Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN TUTORIAL

SESAK

OLEH :
KELOMPOK 2
1. Sonia Buyung 09402011001
2. Zaify Diva Marhani Marzy 09402011012
3. Jauharah Az Zahra 09402011016
4. Muhammad Nuradin Putra 09402011023
5. Suci Ramadhani Darwis 09402011024
6. Indah Maharani M. Fahruddin 09402011025
7. Gomgom Jansen Vernando Banurea 09402011026
8. Rochmat Nurhidayat 09402011048
9. Cut Irna A. Hi. Husen 09401611045
10. Indah Lestari Eddy Karyawan 09401611047

SISTEM RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2021

SISTEM RESPIRASI
KASUS

Skenario 1

Seorang laki-laki usia 60 tahun datang ke Puskesmas Gambesi dengan keluhan sesak
napas yang semakin memberat sejak 2 hari sebelumnya. Sesak telah dialami dalam 1
tahun terakhir, pasien pernah masuk IGD 1 kali karena sesak, 3 bulan yang lalu.
Sesak disertai dengan keluhan batuk berdahak putih kental dengan jumlah dahak yang
semakin bertambah. Riwayat merokok 1 bungkus (12 batang)/hari, selama 20 tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan laju respirasi 26x/menit, bentuk dada barrel chest,
ekspirasi terdengar lebih panjang dibandingkan inspirasi dan terdapat wheezing minimal
pada kedua lapang paru.

KATA SULIT
Barrel Chest: merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior dan
transversal pada rongga dada akibat usaha memperbesar volume paru
Wheezing: adalah suara memanjang yang disebabkan oleh penyempitan saluran
pernafasan dengan aposisi dinding saluran pernafasan. Suara tersebut dihasilkan oleh
vibrasi dinding saluran pernafasan dengan jaringan sekitarnya.
KALIMAT KUNCI
1) Laki-laki usia 60 tahun

2) Keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 2 hari sebelumnya.

3) Sesak telah dialami dalam 1 tahun terakhir, pasien pernah masuk IGD satu kali
karena sesak, 3 bulan yang lalu.

4) Sesak disertai dengan keluhan batuk berdahak putih kental dengan jumlah dahak
yang semakin bertambah.

5) Riwayat merokok 1 bungkus (12 batang)/ hari, selama 20 tahun.

6) Pada pemeriksaan fisik didapatkan laju respirasi 26x/menit, bentuk dada barrel chest,
ekspirasi tedengar lebih panjang dibandingkan inspirasi dan terdapat wheezing
minimal pada kedua lapang paru.

PERTANYAAN PENTING

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari saluran pernapasan!

2. Jelaskan definisi batuk dan sesak!

3. Jelaskan jenis-jenis dahak!

4. Jelaskan macam-macam bunyi paru pada manusia!


5. Jelaskan bentuk abnormal pada dada manusia!

6. Jelaskan mekanisme gejala dari sesak dan batuk!

7. Jelaskan hubungan gejala dan merokok!

8. Jelaskan DD!

- Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

- Asma Bronkial

- Bronkitis Kronik

JAWABAN

1) Jelaskan anatomi dan fisiologi dari saluran pernapasan!

Anatomi pernapasan: sistem pernapasan tidak ikut serta dalam semua tahap
respirasi. Saliran napas meghantarkan udara antara atmosfer dan alveolus. Alveolus
tempat pertukaran gas adalah kantong udara berdinding tipis yang dikelilingi oleh
kapiler paru. Paru menempati sebagian besar rongga toraks. Kantong pleura
memisahkan teriap paru dari dinding toraks. [1]
1) Cavum nasi
Dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu
yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang
hidung. Juga terdapat concha terdiri dari concha nasalis superior, concha nasalis
media dan concha nasalis inferior. Concha mempunyai banyak kapiler darah yang
berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Dan diantara concha ada 3 meatus yaitu
superior, media, dan inferior. Dasar rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas.
Atas rongga hidung berhubungan dengan sinus-sinus (sinus paranasalis) yaitu sinus
maksilaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis, sinus ethmoidalis.
2) Faring
Faring atau tenggorokan adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13 cm.
faring terdiri dari nasopharynx, oropharynx, dan laryngopharynx. Dinding faring
disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane mukosa. Otot rangka yang
terelaksasi membuat faring dalam posisi tetap sedangkan apabila otot rangka kontraksi
maka sedang terjadi proses menelan. Fungsi faring adalah sebagai saluran untuk
udara dan makanan, menyediakan ruang resonansi untuk suara saat berbicara, dan
tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap benda asing).
3) Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara
faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus
ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada
tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel
bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi
laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis).
Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat
suara). Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa
dan lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara (otot rangka).
Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N. Laringealis superior.
4) Trakea
Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh
jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel
bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.
5) Bronchus
Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar → bronki segmental → bronki subsegmental.
Struktur bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang
rawan tidak teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental
hilang sama sekali. Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas
lipatan memanjang. Epitel bronkus: kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan
kelenjar submukosa. Lamina propria: serat retikular, elastin, limfosit, selmast, dan
eosinofil.
6) Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar.
Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak
mengandung sel goblet.
7) Bronchiolus respiratorius
Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan: epitel
kuboid, kuboid rendah, tanpasilia. Mengandung kantong tipis (alveoli).
8) Duktus alveolaris
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.
9) Alveolus
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.
Jumlahnya 200.500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh
serat kolagen, dan elastis halus.
10) Pleura
Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat elastin,
fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang melekat pada
dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan
pembuluh limfe. Saraf adalah cabangn. Frenikus dan N. interkostal.[1]

FISIOLOGI
Pernapasan adalah usaha tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen untuk proses
metabolisme dan mengeluarkan karbondioksida sebagai hasil metabolisme.
Pernapasan sebagai istilah yang umum digunakan mencakup 2 proses:
a.
Pernapasan eksterna; adalah absorsi O2 dan pembuangan CO2 dari badan secara
keseluruhan.
b.
Pernapasan interna; adalah penggunaan O2 dan produksi CO2 oleh sel dan
pertukaran gas antara sel dan medium cairannya.
Proses fisiologi pernafasan dibagi menjadi beberapa tahap:
1) Ventilasi; yaitu masuknya campuran gas-gas kedalam dan keluar paruparu. Udara
bergerak masuk dan keluar paru-paru karena adanya selisih tekanan yang terdapat
atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot pernafasan.
2) Transportasi;
a. Difusi gas antara alveoli dan kapiler darah.
Adanya perubahan tekanan parsial oksigen antara alveoli dan pembuluh darah
kapiler mengakibatkan proses terjadinya difusi gas. Gas berdifusi dari alveoli ke
pembuluh kapiler darah melintasi membran alveoli yang tipis.

b. Transportasi gas
Transpotasi gas didefinisikan sebagai proses pengangkutan dari paru ke jaringan
ke paru melalui aliran darah. Proses transport gas. Gas terdiri dari traspor gas oksigen
dan karbondioksida.
c. Mekanika Pernapasan
Dalam setiap siklus pernafasan, agar udara dapat mengalir masuk ke paru-paru,
maka otot-otot pernafasan harus bekerja kuat untuk melawan daya elastik recoil dari
paru-paru dan torak, termasuk pula tahanan antara arus udara dengan saluran napas.
Kerja dari otot-otot pernafasan tersebut harus mampu membuat tekanan intra-alveolar
lebih rendah dari tekanan atmosfir. Akibat perbedaan tekanan ini, maka udara akan
masuk ke paru-paru. Pada inspirasi biasa tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai
-3 mmHg. Pada inspirasi dalam tekanan intraalveolinya dapat mencapai -30 mmHg.
Alat bantu pernafasan akan diperlukan bila ada pasien yang otot-otot pernafasannya
tidak mampu menghasilkan tekanan negatif yang adekuat.
Pada saat ekspirasi, udara akan keluar jika tekanan intraalveolar lebih besar dari
pada tekanan atmosfir. Hal ini terjadi saat otot-otot pernapasan kembali ke posisi
rileks. Pada ekspirasi biasa tekanan intraalveoli berkisar antara +1 mmHg sampai +3
mmHg. Diafragma akan bergerak ke atas, sehingga akan menekan paru-paru yang
menyebabkan peningkatkan tekanan intraalveoli berkisar antara +1 mmHg sampai +3
mmHg. Diafragma akan bergerak ke atas, sehingga akan menekan paruparu yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraalveolur. Demikian pula dengan otot-otot
intracostal, pada saat bergerak ke posisi rileks, maka sangkar torak akan turun ke
posisi preinspirasi.
Hal ini juga menyebabkan penekanan paru dan peningkatan tekanan intraaveolar.
Walaupun masih kontroversi, proses ekspirasi ini dikatakan merupakan proses yang
pasif, akibat adanya daya recoil paru-paru. Namun disisi lain, ada suatu studi yang
menemukan bahwa proses ekspirasi adalah proses yang aktif, dimana terjadi aktifitas
otot-otot inspirasi yang bekerja secara ekstrensik/memanjang. Jika tidak ada aktifitas
dari otot-otot tersebut, maka ekspirasi akan berlangsung secara singkat, sehingga arus
udara ekspirasi akan cepat. [5]
Fisiologi sistem pernafasan (mekanisme pernapasan): hubungan antara tekanan di
dalam dan di luar paru penting dalam ventilasi. Gradien tekanan transmural
meregangkan paru agar paru memengaruhi laju aliran udara. Rasistensi saluran napas
memengaruhi laju aliran udara. Resistensi saluran napas meningkat secara abnormal
pada penyakit paru obstruktif kronis. Sifat elastik paru disebabkan oleh serat elastin
dan tegangan permukaan alveolus. Surfaktan paru menurunkan tegangan permukaan
dan berperan dalam stabilitas paru. Bernapas dalam keadaan normal memerlukan
hanya sekitar 3% pengeluaran energi total. Paru dalam keadaan normal beroperasi
‘separuh kapasitas’. Ventilasi alveolus lebih kecil daripada ventilasi paru karena
adanya ruang mati. Kontrol lokal bekerja pada otot polos bronkiolus dan arteriol
untuk menyesuaikan aliran udara ke aliran darah. (Pertukaran Gas): gas mengalir
menuruni gradien tekanan parsial. O2 masuk dan CO2 meninggalkan darah di paru
menuruni gradien tekanan parsial. Terdapat beberapa faktor selain gradien tekanan
parsial yang dapat memengaruhi kecepatan pemindahan gas. Pertukaran gas
menembus kapiler sistemik juga terjadi dengan menuruni gradien tekanan parsial.
(Transpor Gas): sebagian besar O2 dalam darah di angkut dalam keadaan terikat
ke hemoglobin. PO2 adalah faktor utama yang menentukan persen saturasi
hemoglobin. Hemoglobin mendorong perpindahan neto O2 di tingkat alveolus dan
jaringan. Terdapat beberapa faktor di tingkat jaringan yang mendorong pelepasan O2
dari hemoglobin. Hemoglobin memiliki afinitas yang jauh lebih besar terhadap
karbon monoksida daripada terhadap O2. Sebagian besar CO2 diangkut dalam darah
sebagai bikarbonat. Berbagai keadaan respirasi ditandai oleh kelainan kadar gas darah.
(Kontrol Pernapasan): pusat pernapasan di batang otak membentuk pola bernapas
yang ritmis. Besar ventilasi disesuaikan sebagai respons terhadap tiga faktor kimiawi,
yaitu PO2, PCO2, dan H+. Penurunan PO2 arteri meningkatkan ventilasi hanya
sebagai mekanisme darurat. H+ yang dihasilkan oleh CO2 di otak dalam keadaan
normal adalah pengatur utama ventilasi. Penyesuaian ventilasi sebagai respons
terhadap perubahan H+ arteri penting pada keseimbangan asam-basa. Olahraga sangat
meningkatkan ventilasi melalui mekanisme yang belum jelas. Ventilasi dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kebutuhan terhadap
pertukaran gas. Selama dispnea, seseorang merasa ‘sesak napas’. [6]
Sumber: [2][3][4]
2. Jelaskan definisi batuk dan sesak!

Batuk merupakan suatu mekanisme refluk yang sangat penting untuk menjaga jalan
nafas agar tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk
pada jalan pernafasan. Tidak hanya lendir yang akan disingkirkan oleh reflex batuk,
tetapi juga gumpalan darah dan benda asing (Djojodibroto, 2009). Batuk merupakan
masalah serius yang tidak diperdulikan (Chunk KF, Pavord ID, 2008). Batuk berperan
sebagai pertahanan tubuh dalam menghadapi penyakit atau radang pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh lendir (riak). Pengobatan terhadap batuk yang paling
tepat adalah mengobati atau menghilangkan penyebabnya (Sartono,1993).
Batuk secara definisi dapat diklasifikasikan menurut waktu dan produktifnya. batuk
menurut waktu dibagi menjadi tiga yaitu batuk akut, batuk subakut dan batuk kronis.
Pertama, batuk akut adalah batuk yang berlangsung selama kurang dari tiga minggu.
Kedua, batuk subakut merupakan batuk yang berlangsung selama tiga hingga delapan
minggu. Ketiga, batuk kronis yaitu batuk yang terjadi dalam waktu lebih dari delapan
minggu (Dicpinigaitis, 2009).
Batuk menurut produktifnya dibagi menjadi dua yaitu batuk produktif dan batuk
tidak produktif. Pertama, batuk produktif adalah batuk yang menghasilkan dahak atau
lendir (sputum) sehingga lebih dikenal dengan sebutan batuk bedahak. Kedua, batuk
tidak produktif adalah batuk yang tidak menghasilkan dahak (spetum) atau lebih dikenal
dengan sebutan batuk kering (junaidi, 2010).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya batuk, yaitu virus, bakteri, dan
juga asap rokok. Seorang perokok aktif atau mantan perokok memiliki faktor resiko
untuk menderita batuk kronis. Seseorang yang terus menerus terpajan asap rokok bisa
menyebabkan batuk dan kerusakan paru-paru ( O’Regan AW, 2004).
Dari data yang didapat konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 berjumlah 182
milyar batang yang merupakan urutan kelima di antara 10 negara di dunia dengan
konsumsi tertinggi pada tahun yang sama (Balitbangkes Depkes, 2004).
Penyebab batuk lain adalah karena adanya bakteri Bordetella pertussis yang
merupakan penyebab dari batuk rejan. Batuk rejan atau pertusis adalah suatu penyakit
yang menular. Berdasarkan data WHO menyebutkan bahwa terjadi sekitar 30 sampai 50
juta kasus per tahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus (WHO, 2012).

Terapi untuk mengatasi batuk terdiri dari antitusif, ekspektoran dan mukolitik.
Mukolitik adalah obat yang dapat mengencerkan secret saluran nafas dengan jalan
mencegah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas,
2008). Antitusif adalah obat batuk yang digunakan untuk batuk kering (batuk yang tidak
disertai dengan dahak), sedangkan ekspektoran adalah obat batuk yang digunakan untuk
batuk berdahak (sholekhudin, 2014). Salah satunya obat mukolitik adalah bromheksin
yang sering digunakan untuk obat batuk oleh masyarakat

Sesak napas sering disebut sebagai dispnea, napas pendek, breathlessness, atau sh
ortness of breath. Dispnea adalah gejala subjektif berupa keinginan penderita untuk
meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Karena sifatnya subjektif, dispn
ea tidak dapat diukur. Keluhan dispnea tidak selalu disebabkan karena penyakit; serin
g pula terjadi pada keadaan sehat tetapi terdapat stres psikologis.
Seperti halnya rasa nyeri, dispnea sebagai gejala bersifat subjektif, tingkat kepara
hannya dipengaruhi oleh respon penderita, kepekaan (sensitivitas) serta kondisi emos
i. Tingkatan dispnea dapat dirasakan sangat berbeda oleh masing-masing penderita w
alaupun sebetulnya kondisinya sama. Meskipun sifatnya subjektif, dispnea dapat dite
ntukan dengan melihat adanya upaya bernapas aktif dan upaya menghirup udara lebih
banyak (labored and distressful breathing).
Dalam mengevaluasi dispnea, perlu diperhatikan keadaan ketika dispnea terjadi.
Dispnea dapat terjadi pada perubahan posisi tubuh. Dispnea yang terjadi pada posisi
berbaring disebut ortopneu, biasanya disebabkan karena gagal jantung. Ortopneu juga
terjadi pada penyakit paru tahap lanjut dan paralisis diafragma bilateral. Platipneu ad
alah kebalikan dari ortopneu, yaitu dispnea yang terjadi pada posisi tegak dan akan m
embaik jika penderita dalam posisi berbaring; keadaan ini terjadi pada abnormalitas v
askularisasi paru seperti pada COPD berat. Disebut trepopneu jika dengan posisi bert
umpu pada sebelah sisi, penderita dispnea dapat bernapas lebih enak; ditemui pada pe
nyakit jantung (perubahan posisi menyebabkan perubahan ventilasi-perfusi). Paroxy
smal nocturnal dyspnea (PND) adalah sesak napas yang teijadi tiba-tiba pada saat ten
gah malam setelah penderita tidur selama beberapa jam, biasanya terjadi pada pender
ita penyakit jantung. Exertional dyspnea adalah dispnea yang disebabkan karena mela
kukan aktivitas. Intensitas aktivitas dapat dijadikan ukuran beratnya gangguan napas,
misal setelah berjalan 50 langkah atau setelah menaiki 4 anak tangga timbul sesak na
pas. Dispnea yang terjadi ketika berjalan di jalan datar, tingkatan gangguan napasnya
lebih berat jika dibandingkan dengan dispnea yang timbul ketika naik tangga. Keluha
n sesak napas juga dapat disebabkan oleh keadaan psikologis. Jika seseorang mengel
uh sesak napas tetapi dalam exercise tidak timbul sesak napas maka dapat dipastikan
keluhan sesak napasnya disebabkan oleh keadaan psikologis.[4]

3. Jelaskan jenis-jenis dahak!

Sputum adalah lendir dan materi lainnya yang dibawa dari paru-paru, bronkus, dan trakea yang
mungkin dibatukkan dan dimuntahkan atau ditelan.

Orang dewasa normal membentuk sputum ± 100 ml/hari. Jika produksi berlebihan, proses
pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum akan tertimbun.

Ada 4 jenis sputum yang mempunyai karakteristik yang berbeda :


1. Serous :
- Jernih dan encer, pada edema paru akut.
- Berbusa, kemerahan, pada alveolar cell cancer.
2. Mukoid
Mukoid yaitu kondisi sputum dalam keadaan berlendir dan kental
- Jernih keabu-abuan, pada bronkitis kronik. (terbentuk perlahan dan terus meningkat)
- Putih kental, pada asma.
3. Purulen.
Purulen yaitu kondisi sputum dalam keadaan kental dan lengket.
Mukopurulen yaitu kondisi sputum dalam keadaan kental, kuning kehijauan.

- Kuning, pada pneumonia. (infeksi)


- Kehijauan, pada bronkiektasis, abses paru. (penimbunan nanah)
4. Rusty (Blood-stained)
- Kuning tua/coklat/merah-kecoklatan seperti warna karat, pada Pneumococcal
pneumonia dan edema paru.

Hal-ha1 yang perlu ditanyakan lebih lanjut mengenai sputum adalah:


1) Jumlah

Produksi sputum purulen yang banyak dan dipengaruhi posisi tubuh khas untuk
bronkiektasis. Produksi sputum purulen dalam jumlah besar yang mendadak pada suatu episode
rnenunjukan adanya ruptur abses paru atau empiema ke dalam bronkus. Sputum encer dan
banyak yang disertai dengan bercak kernerahan pada pasien dengan sesak napas rnendadak
menunjukan adanya edema paru. Sputum yang encer dan banyak bisa juga didapatkan pada
alveolar cell cancer.

2) Warna
Warna sputum dapat membantu dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit.
Sputum yang jernih atau mukoid selain didapatkan pada PPOK (tanpa infeksi) bisa juga
diternukan akibat adanya inhalasi zat iritan. Sputum kekuningan bisa didapatkan pada infeksi
saluran napas bawah akut (karena adanya neutrofil aktif), danjuga pada asma (karena
mengandung eosinofil). Sputum kehijauan yang rnengandung neutrofil yang rnati didapatkan
pada bronkiektasis dan dapat mernbentuk 3 lapisan yang khas yaitu lapisan atas yang rnukoid,
lapisan tengah yang encer dan lapisan bawah yang purulen Sputum purulen biasanya berwarna
kehijauan karena adanya sel-sel neutrofil yang lisis serta produk hasil katabolisrnenya akibat
adanya enzirn green pigmentedenzyme verdoperoxidase. Pada pneumococcal pneumonia
stadium awal dapat diternukan sputum yang berwarna coklat kernerahan akibat adanya
inflamasi parenkirn paru yang rnelalui fase hepatisasi rnerah. Rusty (Blood-stained sputum)
menunjukan adanya hemoglobin/sel eritrosit. Sputum yang berbusa dengan bercak darah yang
difus dapat terjadi pada edema paru akut.

3) Bau sputum
Sputum yang berbau busuk rnenunjukkan adanya infeksi oleh kuman-kurnan anaerob dan dapat
terjadi pada bronkiektasis dengan infeksi sekunder, abses paru dan empierna.

4) Solid material

Pada asma dan allergic broncho pulmonary aspergillosis dapat terjadi akumulasi sekret
yang kental pada saluran napas. Bila sekret ini dibatukkan keluar akan tarnpak struktur yang
rnenyerupai cacing yang merupakan cetakan bronkus.[5]

4 Jelaskan macam-macam bunyi paru pada manusia!

Jenis Suara Paru-Paru

Suara paru-paru terjadi karena adanya turbulensi dari aliran udara saat udara memasuki
saluran pernafasan. Pada saat tarik nafas (inspirasi),udara yang masuk mengalir dari saluran yang
lebar ke saluran yang lebih sempit menuju ke alveoli. Udara yang menabrak dinding saluran
pernafasan menyembabkan terjadinya turbulen dan menghasilkan suara. Sedangkan pada saat
buang nafas (ekspirasi), udara yang masuk mengalir ke arah yang berlawanan menuju saluran
udara yang lebih lebar. Ini mengakibatkan turbulen yang terjadi lebih sedikit, sehingga pada
ekspirasi normal terdengar suara yang lebih kecil dibandingkan pada saat inspirasi (Ramadhan,
M,Z. 2012). Suara paru-paru dibagi dalam beberapa kategori yang didasarkan pada  pitch,
intensitas, lokasi, dan rasio antara inspirasi dan ekspirasi. Suara paru-paru secara umum dibagi ke
dalam tiga kategori, yaitu suara paru-paru normal, suara paru-paru abnormal, dan suara tambahan
(adventitious sound ). Dapat dilihat pada berikut pembagian suara paru-paru menurut Ramadhan,
M, Z (2012).

SUARA PARU-PARU
Normal Abnormal Adventitious
 Tracheal  Absent/decreased  Crackles
 Hars vesicular  Wheeze
 Vesicular
 Bronchial  Stridor
Bronchovesicular Rhonchi
 Pleural Rub

A. Suara paru paru normal

Suara paru-paru normal, dapat dibagi lagi menjadi 4 bagian. Pembagian ini didasarkan pada
posisi stetoskop pada saat auskultasi (Ramadhan, M,Z. 2012).. Pembagian yang dimaksud adalah
sebagai berikut :

1. Tracheal Sound , yaitu suara yang terdengar pada bagian tracheal, yaitu pada  bagian
larik dan pangkal leher.

2.  Bronchial Sound , yaitu suara yang terdengar pada bagian bronchial, yaitu suara pada
bagian percabangan antara paru-paru kanan dan paru-paru kiri.

3.  Bronchovesicular Sound , suara ini didengar pada bagian ronchus, yaitu tepat  pada
bagian dada sebelah kanan atau kiri.

4. Vesicular Sound , suara yang dapat didengar pada bagian vesicular, yaitu  bagian dada
samping dan dada dekat perut.

Gambar 2.3 suara paru-paru berdasarkan lokasi

auskultasi,[6]

B. Suara paru-paru abnormal


Suara Paru-Paru Abnormal Pada saat dilakukan auskultasi, tidak jarang dapat didengar suara
paru-paru yang normal (normal sound ) namun terdengar di tempat yang tidak seharusnya pada
bagian interior dan posterior. Hal ini menyebabkan suara paru-paru yang didengar digolongkan
pada suara abnormal.

Beberapa bagian dari suara abnormal menurut Ramadhan,M,Z (2012) seperti berikut :

a.  Decreased Breath Sound (Absent)

Sering ditemukan suara paru-paru tidak terdengar pada bagian dada atau dapat dikatakan
suara menghilang yang dapat berarti terdapat suatu masalah pada  bagian
bagiantersebut. tersebut. Masalah Masalah yang terjadi terjadi dapat disebabkan
disebabkan oleh penyakit penyakit seperti seperti daging yang tumbuh hingga
paru-paru yang mengecil.

b.  Bronchial

Terdengar suara inspirasi keras disusul dengan ekspirasi yang lebih keras lagi. Suara
bronchial  sangat nyaring, nyaring, pitch tinggi, dan tinggi, dan suara terdengar dekat
terdengar dekat dengan stetoskop. Terdapat gap antara fasa inspirasi dan ekspirasi pada
pernafasan, dan suara ekspirasi terdengar lebih lama dibanding suara inspirasi. Jika suara ini
terdengar dimana-mana kecuali di manubrium, hal tersebut biasanya mengindikasikan
terdapat daerah konsolidasi yang biasanya berisi udara tetapi  berisi air.

c.  Harsh Vesicular

Suara pernafasan vesikular merupakan suara pernafasan normal yang paling umum dan
terdengar hampir di semua permukaan paru-paru. Suaranya lembut dan pitch rendah.
Suara inspirasi lebih panjang dibanding suara ekspirasi. Apabila suara terdengar lebih kuat dari
biasanya dapat berarti tergolong suara abnormal dan dapat digolongkan sebagai harsh
vesicular .

C. Suara Paru-paru tambahan

Kategori terakhir dari suara paru-paru yaitu suara tambahan (adventitious sound ). Suara
paru-paru tambahan ini muncul karena adanya kelainan pada paru-paru yang disebabkan
oleh penyakit. Beberapa contoh suara tambahan pada paru-paru menurut Ramadhan,M,Z
(2012), yaitu

a. Crackles

Crackles adalah jenis suara yang bersifat discontinuous (terputus-putus), pendek, dan


kasar. Suara ini umumnya terdengar pada proses inspirasi. Suara crackles  ini juga sering
disebut dengan nama rales  atau crepitation. Suara ini dapat diklasifikasikan sebagai fine,
yaitu memiliki pitch tinggi, lembut, sangat singkat. Atau sebagai coarse, yaitu  pitch 
rendah, lebih keras, tidak terlalu singkat. Spectrum frekuensi suara crackles antara 100-
2000Hz (Sovijarvi, et al. 2000).

Suara crackles dihasilkan akibat dua proses yang terjadi. Proses pertama yaitu
ketika terdapat saluran udara yang sempit tiba-tiba terbuka hingga menimbulkan suara
mirip seperti suara “plop” yang terdengar saat bibir yang dibasahi tiba-tiba dibuka.
Apabila terjadi di daerah bronchioles maka akan tercipta fine crackles crackles. Proses
kedua, ketika gelembung udara keluar pada  pulmonary  pulmonary edema. Kondisi yang
berhubungan dengan terjadinya crakle :

•  Asma

•  Bronchiectasis

• Chronic bronchitis

• ARDS

•  Early CHF

• Consolidation

•  Interstitial lung disease

•  Pulmonary edema

b. Wheeze

Suara ini dihasilkan oleh pergerakan udara turbulen melalui lumen jalan nafas yang
sempit. Wheeze merupakan jenis suara yang bersifat kontiniu, memiliki  pitch tinggi,
lebih sering terdengar pada proses ekspirasi. Suara ini terjadi saat aliran udara melalui
saluran udara yang menyempit karena sekresi, benda asing ataupun luka yang
menghalangi. Jika Wheeze  terjadi, terdapat perubahan setelah bernafas dalam atau
batuk. Wheeze  yang terdengar akan menandakan peak ekspirasi yang 50% lebih rendah
dibandingkan dengan pernafasan normal. Terdapat dua macam suara Wheeze,

1. Suara monophonic yaitu suara yang terjadi karena adanya blok pada satu saluran nafas,
biasanya sering terjadi saat tumor menekan dinding bronchioles.

2. Suara polyphonic yaitu suara yang terjadi karena adanya halangan pada semua saluran
nafas .

Kondisi yang menyebakan wheezing  :

•  Asthma

• CHF

• Cronic bronchitis

• COPD

•  Pulmonary edema

C.  Ronchi  

Ronchi  merupakan jenis suara yang bersifat kontiniu,  pitch  rendah, mirip seperti
Wheeze. Tetapi dalam ronchi jalan udara lebih besar, atau sering disebut coarse ratling sound.
Suara ini menunjukkan halangan pada saluran udara yang lebih besar oleh sekresi. Kondisi yang
berhubungan dengan terjadinya ronchi yaitu :

•  Pneumonia

•  Asthma

•  Bronchitis
•  Bronkopasme

D. Stridor

Merupakan suara Wheeze  pada saat inspirasi yang terdengar keras pada trachea. Stridor  
menunjukkan indikasi luka pada trachea atau pada larynx sehingga sangat dianjurkan
pertolongan medis.

E. Pleural Rub

 Pleural  Pleural rub  merupakan suara yang terdengar menggesek atau menggeretak yang
terjadi saat permukaan pleural membengkak atau menjadi kasar dan bergesekan satu dan
lainnya. Suaranya dapat bersifat kontiniu atau diskontiniu. Biasanya terlokasi

pada suatu tempat di dinding di dinding dada dan terdengar selama fase inspirasi inspirasi
atau ekspirasi Beberapa kondisi yang menyebabkan pleural rub :

•  Pleurisy

•  Pneumonia

• Tuberculosis

•  Pleural effusion.[7]

5. Jelaskan bentuk abnormal pada dada manusia!

Secara normal, perbandingan antara diameter anteroposterior (jarak dari dada ke


punggung) dan diameter lateral (lebar dada) adalah 1:2. Dada di inspeksi terutama
mengenai postur, bentuk dan kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit.Bentuk dada
berbeda antara bayi dan orang tua dewasa. Dada bayi berbentuk melingkar dengan
diameter dari depan kebelakang (anterior-posterior) sama dengan diameter tranversal.
Pada orang dewasa perbandingan antara diameter artero posterior dengan diameter
tranversal adalah 1:2.
Bentuk dada menjadi tidak normal pada keadaan keadaan tertentu misalnya :

1. Pigeon chest (Pectus Carinatum) yaitu bentuk dada yang ditandai dengan diameter
tranversal sempit diameter artero-posterior membesar dan sternum sangat menonjol ke
depan. Bentuk dada ini terjadi ketika ada pergeseran yang menyebabkan "lengkungan
keluar" pada sternum dan tulang iga. Pada keadaan ini juga terjadi peningkatan diameter
anteroposterior. Pigeon chest dapat terjadi pada pasien dengan penyakit rikets, sindrom
marfan, atau kifoskoliosis berat.

2. Funnel chest (Pectus Excavatum) Dada corong merupakan bentuk dada yang tidak
normal sebagai kelainan bawaan yang mempunyai ciriciri berlawanan dengan pingeon
chest. Ciri-ciri bentuk funnel chest adalah sternum menyempit kedalam dan diameter
artero posterior yang mengecil. Bentuk dada ini terjadi ketika adanya gangguan (defek)
perkembangan tulang paru yang menyebabkan depresi ujung bawah sternum (tulang
tengah di dada).

Pada bentuk dada seperti ini rentan terjadi penekanan jaringan terhadap jantung dan
pembuluh darah besar, sehingga murmur (suara bising) pada jantung sering terjadi.
Funnel chest dapat terjadi pada pasien dengan penyakit rikets atau sindrom marfan.

3. Barel chest yang ditandai dengan diameter artero posterior tranversal yang mempunyai
perbandingan 1:1. ini dapat diamati pada pasien kifosis. Bentuk dada ini terjadi karena
hasil hiperinflasi paru. Hiperinflasi ialah terjebaknya udara akibat saluran pernapasan
yang sempit/menyempit. Pada keadaan ini terjadi peningkatan diameter anteroposterior.
Penyakit yang bermanifestasikan barrel chest ini misalnya asma berat dan PPOK (jenis
emfisema).
4. Flat chest yaitu diameter anterior posterior memendek. Etiologinya adalah adanya
bilateral pleura pulmonary fibrosis

[8]

6. Jelaskan mekanisme gejala dari sesak dan batuk!

Mekanisme Gejala dari Sesak dan Batuk


1. Mekanisme Sesak

kemampuan
mengembang dinding Tenaga yang diperlukan
Gangguan mekanik alat Kerja pernafasan
toraks atau paru menurun oleh otot-otot pernafasan
pernafasan meningkat
serta resistensi sal.napas meningkat
meningkat

Merangsang reseptor Bahan hasil metabolit Kebutuhan oksigen


Sistem saraf pusat
sensori di otot meningkat meningkat

Sensasi sesak napas

2. Mekanisme Batuk
Refleks Batuk

Bronkus dan trakea sangat sensitif terhadap sentuhan ringan, sehingga bila
terdapat benda asing atau penyebab iritasi lainnya walaupun dalam jumlah sedikit
akan menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina (tempat trakea bercabang
menjadi bronkus) adalah yang paling sensitif, dan bronkiolus terminalis dan
bahkan alveoli bersifat sensitif terhadap rangsangan bahan kimia korosif seperti
gas sulfur dioksida atau klorin. Impuls aferen yang berasal dari saluran pernapasan
terutama berjalan melalui nervus vagus ke medula otak. Di sana, suatu rangkaian
peristiwa otomatis digerakkan oleh lintasan neuronal medula, yang menyebabkan
efek sebagai berikut. Pertama, kira-kira 2,5 L udara diinspirasi secara cepat.

Kedua, epiglotis menutup; dan pita suara menutup erat-erat untuk menjerat
udara dalam paru. Ketiga, otot-otot abdomen berkontraksi dengan kuat mendorong
diafragma, sedangkan otot-otot ekspirasi lainnya, seperti interkostalis internus,
juga berkontraksi dengan kuat. Akibatnya, tekanan dalam paru meningkat secara
cepat sampai 100 mm Hg atau lebih. Keempat, pita suara dengan epiglotis
sekonyongkonyong terbuka lebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru ini
meledak keluar. Tentu saja, udara ini kadang-kadang dikeluarkan dengan
kecepatan 75 sampai 100 mil/ jam. Hal yang penting, adalah kompresi kuat pada
paru yang menyebabkan bronkus dan trakea menjadi kolaps melalui invaginasi
bagian yang tidak berkartilago ke arah dalam, akibatnya udara yang meledak
tersebut benar-benar mengalir melalui celah-celah bronkus dan trakea. Udara yang
mengalir dengan cepat tersebut biasanya membawa pula benda asing apa pun yang
terdapat dalam bronkus atau trakea.

3. Mekanisme Batuk Berdahak

Hipersekresi
Infeksi atau iritasi Sekresi sel goblet Produksi mucus
mucus, hipertrofi
saluran napas meningkat berlebihan
kel. Submukosa

Jalan napas Radangan batuk


Batuk berdahak
hiperaktif aktif

Seluruh saluran napas, dari hidung sampai bronkiolus terminalis,


dipertahankan agar tetap lembap oleh lapisan mukus yang melapisi seluruh
permukaan. Mukus ini disekresikan sebagian oleh sel goblet mukosa dalam
lapisan epitel saluran napas, dan sebagian lagi oleh kelenjar submukosa yang
kecil. Selain untuk mempertahankan kelembapan permukaan, mukus juga
menangkap partikel-partikel kecil dari udara inspirasi dan menahannya agar tidak
sampai ke alveoli. Mukus itu sendiri dikeluarkan dari saluran napas dengan cara
sebagai berikut.

Seluruh permukaan saluran napas, baik dalam hidung maupun dalam


saluran napas bagian bawah sampai sejauh bronkiolus terminalis, dilapisi oleh
epitel bersilia, dengan kira-kira 200 silia pada setiap sel epitel. Silia ini terus-
menerus "mendorong" dengan kecepatan 10-20 x/detik dengan mekanisme yang
telah dijelaskan pada Bab 2, dan arah "kekuatan mendayungnya" selalu mengarah
ke faring. Dengan demikian, silia dalam paru mendorong ke arah atas, sedangkan
silia dalam hidung mendorong ke arah bawah. Dorongan yang terus-menerus ini
menyebabkan selubung mukus ini mengalir dengan lambat, pada kecepatan
beberapa milimeter per menit, ke arah faring. Kemudian mukus dan partikel-
partikel yang dijeratnya ditelan atau dibatukkan keluar.[9]

7. Jelaskan hubungan gejala dan merokok!

Perokok aktif berisiko untuk terkena kanker hati dan paru, bronkitis kronis, emphysema,
gangguan pernafasan, kerusakan dan luka bakar, berat badan rendah dan perkembangan yang
terhambat pada bayi (Center for The Advancement of Health dalam Taylor 2006). Dampak rokok
bahkan sudah terlihat pada perokok di umur 20-an yaitu terdapat kerusakan permanen pada
saluran kecil di paru-paru dan pembuluh darah mereka serta cairan dari paru-paru perokok
menunjukkan peningkatan sel radang dan meningkatnya level kerusakan pada paru-paru (U.S.
DHHS, dalam Slovic, 2001). Perokok yang tidak berhenti sebelum berusia 35 tahun memiliki
peluang sebesar 50% meninggal disebabkan oleh penyakit yang berkaitan dengan rokok (Doll, et
al., dalam Mc.Vea, 2006).

Asap rokok yang terhirup oleh perokok pasif akan merangsang pelepasan radikal bebas yang
dapat menimbulkan jejas seluler. Jejas seluler tersebut akan merangsang lepasnya mediator-
mediator sehingga akan menyebabkan hipersekresi mukus, kerusakan epitel yang bersifat
ireversibel serta edema saluran napas. Oleh karena itu muncul gejala seperti batuk, sesak napas
dan jika dalam keadaan berat dapat terjadi penurunan kesadaran akibat hipoksia

Asap rokok mengandung bahan-bahan berbahaya yang dapat menyebabkan gangguan


pernapasan pada penderita asma. Bahan utama pada rokok yaitu tar, nikotin, karbon
monoksida, nitrogen oksida dan gas amoniak. Tar adalah bahan yang berupa substansi
hidrokarbon dimana dapat masuk ke dalam paru-paru melalui hantaran asap rokok. Di dalam
paru-paru tar akan menempel dan tersimpan pada selaput lender pembuluh sehingga
menghambat saluran udara ke dalam paru-paru.

Nikotin merupakan zat adiktif bersifat karsinogen yang dapat mempengaruhi saraf serta
peredaran darah. Di dalam darah anak terdapat kotinin atau nikotin aktif. Anak yang memiliki
anggota keluarga yang merokok di dalam rumah memiliki level kotinin lima kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok di dalam rumah.
Apabila level kotinin mencapai 10-12 ug/ml maka dapat menyebabkan komplikasi pada
kesehatan anak.

Selain itu nikotin dapat menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru-paru sehingga
resistensi aliran udara baik ke dalam maupun keluar paru-paru meningkat. Nikotin juga dapat
menyebabkan silia pada permukaan sel epitel lumpuh, padahal seharusnya silia terus bergerak
untuk memindahkan partikel dan cairan asing dari saluran pernapasan. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akumulasi debris dijalan napas sehingga menambah kesulitan
bernapas.

Karbon monoksida merupakan suatu zat yang dapat berikatan dengan hemoglobin dalam darah
sehingga darah tidak mampu mengikat oksigen dan tubuh akan kekurangan oksigen. Nitrogen
oksida adalah zat yang dapat merangsang bulu-bulu halus yang meliputi bronkial sehingga
cairan ekskresi di selaput lendir pada saluran pernapasan akan bertambah dan terjadi
pembesaran kelenjar getah bening di bronkial. Gas amoniak menyebabkan timbulnya lapisan
kuning pada permukaan lidah, memperbanyak air liur dan merangsang terjadinya batuk serta
radang pada mulut, kerongkongan dan faring Setiap asap rokok yang dihisap akan menyebabkan
kerusakan silia pada saluran napas.

Semakin banyak jumlah paparan asap rokok maka akan semakin banyak jumlah silia yang rusak.
Partikel di dalam asap rokok akan mengendap dalam lapisan mukus yang melapisi mukosa
bronkus sehingga aktivitas silia akan terhambat. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa juga
akan berkurang dan menyebabkan iritasi pada sel epitel mukosa. Gangguan aktivitas silia dapat
mengakibatkan munculnya gejala batuk kronik dan ekspetorasi. Apabila iritasi dan oksidasi di
saluran napas berlangsung terus menerus maka akan terjadi erosi epitel, pembentukan jaringan
parut, metaplasia dan penebalan lapisan skuamosa. Oleh karena itu, akan timbul stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat ireversib

Asap rokok yang terhirup akan mengaktifkan makrofag dan sel epitel di saluran pernapasan
yang melepaskan neutrofil dan faktor kemotaktik yaitu interleukin-8 dan leukotrien B 4. Neutrofil
dan makrofag tersebut akan melepaskan enzim protease yang dapat menghancurkan jaringan
ikat di parenkim paru. Hal itu menyebabkan terjadinya emfisema dan merangsang hipersekresi
mukus sehingga terjadi obstruksi saluran pernapasan.

Pada jalur saraf otonom, alergen yang masuk seperti asap rokok akan menyebabkan aktifnya sel
mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan epitel saluran napas. Sel mast dan
makrofag akan mengeluarkan mediator inflamasi yang membuat epitel jalan napas menjadi
lebih permeabel dan alergen akan lebih mudah untuk masuk ke dalam submucosa dan reaksi
yang terjadi akan meningkat. Pada beberapa keadaan reaksi asma, kerusakan epitel bronkus
oleh mediator dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast seperti pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap dan kabut. Reaksi asma pada keadaan tersebut terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang dapat menyebabkan pelepasan neuropeptid
sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida
tersebut yang nantinya menyebabkan bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lender dan aktivasi sel-sel inflamasi.[10][9]
8. Jelaskan DD!

PPOK

1. Definisi.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran pernapasan yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema)
yang bervariasi pada setiap individu.[11]

2. Epidemiologi
Prevalensi PPOK meningkat tajam seiring meningkatnya umur, dengan prevalensi
tertinggi pada kelompok usia 60-an. Prevalensinya jauh lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita, Penelitian tahun 2013 pada perokok >40 tahun menunjukkan
prevalensi PPOK di DKI Jakarta, Banten, dan
Jawa Barat adalah 5,4% di perkotaan dan 7.2% di pedesaan.[11]

3. Etiologi

1. Asap rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi
sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
rerata penurunan VEP1. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok
( Indeks Brinkman ) Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis,
karena dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. Perokok pasif (atau dikenal
sebagai environmental tobacco smoke- ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya
gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah inhalasi pertikel
dan gas[11]

2. Polusi udara

 Dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
 Diluar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel
fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok. Stres
oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan
aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan
dan anti oksidan memegang peranan penting pada patogenesi PPOK.

4. Infeksi sistem Pernafasan akut


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi
bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi
paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa.
5. Faktor Usia dan jenis kelamin
6. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1 antitrypsin
sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada
individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema
panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu
dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.[11]

4. Patofisiologi

Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi
normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum
dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.Beberapa pasien menderita PPOK
tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini belum diketahui.Inflamasi paru
diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase.Semua mekanisme ini mengarah
pada karakteristik perubahan patologis PPOK.

Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan neutrofil,
makrofag, dan limfosit.Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi
dengan sel-sel struktural dalam saluran napas dan parenkim paru-paru.

Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK.Biomarker


stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat dalam dahak,
kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK.Stres oksidatif lebih
lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan
partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi ( seperti makrofag
dan neutrophil ) diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada
pasien PPOK.Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di paru,
termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi lendir, dan
stimulasi eksudasi plasma meningkat. Perubahan patologis karakteristik PPOK
ditemukan di saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru.

Perubahan patologis akibat inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi
kronis di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural
akibat cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural
saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah
berhenti merokok.5 Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran
udara kecil berkorelasi dengan penurunan FEV 1 dan rasio FEV 1 /FVC.Penurunan FEV
1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.Hiperinflasi
mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional,
khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang
terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan.Hiperinflasi yang berkembang
pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas.

Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO 2 arteri dan tanda lain dari
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q). Obstruksi jalan napas perifer juga
menghasilkan ketidakseimbangan VA/Q, dan penggabungan dengan gangguan fungsi
otot ventilasi pada penyakit yang sudah parah akan mengurangi ventilasi, yang
menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya
pembuluh darah paru akan lebih memperburuk kelainan VA/Q.

Hipersekresi lender, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah gambaran dari
bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran udara.Sebaliknya, tidak
semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Hal ini disebabkan
karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya
kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh asap rokok
atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi
lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.[11]

5. Gejala Klinis

[11]
6. Diagnosis

1. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja 
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
 badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
 lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemfis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- ursed-lips breathing (mulut setengah terkatup /
mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater

 Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas
biasa atau pada ekspirasi paksa Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh

Penjelsan :
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer
Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulutmencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yangterjadi pada gagal napas
kronik.

3. Pemeriksaan Penunjang
1. Faal paru lengkap
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KRT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan
4. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai : 
Gagal napas kronik stabil
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
5. Radiologi
- CT-Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
 Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
6. Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan
7. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
8. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia
9. Kadar -1 antitripsin
Kadar antitripsin -1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin -1 jarang ditemukan di Indonesia.[11]

7. Penatalaksanaan
Non Farmakalogi :
Edukasi
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poloklonik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan
di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,
karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikandengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan soaial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
Pengetahuan dasar tentang PPOK
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (berhenti merokok)
Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu
diagnosis PPOK ditegakkan
Penggunaan obat-obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang
waktu tertentu atau kalau perlu saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi
oksigen
Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau dan sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
Mendeteksi dan menghinddari pencetus eksaserbasi
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Rehabilitasi PPOK
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ-organ lainnya.
Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan
gagal napas kronik.
Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik dengan intubasi
Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti
PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis
gas darah.

Farmakologi

Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
 Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
 Golongan agonis -2
Bentuk inhaler digunakan unttuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
 Kombinasi antikolinergik dan agonis -2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
 Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
(pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
 Kortikosteroid
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan
bila terbukti
uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg. Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk
glukokortikoid, kombinasi LABACs dan PDE-4.
 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.

 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous (misalnya
ambroksol,
erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan
sebagai pemberian rutin.

 Antitusif
Diberikan dengan hati-hati. 
 Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki riwayat
eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase-4 inhibitor, roflumilast dapat
mengurangi eksaserbasi, diberikan secara oral dengan glukokortikosteroid.
8. Komplikasi
 Gagal napas

- Gagal napas kronik

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

 Infeksi berulang’

 Kor pulmonal

 Pneumotoraks
9. Prognosis

Beberapa faktor merupakan indikator prognostik PPOK, di antaranya FEVI, tingkat


respons jalan napas, indeks massa tubuh (IMT) rendah, infeksi HIV penurunan kapasitas
olahraga, peningkatan kadar creactive protein (CRP), jenis kelamin laki- laki, dan adanya
emfisema pada pemeriksaan CT.

10. Pencegahan

 Mencegah terjadinya PPOK dengan menghindari asap rokok, hindari


polusi udara, hindari infeksi saluran pernapasan berulang.
 Mencegah perburukan PPOK dengan berhenti merokok, gunakan obat-
obatan adekuat, mencegah eksaserbasi berulang

ASMA BRONKIAL

1) Definisi
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang
trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi
sebagai peyempitan jalan napas (bronkus) secara periodik dan reversibel akibat
bronkospasme.[12]

2) Epidemiologi

Asma merupakan penyakit kronik serius yang dapat menyerang semua golongan
umur baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia asma
termasuk dalam 10 besar penyebab kesakitan dan kematian. Prevalensi asma di
seluruh dunia mencapai 300 juta, dan diprediksi akan meningkat hingga 400 juta
pada tahun 2025. [13]

3) Etiologi

Asma dapat dibagi dalam tiga kategori.

1. Asma ekstrinsik, atau alergi, ditemukan pada sejumlah kecil pasien


dewasa, dan disebabkan oleh alergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya
dimulai pada masa kanak-kanak dengan keluarga yang memiliki riwayat
penyakit atopik termasuk hay fever, ekzema, dermatitis, dan asma. Asma
alergik disebabkan oleh individu terhadap alergen (biasanya protein) dalam
bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu binatang halus, spora jamur, debu, serat
kain, atau yang lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau coklat.
Serangan terhadap alergen, meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil,
dapat mengakibatkan serangan asma.
2. Sebaliknya, pada asma intrinsik, atau idiopatik, ditandai dengan sering
tidak ditemukannya faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor nonspesifik
(seperti flu biasa, latihan fisik, atau emosi) dapat memicu serangan asma.
Asma intrinsik lebih sering timbul sebelum usia 40 tahun, dan serangan
sebelum infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial. Makin
lama serangan makin sering dan makin hebat, sehingga akhirnya keadaan ini
berlanjut menjadi bronkitis kronik dan kadang-kadang emfisema.

3. Banyak pasien menderita asma campuran, yang terdiri dari komponen-


komponen asma ekstrinsik dan intrinsik. sebagian besar pasien asma terus
berlanjut menjadi bentuk campuran; anak yang menderita asma ekstrinsik
sering sembuh sempurna saat dewasa muda.

Faktor presipitasi

1. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan
debu.

1. Stress

Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

2. Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.

3. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut. [12]

4) Patofisiologi
aktor-faktor lingkungan berinteraksi dengan factor-faktor intrinsic yang menimbulkan
reaksi asmatik.Pada Asma , dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan
terhadap berbagai rangsangan sehingga terjadi spasme otot polos yang periodic dan
menimbulkan konstriksi jalan napas berat.

Pada saat ada factor pencetus , antibody IgE yang melekat pada sel mast yang
mengandung histamin dan pada reseptor membrane sel akan memulai serangan asma
intrinsic.Ketika terpajan suatu antigen , antibody IgE akan berikatan dengan antigen
tersebut.

Pada pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut , sel-sel mast akan mengalami
degranulasi dan melepaskan mediator.Sel-sel mast dalam jaringan interstisial paru akan
terangsang dan melepaskan histamin dan leukotriene.Histamin akan terikat pada tempat-
tempat reseptor dalam bronkus besar tempa substansi ini menyebabkan pembengkakn
otot polos.Membran mukosa mengalami inflamasi , iritasi dan edema.

Leukotrien melekat pada tempat reseptor dalam bronkus yang lebih kecil dan
menyebabkan pembengkakan local otot polos.Leukotrien juga menyebabkan
prostaglandin bermigrasi melalui aliran darah ke dalam paru-paru dan dalam organ ini ,
prostaglandin meningkatkan efek kerja histamin.Histamin juga akan merangsang mucosa
untuk menyekresikan mucus secara berlebihan .Yang pada akhirnya semua efek tersebut
akan menyebabkan penyempitan lumen bronkus sehingga terjadi obstruksi jalan napas.

Sel-sel goblet menyekresikan mucus yang sangat lengket dan sulit dibatukkan
keluar sehingga pasien semakin batuk , memperdengarkan bunyi ronki serta mengi
bernada tinggi dan mengalami distress pernapasan yang bertambah berat.[14]

Penyempitan saluran napas atau obstruksi jalan napas ini dapat terjadi baik pada
saluran napas yang kecil , sedang maupun besar.Gejala mengi menandakan ada
penyempitan pada saluran napas besar , sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala
batuk dan sesak napas lebih dominan disbanding mengi.[4]

Pada saat inspirasi , lumen bronkus yang menyempit ini masih dapat sedikit
mengembang sehingga udara dapat masuk ke dalam alveoli.NAmun, pada saat ekspirasi ,
peningkatan tekanan intratorakal menyebabkan penutupan local lumen bronkus.Udara
bisa masuk tapi sulit untuk keluar.Terjadi kesulitas saat ekspirasi,Akibatnya , dada pasien
akan mengembang dan menyerupai tong sehingga disebut dada tong ( barrel chest)
sementara hal ini pada perkusi dapat menyebabkan bunyi hipersonor.

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui
daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan Pa02 mungkin merupakan kelainan
pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan
hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi
akibatnya pengeluaran C02 menjadi berlebihan sehingga PaC02 menurun yang kemudian
menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak
saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi
terjadinya pertukaran
gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat
serta terjadi peningkatan produksi C02.
Peningkatan produksi C02 yang disertai
dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi C02 (hiperkapnia) dan terjadi
asidosis respiratorik atau gaga1 napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan
asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan
shunting yaitu
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik. yang akibatnya
memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan
menimbulkan hal-ha1 sebagai berikut: 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2).
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi ventilasi tidak setara dengan
sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di
tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan: hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut

[14]
[4]

5) Menifestasi Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada,
dan asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya
batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan
mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah batuk varian asma. Bila hal yang terakhir ini dicuriga, perlu
dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sebelum bronkodilator atau uji
provokasi bronkus dengan metakolin. Pada asma alergik, sering hubungan antara
pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma
alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap
rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun cuaca perubahan.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan menjelang akhir minggu.

1. Serangan Episodik Batuk, Mengi dan Sesak napas.


2. Berat di dada
3. Pilek, Bersin
4. Sekret Mukoid, putih kadang-kadang Purulen.
5. Takipnea
6. Denyut nadi cepat
7. Pengeluaran keringat ( prespirasi ) yang banyak
8. Lapangan paru yang hipersonor saat perkusi
[4]

6) Langkah Diagnosis
1. Anamnesis:
Batuk, sesak, mengi, rasa berat di dada.
Diagnosis asma berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak,
mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-
batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani.
Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis
alergi, atau dermatitis atopik membantu diagnosis asma. gejala asma sering timbul
pada malam hari, tetapi dapat muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih
sering terjadi pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor
pencetus serangan. Dengan mengetahui faktor pencetus kemudian menghindarinya,
maka diharapkan gejala-gejala asma dapat mencegah

Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaltu pada asma
serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati
ada yang hilang sendiri. Tetapi biarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain
tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat
bervariasi dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada individu
sendiri misalnya gejala pada hari lebih sering muncul dibanding siang hari.
2. Pemeriksaan Fisik:
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan
cepat sampai sianosis dapat ditemukan pada pasien asma. Dalam praktek jarang
ditemukan kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai
pasien bukan asma yang memiliki, sehingga diperlukan pemeriksaan untuk diagnosis.

3. Pemeriksaan penunjang:
- Spirometri
- Uji Provokasi Bronkus
- Pemeriksaan Sputum
- Pemeriksaan Eosinofil total
- Uji Kulit
- Pemeriksaan kadar IgE total dan kadar IgE spesifik dalam sputum
- Foto rontgen dada
- Analisis Gas Darah.[4]

7) Penatalaksanaan
A. Medikamentosa :
1. Terapi pelega (Relivier)
Penghilang gejala (pereda). Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat
merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera.
Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek, kortikosteroid
sistemik, anti kolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 kerja pendek.
- Beta 2 Agonis kerja singkat : Salbutamol (meredakan bronkospasme pada asma) dosis
dewasa 2-4mg/hari , Inhalasi aerosol (dewasa 100-200 mcg 1-2 hirupan) 3-4x/hari.
2. Terapi pengontrol ( Controller)
Pencegah (pengontrol) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala
asma tetap tidak terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti-inflamasi dan
bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti-inflamasi khususnya
kortikosteroid.
- Kortikosteroid - Budesonide Dosis dewasa :200-1200 mcg/hari terbagi 2-4 dosis.
B. Non medikamentosa
1. Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter
2. Identifikasi faktor risiko
3. Kontrol yang teratur
4. Pola hidup sehat

8) Komplikasi
1. Pneumotoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergillosis bronkopulmoner alergik
5. Gagal nafas
6. Bronkitis.[5]

9) Pencegahan
 Berhenti merokok
 Hindari paparan asap rokok, debu, polusi udara, bau-bauan yang mengiritasi seperti
parfum, obat semprot serangga, detergen cucian
 Jangan memelihara hewan seperti anjing dan kucing
 Gunakan kasur dan bantal sitesis atau jika tidak ada, gunakan kain penutup yang
terbuat dari bahan sintesis
 Usahakan tidak memakai karpet di dalam ruamh/kamar tidur
 Jemur dan tepuk-tepuk kasur secara rutin.[15]
BRONKITIS KRONIS

A. Definisi
` Bronkitis Kronik adalah inflamasi pada bronkus yang disebabkan oleh irit
an atau infeksi.Pada bronchitis kronik , hipersekresi mucus serta batuk produktif
yang kronis berlangsung selama tiga bulan dalam satu tahun dan terjadi sedikitn
ya selama dua tahun berturut-turut.

B. Etiologi
Penyebab bronchitis kronik yang sering ditemukan meliputi :
1. Pajanan unsur iritan
2. Kebiasaan merokok
Ada banyak penyebab bronkitis kronis yang diketahui, tetapi faktor penye
bab yang paling penting adalah paparan asap rokok baik karena merokok aktif at
au inhalasi pasif.Penelitian eksperimental menunjukan merokok yang lama dapa
t menganggu pergerakan silia , menghambat fungsi makrofag alveolar dan akhir
nya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia kelenjar pengekresi mucus.(Harriso
n)
3. Predisposisi genetik
4. Pajanan debu organik atau anorganik
Orang yang berulang kali terpapar polutan lingkungan seperti debu atau ba
han kimia di udara seperti amonia dan sulfur dioksida memiliki risiko lebih ting
gi terkena bronkitis kronis.
5. Pajanan gas berbahaya
6. Infeksi saluran napas
(Patofisiologi Kowalak hal 239 dan Widysanto A, Mathew G. Chronic Bronchiti
s. [Updated 2021 Jul 17]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPear
ls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
C. Epidemiologi

 Terjadinya bronkitis kronis pada populasi umum telah didokumentasikan bervari


asi antara 3% sampai 7% dari populasi orang dewasa sehat.
 Namun, diperkirakan setinggi 74% di antara mereka yang didiagnosis menderita
PPOK. Banyak di antara mereka dalam populasi umum yang mengalami gejala
bronkitis kronis mungkin tidak memiliki diagnosis pernapasan yang pasti.
 Telah didokumentasikan bahwa subjek di bawah usia 50 tahun yang dinyatakan
sehat dan memiliki bronkitis kronis memiliki risiko morbiditas dan mortalitas ya
ng lebih tinggi jika dibandingkan dengan subjek yang sehat.
 Meningkatnya prevalensi bronkitis kronis diperkirakan terkait dengan bertamba
hnya usia, merokok, paparan pekerjaan, dan status sosial ekonomi.
 Kurang lebih 20 persen laki-laki dewasa menderita bronchitis kronik , namun ha
nya kecil darinya yang cacat secara klinis
 Berdasarkan semua survey, laki-laki lebih sering menderita bronchitis kronik dib
andingkan perempuan.Akan tetapi , dengan meningkatnya jumlah perokok pere
mpuan , prevalensi bronchitis pada kelompok perempuan(HARRISON)

D. Patofisiologi

Bronkitis kronik terjadi Ketika unsur-unsur iritan terhirup selama waktu yang la
ma.Unsur-unsur iritan ini menimbulkan inflamasi pada percabangan trakeobronk
ial, yang menyebabkan peningkatan produksi mucus dan penyemtan atau penyu
mbatan jalan napas.
Seiring berlanjutnya proses inf;amasi , perubahan pada sel-sel yang membentuk
dinding traktur respiratorius akan mengakibatkan resistensi jalan napas yang kec
il dan ketidakseimbangan ventilasi perfusi ( V/Q). yang berat sehingga menimb
ulkan penurunan oksigenasi darah arteri.

Bronkitis kronis mengakibatkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penin


gkatan jumlah sel-sel goblet, kerusakan silia, metaplasia skuamosa pada epitel k
olumner, dan infiltrasi leukositik serta limfositik pada dinding bronkus. (Lihat P
erubahan pada bronkitis kronis.)

Hipersekresi sel goblet akan menghalangi kebebasan gerak silia yang dalam kea
daan normal dapat menyapu debu, iritan serta mukus keluar dari jalan napas. Sei
ring penumpukan mukus dan debris dalam jalan napas, mekanisme pertahanan a
kan berubah dan orang yang mengalami perubahan mekanisme pertahanan pada
jalan napas ini lebih mudah terkena infeksi saluran napas.

Efek tambahan lainnya meliputi inflamasi yang menyebar luas, penyempitan jala
n napas dan penumpukan mukus di dalam jalan napas. Dinding bronkus mengala
mi inflamasi dan penebalan akibat edema serta penumpukan sel-sel inflamasi. S
elanjutnya efek bronkospasme otot polos akan mempersempit lumen bronkus. P
ada awalnya hanya bronkus besar yang terlibat inflamasi ini, tetapi kemudian se
mua saluran napas turut terkena. Jalan napas menjadi tersumbat dan terjadi penu
tupan, khususnya pada saat ekspirasi. Dengan demikian, udara napas akan terper
angkap di bagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi hipoventilasi yang m
enyebabkan ketidakcocokan V/O dan akibatnya timbul hipoksemia.

Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena hipoventilasi. Resistensi va


skuler paru meningkat ketika vasokonstriksi yang terjadi karena inflamasi dan k
ompensasi pada daerah-daerah yang mengalami hipoventilasi membuat arteri pu
lmonalis menyempit. Peningkatan resistensi vaskuler paru menimbulkan afterloa
d ventrikel kanan. Dengan terjadinya episode inflamasi berulang, terjadilah pem
bentukan parut pada jalan napas dan perubahan struktur yang permanen. Infeksi
respiratorius dapat memicu eksaserbasi akut dan dengan demikian dapat terjadi
gagal napas.
Pasien bronkitis kronis akan mengalami penurunan dorongan untuk bernapas. Hi
poksia kronis yang ditimbulkan menyebabkan ginjal menghasilkan eritroporetin,
yang akan menstimulasi produksi sel darah merah dan menimbulkan polisitemia.
Meskipun kadar hemoglobin tinggi, namun jumlah hemoglobin tereduksi (yang t
idak teroksigenasi sepenuhnya) yang mengalami kontak dengan oksigen rendah
sehingga terjadi sianosis.

E. Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala bronchitis kronik meliputi :

 Sputum yang banyak dan berwarna kelabu , putih ataupun kuning yang dihasilka
n oleh paru-paru
 Batuk produktif untuk mengeluarkan mucus yang diproduksi oleh paru-paru
 Dyspnea akibat obstruksi jalan napas pada percabangan trakeobronkial bagian b
awah
 Sianosis yang berhubungan dengan penurunan oksigenasi dan hipoksia seluler ;
penurunan pasokan oksigen ke dalam jaringan
 Penggunaan otot-otot aksesorius atau tambahan akibat upaya yang bersifat komp
ensasi untuk memasok lebih banyak oksigen ke dalam sel
 Takipnea akibat hipoksia
 Mengi akibat udara keluar melewati saluran pernapasan yang sempit
 Pemanjangan waktu ekspirasi akibat upaya tubuh untuk mempertahankan patens
i jalan napas
 Ronki akibat aliran udara melewati saluran napas yang sempit dan berisi mucus
(Patofisiologi kowalak)
F. Diagnosis
1. ANAMNESIS
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis Kronis adalah sebagai berikut:
 Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan
inhalasi iritan, udara dingin atau infeksi
 produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak
 dyspnea, Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat
 beraktifitas. Dyspnea penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait
 dengan luas mengi inspirasi atau ekspirasi. Pasien menggambarkan
 Dada sesak sering sebagai rasa peningkatan upaya untuk bernapas
 riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja
 Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polus
i udara (Alburquerque Journal dan PDPI, 2003)

2. PEMERIKSAAN FISIK
 Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan.
 Pada stadium yanglebih lanjut, didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan
mengi.
 Didapatkan juga tanda-tanda hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pad
a perkusi.
 Pasien yang dengan obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot pern
afasan tambahan duduk dalam posisi tripod.
 Didapatkan juga sianosis pada bibir dan kuku pasien.

a) Inspeksi
 Pursed lips breathing.
 Barrel chest
 Penggunaan otot bantu pernafasan
 Hipertrofi otot bantu pernafasan
 Edema tungkai bawah
 Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis,
gemuk, sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru.
 Sianosis di sentral dan perifer.

b) Palpasi
 Fremitus melemah

c) Perkusi
 Hipersonor

d) Auskultasi
  Suara nafas vesikuler normal atau melemah
  Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
  Eskpirasi memanjang
  Bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
- Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit bisa didapatkan meningkat ( Robbin, 2006 )
- Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
Analisa gas darah arteri mengungkapkan penurunan tekanan parsial oksigen dala
m darah arteri atau peningkatan tekanan parsial karbon dioksida dalam darah art
eri.
- Pada analisis sputum banyak mikroorganisme dan sel-sel neutrophil

2) Tes faal paru


- menunjukkan peningkatan volume residual
- penurunan kapasitas vital
- forced expiratory flow dengan kelenturan static
- kapasitas difusi yang normal
3) Elektrokardiografi dapat memperlihatkan aritmia atrium ; gelombang P yang anc
ip pada lead II,III serta aVF dan kadang-kadang hipertrofi ventrikel kanan

4) Foto rontgen toraks dapat memperlihatkan hiperinflamasi dan peningkatan corak


an bronkovaskuler. Tram-track appearance : penebalan dinding

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan bronkitis kronis adalah untuk meredakan gejala, menc
egah komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit. Tujuan utama tera
pi ditujukan untuk mengurangi produksi lendir yang berlebihan, mengendalikan
peradangan dan menurunkan batuk. Ini dicapai dengan intervensi non farmakolo
gis serta farmakologis.
1) Non Farmakologis
(1) Intervensi nonfarmakologis yang paling kritis adalah berhenti merokok. Berhe
nti merokok meningkatkan fungsi mukosiliar dan menurunkan hiperplasia sel go
blet. Berhenti merokok juga telah terbukti mengurangi cedera saluran napas yan
g mengakibatkan tingkat lendir yang terkelupas lebih rendah di sel trakeobronki
al.
(2) Rehabilitasi paru merupakan bagian penting dari pengobatan bronkitis kronis a
dalah rehabilitasi paru yang terdiri dari edukasi, modifikasi gaya hidup, aktivitas
fisik secara teratur dan menghindari paparan polutan yang diketahui baik di tem
pat kerja atau lingkungan tempat tinggal.
2) Intervensi farmakologis yang utama adalah sebagai berikut:

(1) Bronkodilator: Agonis reseptor -adrenergik kerja pendek dan panjang serta anti
kolinergik membantu dengan meningkatkan lumen jalan napas, meningkatkan fu
ngsi silia, dan dengan meningkatkan hidrasi lendir.
(2) Glukokortikoid: Mengurangi peradangan dan produksi lendir. Kortikosteroid in
halasi mengurangi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, ini dib
erikan di bawah pengawasan medis dan untuk jangka waktu yang singkat karena
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan osteoporosis, diabetes, dan hipe
rtensi.
(3) Terapi antibiotik: tidak diindikasikan dalam pengobatan bronkitis kronis namu
n terapi makrolida telah terbukti memiliki sifat anti-inflamasi dan karenanya mu
ngkin berperan dalam pengobatan bronkitis kronis.
(4) Inhibitor fosfodiesterase-4: mengurangi peradangan dan meningkatkan relaksa
si otot polos saluran napas dengan mencegah hidrolisis zat siklik adenosin mono
fosfat ketika terdegradasi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi.

H. Pencegahan
• Hindari merokok dan menjadi perokok pasif. Asap tembakau meningkatkan ris
iko bronkitis kronis dan emphysema.
• Berolahraga secara rutin dapat membantu memperkuat otot-otot pernafasan seh
ingga penderita bronkitis kronis dapat bernafas lebih baik.
• Hindari zat pencemar udara yang menyebabkan peradangan saluran nafas terse
but.
(Jurnal FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)

I. Komplikasi
• Infeksi saluran napas yang kambuhan
• Kor pulmoner ( hipertrofi ventrikel kanan disertai gagal jantung kanan) ak
ibat peningkatan tekanan diastolic-akhir ventrikel kanan
• Hipertensi pulmoner
• Gagal jantung yang mengakibatkan peningkatan tekanan vena , pembesara
n hati dan edema dependen
• Gagal napas akut
(kowalak )
J. Prognosis
Prognosis adalah pengetahuan akan kejadian mendatang atau perkiraan keadaan
akhir yang mungkin terjadi dari serangan penyakit (Dorland, 2002). Prognosis in
i dapat meliputi beberapa aspek, yaitu :

a. Quo ad vitam
Quo ad vitam merupakan ramalan mengenai hidup matinya penderita. Pada kasu
s bronkhitis yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak a
kan lebih dari 5-10 tahun. Kematian pasien karena pneumonia, empisema, gagal
jantung kanan, haemaptoe dan lainnya.
b. Quo ad sanam
Quo ad sanam merupakan ramalan mengenai kesembuhan pasien. Pada pasien b
ronkhitis tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien b
erobat pertama kali. Bila tidak ada komplikasi, prognosis brokhitis akut pada an
ak umumnya baik. Pada bronkhitis akut yang berulang. Bila anak merokok (aktif
dan pasif) maka dapat terjadi kecenderungan untuk menjadi bronkhitis kronik ke
lak pada usia dewasa (Ngastiyah, 2005).
c. Quo ad fungsionam
Quo ad fungsionam merupakan ramalan yang ditinjau dari segi fungsionalnya. P
ada kasus bronkhitis ini, prognosis quo ad fungsionamnya baik, dapat pulih sepe
rti sebelumnya.
d. Quo ad cosmeticam
Quo ad cosmeticam merupakan ramalan yang ditinjau dari segi kosmetik. Pada k
asus bronkhitis ini, prognosis quo ad cosmeticannya baik.
DAFTAR PUSTAKA

[1] “L. Sherwood,Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem,8th ed. Jakarta:


EGC, 2014. Hal 531-574.”
[2] “Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. edisi 8.”
[3] “Ganongs’s Review Of Medical Physiology 25th Ed.”
[4] “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.”
[5] “Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi VI, Hal. 482.”
[6] “Ramadhan, M,Z., 2012.”
[7] “Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.”
[8] “Bates, B; 1995, A Guide to Physical Examination and History Taking,
Sixth Edition, Lippincott.”
[9] “Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
12. Jakarta : EGC.”
[10] “Barners P. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med.
2000;343(4).”
[11] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik) Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan. 2016.
[12] “Price-Wilson Edisi 6 Vol.2 Hal.784.”
[13] “Jurnal Respirologi Indonesia Vol.4 No.1 Januari 2020.”
[14] “Kowalak-Welsh-Mayer, Buku Ajar Patofisiologi,2014.”
[15] “Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.”

Anda mungkin juga menyukai