mekanismenya belum diketahui dengan jelas,
tetapi platypnea boleh jadi disebabkan oleh adanya
ketidakcocokan (mismatching) perfusi-ventilasi atau adanya
pembukaan foramen ovale pada jantung, keadaan ini akan
menimbulkan hipoksemia, karena pada saat berdiri aliran
darah ke jantung berkurang sebagai akibat pengaruh gravitasi,
sehingga darah yang mengalami deoksigenisasi lebih banyak
(hipoksemia) di daerah perifer maka akan terjadilah sesak
nafas pada saat berdiri atau platypnea
3. Dyspnea nokturnal paroksismal

25
Dyspnea yang terjadi saat terjaga/tersentak dari tidur (ingat
bukan bangun dari tempat tidur) dapat diatasi dengan duduk
atau berjalan di sekeliling tempat tidur, pasien yang murni
menderita kelainan paru tidak akan mengalami dyspnea
nocturnal paroksismal. Penderita kelainan paru terkadang
mengeluhkan disaat tersentak dari tidurnya di malam hari
justru memperburuk sesak nafasnya, tetapi dengan anamneses
yang cermat pasien terbangun justru disebabkan oleh batuk
yang ditimbulkan oleh penumpukan dahak di saluran nafasnya.
Selama episode terjadinya batuk tersebut pasien mengalami
sesak nafas. Perbedaan di antara episode batuk malam hari lalu
diikuti dengan sesak nafas dengan dyspnea nokturnal
parokosismal ini sangat penting bagi dokter untuk mengambil
keputusan apakah dyspnea tersebut problema paru atau
jantung.
(Price, 2005)

2. Lima hari yang lalu, Ita juga mengalami batuk dan pilek yang disertai panas
tinggi. Ita tidak pernah mengalami sesak sebelumnya dan tidak ada riwayat
alergi.

a. Apa makna lima hari yang lalu, Ita juga mengalami batuk dan pilek
yang disertai panas tinggi?

Jawab :

Maknanya mengalami ISPA bagian atas yang dimana infeksi yang


dialami Ina akan memicu terjadinya kompensasi tubuh dengan
mengaktifkan mediator inflamasi dan aktivasi sel goblet yang memicu
hipersekresi mucus yang menyebabkan Ina demam dan pilek (rhinore).

26
b. Apa makna ita tidak pernah mengalami sesak sebelumnya dan tidak ada
riwayat alergi?

Jawab :

Maknanya sesak yang dialami Ita baru pertama kali dan menyingkirkan
diagnosis dari rhinitis alergi dan asma bronkial.

c. Apa hubungan keluhan utama dengan keluhan tambahan?

Hubungan batuk dan pilek yang disertai panas tinggi dengan keluhan
utama adalah salah satu gejala awal dari patogenesis bronchopneumonia
yang sering disebabkan oleh bakteri RSV (respiratory syncytial virus).

d. Bagaimana patofisiologi batuk pilek dan panas tinggi pada kasus ?

3. Ita tinggal bersama kedua orang tua dan 2 orang kakak di rumah semi
permanen berukuran 4x4 m tanpa kamar, hanya ada 2 jendela. Ibu Ita dalam
satu minggu sering mengalami batuk pilek. Ayah Ita diketahui mempunyai
kebiasaan merokok 2 bungkus sehari. Di dalam keluarganya tidak ada
mempunyai riwayat batuk lama dan konsumsi obat selama 6 bulan.

a. Apa makna Ita tinggal bersama kedua orang tua dan 2 orang kakak di
rumah semi permanen berukuran 4x4 m tanpa kamar, hanya ada 2
jendela. Ibu Ita dalam satu minggu sering mengalami batuk pilek?

Jawab :

Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat


mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan
diantaranya adalah infeksi saluran nafas. Hal ini dapat terjadi pada

27
rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah
bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi dan balita bermain.
Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang
penuh asap yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan
asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak akan mendukung
penyebaran virus atau bakteri, dengan konsentrasi tinggi dapat merusak
mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya
ISPA.
(Putri ES, 2010)

Jika dihubungkan dengan kasus, maka makna dan riwayat


lingkungan Ali dengan keluhan yang dialaminya adalah ia memiliki
lingkungan rumah yang buruk (kurang baik) yang dapat mendukung
terjadinya penularan dan gangguan penyakit infeksi saluran pernapasan.

b. Apa makna ayah Ita diketahui mempunyai kebiasaan merokok 2 bungkus


sehari. Di dalam keluarganya tidak ada mempunyai riwayat batuk lama
dan konsumsi obat selama 6 bulan?

Jawab :

Makna ayah Ita mempunyai kebiasaan merokok 2 bungkus sehari :

Maknanya adalah bahwa merupakan faktor risiko terjadinya


bronkopneumonia bagi Ita. Yang di mana, faktor risiko tersebut dibagi
menjadi 2 faktor, yaitu : (1) faktor internal dan (2) faktor eksternal.

1. Faktor internal seperti riwayat berat badan lahir rendah (BBLR),


prematur, status gizi buruk, tidak mendapat imunisasi campak, tidak
mendapat ASI eksklusif, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring.

28
2. Faktor eksternal meliputi tingginya pajanan terhadap polusi udara
(rokok, polusi industri) dan buruknya ventilasi (Sakina dan Larasati,
2016).

Jadi, pajanan dari rokok dari ayah Ita merupakan faktor risiko eksternal.

Adanya kebiasaan merokok dari anggota keluarga menyebabkan


udara dari dalam rumah tercemar atau terpapar oleh polusi asap rokok
sehingga dapat mengganggu kualitas udara di dalam rumah. Paparan
asap rokok di dalam rumah semakin lama akan menurunkan kualitas
udara di dalam rumah sehingga paparan asap rokok dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan balita yang ada di rumah tersebut. Asap rokok
mengandung zat beracun yang berbahaya bagi kesehatan terutama pada
balita. Beberapa bahan kimia asap rokok yang terkandung didalamnya
yaitu nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen sianida,
ammonia, acrrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methamol,
conmarin, 4-ethyl cathacol, orteresor peyline dan lain-lain. Berbaagai
bahan kimia tersebut dapat merangsang silia yaitu bulu-bulu halus yang
terdapat pada permukaan saluran napas, sehingga sekret mukus
meningkat menjadi 30-50%. Hal ini akan mengakibatkan silis akan
mengalami kerusakan dan mengakibatkan menurunnya fungsi ventilasi
paru. Asap rokok dapat mengakibatkan menurunnya imun. Kerusakan
dari saluran napas disertai dengan menurunnya imunitas tubuh dapat
menyebabkan mudahnya terjadi infeksi pada saluran pernapasan
(Suryati, Natasha and Id’ys, 2018)

Makna dari Di dalam keluarganya tidak ada mempunyai riwayat


batuk lama dan konsumsi obat selama 6 bulan?

Batuk lama merupakan gejala klinis dari pasien yang dicurigai kasus TB
dan konsumsi obat 6 bulan juga merupakan pengobatan pada kasus TB.
Dengan adanya pernyataan bahwa tidak ada riwayat batuk lama dan
pengobatan 6 bulan menandakan kasus ini bukanlah kasus TB anak.

29
Sumber :

Sakina M, Larasati TA. 2016. Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi


2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur. Jurnal Medula Unila.
4(3):104–9.

Suryati, S., Natasha, N. and Id’ys, N. (2018) ‘Hubungan Faktor


Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian
Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tahtul Yaman Kota
Jambi’, Jurnal Daur Lingkungan, 1(2), p. 46. doi:
10.33087/daurling.v1i2.10.

c. Apa hubungan tempat tinggal dengan keluhan utama ?

Jawab :

Merupakan faktor risiko bagi tempat tinggal yang lingkungannya buruk


terhadap pneumonia faktor risiko kejadian pneumonia adalah luas
ventilasi ruangan, menurut hasil penelitian Sugihartono dkk. (2012),
balita yang luas ventilasi ruangannya kurang dari standar berisiko 6,4
kali lebih besar terkena pneumonia daripada yang luas ventilasinya baik.
Luas ventilasi ruangan adalah salah satu indikator dari kebersihan udara
dalam ruangan karena ventilasi udara berhubungan dengan sirkulasi
udara dimana manusia sering beraktifitas didalam ruangan. Sirkulasi
yang buruk akan mengakibatkan bakteri mudah berkembang dalam
ruangan sehingga dapat menyebabkan pneumonia (Fikri, 2016).

Sumber :

Sugihartono, Pasiyan, R., Nurjazuli. 2012. Analisis Faktor Risiko


Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo
Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia,11(1): pp.82–
86.

30
Fikri, B.A. 2016. Analisis Faktor Risiko Daya Tahan Tubuh Balita dan
Status Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Pneumonia Balita.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.

4. Ita tidak pernah diberi Asi sejak lahir. Saat ini Ita makan bubur biasa 3 x
setengah mangkuk kecil per hari. Ita memiliki riwayat imunisasi: BCG, skar
(+); DPT 1,2; Hepatitis 1,2,3; Polio 0,1,2,3.

a. Apa makna Ita tidak pernah diberi Asi sejak lahir?

Jawab :

Maknanya adalah Ita tidak mendapatkan pemberian ASI eksklusif.


Yang di mana, Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa
adanya makanan atau minuman lain termasuk air putih kecuali obat,
vitamin dan mineral serta ASI yang diperas. ASI diketahui memberikan
proteksi yang besar bagi balita karena sangat berperan untuk
meningkatkan imunitas dari bayi (Fikri, 2017).

Menurut Fanada (2012) yang menunjukkan resiko 5,2 kali lebih


besar terkena pneumonia bagi bayi yang pemberian ASInya tidak
eksklusif. Menurutnya pemberian ASI secara eksklusif penting sampai
umur 6 bulan dan MPASI setelah umur tersebut, hal ini dipengaruhi oleh
masih banyaknya ibu yang tidak mengetahui tentang ASI eksklusif dan
berhenti menyusui sebelum mencapai umur 6 bulan. Zat gizi yang
diperlukan oleh balita sudah tercukupi dengan ASI dan sesuai dengan
acuan standar yang diberlakukan oleh WHO, begitupula pemerintah
Indonesia. Menyusui secara eksklusif menurunkan risiko balita untuk
terkena pneumonia dan juga penyakit lain karena adanya imunitas yang
befungsi meningkatkan imunitas balita.

Dem sampai situ be jwbny, ini tambahan :

ASI sangat penting bagi bayi selama 2 tahun pertama kehidupannya.


Walaupun susu olahan sapi ataupun formula lain dapat memenuhinya

31
akan tetapi masih ada perbedaan antara ASI alamiah dan susu formula.
Pengganti ASI hanya diberikan jika memang ada faktor tertentu sehingga
seorang Ibu tidak dapat memberikan ASInya atau kualitas ASI yang
kurang baik. ASI diberikan 30 menit segera setelah ibu melahirkan
sampai umur 6 bulan dan seterusnya sampai 2 tahun. selanjutnya
pengenalan MPASI pada umur 6 bulan. Beberapa faktor yang
menyebabkan ASI lebih baik dibandingkan susu formula yaitu ASI
mengandung zat gizi yang lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
balita, ASI didapatkan langsung dari ibu ke bayinya, ASI meringankan
fungsi sistem pencernaan dan ginjal balita, ASI masih sangat alami dan
bebas dari cemaran kuman, ASI mengandung antibodi dan melindungi
balita dari minggu-minggu pertama kelahirannya, dan secara mental ASI
meningkatkan rasa keibuan bagi orang tua dan rasa aman bagi bayinya
(Mahayu, 2014).

Sumber :

Fikri, B. A. (2017) ‘Analisis Faktor Risiko Pemberian Asi Dan Ventilasi


Kamar Terhadap Kejadian Pneumonia Balita’, The Indonesian Journal
of Public Health, 11(1), p. 14. doi: 10.20473/ijph.v11i1.2016.14-27.

Fanada, M. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Penyakit Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten
Palembang Tahun 2012. Sumatera Selatan. Jurnal Badan Diklat Provinsi
Sumatera Selatan. hƩ p://www.banyuasinkab.go.id/tampung/
dokumen/dokumen-15–33.pdf. [Sitasi 6 Juni 2016].

Mahayu, P. 2014. Imunisasi dan Nutrisi. Yogyakarta. Penerbit Buku


Biru.

b. Apa makna Ita makan bubur biasa 3 x setengah mangkuk kecil per hari ?

Jawab :

32
Maknanya adalah Ita mengalami malnutrisi (gizi kurang). Yang di
mana balita dengan malnutrisi mengalami masalah pada sistem imunitas,
khususnya IgA. Malnutrisi menyebabkan terjadi penurunan level IgA,
IgA pada sistem imun berfungsi untuk melindungi saluran nafas atas dari
infeksi organisme patogenik. Oleh karena itu, penurunan level IgA
mengakibatkan penurunan sistem imun saluran nafas sehingga akan
memperparah derajat infeksi sistem saluran nafas (Rodríguez L, 2011).

Faktor risiko yang berhubungan dengan pneumo-nia dibagi


menjadi faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsk meliputi jenis
kelamin, umur, berat badan lahir rendah (BBLR), status gizi, pemberian
vitamin A, pemberian air susu ibu (ASI), dan status imunisasi. Faktor
ekstrinsik meliputi polusi udara, ventilasi, paparan asap rokok, kepadatan
tempat tinggal, dan penggunaan bahan bakar. Di negara berkembang,
faktor risiko pneumonia di antaranya status ekonomi rendah, berat badan
lahir rendah, malnutrisi, pemberian ASI non eksklusif, defisiensi vitamin
A, kebiasaan merokok pada orang tua, polusi udara, defisiensi zinc, usia
ibu, tingkat pendidikan ibu, pengalaman ibu sebagai pengasuh,
ketinggian, dan kelembaban (Fekadu GA, 2014).

Sumber :

Rodríguez L, Cervantes E, Ortiz R. Malnutrition and gastrointestinal


and respiratory infections in children: a public health problem. Int
J Environ Res Public Health 2011;8:1174-205.

Fekadu GA, Terefe MW, Alemia GA. Prevalence of pneumonia among


under-five children in Este town and the surrounding rural
Kebeles, Northwest Ethiopia; a community based cross sectional
study. Sci J Pub Health 2014;3:150-5.

c. Apa makna Ita memiliki riwayat imunisasi: BCG, skar (+); DPT 1,2;
Hepatitis 1,2,3; Polio 0,1,2,3?

33
Jawab :

Riwayat imunisasi dasar Ita ini tidak lengkap karena tidak


mendapatkan imunisasi campak. Imunisasi yang tidak lengkap
merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA
terutama pneumonia. Bayi dan balita yang terkena kuman campak dan
sembuh akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai
komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis
ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap.
(Kliegman,2006)

Sumber :

Kliegman R.M, Marcdante KJ, and Behrman R.E. 2006. Nelson

Essentials of Pediatric. 5th ed . Philadelphia: Elsevier Saunders

d. Apa hubungan riwayat pemberian asi, makan, dan imunisasi dengan


keluhan yang di alami oleh Ita?

Jawab :

Maknanya adalah bahwa merupakan faktor risiko terjadinya


Bronkopneumonia bagi Ita. Yang di mana, faktor risiko tersebut di bagi
menjadi 2 faktor, yaitu :

1. Faktor Internal : Riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR),


Prematur, status gizi buruk, tidak mendapat imunisasi campak, tidak
mendapat ASI eksklusif, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi
kolonisasi bakteri patogen di Nasofaring.

34
2. Faktor Eksternal : Pajanan polusi udara (rokok, polusi industri) dan
buruknya ventilasi (Sakina dan Larasati, 2016).

Sumber :

Sakina M, Larasati TA. 2016. Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi


2 Bulan dengan Riwayat Lahir Prematur. Jurnal Medula Unila.
4(3):104–9.

e. Apa saja imunisasi yang harus dilakukan untuk anak seumuran ita?

5. Pemeriksaan Fisik:

BB saat ini = 7 Kg, TB = 68 cm

Keadaan Umum : tampak sakit berat

Tanda Vital: TD : 80/50 mmHg, HR : 120 x/menit, regular, RR : 58x/menit,


T: 39.6 0C

Pemeriksaan spesifik:

Kepala: sianosis sirkum oral (+), nafas cuping hidung (+), conjunctiva tidak
anemis

Leher: dalam batas normal

Thorax:

Pulmo

Inspeksi: terdapat retraksi intercostal, subcostal and suprasternal.

Palpasi: Stem fremitus meningkat di kedua lapang paru


(anaksedangmenangis)

35
Perkusi: redup pada seluruh lapangan paru.

Auskultasi: vesikuler meningkat, ronki basah halus nyaring pada kedua


lapangan paru, wheezing tidak terdengar.

Cor

Inspeksi: bentuk dada normal, iktus kordis tidak terlihat

Palpasi: iktus kordis tidak teraba

Perkusi: batas jantung normal

Auskultasi: bunyi jantung I/II normal, gallop (-), murmur (-)

Abdomen: datar, lemas, hepar lien tidak teraba, bising usus normal

Ekstremitas: tidak ditemukan clubbing finger, tidak ada edema

a. bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan spesifik ?

Jawab :

Hasil pemeriksaan Keadaan normal Interpretasi


BB = 7 Kg TB = 68 cm Abnormal
TD 80/50 mmHg Neonatus 80/45 mmHg Hipotensi
6-12 bln 90/60 mmHg
1-5 thn 95/65 mmHg
5-10 thn 100/60 mmHg
10-15 thn 115/60 mmHg
HR 120x/menit Neonatus 100-180 Normal
1 minggu – 3 bln 100-
200
3 bln – 2 thn 80-150
2 thn – 10 thn 70-110
> 10 thn 55-90
RR 58 x/menit < 2 bln < 60 Takipnea
2-12 bln < 50
1-5 thn < 40
Temp. 39,6oC Hipotermia < 36oC Febris
Normotermia 36,5-

36
37,2oC
Subfebris 37,3-38oC
Febris > 38oC
Hiperpireksia ≥ 41,2oC

Sianosis sirkum oral (+) Negatif Abnormal


Napas cuping hidung (+) Negatif Abnomal
Retraksi intercostal, Negatif Abnormal
subcostal, dan suprasternal (ada penggunaan otot
bantu napas /
tambahan)
Stem fremitus kanan dan kiri Tidak menurun Abnormal
menurun (ada konsolidasi)
Redup pada basal kedua paru Sonor Abnormal
(ada konsolidasi)
Suara napas vesikuler Suara vesikuler normal Abnormal
meningkat dan ronkhi basah dan tidak ada bunyi (ada konsolidasi +
halus nyaring pada kedua tambahan cairan)
lapangan paru

b. Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik dan spesifik?

6. Pemeriksaan Laboratorium:

Laboratorium : Hb : 11,8 gr/dl, Leukosit : 20.000 /mm3, Hitung jenis:


1/1/08/70/18/2, LED : 14mm/jam

a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium?

Jawab :

No. Pemerik Nilai Kasus Nilai Normal Interpretasi


saan Lab

1. Hb 11,8 gr/dl 11-13 gr/dl Normal.

10-16 gr/dl Tidak mengalami anemia

37
ataupun Hb tinggi.

2. Leukosit 20.000/mm3 9000-12000 Leukositosis.


mm3 Menunjukkan adanya
infeksi / radang akut.

3. Basofil 1% 0-1 % Normal

4. Eosinofil 1 % 1-3 % Normal.

Tidak meningkat.

5. Neutrofil 8 % 2-6 % Meningkat.


Batang
Adanya infeksi.

6. Neutrofil 70% 50-70% Normal


Segmen

7. Limfosit 18 % 20-40 % Menurun

8. Monosit 2% 2-8 % Normal.

Tidak meningkat.

9. LED 14 mm/jam < 10 mm/jam Meningkat.

Menunjukkan adanya
infeksi.

Hitung Jenis : Shift to the Left

Maknanya terjadinya infeksi akut

b. Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan lab?

7. Bagaimana cara mendiagnosis?

Jawab :

38
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
1. Sesak napas hebat sejak 1 hari yang lalu
2. 2 hari yang lalu sudah mengalami sesak nafas, sulit makan dan minum
3. 5 hari yang lalu mengalami batuk dan pilek disertai panas tinggi
4. Riwayat penyakit : tidak pernah mengalami sesak sebelumnya dan tidak
ada alergi
5. Faktor resiko : lingkungan yang padat, ibu mengalami batuk pilek dalam
satu minggu ini, ayah mempunyai kebiasaan merokok 2 bungkus/hari,
riwayat Imunisasi tidak lengkap, riwayat tidak diberi ASI sejak lahir,
makan bubur 3x setengah mangkuk kecil/hari, dan riwayat keluhan batuk
batuk lama dan konsumsi obat selama 6 bulan tidak ada.
Pemeriksaan fisik dan spesifik
1. Tampak sakit berat
2. Takipnea
3. Febris
4. Sianosis sirkum oral
5. Napas cuping hidung
6. Retraksi intercostal, subcostal, dan suprasternal
7. Stem fremitus meningkat (konsolidasi) di kedua lapangan paru
8. Redup pada seluruh lapangan paru
9. Vesikuler meningkat
10. Ronki basah halus nyaring pada kedua paru
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Leukositosis
2. Peningkatan neutrofil batang
3. Limfosit menurun
4. Peningkatan LED
Pemeriksaan Rontgen thorak: Infiltrat pada lobaris kanan dan kiri

39
8. Bagaimana diagnosis banding pada kasus?

Jawab :

1. Bronkopneumonia
2. Asma Bronkial
3. Bronkitis
4. Bronkiolitis

Gejala Bronkopn Bronchiolitis Bronchitis akut Kasus


eumonia akut
Batuk + + + +
Sulit + + + +
bernapas
Demam + -/ subfebris +/sedikit meningkat +
Retraksi + + - +

Dullness + - (hipersonor) - +
Rales + + (wheezing) - (wheezing dan +
ronki kasar)
Cyanosis + + - +

(Sudoyo,2009)

9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?

Jawab :

Pemeriksaan Penunjang

Untuk mendiagnosis bronkopneumonia dapat dilakukan pemeriksaan

penunjang yaitu sebagai berikut (Rahajoe, Supriyanto dan Setyanto, 2010) :

1. Darah perifer lengkap

40
Secara umum pemeriksaan darah perifer lengkap tidak dapat membedakan
infeksi bakteri dan virus secara pasti. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
memperkirakan penyebab dan melihat prognosis keadaan pasien. Pada
bronkopneumonia yang disebabkan virus dan mikoplasma umumnya leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada
bronkopneumonia karena bakteri didapatkan leukositosis sekitar 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (<5.000/mm3)
menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (30.000.mm3) sering
ditemukan pada infeksi bakteri dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.
Pada infeksi Chlamydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia.
Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN sekitar 300-
100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatif rendah daripada glukosa
darah. Kadang-kadang ditemukan anemia dan laju endap darah (LED) yang
meningkat.

2. C-Reactive Protein (CRP)

CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit sebagai
respon infeksi atau inflamasi ringan, produksi CRP secara cepat distimulasi
oleh sitokin terutama oleh interleukin-6 (IL-6),32 interleukin-1 (IL-1), dan
tumor necrosis factor (TNF). Fungsi pasti dari CRP belum diketahui,
mungkin CRP berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak.
Secara klinis CRP digunakan untuk membedakan faktor infeksi dan faktor
non-infeksi, infeksi bakteri dan virus, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. CRP juga digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.

3. Uji serologis

Secara umum uji serologis tidak terlalu untuk mendiagnosis infeksi bakteri
tipik. Namun untuk mendiagnosis infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma
dan Klamidia, serta beberpa virus seperti Respiratory syncytical virus (RSV),
Cytomegalovirus (CMV), campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B,

41
dan Adenovirus peningkatan Ig G dan Ig M dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis.

4. Pemeriksaan mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan pada anak karena jarang


yang postif. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada pneumonia berat di
rumah sakit. Diagnosis dikatakan definitif bila ditemukan kuman pada
spesimen. Untuk pemeriksaan mikrobiologis spesimen dapat berasal dari
usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru. Pada anak besar dan remaja spesimen dapat berasal dari
sputum.

5. Foto toraks

Foto toraks tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya


direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Foto toraks dilakukan
untuk menunjang diagnosis, menentukan lokasi anatomik dalam paru,
luasnya kelainan, dan kemungkinan adanya komplikasi seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, dan efusi pleura. Umumnya pemeriksaan foto toraks
untuk menunjang diagnosis pneumonia di Instalasi Gawat Darurat dilakukan
pada posisi AP. Foto toraks untuk posisi AP dan lateral hanya dilakukan pada
pasien dengan gejala klinik distress pernapasan seperti takipnea, batuk, dan
ronki dengan atau tanpa suara napas yang melemah. Bronkopneumonia
ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak-
bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial. Gambaran radiologis bronkopneumonia
bervariasi tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Penyakit ringan dapat
bermanifestasi sebagai penebalan peribronkial dan kekeruhan ruang udara
yang buruk. Pada penyakit yang lebih berat didapatkan patchy areas yang
tidak homogen dari beberapa lobus. Ketika konfluens, bronkopneumonia
dapat menyerupai pneumonia lobaris (O’Grady et al., 2014).

42
Foto Toraks Bronkopneumonia

Sumber : (O’Grady et al., 2014).

Sumber :

O’Grady KAF, Torzillo PJ, Frawley K, Chang AB. 2014. The Radiological
Diagnosis of Pneumonia in Children. Pneumonia, A Peer Reviewed Open
Access Journal. 5(10):38–51.

10. Apa working diagnosis pada kasus?

Bronkopneumonia.

a. Definisi?

Jawab :

Berdasarkan anatomis lokasi lesi di paru, pneumonia dibagi


menjadi pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
dan pneumonia interstitialis (bronkiolitis) (Hasan dan Alatas, 2000).

43
Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (alveoli) dan pada anak sering bersamaan dengan proses infeksi
akut pada bronkus atau biasanya disebut bronkopneumonia
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang


melibatkan bronkus atau bronkiolus berupa distribusi berbentuk bercak
bercak (patchy distribution) (Bradley et al., 2011). Bronkopneumonia
merupakan inflamasi paru yang terfokus pada inflamasi paru pada area
bronkiolus dan memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat
mengakibatkan obstruksi saluran respiratori berkaliber kecil dan
menyebabkan konsolidasi yang merata ke lobulus yang berdekatan
(Marcdante et al., 2014). Bronkopneumonia adalah radang saluran
pernapasan yang terjadi dari bronkus sampai alveolus paru (Samuel,
2014).

Sumber :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .2010. Pneumonia Balita, Buletin

Jendela Epidemiologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia.

Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. 2014. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Jakarta: EGC.

Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, et al.

2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants

and Children Older than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines


by

The Pediatric Infectious Diseases Society and The Infectious Diseases

44
Society of America. Clinical Infectious Diseases. 53(7):25–76.

Hasan R, Alatas H. 2000. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian

Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

b. Etiologi?

Jawab :

Sebagian besar bronkopneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus


atau bakteri dan sebagian kecil lainnya disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi,
radiasi dan lain-lain (Rahajoe, Supriyanto dan Setyanto, 2010). Secara garis besar
penyebab bronkopneumonia dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor infeksi dan
non infeksi (Fadhila, 2013) :

1. Faktor infeksi

Di negara berkembang pneumonia pada anak terutama disebabkan


oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, dan Staphylococcus
aureus. Sedangkan di negara maju, pneumonia pada anak paling sering
disebabkan oleh virus, selain bakteri atau campuran virus dan bakteri.Virus
yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytical Virus (RSV),
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Mycoplasma pneumoniae (Rahajoe, Supriyanto dan Setyanto, 2010).

Usia pasien adalah faktor yang memegang peranan penting pada


perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Pola bakteri penyebab pneumonia
biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur pasien. Etiologi pneumonia

45
pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri
Gram negatif seperti E.coli, Pseudomonas sp, atau Kliebsiella sp. Pada bayi
yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja,
selain bakteri tersebut, sering juga disebabkan infeksi Mycoplasma
pneumoniae (Rahajoe, Supriyanto dan Setyanto, 2010).

2. Faktor non-infeksi

Faktor non-infeksi dapat terjadi karena disfungsi menelan atau refluks


esophagus seperti bronkopneumonia hidrokarbon dan bronkopneumonia
lipoid. Bronkopneumonia hidrokarbon terjadi karena anak menelan zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin. Bronkopneumonia
lipoid terjadi karena pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan kepada
anak yang sedang menangis (Fadhila, 2013).

Sumber :

Fadhila. 2013. Penegakan diagnosis dan Penatalaksanaan Bronkopneumonia


pada Pasien Bayi Laki-laki Berusia 6 Bulan. Jurnal Medula Unila.

1(2):1–10.

c. Epidemiologi?

Jawab :

Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF)


pneumonia merupakan penyakit infeksi paling mematikan pada anak
usia dibawah lima tahun (balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan

46
penyakit lain seperti diare, malaria, pertusis, tetanus, meningitis,
HIV/AIDS dan campak. Satu dari 6 kematian anak di dunia pada tahun
2015 disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia menyumbang sekitar 16%
dari 5,6 juta kematian anak di dunia. Menewaskan sekitar 922.000 anak
pada tahun 2015 atau sekitar 2500 anak/hari dan 100 anak/jam
(UNICEF, 2015).

Pneumonia merupakan penyakit yang banyak prevalensinya di


negara berkembang tetapi tidak diperhatikan karena begitu banyak anak
yang meninggal karena pneumonia namun perhatian yang diberikan
kepada masalah pneumonia masih sangat sedikit. Terdapat 1,6 sampai
2,2 juta kematian anak balita di seluruh dunia karena pneumonia setiap
tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang, 70% terdapat di
Afrika dan Asia Tenggara (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2010). Insiden penyakit ini pada negara berkembang termasuk Indonesia
hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko
kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan
angka 13% dari seluruh penyakit pada anak di bawah umur 2 tahun.
Insiden pneumonia pada anak ≤5 tahun di negara maju adalah 2-4
kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100
anak/tahun (Samuel, 2014).

Pneumonia di Indonesia adalah penyakit penyebab kematian


kedua tertinggi setelah diare pada balita yaitu sebesar 15,5% dan selalu
berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas
kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Berdasarkan data dan informasi profil kesehatan Indonesia tahun 2016
jumlah penderita pneumonia di Provinsi Lampung sebanyak 7864 balita
atau sebesar 26,76 %. Penderita pneumonia usia <1 tahun sebanyak 2415
dengan 46 kematian dan usia 1-4 tahun sebanyak 5269 anak dengan 7
kematian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

47
Sumber :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesi . 2017. Data dan Informasi


Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. hlm. 122–3.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .2010. Pneumonia Balita,


Buletin Jendela Epidemiologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

d. Pathogenesis?

Jawab :

Dalam keadaan normal saluran pernapasan bawah mulai dari sublaring


hingga unit terminal dalam keadaan yang steril. Paru-paru terlindungi
dari infeksi dengan beberapa mekanisme yaitu :

a. Filtrasi partikel di hidung

b. Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis

c. Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk

d. Pembersihan ke arah kranial oleh selimut mukosilier

e. Fagositosis kuman atau mikroorganisme oleh makrofag alveolar

f. Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal

g. Drainase melalui sistem limfatik

Bronkopneumonia terjadi jika satu atau lebih mekanisme di atas


mengalami gangguan (Supriyatno, 2008).

Terdapat 4 stadium dalam patogenesis pneumonia (Rahajoe,


Supriyanto dan Setyanto, 2010) yaitu :

48
1. Stadium kongesti

Mikroorganisme penyebab pneumonia terhisap ke paru bagian perifer


melalui saluran pernapasan.

2. Stadium hepatisasi merah

Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah


proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel
polymorphonuclear neutrophilic leukocyte (PMN), fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.

3. Stadium hepatisasi kelabu

Deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di


alveoli dan terjadi fagositosis yang cepat.

4. Stadium resolusi

Jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi,


fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Jaringan kembali ke
bentuk semula.

Sumber :

Supriyatno B. 2008. Infeksi Respiratori Bawah Akut pada Anak. Sari


Pediatri. 8(2):100–6.

Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. 2010. Buku Ajar Respirologi


Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

e. Faktor resiko?

Jawab :

49
Banyak faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas bronkopneumonia di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut antara lain adalah : pneumonia yang terjadi pada masa bayi,
berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi campak,
tidak mendapat ASI eksklusif, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya
prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya
pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok) (Rahajoe,
Supriyanto dan Setyanto, 2010).

Faktor risiko terkait host dan lingkungan yang mempengaruhi


kejadian bronkopneumonia anak di negara berkembang dapat dibagi
menjadi tiga golongan (Rudan et al., 2008) yaitu :

a. Definite risk factors

1. Malnutrisi (Z-score untuk BB/U < -2)

2. BBLR (≤ 2500 g)

3. Tidak ASI eksklusif

4. Kurangnya imunisasi campak

5. Polusi udara dalam ruangan

6. Sesak

b. Likely risk factors

1. Orang tua yang merokok

2. Defisiensi zinc

3. Ibu mengalami pneumonia saat mengasuh anak

4. Penyakit penyerta (diare, penyakit jantung dan asma)

c. Possible risk factors

50
1. Pendidikan ibu

2. Tempat penitipan anak

3. Curah hujan (kelembaban)27

4. Dataran tinggi (udara dingin)

5. Defisiensi vitamin A

6. Urutan kelahiran

7. Polusi udara di luar ruangan

Sumber :

Rudan I, Pinto CB, Biloglav Z , Mulholland K, Campbell H. 2008.


Epidemiology and Etiology of Childhood Pneumonia. Bulletin of
the World Health Organization. 86(5), 408–16.

Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. 2010. Buku Ajar


Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

f. Manifestasi klinis?

Jawab :

Gejala dan tanda klinis bronkopneumonia bervariasi tergantung dari

kuman penyebab, usia pasien dan beratnya penyakit (Supriyatno, 2008).

Gejala klinis pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya

infeksi, tetapi secara umum gejala bronkopneumonia meliputi gejala

infeksi umum dan gejala respiratori. Gejala infeksi umum, yaitu demam,

sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan

gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadnag disertai

51
gejala infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk,

sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, perasaan sulit
bernapas (air hunger), merintih, dan sianosis (Rahajoe, Supriyanto dan

Setyanto, 2010).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda klinis seperti perkusi pekak,

suara napas melemah dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi

kecil gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat

jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan

kelainan. Berikut manifestasi klinis bronkopneumonia berdasarkan

tingkatan umur dan penyebabnya (Rahajoe, Supriyanto dan Setyanto,

2010) yaitu :

1. Bronkopneumonia pada neonatus dan bayi kecil

Gambaran klinis bronkopneumonia pada neonatus dan bayi kecil

tidak khas, seperti serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping

hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau

bradikardi, retraksi subkosta, demam dan pada bayi BBLR sering

terjadi hipotermi. Pada infeksi perinatal yang disebabkan Chlamydia

trachomatis yang didapatkan dari ibu pada saat persalinan gejala

baru timbul pada usia 4-12 minggu. Gejala umumnya berupa gejala

respiratori ringan-sedang seperti batuk staccato (inspirasi diantara

setiap satu kali batuk), kadang-kadang disertai muntah, dan

52
umumnya anak tidak demam. Saat bronkopneumonia ini berubah

menjadi berat timbul gejala ronki atau mengi, takipnea dan sianosis.

2. Bronkopneumonia pada balita dan anak yang lebih besar

Timbul keluhan seperti demam, menggigil, batuk, sakit kepala,

anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal seperti

muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala respiratori seperti

takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), napas cuping hidung,

ronki, dan sianosis. Anak besar yang sianosis lebih suka berbaring

pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada akibat

iritasi pleura. Terkadang ditemukan nyeri abdomen bila terdapat

bronkopneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi

diafragma. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau

memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai

komplikasi bronkopneumonia.

3. Bronkopneumonia atipik

Bronkopneumonia atipik (walking pneumonia) adalah pneumonia

yang disebabkan oleh mikroorganisme yang tidak dapat

diidentifikasi dengan teknik standar pneumonia pada umumnya dan

tidak menununjukkan respon terhadap antibiotik b-laktam karena

tidak memiliki dinding sel. Bronkopneumonia atipik ini biasanya

terjadi pada anak usia sekolah dan remaja. Mikroorganisme pathogen

53
penyebab bronkopneumonia atipik pada umumnya adalah

Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella

pneumophila, dan Ureaplasma urealyticum. Manifestasi klinis

bronkopneumonia atipikal ditandai dengan demam yang tidak terlalu

tinggi, batuk non produktif dan didominasi oleh gejala konstitusi.

Sumber :

Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. 2010. Buku Ajar Respirologi


Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

g. Klasifikasi?

Jawab :

11. Bagaimana tatalaksana pada kasus?

Jawab :

Terapi O2 1 lt/ menit hingga saturasi oksigen >92%


Cairan infus D5 ¼ NS sebanyak 8 tetes/menit
Berikan antipiretik berupa paracetamol ditetesi 3 x 0,5 cc sehair
Lalu untuk bronkopneumonianya diberikan AB spektrum luas berupa
ampisilin 150mg/8jam IV untuk mengatasi bakteri gram (+) dan
gentamisin 20mg/24 jam untuk mengatasi bakteri gram (-) ( Dicky, 2017).
 Promotif : memberikan edukasi atau penyuluhan tentang penyakit-
penyakit infeksi pada saluran pernapasan kepada para orang tua.
 Preventif : memberikan gizi yang cukup dan seimbang, lingkungan
tempat tinggal yang bersih serta gaya hidup yang sehat.
 Rehabilitatif : setelah penderita sembuh, berikan gizi yang cukup
dan seimbang serta gaya hidup yang sehat agar sistem kekebalan
tubuh anak dapat berkembang dengan baik.

54
(Suardi, dkk., 2008)
Sumber :

Dicky, Alexander dan Anggraeni Janar W. 2017. Tatalaksana Terkini


Bronkopneumonia pada anak di RS Abdul Moeloek. Bandar Lampung :
Fakultas Kedokteran Univesitas Lampung.

Suardi, Adi Sutomo., Setyati, Amalia, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

12. Bagaimana komplikasi pada kasus?

Jawab :

Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :


a. Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau
kolaps paru yang merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek
batuk hilang.
b. Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam
rongga pleura yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga
pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dala jaringan paru yang
meradang.
d. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
e. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
(Kliegman,2006)

Sumber :

Kliegman R.M, Marcdante KJ, and Behrman R.E. 2006. Nelson Essentials of

Pediatric. 5th ed . Philadelphia: Elsevier Saunders

13. Bagaimana prognosis pada kasus?

55
Jawab :

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam


Quo ad Fungsionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

Dubia ad Bonam.

Prognosis pasien ini adalah dubia ad bonam. Prognosis suatu penyakit


ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya adalah lingkungan mikro, mini,
meso, dan makro. Lingkungan mikro adalah faktor dari ibu sendiri yang salah
satunya adalah pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai penyakit dan
pemberian nutrisi. Lingkungan mini adalah lingkungan keluarga seperti
suasana dalam lingkungan rumah apakah mendukung untuk tercapainya
kesembuhan. Lingkungan meso adalah sarana dan prasarana yang
memberikan pelayanan untuk menunjang pengobatan. Sedangkan lingkungn
makro adalah organisasi yang berkecimpung dalam kesehatan anak.

Dari keempat faktor lingkungan tersebut, lingkungan mikro adalah faktor


yang paling mempengaruhi. Pada kasus ini prognosis dubia ad bonam
dikarenakan penanganan yang cepat setelah timbulnya keluhan pada pasien,
pasien segera mendapatkan terapi antibiotik, dan pemberian ASI yang
adekuat sejak lahir. Pada kasus ini ibu pasien memiliki pengetahuan yang
cukup, terlihat dari bagaimana ibu os yang mengaku selalu melakukan
kontrol rutin ke bidan setempat selama kehamilan, mengenai cara pemberian
nutrisi ASI, dan penangananpenyakit dari pasien. Namun ayah dari pasien ini
memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah, ditambah dengan letak
lingkungan pasien yang berdekatan dengan jalan raya bisa menjadi salah satu
faktor penyulit kesembuhan pasien (Dicky, A., & Wulan, 2017).

Sumber :

Dicky, A., & Wulan, A. J. (2017) ‘Tatalaksana Terkini Bronkopneumonia

56
pada Anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek’, Jurnal Medula, 7(2), 6–12, 7(2),
pp. 6–12. Available at: c.

14. Bagaimana SKDU pada kasus?

Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan


penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan
tuntas (Konsil Kedokteran Indonesia, 2019)

Sumber :

Konsil Kedokteran Indonesia (2019) ‘Standar Nasional Pendidik Profesi


Dokter Indonesia’.

15. Bagaimana NNI pada kasus?

Jawab :

• Jaga lingkungan dari asap rokok Allah SWT berfirman,

“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS


2 Al-Baqarah: 195)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha penyayang


kepadamu.(QS. An-Nisaa': 29).

• Menghindari polusi udara yang dapat mengganggu atau memudoratkan


orang lain, sesuai dengan sabda nabi SAW: Dari Abi Sa'id Sa'd bin Malik bin
Sinan al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak boleh ada bahaya dan
tidak boleh membahayakan orang lain. "(HR. Malik, Ad-Daraquthni, Al-
Baihaqi, Al- Hakim).

Pemeriksaan Hari Kedua :

57
Diberikan pada pertemuan kedua

Interpretasi :

(Adam, 2008).

Tampak bercak-bercak infiltrat di kedua lapang paru disertai airbronchogram

----------------------------

Saluran Bronkus Infiltrat

----------------------------

Interpretasi: Pneumonia

Pada kasus ini menunjang diagnosis Bronkopneumonia. Secara teori di


Bronkopneumonia itu banyak ditemukan "Patch di lobus yg terinflamasi".

Radiologi

Foto toraks (AP/Lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk


menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,
terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat
didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya

58
disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia. Pada kasus infiltrat di kedua
lapang paru disertai airbronchogram.

Sumber :

Adam, Andy. 2008. Diagnostic Radiology. Philadelphia: ELSEVIER


CHURCHILL LIVINGSTONE. pp. 768

Kesimpulan :
Ita, perempuan , 10 bulan dengan keluhan sesak nafas hebat sejak 1 hari yang
lalu, disertai sulit makan dan minum, batuk, pilek, dan panas tinggi karena
mengalami Bronkopneumonia.

Kerangka Konsep

Gizi Kurang Infeksi Saluran Napas Lingkungan dan


Akut Sosial Ekonomi

Menginfeksi Batuk dan Pilek


Parenkim Paru

Respon Inflamasi Demam

Bronkopneumonia

Gangguan Ventilasi

59
Sesak Napas

60

Anda mungkin juga menyukai