Anda di halaman 1dari 20

Referat

NEKROLISIS EPIDERMAL

Oleh
Safitri Muhlisa
04084821719194

Pembimbing
Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. MOH. HOESIN
PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

NEKROLISIS EPIDERMAL

Oleh:
Safitri Muhlisa
04084821719194

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 6 November
11 Desember 2017.

Palembang, November 2017

Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

2
Nekrolisis Epidermal
Safitri Muhlisa
Pembimbing: Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, Sp. KK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2017

Pendahuluan
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan
kegawatdaruratan kulit ditandai nekrosis dan pengelupasan epidermis yang luas dan dapat
menyebabkan kematian. Diawali dengan makula eritema terutama di wajah, batang tubuh dan
ekstremitas proksimal, kemudian meluas dengan cepat menjadi bula kendur diikuti
pengelupasan epidermis.1
SSJ dan NET adalah varian dari penyakit yang sama dan dibedakan berdasarkan
persentase luas permukaan tubuh yang terlibat. Kedua penyakit ini dikelompokkan sebagai
nekrolisis epidermal (NE) yang kemudian diklasifikasikan dalam 3 kelompok berdasarkan luas
permukaan kulit tubuh yang terlibat, yaitu: 1) sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dengan lesi
epidermolisis <10% luas permukaan kulit tubuh; 2) overlap SSJ-NET lesi mengenai 10%30%;
3) nekrolisis epidermal toksik (NET) ditandai dengan epidermolisis lebih dari 30%.1,2
Angka kejadian SSJ di dunia diperkirakan sebanyak 1,26 kasus/juta penduduk/tahun dan
NET 0,41,2 kasus/ juta penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada berbagai usia, tetapi
lebih sering terjadi pada usia di atas 40 tahun dengan perempuan lebih banyak daripada laki-
laki sebanyak 5:3. Angka kematian lebih dari 30% pada kasus NET dan pada SSJ 512%.1
Terdapat 5000 kasus rawat inap di Amerika Serikat dengan diagnosis utama eritema
multiforme, sindrom Stevens-Johnson dan NET dan 35% dari kejadian ini berhubungan dengan
penggunaan obat.3 Penelitian di rumah sakit umum di Singapura pada Januari 2004November
2010 didapatkan kejadian SSJ sebanyak 18 kasus, 7 kasus overlap SSJ-NET, dan NET 3 kasus.4
Penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Husein (RSMH) Palembang periode
20062008 didapatkan 43 pasien dengan nekrolisis epidermal (NE) yang terdiri atas 35 orang
(81,4%) SSJ, diikuti overlap SSJ-NET 5 orang (11,6%) dan NET 3 orang (7%).5 Perhitungan
angka kejadian SSJ di RSMH Palembang adalah berkisar 0,096% sampai dengan 0,18% antara
tahun 20062008. Penelitian di RSMH Palembang membandingkan SSJ-NET rawat inap
dibandingkan dengan seluruh kunjungan pasien antara 2006-2008 inap. Penelitian tersebut
menunjukan bahwa kelompok usia terbanyak pasien SSJ ialah 2636 tahun, overlap SSJ-NET

3
hanya terdapat pada kelompok usia <37 tahun, dan kasus NET hanya terdapat pada kelompok
usia 37 tahun.5
Obat diperkirakan sebagai penyebab terbanyak dan lebih dari 100 macam obat diduga
berperan sebagai penyebab. Penyebab lain adalah infeksi Mycoplasma pneumonia dan virus
herpes simpleks, keganasan dan idiopatik. Beberapa obat lain yang telah dilaporkan, di
antaranya allopurinol, trimetroprimsulfametoksazol, antibiotik golongan sulfonamid,
aminopenisilin, sefalosporin, serta kuinolon. Penggunaan fenobarbital, karbamazepin, dan
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang lama juga dapat merangsang terjadinya NE.1,2,6,7
Patogenesis penyakit ini adalah terdapat reaksi cell mediated cytotoxic terhadap
keratinosit yang mengakibatkan apoptosis masif melalui perforin-granzyme B atau FasL.
Kerentanan genetik diduga berperan dalam NE, karena terdapat asosiasi yang kuat antara HLA
B*1502 dengan NE akibat karbamazepin dan HLA-B*5801 dengan NE akibat alopurinol.1,6
Derajat keparahan NE dapat dinilai dengan skala SCORTEN (scoring system for patients
with epidermal necrolysis), untuk memprediksi mortalitas kasus NE. Awalnya skala tersebut
dikembangkan untuk NET, tetapi kemudian dapat pula dipakai pada SSJ, luka bakar dan reaksi
obat. Nilai 1 diberikan untuk setiap kriteria yang terpenuhi dengan skala.1,8
Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran
klinis, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, tatalaksana, dan prognosis
nekrolisis epidermal yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang nekrolisis
epidermal. Kompetensi nekrolisis epidermal bagi dokter umum adalah 3B, sehingga mahasiswa
profesi dokter dituntut untuk mengetahui dan memahami nekrolisis epidermal agar dapat
memberikan tatalaksana awal pada keadaan gawat darurat bagi setiap pasien nekrolisis
epidermal yang dihadapi selama proses pendidikan maupun kegiatan profesional kelak.

Definisi
Nekrolisis epidermal, mencakup sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis
epidermal toksik (NET) merupakan reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan
pelepasan epidermis yang luas dan dapat mengancam jiwa. SSJ dan NET ditandai dengan
keterlibatan kulit dan membran mukosa, dan karena kesamaan temuan klinis dan histopatologis,
kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang serupa, hanya berbeda
pada keparahan area permukaan kulit yang terkena. Pada SSJ terdapat epidermolisis sebesar
<10% luas permukaan badan (LPB), sedangkan pada NET >30% LPB. Epidermolisis sebesar
10%30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET.1,2

4
Gambar 1. Spektrum NE berdasarkan area permukaan kulit yang mengalami epidermolisis2

Epidemiologi
Nekrolisis epidermal merupakan penyakit yang jarang. Secara umum, insiden SSJ adalah
16 kasus/juta penduduk/tahun, dan insiden NET 0,41,2 kasus/juta penduduk/tahun. Penyakit
ini dapat terjadi pada setiap usia dan risiko meningkat pada usia di atas 40 tahun, dan perempuan
lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan rasio 0,6. Pasien terinfeksi HIV, penyakit
kolagen vaskular, dan kanker menunjukkan peningkatan risiko mendapat NE. Angka kematian
NE berkisar 20%25%, bervariasi mulai dari 5% sampai 12% untuk SSJ dan lebih dari 30%
untuk NET. Pertambahan usia, komorbiditas, dan luas kulit terkena berkorelasi dengan
prognosis buruk.1

Etiologi
Mekanisme NE masih belum jelas, tetapi terbukti bahwa obat merupakan faktor penyebab
terpenting. Lebih dari 100 obat telah diduga sebagai penyebab NE. Beberapa obat risiko tinggi
dianggap bertanggung jawab terhadap separuh kasus NE di Eropa (Tabel 1). Obat-obat yang
sering menyebabkan NE adalah sulfonamida, antikonvulsan aromatik, alopurinol, antinflamasi
nonsteroid, lamotrigin, dan nevirapin. Risiko kejadian penyakit terutama pada 8 minggu
pertama pengobatan.1,8

5
Sejumlah kecil kasus, dilaporkan berkaitan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia,
virus, dan imunisasi, khususnya pada anak-anak. Terdapat kasus NE yang dilaporkan setelah
transplantasi sumsum tulang. Beberapa diantaranya merupakan bentuk ekstrim dari penyakit
graft-versus-host akut dan lainnya karena induksi obat. Hubungan antara NE dan penyakit
graft-versus-host akut sulit dinilai karena baik lesi kulit maupun gambaran histologi hampir
tidak dapat dibedakan. Beberapa kasus, etiologinya tidak diketahui.1

Tabel 1. Jenis Obat dan Risiko NE1


Risiko Tinggi Risiko Lebih Rendah Risiko Meragukan Risiko Tidak Terbukti
Alopurinal NSAID (diklofenak) Parasetamol Aspirin
Sulfametoksazol Aminopenisilin Pirazolon Sulfonilurea
Sulfadiazin Sefalosporin Kortikosteroid Tiazid
Sulfapiridin Quinolon NSAID lain (kecuali Furosemid
Sulfadoksin Cyclins aspirin) Aldakton
Sulfasalazin Makrolid Sertralin Ca-channel blocker
Karbamazepin -blockers
Lamotrigin Angiotensin-converting
Fenobarbital enzyme inhibitors
Fenitoin Angiotensin II receptor
Fenilbutazon antagonist
Nevirapin Statin
NSAID oksikam Hormon
Tiasetazon Vitamin

Patogenesis
Nekrolisis epidermal sebagian besar diakibatkan oleh efek kumulatif risiko yang
berhubungan dengan struktur obat dan kecenderungan genetik pasien (alel human leukocyte
antigen [HLA], karakteristik metabolisme obat, dan klonotip sel T) (Gambar 2).7

Gambar 2. Model swiss cheese dari SSJ dan NET8

6
Genetik
Kerentanan genetik ikut berperan pada patogenesis NE ras tertentu. Asosiasi kuat didapati
pada populasi Han Chinese, Thailand, India, dan Malaysia antara HLA-B*1502 dan SSJ yang
diinduksi karbamazepin. Asosiasi NE akibat karbamazepin dan HLA-B*1502 ini tidak
dijumpai pada orang Eropa yang tidak mempunyai turunan Asia. Berlawanan dengan HLA-
B*580l dan SSJ akibat alopurinol yang umum dijumpai di semua populasi, termasuk Han
Chinese, Thailand, Jepang, Korea, dan Eropa.1,6,7

Mekanisme Imunonologi
Nekrolisis epidermal merupakan reaksi hipersensitivitas obat tipe lambat, dengan latensi
khas 428 hari dan terjadi selama 8 minggu setelah inisiasi obat yang dicurigai.7
Obat-obatan ini memiliki berat molekul rendah dan sering dianggap sebagai antigen asing
oleh T cell receptors (TCRs) untuk mengaktifkan respon imun adaptif. Beberapa konsep telah
ditemukan untuk menjelaskan bagaimana senyawa molekul kecil bisa dikenal TCRs. Dalam
beberapa kasus, obat-obatan berinteraksi langsung dengan TCR yang terlibat dalam presentasi
molekul HLA dari antigen-presenting cells (APCs). Model ini dikenal sebagai konsep p-i
(pharmacological interaction of drugs with immune receptors). Sebagai contoh karbamazepin
tidak dapat berikatan secara kovalen ke peptida atau protein tetapi mampu berikatan ke TCRs
dengan afinitas rendah dan mengaktivasi sel T. Obat juga dapat berinteraksi dengan TCRs
melalui kompleks peptida-obat yang dipaparkan pada molekul HLA APCs, dikenal sebagai
konsep hapten, contohnya Beta laktam yang membentuk ikatan kovalen terhadap residu lisin.
Setelah obat-obatan spesifik berikatan secara nonkovalen ke molekul HLA dan TCRs, HLA-
obat-TCRs menginisiasi reaksi imunitas dengan mengaktivasi sel T sitotoksik CD8+ dan sel
natural killer (NK). Baru-baru ini, penggunaan subtipe TCR bersama dan terbatas pada NE
yang diinduksi karbamazepin diidentifikasi, menunjukkan bahwa molekul peptida endogen
HLA-B*1502 yang mempresentasikan karbamazepin ke sel T sitotoksik tanpa keterlibatan
metabolisme obat intraseluler atau pemprosesan antigen (Gambar 3).7

7
Gambar 3. Interaksi langsung antara molekul HLA-B1502 dan karbamazepin mengaktivasi sel T
dengan reseptor sel T (TCR) terbatas7
Sitokin terlibat dalam patogenesis NE. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
tumor necrosis factor (TNF)- dijumpai dalam lesi NE dan berkorelasi secara proporsional
dengan perkembangan penyakit. TNF- dapat menginduksi apoptosis sel, aktivasi, dan
diferensiasi, serta respon inflamasi. Selain itu, interferon (IFN)- adalah sitokin yang umum
yang terlibat dalam hipersensitivitas obat tipe lambat, termasuk NE. IFN- sering diekspresikan
pada dermis dan epidermis superfisial pada lesi NE. IFN- diketahui menginduksi presentasi
antigen dan dengan demikian merangsang imunitas dengan upregulasi molekul HLA. TNF-,
IFN-, beberapa sitokin, dan reseptor kemokin yang bertanggung jawab atas proliferasi,
pengaturan, dan pengaktifan sel T telah ditemukan pada lesi kulit, cairan blister, sel-sel blister,
sel mononuklear perifer, atau plasma pasien NE. Sitokin/kemokin ini termasuk reseptor
interleukin (IL)-2, IL-5, IL-6, IL-15, IL-18, chemokine (C-C motif) receptor (CCR) 3,
chemokine (C-X-C motif) receptor (CXCR) 3, CXCR4, dan CCR10.7
Teori utama untuk menjelaskan pengelupasan epidermis yang parah pada NE adalah
sitoksisitas dari sel T sitotoksik CD8+ dan sel NK. Pengelupasan epidermis disebabkan
apoptosis keratinosit. Penelitian menunjukkan bahwa apoptosis keratinosit pada lesi kulit dan
cairan blister pada pasien NE berhubungan dengan peningkatan jumlah sel T sitotoksik CD8+
dan sel NK yang sangat besar. Saat sel T sitotoksik CD8+ dan sel NK diaktifkan, reaksi imunitas
cell-mediated diarahkan langsung pada keratinosit terbatas dalam HLA kelas I. Setelah aktivasi
respon ini, berbagai molekul sinyal sitotoksik, termasuk granulisin, perforin/granzim B, dan
Fas/Fas ligan, diteruskan ke lesi kulit untuk menginduksi apoptosis keratinosit. Granulisin yang
merupakan protein sitotoksik yang diproduksi oleh sel T sitotoksik atau sel NK bertindak
sebagai mediator kunci yang bertanggung jawab atas kematian keratinosit yang luas. Granulisin
tidak hanya merupakan protein sitotoksik tetapi juga aktivator kemoatraktan dan proinflamasi

8
yang dapat mempromosikan ekspresi monosit kemokin (C-C motif) ligan (CCL) 20 dan mampu
mempromosikan antigen-presenting (dendritic) cell dan perekrutan leukosit (khususnya,
subunit granulisin 15 kD, yang sebagian besar diproduksi oleh sel T CD8+ dan sel T NK). Sel
granulisin-positif pada erupsi obat tetap telah ditemukan serupa dengan yang diamati pada NE.7

Gambar 4. Beberapa mekanisme terjadinya apoptosis keratinosit epidermis pada NE. (A) Obat dapat
menyebabkan upregulasi dari FasL oleh keratinosit yang secara konstitutif mengekspresikan Fas,
menyebabkan jalur apoptosis yang dimediasi oleh death-receptor. (B) Obat berinteraksi dengan MHC
kelas 1 lalu drug-specific CD8+ cytotoxic T cells berakumulasi dalam epidermal blister melepaskan
perforin dan granzim B yang membunuh keratinosit. (C) Obat mengaktivasi sel T CD8+, sel NK, dan
sel NKT mensekresi granulisin, kematian keratinosit tidak memerlukan kontak sel.8

Faktor Lingkungan
Nekrolisis epidermal bisa disebabkan infeksi Mycoplasma pneumoniae atau virus herpes
simpleks, namun patogenesisnya tidak jelas. Human enterovirus sebelumnya tidak diketahui
terkait dengan NE. Sebagai perbandingan, eritema multiforme mayor (EMM) terutama

9
disebabkan oleh virus, biasanya melibatkan telapak tangan dan telapak kaki, dan penderita
mengalami penyembuhan yang cepat tanpa gejala sisa.7
Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa varian baru coxsackie virus (CV) A6, yang
termasuk dalam genus Human Enterovirus menyebabkan reaksi mukokutan yang parah,
dimediasi oleh sel T sitotoksik dan sel NK yang mengekspresikan granulisin, mirip gambaran
histopatologis SSJ atau EMM pada anak-anak. Sebenarnya, masih ada sekitar 20% kasus NE
tanpa penyebab yang diketahui. Faktor risiko potensial untuk infeksi virus yang tidak biasa ini
sebagai penyebab NE belum dijelaskan.7

Gambaran Klinis
Gejala Awal
Nekrolisis epidermal secara klinis timbul dalam 8 minggu (biasanya 430 hari) setelah
pajanan obat, kecuali pada pasien yang pernah menderita NE kelainan klinis dapat timbul dalam
beberapa jam. Keluhan nonspesifik seperti demam, sefalgia, rinitis, dan mialgia bisa timbul 1
3 hari sebelum lesi mukokutaneus. Selanjutnya secara progresif, timbul keluhan sakit menelan
dan rasa terbakar pada mata, mengawali terkenanya mukosa. Kisaran 1/3 kasus dimulai dengan
gejala nonspesifik, 1/3 dengan gejala mukosa, dan 1/3 dengan eksantema.1,6,9,11

Lesi Kulit
Awalnya erupsi terdistribusi simetris pada wajah, tubuh bagian atas, dan ekstremitas
bagian proksimal. Dalam beberapa jam sampai beberapa hari menyebar ke bagian tubuh lain.
Lesi kulit ditandai dengan makula dusky red, purpurik, ireguler, dan secara progresif akan
berkonfluen. Lesi target atipik dengan bagian sentral gelap sering dijumpai. Penggabungan lesi
nekrotik menimbulkan eritem difus dan luas. Tanda Nikolsky positif pada zona eritematosa.
Pada stadium ini, lesi berkembang menjadi lepuh flaksid, yang menyebar bila ditekan dan
mudah pecah. Epidermis yang nekrotik mudah terlepas pada tempat yang mendapat tekanan
atau trauma gesekan, menampakkan area dermis luas yang terbuka, merah, kadang membasah.1

10
Gambar 5. (A) Erupsi awal. Macula dusky red (lesi target atipik) secara progresif berkonfluen dan
menampakkan pengelupasan epidermis. (B) Gambaran awal dengan vesikula dan blister, perhatikan
warna dusky dari blister roof, menunjukkan nekrosis epidermis. (C) Erupsi lanjut. Lepuh dan
pengelupasan epidermis menyebabkan erosi luas. (D) Nekrosis epidermal full-blown ditandai area erosi
luas akibat pengelupasan.1

Gambar 6. Fase eksantematosa awal dengan tanda Nikolsky1

Lesi Mukosa
Keterlibatan mukosa (minimal 2 lokasi), ditemui pada 90% kasus dan dapat mendahului
atau mengikuti erupsi kulit. Lesi dimulai dengan eritema dilanjutkan dengan erosi yang nyeri
pada mukosa mulut, mata dan genital yang menyebabkan gangguan makan, fotofobia,

11
konjungtivitis dan nyeri buang air kecil. Rongga mulut dan vermillion border bibir hampir
selalu terkena (hampir 100%) dan menampakkan kelainan berupa erosi yang nyeri dan
hemoragik, dilapisi pseudomembran putih keabuan dan krusta pada bibir. Kisaran 80% pasien
didapati lesi konjungtiva, ditandai hiperemi, nyeri, fotofobia, lakrimasi, dan discharge. Bulu
mata dapat terlepas. Pada keadaan lebih berat, dapat terjadi ulkus kornea, uveitis anterior, dan
konjungtivitis purulen. Sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva sering terjadi.1

Gambar 7. (A) Erosi dan nekrosis ekstensif bibir bawah dan mukosa mulut. (B) Erosi masif tertutup
krusta pada bibir. Tampak pula kerontokan bulu mata.1

Gejala Ekstrakutan
Nekrolisis epidermal disertai oleh demam tinggi, nyeri dan kelemahan. Komplikasi paru
awal 25% pasien, ditandai sesak nafas, hipersekresi bronkial, hipoksemia, hemoptisis dan
ekspektorasi bronchial mucosal casts. Keterlibatan bronkial pada pada NE tidak berkorelasi
dengan luas lesi kulit atau obat penyebab. Gagal pernafasan akut yang timbul cepat setelah
timbul kelainan kulit, biasanya prognosisnya jelek.1
Keterlibatan saluran pencernaan berupa nekrosis epitel esofagus, usus halus, atau kolon
yang bermanifestasi berupa diare, malabsorpsi, melena, dan bahkan perforasi kolon jarang
terjadi. Proteinuria, mikroalbuminemia, hematuria, dan azotemia tidak jarang ditemui.1

Diagnosis
Dasar diagnosis NE adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit,
disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat tersangka, dan gambaran klinis lesi
kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan pada <10%
LPB, NET bila epidermolisis >30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 1030%
LPB.1,8,10
12
Diagnosis Banding
Apabila tidak ada mukosa yang terkena atau hanya 1 lokasi mukosa yang terkena, harus
dipertimbangkan diagnosis alternatif: staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) pada bayi;
purpura fulminans pada anak dan dewasa muda; acute generalized exanthematous pustulosis
(AGEP), thermal burns, fototoksisitas, atau pressure blisters pada dewasa. Perjalanan penyakit
Linear IgA bullous disease dan pemfigus paraneoplastik biasanya tidak begitu akut, dan
pemeriksaan imunofluoresen langsung positif. Diagnosis banding lain ialah generalized bullous
fixed drug eruption (GBFDE). Prognosis GBDFE lebih baik, mungkin karena mukosa yang
terkena lebih ringan dan tidak mengenai organ dalam. Selain itu, awitannya cepat dan lepuh
yang timbul lebih besar dan berbatas jelas.1,9

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis, namun
perlu dilakukan untuk evaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien. Pemeriksaan
yang perlu dilakukan adalah: darah tepi lengkap, analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin
dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu, dan foto Rontgen paru.
Selama perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis sepsis.10
Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding,
dan umumnya diperlukan untuk kepentingan medikolegal.10 Pada stadium awal, didapati
apoptosis keratinosit yang jarang dalam lapisan suprabasal, kemudian cepat mengalami NE full-
thickness dan pelepasan subepidermal. Didapati infiltrat sel mononuklear (limfosit dan
makrofag) dengan kepadatan sedang pada papila dermis. Ditemui pula limfosit CD8+ dengan
gambaran fenotip sel sitotoksik, yang memberi kesan suatu reaksi imunologik cell-mediated.
Hasil imunofluoresen langsung umumnya negatif.1

13
Gambar 8. Gambaran histologis nekrolisis epidermal toksik. (A) Nekrosis eosinofilik epidermis pada
stadium puncak, dengan sedikit respon inflamasi dalam dermis. Tampak pemisahan dalam junction zone
(B) Nekrosis lengkap, epidermis telah terpisah dari dermis dan terlipat seperti lembaran.1

Tatalaksana
Nekrolisis epidermal adalah penyakit berat yang membutuhkan penanganan optimal.
Diagnosis tepat menghentikan obat tersangka dan segera memulai penatalaksanaan suportif di
rumah sakit, masih merupakan penatalaksanaan utama. Pada kasus yang meragukan, semua
obat yang masih dimakan harus dihentikan, terutama obat yang diberikan dalam 8 minggu
sebelumnya.1,11,

Pengobatan Simptomatik/ Suportif


Pasien dengan keterlibatan kulit terbatas dan dengan SCORTEN 0 atau 1 dapat diobati di
bangsal umum sedangkan yang lain harus ditransfer ke intensive care unit atau burn centers
untuk menurunkan risiko infeksi, lama rawat, dan angka kematian bila unit dermatologi khusus
tidak tersedia.1,9
Pelayanan suportif terdiri atas memelihara keseimbangan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. NE disertai kehilangan cairan nyata akibat erosi
dapat meyebabkan hipovolemia dan electrolyte imbalance. Suhu ruangan sebaiknya antara
28oC dan 32oC untuk mengurangi kehilangan cairan tubuh melalui kulit. Tirah baring dengan
retrofleksi leher 15o20o. Pemakaian air-fluidized bed menambah kenyamanan pasien.1,9,12
Penggantian cairan (makromolekul atau larutan NaCl 0,9%, ringer laktat, dan dekstrosa
5% dalam perbandingan 1:1:1) harus dimulai sesegera mungkin dan jumlah cairan yang
dibutuhkan disesuaikan tiap hari. Volume infus biasanya lebih sedikit daripada kasus luka bakar
dengan luas lesi yang sama (2/3 3/4 kebutuhan kasus luka bakar), karena pada NE tidak ada

14
edema interstitial. Jumlah cairan (diawali 2030 tetes/menit), selanjutnya disesuaikan untuk
memelihara output urin 0,51 ml/kg/jam atau minimal 5080 ml/jam, atau 3050 ml/jam. Infus
dihentikan bila dapat menelan dan tidak ada gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.9
Transfusi diberikan bila Ht <30% (normal: laki-laki 39-49%, perempuan 35-45%), Hb
9 g/dl, dan/atau fibrin degradation product (FDP) meningkat (normal: <10 g/ml) dan DIC
negatif. Pertimbangan lain pemberian transfusi adalah bila infus gagal dan didapati purpura
luas. Hari pertama 300 ml, setelah habis, diberikan 10 cc kalsium glukonat 10% (lewat infus
lain); hari kedua: 300 ml.9
Pemberian nutrisi awal (hari ke-2 rawat inap) melalui nasogastric tube dimaksudkan
untuk mempercepat penyembuhan lesi kulit dan menurunkan risiko translokasi bakteri dari
saluran perncernaan, selain menurunkan risiko stress ulcer dan memungkinkan penghentian
awal nutrisi melalui jalur vena. Jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 1500 kalori dalam 1500
ml, pada 24 jam pertama, dinaikkan 500 kalori/hari sampai mencapai 35004000 kalori/hari.9
Untuk menghindari stress ulcer, sebaiknya tidak diberikan antasida (dapat meningkatkan
risiko infeksi bakteri lambung), tetapi diberikan sukralfat oral 6 x 1 g/hari atau ranitidin i.v 2 x
50 mg/hari, atau 2 x 1 ampul/24 jam i.v.9
Apabila terdapat keluhan batuk dan sesak nafas moderat, dan pada pemeriksaan oksimetri
didapatkan pO2 56% (normal: 75105 mg Hg; saturasi O2: 9599%), dilakukan terapi oksigen
via nasal kanul dengan kecepatan aliran 8 L/menit. Apabila terjadi perbaikan kondisi
pernafasan, pemberian oksigen diturunkan menjadi 4 L/menit.9
Untuk mengurangi risiko infeksi, diperlukan penanganan aseptik. Spesimen kulit, darah,
dan urin harus dikultur dalam interval tertentu. Antibiotik profilaksis tidak dianjurkan. Pasien
hanya diberi antibiotik bila ditemui leukopenia persisten atau ditemui gejala dan tanda awal
sepsis. Karena terjadi gangguan farmakokinetik, diperlukan dosis tinggi agar mencapai level
terapeutik. Antibiotik yang diberikan (bukan penyebab NE) di antaranya ceftazidime 3 x 1
g/hari i.v, sefotaksim i.v 23 x 1 g/hari, gentamisin i.v/i.m 2 x 6080 mg/hari (anak: 2 x 2040
mg/hari), netilmisin i.v 46 mg/kg/hari, klindamisin i.v 2 x 600 mg/hari. Antibiotik dihentikan
bila tanda infeksi hilang atau dosis deksametason sudah 5 mg/hari.9
Antikoagulan profilaksis (heparin s.c 20.000 unit/hari) disediakan selama rawat inap,
untuk rnencegah tromboembolisme. Heparin diberikan pula bila terjadi peningkatan mendadak
nilai FDP (18,5 g/ml).9
Insulin i.v. diberikan apabila terdapat gangguan glycoregulation (hiperglikemia sampai
glikosuria).9

15
Pasien dengan keluhan nyeri, bila perlu dapat diobati dengan opiat (morfin 5 mg i.v.) dan
kecemasan dengan diazepam.9
Debridemen luas dan agresif terhadap epidermis yang nekrotik tidak disarankan pada NE
karena nekrosis superfisial bukan merupakan hambatan untuk reepitelialisasi, malahan dapat
meningkatkan proliferasi stem cell akibat sitokin inflamasi.9
Tidak ada kebijakan baku penatalaksanaan luka dan pemakaian antiseptik. Hal ini
berkaitan dengan pengalaman tiap pusat perawatan. Antiseptik topikal yang dapat dipakai ialah
larutan silver nitrat 0,5% atau klorheksidin 0,05%, mandi larutan kalium permanganat 1/10000.
Hindari pemakaian silver sulfadiazine karena sulfadiazin merupakan salah satu obat penyebab
NE.9
Mata harus diperiksa setiap hari oleh oftalmologis. Air mata artifisial, tetes mata
antibiotik atau antiseptik, dan vitamin A digunakan tiap 2 jam pada fase akut, dan diindikasikan
pelepasan mekanik terhadap sinekia awal. Krusta mulut dibuang dan harus dicuci beberapa kali
tiap hari dengan larutan antiseptik (betadin), gentian violet 1%, kenalog in orabase atau
antijamur.1,9

Pengobatan Spesifik
Kortikosteroid. Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Kortikosteroid dapat
mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada stadium awal (sebelum timbul lesi
deskuamatif).1 Dosis untuk SSJ: 14 mg/kgBB/hari, overlap SSJ-NET: 34 mg/kgBB/hari, dan
NET: 46 mg/kgBB/hari.13

Imunoglobulin intravena (IVIG). Pemakaian imunoglobulin dosis tinggi didasarkan bahwa


kematian sel via Fas-mediated dapat diatasi oleh aktivitas anti-Fas yang terdapat dalam sediaan
komersial immunoglobulin manusia normal. Pemberian terbaik dalam 2472 jam lesi bula
pertama. Dosis yang direkomendasikan adalah 1 g/kgBB/hari selama 3 hari.9,13

Siklosporin A. Siklosporin adalah agen imunosupresif kuat disertai efek biologik yang secara
teoritis dapat berguna dalam pengobatan NE (reepitelialisasi lebih cepat, gagal multiorgan dan
kematian lebih sedikit): aktivasi sitokin sel Th2, menghambat mekanisme sitotoksik CD8+, dan
efek antiapoptosis dengan inhibisi FasL, NFk, dan TNF-.1 Dosis yang diberikan adalah 3
mg/kg/hari selama 10 hari, oral kemudian diturunkan dalam 1 bulan.9

N-acetylcystein (NAC). NAC tidak saja menginaktivasi obat penyebab tetapi obat lain yang
berguna bagi pasien. Aktivitas NAC diperkirakan berkaitan dengan dukungan terhadap

16
kemampuan antioksidan sel, dengan cara meningkatkan level sistein intrasel yang dibutuhkan
untuk produksi glutation, in vitro menghambat produksi TNF- dan IL-1 (dosis tinggi: 2 g tiap
6 jam), dan radikal bebas. Dosis NAC adalah 3 x 200 mg/hari, oral, sampai 4 x 2 g/hari, i.v.
Contoh obat: fluimisil (sachet: 200 mg; kapsul: 200 mg; tablet efervesen: 600 mg).9,11

Follow-up9
1. Keadaan umum dan kesadaran
2. Intake-output cairan
3. Oksimetri
4. Komplikasi (sepsis, paru, ginjal, mata)
5. Hipokalemia (<3,5 mEq/L): KCl 3 x 500 mg/hari,
Hipernatremia (>145 mEq/L): diet rendah garam
6. Diet tinggi protein dan/atau anabolik (nandrolon i.m. 2550 mg/23 minggu untuk dewasa,
dan anak (>30 kg: 15 mg; 1020 kg: 7,5 mg; < 10 kg: 5 mg) tiap 23 minggu. Oral bila
dapat menelan.

Langkah-langkah pengobatan NE yang diterapkan di RSMH adalah sebagai berikut:


1. Hentikan obat penyebab yang dicurigai
2. Rawat inap di bagian dermatologi dan venereologi dengan kepala retrofleksi 20o
3. Pasang infus NaCl 0,9%, D5, dan RL dengan perbandingan 1:1:1
4. Periksa laboratorium: darah lengkap, ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, albumin, serum
bikarbonat, serum glukosa
5. Injeksi kortikosteroid intravena:
Deksametason 24 x 5 mg/hari diberikan sampai tidak ada lesi baru atau lesi lama resolusi
(57 hari); dosis diturunkan 5 mg/hari; jika sudah 5 mg/hari ganti dengan prednison 24 x
5 mg/hari per oral; tapering off sampai dosis 5 mg/hari, lalu dihentikan
6. H2 antagonis, dapat diberikan ranitidin 2 x 150 mg per oral atau 2 x 50 mg intravena
7. Pencegahan infeksi
- Infeksi kulit: mandi dengan larutan PK 1/10000
- Infeksi mukokutan: gentian violet 1%
- Infeksi oral: kumur dengan gargarisma atau betadin gargle
8. Membuat list kontrol
9. Konsul bagian penyakit dalam, mata, THT, dan anestesi

17
10. Pemberian antibiotik sistemik jika dibutuhkan, dapat diberikan gentamisin 2 x 80 mg atau
sefotaksim 2 x 1 g
11. Terapi suportif
- O2 via nasal kanul atau sungkup
- Insulin jika glukosa meningkat 3 kali dari normal (short term)
- Transfusi jika Hb < 9 g/dl
- Fisioterapi dini
12. Alternatif kortikosteroid
- N-asetilsistein
- Siklosporin
- IVIg
13. Follow-up

Prognosis
Dalam perjalanan penyakitnya, NE dapat mengalami penyulit yang mengancam nyawa
berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis NE dapat diperkirakan berdasarkan
SCORTEN, seperti terlihat pada tabel 2.10

Tabel 2. Angka kematian pasien NE berdasarkan nilai SCORTEN1


Faktor Prognostik Skor
Usia >40 tahun 1
Denyut jantung >120x/menit 1
Terdapat kanker atau keganasan hematologic 1
Epidermolisis >10% LPB 1
Kadar urea serum >10 mM/L (>28mg/dL) 1
Kadar bikarbonat serum <20mEq/L 1
1
Kadar gula darah sewaktu >14mM/L (>252mg/dL)
Nilai SCORTEN Angka Kematian (%)
01 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
5 90

Simpulan
Nekrolisis epidermal merupakan suatu kegawatdaruratan kulit yang ditandai dengan
adanya nekrosis dan pengelupasan epidermis yang luas dan dapat menyebabkan kematian.
Patogenesis penyakit ini masih belum belum jelas, namun obat diperkirakan sebagai penyebab
terbanyak. Lebih dari 100 macam obat telah diduga berperan sebagai penyebab. Penyebab
lainnya adalah infeksi, keganasan dan idiopatik. Dasar diagnosis nekrolisis epidermal adalah
18
melalui anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu
yang jelas dengan konsumsi obat tersangka, dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa.
Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan pada <10% LPB, NET bila
epidermolisis >30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 1030% LPB. Diagnosis
yang cepat, identifikasi awal dari penyebat NE, penanganan yang cepat, optimal serta
mengenali dan menghentikan obat yang diduga penyebab merupakan kunci untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas tinggi akibat penyakit ini.

19
DAFTAR PUSTAKA
1. Valeyrie AL, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis). Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
Wolff K, dkk. editor. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Vol 1. Edisi ke-8. New
York: McGraw-Hill; 2012. h.439-45..
2. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. Edisi ke-5. New
York: McGraw-Hill; 2005. h.145-56.
3. Stern RS. Utilization of hospital and outpatient care for adverse cutaneous reactions to
medications. Pharmacoepidermiol Drug Saf. 2005; 14: 677-84.
4. Tan SK, Tay YK. Profile and pattern of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis in a General Hospital in Singapore: treatment outcomes. Acta Derm Venereol. 2012;
92: 62-6.
5. Thaha MA. Sindroma Stevens-Johnson dan Nekrosis Epidermal Toksis di RSUP MH
Palembang Periode 20062008. Media Medika Indonesiana. 2009; 43: 234-9.
6. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome. Orphanet J
Rare Dis. 2010; 5: 39-48.
7. Dodiuk RP, Chung WH, Valeyrie AL, Shear NH. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis: An Update. Am J Clinical Derm. 2015; 16(6): 475493.
8. French LE dan Prins C. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, dan Schaffer JV. editor. Dermatology,
Vol. 1. Edisi ke-3. New York: Elsevier Saunders; 2012. h.319-33
9. Thaha MA. Nekrolisis Epidermal. J Ked dan Kes. 2010; 42(3): 297380.
10. Effendi EH. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Dalam: Menaldi
SLSW. editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2015. h.199200.
11. Habif TP. Hypersensitivity Syndrome and Vasculitis. Dalam: Habif TP. Clinical Dermatology,
A Color Guide to Diagnosis and Therapy. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier; 2016. h.719-23.
12. James WD, Elston DM, Berger TG. Bullous drug reaction: Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. Dalam: James WD, Elston DM, Berger TG. Andrews Disease of
The Skin. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier; 2016. h.115-7
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan Layanan Klinis Dokter
Spesialis Dermatologi dan Venereologi. 2017. h.398-401.

20

Anda mungkin juga menyukai