Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

Intramedullary Spinal Cord Astrocytoma WHO Grade II

Penyaji :
dr. Ferawaty

Pembimbing :
dr. Yunni Diansari, Sp.S (K)

KSM/ BAGIAN NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. karena berkat izin-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Intramedullary
Spinal Cord Astrocytoma WHO Grade II Pada Dewasa” ini dengan baik. Adapun
tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu sarana
pembelajaran dan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Dokter
Spesialis Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP. Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk bertukar pikiran dengan penulis dan
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan laporan kasus ini.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kemajuan penulisan
selanjutnya dikarenakan masih ada keterbatasan dalam penyusunan laporan kasus
ini. Semoga hasil pembelajaran ini nantinya dapat bermanfaat bagi pembacanya,
baik dalam bidang pelayanan, pendidikan, maupun penelitian.

Palembang, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …..………………………………………………....... i


KATA PENGANTAR ……………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...... iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. iv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. v
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 6
BAB II LAPORAN KASUS…………………………………………………. 8
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ……...…………………………………… 15
BAB IV ……………………………………………………………………… 31
BAB V …………………………………………………………………….. 39
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 40

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomy Medula Spinalis pada Potongan Aksial…………... 16

Gambar 2. (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-


ekstramedular, dan (C) Tumor Ekstradural…………………………………….. 17

Gambar3. (A)Tumor intradural-intramedular, (B)Tumor intradural-ekstramedular,


dan (C) Tumor Ekstradural ........................................................... 18
Gambar 5. Algoritma untuk pendekatan diagnostik untuk mielopati non-trauma 23
Gambar 6. Alur Tatalaksana WHO Grade I or II Glioma/ Pilocytic and Infiltrative
Supratentorial Astrositoma/ Oligodendroglioma ……………………… 24
Gambar 7. Alur Tatalaksana WHO Grade I or II Glioma/ Pilocytic and Infiltrative
Supratentorial Astrositoma/ Oligodendroglioma………………………. 25
Gambar 8. Alur Tatalaksana WHO Grade I or II Glioma/ Pilocytic and Infiltrative
Supratentorial Astrositoma/ Oligodendroglioma………………...….. 25

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.Tumor Medula Spinalis Berdasarkan Gambaran Histologisnya …. 16


Tabel 2.Tanda dan Gejala Tumor Medula Spinalis………………………... 20
Tabel 3. Tabel Sistem Terapi Tumor Otak dan Medula Spinal……………. 22
Tabel 4. Skala Frankel untuk menilai outcome fungsi dan defisit neurologis 28

v
6

BAB I
PENDAHULUAN

Tumor primer medula spinalis merupakan tumor yang berasal dari


parenkim medulla spinalis atau dari jaringan yang terletak didalam kanalis
spinalis yang terbentang dari servikal hingga sacrum, termasuk meningen,
serabut saraf dan jaringan lemak, tulang dan pembuluh darah. Insidennya sangat
kecil, yaitu 1/10 daripada tumor intracranial namun mempunyai dampak
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. 1,4
Menurut klasifikasi historinya tumor medula spinalis dapat dibagi
menjadi tumor ekstradural, intradural ekstramedula, dan intradural intramedula
dengan prevalensi masing-masing sekitar 25%, 20-30%, dan 70-80% dari tumor
primer spinal. Klasifikasi tersebut membagi berdasarkan asal letak tumor, yaitu
ekstradural (di luar duramater).1
Astrositoma adalah tumor intramedula yang berasal dari sel-sel astrosit.
Merupakan tumor intramedula kedua tersering pada dewasa setelah ependimoma
dengan prevalensi 36-45%. Prevalensi astrositoma derajat rendah lebih banyak
daripada derajat tinggi. Rerata insidensi usia 20 sampai 30 tahun dengan
prevalensi laki-laki lebih banyak. Predileksi terbanyak pada segmen thorakal
diikuti servikal. 1

Terapi utama pada tumor spinal adalah pembedahan. Kemoterapi dan


radiasi dapat diberikan sebagai terapi adjuvan yang diberikan pada tumor dengan
derajat tinggi. Teknik pembedahan pada tumor spinal primer antara lain
kuretase, reseksi intralesi, dan reseksi en bloc. Reseksi en bloc dibagi menjadi
reseksi luas, marginal dan interlesi. Terapi tumor intradural menganut guideline
NCCN dilihat berdasarkan gambaran radiologi dan gejala klinis. Terapi non
operatif diindikasikan pada lesi jinak dan lesi yang bersifat asimptomatik. 1,21
Morbiditas neurologi lebih tinggi pada tumor intramedular daripada
tumor ekstramedular. Status neurologi preoperatif merupakan prediktor utama
status fungsional pascaoperasi. Fakto-faktor lainnya seperti usia pasien, onset
gejala neurologi, jenis tumor dan lokasi tumor terutama pada segmen thorakal
7

juga dapat menjadi faktor resiko perburukan fungsional pascaoperasi. Tingkat


rekurensi tumor spinal primer intradural intramedula termasuk astrositoma
adalah 83% sampai 95%. Dimana tingkat rekurensi dipengaruhi oleh jenis
reseksi, reseksi inkomplit mempunyai rekurensi lebih tinggi daripada reseksi
komplit.1
Berikut ini akan disajikan suatu laporan kasus seorang pasien laki-laki
usia 33 tahun dengan Astrositoma spinal WHO grade II (diffuse astrocytoma)
yang ditatalaksana dengan pembedahan. Kasus ini diangkat untuk menilai luaran
dari tatalaksana astrositoma spinal WHO grade II secara komperhensif.
Diharapkan dengan adanya laporan kasus ini menjadi pembelajaran dalam hal
tatalaksana pasien dengan astrositoma spinal WHO grade II.
8

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn. YT
Umur : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : DS IV Lais, Kabupaten Musi Banyuasin
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Medical Record : 237041
Tanggal MRS : 09 Juli 2021

2.1 ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian neurologi karena mengalami kelemahan
kedua tungkai yang terjadi secara perlahan-lahan.

Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami


kelemahan kedua tungkai, namun penderita masih dapat berjalan atau
beraktifitas. Awalnya penderita mengeluh kesemutan yang dirasa di sisi kanan
lalu perlahan-lahan ke sisi kaki kiri. Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit
penderita mengalami kelemahan yang dirasakan pertama di kaki kanan perlahan-
lahan dirasakan juga di sisi kanan kaki. Keluhan ini dirasakan makin lama makin
memberat disertai rasa nyeri pada belakang punggung bawah, dan tidak menjalar
ke tungkai bawah. Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita
mengeluh tidak bisa berjalan karena kelemahan pada kedua tungkai. Penderita
juga mengeluh nyeri punggung bawah, nyeri tidak menjalar, dan tidak memberat
ketika malam hari ataupun penderita beraktivitas. Penderita tidak ada gangguan
pada proses BAB dan BAK.
9

Riwayat batuk lama atau riwayat pernah minum obat selama 6 bulan
yang menyebabkan kencing berwarna merah tidak ada, riwayat penurunan berat
badan tidak ada, riwayat sering berkeringat pada malam hari tidak ada. Riwayat
trauma tidak ada, riwayat jatuh terduduk tidak ada, riwayat benjolan dibagian
tubuh lain atau pernah menjalani operasi tidak ada.

Penyakit ini dialami untuk pertama kalinya.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Kesadaran : GCS E4M6V5
Vital sign : TD: 120/80 mmHg, N: 84x/menit,
RR: 20x/menit T: 36,5o C,
SpO 2 : 99%,
Jantung : S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Ronki (-), wheezing (-)
Hepar, lien, ginjal tidak teraba, dalam batas normal.

Status Neurologis
Nervi cranialis:
N. I : Anosmia tidak ada, hiposmia tidak ada, parosmia tidak ada
N. II : VOD: 6/6; VOS: 6/6
Hemianopsia tidak ada
Fundus ODS: papil: batas tegas, warna merah, cup/disc ratio,
arteri:vena= 2:3. Makula: RF (+). Retina: sikatrik OS, kontur
pembuluh darah baik.
Kesan : Normal
N. III : Pupil bulat, isokor, reflek cahaya +/+, diameter 3mm.
Ptosis tidak ada
10

N. III,IV,VI :
OD OS
N. V : Motorik : menggigit simetris kanan dan kiri.
Sensorik : regio dahi, pipi, dan dagu sama kanan kiri (tidak
ada kelainan). Refleks kornea (+)/(+).
N. VII : Lipatan dahi simetris kanan dan kiri.
Menutup mata sama kuat kanan dan kiri.
Plica nasolabialis simetris, sudut mulut tertinggal tidak ada
N. VIII : Nistagmus tidak ada, tes suara bisikan kanan dan kiri sama.
N. IX X : Arkus faring simetris, uvula di tengah, gangguan menelan tidak
ada, suara serak/suara sengau tidak ada, reflek muntah ada.
Refleks okulokardiak (+), refleks sinus karotikus (+)
N. XII : Deviasi lidah tidak ada, disartria tidak ada, fasikulasi tidak ada,
atropi papil tidak ada.

Fungsi motorik Lka Lki Tka Tki

Gerakan C C K K

Kekuatan 5 5 3 4

Tonus

Klonus + +
Refleks fisiologis

Refleks patologis - - BC+ B

- Fungsi sensorik : Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai dengan
papilla mammae
- Fungsi luhur : Tidak ada kelainan
- Fungsi vegetatif : Tidak ada kelainan
- Gejala rangsang meningeal : Tidak ada
11

- Gerakan abnormal : Tidak ada


- Gait dan keseimbangan : Belum dapat dinilai

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium darah (Tanggal Pemeriksaan : 09 Juli 2021)
Hb : 15.9 gr/dl
Leukosit : 6.520/mm3
Diff count : 0/3/53/37/7
Trombosit : 326.000/mm3
Hematokrit : 45 vol %
Ureum : 17 mg/dl
Creatinin : 0,82 mm3
Na : 146 mEq/L
K : 4,0 mEql/L
Cl : 112 mmol/L
Ca : 9,0 mg/L
PT : 12,7 (13,4)
APTT : 29.4 (28.9)
INR : 0,89
Fibrinogen : 258
D-dimer : 0,35
EKG : Irama sinus, HR: 84x/menit, reguler, gelombang PQRS normal, ST
elevasi(-), ST depresi (-).
Kesan: normal
12

Rontgen toraks PA: Tidak tampak cardiomegali, Pulmo dalam batas normal

MRI Thoracolumbal dengan kontras (29 Juni 2021)


13

Massa tepi irregular dengan abnormal signal intensity di myelum (intramedulla)


setinggi T3-T8 yang dengan kontras tampak contrast enhancement.

2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
 Paraparese inferior tipe spastik

 Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi papilla mamae

Diagnosis Topik
 Lesi transversa partial medulla spinalis setinggi segmen thorakal 3-8
Diagnosis Etiologi
 Tumor Medula Spinalis (Intramedular)

TATALAKSANA
Non farmakologis
 Diet NB RG 1800 kkal
 Rencana konsul bedah saraf
Farmakologis
 IVFD NaCl gtt XX/menit
14

 Inj. Dexametason 3x 10 mg (IV) H-1


 Inj. Omeprazole 1 x 40 mg (IV)
 Gabapentin 2x100 mg (PO)
 Neurodex 1x1 tablet
 Paracetamol 3x1gram (K/P)

2.7. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia et Bonam
Quo ad Functionam : dubia et Malam
Quo ad santionam : dubia et Malam
15

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Berdasarkan asal dan sifat selnya, tumor pada medula spinalis dapat
dibagi menjadi tumor primer dan tumor sekunder. Tumor primer dapat bersifat
jinak maupun ganas, sementara tumor sekunder selalu bersifat ganas karena
merupakan metastasis dari proses keganasan di tempat lain seperti kanker paru-
paru, payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar tiroid atau limfoma. Tumor
primer yang bersifat ganas contohnya adalah astrositoma, neuroblastoma, dan
kordoma, sedangkan yang bersifat jinak contohnya neurinoma, glioma, dan
ependimoma.1
Astrositoma adalah tumor intramedula yang berasal dari sel-sel astrosit.
Astrositoma tulang belakang primer adalah subtipe glioma, tumor sumsum
tulang belakang yang paling umum ditemukan di kompartemen intramedular
intradural. Predileksi terbanyak pada segmen thorakal diikuti servikal.1,4

3.2 Anatomi Medula Spinalis


Pengetahuan tentang anatomi tulang belakang sangat penting dalam
menilai mielopati, karena penyakit tertentu dapat dikaitkan dengan karakteristik
distribusi topografi yang bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang khas.
Medula spinalis dan otak ditutupi dengan tiga lapisan meningen: duramater,
arachnoid dan piamater. Medula spinalis mengandung substansia putih (white
metter) (ascending and descending myelinated fibres), termasuk traktus
spinotalamikus anterior, dengan serat sensorik termal; fasciculi gracile dan
cuneate (saluran Goll dan saluran Burdach), collumna posterior dengan
ascending myelinated fibres untuk sensitivitas getaran dan proprioseptif; dan
traktus kortikospinalis desendens, dengan dua komponen yaitu komponen
lateral, yang bertanggung jawab untuk kontrol motorik halus, dan komponen
anterior, yang mengontrol gerakan volunter. Pusat substansia abu-abu (grey
16

matter) terdiri dari horns anterior yang mengandung neuron motorik yang
bersinaps dengan traktus kortikospinalis desendens, dan horns posterior terdiri
dari neuron sensorik yang bersinaps dengan serat sensorik asendens.

Gambar 1. Medula spinalis pada potongan aksial

3.2.1 Klasifikasi berdasarkan lokasi dari tumor


Berdasarkan lokasinya, tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu tumor intradural dan ekstradural, di mana tumor intradural itu
sendiri dibagi lagi menjadi tumor intramedular dan ekstramedular. Macam-
macam tumor medula spinalis berdasarkan lokasinya dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 2 (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-


ekstramedular, dan (C) Tumor Ekstradural20
17

Gambar 3 (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-


ekstramedular, dan (C) Tumor Ekstradural21

Ekstra dural Intradural ekstramedular Intradural intramedular

Chondroblastoma Ependymoma, tipe myxopapillary Astrocytoma

Chondroma Epidermoid Ependymoma

Hemangioma Lipoma Ganglioglioma

Lipoma Meningioma Hemangioblastoma

Lymphoma Neurofibroma Hemangioma

Meningioma Paraganglioma Lipoma

Metastasis Schwanoma Medulloblastoma

Neuroblastoma Neuroblastoma

Neurofibroma Neurofibroma

Osteoblastoma Oligodendroglioma

Osteochondroma Teratoma

Osteosarcoma

Sarcoma

Tabel 1. Tumor Medula Spinalis Berdasarkan Gambaran Histologisnya1,4


18

3.2.2 Epidemiologi dan Klasifikasi


Tumor tulang belakang intradural memiliki insidensi 64 per 100.000
orang-tahun dan merupakan penyebab 3% tumor sistem saraf pusat primer
(SSP).2 Astrocytoma adalah tumor sumsum tulang belakang jarang terjadi dan
lebih sering terlihat pada populasi anak-anak dari pada pada orang dewasa.
Di antara glioma sumsum tulang belakang, astrositoma terdiri dari 30
hingga 40% dan ependymoma terdiri dari 60 hingga 70%. 3,5 Mayoritas tumor
intramedullar adalah astrositik atau ependymal, namun, hemangioblastoma (3-
8%), ganglioglioma, limfoma, dan melanoma (jarang) juga berkontribusi pada
gambaran epidemiologi umum.1
Subtipe astrositoma termasuk astrositoma pilositik, astrositoma difus,
astrositoma anaplastik, dan glioblastoma multiforme (GBM, juga dikenal
sebagai astrositoma grade IV atau glioblastoma ganas). Astrositoma tulang
belakang primer merupakan sekitar 6-8% dari semua tumor sumsum tulang
belakang, dengan GBM tulang belakang primer terdiri dari sekitar 1,5% dari
tumor sumsum tulang belakang. Secara umum, 75% astrositoma primer pada
sumsum tulang belakang adalah derajat rendah (WHO derajat I dan II) dan
secara keseluruhan kurang agresif jika dibandingkan dengan astrositoma primer
otak 25% sisanya adalah lesi tingkat tinggi (WHO grade III dan IV).7
Hubungan genetik telah ditemukan dengan neurofibromatosis tipe 1 dan
astrositoma, yang lebih umum pada laki-laki, dan umumnya muncul sebagai
astrositoma derajat rendah pada anak-anak dan astrositoma derajat tinggi pada
orang dewasa. Namun, mereka jarang terlihat di atas usia 60. 8
Berdasarkan klasifikasi WHO pada tahun 2007, klasifikasi astrositoma
didasarkan pada gambaran histologi sebagai berikut :
1. Derajat I : lesi tumor berbatas tegas contohnya astrositoma pilositik
2. Derajat II (astrositoma difusa) : tumor astrositik tampak infiltrative
dan disertai atipia sitologis
3. Derajat III (astrositma anaplastic) : tumor mulai menunjukan
anaplasia aktivtas mitosis.
19

4. Derajat IV (glioblastoma): menunjukkan adanya proliferasi


mikrovaskular dan atau nekrosis.
Raco dkk molaporkan bahwa dari 86 kasus astrositoma, 31 % adalah
derajat I, 48% derajat II, dan 21% derajat III-IV.1 Pasien dibagi menjadi dua
grup berdasarkan patologi yaitu Astrositoma derajat rendah (WHO derajat I-II)
dan Astrositoma derajat tinggi adalah WHO derajat III dan IV.

3.3 Etiologi dan Patogenesis

Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Beberapa penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih dalam
tahap penelitian adalah virus, kelainan genetik, dan bahan-bahan kimia yang
bersifat karsinogenik. Adapun tumor sekunder (metastasis) disebabkan oleh sel-
sel kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah yang
kemudian menembus dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan medula
spinalis yang normal dan membentuk jaringan tumor baru di daerah tersebut. 1
Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan
muncul dari pertumbuhan sel normal pada lokasi tersebut. Riwayat genetik
kemungkinan besar sangat berperan dalam peningkatan insiden pada anggota
keluarga (syndromic group) misal pada neurofibromatosis. Astrositoma dan
neuroependimoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan
neurofibromatosis tipe 2 (NF2), di mana pasien dengan NF2 memiliki kelainan
pada kromosom 22. Spinal hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien
dengan Von Hippel-Lindou Syndrome sebelumnya, yang merupakan abnormalitas
dari kromosom 3.1

3.4 Manifestasi Klinis

Keluhan pertama dari tumor medula spinalis dapat berupa nyeri


radikuler, nyeri vertebrae, atau nyeri funikuler. Secara statistik adanya nyeri
radikuler merupakan indikasi pertama adanya space occupying lesion pada
kanalis spinalis dan disebut pseudo neuralgia pre phase. Dilaporkan 68% kasus
20

tumor spinal sifat nyerinya radikuler, laporan lain menyebutkan 60% berupa
nyeri radikuler, 24% nyeri funikuler dan 16% nyerinya tidak jelas 3 . Nyeri
radikuler dicurigai disebabkan oleh tumor medula spinalis bila:
 Nyeri radikuler hebat dan berkepanjangan, disertai gejala traktus
piramidalis
 Lokasi nyeri radikuler diluar daerah predileksi HNP seperti C5-7,
L3-4, L5 dan S1
Tumor medula spinalis yang sering menyebabkan nyeri radikuler adalah
tumor yang terletak intradural-ekstramedular, sedang tumor intramedular jarang
menyebabkan nyeri radikuler. Pada tumor ekstradural sifat nyeri radikulernya
biasanya hebat dan mengenai beberapa radiks. 3
Tumor-tumor intramedular dan intradural-ekstramedular dapat juga
diawali dengan gejala TTIK seperti: hidrosefalus, nyeri kepala, mual dan
muntah, papiledema, gangguan penglihatan, dan gangguan gaya berjalan.
Tumor-tumor neurinoma dan ependimoma mensekresi sejumlah besar protein ke
dalam likuor, yang dapat menghambat aliran likuor di dalam kompartemen
subarakhnoid spinal, dan kejadian ini dikemukakan sebagai suatu hipotesa yang
menerangkan kejadian hidrosefalus sebagai gejala klinis dari neoplasma
intraspinal primer.5
Bagian tubuh yang menimbulkan gejala bervariasi tergantung letak
tumor di sepanjang medula spinalis. Pada umumnya, gejala tampak pada bagian
tubuh yang selevel dengan lokasi tumor atau di bawah lokasi tumor. Contohnya,
pada tumor di tengah medula spinalis (pada segmen thorakal) dapat
menyebabkan nyeri yang menyebar ke dada depan (girdleshape pattern) dan
bertambah nyeri saat batuk, bersin, atau membungkuk. Tumor yang tumbuh
pada segmen cervikal dapat menyebabkan nyeri yang dapat dirasakan hingga ke
lengan, sedangkan tumor yang tumbuh pada segmen lumbosacral dapat memicu
terjadinya nyeri punggung atau nyeri pada tungkai. 7
Berdasarkan lokasi tumor, gejala yang muncul adalah seperti yang terihat
dalam Tabel 2 di bawah ini.1
21

Lokasi Tanda dan Gejala

Foramen Gejalanya aneh, tidak lazim, membingungkan, dan tumbuh lambat


Magnum sehingga sulit menentukan diagnosis. Gejala awal dan tersering adalah
nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesia dalam
dermatom vertebra servikalis kedua (C2). Setiap aktivitas yang
meningkatkan TIK (misal ; batuk, mengedan, mengangkat barang, atau
bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan adalah gangguan
sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien yang melaporkan
kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan tumor
menyebabkan kuadriplegia spastik dan hilangnya sensasi secara
bermakna. Gejala-gejala lainnya adalah pusing, disartria, disfagia,
nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah, serta atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius. Temuan neurologik tidak selalu
timbul tetapi dapat mencakup hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya
berjalan spastik, palsi N.IX hingga N.XI, dan kelemahan ekstremitas.
Servikal Menimbulkan tanda-tanda sensorik dan motorik mirip lesi radikular
yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga menyerang tangan.
Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas (misal, diatas C4)
diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior melalui
arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan atrofi
gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah (C5, C6,
C7) dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon ekstremitas atas
(biseps, brakioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang sepanjang
tepi radial lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari
tengah dan jari telunjuk pada lesi C7, dan lesi C7 menyebabkan
hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah.

Torakal Seringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada


ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia. Pasien
dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan
abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat gangguan
intratorakal dan intraabdominal. Pada lesi torakal bagian bawah, refleks
perut bagian bawah dan tanda Beevor (umbilikus menonjol apabila
22

penderita pada posisi telentang mengangkat kepala melawan suatu


tahanan) dapat menghilang.
Lumbosakral Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang
melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen
lumbal bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf desendens dari
tingkat medula spinalis yang lebih tinggi. Kompresi medula spinalis
lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun
menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan
kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi
kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda
Babinski bilateral. Nyeri umumnya dialihkan keselangkangan. Lesi
yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral
bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum,
betis dan kaki, serta kehilangan refleks pergelangan kaki. Hilangnya
sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol
usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai
daerah sakral bagian bawah.
Kauda Menyebabkan gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tnda-tanda
Ekuina khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau perineum, yang
kadang-kadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai
dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris.
Tabel 2. Tanda dan Gejala Tumor Medula Spinalis 1

3.5 Diagnosis
Ketika mengevaluasi pasien dengan dicurigai lesi sumsum tulang
belakang, penting untuk mendapatkan riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan neurologis yang rinci. Pasien akan paling sering hadir dengan
onset onset gejala neurologis. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa pasien melaporkan durasi gejala yang berlangsung rata-rata 1 hingga 2
tahun sebelum presentasi awal. Namun, ini dapat dibandingkan dengan pasien
yang mungkin memiliki nyeri yang lama (> 2 tahun), radikulopati, atau
kelemahan sekunder pada lesi. Biasanya, nyeri punggung atau radikular
23

mendahului gangguan kelemahan dan sensorik, dengan disfungsi sfingter


biasanya sebagai temuan terakhir.

Gambar 4. Algoritma untuk pendekatan diagnostik untuk mielopati non-trauma


MRI saat ini merupakan modalitas pencitraan terbaik untuk
mendiagnosis lesi sumsum tulang belakang karena ia menawarkan peningkatan
kepekaan dan spesifisitas yang nyata, terutama untuk meningioma tulang
belakang. Sebelum meluasnya penggunaan MRI, computed tomography
myelography digunakan untuk mendiagnosis meningioma sumsum tulang
belakang. Penggunaan MRI untuk diagnosis telah menyebabkan peningkatan
deteksi rata-rata 6 bulan sebelumnya, dimana dapat menyebabkan peningkatan
fungsi neurologis pada saat ditegakkan diagnosis. 11

3.6 Penatalaksanaan
Terapi utama pada tumor spinal adalah pembedahan. Kemoterapi dan
radiasi dapat diberikan sebagai terapi adjuvan yang diberikan pada tumor dengan
derajat tinggi. Teknik pembedahan pada tumor spinal primer antara lain
24

kuretase, reseksi intralesi, dan reseksi en bloc. Reseksi en bloc dibagi menjadi
reseksi luas, marginal dan interlesi. Terapi tumor intradural menganut guideline
NCCN dilihat berdasarkan gambaran radiologi dan gejala klinis. Terapi non
operatif diindikasikan pada lesi jinak dan lesi yang bersifat asimptomatik.1,21

Gambar 5. Alur Tatalaksana WHO Grade I or II Glioma/ Pilocytic dan Infiltrative


Supratentorial Astrositoma/ Oligodendroglioma 23
25

Gambar 6. Alur Tatalaksana WHO Grade I or II Glioma/ Pilocytic and Infiltrative


Supratentorial Astrositoma/ Oligodendroglioma 23

Gambar 7. Alur Tatalaksana WHO Grade I or II Glioma/ Pilocytic and Infiltrative


Supratentorial Astrositoma/ Oligodendroglioma 23
26

Tabel 3. Tabel Sistem Terapi Tumor Otak dan Medula Spinal23

3.6.1 Manajemen Bedah


Reseksi dan dekompresi bedah adalah strategi pengobatan yang optimal
untuk astrositoma sumsum tulang belakang. 12 Pada astrositoma ganas yang tidak
menyebar, reseksi agresif umumnya mengarah pada peningkatan kelangsungan
hidup secara keseluruhan.13 Namun, reseksi total pada astrositoma derajat tinggi
(kelas III dan IV) seringkali tidak dapat dilakukan dengan beberapa laporan
menyebutkan reseksi total dapat dilakukan pada 0% dari lesi derajat IV dan
hanya 12% dari lesi derajat III.5 Dalam tinjauan retrospektif dari 22 pasien
dengan astrositoma intramedulla derajat tinggi, hanya dua yang mencapai
reseksi total .12 Studi lain menguraikan morbiditas yang terkait dengan upaya
reseksi total (GTR) astrositoma sumsum tulang belakang tingkat tinggi: 37%
dari 46 pasien memiliki fungsi neurologis yang lebih buruk dibandingkan
dengan sebelum operasi.14 Secara keseluruhan, reseksi total harus dilakukan jika
27

ada bidang diseksi yang baik secara intra-operatif dan jika ada neuromonitoring
yang stabil sepanjang kasus terlepas dari tingkat tumor.15
3.6.2 Adjuvan Radioterapi
Dalam analisis retrospektif dari 16 pasien yang menerima radioterapi
untuk glioma sumsum tulang belakang (dengan ependymoma dikecualikan),
terapi radiasi ditemukan menjadi metode pengobatan yang utama tidak efektif
karena rata-rata kelangsungan hidup secara keseluruhan adalah 2,7 bulan.
Sebaliknya, pasien yang menerima operasi sebelum terapi radiasi memiliki
kelangsungan hidup secara keseluruhan 64 bulan. Dosis radiasi rata-rata adalah
45 Gray (Gy), dan dosis rata-rata per fraksi adalah 1,8 Gy dengan dosis radiasi
total lebih besar dari 45 Gy yang optimal untuk memberikan peningkatan
kelangsungan hidup secara keseluruhan. 16 Dalam sebuah penelitian terhadap 183
pasien yang diobati dengan pembedahan saja atau pembedahan plus radiasi,
ditemukan bahwa terapi radiasi pascaoperasi efektif dalam mengurangi
perkembangan penyakit pada astrositoma derajat rendah dan sedang (derajat I
dan II).17
Terapi radiasi tetap menjadi standar perawatan untuk pasien yang telah
menjalani biopsi bedah atau reseksi dan memiliki diagnosis pasti astrositoma
sumsum tulang belakang. Radiasi tidak dianjurkan sebagai terapi awal untuk
astrositoma sumsum tulang belakang yang baru didiagnosis, tetapi bila
digunakan setelah operasi sebagai terapi tambahan, kelangsungan hidup secara
keseluruhan meningkat.16 Radioterapi juga merupakan bagian integral dari
manajemen rekurensi astrositoma.
3.6.3. Kemoterapi
Peran kemoterapi masih diperdebatkan, dan tempatnya dalam
pengelolaan pasien dengan tumor sumsum tulang belakang masih dipertanyakan.
Namun, beberapa menganjurkan bahwa agen kemoterapi yang digunakan pada
astrositoma otak dapat digunakan pada astrositoma sumsum tulang belakang dan
bahwa astrositoma refrakter (tahan terhadap pembedahan dan radiasi pasca
operasi) mungkin dapat dilakukan manajemen dengan kemoterapi.7 Kombinasi
procarbazine, lomustine, dan vincristine (PCV) telah dilaporkan bermanfaat
28

dalam beberapa kasus. Henson dkk. menggambarkan kasus astrositoma sumsum


tulang belakang tingkat rendah yang refrakter terhadap radiasi dan kemoterapi
dengan cisplatin dan etoposide setelah biopsi, yang merespons pengobatan
dengan PCV dengan kelangsungan hidup bebas perkembangan 23 bulan. 19
Dalam sebuah penelitian retrospektif multi-institusional terhadap 22 pasien
dewasa dengan astrositoma grade II dan grade III berulang yang awalnya diobati
dengan pembedahan dan terapi radiasi, pengobatan dengan temozolomide efektif
dalam memberikan kelangsungan hidup bebas perkembangan selama dua tahun.
Probabilitas kelangsungan hidup yang diamati dalam kelompok ini adalah 64%
pada enam bulan, 64% pada 12 bulan, 41% pada 18 bulan, dan 27% pada 24
bulan.19 Kesimpulannya, kemoterapi saat ini paling sering digunakan untuk
astrositoma sumsum tulang belakang yang refrakter, tetapi penggunaan rutinnya
sebagai pengobatan tambahan sedang meningkat. Terapi Kombinasi Perawatan
GBM sumsum tulang belakang biasanya terdiri dari pembedahan, radiasi, dan
kemoterapi. Shen dkk. melaporkan bahwa pada astrositoma grade IV, reseksi
total dengan kemoterapi dan terapi radiasi menghasilkan kelangsungan hidup
rata-rata yang sama dengan reseksi subtotal, kemoterapi, dan terapi radiasi, 18,9
bulan versus 18,6 bulan. Pembedahan dan radiasi tanpa kemoterapi memiliki
kelangsungan hidup rata-rata 11,2 bulan untuk GTR dan 12,8 untuk reseksi
subtotal. Raco dkk. menemukan bahwa pasien dengan astrositoma tingkat tinggi
(tingkat III dan IV) yang menerima radioterapi ditambah kemoterapi setelah
operasi memiliki kelangsungan hidup rata-rata hampir 12 bulan lebih lama
daripada mereka yang menjalani operasi saja. 10 Demikian juga, kombinasi
radiasi fraksinasi, temozolomide, dan bevacizumab digunakan secara rutin di
beberapa institusi untuk mengobati GBM tulang belakang.

3.7 Komplikasi
Kebanyakan morbiditas perioperatif adalah terkait dengan tingkat
manipulasi struktur saraf tulang belakang sekitarnya. Status fungsional pra
operasi setiap pasien sangat berkorelasi dengan status fungsional pasca
operasinya. Secara keseluruhan, tingkat kematian akibat intervensi bedah
29

meningioma tulang belakang rendah, berkisar dari 0% hingga 3%. Ada risiko
kebocoran CSF, mulai dari 0% hingga 4%yang mungkin memerlukan
pengalihan CSF atau istirahat tempat tidur yang lama tergantung pada lokasi
tumor dan pembukaan dural. Potensi komplikasi pasca operasi meliputi hal-hal
berikut:9
● Emboli paru
● Hematoma (baik subdural atau epidural)
● Pneumonia: rumah sakit atau komunitas yang diperoleh
● Infark miokard
● Trombosis vena dalam

3.8 Prognosis
Usia, diagnosis histologis (morfologi/tingkat WHO), fungsi neurologis
praoperasi, dan periode diagnosis semuanya merupakan prediktor hasil. Namun,
usia lebih dari 60 tahun pada saat diagnosis, morfologi tingkat tinggi, dan
luasnya reseksi memiliki dampak paling signifikan pada kelangsungan hidup
secara keseluruhan. Dalam sebuah penelitian yang mengikuti 19 kasus berturut-
turut astrositoma tulang belakang grade III dan IV pada populasi yang lebih
muda (usia rata-rata 14), kelangsungan hidup pasca operasi rata-rata hanya enam
bulan setelah menjalani kombinasi terapi radiasi dan reseksi bedah radikal.
Wong dkk. juga menyelidiki faktor risiko dan kelangsungan hidup secara
keseluruhan untuk pasien dengan astrositoma sumsum tulang belakang. Analisis
univarian mereka menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki, luasnya reseksi
bedah, dan histologi tumor merupakan prediktor signifikan dari kelangsungan
hidup.
Pasien laki-laki memiliki rata-rata kelangsungan hidup dua kali lipat
dibandingkan pasien wanita (24 bulan versus 12 bulan) menunjukkan beberapa
tingkat pengaruh hormonal atau genetik. Studi-studi ini secara konsisten
mencatat korelasi prognostik yang buruk dengan tumor tingkat tinggi, dengan
GBM tulang belakang memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi. Hasil
dari kohort dari 664 pasien dengan astrositoma tulang belakang menunjukkan
30

bahwa tingkat kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan adalah 82%
untuk kelas 1, 70% untuk kelas 2, dan menurun menjadi 28% dan 14% untuk
kelas 3 dan 4, masing- masing.3
Kelangsungan hidup rata-rata adalah 14,3 bulan; Namun, usia pada saat
diagnosis sangat membebani kelangsungan hidup rata-rata secara keseluruhan.
Pasien yang didiagnosis di atas usia 50 tahun memiliki kelangsungan hidup
keseluruhan rata-rata dua bulan, dan mereka yang didiagnosis pada usia kurang
dari 50 tahun memiliki kelangsungan hidup keseluruhan rata-rata 14 bulan.21
Serangkaian kasus dari 25 pasien dewasa yang menjalani reksisi bedah total
astrositoma tulang belakang juga menemukan bahwa histologi tumor
mempengaruhi hasil keseluruhan yang paling signifikan. Lima dari enam pasien
dengan astrositoma derajat IV meninggal dalam waktu 23 bulan setelah operasi,
sementara 17 dari 19 pasien dengan lesi derajat rendah (derajat I atau II)
memiliki kelangsungan hidup rata-rata 50,2 bulan.21 Sebuah studi retrospektif
terhadap 89 pasien dewasa dengan astrositoma sumsum tulang belakang ganas
primer (44 derajat III dan 45 derajat IV) menemukan bahwa reseksi total
menyebabkan kematian yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan reseksi
subtotal, biopsi, atau pengobatan non-bedah.21
3.8.1 Hasil fungsional dan neurologis
Klasifikasi Frankel Definisi

Grade A : Motorik (-), Sensorik (-)

Grade B : Motorik (-), sensorik (+)

Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

Tabel 4. Skala Frankel untuk menilai outcome fungsi dan defisit neurologis 21
31

3.9 Laminektomi
Tindakan pembedahan merupakan pilihan utama pada pasien dengan
tumor jinak. Tumor biasa diangkat dengan teknik mielotomi. Pengobatan yang
lebih disukai adalah reseksi radikal mikrosurgical dengan kematian perioperatif
sangat rendah. Beberapa indikasi dari tindakan pembedahan pada tumor medulla
spinalis adalah tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis (pertimbangkan
biopsi bila lesi dapat dijangkau), medula spinalis yang tidak stabil (unstable
spinal), kegagalan radiasi (percobaan radiasi biasanya selama 48 jam, kecuali
signifikan atau terdapat deteriorasi yang cepat); biasanya terjadi dengan tumor
yang radioresisten seperti karsinoma sel ginjal atau melanoma serta rekurensi
(kekambuhan kembali) setelah radiasi maksimal.
Salah satu tindakan pembedahan yang dapat dilakukan pada tumor
medulla spinalis adalah proseudur laminektomi. Prosedur ini memiliki manfaat
diagnostik dan terapeutik untuk mengakses jaringan medulla spinalis serta
mengurangi penekanan yang terjadi akibat tumor.
Klasifikasi derajat Reseksi terdiri dari Gross Total Resection (GTR),
Subtotal Resection (STR), Partial Resection (PR) atau biopsi. Gross Total
Resection (GTR) didefinisikan sebagai pengangkatan secara komplit daripada
lesi selama prosedur operasi atau tidak adanya massa lagi setelah proses operasi
yang dilihat dari T1-weighted gadolinium –enchanced pada Magnetic Resonance
Imaging. Subtotal Resection (STR) didefinisikan reseksi pengangkatan massa
sebanyak ≥ 90 %, sedangkan reseksi < 90% disebut Partial Resection (PR).
32

BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien umur 33 tahun, datang ke bagian Neurologi RSMH karena


mengalami kelemahan kedua tungkai yang terjadi secara perlahan-lahan. Sejak 3
bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami kelemahan kedua
tungkai, namun penderita masih dapat berjalan atau beraktifitas. Awalnya, sejak
2 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami kelemahan yang
dirasakan pertama di kaki kanan perlahan-lahan dirasakan juga di sisi kanan
kaki. Keluhan ini dirasakan makin lama makin memberat disertai rasa nyeri pada
belakang punggung bawah, dan tidak menjalar ke tungkai bawah. Sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh tidak bisa berjalan karena
kelemahan pada kedua tungkai. Pada anamnesis pasien ini menunjukkan adanya
keluhan yang bersifat perlahan-lahan, lebih kronik yang mengarah kepada
neoplasm dan penyebab gangguan kelainan vaskuler dapat disingkirkan. Onset
yang bersifat akut (dalam hitungan menit atau jam) menunjukkan penyebabnya
adalah kelainan vaskuler berupa cerebrovascular disease atau stroke berlangsung
akut saat pasien sedang beraktifitas atau bangun tidur. Sedangkan pada onset
yang subakut (berjam-jam hingga harian) terjadi pada reaksi inflamasi
(meningitis, abses serebri, sindrom Guillain Barre) yang biasanya didahului oleh
demam.21
Awalnya penderita mengeluh kesemutan yang dirasa di sisi kanan lalu
perlahan-lahan ke sisi kaki kiri. Pada anamnesis ini menunjukkan tanda dari
defisit sensorik yang merupakan gejala awal dari gangguan medula spinalis.
Tumor jenis ini terjadi pada serabut saraf spinal dan dengan demikian
menyebabkan kompresi medula spinalis dan menimbulkan gejala karena
menekan saraf-saraf. Seperti yang telah disebutkan di atas, penekanan pada akar
saraf menimbulkan keluhan nyeri, mati rasa, kesemutan dan kelemahan. 1
Gejala awal yang sering ditemukan pada tumor medulla spinalis
intradural intramedula adalah defisit sensorik terdisosiasi yaitu sensasi nyeri dan
suhu yang hilang, dan sensasi raba yang masih utuh. Medula spinalis merupakan
33

struktur yang terdiri dari komponen motorik, sensorik, dan otonom, sehingga lesi
yang terjadi akibat kerusakan medula spinalis dapat memberikan gejala
bermacam-macam, sesuai dengan lokasi anatomi yang terkena. Medula spinalis,
seperti halnya otak, tersusun atas substansia grisea dan substasia alba. Substansia
alba mengandung jaras-jaras asenden dan desenden, sedangkan substansia grisea
mengandung neuron-neuron yaitu kornu anterior yang mengandung neuron
motorik, kornu lateral mengandung neuro otonom dan kornu posterior terdiri
dari neuron sensorik. 1

Penderita juga mengeluh nyeri punggung bawah, nyeri tidak menjalar,


dan tidak memberat ketika malam hari ataupun penderita beraktivitas. Sifat nyeri
yang tidak menyalar pada pasien ini dapat menunjukan letak tumor intramedular.
Tumor Intradural-Intramedular lebih sering menyebabkan nyeri funikuler yang
bersifat difus seperti rasa terbakar dan menusuk, kadang-kadang bertambah
dengan rangsangan ringan seperti electric shock like pain (Lhermitte sign). Pada
tumor intramedular spinalis dapat tidak bergejala dalam waktu yang lama dan
ukuran tumor dapat membesar sebelum terdeteksi. Onset gejala sering muncul
selama beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis ditegakkan.
Lokasi tumor spinal di intramedula memiliki gambaran unik dan berbeda dengan
kedua kategori tumor lainnya. Tumor intramedula jarang menimbulkan nyeri.
Kalaupun ada, nyeri bersifat atipikal dengan lokalisasi difus. Ini juga dapat
menyingkirkan dari diagnosis tumor ektramedula.
Pada tumor ekstramedular, gejala yang mendominasi adalah kompresi
serabut saraf spinalis, sehingga yang paling awal tampak adalah nyeri, mula-
mula di punggung dan kemudian di sepanjang radiks spinal. Seperti pada tumor
ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh gerakan, batuk, bersin atau
mengedan, dan paling berat terjadi pada malam hari. Nyeri yang menghebat
pada malam hari disebabkan oleh traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu
sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari
gravitasi.
34

Tumor spinalis dapat memiliki gejala klinis yang beragam, tetapi yang
paling sering adalah nyeri. Nyeri yang disebabkan oleh tumor ekstradural sering
bersifat radikuler, setinggi lesi, disertai defisit neurologis lainnya yang terjadi
setelahnya, tetapi pada lesi intramedula, jarang dijumpai nyeri. Pada tumor
ekstradural terutama yang berasal dari vertebra, sering dijumpai deformitas dan
teraba massa pada palpasi. Pasien biasanya merasakan nyeri punggung lokal
setinggi lesi yang parah, dengan intensitas yang semakin meningkat. Sering juga
terjadi reffered pain hingga membingungkan dalam melokalisasi lesi. Nyeri
sering memburuk pada malam hari, dapat akibat variasi diurnal kadar
kortikosteroid endogen. Nyeri lokal dapat disebabkan oleh gangguan periosteum
atau saraf dural, sumsum tulang belakang, atau jaringan lunak paravertebral.
Seiring waktu, nyeri dapat berkembang menjadi radikuler. Misalmya nyeri dapat
menjalar ke anggota gerak dengan gerakan tulang belakang atau maneuver
Valsava. Nyeri radikuler lebih sering terjadi pada lesi lumbosacral daripada lesi
torakal. Nyeri radikuler torakalis biasanya bilateral dan menyebar hingga ke
bagian anterior, seperti sensasi terikat.
Penderita tidak ada gangguan pada proses BAB dan BAK. hal ini
menunjukan letak dari lesi bukan berada di filum terminal dan kauda ekuina.
Bila tumornya terletak di filum terminal dan kauda ekuina, maka gejala yang
sering ditimbulkan adalah nyeri punggung yang memberat saat posisi terlentang
disertai kelemahan ekstremitas tungkai dan gangguan otonom buang air besar
dan berkemih. Baik lesi intradural di daerah anterior maupun posterior, disfungsi
miksi dan defekasi biasanya mucul belakangan saat kompresi medula spinalis
sudah lebih lanjut dan progresif. Pada tumor spinal, sindrom kauda ekuina dapat
terjadi karena keterlibatan radiks nervi lumbalis dan sakralis di bawah konus
medularis, yang dapat memberikan manifestasi inkontinesia urin dan alvi.
Riwayat batuk lama atau riwayat pernah minum obat selama 6 bulan
yang menyebabkan kencing berwarna merah tidak ada, riwayat penurunan berat
badan tidak ada, riwayat sering berkeringat pada malam hari tidak ada. Riwayat
trauma tidak ada, riwayat jatuh terduduk tidak ada, riwayat benjolan dibagian
tubuh lain atau pernah menjalani operasi tidak ada. Dari anamnesis tentang
35

riwayat penyakit terdahulu menunjukan tidak ada tanda-tanda proses infeksi dan
trauma yang menyebabkan keluhan pada penderita ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita menunjukan defisit
motorik, mirip dengan gejala upper motor neuron (UMN), seperti spastik,
hiperrefleks dan klonus. Defisit neurologi yang terjadi diakibatkan kompresi dari
medula spinalis atau nervus yang menimbulkan gejala seperti mielopati dan
radikulopati. Kompresi segmen lumbal bagian atas akan menghilangkan reflex
kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan spastisitas
tungkai bawah. Serta terjadi kehilangan refleks lutut, refleks pergelangan kaki
dan tanda babinsky bilateral. Gambaran unik lainnya adalah pertumbuhan tumor
intramedula sering bersifat longitudinal, sedangkan tumor ekstramedula bersifat
transversal. Hal ini mengakibatkan gangguan sensorik pada tumor intramedula
dapat mengalami perubahan level (batas atas defisit sensorik), sedangkan level
ini pada tumor ekstramedula tetap konstan.1
Bila letak tumor lebih kearah posterior, maka proses kompresi akan
mengenai kolumna posterior dan jaras piramidalis, sehingga gejala berikunya
adalah gangguan propioseptif dan kelemahan ekstremitas. Kelemahan ini
bersifat asimetris antara lengan dan tungkai (lesi servikal) dan antara kedua
tungkai (lesi torakolumbal). Gangguan sensorik berupa juga dapat terjadi
awalnya ipsilateral, kemudian bilateral dan berjalan dari kauda ke kranial hingga
setinggi lesi.
Bila letak tumor lebih kearah anterior, maka kompresi dapat mengenai
radiks anterior pada satu sisi atau kedua sisi. Hal ini dapat mengakibatkan
kelemahan ekstremitas tipe LMN. Namun, kelemaha ini bisa aja dijumpai
apabila kompresinya sudah mengenai jaras piramidalis. Biasanya, kelemahan
ekstremitas terjadi pada ipsilateral lesi, kemudian bilateral. Gangguan sensasi
raba kasar dapat muncul bila ada kompresi pada jaras spinotalamikus anterior.
Bila tumornya terletak anterolateral, maka jaras spinotalamikus lateral dapat
terkompresi dan mengakibatkan gangguan sensasi nyeri dan suhu pada
kontralateral lesi.
36

Perjalanan penyakit tumor ekstradural seringkali progresif dan


berkembang cepat akibat kompresi medulla spinalis. Karena letaknya
ekstradural, maka jaringan tumor akan mengkompresi duramater dari arah luar
ke dalam. Selain itu, fraktur patoloptis juga sering ditemukan pada tumor
ekstradural yang membuat gejala awal berupa nyeri yang disebut sebagai nyeri
aksial vertebra. Nyeri ini terasa disepanjang sumbu vertebra yang bersifat
gradual, progresif, terus menerus, tidak bersifat mekanik, dan sering terjadi di
malam hari. Seiring progresi perkembangan tumor ekstradural, efek desak massa
akan mengenai struktur radiks dan medulla spinalis. Struktur radiks yang terkena
efek massa tumor menimbulkan gejala klinis nyeri radikuler. Selain nyeri, pasien
dapat mengalami tanda-tanda kompresi lainnya, yaitu kelemahan ekstremitas,
gangguan sensorik, dan disfungsi otonom. Kelemahan ektremitas bersifat UMN
pada bagian tubuh dipersarafi oleh medula spinalis pada level bawah lesi.
Gangguan sensasi posisi, rasa getar, gangguan diskriminasi dua titik dapat
terjadi bila kompresinya berasal dari arah dorsal. 1

Hasil MRI thoracalumbal dengan kontras tanggal 29 Juni 2021


menunjukkan tampak massa tepi irreguler dengan abnormal signal intensity di
myelum (intramedula) setinggi T3-8 yang dengan kontras tampak contras
enhacement, kedudukan tulang baik, bentuk korpus intak, dan tidak tampak
fraktur kompresi, dan jaringan lunak paravertebral tampak baik. Kemudian
untuk membuktikan jenis tumor intramedula ini akan dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi dari jaringan yang diambil dari proses operasi. Pemeriksaan
MRI dapat menunjukan gambaran struktur saraf dengan jelas, sehingga dapat
ditentukan lokal lesi ekstradural, intradural-ekstramedula, dan intradural-
intramedula. Selain itu, pemeriksaan in dapat menunjukan besarnya kompresi
medula spinalis dan perluasan tumor ke jaringan lunak di sekitar tulang vertebra.
Karakteristik sel tumor pada MRI adalah hipointens pada T1 dan hiperintensi
pada T2. Pemberian kontras gadolinum intravena akan memberi penyangatan
yang kemudian akan membedakan jaringan normal dengan tumor. 24
37

Tatalaksana awal pada pasien ini adalah dengan pemberian


kortikosteroid yang bertujuan untuk mengurangi edema disekitar medula
spinalis. Pada beberapa literatur disebutkan bahwa edema yang terjadi pada
penderita tumor medula spinalis adalah berupa edema vasogenik dimana
terdapat peningkatan volume cairan ekstrasel yang berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler. Dosis deksametason diberikan 4x 10 mg
selama 3 hari, dan dilakukan tapering off. Penderita lalu dikonsulkan ke bagian
Bedah Saraf untuk pertimbangan dilakukan operasi. Bagian Bedah Saraf
merencanakan untuk dilakukan laminektomi elektif. Kelainan yang ditemukan
pada intraoperatif adalah duramater utuh, tegang dan putih. Adanya edema
medula spinalis, setelah dilakukan insisi midline medulla spinalis, ditemukan
tumor putih keabuan, sedikit mudah berdarah, dengan batas agak tegas. Dimana
reseksi yang dilakukan sebesar lebih kurang 80% (reseksi tumor partial). Hasil
Patologi Anatomi (PA) menunjukkan gambaran spinal diffuse astrocytoma
(WHO grade II) pada vertebrae thorakal 4-7. Dari data ini sangat mendukung
untuk kearah diagnosis astrositoma WHO grade II yang merupakan jenis tumor
spinalis intradural intramedural.
Terapi tumor intradural menganut guideline NCCN dilihat berdasarkan
gambaran radiologi dan gejala klinis. Untuk massa intradural dengan MRI spinal
yang tidak berbatas tegas, terapi observasi atau biopsi diindikasikan pada lesi
yang bersifat asimptomatik.1,21 Sedangkan yang bersifat simptomatik dapat
dilakukan biopsi. Astrositoma WHO grade II termasuk glioma derajat rendah
dapat dilakukan Partial Resection (PR) atau biopsi terbuka atau biopsi
stereotaktik. Kemudian pertimbangkan uji klinis atau radioterapi dengan
kemoterapi adjuvan PCV (kategori 1) atau radioterapi dengan bersamaan
adjuvant temozolamide (kategori 2B) atau radioterapi dengan bersamaan dan
adjuvant temozolamide (kategori 2B) atau mengamati pada pasien yang sangat
selektif. Evaluasi MRI spinal setiap 3-6 bulan hingga 5 tahun kemudian setiap
tahun seterusnya.23
Pada pasien ini masih dijumpai defisit neurologi klinis yang cukup
signifikan pascaoperasi. Dilakukan follow up 1 bulan pascaoperasi, didapatkan
38

kelemahan kedua tungkai masih ada, dengan kekuatan 1 pada kaki kanan dan
kekuatan kaki kiri 2, yang jika dibandingkan dengan sebelum operasi kekuatan
tungkai menjadi menurun tetapi pada penderita tidak mengalami retensio urin
dan alvi. Hal ini disebabkan kemungkinan adanya faktor edema atau hematoma
post operasi. Tingkat fungsi neurologis pasien sebelum operasi adalah indikator
prognostik terbaik untuk hasil fungsional. Fungsi neurologis sering lebih buruk
pada periode pasca operasi segera . Pemulihan umumnya terjadi selama
beberapa hari sampai bulan dengan perbaikan kehilangan sensorik lebih awal
dari defisit motorik. Mereka yang mengalami defisit neurologis parah yang
berlangsung lama tidak mungkin mengalami perbaikan.24
Resiko tindakan operasi dapat menyebabkan trauma medulla spinalis
dimana kondisi ini dapat terjadi suatu mekanisme di tingkat bioseluler.
Terjadinya spasme arteri, agregasi platelet, pelepasan epinefrin, endorphin, dan
enkefalin menyebabkan iskemia dan gangguan autoregulasi. Integritas endotel
hilang, yang menyebabkan edema medula spinalis. Iskemia berkaitan dengan
peningkatan asam amino eksitatori, depolarisasimembran, influx sodium dan
inaktifasi pompa Na-K yang mencegah repolarisasi. Terjadinya influx kalsium,
aktifasi ATP-ase, dan konsumsi ATP yang mengurangi cadangan energi. Akibat
iskemia terjadi metabolisme glikolisis anaerob, yang menyebabkan asidosis
laktat dan penurunan produk ATP. Influks ion kalsium menyebabkan aktivasi
fosfolipase dan pelepasan asam arakidonat, hiperoksidasi, serta pembentukan
radikal oksidatif bebas. Hasil akhir proses diatas ialah kegagalan metabolisme
mitokondria dan reticulum endoplasmic, serta kematian neuronal yang dapat
menyebabkan adanya defisit neurologi.4
Tatalaksana selanjutnya adalah penderita diberikan rehabilitasi untuk
melatih kekuatan dan gerakan tungkai bawah penderita. Rehabilitasi yang bisa
diberiakn pada pasien tumor spinal adalah terapi fisik dan okupasi. Pasien
dengan tumor spinal biasanya memiliki keterbatasan mobilisasi. Kondisi ini
selanjutnya dapat menimbulkan gangguan respirasi, penurunan fungsi otot, dan
gangguan intergritas integument (dekubitus). Terapi fisik meliputi mobilisasi
bertahap, mulai dari tempat tidur hingga berjalan, dan latihan (exercise)
39

penguatan otot abdomen dan ekstensor. Terapi okupasi meliputi pemberian alat
bantu dan pembelajaran untuk bisa ke kamar mandi dan mengurus sendiri.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia, tingkat rekurensi tumor
intramedula adalah 83% sampai 95 %, dimana tingkat rekurensi dipengaruhi
oleh jenis reseksi, reseksi inkomplit mempunyai rekurensi lebih tinggi dari pada
reseksi komplit. Kemudian keberhasilan tindakan operatif dapat dilihat setelah 1
bulan sampai 8.5 bulan.5
40

BAB V

KESIMPULAN

1. Astrositoma adalah tumor intramedula yang berasal dari sel-sel astrosit.


Astrositoma tulang belakang primer adalah subtipe glioma, tumor sumsum
tulang belakang yang paling umum ditemukan di kompartemen intramedular
intradural. Predileksi terbanyak pada segmen thorakal diikuti servikal.
2. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan adanya
riwayat kelemahan kedua tungkai yang berlangsung secara perlahan-lahan
yang menggambarkan adanya suatu proses Space Occupying Lesion (SOL)
yang dibuktikan juga dari hasil pemeriksaan imaging.
3. Tatalaksana utama pada sebagian besar kasus tumor medulla spinalis adalah
dengan pembedahan. Pada pasien ini dilakukan dengan reseksi subtotal
tumor. Hasil PA menunjukkan gambaran astrositoma WHO grade II.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia, tingkat rekurensi tumor intramedula
adalah 83% sampai 95 %, dimana tingkat rekurensi dipengaruhi oleh jenis
reseksi, reseksi inkomplit mempunyai rekurensi lebih tinggi dari pada reseksi
komplit. Kemudian keberhasilan tindakan operatif dapat dilihat setelah 1
bulan sampai 8.5 bulan.
41

DAFTAR PUSTAKA

1. Aninditha Tiara, Andriani Rini, Malueka G Rusdy : Tumor Medula


Spinalis Primer. Buku Ajar Neuroonkologi.2019,XIV:214-226.
2. Parsa AT, Chi JH, Acosta FL, Ames CP, McCormick PC: Intramedullary
spinal cord tumors: molecular insights and surgical innovation. Clin
Neurosurg. 2005, 52:76-84.
3. Lonser RR, Weil RJ, Wanebo JE, Devroom HL, Oldfield EH: Surgical
management of spinal cord hemangioblastomas in patients with von
Hippel-Lindau disease. J Neurosurg. 2003,98:106-16.
10.3171/jns.2003.98.1.0106
4. Tobin MK, Geraghty JR, Engelhard HH, Linninger AA, Mehta AI:
Intramedullary spinal cord tumors: a review of current and future
treatment strategies. Neurosurg Focus. 2015,
39:14.10.3171/2015.5.FOCUS15158
5. Minehan KJ, Brown PD, Scheithauer BW, Krauss WE, Wright MP:
Prognosis and treatment of spinal cord astrocytoma. Int J Radiat Oncol
Biol Phys. 2009, 73:727-33.
6. Raco A, Esposito V, Lenzi J, Piccirilli M, Delfini R, Cantore G: Long-
term follow-up of
intramedullary spinal cord tumors: a series of 202 cases. Neurosurgery.
2005, 56:972-981.
7. Chamberlain MC, Tredway TL: Adult primary intradural spinal cord
tumors: a review . Curr Neurol Neurosci Rep. 2011, 11:320-8
8. Samartzis D, Gillis CC, Shih P, O’Toole JE, Fessler RG: Intramedullary
spinal cord tumors: partI—epidemiology, pathophysiology, and
diagnosis. Global Spine J. 2015, 5:425-35.
9. Raco A, Piccirilli M, Landi A, Lenzi J, Delfini R, Cantore G: High-grade
intramedullary astrocytomas: 30 years’ experience at the Neurosurgery
Department of the University of Rome “Sapienza”. J Neurosurg Spine.
2010, 12:144-53
10. Ostrom QT, Gittleman H, Liao P, et al. CBTRUS sta- tistical report:
primary brain and central nervous system tumors diagnosed in the United
States in 2007-2011. Neuro Oncol 2014;16(Suppl 4):iv1–63
11. Helseth A, Mork SJ. Primary intraspinal neoplasms in Norway, 1955 to
1986. A population-based survey of 467 patients. J Neurosurg
1989;71(6):842–5
12. Raco A, Piccirilli M, Landi A, Lenzi J, Delfini R, Cantore G: High-grade
intramedullary
42

astrocytomas: 30 years’ experience at the Neurosurgery Department of


the University of Rome “Sapienza”. J Neurosurg Spine. 2010, 12:144-53
13. McGirt MJ, Goldstein IM, Chaichana KL, Tobias ME, Kothbauer KF,
Jallo GI: Extent of surgical resection of malignant astrocytomas of the
spinal cord. Neurosurgery. 2008, 63:55-61.
14. Babu R, Karikari IO, Owens TR, Bagley CA: Spinal cord astrocytomas:
a modern 20-year experience at a single institution. Spine. 2014, 39:533-
40.
15. Garcés-Ambrossi GL, McGirt MJ, Mehta VA, et al.: Factors associated
with progression-free survival and long-term neurological outcome after
resection of intramedullary spinal cord tumors: analysis of 101
consecutive cases. J Neurosurg Spine. 2009, 11:591-9.
16. Corradini S, Hadi I, Hankel V, Ertl L, Ganswindt U, Belka C, Niyazi M:
Radiotherapy of spinal cord gliomas: a retrospective mono-institutional
analysis. Strahlenther Onkol. 2016, 192:139- 45.
17. Abdel-Wahab M, Etuk B, Palermo J, et al.: Spinal cord gliomas: a multi-
institutional retrospective analysis. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2006,
64:1060-71.
18. Ju AW, Robins HI, Salamat MS, Grayev AM, Howard SP: Radiation-
induced spinal glioblastoma multiforme: a rare complication in the
management of head and neck cancer. Int J Otolaryngol Head Neck Surg.
2016, 5:233-41.
19. Henson JW, Thornton AF, Louis DN: Spinal cord astrocytoma: response
to PCV chemotherapy .Neurology. 2000, 54:518-518.
20. Shen CX, Wu JF, Zhao W, Cai ZW, Cai RZ, Chen CM: Primary spinal
glioblastoma multiforme: a case report and review of the literature.
Medicine. 2017, 96:6634.
21. Baehr M, and Frotscher M. 2010; Diagnosis Topik Neurologi DUUS;
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal 96.
22. Soo Kim, M., Kee Chung, C., Choe, G., Han Kim, I., & Jib Kim, H.
(2001). Journal of Neuro-Oncology, 52(1), 85–94.
https://doi.org/10.1023/a:1010680924975
23. Nabors, L. B, Portnow, J, Ahluwalia, M., Baehring, J, Brem, H, Brem,
S., Butowski, N, Campian, J. L, Clark, S. W, Fabiano, A. J, Forsyth, P,
Hattangadi-Gluth, J, Holdhoff, M., Horbinski, C, Junck, L, Kaley, T,
Kumthekar, P, Loeffler, J. S, Mrugala, M. M., Darlow, S. D. (2020).
Central nervous system cancers, version 3.2020, NCCN clinical practice
guidelines in oncology. Journal of the National Comprehensive Cancer
Network, 18(11), 1537–1570. https://doi.org/10.6004/jnccn.2020.0052
24. Roonprapunt, C., & Houten, J. K. (2006). Spinal cord astrocytomas:
Presentation, management, and outcome. Neurosurgery Clinics of North
America, 17(1), 29–36. https://doi.org/10.1016/j.nec.2005.10.006
43

Anda mungkin juga menyukai