Oleh :
Nama : Agus Suhardi
Nim : 2021-01-14091-003
2.1.3 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan sinar matahari, pemanasan dan sinar
ultraviolet. Terdapat 2 macam mycobacterium tuberculosis yaitu tipe human dan
bovin. Basil tipe human berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal
dari penderita TB paru dan orang yang rentan terinfeksi bila menghirup bercak
ludah ini (Nurrarif & Kusuma, 2015).
Menurut (Puspasari, 2019) Faktor resiko TB paru sebagai berikut:
1. Kontak dekat dengan seseorang yang memiliki TB aktif.
2. Status imunocompromized (penurunan imunitas) misalnya kanker, lansia,
HIV.
3. Penggunaan narkoba suntikan dan alkoholisme.
4. Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, termasuk diabetes, kekurangan
gizi, gagal ginjal kronis.
5. Imigran dari negara-negara dengan tingkat tuberkulosis yang tinggi misal
Asia Tenggara, Haiti.
6. Tingkat di perumahan yang padat dan tidak sesuai standart.
7. Pekerjaan misalnya petugas pelayanan kesehatan.
8. Orang yang kurang mendapat perawatan kesehatan yang memadai misalnya
tunawisma atau miskin.
2.1.4 Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit : (Puspasari, 2019)
a. Tuberkulosis paru
TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap
sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru
TB yang terjadi pada organ selain paru misalnya kelenjar limfe,
pleura, abdomen, saluran kencing, kulit, selaput otak, sendi dan tulang
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Klien baru TB: klien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
paru sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari
satu bulan (< 28 dosis).
b. Klien yang pernah diobati TB: klien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama satu bulan atau lebih (≥ 28 hari).
c. Klien berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
d. Klien kambuh: klien TB paru yang pernah dinayatakn sembuh dan
saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologi
e. Klien yang diobati kembali setelah gagal: klien TB paru yang pernah
diobati dan gagal pada pengobatan terakhir.
f. Klien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
klien TB paru yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up
(dikenal sebagai pengobatan klien setelah putus berobat).
g. Lain-lain: klien TB paru yang pernah diobati tetapi hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:
Pengelompokkan penderita TB berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari mycobacterium tuberculosis terhadap OAT:
a. Mono resisten (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
b. Poli resisten (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resisten (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): TB MDR sekaligus resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin,
Amikasin).
e. Resisten Rifampisin (TB RR): resisten terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi.
4. Klasifikasi penderita TB berdasarkan status HIV:
a. Klien TB dengan HIV positif
b. Klien TB dengan HIV negatif
c. Klien TB dengan status HIV tidak diketahui
2.1.5 Patofisiologi
Menurut Darliana (2011), Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari
pasien TB paru ketika pasien batuk, bersin, tertawa. Droplet nuclei ini
mengandung basil TB dan ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan melayang-
layang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB. Saat Mikrobacterium
Tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru maka dengan segera akan tumbuh
koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis, bakteri TB paru ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan
dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan
dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB
paru akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang
sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Sistem imun
tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan
makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-tuberkulosis melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat dalam alveoli, yang menyebabkan bronkopneumonia dan
infeksi awal terjadi dalam 2-10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan basil
yang masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan -jaringan fibrosa,
bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan menjadi nekrotik
membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi,
membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan
penyakit aktif. Setelah pemajaman dan infeksi awal, individu dapat mengalami
penyakit aktif karna gangguan atau respon yang inadekuat dari respon sistem
imun. Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman.
Dalam kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan bahan seperti keju dalam
bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran
penyakit lebih jauh. Tuberkel yang menyerang membentuk jaringan parut. Paru
yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut.
1. Terpapar Penderita TBC
Mycobacterium 2. Lingkungan Buruk
tuberculosis 3. Status imunocompromized
(penurunan imunitas)
TB PARU
B1 B2 B3 B4 B5 B6
2.1.7 Komplikasi
Menurut Wahid&Imam (2013), komplikasi yang muncul pada TB paru
yaitu :
1. Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
2. Bronki ektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) di paru.
3. Penyebaran infeksi keorgan lainnya seperti otak,tulang, persendian,
ginjal dan sebagainya.
4. Insufisiensi kardiopulmonal (Chardio Pulmonary Insufficiency).
5. Hemoptisis berat (pendarahan pada saluran nafas bawah) yang
mengakibatkan kematian karena terjadinya syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan pernafasan.
2 Bersihan jalan napas Bersihan jalan nafas (SLKI,L.01001, Manajemen Jalan Nafas Buatan (I.01012 Hal.
tidakefektif yang Hal18) 187)
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
penumpukan sputum, selama 1x7 jam diharapkan penurunan 1. Monitor posisi selang endotrakeal (ETT),
peningkatan sekresi produksi sekret, obstruksi jalan nafas terutama setelah mengubah posisi
sekret, dan untuk mempertahankan kepatenan 2. Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8
penurunan jalan nafas. Dengan kriteria hasil : jam
kemampuan batuk 1. Produksi sputum menurun skor 3. Monitor area stoma trakeostomi (mis.
(ketidakmampuan 5 Kemerahan, drainase, perdarahan)
batuk/batuk efektif). 2. Dispnea menurun skor 5 Terapeutik
(D.0001 Hal. 18) 3. Sulit berbicara sedang skor 3 1. Kurangi tekana balon secara periodik
4. Sianosis menurun skor 5 setiap shif
5. Frekuensi nafas membaik skor 2. Pasang oropharingeal airway (OPA)
5 untuk mencegah ETT tergigit
6. Pola nafas membaik skor 5 3. Cegah ETT terlipat (kinking)
4. Berikan pre0oksigenasi 100% selama 30
detik (3-6 kali ventilasi) sebelum dan
setelah pengisapan
5. Berikan volume pre-oksigenasi (bagging
atau ventilasi mekanik) 1,5 kali volume
tidal
6. Lakukan pengisapan lendir kurang dari
15 detik jika diperlukan (bukan secara
berkala/rutin)
7. Gantik fikasi ETT setiap 24 jam
8. Ubah posisi ETT secara bergantian (kiri
dan kanan) setiap 24 Jam
9. Lakukan perawatan mulut(mis, dengan
sikat gigi,kasa,pelembab bibir)
10. Lakukan perawatan trakeostomi
Edukasi
Jelaskan pasien dan/atau keluarga tujuan dan
prosedur pemasangan jalan nafas buatan
Kolaborasi
Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk
mocus plug yang tidak dapat di lakukan
pengisapan
3 Intoleransi aktifitas Toleransi aktivitas SLKI (L.05047 Manajemen energi (I.05178 hal. 176)
berhubungan dengan hal 149) Obsevasi
ketidakseimbangan Setelah di lakukan tindakan selama 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
antara suplai dan 1x7 jam di harapkan respon mengakibatkan kelelahan
kebutuhan oksigen fidiologis terhadap aktivitas yang 2. Monitor kelelahan fisik
(D.0057 Hal.126) membutuhkan tenaga dengan kriteria 3. Monitor pola dan jam tidur
hasil : 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
1. Frekuensi nadi meningkat skor 5 selama melakukan aktivitas selama
2. Saturasi oksigen meningkat skor 5 melakukan aktivitas
3. Kemudahan dalam melakukan Terapeutik
aktivitas sehari-hari meningkat 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan
skor 5 rendah stimulus (mis. Cahaya, suara,
4. Kecepatan berjalan meningkat skor kunjungan)
5 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif
5. Jarak berjalan meningkat skor 5 dan/atau aktif
6. Kekuatan tubuh bagian atas 3. Berikan aktivitas distraksi yang
meningkat skor 5 menenangkan
7. Kekuatan tubuh bagian bawah 4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika
meningkat skor 5 tidak dapat berpindah atau berjalan
8. Toleransi dalam menaiki tangga Edukasi
meningkat skor 5 1. Anjurkan tirah baring
9. Keluhan lelah menurun skor 5 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara
10. Dispnea saat aktivitas menurun bertahap
skor 5 3. Anjurkan menghubungi perawat jika
11. Dispnea setelah aktivitas tanda dan gejala kelelahan tidak
menurun skor 5 berkurang
12. Perasaan lemah menurun skor 5 4. Ajarkan strategi koping untuk
13. Aritmia saat aktivitas menurun mengurangi kelelahan
skor 5 Kolaborasi
14. Aritmia setelah aktivitas menurun 1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
skor 5 meningkatkan asupan makanan
15. Sianosis menurun skor 5
16. Warna kulit membaik skor 5
17. Tekanan darah membaik skor 5
18. Frekuensi nafas membaik skor 5
19. EKG iskemia membaik skor 5
4 Nyeri Akut (SDKI (SLKI L.08066 Hal. 145) Manajemen Nyeri (SIKI I.08238 Hal. 201)
D.0077 Hal. 172) Setelah dilakukan tindakan Observasi
Keperawatan 1x7 jam diharapkan 1. Identifikasi local, karakteristik, durasi,
nyeri menurun KH : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,.
Tingkat Nyeri 2. Identifikasi nyeri.
1. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal.
2. (5) 4. Identifikasi factor yang memperberat dan
3. Gelisah menurun (5) memperingan nyeri.
4. Meringis menurun (5) 5. Monitor efek samping penggunaan
5. Kesulitan tidur menurun (5) analgetik.
6. Pola tidur membaik (5) Terapeutik
Kontrol Nyeri 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
1. Kemampuan mengunakan teknik mengurangi rasa nyeri (mis.tarik napas
non-farmakologis meningkat (5) dalam, kompres hanagat/dingin).
2. Dukungan orang terdekat 2. Kontrol lingkungan yang memperberat
meningkat (5) rasa nyeri .
3. Pengunaan analgetik menurun (5) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
Penyembuhan luka 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
1. Pembentukan jaringan parut dalam pemilihan strategy meredakan
menurun. nyeri.
2. Peradangan luka menurun (5) Edukasi
3. Peningkatan suhu kulit menurun 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
(5). nyeri.
4. Infeksi menurun (5) 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
4. Anjurkan mengunakan analgetik secara
tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik .jika perlu
5 Defisit nutrisi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi
berhubungan dengan selama 1x7 jam diharapkan status 1. Identifikasi status nutrisi
factor psikologis nutrisi dapat membaik dengan kriteria 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
(keengganan untuk hasil: 3. Identifikasi makanan yang disukai
makan) (SDKI D.0019 1. Porsi makanan yang dihabiskan 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
Hal 56) meningkat skor 5 nutrient
2. Perasaan cepat kenyang menurun 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
skor 5 nasogastrik
3. Nyeri abdomen menurun skor 5 6. Monitor asupan makanan
4. Frekuensi makan membaik skor 5 7. Monitor berat badan
5. Nafsu makan membaik skor 5 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
perlu
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu
yang sesuai
4. Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika
perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
7 Gangguan eliminasi (L.04034 Hal.24) Manajemen eliminasi urine (I.04152)
Setelah dilakukan asuhan Observasi
urin berhubungan
keperawatan selama 1x7 jam 1. Monitor eliminasi urine
dengan penurunan diharapkan eliminasi urine membaik Terapeutik
dengan kriteria hasil : 1. Batasi asupan cairan
kapasitas kandung
1. Volume residu urine menurun 2. Ambil sampel tengah atau kultur
kemih (SDKI D.0040 skor 5 Edukasi
2. Frekunsi BAK membaik skor 5 1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran
Hal 96)
3. Karakteristik membaik skor 5 kemih
2. Anjurkan minum yang cukup
3. Anjurkan mengurangi minum menjelang
tidur
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat supositoria
uretra
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Pada tahap ini ada pengolahan dan perwujudan dari rencana perawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan keperawatan yang telah ditentukan
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan secara optimal
Arfan, I., Rizky, A., & Alkadri, S. R. (2020). Optimalisasi Kemampuan Kader TB
dalam Pengendalian Tuberkulosis. Dharma Raflesia : Jurnal Ilmiah
Pengembangan Dan Penerapan IPTEKS, 18(2), 209–217.
https://doi.org/10.33369/dr.v18i2.13927
Dirjen P2P Kemenkes RI. (2019). Petunjuk Tehnis Investigasi kontak pasien TBC
bagi petugas Kesehatan dan Kader. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
Kemenkes RI. (2018). Info data dan informasi kesehatan RI 2018 Toss
Tuberkulosis. 6. Retrieved from
file:///C:/Users/User/Downloads/infodatin tuberkulosis 2018 (6).pdf
Kemenkes RI. (2019). Data dan Informasi profil Kesehatan Indonesia 2018.
Smeltzer & Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan
Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI