1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang
menyerang paru-paru dan hampir seluruh organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran
pernapasan dan saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi
droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut. (Sylvia A.price dalam Amin & Hardhi,
2015)
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dengan
gejala yang sangat bervariasi. (Price, 2001 dalam Nixson Manurung, 2016)
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberkulosis
adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang merupakan
salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkulosis masuk ke
dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai
focus primer dari ghon. (Hood Alsagaff, 1995 dalam Andra & Yessie, 2013)
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini menular langsung melalui droplet orang yang telah terinfeksi kuman/basil
tuberkulosis. (WHO, 2014 dalam Najmah, 2016).
2. Anatomi fisiologi
Reiza Farandika (2014) menjelaskan tentang anatomi fisiologi dari sistem pernapasan adalah sebagai
berikut:
Rongga hidung termasuk alat pernapasan pada manusia paling luar, dan merupakan alat pernapasan
paling awal. Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis
selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar
sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masujk lewat saluran pernapasan.
Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk
bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yag berfungsi menghangatkan
udara yang masuk. Di sebelah rongga hidung terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang
disebut choanae.
2) Faring
Dari rongga hidung udara yang hangat dan lembab selanjutnya masuk ke faring. Faring adalah suatu
saluran yang menyerupai tabung sebagai persimpangan tempat lewatnya makanan dan udara. Faring
terletak diantara rongga hidung dan kerongkongan. Pada bagian ujung bawah faring terdapat katup yang
disebut epiglotis. Epiglotis merupakan katup yang mengatur agar makanan dari masuk ke kerongkongan,
tidak ke tenggorokan. Pada saat menelan , epiglotis menutup laring. Dengan cara ini, makanan atau cairan
tidak bisa masuk ke tenggorokan.
3) Laring
Antara faring dan tenggorokan terdapat struktur yang disebut laring. Laring merupakan tempat
melekatnya pita suara. Pada saat kamu berbicara, pita suara akan mengencang atau mengendor. Suara
dihasilkan apabila udara bergerak melewati pita suara dan menyebabkan terjadinya getaran. Pita suara
pada laki-laki lebih panjang dibanding pita suara perempuan.
4) Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokoan berbentuk seperti pipa dengan panjang kurang lebih 10 cm. Di paru-paru trakea bercabang
dua membentuk bronkus. Dinding tenggorokan terdiri atas tiga lapisan berikut:
b) Lapisan tengah terdiri atas otot polos dan cincin tulang rawan. Trakea tersusun atas 16-20 cincin
tulang rawan yang berbentuk huruf C. Bagian belakang cincin tulang rawan ini tidak tersambung dan
menenmpel pada esofagus. Hal ini berguna untuk mempertahankan trakea tetap terbuka
c) Lapisan terdalam terdiri atas jaringan epitelium bersilia yang menghasilkan banyak lendir. Lendir
ini berfungsi menangkap debu dan mikroorganisme yang masuk saat menghirup udara.
Selanjutnya, debu dan mikroorganisme tersebut didorong oleh gerakan silia menuju bagian belakang
mulut.
Akhirnya, debu dan mikroorganisme tersebut dikeluarkan dengan cara batuk. Silia-silia ini berfungsi
menyaring benda-benda asing yang masuk bersama udara pernapasan.
6) Bronkiolus
Bronkiolus merupakan cabang dari bronkus. Bronkiolus bercabang-cabang menjadi saluran yang semakin
halus, kecil, dan dindingnya semakin tipis. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan tetapi rongganya
bersilia. Setiap bronkiolus bermuara ke alveolus.
7) Alveolus
Bronkiolus bermuara pada alveol (tunggal: alveolus), struktur berbentuk bola-bola mungil yang diliputi
oleh pembuluh-pembuluh darah. Epitel pipih yang melapisi alveoli memudahkan di dalam kapiler-kapiler
darah mengikat oksigen dari udara dalam rongga alveolus.
8) Paru-paru
Paru-paru terletak didalam rongga dada. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat disebut
diafragma. Paru-paru ada dua buah yaitu paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-paru kanan terdiri atas
tiga gelambir (lobus) yaitu gelambir atas, gelambir tengah, dan gelambir bawah. Sedangkan paru-paru kiri
terdiri atas dua gelambir yaitu gelambir atas dan gelambir bawah. Paru-paru diselimuti oleh suatu selaput
paru-paru (pleura). Kapasitas maksimal paru-paru berkisar sekitar 3,5 liter.
Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan pernapasan biasa disebut udara pernapasan
(udara tidal). Volume udara pernapasan pada orang dewasa lebih kurang 500 ml. Setelah kita melakukan
inspirasi biasa, kita masih bisa menarik napas sedalam-dalamnya. Udara yang dapat masuk setelah
mengadakan inspirasi biasa disebut udara komplementer, volumenya lebih kutrang 1500 ml.
Setelah kita melakukan ekspirasi biasa, kita masih bisa menghembuskan napas sekuat-kuatnya. Udara
yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi biasa disebut udara suplementer, volumenya lebih kurang 1500
ml.
Walaupun kita mengeluarkan napas dari paru-paru dengan sekuat-kuatnya ternyata dalam paru-paru
masih ada udara disebut udara residu. Volume udara residu lebih kurang 1500 ml. Jumlah volume udara
pernapasan, udara komplementer, dan udara suplementer disebut kapasitas vital paru-paru.
b. Fisiologi pernapasan
Proses pernapasan pada manusia dapat terjadi secara sadar maupun secara tidak sadar. Pernapasan secara
sadar terjadi jika kita melakukan pengaturan-pengaturan saat bernapas, misalnya pada saat latihan dengan
cara menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa saat, lalu mengeluarkannya. Pernapasan
secara tidak sadar yaitu pernapasan yang dilakukan secara otomatis dan dikendalikan oleh saraf di otak,
mislanya pernapasan yang terjadi saat kita tidur.
Dalam pernapasan selalu terjadi dua siklus, yaitu inspirasi (menghirup udara). Berdasarkan cara
melakukan inspirasi dan ekspirasi serta tempat terjadinya, manusia dapat melakukan dua mekanisme
pernapasan, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut.
1) Pernapasan dada
Proses inspirasi ini diawali dengan berkontraksinya muskulus interkostalis (otot antartulang rusuk),
sehingga menyebabkan terangkatnya tulang rusuk. Keadaan ini mengakibatkan rongga dada membesar
dan paru-paru mengembang. Paru-paru yang mengembang menyebabkan tekanan udara rongga paru-paru
menjadi lebih renda dari tekanan udara luar. Dengan demikian, udara luar masuk ke dalam paru-paru.
a) Fase inspirasi
Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga dada membesar, akibatnya
tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil darpada tekanan di luar sehingga udara luar yang
kaya oksigen masuk.
b) Fase ekspirasi
Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang rusuk ke posisi semula yang
diikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan
di dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada
yang kaya akan karbon dioksida keluar.
2) Pernapasan perut
Mekanisme proses inspirasi pernapasan perut diawali dengan berkontraksinya otot diafragma yang
semula melengkung berubah menjadi datar. Keadaan diafragma yang datar mengakibatkan rongga dada
dan paru-paru mengembang. Tekanan udara yang rendah dalam paru-paru menyebabkan udara dari luar
masuk ke dalam paru-paru.
Mekanisme pernapasan perut dapat dibedakan menjadi dua tahap yakni sebagai berikut:
a) Fase inspirasi
Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar, akibatnya rongga dada
membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga udara luar masuk.
b) Fase ekspirasi
Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali keposisi semula,
mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan menjadi lebih besar, akibatnya udara
keluar dari paru-paru.
f) CO2 larut dalam darah dan diangkut darah ke paru-paru, masuk ke alveolus secara difusi.
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) adapun faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pernapasan
adalah sebagai berikut:
1) Posisi tubuh
Pada keadaan duduk atau berdiri pengembangan paru dan pergerakan diafragma lebih baik
daripada posisi datar atau tengkurap sehingga pernapasan lebih mudah.
2) Lingkungan
Oksigen di atmosfer sekitar 21%, namun keadaan ini tergantung dari tempat atau lingkungannya
contoh: pada tempat yang tinggi, dataran tinggi, dan daerah kutub akan membuat kadar oksigen
menjadi berkurang, maka tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan jumlah pernapasan.
3) Polusi udara
Polusi udara yang terjadi baik karena industri maupun kendaraan bermotor berpengaruh terhadap
kesehatan paru-paru dan kadar oksigen karena mengandung karbon monoksida yang dapat merusak
ikatan oksigen dengan hemoglobin.
4) Zat alergen
Beberapa zat alergen dapat memengaruhi fungsi pernapasan, seperti makanan, zak kimia, atau
benda sekitar yang kemudian merangsang membran mukosa saluran pernapasan sehingga
mengakibatkan vasokonstriksi atau vasodilatasi pembuluh darah, seperti pada pasien asma.
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan penyakit pernapasan seperti emfisema, bronkitis, kanker,
dan infeksi paru lainnya. Penggunaaan alkohol dan obat-obatan memengaruhi susunan saraf pusat
yang akan mendepresi pernapasan sehingga menyebabkan frekuensi pernapasan menurun.
6) Nutrisi
Nutrisi mengandung unsur nutrien sebagai sumber energi dan untuk memperbaiki sel-sel rusak.
Protein berperan dalam pembentukan hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen untuk
disebarkan keseluruh tubuh.
7) Peningkatan aktivitas tubuh
Kemampuan pengembangan paru juga berpengaruh terhadap kemampuan kapasitas dan volume
paru. Penyakit yang mengakibatkan gangguan pengembangan paru diantaranya adalah
pneumotoraks dan penyakit infeksi paru menahun.
Obstruksi saluran pernapasan seperti pada penyakit asma dapat menghambat aliran udara masuk ke
paru-paru.
3. Etiologi
Penyebabnya adalah mycobacterium tuberculosis sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Sifat kuman:
a. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih
tahan terhadap asam basa (asam alkohol) disebut bakteri tahan asam (BTA).
c. Kuman dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin.
d. Kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag karena makrofag banyak
mengandung lipid.
e. Kuman bersifat aerob, kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. (Nixson
Manurung, 2016)
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberculosa. Basil ini tidak berspora sehingga mudah
dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam Mycobacteria
Tuberculosis yaitu tipe Human dan tipe Bovin. Basil tipe Human bisa berada dibercak ludah (droplet) dan
di udara yang berasal dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila menghirupnya.
(Wim de Jong dalam Amin & Hardhi, 2015)
Setelah organisme terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan hidup dan menyebar kenodus
limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat menyebabkan TB pada orang lain, dimana
infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun. (Patrick Davey dalam Amin & Hardhi, 2015)
Agen infeksius utama, mycobacterium culosis adalah batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan
lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. (Andra & Yessie, 2013)
Mary DiGiulio, dkk (2014) menjelaskan tentang etiologi tuberkulosis adalah sebagai berikut:
Penyakit infeksi yang menyebar dengan rute naik di udara. Infeksi disebabkan oleh penghisapan air liur
yang berisi bakteri tuberkulosis. Seorang yang terkena infeksi dapat menyebarkan partikel kecil malalui
batuk, bersin, atau berbicara. Berhubungan dekat dengan mereka yang terinfeksi meningkatkan
kesempatan untuk transmisi. Begitu terhisap, organisme secara khas diam di dalam paru-paru, tetapi dapat
menginfeksi organ tubuh lainnya. Organisme mempunyai kapsul sebelah luar.
TB primer terjadi ketika pasien pada awalanya terkena infeksi mycobacterium. Setelah dihirup ke
dalam paru-paru, organisme penyebab suatu reaksi dilokalisir. Ketika makrofag dan T-Lymphocytes
berusaha mengisolasikan dan memusnahkan mycobacterium di dalam paru-paru, kerusakan juga
disebabkan jaringan paru-paru. Luka granulomatous yang berkembang berisi mycobacterium, makrofag,
dan sel lain. Perubahan necrotic terjadi di dalam luka ini. Granuloma berkembang sepanjang getah bening
sepanjang waktu yang sama. Area ini menciptakan kompleks Ghon yang merupakan kombinasi dari area
yang pada awalnya terkena infeksi basil yang naik di udara yang disebut fokus Ghon dan luka geta
bening. Mayoritas orang dengan infeksi baru dan sistem imun yang baik akan menderita infeksi laten.
Penyakit tidak aktif pada kondisi seperti ini dan tidak akan ditularkan. Pada pasien dengan respon inum
kurang baik, tuberkulosis akan progresif, kerusakan jaringan paru-paru terus berlangsung, dan area lain
paru-paru juga akan terkena.
Pada TB sekunder, penyakit diaktifkan pada tahap kemudian. Pasien mungkin terinfeksi kembali
dari air liur, atau dari luka utama sebelumnya. Karena pasien telah sebelumnya terinfeksi TB, respon
imun akan dengan cepat membatasi infeksi. Area berongga ini terjadi ketika seseorang kontak dengan
seseorang yang dicurigai atau dinyatakan menderita TB. Pasien ini tidak mempunyai tes kulit positif,
gejala atau tanda penyakit, atau perubahan-perubahan sinar x pada dada. Mereka bisa jadi atau bisa juga
tidak mengidap tuberculin positif, namun tidak ada gejala penyakit. Rontgen dada mungkin menunjukkan
granuloma atau klasifikasi.
4. Klasifikasi
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan klasifikasi TB paru adalah sebagai berikut:
Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan
sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan
strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut:
2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif 1 kali
atau disokong radiologik positif 1 kali
2) Gejala klinik tidak ada atau gejala sisa akibat kelainan paru
3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah
Klasifikasi menurut American Thoracic Society dalam Amin dan Hardhi (2015), adalah sebagai berikut:
a. Kategori 0: tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tuberculin
negatif.
b. Kategori 1: terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini riwayat kontak positif, tes
tuberculin negatif.
c. Kategori 2: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis dan sputum
negatif.
Sedangkan menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu: (Sudoyo Aru dalam Amin & Hardhi,
2015).
1) Kasus kambuh
5. Insiden
Angka pravalensi tuberkulosis pada tahun 2014 sebesar 647/100.000 penduduk meningkat dari
272/100.000 penduduk pada tahun sebelumnya, angka insiden tahun 2014 sebesar 399/100.000 penduduk
dari sebelumnya sebesar 183/100.000 penduduk pada tahun 2013, demikian juga dengan angka mortalitas
pada tahun 2014 sebesar 41/100.000 penduduk, dari 25/100.000 penduduk pada tahun 2013. (WHO,
Global Tuberculosis Report, 2015)
Angka notifikasi kasus baru tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis pada tahun 2015 di Indonesia
sebesar 74 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 77 per 100.000
penduduk. Sedangkan angka notifikasi seluruh kasus tuberkulosis pada tahun 2015 sebesar 130 per
100.000 penduduk meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar 129 per 100.000 penduduk. (Kemenkes
RI, 2015)
Menurut catatan medical record RSUD Latemmamala Soppeng pada tahun 2015 penderita TB untuk
rawat inap yaitu 45 orang dimana penderita laki-laki sebanyak 21 orang (46,7%) dan perempuan
sebanyak 24 orang (53,3%). Pada tahun 2016 penderita TB pada rawat inap yaitu 41 orang dimana
penderita laki-laki sebanyak 25 orang (60,9%) dan perempuan sebanyak 16 orang (39%). Pada tahun
2017 bulan Januari-Juni penderita TB untuk rawat inap yaitu 45 orang dimana penderita laki-laki
sebanyak 28 orang (62,2%) dan perempuan sebanyak 17 orang (37,7).
6. Patofisiologi
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan tentang patofisiologi dari penyakit TB adalah sebagai berikut:
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhilasi sebagai suatu unit yang terdiri dari
satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak
menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya dibagian bawah lobus atas atau
dibagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme
tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan
bakteri terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe
regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama
10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
dan sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan
granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dan lesi
primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada
orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan
kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke
laring, telinga tengah atau usus. Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan
tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul
yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi
hubungan dengan bronkus dengan menjadi tempat peradagan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui
saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan
mencapai aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh darah
sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke
organ-organ tubuh.
7. Manifestasi klinis
a. Menurut Mary DiGiulio, dkk (2014) tanda dan gejala dari tuberkulosis yaitu:
2) Berkeringat dingin
b. Menurut Andra dan Yessie (2013) gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu
gejala respiratorik dan gejala sistemik.
a) Batuk
Gejala batuk timbul lebih dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula
bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak
darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk dahak terjadi karena
pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah
yang pecah.
c) Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai
seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d) Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul bila sistem
persarafan di pleura terkena.
a) Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam
influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek.
Gejala sistemik sistem lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
c) Timbulnya keluhan biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut
dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
Tuberkulosis paru termasuk insidius. Sebagian besar pasien menunjukkan demam tingkat rendah,
keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk menetap. Batuk
pada awalnya mungkin non produktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum
mukopurulen dengan hemoptisis.
Tuberkulosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku tiada biasa dan
perubahan status mental, demam, anorexia dan penurunan berat badan. Basil TB dapat bertahan lebih dari
50 tahun dalam keadaan dormain.
c. Soedarto (2013) menjelaskan bahwa gejala klinis yang terjadi tergantung pada jenis organ yang
terinfeksi kuman ini. Infeksi paru-paru (tuberkulosis paru) akan menimbulkan gejala batuk-batuk kronis
yang berdahak kadang-kadang berdarah (hemoptisis). Meskipun demikian sering penderita tidak
menunjukkan gejala klinis atau keluhan yang nyata selama bertahun-tahun (asimtomatis).
Gejala umum TBC adalah anoreksia dan penurunan berat badan, tubuh terasa lelah dan lesu, demam dan
sering kedinginan. Pada TBC kulit, kelainan berupa ulkus atau papul yang berkembang menjadi pustula
yang berawarna gelap.
8. Komplikasi
Nixson Manurung (2016) menjelaskan bahwa penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi, yang dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
a. Komplikasi dini
1) Pleuritis
2) Efusi pleura
3) Emplema
4) Laringitis
b. Komplikasi lanjut
3) Amiloidosis
9. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Mansjoer, dkk dalam Amin dan Hardhi (2015), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada
klien dengan Tuberculosis paru, yaitu:
Untuk memastikan diagnostik TB paru, namun pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70%
pasien yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk menentukan adanya IgH
spesifik terhadap basil TB.
Merupakan uji serologi Imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk menentukan adanya IgG
spesifik terhadap basil TB.
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu mikroorganisme
dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh
mykobakterium tuberculosis.
g. MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomanan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti
sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai memakai warna sisir akan berubah.
h. Pemeriksaan radiologi
Rontgen thorax PA dan lateral, gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB, yaitu:
1) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atau segment apikal lobus bawah.
5) Adanya klasifikasi
7) Bayangan milier
Sedangkan menurut Arif Muttaqin (2013) pemeriksaan diagnostik pada TB paru adalah sebagai berikut:
Pada pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala
subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan Rontgen
menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali lokasi di lobus
bawah dan biasanya ada disekitar hilus. Kerakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis
opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas.
b. Pemeriksaan CT Scan
Dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya
gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul, dan adenopati, perubahan
kelengkungan berkas bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial.
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier subakut (kronis).
Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara
masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal
sebelum penggunaan OAT.
Pada beberapa klien, didapatkan bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-nodul sangat kecil yang
menyebar secara difus dikedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul
halus yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Bahan pemeriksaan untuk isolasi mycobacterium tuberculosis berupa:
1) Sputum
Sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum
dikumpulkan dalam 24 jam.
2) Urine
Urine yang diambil adalah urine pertama di pagi hari atau urine yang dikumpulkan selama 12-24 jam.
Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan sputum.
Diambil pada pagi hari sebelum sarapan.
4) Bahan-bahan lain
Misalnya pus, cairan serebrospinal (sum-sum tulang belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, feses, dan
swab tenggorok.
a. Pengobatan
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan tentang cara pengobatan penyakit tuberkulosis adalah sebagai
berikut:
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah
kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7
bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang
sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisan, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol.
Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide, Amoksisilin + asam klavulanat,
derivat Rifampisin/INH, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 1
Aksi
Potensi
Rekomendasi dosis
(mg/kg BB)
Per hari
Perminggu
3x
2x
Isoniazid
Rifamphisin
Pirasinamid
Streptomisin
Etambutol
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakteriostatik
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah rendah
10
25
15
15
10
10
35
15
30
15
10
50
15
45
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu bedasarkan lokasi tuberkulosa,
berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan
sebelumnya. Disamping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oeh WHO yang terdiri dari
lima komponen yaitu:
1) Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
3) Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
b. Pencegahan
Menurut Najmah (2016) berikut ini merupakan pencegahan primer, sekunder, dan tersier tuberkulosis.
1) Pencegahan primer
a) Tersedia sarana-saran kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering
dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
b) Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi
gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
c) Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang
dahak tidak disembarangan tempat.
d) Pecegahan infeksi dengan cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus dipertahankan
sebagai kegiatan rutin. Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi yang baik dengan bisa ditambahkan
dengan sinar UV.
Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain)
dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi positif yang tertular.
f) Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko terjadinya infeksi
misalnya kepadatan hunian.
g) Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara menyembelih
sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif, susu di pasteurasi sebelum dikonsumsi.
h) Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang.
2) Pencegahan Sekunder
a) Pengobatan Preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan
pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
b) Isolasi pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan
mondok di rumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan
program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki
pengobatan jalan.
d) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant,
orang-orang kontak dengan penderita, petugas di rumah sakit, petugas/guru di sekolah, petugas foto
rontgen.
e) Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test.
f) Pengobatan khusus
Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh
dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal
terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
3) Pencegahan tersier
a) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang tercemar debu para
pekerja tambang, pekerja semen, dan sebagainya
b) Rehabilitasi
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Tarwoto dan Wartonah (2015) menjelaskan proses keperawatan adalah metode pengorganisasian yang
sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus
pada identifikasi dan pemecahan masalah dari respon pasien terhadap penyakitnya. Proses keperawatan
digunakan untuk membantu perawat melakukan praktek keperawatan secara sistematis dalam
memecahkan masalah keperawatan. Dengan menggunakan metode ini perawat dapat mendemonstrasikan
tanggung jawab pada klien, sehingga kualitas praktek keperawatan dapat meningkat.
Dalam proses keperawatan ada 5 tahap. Dimana tahap-tahap tersebut tidak dapat dipisahkan, dan saling
berhubungan. Tahap-tahap ini secara bersama-sama membentuk lingkaran pemikiran dan tindakan yang
kontinu, yang mengulangi kembali dengan kontak pasien.
1. Pengkajian
2. Diagnosa keperawatan
3. Intervensi/perencanaan
4. Implementasi/pelaksanaan
5. Evaluasi
Kelima langkah tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mencapai tujuan keperawatan yaitu:
meningkatkan, mempertahankan kesehatan atau membuat pasien mencapai kematian dengan tenang pada
pasien terminal, serta memungkinkan pasien atau keluarga dapat mengatur kesehatannya sendiri menjadi
lebih baik.
1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan proses dinamis yang terorgnisasi yang meliputi tiga aktivitas dasar yaitu:
pengumpulan data secara sistematis, memilih, dan mengatur data yang diperlukan dan
mendokumentasikan data dalam format yang dapat dibuka kembali.
Pengkajian sebagai proses yang kegiatannya bertujuan mengumpulkan informasi mengenai pasien.
Informasi tersebut akan menentukan masalah kesehatan yang meliputi: pengkajian fisik, observasi,
wawancara, riwayat keperawatan, analisa catatan laporan serta dokumen-dokumen lain yang terkait
dengan pengkajian data dasar keperawatan yang perlu dikaji adalah:
a. Biodata
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, suku/bangsa, status pernikahan,
pekerjaan, no.RM, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, dan diagnosa medic.
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan hubungan keluarga.
b. Keluhan utama
3) Lamanya keluhan: sudah berapa lama keluhan yang dirasakan oleh klien.
5) Upaya yang dilakukan utnuk mengatasinya: sendiri atau dibantu oleh orang lain.
c. Riwayat kesehatan
d. Riwayat psikososial
2) Pola kognitif
3) Pola koping
4) Pola interaksi
e. Riwayat spiritual
f. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
a) Tanda-tanda distress
c) Ekspresi wajah
3) Kepala
a) Inspeksi: kesimetrisan muka, tengkorak serta warna rambut
4) Mata
a) Inspeksi
(5) Gerakan bola mata: amati 6 fungsi otot mata dengan gerakan ke 8 arah.
b) Palpasi: palpasi kedua bola mata, bila terasa keras berarti TIO meningkat.
5) Telinga
6) Hidung
b) Palpasi:
(1) Palpasi hidung bagian luar, untuk mengetahui adanya nyeri tekan.
(2) Sinus: periksa adanya nyeri tekan pada sinus maksilaris, frontalis, etmoidalis.
a) Inspeksi:
a) Inspeksi:
b) Palpasi:
a) Inspeksi
(1) Bentuk dada: normal, barrel chest, pigeon chest, funnel chest.
10) Jantung
d) Auskultasi:
(1) Dengarkan BJ I dengan meletakkan stetoskop pada area mitral dan trikuspidalis
(2) Dengarkan BJ II dengan meletakkan stetoskop pada area aorta dan pulmonalis.
a) Inspeksi: puting dan areola mammae (bentuk, kesimetrisan, warna, kulit, vaskularisasi).
b) Palpasi: adanya nyeri tekan dan benjolan pada aksila
12) Abdomen
Otot: periksa adanya pitting edema, perhatikan apakah atropi atau hipertropi.
14) Genetalia
a) Genetalia wanita
(1) Inspeksi: kualitas dan penyebaran pertumbuhan rambut pubis, serta karakteristik permukaan labia
mayora.
(2) Palpasi: kaji ketegangan otot pada saluran vagina dan palpasi kelenjar perineum.
b) Genetalia pria
(1) Inspeksi: kaji kematangan seksual klien dengan memperhatika ukuran, bentuk penis, dan tekstur dari
kulit scrotum serta karakteristik dan penyebaran rambut pubis.
a) Inspeksi: kulit daerah perinial (halus, lembab, lesi, hemoroid eksternal, ulkus).
b) Palpasi: kelenjar prostat untuk menentukan bentuk, kepadatan, nyeri dan lesi.
d) Nervus IV (trochlearis): saraf motorik m.obliqus superior dan saraf sensorik spindle otot informasi
indera m.oblikus superior.
e) Nervus V (trigeminus): saraf sensorik pada wajah, cavum nasi, dan cavum oris.
f) Nervus VI (abducens): saraf motorik dan sensorik m.rectus lateralis bola mata.
g) Nervus VII (facialis): saraf motorik otot ekspresi wajah dan saraf sensorik reseptor pengecapan dua
per tiga bagian anterior lidah.
i) Nervus IX (glosofaringeus): saraf motorik untuk menelan dan saraf sensorik untuk posterior lidah,
pharynx dan larynx.
j) Nervus X (vagus): saraf motorik untuk hampir semua organ thorax dan abdomen, saraf sensorik
untuk pharinx, larinx, trachea, esophagus, cor, dan viscera abdominalis.
a) Tes nyeri: gunakan jarum steril, minta klien untuk tutup mata, kemudian tusukkan perlahan jarum
kekulit klien, tanya apa yang dirasakan.
b) Sentuhan: minta klien utnuk tutup mta, kemudian sentuh klien dengan pilinan kapas, minta klien
untuk merasakannya.
c) Vibrasi: gunakan garputala, kemudian setelah bergetar letakkan pada persendian klien, normalnya
klien akan merasakan getaran garputala kesegala arah.
d) Posisi: minta klien untuk menutup mata gerakkan satu jari anda atau gerakkan ibu jari naik turun
pada sisi jari-jari klien dan minta klien menyebutkan arah gerakan jari tersebut.
Pemeriksaan refleks
a) Refleks biseps: respon normal bila ada fleksi pada lengan bawah dan kontraksi otot biseps.
b) Refleks triseps: respon normal bila ada ekstensi pada lengan bawah dan kontraksi otot triseps.
c) Refleks patella: hasil positif terjadi kontraksi otot quadriceps dan ekstensi ekstremitas bawah.
f) Refleks babinski: positif bila terdapat gerakan dorsoekstensi dari ibu jari kaki dan gerakan abduksi
dari jari-jari lainnya.
c) Kernig sign: positif jika terdapat tahanan dan terdapat rasa nyeri
1. Keluhan yang lazim ditemukan: batuk-batuk dengan sputum, nyeri dada, kesulitan bernafas, batuk
darah, demam dan lemah.
2. Aktivitas/istirahat
Mimpi buruk
3. Integritas ego
4. Makanan/cairan
5. Nyeri/kenyamanan
6. Pernapasan
Napas pendek
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan
pleural). Bunyi napas: menurun/tak ada secara bilateral atau unilateral (effusi pleural/pneumotorak).
Bunyi napas tubuler dan/atau bisikan pektoral di atas lesi luas. Krekels tercatat di atas aspek paru
selama inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekelels posttussie).
Tak perhatian, mudah terangsang yang nyata, perubahan mental (tahap lanjut).
7. Keamanan
8. Penyuluhan/pembelajaran
9. Pemeriksaan diagnostik
1) Kultur sputum positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit.
2) Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) positif untuk
basil asam-cepat.
3) Tes kulit (PPD, Mantoux, potongan vollmer) reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar,
terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradermal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibody
tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik
sakit bararti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang
berbeda.
5) Foto torak dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi
sembuh primer, atau efusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga, area
fibrosa.
8) Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster, urine dan cairan serebrospinal, biopsi
kulit) positif untuk mycobacterium tuberculosis.
9) Biopsi jarum pada jaringan paru positif untuk granuloma TB, adanya sel raksasa menujukkan
nekrosis.
10) Elektrosit dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi, contoh hiponatremia
disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
11) GDA dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
12) Pemeriksaan fungsi paru penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara
residu dan kapasitas paru total, dan penurunan saluran oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim,
fibrosa, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).
10. Prioritas keperawatan
2) Komplikasi dicegah
3. Diagnosa keperawatan
Menurut Marilynn E.Doenges, dkk (2012), diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada klien
dengan tuberculosis adalah :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, hemoptisis;
kelemahan, upaya batuk buruk; dan edema trakheal/faringeal.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder tehadap
penumpukan cairan dalam rongga pleura.
3. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru,
atelektasis; kerusakan membran alveolar-kapiler; sekret kental, tebal; edema bronkial.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan
metabolisme tubuh.
5. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk
bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
6. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan perawatan di rumah.
7. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, penurunan
kerja silis/statis sekret; kerusakan jaringan/tambahan infeksi; penurunan pertahanan/penekanan proses
inflamasi; malnutrisi; terpajang lingkungan; kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) pada tahap perencanaan ada empat hal yang harus
diperhatikan, yaitu menentukan prioritas, menentukan tujuan, melakukan kriteria hasil dan merumuskan
intervensi.
1) Kebutuhan fisiologis, merupakan kebutuhan dasar yang sangat prioritas karena menentukan
kehidupan, misalnya kebutuhan oksigen, kebutuhan cairan, nutrisi, eliminasi, istirahat, tidur.
2) Kebutuhan keselamatan den keamanan, termasuk dalam kebutuhan ini adalah keselamatan dan
keamanan secara fisik maupun psikologis.
3) Kebutuhan akan harga diri, termasuk kepercayaan diri, nilai-nilai, merasa bermakna.
4) Kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan dimana individu merasa mencapai sukses terhadap masalah
atau situasi.
b. Menentukan tujuan
Dalam menentukan tujuan, digambarkan kondisi yang diharapkan disertai jangka waktu.
Contoh: pasien dapat menghabiskan satu porsi makanan selama 3 hari setelah operasi.
2) Bersifat realistik, artinya dalam menentukan tujuan harus dipertimbangkan faktor fisiologis/patologi
penyakit yang dialami dan sumber yang tersedia, serta waktu pencapaian.
3) Dapat diukur, artinya pasien dapat menyebutkan tujuan batuk efektif dengan benar dan
mendemonstrasikan cara batuk efektif.
5) Berpusat pada pasien, artinya rencana tindakan untuk mengatasi masalah pasien.
Rencana asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat mengenai
rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa
keperawatan.
Berikut merupakan rencana asuhan keperawatan pada penyakit TB paru (Marilynn E.Doenges dkk, 2012):
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, hemoptisis;
kelemahan, upaya batuk buruk; dan edema trakheal/faringeal.
Kriteria:
Tabel. 2
Diagnosa I
Intervensi
Rasional
1. Kaji fungsi pernapasan seperti: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan otot
aksesori.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektif, catat karakter jumlah sputum, adanya
hemoptisis.
3. Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien untuk batuk efektif dan latihan napas
dalam.
4. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi, atau anjurkan minum
air hangat.
a. Agen mukolitik
b. Bronkhodilator
1. Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis ronchi, mengi menunjukkan akumulasi
sekret/ketidak mampuan untuk membersihkan jalan napas.
2. Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental. Sputum berdarah kental diakibatkan oleh kerusakan paru
atau luka bronkial.
3. Posisi dapat membantu memaksimalkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area
atelektasis dan meningkatkan
4. Pemasukan cairan dapat membantu untuk mengencerkan secret sehingga mudah untuk dikeluarkan.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder tehadap
penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Kriteria:
Tabel. 3
Intervensi
Rasional
2. Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.
3. Berikan posisi fowler/semifowler tinggi dan miring pada sisi yang sakit, bantu klien latihan napas
dalam.
1. Menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2. Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri
atau dapat menunjukkan terjadinya syok akibat hipoksia
3. Memaksimalkan ekspansi paru dan mnurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal membuka area
atelektasis.
4. Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru,
Intervensi
Rasional
5. Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakhea ke arah sisi yang sehat pada tension
pneumothoraks.
c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru,
atelektasis; kerusakan membran alveolar-kapiler; sekret kental, tebal; edema bronkial.
Tujuan: Gangguan pertukaran gas tidak terjadi
Kriteria:
Tabel. 4
Diagnosa III
Intervensi
Rasional
1. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi thoraks, dan
kelemahan.
1. TB Paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkhopneumonia sampai inflamasi
difus yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang luas.
2. Akumulasi sekret/pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan
metabolisme tubuh.
2) Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang menjadi adekuat
Tabel. 5
Diagnosa IV
Intervensi
Rasional
1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangan
berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual muntah atau diare.
4. Selidiki anoreksia mual dan muntah dan catat kemungkinan hubugan dengan obat dan awasi
frekuensi, volume, konsistensi.
5. Berikan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan serta sebelum dan sesudah
pemeriksaan peroral.
6. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
1. Berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
4. Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area pemecahan masalah untuk
meningkatkan pemasukan nutrisi.
5. Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum atau obat pada pengobatan sistem
pernapasan yang dapat merangsang pusat muntah.
6. Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu/kebutuhan energi dari makan
makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
7. Merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
energi dan kalori.
e. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk
bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
Tujuan: Klien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi
kecemasan.
Kriteria:
Tabel. 6
Diagnosa V
Intervensi
Rasional
1. Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat dalam mengatasi stres.
Intervensi
Rasional
5. Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan baik, maka
perasaan negatif dapat diketahui.
f. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan perawatan di rumah.
Kriteria:
Tabel. 7
Diagnosa VI
Intervensi
Rasional
2. Berikan Health Education pada klien dan keluarga klien tentang penyakit TB paru.
1. Keberhasilan proses belajar dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan yang
kondusif.
2. Pendidikan kesehatan merupakan cara efektif untuk memberikan informasi kepada klien
Intervensi
Rasional
3. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, alasan mengapa pengobatan TB berlangsung
dalam waktu lama.
5. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan cairan
adekuat.
6. Evaluasi tentang pendidikan kesehatan yang diberikan kepada klien dan keluarga klien.
3. Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobatan dn mencegah putus obat karena
membaiknya kondisi pasien sebelum jadwal terapi selesai.
4. Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat yang memerlukan evaluasi
lanjut.
6. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman klien dan keluarga klien tentang penyakit klien.
g. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, penurunan
kerja silis/statis sekret; kerusakan jaringan/tambahan infeksi; penurunan pertahanan/penekanan proses
inflamasi; malnutrisi; terpajang lingkungan; kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
Kriteria:
2) Menunjukkan teknik perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Tabel. 8
Diagnosa VII
Intervensi
Rasional
1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi.
3. Anjurkan pasien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tisu dan menghindari meludah.
1. Membantu pasien menyadari perlunya program pengobatan untuk mencegah pengaktifa berulang.
2. Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
5. Tindakan keperawatan
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) Implementasi merupakan tidakan yang sudah direncanakan dalam
rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan
kolaborasi.
Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau
keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain.
a. Bentuk perawatan seperti melakukan pengkajian untuk mengidentifikasi masalah baru atau
mempertahankan masalah yang ada.
d. Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga profesional kesehatan lainnya sebagai bentuk perawatan
holistik.
e. Bentuk pelaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk memecahkan masalah kesehatan.
g. Melakukan monitoring atau pengkajian terhadap komplikasi yang mungkin terjadi terhadap
pengobatan atau penyakit yang dialami.
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat menentukan keberhasilan dalam
asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya adalah membandingkan status keadaan kesehatan pasien
dengan tujuan atau kriteria hasil yang telah ditetapkan.
d. Sebagai dasar menentukan diagnosis keperawatan sudah tercapai atau tidak, atau adanya perubahan
diagnosis.
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasil tindakan keperawatan. Tujuannya adalah
untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan.
Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian
catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, dan Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-
Noc. Jilid 3. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Andra, dan Yessie. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Nuha Medika.
DiGiulio, Mary dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Farandika, Reiza. 2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia. Depok: Vicost Publishing.
Manurung, Nixson. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory. Jakarta: Trans Info Media.
Muttaqin, Arif. 2013. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika.
Syaifuddin. 2014. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan Dan
Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Tarwoto, dan Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi 5. Jakarta:
Salemba Medika.