Anda di halaman 1dari 32

PSIKOMOTOR

KEGAWATDARURATAN DI BIDANG
DERMATOLOGI

Pembimbing :
dr. Chadijah Rifai, Sp.KK

Disusun Oleh :
Lulu Dhiyaanty K | 2011730055
AMF Faidzin A |2011730121
SINDROM STEVENS-JOHNSON DAN
NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK
DEFINISI

Reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis


epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala
klinis dan histopatologis, faktor risiko, penyebab, dan patogenesisnya,
sehingga saat ini digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan
berdasarkan keparahan saja.

SSJ, NET,
Epidermolysis Epidermolysis 10-30% LPB
sebesar < Sebesar > 30 overlap SSJ-
10% LPB % LPB NET.
EPIDEMIOLOGI

Sindrom Steven Johnson


Penyakit ini : 1-6
Insiden dapat terjadi
kasus/juta pada setiap usia, terjadi
penduduk/tahun
Angka kematian SSJ adalah 5-12%
peningkatan risiko pada usia diatas 40 tahun.
Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki
Nekrolisis Epidermal Toksik
dengan perbandingan
Insiden NET 0.4-1.21.5 :1
kasus/juta penduduk/tahun
Angka kematian NET adalah 25-35%
ETIOPATOGENESIS

Reaksi toksik yang sitokin terlibat dalam


Pada lesi SSJ-NET
terjadi melibatkan pathogenesis penyakit
terjadi reaksi
sel NK dan sel ini,
sitotoksik terhadap
limfosit T CD8+
kertainosit sehingga IL-6, TNF-, IFN-, IL-18,
yang spesifik
mengakibatkan Fas-L, granulisin,
terhadap obat
apoptosis luas. perforin, granzim-B.
penyebab

Infeksi juga dapat


sulfonamidad,
Sebagian besar menyebabkan SSJ-
antikonvulsan
SSJ-NET karbamazepin NET, namun tidak
aromatic,
sebanyak pada
disebabkan alopurional, dan allopurinol, kasus multiforme,
karena alergi antiinflamasi non- faktor genetik misalnya infeksi
obat. steroid, dan
virus dan
nevirapin.
Mycoplasma.
ETIOPATOGENESIS
High Risk Lower Risk Doubtful Risk No Evidence of
Risk
Allopurinol Acetic acid NSAIDs Paracetamol Aspirin
Sulfamethoxazole (eg, diclofenac) (acetaminophen) Sulfonylurea
Sulfadiazine Aminopenicillins Pyrazolone Thiazide diuretics
Sulfadoxine Cephalosporins analgesics Furosemide
Sulfasalazine Quinolones Corticosteroids Aldactone
Carbamazepine Cyclins Other NSAIDs Calcium channel
Lamotrigine Macrolides (except Aspirin) blockers
Phenobarbital Sertraline Beta Blocker
Phenytoin Angiotensi-
Phenylbutazone converting enzyme
Nevirapine inhibitors
Oxicam NSAIDs Statins
Thiacetazone Hormones
Vitamins
GAMBARAN KLINIS
Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu, setelah awal
pajanan obat

Gejala Non Spesifik : demam, sakit kepala, batuk/pilek, dan


malaise selama 1-3 hari.

Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan, dan


bagian proksimal ekstremitas

Makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi


target

lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga


terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif.

Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai di


mukosa genitalia
GAMBARAN KLINIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis.


Pemeriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan
laboratorium perlu dilakukan untuk evaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana
pasien

Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengkap, analisis gas darah,
kadar elektrolit, albumin, dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, gula darah
sewaktu dan foto rontgen paru. Selama perawatan perlu diwaspadai tanda-tanda
sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang sepsis.
DIAGNOSIS KLINIS
SSJ,
Epidermolysis
Kronologis
Perjalanan
sebesar < 10%
Penyakit LPB
Hubungan
Waktu
Yang Jelas
Dengan
DIAGNOSIS 10-30% LPB
Konsumsi overlap SSJ-NET.
Obat
Tersangka
Gambaran
Klinis Lesi NET,
Kulit Dan
Mukosa Epidermolysis
Sebesar > 30 %
TATA LAKSANA

Penghentian Obat
Tersangka

mempertahan
suhu
kan
Perawatan di lingkungan nutrisi sesuai
keseimbangan
Ruang Khusus yang optimal kebutuhan
cairan
28-30C
elektrolit
perawatan perawatan
kulit secara mata dan
antiseptik mukosa mulut
TATA LAKSANA

Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini, hasilnya masih sangat

beragam, sehingga penggunaanya belum dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di

ruang rawat Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM adalah menggunakan

kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus SSJ-NET, dengan hasil yang cukup

baik dengan angka kematian pada periode 2010-2013 sebesar 10.5%.


PROGNOSIS

Dalam perjalanan penyakitnya SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang


mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis SSJ-NET
dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN.
Prognostic Factors Points
Age > 40 years 1
Heart Rate > 120 beats/min 1
Cancer or hematologic maglinancy 1
Body surface area involved > 10 percent 1
Serum Urea Level > 10 mM 1
Serum bicarbonate level < 20 mM 1
Serum glucose level > 14 mM 1
PROGNOSIS

SCORTEN Mortality Rate (%)


0-1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
5 90
Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitalisasi terjadi dalam waktu

rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan

gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan

pigmentasi, dan gangguan pertumbuhan kuku.


STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN
SYNDROME
DEFINISI

S.S.S.S. ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu


dengan ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5
tahun, pria lebih banyak daripada wanita
ETIOLOGI

Staphylococcus aureus grup ll faga 52, 55, dan/atau faga 71

PATOGENESIS
Kuman mengeluarkan eksotoksin (epidermolin, eksfoliatin) bersifat
epidermolitik
GEJALA KLINIS

Eritema yang timbul


pada wajah leher,
Infeksi saluran aksila, dan lipat
Demam tinggi paha, kemudian
napas
menyeluruh dalam
waktu 24 jam

Dalam waktu 24-


48 jam akan
timbul bula bula
Nikolsky
besar berdinding positif
kendur
KOMPLIKASI

se
lu
p lit
n is
e
u
m
o se
ni pt
a ik
e
m
PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Terlihat lepuh intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum.


Meskipun ruang lepuh sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis
sisanya tampaknya utuh tanpa disertai nekrosis sel
PENGOBATAN

kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari peroral


Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari

PROGNOSIS
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah
setahun, yang berkisar antara 1-10%. Penyebab utama kematian
ialah tidak adanya keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis
PEMFIGUS VULGARIS
DEFINISI

Pemfigus vulgaris adalah penyakit autoimun berbula kronik, menyerang kulit


dan membrane mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula bula
intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik
ditemukan antibody terhadap komponen desmosom pada permukaan sel
keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah
ETIOLOGI

Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan


autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug induced pemphigus),
misalnya D penisilamin dan kaptopril
PATOGENESIS

Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni:


Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis).
Adanya antibodi lgG terhadap antigen determinan yang ada di permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
GAMBARAN KLINIS

PV menunjukkan lesi pada mulut pada 50-70% pasien, dan hampir semua pasien
mengalami lesi pada mukosa.
Lesi pada PV adalah lepuhan yang kaku, yang bisa terdapat pada kulit normal tapi
bisa ditemukan pada kulit eritematous.
Kulit yang terlibat sering terasa nyeri tapi jarang gatal
Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit kepala yang berambut atau rongga mulut
kira-kira pada 60%.
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir
konjungtiva, hidung, faring, laring, esophagus, uretra, vulva dan serviks.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas
HISTOPATOLOGI

Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal


dan sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula : Uji Tzanck
positif

Pada pemeriksaan mikroskop electron dapat diketahui bahwa permulaan


perubahan patologik ialah perlunakan segmen interseluler. Juga dapat dilihat
perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.
TATA LAKSANA
Pengobatan utama ialah dengan kortikosteroid karena bersifat
imunosupresif. Yang sering digunakan adalah prednisone dan
deksametason dosis bervariasi yakni 60-150 mg sehari atau
menggunakan dosis 3 mg/KgBB sehari bagi pemfigus yang
berat.

Jika belum ada perbaikan atau bertambah buruk setelah 5-7


hari maka dosis inisial dinaikan 50%. Kalau ada perbaikan dosis
diturunkan secara bertahap biasanya satiap 5-7 hari di
turunkan 10-20 mg.

Jika pemberian prednison melenihi 40 mg sehari harus disertai


PROGNOSIS

Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50%


penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kaheksia, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat
prognosis lebih baik
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai