Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS TB PARU

DI RUANG IRNA RSKI RS UNIVERSITAS ERLANGGA


SURABAYA

Oleh :
Nama : Agus Suhardi
Nim : 2021-01-14091-003

YAYASAN STIKES EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI NERS
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi
TB paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman TB
(mycobacterium tuberculosis). Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia
melalui udara ke dalam paru-paru,dan menyebar dari paru-paru ke organ tubuh
yang lain melalui peredaran darah seperti kelenjar limfe, saluran pernapasan atau
penyebaran langsung ke organ tubuh lainnya (Febrian, 2015).
TB merupakan penyakit infeksi kronis yang sering terjadi atau ditemukan
di tempat tinggal dengan lingkungan padat penduduk atau daerah urban, yang
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan terhadap
peningkatan jumlah kasus TB (Ganis indriati, 2015).

2.1.2 Anatomi Fisiologi


Reiza Farandika (2014) menjelaskan tentang anatomi fisiologi dari sitem
pernapasan adalah sebagai berikut:
1. Anatomi sistem pernapasan
1) Rongga hidung (cavum nasalis)
Rongga hidung termasuk alat pernapasan pada manusia paling luar,
dan merupakan alat pernapasan paling awal. Udara dari luar akan
masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis
selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea)
dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi
menangkap benda asing yang masujk lewat saluran pernapasan. Selain
itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring
partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang
mempunyai banyak kapiler darah yag berfungsi menghangatkan udara
yang masuk. Di sebelah rongga hidung terhubung dengan nasofaring
melalui dua lubang yang disebut choanae.
2) Faring
Dari rongga hidung udara yang hangat dan lembab selanjutnya masuk
ke faring. Faring adalah suatu saluran yang menyerupai tabung sebagai
persimpangan tempat lewatnya makanan dan udara. Faring terletak
diantara rongga hidung dan kerongkongan. Pada bagian ujung bawah
faring terdapat katup yang disebut epiglotis. Epiglotis merupakan
katup yang mengatur agar makanan dari masuk ke kerongkongan,
tidak ke tenggorokan. Pada saat menelan , epiglotis menutup laring.
Dengan cara ini, makanan atau cairan tidak bisa masuk ke
tenggorokan.
3) Laring
Antara faring dan tenggorokan terdapat struktur yang disebut laring.
Laring merupakan tempat melekatnya pita suara. Pada saat kamu
berbicara, pita suara akan mengencang atau mengendor. Suara
dihasilkan apabila udara bergerak melewati pita suara dan
menyebabkan terjadinya getaran. Pita suara pada laki-laki lebih
panjang dibanding pita suara perempuan.
4) Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokoan berbentuk seperti pipa dengan panjang kurang lebih 10
cm. Di paru-paru trakea bercabang dua membentuk bronkus. Dinding
tenggorokan terdiri atas tiga lapisan berikut:
(1) Lapisan paling luar terdiri atas jarigan ikat.
(2) apisan tengah terdiri atas otot polos dan cincin tulang rawan.
Trakea tersusun atas 16-20 cincin tulang rawan yang berbentuk
huruf C. Bagian belakang cincin tulang rawan ini tidak
tersambung dan menenmpel pada esofagus. Hal ini berguna
untuk mempertahankan trakea tetap terbuka
(3) Lapisan terdalam terdiri atas jaringan epitelium bersilia yang
menghasilkan banyak lendir. Lendir ini berfungsi menangkap
debu dan mikroorganisme yang masuk saat menghirup udara.
Selanjutnya, debu dan mikroorganisme tersebut didorong oleh gerakan
silia menuju bagian belakang mulut.
Akhirnya, debu dan mikroorganisme tersebut dikeluarkan dengan cara
batuk. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing yang
masuk bersama udara pernapasan.
5) Cabang tenggorokan (Bronkus)
Bronkus merupakan cabang batang tenggorokan. Jumlahnya sepasang,
yang satu menuju paru-paru kanan dan yang satu menuju paru-paru
kiri. Bronkus yang ke arah kiri lebih panjang, sempit, dan mendatar
daripada yang ke arah kanan. Hal ini yang mengakibatkan paru-paru
kanan lebih mudah terserang penyakit. Struktur dinding bronkus
hampir sama dengan trakea. Perbedaannya dinding trakea lebih tebal
dripada dinding bronkus. Bronkus akan bercabang menjadi bronkiolus.
Bronkus kanan bercabang menjadi tiga bronkiolus sedangkan bronkus
kiri bercabang menjadi dua bronkiolus.
6) Bronkiolus
Bronkiolus merupakan cabang dari bronkus. Bronkiolus bercabang-
cabang menjadi saluran yang semakin halus, kecil, dan dindingnya
semakin tipis. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan tetapi
rongganya bersilia. Setiap bronkiolus bermuara ke alveolus.
7) Alveolus
Bronkiolus bermuara pada alveol (tunggal: alveolus), struktur
berbentuk bola-bola mungil yang diliputi oleh pembuluh-pembuluh
darah. Epitel pipih yang melapisi alveoli memudahkan di dalam
kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari udara dalam rongga
alveolus.
8) Paru-paru
Paru-paru terletak didalam rongga dada. Rongga dada dan perut
dibatasi oleh suatu sekat disebut diafragma. Paru-paru ada dua buah
yaitu paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-paru kanan terdiri atas
tiga gelambir (lobus) yaitu gelambir atas, gelambir tengah, dan
gelambir bawah. Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua gelambir
yaitu gelambir atas dan gelambir bawah. Paru-paru diselimuti oleh
suatu selaput paru-paru (pleura). Kapasitas maksimal paru-paru
berkisar sekitar 3,5 liter.
Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan
pernapasan biasa disebut udara pernapasan (udara tidal). Volume udara
pernapasan pada orang dewasa lebih kurang 500 ml. Setelah kita
melakukan inspirasi biasa, kita masih bisa menarik napas sedalam-
dalamnya. Udara yang dapat masuk setelah mengadakan inspirasi biasa
disebut udara komplementer, volumenya lebih kutrang 1500 ml.
Setelah kita melakukan ekspirasi biasa, kita masih bisa
menghembuskan napas sekuat-kuatnya. Udara yang dapat dikeluarkan
setelah ekspirasi biasa disebut udara suplementer, volumenya lebih
kurang 1500 ml.
Walaupun kita mengeluarkan napas dari paru-paru dengan sekuat-
kuatnya ternyata dalam paru-paru masih ada udara disebut udara
residu. Volume udara residu lebih kurang 1500 ml. Jumlah volume
udara pernapasan, udara komplementer, dan udara suplementer disebut
kapasitas vital paru-paru.
2. Fisiologi pernapasan
Proses pernapasan pada manusia dapat terjadi secara sadar maupun
secara tidak sadar. Pernapasan secara sadar terjadi jika kita melakukan
pengaturan-pengaturan saat bernapas, misalnya pada saat latihan
dengan cara menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa
saat, lalu mengeluarkannya. Pernapasan secara tidak sadar yaitu
pernapasan yang dilakukan secara otomatis dan dikendalikan oleh
saraf di otak, mislanya pernapasan yang terjadi saat kita tidur.
Dalam pernapasan selalu terjadi dua siklus, yaitu inspirasi (menghirup
udara). Berdasarkan cara melakukan inspirasi dan ekspirasi serta
tempat terjadinya, manusia dapat melakukan dua mekanisme
pernapasan, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut.
1) Pernapasan dada
Proses inspirasi ini diawali dengan berkontraksinya muskulus
interkostalis (otot antartulang rusuk), sehingga menyebabkan
terangkatnya tulang rusuk. Keadaan ini mengakibatkan rongga dada
membesar dan paru-paru mengembang. Paru-paru yang mengembang
menyebabkan tekanan udara rongga paru-paru menjadi lebih renda dari
tekanan udara luar. Dengan demikian, udara luar masuk ke dalam paru-
paru.
Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Fase inspirasi
Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga
rongga dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada
menjadi lebih kecil darpada tekanan di luar sehingga udara luar
yang kaya oksigen masuk.
b) Fase ekspirasi
Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara
tulang rusuk ke posisi semula yang diikuti oleh turunnya tulang
rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya,
tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan
luar, sehingga udara dalam rongga dada yang kaya akan karbon
dioksida keluar.
2) Pernapasan perut
Mekanisme proses inspirasi pernapasan perut diawali dengan
berkontraksinya otot diafragma yang semula melengkung berubah
menjadi datar. Keadaan diafragma yang datar mengakibatkan rongga
dada dan paru-paru mengembang. Tekanan udara yang rendah dalam
paru-paru menyebabkan udara dari luar masuk ke dalam paru-paru.
Mekanisme pernapasan perut dapat dibedakan menjadi dua tahap yakni
sebagai berikut:
a) Fase inspirasi
Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma
mendatar, akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi
kecil sehingga udara luar masuk.
b) Fase ekspirasi
Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma
(kembali keposisi semula, mengembang) sehingga rongga dada
mengecil dan tekanan menjadi lebih besar, akibatnya udara keluar
dari paru-paru.
3) Pertukaran O2 dan CO2
a) Udara masuk ke alveolus (ke kapiler-kapiler darah) secara difusi.
b) Terjadi proses oksihemoglobin, yaitu hemoglobin (Hb) mengikat
O2.
c) O2 diedarkan oleh darah ke seluruh jaringan tubuh.
d) Darah melepaskan O2 sehingga oksihemoglobin menjadi
hemoglobin.
e) O2 digunakan untuk oksidasi menghasilkan energi + CO2+ uap air.
f) CO2 larut dalam darah dan diangkut darah ke paru-paru, masuk ke
alveolus secara difusi.
g) CO2 keluar melalui alat pernapasan di rongga hidung.
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) adapun faktor-faktor yang
memengaruhi fungsi pernapasan adalah sebagai berikut:
1) Posisi tubuh
Pada keadaan duduk atau berdiri pengembangan paru dan
pergerakan diafragma lebih baik daripada posisi datar atau
tengkurap sehingga pernapasan lebih mudah.
2) Lingkungan
Oksigen di atmosfer sekitar 21%, namun keadaan ini
tergantung dari tempat atau lingkungannya contoh: pada tempat
yang tinggi, dataran tinggi, dan daerah kutub akan membuat
kadar oksigen menjadi berkurang, maka tubuh akan
berkompensasi dengan meningkatkan jumlah pernapasan.
3) Polusi udara
Polusi udara yang terjadi baik karena industri maupun
kendaraan bermotor berpengaruh terhadap kesehatan paru-paru
dan kadar oksigen karena mengandung karbon monoksida yang
dapat merusak ikatan oksigen dengan hemoglobin.
4) Zat alergen
Beberapa zat alergen dapat memengaruhi fungsi pernapasan,
seperti makanan, zak kimia, atau benda sekitar yang kemudian
merangsang membran mukosa saluran pernapasan sehingga
mengakibatkan vasokonstriksi atau vasodilatasi pembuluh
darah, seperti pada pasien asma.
5) Gaya hidup dan kebiasaan
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan penyakit pernapasan
seperti emfisema, bronkitis, kanker, dan infeksi paru lainnya.
Penggunaaan alkohol dan obat-obatan memengaruhi susunan
saraf pusat yang akan mendepresi pernapasan sehingga
menyebabkan frekuensi pernapasan menurun.
6) Nutrisi
Nutrisi mengandung unsur nutrien sebagai sumber energi dan
untuk memperbaiki sel-sel rusak. Protein berperan dalam
pembentukan hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen
untuk disebarkan keseluruh tubuh.
7) Peningkatan aktivitas tubuh
Aktivitas tubuh membutuhkan metabolisme untuk
menghasilkan energi. Metabolisme membutuhkan oksigen
sehingga peningkatan metabolisme akan meningktkan
kebutuhan lebih banyak oksigen.
8) Gangguan pergerakan paru
Kemampuan pengembangan paru juga berpengaruh terhadap
kemampuan kapasitas dan volume paru. Penyakit yang
mengakibatkan gangguan pengembangan paru diantaranya
adalah pneumotoraks dan penyakit infeksi paru menahun.
9) Obstruksi saluran pernapasan
Obstruksi saluran pernapasan seperti pada penyakit asma dapat
menghambat aliran udara masuk ke paru-paru.

2.1.3 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan sinar matahari, pemanasan dan sinar
ultraviolet. Terdapat 2 macam mycobacterium tuberculosis yaitu tipe human dan
bovin. Basil tipe human berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal
dari penderita TB paru dan orang yang rentan terinfeksi bila menghirup bercak
ludah ini (Nurrarif & Kusuma, 2015).
Menurut (Puspasari, 2019) Faktor resiko TB paru sebagai berikut:
1. Kontak dekat dengan seseorang yang memiliki TB aktif.
2. Status imunocompromized (penurunan imunitas) misalnya kanker, lansia,
HIV.
3. Penggunaan narkoba suntikan dan alkoholisme.
4. Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, termasuk diabetes, kekurangan
gizi, gagal ginjal kronis.
5. Imigran dari negara-negara dengan tingkat tuberkulosis yang tinggi misal
Asia Tenggara, Haiti.
6. Tingkat di perumahan yang padat dan tidak sesuai standart.
7. Pekerjaan misalnya petugas pelayanan kesehatan.
8. Orang yang kurang mendapat perawatan kesehatan yang memadai misalnya
tunawisma atau miskin.

2.1.4 Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit : (Puspasari, 2019)
a. Tuberkulosis paru
TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap
sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru
TB yang terjadi pada organ selain paru misalnya kelenjar limfe,
pleura, abdomen, saluran kencing, kulit, selaput otak, sendi dan tulang
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Klien baru TB: klien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
paru sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari
satu bulan (< 28 dosis).
b. Klien yang pernah diobati TB: klien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama satu bulan atau lebih (≥ 28 hari).
c. Klien berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
d. Klien kambuh: klien TB paru yang pernah dinayatakn sembuh dan
saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologi
e. Klien yang diobati kembali setelah gagal: klien TB paru yang pernah
diobati dan gagal pada pengobatan terakhir.
f. Klien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
klien TB paru yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up
(dikenal sebagai pengobatan klien setelah putus berobat).
g. Lain-lain: klien TB paru yang pernah diobati tetapi hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:
Pengelompokkan penderita TB berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari mycobacterium tuberculosis terhadap OAT:
a. Mono resisten (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
b. Poli resisten (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resisten (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): TB MDR sekaligus resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin,
Amikasin).
e. Resisten Rifampisin (TB RR): resisten terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi.
4. Klasifikasi penderita TB berdasarkan status HIV:
a. Klien TB dengan HIV positif
b. Klien TB dengan HIV negatif
c. Klien TB dengan status HIV tidak diketahui
2.1.5 Patofisiologi
Menurut Darliana (2011), Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari
pasien TB paru ketika pasien batuk, bersin, tertawa. Droplet nuclei ini
mengandung basil TB dan ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan melayang-
layang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB. Saat Mikrobacterium
Tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru maka dengan segera akan tumbuh
koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis, bakteri TB paru ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan
dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan
dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB
paru akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang
sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Sistem imun
tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan
makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-tuberkulosis melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat dalam alveoli, yang menyebabkan bronkopneumonia dan
infeksi awal terjadi dalam 2-10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan basil
yang masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan -jaringan fibrosa,
bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan menjadi nekrotik
membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi,
membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan
penyakit aktif. Setelah pemajaman dan infeksi awal, individu dapat mengalami
penyakit aktif karna gangguan atau respon yang inadekuat dari respon sistem
imun. Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman.
Dalam kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan bahan seperti keju dalam
bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran
penyakit lebih jauh. Tuberkel yang menyerang membentuk jaringan parut. Paru
yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut.
1. Terpapar Penderita TBC
Mycobacterium 2. Lingkungan Buruk
tuberculosis 3. Status imunocompromized
(penurunan imunitas)

TB PARU

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Terjadiya Peningkatan Penyebaran Imflamasi Gangguan


Edema, bronkus,
inflamasi di paru Sel mast pada hematogen MO ke metabolisme
peningkatan secret
mukosa ginjal jaringan
bronkiolus
Infeksi
Metabolisme Iritas Metabolisme
Abtruksi Bronkus Infeksi ginjal
meningkat anser
bronkiolus
awal Leukosit
meningkat
Stimulasi reflek
Suhu tubuh Penurunan Produk ATP
reseptor saraf
meningkat fungsi ginjal menurun
Udara parasimpatik
pada mukosa Imun
terperangkap
bronchial menurun
dalam alveolus
Difisit energi
demam
Gangguan
eliminasi urine Kuman patogen &
Nyeri Akut
1. Bersihkan jalan endogen difagosit Lelah, lemah
nafas tidak Hipertermia makrofag
efektif
2. Gangguang Intoleransi
pertukaran gas Defisit nutrisi aktivitas
Anoreksia
2.1.6 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala pada TB paru yaitu batuk >3 minggu, nyeri dada,
malaise, sesak nafas, batuk darah, demam. Tanda dan gejala pada TB paru dibagi
menjadi 2 bagian yaitu gejala sistemik dan respiratorik (Padila,2013).
1. Gejala sistemik yaitu :
a. Demam
Adanya proses peradangan akibat dari infeksi bakteri sehingga timbul
gejala demam. Ketika mycobacterium tuberculosis terhirup oleh udara
ke paru dan menempel pada bronkus atau alveolus untuk
memperbanyak diri, maka terjadi peradangan (inflamasi), dan
metabolisme meningkat sehingga suhu tubuh meningkat dan terjadilah
demam.
b. Malaise
Malaise adalah rasa tidak enak badan, penurunan nafsu makan, pegal-
pegal, penurunan berat badan dan mudah lelah.
2. Gejala respiratorik yaitu :
a. Batuk
Batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian muncul
peradangan menjadi produktif atau menghasilkan sputum yang terjadi
lebih dari 3 minggu (Suprapto,Abd.Wahid & Imam,2013).
b. Batuk darah
Batuk darah atau hemoptisis merupakan batuk yang terjadi akibat dari
pecahnya pembuluh darah. Darah yang dikeluarkan bisa bervariasi,
berupa garis atau bercak darah, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah yang banyak. (Suprapto,Abd.Wahid & Imam,2013).
c. Sesak nafas
Pada awal TB sesak nafas tidak ditemukan. Sesak nafas ditemukan
jika penyakit berkelanjutan dengan kerusakan paru yang meluas atau
karena adanya hal lain seperti efusi pleura, pneumothorax dan lain-
lain (Suprapto,Abd.Wahid & Imam,2013).
d. Nyeri dada
Gejala nyeri dada dapat bersifat bersifat lokal apabila yang dirasakan
berada pada tempat patologi yang terjadi, tapi dapat beralih ke tempat
lain seperti leher,abdomen dan punggung. Bersifat pluritik apabila
nyeri yang dirasakan akibat iritasi pleura parietalis yang terasa tajam
seperti ditusuk-tusuk pisau (Smeltzer & Bare,2013).

2.1.7 Komplikasi
Menurut Wahid&Imam (2013), komplikasi yang muncul pada TB paru
yaitu :
1. Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
2. Bronki ektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) di paru.
3. Penyebaran infeksi keorgan lainnya seperti otak,tulang, persendian,
ginjal dan sebagainya.
4. Insufisiensi kardiopulmonal (Chardio Pulmonary Insufficiency).
5. Hemoptisis berat (pendarahan pada saluran nafas bawah) yang
mengakibatkan kematian karena terjadinya syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan pernafasan.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Kemenkes (2014) pemeriksaan pada penderita TB paru yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
a. Untuk diagnosis dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis langsung,
penderita TB diperiksa contoh uji dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu).
b. Ditetapkan sebagai penderita TB apabila minimal satu dari
pemeriksaan hasilnya BTA positif.
2. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengumpulkan 3 contoh uji
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS) :
S (sewaktu) : Dahak ditampung saat pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke pelayanan kesehatan. Saat pulang pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (pagi) : Dahak ditampung pasien pada hari kedua,setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan kepada petugas pelayanan kesehatan.
S (sewaktu) : Dahak ditampung pada hari kedua setelah saat
menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengidentifikasi mycbacterium
tuberculosis.
3. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
mycobacterium tuberculosis terhadap OAT. Pemeriksaan uji kepekaan obat
harus dilakukan oleh laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu atau
quality assurance. (Kemenkes,2014).

2.1.9 Penatalaksanaan medis


1. Pengobatan TB paru menurut Kemenkes RI (2014):
a. Tujuan pengobatan
Pengobatan TB paru untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kekambuhan, mencegah kematian, memutuskan rantai penularan serta
mencegah resistensi mycobacterium tuberculosis terhadap OAT.
b. Prinsip pengobatan
Pengobatan yang dilakukan harus memenuhi prinsip sebagai berikut:
OAT yang diberikan mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah resistensi, diberikan dalam dosis yang tepat, obat ditelan
secara teratur dan diawasi oleh PMO sampai selesai.
c. Tahapan pengobatan
pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal (intensif)
dan tahap lanjutan.
1) Tahap awal
Pada tahap awal, penderita mendapatkan obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung guna mencegah terjadinya resisten
obat.
2) Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan, penderita mendapatkan jenis obat yang lebih
sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih lama.
d. Obat anti tuberkulosis
1) Isoniazid (H)
Isoniazid diberikan melalui oral atau intramuskular. Obat ini
memiliki dua pengaruh toksik utama yaitu neuritis perifer dan
hepatotoksik. Tanda dari neuritis perifer yaitu mati rasa dan rasa
gatal pada tangan dan kaki. Sedangkan hepatotoksik jarang
terjadi, mungkin terjadi pada anak dengan TB berat dan remaja
(Astuti,2010).
2) Rifampisin (R)
Efek samping obat ini yaitu terjadi perubahan warna orange pada
urine dan air mata dan gangguan saluran pencernaan.
3) Etambutol (E)
Etambutol bertujuan untuk mencegah resistensi terhadap obat
yang lain.
4) Pirazinamid (Z)
Obat ini bersifat bakterisid dan memiliki efek samping rasa mual
yang disertai nyeri ulu hati dan muntah.
5) Streptomisin
Efek samping dari obat streptomisin yaitu rasa kesemutan
didaerah mulut dan muka setelah obat disuntikan.
2. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a. Fisioterapi Dada
Fisioterapi dada terdiri atas drainase postural,perkusi,dan vibrasi dada.
Tujuannya yaitu untuk memudahkan dalam pembuangan sekresi bronkhial,
memperbaiki fungsi ventilasi, dan meningkatkan efisiensi dari otot-otot
sistem pernafasan agar berfungsi secara normal (Smeltzer & Bare,2013).
Drainase postural adalah posisi yang spesifik dengan gaya gravitasi
untuk memudahkan proses pengeluaran sekresi bronkial.
Perkusi adalah suatu prosedur membentuk mangkuk pada telapak
tangan dengan menepuk ringan pada dinding dada dalam. Gerakan
menepuk dilakukan berirama diatas segmen paru yang akan dialirkan
(Smeltzer & Bare,2013).
Vibrasi dada adalah tindakan meletakkan tangan berdampingan
dengan jari-jari tangan dalam posisi ekstensi diatas area dada
(Somantri,2012).
b. Latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif yaitu tindakan yang dilakukan agar mudah
membuang sekresi dengan metode batuk efektif sehingga dapat
mempertahankan jalan nafas yang paten (Smeltzer & Bare,2013).
c. Penghisapan Lendir
Penghisapan lendir atau suction merupakan tindakan yang dilakukan
untuk mengeluarkan sekret yang tertahan pada jalan nafas. Penghisapan
lendir bertujuan untuk mempertahankan jalan nafas tetap paten.

2.2 Manajemen Keperawatan


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar
utama dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah
sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.
1. Anamnesa
a. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
TB paru dijuluki sebagai the great iminator yaitu suatu penyakit yang
memiliki kemiripan gejala dengan penyakit lain seperti lemah dan
demam. Menurut Arif Mutaqqin (2012) keluhan pada penderita TB
paru yaitu:
a) Batuk
Keluhan batuk timbul pada awal dan merupakan gangguan yang
sering dikeluhkan oleh klien.
b) Batuk darah
Keluhan batuk darah pada klien TB paru selalu menjadi alasan
utama untuk meminta pertolongan kesehatan.
c) Sesak nafas
Keluhan sesak nafas ditemukan apabila kerusakan parenkim
sudah luas atau ada hal-hal lainnya seperti efusi pleura,
pneumothoraks dan lain-lain.
d) Nyeri dada
Nyeri dada pada klien dengan TB paru termasuk nyeri pleuritik
ringan.
e) Demam
Demam biasanya timbul pada sore atau malam hari mirip demam
atau influenza yang hilang timbul.
f) Keluhan sistemis lainnya
Keluhan yang muncul biasanya keringat malam, anoreksia,
malaise, penurunan berat badan.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Jika
keluhan pada pasien adalah batuk maka perawat harus menanyakan
berapa lama batuk muncul. Jika yang menjadi alasan pasien meminta
pertolongan kesehatan adalah sesak nafas maka perawat harus
mengkaji dengan menggunakan PQRST agar memudahkan perawat
dalam pengkajian.
a) Provoking incident: apakah ada peristiwa penyebab sesak nafas,
apakah sesak nafas berkurang saat istirahat?
b) Quality of pain: seperti apa rasa sesak nafas yang dirasakan
pasien apakah rasanya seperti tercekik atau sulit dalam melakukan
inspirasi?
c) Region: dimana rasa berat dalam melakukan pernafasan? Harus
ditunjukan oleh pasien.
d) Severity (scala) of pain: seberapa jauh sesak nafas yang dirasakan
klien, seberapa jauh sesak nafas mempengaruhi aktivitas klien.
e) Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan dan apakah
bertambah buruk pada malam hari atau pada siang hari. Apakah
sesak nafas timbul mendadak atau perlahan-lahan. Tanyakan pada
pasien apakah gejala terus menerus atau hilang timbul
(intermiten)
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan apakah sebelumnya pernah menderita TB paru,
keluhan batuk lama saat masih kecil, TB dari orang lain, atau Riwayat
penyakit lain seperti diabetes militus. Tanyakan pada pasien apakah
ada obat-obatan yang diminum pada masa lalu, tanyakan adanya alergi
obat serta reaksi alergi yang timbul
4) Kesehatan keluarga
Tanyakan apakah penyakit TB paru pernah dialami oleh anggota
keluarga lain sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah
2. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan sangat mendukung untuk
mengetahui masalah pada klien dengan gangguan sistem pernafasan.
Pemeriksaan ini meliputi :
• Inspeksi
Pemeriksaan dengan melihat keadaan umum sistem pernafasan serta
menilai adanya tanda-tanda abnormal misalnya adanya sianosis, pucat,
kelelahan, sesak nafas, batuk dan menilai adanya sputum Palpasi
rongga dada
• Palpasi
Pemeriksaan dengan palpasi bertujuan untuk mendeteksi kelainan
seperti peradangan di daerah setempat. Cara palpasi dapat dilakukan
dari belakang dengan meletakkan kedua tangan di kedua sisi tulang
belakang. Jika di daerah puncak paru terdapat fibrosis seperti proses
TB paru, tidak akan ditemukan pengembangan di bagian atas thorak.
• Perkusi
Perkusi atau pengetukan dada akan menghasilkan vibrasi pada dinding
dada dan organ paru di bawahnya akan diterima oleh pendengaran
pemeriksa. Perkusi yang dilakukan diatas organ yang padat atau yang
berisi cairan akan menimbulkan bunyi yang memiliki amplitudo rendah
dan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak.
• Auskultasi
Auskultasi merupakan mendengarkan suara yang berasal dari dalam
tubuh dengan cara menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi dengan
menggunakan stetoskop. Pada klien dengan TB paru timbul suara ronki
basah, kasar dan nyaring akibat peningkatan produksi sekret pada saluran
pernafasan.
b. B2 (Blood)
• Inspeksi
1. Inspeksi adanya parut pasca pembedahan jantung. Posisi parut
dapat memberikan petunujuk mengenai lesi katup yang telah
dioperasi
2. Denyut apeks : posisinya yang normal adalah pada interkostal kiri
ke – 5 berjarak 1 cm medial dari garis midklavikula.
• Palpasi
Tujuannya adalah mendeteksi kelainan yang tampak saat inspeksi.
Teknik yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Palpasi dilakukan dengan menggunakan telapak tangan,
kemudian dilanjutkan dengan tekanan yang sedikit keras.
2. Pemeriksa berdiri di kanan klien, minta klien duduk kemudian
berbaring telentang. Pemeriksa meletakkan tangan di prekordium,
samping sternum dan lakukan palpasi denyut apeks.
3. Berikan tekanan yang lebih keras pada telapak tangan. Kemudian
tangan ditekan lebih keras untuk menilai kekuatan denyut apeks.
4. Kaji denyut nadi arteri, tarikan dan getaran denyutan.
• Perkusi
Pemeriksaan perkusi pada jantung biasanya jarang dilakukan jika
pemeriksaan foto rontgen toraks telah dilakukan. Tetapi pemeriksaan
perkusi ini tetap bermanfaat untuk menentukan adanya kardiomegali, efusi
perikardium, dan aneurisma aorta. Foto rontgen toraks akan menunjukkan
daerah redup sebagai petunjuk bahwa jantung melebar.
• Auskultasi
1. Katup Pulmonal
Terdengar lebih jelas pada interkosta ke – 2 dan ke – 3 kiri sternum
2. Katup aorta
Terdengar lebih jelas pada sternum, lebih rendah dan lebih medial
daripada katup pulmonal
3. Katup mitral
Terdengar lebih jelas pada sternum, dekat batas atas sendi antara
interkosta ke – 4 dan sternum
4. Katup trikuspidalis
Terdengar lebih jelas pada sternum, sesuai garis penghubung proyeksi
katup mitral dengan sendi antara sternum dengan interkosta ke – 5
kanan.
5. Auskultasi jantung
c. B3 (Brain)
• Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan kepala sebagai bagian pengkajian kardiovaskuler
difokuskan untuk mengkaji bibir dan cuping telinga untuk mengetahui
adanya sianosis perifer.
• Pemeriksaan raut muka
1. Bentuk muka : bulat, lonjong dan sebagainya
2. Ekspresi wajah tampak sesak, gelisah, kesakitan
3. Tes saraf dengan menyeringai, mengerutkan dahi untuk
memeriksa fungsi saraf VII
• Pemeriksaan bibir
1. Biru (sianosis) pada penyakit jantung bawaan dan lainnya
2. Pucat (anemia)
• Pemeriksaan mata
1. Konjungtiva
- Pucat (anemia)
- Ptekie (perdarahan di bawah kulit atau selaput lendir) pada
endokarditis bakterial
2. Sklera
Kuning (ikterus) pada gagal jantung kanan, penyakit hati dan lainnya
3. Kornea
Arkus senilis (garis melingkar putih atau abu – abu di tepi kornea)
berhubungan dengan peningkatan kolesterol atau penyakit jantung
koroner.
4. Funduskopi
Yaitu pemeriksaan fundus mata menggunakan opthalmoskop untuk
menilai kondisi pembuluh darah retina khususnya pada klien
hipertensi.
5. Pemeriksaan neurosensori
Ditujukan terhadap adanya keluhan pusing, berdenyut selama tidur,
bangun, duduk atau istirahat dan nyeri dada yang timbulnya
mendadak. Pengkajian meliputi wajah meringis, perubahan postur
tubuh, menangis, merintih, meregang, menggeliat, menarik diri dan
kehilangan kontak mata.
d. B4 (Bladder)
Output urine merupakan indiktor fungsi jantung yang penting. Penurunan
haluaran urine merupakan temuan signifikan yang harus dikaji lebih lanjut
untuk menentukan apakah penurunan tersebut merupakan penurunan produksi
urine (yang terjadi bila perfusi ginjal menurun) atau karena ketidakmampuan
klien untuk buang air kecil. Daerah suprapubik harus diperiksa terhadap
adanya massa oval dan diperkusi terhadap adanya pekak yang menunjukkan
kandungkemih yang penuh (distensi kandung kemih).
e. B5 Bowel)
Pengkajian harus meliputi perubahan nutrisi sebelum atau pada masuk
rumah sakit dan yang terpenting adalah perubahan pola makan setelah sakit.
Kaji penurunan turgor kulit, kulit kering atau berkeringat, muntah dan
perubahan berat badan Refluks hepatojuguler.
f. B6 (Bone)
Pengkajian yang mungkin dilakukan adalah sebagai berikut :
 Keluhan lemah, cepat lelah, pusing, dada rasa berdenyut dan berdebar
 Keluhan sulit tidur (karena adanya ortopnea, dispnea nokturnal
paroksimal, nokturia dan keringat pada malam hari)
 Istirahat tidur : kaji kebiasaan tidur siang dan malam, berapa jam klien
tisur dalam 24 jam dan apakah klien mengalami sulit tidur dan
bagaimana perubahannya setelah klien mengalami gangguan pada
sistem kardiovaskuler. Perlu diketahui, klien dengan IMA sering
terbangun dan susah tidur karena nyeri dada dan sesak napas
 Aktivitas : kaji aktivitas klien di rumah atau di rumah sakit. Apakah
ada kesenjangan yang berarti misalnya pembatasan aktivitas. Aktivitas
klien biasanya berubah karena klien merasa sesak napas saat
beraktivitas

2.2.2 Diagnosa keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk
(D.0001 Hal. 18)
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolus-kapiler (D.0003 Hal.22)
3. Hipertemia berhubungan dengan proses penyakit (D0130 Hal 284)
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisiologis (SDKI D.0077 Hal
172)
5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan kapasitas
kandung kemih (SDKI D.0040 Hal 96)
6. Defisit nutrisi berhubungan dengan factor psikologis ( keengganan untuk
makan ) (SDKI D.0019 Hal 56)
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen (D.0057 Hal.126)
2.2.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


1 Gangguan pertukaran Pertukaran Gas SLKI (L.01003 hal Pemantauan respirasi (I.01014 hal: 186)
Gas berhubungan 94) Observasi
dengan distensi kapiler Setelah di lakukan tindakan selama 1. Monitor ferkuensi, irama, kedalaman dan
pulmonar (D.0003 1x7 jam di harapkan oksigenasi upaya nafas
Hal.22) dan/atau eliminasi karbondiosida 2. Monitor pola nafas (seperti bradipnea,
pada membran alveolus kapiler takipnea, hiperventilasi,
dalam batas normal dengan kriteria kussmaul,cheyne-stokes, biot, ataksik)
hasil : 3. Monitor kemampuan batuk efektif
1. Tingkat kesadaran meningkat skor 4. Monitor adanya produksi sputum
5 5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
2. Dispnea menurun skor 5 6. Palpasi kesimetrisan akspansi paru
3. Bunyi nafas tambahan menurun 7. Auskultasi bunyi nafas
skor 5 8. Monitor saturasi oksigen
4. Pusing menurun skor 5 9. Monitor nilai AGD
5. Penglihatan kabur menurun skor 5 10. Monitor x-ray toraks
6. Diaforesis menurun skor 5 Terapeutik
7. Gelisah menurun skor 5 1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
8. Nafas cuping hidung skor 5 kondisi pasien
9. PCO3 membaik skor 5 2. Dokumentasikan hasil pemantauan
10. PO2 membaik skor 5 Edukasi
11. Takikardia membaik skor 5 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
12. pH arteri membaik skor 5 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
13. sianosis membaik skor 5
14. pola nafas membaik skor 5
15. warna kulit membaik skor 5 Menajemen jalan nafas (I.01026 hal: 430)
Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen
2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan
pastikan fraksi yang diberikan cukup
4. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis.
Oksimetri, analisa gas darah), jika perlu
5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen
saat makan
6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen
dan atelektasis
8. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi
oksigen
9. Monitor ingritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan
trakea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian
oksigen
4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen saat pasien
ditransportasi
6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
dengan tingkat mobilitas pasien
7. Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen di rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan/atau tidur

2 Bersihan jalan napas Bersihan jalan nafas (SLKI,L.01001, Manajemen Jalan Nafas Buatan (I.01012 Hal.
tidakefektif yang Hal18) 187)
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
penumpukan sputum, selama 1x7 jam diharapkan penurunan 1. Monitor posisi selang endotrakeal (ETT),
peningkatan sekresi produksi sekret, obstruksi jalan nafas terutama setelah mengubah posisi
sekret, dan untuk mempertahankan kepatenan 2. Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8
penurunan jalan nafas. Dengan kriteria hasil : jam
kemampuan batuk 1. Produksi sputum menurun skor 3. Monitor area stoma trakeostomi (mis.
(ketidakmampuan 5 Kemerahan, drainase, perdarahan)
batuk/batuk efektif). 2. Dispnea menurun skor 5 Terapeutik
(D.0001 Hal. 18) 3. Sulit berbicara sedang skor 3 1. Kurangi tekana balon secara periodik
4. Sianosis menurun skor 5 setiap shif
5. Frekuensi nafas membaik skor 2. Pasang oropharingeal airway (OPA)
5 untuk mencegah ETT tergigit
6. Pola nafas membaik skor 5 3. Cegah ETT terlipat (kinking)
4. Berikan pre0oksigenasi 100% selama 30
detik (3-6 kali ventilasi) sebelum dan
setelah pengisapan
5. Berikan volume pre-oksigenasi (bagging
atau ventilasi mekanik) 1,5 kali volume
tidal
6. Lakukan pengisapan lendir kurang dari
15 detik jika diperlukan (bukan secara
berkala/rutin)
7. Gantik fikasi ETT setiap 24 jam
8. Ubah posisi ETT secara bergantian (kiri
dan kanan) setiap 24 Jam
9. Lakukan perawatan mulut(mis, dengan
sikat gigi,kasa,pelembab bibir)
10. Lakukan perawatan trakeostomi
Edukasi
Jelaskan pasien dan/atau keluarga tujuan dan
prosedur pemasangan jalan nafas buatan
Kolaborasi
Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk
mocus plug yang tidak dapat di lakukan
pengisapan
3 Intoleransi aktifitas Toleransi aktivitas SLKI (L.05047 Manajemen energi (I.05178 hal. 176)
berhubungan dengan hal 149) Obsevasi
ketidakseimbangan Setelah di lakukan tindakan selama 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
antara suplai dan 1x7 jam di harapkan respon mengakibatkan kelelahan
kebutuhan oksigen fidiologis terhadap aktivitas yang 2. Monitor kelelahan fisik
(D.0057 Hal.126) membutuhkan tenaga dengan kriteria 3. Monitor pola dan jam tidur
hasil : 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
1. Frekuensi nadi meningkat skor 5 selama melakukan aktivitas selama
2. Saturasi oksigen meningkat skor 5 melakukan aktivitas
3. Kemudahan dalam melakukan Terapeutik
aktivitas sehari-hari meningkat 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan
skor 5 rendah stimulus (mis. Cahaya, suara,
4. Kecepatan berjalan meningkat skor kunjungan)
5 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif
5. Jarak berjalan meningkat skor 5 dan/atau aktif
6. Kekuatan tubuh bagian atas 3. Berikan aktivitas distraksi yang
meningkat skor 5 menenangkan
7. Kekuatan tubuh bagian bawah 4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika
meningkat skor 5 tidak dapat berpindah atau berjalan
8. Toleransi dalam menaiki tangga Edukasi
meningkat skor 5 1. Anjurkan tirah baring
9. Keluhan lelah menurun skor 5 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara
10. Dispnea saat aktivitas menurun bertahap
skor 5 3. Anjurkan menghubungi perawat jika
11. Dispnea setelah aktivitas tanda dan gejala kelelahan tidak
menurun skor 5 berkurang
12. Perasaan lemah menurun skor 5 4. Ajarkan strategi koping untuk
13. Aritmia saat aktivitas menurun mengurangi kelelahan
skor 5 Kolaborasi
14. Aritmia setelah aktivitas menurun 1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
skor 5 meningkatkan asupan makanan
15. Sianosis menurun skor 5
16. Warna kulit membaik skor 5
17. Tekanan darah membaik skor 5
18. Frekuensi nafas membaik skor 5
19. EKG iskemia membaik skor 5
4 Nyeri Akut (SDKI (SLKI L.08066 Hal. 145) Manajemen Nyeri (SIKI I.08238 Hal. 201)
D.0077 Hal. 172) Setelah dilakukan tindakan Observasi
Keperawatan 1x7 jam diharapkan 1. Identifikasi local, karakteristik, durasi,
nyeri menurun KH : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,.
Tingkat Nyeri 2. Identifikasi nyeri.
1. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal.
2. (5) 4. Identifikasi factor yang memperberat dan
3. Gelisah menurun (5) memperingan nyeri.
4. Meringis menurun (5) 5. Monitor efek samping penggunaan
5. Kesulitan tidur menurun (5) analgetik.
6. Pola tidur membaik (5) Terapeutik
Kontrol Nyeri 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
1. Kemampuan mengunakan teknik mengurangi rasa nyeri (mis.tarik napas
non-farmakologis meningkat (5) dalam, kompres hanagat/dingin).
2. Dukungan orang terdekat 2. Kontrol lingkungan yang memperberat
meningkat (5) rasa nyeri .
3. Pengunaan analgetik menurun (5) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
Penyembuhan luka 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
1. Pembentukan jaringan parut dalam pemilihan strategy meredakan
menurun. nyeri.
2. Peradangan luka menurun (5) Edukasi
3. Peningkatan suhu kulit menurun 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
(5). nyeri.
4. Infeksi menurun (5) 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
4. Anjurkan mengunakan analgetik secara
tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik .jika perlu
5 Defisit nutrisi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi
berhubungan dengan selama 1x7 jam diharapkan status 1. Identifikasi status nutrisi
factor psikologis nutrisi dapat membaik dengan kriteria 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
(keengganan untuk hasil: 3. Identifikasi makanan yang disukai
makan) (SDKI D.0019 1. Porsi makanan yang dihabiskan 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
Hal 56) meningkat skor 5 nutrient
2. Perasaan cepat kenyang menurun 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
skor 5 nasogastrik
3. Nyeri abdomen menurun skor 5 6. Monitor asupan makanan
4. Frekuensi makan membaik skor 5 7. Monitor berat badan
5. Nafsu makan membaik skor 5 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
perlu
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu
yang sesuai
4. Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika
perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

6 Hipertermia (L.14134 Hal. 129) Manajemen hipertermia (I.15506 Hal.


berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 181)
proses penyakit keperawatan selama 1x7 jam Observasi :
(D.0130 Hal. 284 ) diharapkan termoregulasi teratasi 1. Identifikasi penyebab hipertermia (mis.
dengan kriteria hasil : dehidrasi, terpapar lingkungan panas,
1. Menggigil cukup menurun penggunaan inkubator)
(Skor 4) 2. Monitor suhu tubuh
2. Pucat cukup menurun (Skor 4) 3. Monitor haluaran urine
3. Takikardi cukup menurun (Skor Terapeutik :
4) 1. Sediakan lingkungan yang dingin.
4. Suhu tubuh cukup membaik 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
(Skor 4) 3. Berikan cairan oral
5. Suhu kulit cukup membaik 4. Ganti linen setiap hari atau lebih sering
(Skor 4) jika mengalami hiperhidrosis (keringat
berlebih)
5. Lakukan pendinginan eksternal (mis.
selimut hipotermia, atau kompres dingin
pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
6. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
7 Gangguan eliminasi (L.04034 Hal.24) Manajemen eliminasi urine (I.04152)
Setelah dilakukan asuhan Observasi
urin berhubungan
keperawatan selama 1x7 jam 1. Monitor eliminasi urine
dengan penurunan diharapkan eliminasi urine membaik Terapeutik
dengan kriteria hasil : 1. Batasi asupan cairan
kapasitas kandung
1. Volume residu urine menurun 2. Ambil sampel tengah atau kultur
kemih (SDKI D.0040 skor 5 Edukasi
2. Frekunsi BAK membaik skor 5 1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran
Hal 96)
3. Karakteristik membaik skor 5 kemih
2. Anjurkan minum yang cukup
3. Anjurkan mengurangi minum menjelang
tidur
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat supositoria
uretra
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Pada tahap ini ada pengolahan dan perwujudan dari rencana perawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan keperawatan yang telah ditentukan
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan secara optimal

2.2.5 Evaluasi keperawatan


Evaluasi adalah perbandingan yang sitematik dan terencana tentang
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan berkesinambungan
dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lain
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Al, & Juniati, D. (2017). Klasifikasi Kelompok Umur Manusia


Berdasarkan Analisis Dimensi Fraktal Box Counting Dari Citra Wajah
Dengan Deteksi Tepi Canny. Jurnal Ilmiah Matematika, 2(6), 1–10.

Arfan, I., Rizky, A., & Alkadri, S. R. (2020). Optimalisasi Kemampuan Kader TB
dalam Pengendalian Tuberkulosis. Dharma Raflesia : Jurnal Ilmiah
Pengembangan Dan Penerapan IPTEKS, 18(2), 209–217.
https://doi.org/10.33369/dr.v18i2.13927

Dirjen P2P Kemenkes RI. (2017). Penemuan Pasien Tuberkulosis. Kementerian


Kesehatan RI.

Dirjen P2P Kemenkes RI. (2019). Petunjuk Tehnis Investigasi kontak pasien TBC
bagi petugas Kesehatan dan Kader. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.

Kemenkes RI. (2018). Info data dan informasi kesehatan RI 2018 Toss
Tuberkulosis. 6. Retrieved from
file:///C:/Users/User/Downloads/infodatin tuberkulosis 2018 (6).pdf

Kemenkes RI. (2019). Data dan Informasi profil Kesehatan Indonesia 2018.

Ratnasari, D. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan pencapaian


petugas terhadap case detection rate (cdr) pada program tb paru di
kabupaten rembang. Retrieved from http://lib.unnes.ac.id/20424/

Smeltzer & Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan
Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan


Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP
PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI

WHO. (2019). Global Tuberculosis Report 2019. Geneva, Switzerland: WHO


Press.

Anda mungkin juga menyukai