Anda di halaman 1dari 6

FK UNAND [DERMATOLOGY AND VENEROLOGY]

Journal Reading

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis (TEN): an


update

O Mogole, N Schellack, MH Motswaledi

Oleh

Ayu Putri Firda Ningsih 1310311043

Dede Rahman Agustian 1310311062

Pembimbing

Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp. KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN

RSUP M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2017
FK UNAND [DERMATOLOGY AND VENEROLOGY]

Sindroma Steven-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik

Abstrak

Sindroma Steven Johnson (SSJ) merupakan bentuk dari Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), suatu
kondisi yang jarang ditemui namun mengancam kehidupan akibat reaksi hipersensitifitas yang
mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Pemicu tersering kondisi ini adalah obat-obatan, tetapi
dapat juga dipicu oleh infeksi. Granulisin baru-baru ini diidentifikasi sebagai molekul utama yang
bertanggungjawab pada nekrosis keratinosit yang meluas. Identifikasi segera pemicu dan
menghilangkannya merupakan poin penting dalam mencegah perburukan kondisi pasien dan dapat
mengurangi angka kematian. Terapi suportif lebih sering dianjurkan dibanding terapi imunomodulasi
karena lebih memberikan hasil yang baik.

Kata kunci : Sindrom Steven-Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksisk, granulisin, terapi suportif,
hipersensitifitas, imunomodulasi.

Pengantar

Sindroma Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat
yang dipicu oleh obat-obatan dan kadang dapat dipicu oleh infeksi. Penyakit ini dicirikan sebagai
nekrolisis epidermal yang luas pada kulit dan mukosa serta berkaitan dengan morbiditas yang tinggi.
Kedua penyakit ini dibedakan berdasarkan luas permukaan tubuh yang mengalami nekrolisis. SSJ dan
NET merupakan kondisi yang berat dan berpotensi fatal pada fase akut akibat nekrosis yang terjadi
pada permukaan tubuh baik eksternal maupun internal, hal ini menjadi predisposisi terjadinya
komplikasi yang mengancam keselamatan pasien, seperti sepsis dan multi-organ failure. Di Afrika
Selatan, mayoritas pasien SSJ dan NET adalah wanita usia muda hingga paruh baya dengan HIV
positif, dan obat-obatan pemicu tersering adalah nevirapine dan co-trimoxazol.

SSJ dan NET sangat jarang terjadi tanpa di dahului penggunaan obat-obatan sebelumnya, dan pada
kasus yang jarang tersebut umumnya berupa riwayat penggunaan obat jangka panjang yang tidak
dapat dihubungkan secara langsung dengan kondisi pasien. Kondisi lain dimana SSJ dan NET dapat
terjadi meliputi vaksinasi, terpapar bahan kimia dan asap industri, konsumsi obat alami dan obat
herbal tradisional cina dan juga infeksi oleh Mycoplasma Pneumoniae dan herpes simpleks virus.

Patofisiologi

Hingga baru-baru ini, SSJ dan NET dianggap sebagai penyakit idiopatik, namun kini penelitian
menemukan bahwa morbiditas dapat terjadi akibat predisposisi genetik terhadap reaksi
hipersensitivitas. Protein kationik di produksi oleh limfosit T sitotoksik dan sel-sel Natural Killer (sel
NK), yang disebut granulisin, baru-baru ini telah diidentifikasi sebagai molekul sitolitik utama dalam
nekrosis keratinosit pada kasus SSJ dan NET. Granulisin merupakan molekul yang paling umum
ditemukan pada blister pasien SSJ dan NET dan dipercayai sebagai sitokin merusak molekul retinoid
seperti asam retinoat. Ketika sel sel keratinosit (sel yang membentuk 90% dari sel-sel epidermis)
mati, lapisan epidermis akan terlepas dari dermis dan terjadi nekrosis jaringan. Mawson, Eriator,
Karre menyederhankanan patofisiologinya dengan hipotesa bahwa beberapa obat memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dan bersinergi dengan retinoid endogen, sehingga terjadi
penumpukan dan kerusakan pada hepar dan menginduksi disfungsi hepar kolestatik. Kondisi ini
FK UNAND [DERMATOLOGY AND VENEROLOGY]

menyebabkan masuknya senyawa retinoid toksik ke dalam sirkulasi dan menginduksi sitotoksisitas
dan apoptosis yang luas dengan bantuan granulisin.

Tabel 1. Obat yang paling sering menyebabkan SSJ dan NET

Kelas Contoh obat di kelas


antibakteri Sulfonamid (trimetoprim/sulfametoksazol), penisilin,
tetrasiklin, kuinolon, vankomisin.
antikonvulsan Carbamazepin, phenytoin, fenobarbital, iamitrogine
antigout Allopurinol
antimalaria Klorokuin
ARV Nevirapine, abacavir, protease inhibitor
antituberculosis Etambutol, isoniazid
NSAIDS Aspirin, piroksikam, diklofenak

Presentasi klinis

SSJ dan NET umumnya berkembang dalam delapan minggu pertama setelah memulai pengobatan
baru. Gejala awal berupa demam dan malaise diikuti oleh erupsi kulit generalisata yang terdiri dari
makula, papula, lesi target yang atipikal, dan vesikel atau bula. Mokenhaupt (2016) ciri lebih lanjut
pada kondisi ini berupa eritema kulit dengan pembentukan blister dan erosi hemoragik dari selaput
lendir seperti stomatitis, balanitis, colpitis (vaginitis), konjungtivitis berat dan blepharitis. Definisi
yang paling banyak diterima dari kondisi ini didasarkan pada luas detasemen kulit, dengan SSJ yang
didefinisikan ketika permukaan kulit terkelupas mencakup kurang dari 10% dari luas permukaan
tubuh dan NET didefinisikan ketika lebih dari 30% dari permukaan tubuh. Epidermal detasemen
antara 10-30% merupakan SSJ dan NET yang tumpang tindih.

Gambar 1: Stevens Johnson Syndrome (SSJ): Pada pasien yang diterapi menggunakan
Co-rimoxazole/Sulfamethoxazole
FK UNAND [DERMATOLOGY AND VENEROLOGY]

Gambar 2: Toxic Epidermal Necrolysis akibat terapi lini I TB note greater

Komplikasi

Komplikasi paru yang paling terdokumentasi pada kasus SSJ adalah penyakit paru obstruktif yang
meliputi bronchiolitis, bronkiektasis, dan bronkitis obliteratif kronis. pasien-pasien ini tampil dengan
gejala batuk, dyspnoea, mengi, sputum purulen dan terkadang demam. Komplikasi hepar dan
gastrointestinal yang telah umum didokumentasikan adalah striktur esofagus yang umumnya
muncul setelah satu bulan timbulnya SSJ / NET. Teo dan Walsh (2016) juga melaporkan bahwa ulkus
intestinal, kolestasis kronis, hepatitis iskemik dan vanishing bile duct syndrome juga telah
didokumentasikan sebagai komplikasi penyakit ini.

Keterlibatan membran mukosa mulut terlihat pada mayoritas (70 100%) pasien dengan SSJ dan
NET, termasuk kerusakan gigi yang parah sebagai akibat infeksi bakteri karena produksi saliva yang
menurun dan ulserasi dengan inflamasi fibrin eksudatif yang mengarah pada reepitelisasi dan
penyembuhan. Beberapa hipoplasi gigi juga telah didokumentasikan pada pasien ini. Keterlibatan
Otorhinolaryngologi termasuk stenosis hipofaringeal, sinekia septum, sinekia pinna, laringitis akut,
epiglotitis, dan ulserasi pada rongga hidung yang menunjukkan perbaikan dengan terapi suportif dan
pengelolaan jalan nafas. Komplikasi ginekologis melibatkan adenosis vulva dan vagina, fusi labia
mayor dan minor, sinekia labia serta komplikasi ginjal meliputi glomerulonefritis dan insufisiensi
ginjal kronis.

Pengelolaan

Pengobatan non-farmakologi

Perawatan suportif terisolasi yang cepat dan agresif pada unit pelayanan luka bakar intensif dapat
menjadi salah satu intervensi terpenting bagi pasien dengan SSJ dan NET. Obat penyebab harus
segera diidentifikasi dan dihentikan sesegera mungkin untuk meningkatkan prognosis. Suhu
temperatur ruangan harus ditingkatkan menjadi rentang 30-32 derajat Celcius, terutama jika luas
FK UNAND [DERMATOLOGY AND VENEROLOGY]

permukaan tubuh yang terlibat luas. Pasien harus memperoleh cairan dan elektrolit pengganti serta
larutan albumin untuk mencegah hipoperfusi organ dan syok. Sementara pasien berada di ICU,
dilakukan debridement jaringan nekrotik dan area kulit yang terbuka harus ditutupi menggunakan
membran artifisial atau menggunakan biological dressing untuk mendorong pemulihan, mengurangi
pembentukan scar dan ketidaknyamanan, serta mencegah terjadinya infeksi. kultur darah, kulit dan
urin harus dilakukan karena tingginya angka kejadian infeksi pada pasien SSJ dan NET.

Pengobatan Farmakologi

1. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid telah lama digunakan dalam pengobatan SSJ dan NET selama bertahun-tahun
meskipun terdapat kontroversi dalam penggunaannya pada pasien ini. Beberapa literatur
menekankan bahwa kortikosteroid dosis tinggi dapat digunakan untuk menghambat proses
inflamasi. Sedangkan beberapa literatur lain menuliskan kortikosteroid dapat meningkatkan
angka terjadinya infeksi, risiko terjadinya septikemia dan menghambat reepitelisasi yang
mengakibatkan perpanjangan masa rawatan dan meningkatkan angka mortalitas. Dosis
tinggi intravena dexamethasone (1,5 mg/kg/hari), jika digunakan dalam tiga hari,
tampaknya dapat menghentikan progresifitas penyakit dan mendorong penyembuhan
dalam tiga minggu.

2. Human Intravenous immunoglobulin (Ivig)


Human Intravenous immunoglobulin (Ivig) telah lama digunakan baik sebagai terapi dan
pencegahan SSJ dan NET karena adanya hipotesis bahwa antibodi didalam Ivig manusia
dapat menghambat nekrosis keratinosit yang dimediasi oleh Fas. Creamer et al. 2016
menyimpulkan mortalitas pada pasien yang menggunakan Ivig tidak menunjukkan perbaikan
dibandingkan pasien yang hanya memperoleh terapi suportif saja, sedangkan Mowknhaupt
(2016) menyimpulkan Ivig bukanlah terapi terbaik pada kasus SSJ dan NET.

3. Siklosporin
Siklosporin menghambat apoptosis melalui inhibisi NF-kB dan telah dilaporkan memiliki hasil
yang baik ketika diberikan dengan dosis 3mg/kg/hari selama 10 hari. Siklosporin digunakan
karena dugaan memiliki efek pada granulisin dan menurunan angka kematian.

4. Plasmaferesis
Plasmaferesis merupakan proses mengeluarkan komponen patogen yang tidak dapat
didialisis dari plasma darah. Darah diganti dengan menambahkan albumin dalam plasma
buatan dan dimasukkan kembali ke dalam tubuh pasien.

5. Siklofosfamid
Keuntungan siklofosfomid pada pasien dengan NET akut sebelumnya telah dilaporkan
namun tidak direkomendasikan lagi sebagai terapi pada pasien SSJ dan NET karna
meningkatkan angka kematian.
FK UNAND [DERMATOLOGY AND VENEROLOGY]

6. TNF-alfa inhibitor
Infliximab, pentoxiphylline dan thalidomide telah digunakan dalam perawatan SSJ dan NET
dengan memanfaatkan kemampuan obat-obatan tersebut dalam menginhibisi TNF-alfa yang
diduga memiliki peran dalam perjalan penyakit SSJ dan NET

7. Granulocyte colony stimulating factor


Granulocyte colony stimulating factor telah digunakan untuk meningkatkan jumlah neutrofil
pada pasien dengan SSJ dan NET untuk menurunkan kejadian infeksi akibat neutropenia.

Kesimpulan

SSJ dan NET merupakan kondisi yang membahayakan; reaksi obat yang dimediasi sel-T dan berujung
pada kematian keratinosit yang cepat dan ireversibel. Meskipun SSJ kurang berbahaya dibandingkan
NET, kedua kondisi tersebut memiliki etiologi, kerentanan genetik dan patogenesis yang sama. Obat
yang paling berisiko memicu kondisi ini; allupurinol, anti infeksi sulfonamide (terutama co-
trimoxazole), carbamazepine, fenitoin, fenobarbital dan NSAIDs. Akibat langkanya penyakit ini, direct
evidence terhadap perawatan spesifik sulit untuk dinilai, namun terapi suportif pada unit pelayanan
intensif atau unit luka bakar telah diketahui merupakan pengelolaan terbaik pada pasien SSJ dan
NET. Terapi standar meliputi analgesia, perawatan luka, penggantian cairan, dukungan nutrisi, dan
kontrol infeksi. Keuntungan menggunakan kortikosteroid dosiss tinggi, Ivig, dan plasmaferesis belum
memperoleh bukti efektif dan kedepannya membutuhkan studi retrospektif yang terdaftar dan
global untuk meningkatkan pengelolaan SSJ dan NET. Gejala sisa penyakit ini sangat sulit untuk
diprediksi , sehingga butuh monitoring dan follow up untuk mendeteksi tanda komplikasi setelah
resolusi fase akut dan pasien juga harus di edukasi untuk menghindari penggunaan obat-obat
pemicu.

Anda mungkin juga menyukai