Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

TUBERKULOSIS PARU

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh
organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut.
(Sylvia A.price dalam Amin & Hardhi, 2015)
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui
percikan dahak (droplet) dari penderita tuberkulosis kepada individu yang
rentan. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru,
namun dapat juga menyerang organ lain seperti pleura, selaput otak, kulit,
kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem urogenital, dan lain-lain.
(Kemenkes RI, 2015)
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular langsung
melalui droplet orang yang telah terinfeksi kuman/basil tuberkulosis. (WHO,
2014 dalam Najmah, 2016).

B. Anatomi fisiologi
Reiza Farandika (2014) menjelaskan tentang anatomi fisiologi dari
sitem pernapasan adalah sebagai berikut:
1. Anatomi sistem pernapasan
a. Rongga hidung (cavum nasalis)
Rongga hidung termasuk alat pernapasan pada manusia paling
luar, dan merupakan alat pernapasan paling awal. Udara dari luar
akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung
berlapis selaput lendir, didalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar
sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir
berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran
pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang
berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara.
Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yag
berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah rongga
hidung terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut
choanae.
b. Faring
Dari rongga hidung udara yang hangat dan lembab selanjutnya
masuk ke faring. Faring adalah suatu saluran yang menyerupai
tabung sebagai persimpangan tempat lewatnya makanan dan udara.
Faring terletak diantara rongga hidung dan kerongkongan. Pada
bagian ujung bawah faring terdapat katup yang disebut epiglotis.
Epiglotis merupakan katup yang mengatur agar makanan dari masuk
ke kerongkongan, tidak ke tenggorokan. Pada saat menelan , epiglotis
menutup laring. Dengan cara ini, makanan atau cairan tidak bisa
masuk ke tenggorokan.
c. Laring
Antara faring dan tenggorokan terdapat struktur yang disebut
laring. Laring merupakan tempat melekatnya pita suara. Pada saat
kamu berbicara, pita suara akan mengencang atau mengendor. Suara
dihasilkan apabila udara bergerak melewati pita suara dan
menyebabkan terjadinya getaran.
d. Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokoan berbentuk seperti pipa dengan panjang kurang
lebih 10 cm. Di paru-paru trakea bercabang dua membentuk bronkus.
e. Cabang tenggorokan (Bronkus)
Bronkus merupakan cabang batang tenggorokan. Jumlahnya
sepasang, yang satu menuju paru-paru kanan dan yang satu menuju
paru-paru kiri. Bronkus yang ke arah kiri lebih panjang, sempit, dan
mendatar daripada yang ke arah kanan. Hal ini yang mengakibatkan
paru-paru kanan lebih mudah terserang penyakit. Struktur dinding
bronkus hampir sama dengan trakea. Perbedaannya dinding trakea
lebih tebal dripada dinding bronkus. Bronkus akan bercabang
menjadi bronkiolus. Bronkus kanan bercabang menjadi tiga
bronkiolus sedangkan bronkus kiri bercabang menjadi dua
bronkiolus.
f. Bronkiolus
Bronkiolus merupakan cabang dari bronkus. Bronkiolus
bercabang-cabang menjadi saluran yang semakin halus, kecil, dan
dindingnya semakin tipis. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan
tetapi rongganya bersilia. Setiap bronkiolus bermuara ke alveolus.
g. Alveolus
Bronkiolus bermuara pada alveol (tunggal: alveolus), struktur
berbentuk bola-bola mungil yang diliputi oleh pembuluh-pembuluh
darah. Epitel pipih yang melapisi alveoli memudahkan di dalam
kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari udara dalam rongga
alveolus.
h. Paru-paru
Paru-paru terletak didalam rongga dada. Rongga dada dan
perut dibatasi oleh suatu sekat disebut diafragma. Paru-paru ada dua
buah yaitu paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-paru kanan
terdiri atas tiga gelambir (lobus) yaitu gelambir atas, gelambir tengah,
dan gelambir bawah. Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua
gelambir yaitu gelambir atas dan gelambir bawah. Paru-paru
diselimuti oleh suatu selaput paru-paru (pleura). Kapasitas maksimal
paru-paru berkisar sekitar 3,5 liter.
2. Fisiologi pernapasan
Proses pernapasan pada manusia dapat terjadi secara sadar maupun
secara tidak sadar. Pernapasan secara sadar terjadi jika kita melakukan
pengaturan-pengaturan saat bernapas, misalnya pada saat latihan dengan
cara menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa saat, lalu
mengeluarkannya. Pernapasan secara tidak sadar yaitu pernapasan yang
dilakukan secara otomatis dan dikendalikan oleh saraf di otak, misalnya
pernapasan yang terjadi saat kita tidur.
Dalam pernapasan selalu terjadi dua siklus, yaitu inspirasi
(menghirup udara). Berdasarkan cara melakukan inspirasi dan ekspirasi
serta tempat terjadinya, manusia dapat melakukan dua mekanisme
pernapasan, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut.
a. Pernapasan dada
Proses inspirasi ini diawali dengan berkontraksinya muskulus
interkostalis (otot antartulang rusuk), sehingga menyebabkan
terangkatnya tulang rusuk. Keadaan ini mengakibatkan rongga dada
membesar dan paru-paru mengembang. Paru-paru yang mengembang
menyebabkan tekanan udara rongga paru-paru menjadi lebih rendah
dari tekanan udara luar. Dengan demikian, udara luar masuk ke
dalam paru-paru.Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Fase inspirasi
Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga
rongga dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada
menjadi lebih kecil darpada tekanan di luar sehingga udara luar
yang kaya oksigen masuk.
2) Fase ekspirasi
Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara
tulang rusuk ke posisi semula yang diikuti oleh turunnya tulang
rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya,
tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada
tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada yang kaya akan
karbon dioksida keluar.
b. Pernapasan perut
Mekanisme proses inspirasi pernapasan perut diawali dengan
berkontraksinya otot diafragma yang semula melengkung berubah
menjadi datar. Keadaan diafragma yang datar mengakibatkan rongga
dada dan paru-paru mengembang. Tekanan udara yang rendah dalam
paru-paru menyebabkan udara dari luar masuk ke dalam paru-
paru.Mekanisme pernapasan perut dapat dibedakan menjadi dua
tahap yakni sebagai berikut:
1) Fase inspirasi
Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma
mendatar, akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi
kecil sehingga udara luar masuk.
2) Fase ekspirasi
Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma
(kembali keposisi semula, mengembang) sehingga rongga dada
mengecil dan tekanan menjadi lebih besar, akibatnya udara keluar
dari paru-paru.
c. Pertukaran O2 dan CO2
1) Udara masuk ke alveolus (ke kapiler-kapiler darah) secara difusi.
2) Terjadi proses oksihemoglobin, yaitu hemoglobin (Hb) mengikat
O2.
3) O2 diedarkan oleh darah ke seluruh jaringan tubuh.
4) Darah melepaskan O2 sehingga oksihemoglobin menjadi
hemoglobin.
5) O2 digunakan untuk oksidasi menghasilkan energi + CO2+ uap
air.
6) CO2 larut dalam darah dan diangkut darah ke paru-paru, masuk
ke alveolus secara difusi.
7) CO2 keluar melalui alat pernapasan di rongga hidung.

C. Etiologi
Penyebabnya adalah mycobacterium tuberculosis sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um.
Tergolong dalam kuman Myobacterium tuberculosae complex adalah :
1. M. Tuberculosae
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. M. bovis.
Sifat kuman:
1. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam basa (asam alkohol) disebut
bakteri tahan asam (BTA).
2. Kuman tahan terhadap gangguan kimia dan fisis
3. Kuman dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin.
4. Kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag karena makrofag banyak mengandung lipid.
5. Kuman bersifat aerob, kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. (Nixson Manurung, 2016)
Cara penularan TB (Depkes, 2006)
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.

D. Klasifikasi
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan klasifikasi TB paru adalah
sebagai berikut:
Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik,
radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena
merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.
Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB paru dibagi sebagai
berikut:
1. TB paru BTA positif dengan kriteria:
a. Dengan atau tanpa gejala klinik
b. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali
disokong biakan positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali
c. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru
2. TB paru BTA negatif dengan kriteria:
a. Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru aktif
b. BTA negatif, biarkan negatif tetapi radiologik positif
3. Bekas TB paru dengan kriteria
a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
b. Gejala klinik tidak ada atau gejala sisa akibat kelainan paru
c. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan
serial foto yang tidak berubah
d. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
Klasifikasi menurut American Thoracic Society dalam Amin dan
Hardhi (2015), adalah sebagai berikut:
1. Kategori 0: tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negatif, tes tuberculin negatif.
2. Kategori 1: terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini
riwayat kontak positif, tes tuberculin negatif.
3. Kategori 2: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin
positif, radiologis dan sputum negatif.
4. Kategori 3: terinfeksi tuberkulosis dan sakit

E. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi
tuberkulosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet
yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama jenis bovin,
yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya
sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal,
melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat)
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat
dan seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri
dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon berbeda. Jaringan
granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan
membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru
dinamakan fokus Gohn dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening
regional dan lesi primer dinamakan kompleks Gohn respon lain yang dapat
terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas
kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang
dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan
trakeobronkhial. Proses ini dapat akan terulang kembali ke bagian lain dari
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut bila peradangan mereda lumen bronkus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan
rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat
mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan
perkejuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas keadaan ini
dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan
dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat
menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos
dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil
dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini
dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri.
Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya
menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak
pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular
dan tersebar ke organ-organ tubuh.

F. Pathway
G. Manifestasi klinis
Menurut Mary DiGiulio, dkk (2014) tanda dan gejala dari tuberkulosis yaitu:
1. Berat badan turun dan anoreksia
2. Berkeringat dingin
3. Demam, mungkin golongan yang rendah karena infeksi
4. Batuk produktif dengan dahak tak berwarna, bercak darah
5. Napas pendek karena perubahan paru-paru
6. Lesu dan lelah karena aktivitas paru-paru terganggu
Menurut Andra dan Yessie (2013) gambaran klinik TB paru dapat dibagi
menjadi 2 golongan yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik, meliputi:
1) Batuk. Gejala batuk timbul lebih dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
2) Batuk darah. Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi,
mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan
darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk dahak
terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah
tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
3) Sesak napas. Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim sudah luas
atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax, anemia dan lain-lain.
4) Nyeri dada. Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang
ringan. Gejala ini timbul bila sistem persarafan di pleura terkena.
b. Gejala sitemik, meliputi:
1) Demam. Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada
sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin
lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek.
2) Gejala sistem lain. Gejala sistemik sistem lain ialah keringat malam,
anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
3) Timbulnya keluhan biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan,
akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas
walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
Tuberkulosis paru termasuk insidius. Sebagian besar pasien
menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat
badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk menetap. Batuk pada
awalnya mungkin non produktif, tetapi dapat berkembang ke arah
pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis.

H. Komplikasi
Nixson Manurung (2016) menjelaskan bahwa penyakit TB paru bila
tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi, yang dibagi atas
komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
1. Komplikasi dini
a. Pleuritis
b. Efusi pleura
c. Emplema
d. Laringitis
e. Menjelar ke organ lain seperti usus
2. Komplikasi lanjut
a. Obstruksi jalan napas: SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberculosis)
b. Kerusakan arenkim berat: SOPT, fibrosis paru, korpulmonal
c. Amiloidosis
d. Karsinoma paru dan sindrom gagal napas dewasa.

I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mansjoer, dkk dalam Amin dan Hardhi (2015), pemeriksaan
diagnostik yang dilakukan pada klien dengan Tuberculosis paru, yaitu:
1. Laboratorium darah rutin
LED normal/meningkat, limfositosis
2. Pemeriksaan sputum BTA
Untuk memastikan diagnostik TB paru, namun pemeriksaan ini tidak
spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat didiagnosis berdasarkan
pemeriksaan ini.
3. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgH spesifik terhadap basil TB.
4. Tes Mantoux Tuberkulin
Merupakan uji serologi Imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
5. Tekhnik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun
hanya satu mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi
adanya resistensi.
6. Becton Dickinson diagnostik instrument Sistem (BACTEC)
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak oleh mykobakterium tuberculosis.
7. MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomanan yang direkatkan pada
suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam
jumlah memadai memakai warna sisir akan berubah.
8. Pemeriksaan radiologi
Rontgen thorax PA dan lateral, gambaran foto thorax yang menunjang
diagnosis TB, yaitu:
a. Bayangan lesi terletak di lapangan paru atau segment apikal lobus
bawah.
b. Bayangan berwarna ( patchy ) atau bercak ( nodular)
c. Adanya kavitas, tunggal atau ganda
d. Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru
e. Adanya klasifikasi
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
g. Bayangan milier
J. Penatalaksanaan Medik
1. Pengobatan
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan tentang cara pengobatan
penyakit tuberkulosis adalah sebagai berikut:
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain untuk mengobati
juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap
OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Tabel. 1
Obat Anti TB serta cara kerja potensi dan dosisnya

Rekomendasi dosis (mg/kg BB)


Obat Anti TB
Aksi Potensi Perminggu
Esensial Perhari
3x 2x
Isoniazid Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirasinamid Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomicin Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol Bakteriostatik Rendah 15 30 45

2. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.Sebagian besar pasien TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
3. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
a. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori
anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu
paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan
OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)
pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

K. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan
yaitu :
1) Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin,
tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi
menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang
dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak
dengan penderita TB patu yang lain.
2) Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan
penyakit yang di rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas,
batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan
suhu badan meningkat mendorong penderita untuk mencari
pengonbatan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh
penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru
antara lain ISPA efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali
aktif.
4) Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang
menderita penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan
penularannya.
5) Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan
sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya
penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita
tuberkulosis paru yang lain
6) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang
berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi
udara dan tinggal dirumah yang sumpek.
b) Pola nutrisi dan metabolik
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia,
nafsu makan menurun.
c) Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan
dalam miksi maupun defekasi
d) Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan
menganggu aktivitas
e) Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB
paru mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan
istirahat. Dengan adanya batuk terus-menerus penderita akan
mengalami kesulitan tidur.
f) Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan,
dan pendengaran) tidak ada gangguan.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan
emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya.
h) Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan
berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
i) Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan
mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan
penolakan terhadap pengobatan.
j) Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan
terganggunya aktifitas ibadah klien.
7) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Tanda-tanda distress : batuk dengan sputum, sesak, nyeri dada
batuk darah
Penampilan dihubungkan dengan usia
wajah
b) Tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, suhu,
pernapasan
c) Menilai tingkat kesadaran dengan GCS : komposmentis,
apatis, delirium, samnolen, semikoma, koma.
d) Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit
menurun
e) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
Inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi : Suara ketok redup
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki
basah, kasar dan yang nyaring.
f) Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
g) Sistem kardiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 yang
mengeras.
h) Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
i) Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur
dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan.
j) Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 456
k) Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
l) Fungsi Nervus Cranialis
 Nervus I (olfaktorius): sebagai persepsi penciuman
 Nervus II (optikus): untuk persepsi penglihatan
 Nervus III (okulomotorius): saraf motorik otot bola mata
 Nervus IV (trochlearis): saraf motorik m.obliqus superior
dan saraf sensorik spindle otot informasi indera m.oblikus
superior.
 Nervus V (trigeminus): saraf sensorik pada wajah, cavum
nasi, dan cavum oris.
 Nervus VI (abducens): saraf motorik dan sensorik m.rectus
lateralis bola mata.
 Nervus VII (facialis): saraf motorik otot ekspresi wajah dan
saraf sensorik reseptor pengecapan dua per tiga bagian
anterior lidah.
 Nervus VIII (vestibulocochlearis): saraf sensorik untuk
indera pendengaran.
 Nervus IX (glosofaringeus): saraf motorik untuk menelan
dan saraf sensorik untuk posterior lidah, pharynx dan
larynx.
 Nervus X (vagus): saraf motorik untuk hampir semua organ
thorax dan abdomen, saraf sensorik untuk pharinx, larinx,
trachea, esophagus, cor, dan viscera abdominalis.
 Nervus XI (accesorius): saraf motorik untuk volunter
pharyx dan larynx.
 Nervus XII (hypoglossus): saraf motorik otot lidah.
8) Pemeriksaan diagnostik
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Marilynn E.Doenges, dkk (2012), diagnosa keperawatan yang
lazim muncul pada klien dengan tuberculosis adalah :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi
mukus yang kental, hemoptisis; kelemahan, upaya batuk buruk; dan
edema trakheal/faringeal.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder tehadap penumpukan cairan dalam rongga
pleura.
c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
penurunan permukaan efektif paru, atelektasis; kerusakan membran
alveolar-kapiler; sekret kental, tebal; edema bronkial.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan,
anoreksia, dispnea, peningkatan metabolisme tubuh.
e. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis
penyakit yang belum jelas.
f. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
g. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan
primer tidak adekuat, penurunan kerja silis/statis sekret; kerusakan
jaringan/tambahan infeksi; penurunan pertahanan/penekanan proses
inflamasi; malnutrisi; terpajang lingkungan; kurang pengetahuan
untuk menghindari pemajanan patogen.
3. Rencana dan intervensi asuhan keperawatan
Berikut merupakan rencana asuhan keperawatan pada penyakit TB paru
(Marilynn E.Doenges dkk, 2012):
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi
mukus yang kental, hemoptisis; kelemahan, upaya batuk buruk; dan
edema trakheal/faringeal.
Tujuan: Kebersihan jalan napas kembali efektif
Kriteria:
1) Mempertahankan jalan napas klien
2) Pernapasan klien normal (16-24 x/i)
3) Mengeluarkan sekret tanpa bantuan
Intervensi
1) Kaji fungsi pernapasan seperti: bunyi napas, kecepatan, irama,
kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis
ronchi, mengi menunjukkan akumulasi sekret/ketidak mampuan
untuk membersihkan jalan napas.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektif, catat
karakter jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional :Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental. Sputum
berdarah kental diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka
bronkial.
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien untuk
batuk efektif dan latihan napas dalam.
Rasional :Posisi dapat membantu memaksimalkan ekspansi paru,
ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkangerakan secret kedalam jalan napas besar untuk
dikeluarkan.
4) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali
kontra indikasi, atau anjurkan minum air hangat.
Rasional : Pemasukan cairan dapat membantu untuk mengencerkan
secret sehingga mudah untuk dikeluarkan.
5) Kolaborasi dalam pemberian obat-obat sesuai indikasi.
 Agen mukolitik
 Bronkhodilator
Rasional :
Agen mukolitik: menurunkan kekentalan secret untuk memudahkan
pembersihan.
Bronkhodilator: meningkatkan ukuran lumen percabangan
trakeobronkhial, sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran
udara.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder tehadap penumpukan cairan dalam rongga
pleura.
Tujuan: Pola napas kembali efektif
Kriteria:
1) Klien mampu melakukan batuk efektif
2) Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batas
normal.
Intervensi
1) Identifikasi faktor penyebab
Rasional :
2) Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea,
sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional :Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat
terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat
menunjukkan terjadinya syok akibat hipoksia
3) Berikan posisi fowler/semifowler tinggi dan miring pada sisi yang
sakit, bantu klien latihan napas dalam.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya
bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis.
4) Auskultasi bunyi napas. Catat adanya suara tambahan
Rasional : Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps
yang meliputi satu lobus, segmen paru,
5) Berikan terapi oksigenasi
6) Kaji pengembangan dada dan posisi trakhea seluruh area paru.
Rasional : Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi
trakhea ke arah sisi yang sehat pada tension pneumothoraks.
c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
penurunan permukaan efektif paru, atelektasis; kerusakan membran
alveolar-kapiler; sekret kental, tebal; edema bronkial.
Tujuan: Gangguan pertukaran gas tidak terjadi
Kriteria:
1) Melaporkan tidak adanya/penurunan dispnea
2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
3) Bebas dari gejala distres pernapasan
Intervensi
1) Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya
pernapasan, ekspansi thoraks, dan kelemahan.
Rasional : TB Paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian
kecil bronkhopneumonia sampai inflamasi difus yang luas,
nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang luas.
2) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran. Catat sianosis
dan/atau perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa
dan kuku.
Rasional : Akumulasi sekret/pengaruh jalan napas dapat
mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan.
3) Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, bantu kebutuhan
perawatan diri.
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen selama periode
penurunan pernapasan.
4) Pemberian O2 sesuai kebutuhan tambahan.
Rasional : Terapi O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan,
anoreksia, dispnea, peningkatan metabolisme tubuh.
Tujuan: Intake nutrisi klien terpenuhi
Kriteria:
1) Menunjukkan berat badan meningkat
2) Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula
kurang menjadi adekuat
Intervensi :
1) Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit,
berat badan dan derajat kekurangan berat badan, integritas mukosa
oral, kemampuan menelan, riwayat mual muntah atau diare.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah
dan pilihan intervensi yang tepat.
2) Kaji pola diet pasien yang disukai atau tidak disukai
Rasional : Pertimbangan keinginan individu memperbaiki
masukan diet.
3) Awasi masukan/pengeluaran dan berat badan secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mengukur kefektifan nutrisi dan
dukungan cairan.
4) Selidiki anoreksia mual dan muntah dan catat kemungkinan
hubugan dengan obat dan awasi frekuensi, volume, konsistensi.
Rasional : Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi
area pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan nutrisi.
5) Berikan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan
serta sebelum dan sesudah pemeriksaan peroral.
Rasional : Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa
sputum atau obat pada pengobatan sistem pernapasan yang dapat
merangsang pusat muntah.
6) Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein
dan karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang
tak perlu/kebutuhan energi dari makan makanan banyak dan
menurunkan iritasi gaster.
7) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis
diet yang tepat.
Rasional : Merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori.
e. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis
penyakit yang belum jelas.
Tujuan: Klien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga
tidak terjadi kecemasan.
Kriteria:
1) Klien nampak lebih rileks dan santai
2) Tidak ada tanda cemas pada raut wajah klien
Intervensi :
1) Bantu dalam mengidentifikasi sumber koping yang ada.
Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara
konstruktif sangat bermanfaat dalam mengatasi stres.
2) Ajarkan tekhnik relaksasi.
Rasional : Mengurangi ketegangan otot.
3) Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan klien
Rasional : Hubungan saling percaya membantu memperlancar
proses terapeutik.
4) Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas
Rasional : Membangun kepercayaan dalam mengurangi
kecemasan
5) Bantu klien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila
sudah teridentifikasi dengan baik, maka perasaan negatif dapat
diketahui.
f. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
Tujuan: Klien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
Kriteria:
1) Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan
pengobatan
Intervensi :
1) Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajarn (pengetahuan
klien).
Rasional : Keberhasilan proses belajar dipengaruhi oleh kesiapan
fisik, emosional, dan lingkungan yang kondusif.
2) Berikan Health Education pada klien dan keluarga klien tentang
penyakit TB paru.
Rasional : Pendidikan kesehatan merupakan cara efektif untuk
memberikan informasi kepada klien
3) Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, alasan mengapa
pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
Rasional : Meningkatkan partisipasi klien dalam program
pengobatan dan mencegah putus obat karena membaiknya kondisi
pasien sebelum jadwal terapi selesai.
4) Ajarkan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi
gejala/tanda reaktivasi penyakit.
Rasional : Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit
dan efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
5) Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet
karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik membantu
meminimalkan kelemahan dan meningkatkanpenyembuhan.
Cairan dapat mengencerkan sekret.
6) Evaluasi tentang pendidikan kesehatan yang diberikan kepada
klien dan keluarga klien.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman klien dan
keluarga klien tentang penyakit klien.
g. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan
primer tidak adekuat, penurunan kerja silis/statis sekret; kerusakan
jaringan/tambahan infeksi; penurunan pertahanan/penekanan proses
inflamasi; malnutrisi; terpajang lingkungan; kurang pengetahuan
untuk menghindari pemajanan patogen.
Tujuan: Tidak terjadi penyebran/penularan infeksi
Kriteria:
1) Mencegah resiko penyebaran infeksi
2) Menunjukkan teknik perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Intervensi :
1) Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi.
Rasional : Membantu pasien menyadari perlunya program
pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang.
2) Identifikasi orang lain yang berisiko.
Rasional : Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat
untuk mencegah penyebaran infeksi.
3) Anjurkan pasien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tisu
dan menghindari meludah.
Rasional : Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran
infeksi.
4) Awasi suhu sesuai indikasi.
Rasional : Reaksi demam indikator adanya reaksi lanjut.
4. Tindakan keperawatan
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) Implementasi merupakan
tidakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan
keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan
kolaborasi.
Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang
didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan
petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi
adalah tindakan didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan
petugas kesehatan lain.
Implementasi keperawatan dapat berbentuk:
a. Bentuk perawatan seperti melakukan pengkajian untuk mengidentifikasi
masalah baru atau mempertahankan masalah yang ada.
b. Pengajaran/pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu
menambah pengetahuan tentang kesehatan.
c. Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien
d. Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga profesional kesehatan lainnya
sebagai bentuk perawatan holistik.
e. Bentuk pelaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk memecahkan
masalah kesehatan.
f. Membantu pasien dalam melakukan kesehatan sendiri.
g. Melakukan monitoring atau pengkajian terhadap komplikasi yang
mungkin terjadi terhadap pengobatan atau penyakit yang dialami.
5. Evaluasi
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasil
tindakan keperawatan. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana
tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan.
Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut:
a. Daftar tujuan-tujuan pasien
b. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu
c. Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien.
d. Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak.
Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan,
serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, dan Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan Nanda Nic-Noc. Jilid 3. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Andra, dan Yessie. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Nuha
Medika.
DiGiulio, Mary dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha
Publishing.
Doenges, Marylinn E. dkk. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta:EGC.
Farandika, Reiza. 2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia. Depok: Vicost
Publishing.
Manurung, Nixson. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory.
Jakarta: Trans Info Media.
Muttaqin, Arif. 2013. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Najmah. 2016. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans Info Media.
Soedarto. 2013. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Syaifuddin. 2014. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk
Keperawatan Dan Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Tarwoto, dan Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai