Anda di halaman 1dari 48

Tinjauan Pustaka

Gambaran Radiologis pada Ensefalopati Metabolik

Penyaji:
dr. Balinda

Pembimbing:
dr. RM. Faisal, Sp. Rad (K)

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
2017
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii


BAB I Pendahuluan ............................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 2
A. Definisi............................................................................................................. 2
B. Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Kepala .................................................................................................................... 2
C. Anatomi dan Fisiologi Kesadaran.................................................................... 4
D. Ensefalopati Hiperglikemik (Ketoasidosis Diabetikum/ Koma Hiperosmolar
Nonketotik) ............................................................................................................. 8
E. Ensefalopati Hipoglikemik .............................................................................11
F. Ensefalopati Uremikum .................................................................................. 14
G. Ensefalopati Hepatik ...................................................................................... 18
H. Hiponatremia .................................................................................................. 22
I. Hipernatremia ................................................................................................ 28
J. Hipokalsemia ................................................................................................. 30
K. Ensefalopati Hashimoto ................................................................................. 32
L. Addison’s Disease .......................................................................................... 33
M. Ensefalopati Wernicke ................................................................................... 35
N. Ensefalopati Hipoksik-Iskemik ...................................................................... 37
O. Ensefalopati Karbon Monoksida ....................................................................41
BAB III Kesimpulan .............................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah ensefalopati merujuk pada skenario klinis tentang gangguan otak


yang menyeluruh, lebih sering disebabkan oleh gangguan sistemik, metabolik, atau
toksik.1 Ensefalopati metabolik merupakan istilah yang pertama kali dipakai oleh
Kinnier Wilson pada tahun 1927 untuk mendeskripsikan status klinis dari berbagai
etiologi yang mempengaruhi fungsi otak tanpa adanya inflamasi parenkim atau lesi
struktural. Ensefalopati metabolik bukanlah merupakan suatu diagnosis tetapi
merupakan suatu keadaan berupa disfungsi otak umum yang diakibatkan oleh
kondisi sistemik dengan presentasi klinis yang bervariasi, mulai dari disfungsi
eksekutif yang ringan, agitasi, sampai pada koma dalam dengan postur deserebrasi.2
Skenario klinis di lapangan tidak selalu dapat mengarahkan klinisi pada
diagnosis yang tepat, sehingga pencitraan memegang peranan penting untuk
menegakkan diagnosis, asesmen respon terapi, dan prognosis. Oleh karenanya,
penting untuk diketahui para klinisi dan radiolog untuk mengenali gambaran-
gambaran pencitraan terhadap ensefalopati metabolik yang cukup sering ditemukan
kasusnya di Rumah Sakit. MRI menjadi metode pencitraan yang menjadi pilihan
untuk mengevaluasi kondisi-kondisi metabolik akibat penyakit sistemik. Akan
tetapi, CT scan kepala dapat menjadi alat investigasi awal dikarenakan
ketersediaannya yang cukup luas dan waktu pemeriksaan yang cukup singkat,
terutama pada kondisi-kondisi emergensi. Intensitas sinyal yang abnormal dan pola
restriksi difusi pada gambaran MRI dapat memberikan petunjuk sebagai diagnosis
dan petunjuk untuk tata laksana lebih lanjut. Terkadang diagnosis tidak dapat
ditegakkan secara langsung dan tetap harus dikorelasikan dengan hasil pemeriksaan
klinis dan dan data-data laboratorium untuk mendapatkan asesmen yang lebih
akurat.1
Pada Tinjauan Pustaka ini akan dibahas tentang gambaran Computed
Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada beberapa
penyakit sistemik yang menimbulkan ensefalopati metabolik pada orang dewasa.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Ensefalopati
Ensefalopati berdasarkan asal katanya berasal dari kata encephalo- +-pathy
yang berarti penyakit degeneratif otak. Sedangkan Ensefalopati metabolik
didefinisikan sebagai neuropsychiatric disturbances due to metabolic brain
disease; it may be primary, resulting from conditions such as hypoxia or ischemia
that affect the brain directly, or it may be secondary to disease of other organs.3
Sehingga menurut pengertian ini, ensefalopati metabolik adalah suatu gangguan
neuropsikiatri yang diakibatkan penyakit metabolik otak yang dapat primer
(hipoksia atau iskemia) atau sekunder yang diakibatkan oleh penyakit pada organ
lainnya.

B. Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging


(MRI) Kepala
1. CT Scan Kepala
Computer Tomography (CT) scanner merupakan alat diagnostik dengan teknik
radiografi yang menghasilkan gambar potongan tubuh secara melintang
berdasarkan penyerapan sinar-X pada irisan tubuh yang ditampilkan pada layar
monitor hitam putih. Computed Tomography (CT) biasa juga disebut Computed
Axial Tomography (CAT), computed assisted tomography, atau (body section
roentgenography) yang merupakan suatu proses yang menghasilkan digital
processing untuk menghasilkan gambaran internal tiga dimensi suatu objek dari
suatu rangkaian sinar-X yang menghasilkan gambar dua dimensi. Kata tomography
diperoleh dari Bahasa Yunani tomos (irisan) dan graphia (gambarkan).4
Prinsip kerja yang paling mendasar dari radiografi adalah perbedaan
penyerapan sinar X oleh jaringan tubuh yang berbeda. Jaringan padat seperti tulang
meyerap sinar X paling banyak sehingga sinar X menembusnya paling sedikit.
Sebaliknya, jaringan yang memiliki kepadatan rendah seperti lemak atau udara
hampir tidak menyerap sinar X, sehingga hampir semua sinar X yang melewatinya
3

diteruskan melalui film. CT Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X,


komputer, dan televisi. Di dalam komputer terjadi proses pengolahan dan
perekonstruksian gambar dengan menerapkan prinsip matematika yang lebih
dikenal dengan rekonstruksi algoritma. Prinsip kerjanya hanya dapat menscanning
dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan teknologi komputer
maka gambaran aksial yang telah didapatkan direformat kembali sehingga
mendapatkan gambaran koronal, sagital, oblik, diagonal, bahkan bentuk tiga
dimensi dari objek tersebut. Kemampuan untuk mengabsorbsi sinar X dikenal
dengan atenuasi. Pada jaringan tubuh yang sama, akan mengabsorbsi sinar X yang
relatif konstan dan dikenal dengan koefisien atenuasi jaringan. Pada CT, koefisien
atenuasi dipetakan dalam skala antara -1000 hounsfield (HU) dan +1000 HU. Nilai
atenuasi normal dapat dibedakan menjadi non kontras dan kontras. Pada non
kontras white matter 39 HU dan korteks 32 HU. Pada kontras white matter 41 HU
dan korteks 33 HU. Perbedaan atenuasi normal antara korteks dan white matter
maksimal 7 HU.4
Kriteria kualitas gambar CT Scan kepala adalah tampak jelas batas tegas antara
substansia alba dan substansia grisea, tampak jelas daerah basal ganglia, tampak
jelas sistem ventrikel, tampak jelas ruang CSF di sekitar mesensefalon dan
mengelilingi otak. Bacaan CT scan kepala normal tidak tampak lesi hipodens
maupun hiperdens patologis, sulcii, fissura sylvii dan gyrii normal, dan terdapat
diferensiasi gray-white matter.4

2. MRI Kepala
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan salah satu alat penunjang
diagnostik yang cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan pada jaringan otak dan
sekitarnya. MRI adalah suatu teknik penggambaran penampang tubuh berdasarkan
prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen. Cara kerja MRI mengacu pada
komposisi tubuh yang terdiri atas atom hidrogen atau proton. Bila atom hidrogen
ini ditembakkan tegak lurus pada intinya dengan radiofrekuensi tinggi dalam medan
magnet kemudian beresonansi maka proton tersebut akan bergerak menjadi searah.
Jika radiofrekuensi tinggi ini dimatikan maka proton yang bergetar ini akan kembali
4

ke posisi semula dan akan menginduksi dalam suatu kumparan untuk menghasilkan
sinyal elektrik yang lemah. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal elektrik
tersebut ditangkap kemudian diproses dalam komputer maka akan dapat disusun
menjadi suatu gambar.4
Ada empat parameter dasar dari gambar pencitraan MRI yaitu densitas proton,
longitudinal relaxation time (T1), transverse relaxation time (T2), perfusi dan
difusi. Densitas proton adalah konsentrasi proton dalam jaringan dalam bentuk air
dan makromolekul. Waktu relaksasi T1 dan T2 menentukan cara proton kembali ke
tempat istirahatnya setelah dorongan radiofrekuensi awal. Terdapat tiga macam
intensitas yaitu hipointens, isointens, dan hiperintens. Setiap jaringan memiliki
karateristik yang khas pada T1 dan T2 sehingga bila ada perbedaan intensitas dari
jaringan normal akan mudah diketahui bahwa terjadi kelainan. Bila didapatkan T1
yang panjang maka akan didapatkan gambaran hipointens dan bila T1 pendek maka
akan didapatkan gambaran hiperintens. Sebaliknya bila didapatkan T2 pendek
maka akan didapatkan gambaran hiperintens dan bila T2 panjang akan didapatkan
gambaran hipointens.4
Pemeriksaan MRI memiliki keunggulan yaitu mampu memperlihatkan struktur
organ dengan lebih teliti dan akurat, dapat membedakan gambaran jaringan normal
dengan jelas, memperlihatkan gambaran jaringan tubuh dari berbagai sudut
pandang, dan tidak menggunakan sinar X. Pada saat melihat MRI, cara termudah
untuk menentukan urutan gambar adalah dengan melihat cerebrospinal fluid (CSF).
Jika CSF cerah (sinyal tinggi) maka itu merupakan gambar T2WI. Jika CSF gelap
maka adalah gambar T1.

C. Anatomi dan Fisiologi Kesadaran


Kesadaran didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seorang individu
sepenuhnya sadar akan diri dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penilaian
kesadaran dapat terganggu apabila terdapat keadaan-keadaan di mana pasien sadar
namun tidak dapat merespons terhadap stimulus yang diberikan oleh pemeriksa,
seperti keadaan kerusakan input sensorik, kelumpuhan (locked in states) atau
gangguan psikiatrik. Kesadaran mempunyai dua komponen, yakni kualitas (konten)
5

dan kuantitas (arousal). Kualitas kesadaran meliputi keseluruhan fungsi yang


dimediasi oleh korteks serebri, termasuk fungsi kognitif dan afektif. Pasien dapat
saja mengalami gangguan pada lokasi tertentu yang mengakibatkan mereka bangun
namun tidak dapat merespons terhadap stimulus kognitif yang diberikan oleh
pemeriksa, sehingga menimbulkan kesan pasien tersebut mengalami kebingungan.2

Koma dan gangguan kesadaran disebabkan baik oleh kerusakan/supresi


hemisfer bilateral, atau suatu lesi fokal di batang otak atau gangguan metabolik
yang merusak atau menekan sistem aktivasi retikular. Secara umum, disfungsi
unilateral dari hemisfer serebri semata-mata tidak dapat menyebabkan stupor atau
koma, meskipun lesi pada satu hemisfer yang cukup luas dapat menyebabkan
drowsiness atau obtundasi meskipun tanpa adanya keterlibatan batang otak. Studi
neuroanatomi pada stroke batang otak mengkonfirmasi bahwa perkembangan
terjadinya koma berhubungan dengan lesi tegmental bilateral pada pons bagian atas
dan meluas sampai ke mesencephalon. Lesi ini, terutama melibatkan kompleks
raphe rostral, locus ceruleus, nukleus laterodorsal tegmental, nukleus oralis pontis,
parabrachial nucleus, dan white matter di antara nukleus-nukleus ini. Kesadaran
bergantung pada Ascending Reticular Activating System (ARAS) yang terdapat di
batang otak bersamaan dengan korteks di kedua hemispherium serebri. Jika terjadi
kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun
fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai
tingkatan. ARAS merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari kaudal
berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stem
sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada di antara medulla,
pons, mesencephalon menuju ke subtalamus, hipotalamus, talamus dan akan
menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter yang berperan pada
ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan gamma
aminobutyric acid (GABA). Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara
fungsi korteks serebri termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas),
dengan Ascending Reticular Activating System (ARAS) (kuantitas) yang terletak
mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf
kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan
6

secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch,
untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake).5

Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan


yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan
manifestasi rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada
susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf
pusat di mana kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap
lingkungan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga sebagai
awareness. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di talamus,
hipotalamus maupun mesensefalon.5

Gambar 2.1. ARAS dan Lokasi Lesi yang Menyebabkan Penurunan


Kesadaran
7

Berikut ini, bagan pembagian diagnosis diferensial penyebab penurunan


kesadaran.

Gambar 2.2. Pembagian Diagnosis Diferensial Penyebab Penurunan


Kesadaran6

Kinnier Wilson menciptakan istilah ensefalopati metabolik untuk


menggambarkan keadaan klinis disfungsi serebral global yang disebabkan oleh
stres sistemik yang dapat bervariasi secara klinis. Presentasinya berupa disfungsi
eksekutif ringan hingga koma dalam dengan postur deserebrasi. Penyebabnya
sangat banyak, beberapa mekanisme yang menyebabkan disfungsi serebral terjadi
8

pada ensefalopati metabolik termasuk edema serebral fokal atau global, perubahan
fungsi transmisi, akumulasi metabolit toksik, edema vasogenik vena postkapiler,
dan kegagalan energi. Mekanisme bervariasi seperti itu mencerminkan etiologi
heterogen yang menghasilkan kondisi perubahan kesadaran. Ensefalopati
metabolik oleh karenanya bukan diagnosis, melainkan sebuah keadaan klinis.7

D. Ensefalopati Hiperglikemik (Ketoasidosis Diabetikum/ Koma


Hiperosmolar Nonketotik)
Hiperglikemia didefinisikan sebagai peningkatan serum glukosa >7,8 mmol/l
(140 mg/L). Akan tetapi, gangguan kesadaran biasanya terjadi bila nilai serum
glukosa > 16,7 mmol/liter (300 mg/dl) pada ketoasidosis diabetikum, dan > 33
mmol/liter (600 mg/dl) pada non ketotik hiperglikemia. Kelainan yang terjadi pada
pasien ini adalah kurangnya jumlah insulin atau resistensi insulin, keduanya dapat
menghambat pengambilan dan penggunaan glukosa oleh sel.8
Hiperglikemia yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan
hiperosmolalitas, sehingga menyebabkan sekresi vasopresin sebagai
kompensasinya. Meskipun mekanisme kompensasi ini bersifat adaptif bila
hiperglikemia berlangsung singkat, apabila kondisi hiperglikemia terjadi terus
menerus maka neuron yang mensekresi vasopresin pada talamus dan nukleus
supraoptik mengalami kerusakan. Hiperglikemia berkepanjangan juga
mengakibatkan kerusakan pada neuron-neuron di hipokampus sehingga
mengakibatkan gangguan kognitif.5
Hiperglikemia non-ketotik adalah penyebab Chorea-ballismus terlihat pada
pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol. Kondisi ini biasanya terjadi pada
pasien usia lanjut, Diabetes Mellitus yang tidak tergantung insulin, dan pada Ras
Asia.9 Kondisi ini biasanya mempengaruhi nukleus kaudatus dan atau putamen.
Keterlibatan unilateral dilaporkan lebih sering terjadi daripada keterlibatan bilateral
oleh beberapa penulis. Keterlibatan nukleus subthalamikus tanpa perubahan
pallidal juga telah pernah dijelaskan. Patogenesis yang tepat dari kelainan ini tidak
diketahui. Berkurangnya asam γ-aminobutyric korpus striatal, mungkin
berkontribusi dengan pengurangan aliran darah serebral selama episode
9

hiperglikemia dapat memungkinkan peningkatan aktivitas pallidal sehingga


mengakibatan diskinesia. Hipoperfusi regional ke daerah yang terkena telah
didokumentasikan pada studi CTON foton emisi tunggal. Mekanisme abnormalitas
tidak pasti. Gerakan abnormal yang terjadi ini diduga merupakan efek sekunder dari
perfusi otak yang berkurang, mungkin disebabkan oleh hiperviskositas akibat
hiperglikemia. Hal ini didukung dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa terjadinya peningkatan kadar glukosa dalam plasma berkorelasi langsung
dengan hipoperfusi otak. Hal ini mengakibatkan metabolisme anaerobik yang
berakibat berkurangnya GABA, yang dipergunakan sebagai metabolit untuk
menghasilkan energi. Dikarenakan GABA merupakan neurotransmitter inhibitor,
maka dengan berkurangnya jumlah GABA akan meningkatkan arus thalamo-
kortikal sehinggan mengakibatkan gerakan abnormal.
Patogenesis dari gambaran radiologis yang kita temukan pada pasien
hiperglikemia masih kontroversi dan kemungkinan diakibatkan oleh berbagai hasil
penelitian yang berbeda-beda histopatologinya. Perdarahan fokal dan kalsifikasi
adalah hal yang diajukan pertama kali untuk menjelaskan pola gambaran yang
ditemukan pada CT dan MRI. Akan tetapi, hal ini bukan merupakan suatu
gambaran konsisten yang ditemukan pada penelitian histopatologinya.9
Berbagai hipotesis melibatkan pengendapan protein, produk pemecahan
myelin, darah, kalsium atau mineral lainnya telah diajukan. CT biasanya
menggambarkan hiperatenuasi unilateral atau bilateral dari nukleus kaudatus dan
putamen. Di MRI, daerah yang tidak normal sangat hiperintens. Gambar pada T1
terdapat perubahan sinyal bervariasi. Pada gambar T2 resolusi kelainan pencitraan
biasanya tertinggal dari perbaikan klinis.1 Berikut adalah gambaran CT dan MRI
pada ensefalopati hiperglikemia:
10

Gambar 2.3. CT Scan Kepala Tanpa Kontras Menunjukkan Hiperatenuasi


Asimetris Yang Melibatkan Nukleus Lentiformis Dan Nukleus Kaudatus
Bilateral, Lebih Jelas Terlihat Pada Sisi Kiri.1

Gambar 2.4. MRI Kepala Tanpa Kontras Potongan Aksial Menunjukkan


Pemendekan pada T1 dan Pemanjangan Pada T2, pada Nukleus Lentiformis
Kiri.1
11

Gambar 2.5. MRI Kepala Tanpa Kontras Potongan Aksial Menunjukkan


Pemendekan pada T1W1 dan T2W1 setinggi Basal Ganglia.1

E. Ensefalopati Hipoglikemik
Menurut Asosiasi Diabetes Amerika, hipoglikemia adalah kadar gula darah
plasma 70 mg/dl (3,9 mmol/l) dan hipoglikemia berat didefinisikan sebagai kadar
gula darah plasma 40 mg/dl (2,2 mmol/l). Hipoglikemia lebih sering ditemukan
pada pasien diabetes dan dapat terjadi akibat komplikasi terapi dengan
menggunakan insulin atau obat sulfonilurea kerja lama. Hipoglikemia simtomatis
mengenai sekitar 2% pasien diabetes setiap tahunnya dan dihubungkan dengan
peningkatan 4% kematian pada pasien dengan Diabetes Mellitus Tipe I. Penyebab
lainnya termasuk pemberian insulin eksogen, yang baik disengaja maupun tidak
disengaja, tumor-tumor yang mensekresi insulin, sepsis, penyakit Addison, gagal
hati dan gagal ginjal.9 Gejala hipoglikemia dapat dibagi menjadi otonom dan
neuroglikopenik. Gejala hipoglikemik otonom termasuk diantaranya berkeringat,
gemetar, palpitasi, dan perasaan cemas. Gejala neuroglikopenik meliputi
kelemahan, bingung, perubahan perilaku, kejang dan kehilangan memori
sementara. Hipoglikemia yang parah dapat mengakibatkan perubahan status mental
atau koma. Terkadang pasien dapat muncul dengan gejala hemiparesis atau
kuadriparesis dan menyerupai stroke. Secara umum, gejala otonom biasanya
12

mendahului timbulnya gejala neuroglikopenik. Akan tetapi, pada pasien terkadang


timbul “hypoglycemic unawareness” dan gejala otonom mungkin muncul secara
tidak disadari.9 Kegagalan energi menyebabkan hilangnya hemostasis dipercaya
sebagai salah satu mekanisme kunci terjadinya kerusakan otak yang diakibatkan
oleh hipoglikemia. Beberapa peneliti juga mengatakan peranan kerusakan jaringan
yang disebabkan oleh aspartat pada hipoglikemia, berkebalikan dengan kondisi
hipoksia, di mana terjadinya kerusakan neuron adalah akibat dari glutamat. Tidak
adanya glukosa akan mengakibatkan terjadinya akumulasi oksaloasetat, yang
akibatnya meningkatkan pembentukan aspartat. Aspartat merupakan neurotoksin
dan telah terbukti mengakibatkan nekrosis neuronal pada korteks serebri,
neostriatum, dan hipokampus.
Hipoglikemia pertama kali dilaporkan melibatkan korteks, neostriaum, dan
hipokampus. Akan tetapi, banyak penelitian sebelumnya juga melaporkan adanya
keterlibatan white matter terutama mengenai sentrum semiovale, korona radiata,
kapsula interna, dan splenium pada korpus kalosum. Pada faktanya, keterlibatan
white matter sekarang diduga terjadi lebih awal dan lebih sering terjadi
dibandingkan dengan keterlibatan gray matter. Beberapa kasus menunjukkan
keterlibatan gray matter secara difus disertai dengan keterlibatan white matter.
Talamus, batang otak dan otak kecil sering tidak terkena, dan hal ini dapat menjadi
pembeda hipoglikemia dengan kerusakan akibat hipoksia yang sering melibatkan
talamus.10
Distribusi perubahan abnormal pada otak yang terlihat pada CT scan atau otopsi
sangat bervariasi pada berbagai laporan. Terdapat daerah tertentu yang rentan
terhadap hipoglikemia diajukan sebagai teori yang mendasari variabilitas ini. Lobus
parietal dan oksipital sering terlibat dan dianggap lebih rentan terkena bila
dibandingkan dengan lobus temporal dan frontal. Area watershed yang merupakan
area antara arteri serebri besar merupakan area yang paling rentan terkena. Iwai
dkk. juga melaporkan bahwa sel-sel neural pada korteks juga lebih sering terkena,
kemudian baru diikuti basal ganglia, serebelum, dan batang otak. Penelitian ini juga
menyatakan bahwa gray matter lebih sering terkena dibandingkan dengan white
matter. Adanya keterlibatan lobus temporalis, hipokampus, amigdala, area
13

periventrikular, nukelus kaudatus, putamen, talamus dan globus pallidus juga dapat
ditemui akibat hipoglikemia.10
Pada MRI, hipoglikemia berat terlihat sebagai area yang lebih terang
(pemanjangan pada T2) pada korteks serebri, hipokampus, dan ganglia basalis.
Pada semua kasus dengan hipoglikemia yang lebih ringan dan hipoglikemia
reversibel terlihat abnormalitas white matter yang melibatkan splenium dari corpus
callosum, kapsula interna, dan korona radiata juga terdapat pada beberapa laporan.
Pasien-pasien ini dapat mengalami pemulihan tanpa adanya defisit neurologis.1

Gambar 2.6. A. CT Scan Kepala dengan Kontras Potongan Aksial melalui


Dasar Otak Menunjukkan Lesi Simetris Densitas Rendah di Dalam Sisi
Medial di Kedua Lobus Frontal; B. CT Scan Pada Level Lebih Tinggi
Menunjukkan Area dengan Densitas Rendah di Dekat Kapsula Interna
(Panah Tertutup) dan Fokus Kecil dengan Densitas Rendah pada Basal
Ganglia Kiri (Panah Terbuka).
14

Gambar 2.7. Laki-Laki 43 Tahun Dengan Koma Hipoglikemik (Serum


Glukosa 1,2 Mmol/L) A dan B Potongan Aksial FLAIR Menunjukkan
Hiperintensitas Kortikal Dan Striatal, C dan D DWI Menunjukkan Difusi
Terbatas Pada Area Yang Terkena11

F. Ensefalopati Uremikum
Gangguan kesadaran dan abnormalitas Sistem Saraf Pusat (SSP) lainnya yang
berhubungan dengan gagal ginjal dapat dikategorikan secara garis besar menjadi
gangguan kesadaran yang diakibatkan oleh gagal ginjal dan gangguan kesadaran
yang disebabkan oleh tatalaksana yang salah terhadap gagal ginjal. Uremia
merupakan sindrom klinik dari gagal ginjal dan hal ini disebabkan oleh dua
15

mekanisme utama yaitu akumulasi berlebihan dari produk metabolisme protein dan
hilangnya fungsi endokrin dan homeostasis ginjal intrinsik. Ensefalopati uremikum
merupakan manifestasi serebral pada uremia.8 Cukup sulit dalam menentukan profil
epidemiologi pada ensefalopati uremikum, prevalensinya mengikuti penyakit ginjal
pada stadium akhir. Diperkirakan jumlahnya akan mencapai 2 juta pada tahun 2030
di Amerika Serikat.
Ensefalopati uremikum adalah istilah yang digunakan untuk sindroma otak
yang terjadi pada pasien dengan gagal fungsi ginjal. Manifestasi klinis yang
mungkin terjadi adalah gangguan cara berbicara, kebingungan, demensia, gait yang
tidak stabil, tremor aksi, asterixis dan klonus multifokal. Patogenesisnya tidak
diketahui. Faktor-faktor seperti kalsium, hormon paratiroid, neurotransmitter,
osmolalitas otak, perubahan aliran darah otak dan metabolisme telah diajukan pada
beberapa penelitian sebagai hal yang berpengaruh pada ensefalopati ini. Pada studi
patologi otak pasien dengan Gagal Ginjal Kronik terdapat Perdarahan Subdural,
Perdarahan Intraserebral, dan degenerasi neuronal pada beberapa pasien tetapi
tidak ditemukan perubahan morfologi spesifik.12
Ensefalopati uremikum akut adalah penyakit neuropsikiatri florid yang
penampilan klinisnya berkisar dari disfungsi eksekutif yang tidak terlihat sampai
pada koma. Tanda awal dapat meliputi penurunan atensi, penurunan kemampuan
konstruksi dan menulis, disfungsi eksekutif, perubahan perilaku, dan gangguan
tidur. Hal ini kemudian dapat berkembang menjadi delirium agitasi dan koma.
Hiperventilasi dapat muncul pada periode metabolik asidosis. Penemuan motorik
termasuk kelemahan umum, paratonia, mioklonus multifokal, mioklonus aksi,
mioklonus sensitif stimulus, tremor dan asterixis. Mioklonus lebih sering ditemui
pada kondisi uremia dibandingkan dengan kondisi ensefalopati metabolik lainnya
dan sering respon dengan pemberian klonazepam. Asterixis adalah hilangnya tonus
otot yang terjadi secara periodik (contohnya mioklonus negatif) dan dapat terlihat
sebagai gerakan “flapping” pada sendi pergelangan tangan dengan lengan bawah
melebar dan pergelangan tangan hiperekstensi. Asterixis dapat diidentifikasi
dengan meminta pasien untuk mengeluarkan lidah: bila terjadi retraksi periodik
lidah ke dalam mulut dapat dianalogikan dengan asterixis.
16

Dibandingkan dengan uremia akut, ensefalopati uremia kronik memiliki


presentasi klinis yang lebih tiba-tiba. Pasien memiliki penampilan klinis yang sama
tetapi dengan temuan yang lebih ringan. Ensefalopati uremia kronik
dikarakterisasikan dengan perubahan pada status mental seperti lambat berpikir,
apatis, afek yang datar, dan inatensi. Sakit kepala jarang ditemui. Gangguan tidur
dan restless leg syndrome juga terkadang ditemui pada populasi ini. Manifestasi
klinis yang terlihat pada ensefalopati metabolik ini merupakan efek kumulatif
terhadap produk-produk hasil metabolisme protein yang tidak hilang sempurna dan
disfungsi endokrin ginjal.8
Neurotoksin yang menyebabkan ensefalopati harus memenuhi kriteria berikut
ini: kadarnya meningkat pada ensefalopati uremikum, harus ada hubungan
langsung atau linear antara konsentrasi toksin dan derajat ensefalopatinya,
neurotoksisitas harus dapat dibuktikan, dapat hilang dengan tindakan dialisis, dan
bila terjadi pengurangan jumlah neurotoksin harus dapat memperbaiki klinis pasien.
Meskipun tidak banyak substansi yang memenuhi kriteria di atas, akan tetapi ada
berbagai substansi yang diduga sebagai penyebab ensefalopati uremikum (Tabel
3.1).2
Pencitraan pada ensefalopati uremikum biasanya tampak normal. Pasien
dengan temuan yang tidak normal biasanya menampakkan keterlibatan bilateral
simetris ataupun tidak simetris pada ganglia basalis, kapsula interna dan eksterna.
Pada CT scan kepala, biasanya tampak sebagai area yang atenuasinya menurun.
Pada MRI, terlihat sebagai daerah pada T1 dan T2 yang lebih terang (prolongasi).
Perdarahan jarang terlihat. Lesi-lesi ini terlihat berkurang pada saat permulaan
dialisis atau dengan semakin seringnya frekuesi dialisis.1
17

Tabel 3.1 Neurotoksin yang Menyebabkan Ensefalopati Uremikum1

Gambar 2.8. A. MRI T2 Menunjukkan Peningkatan Intensitas Sinyal Pada


Ganglia Basalis, Kapsula Interna Dan White Matter Periventrikular, B. T1
Menunjukkan Hipointensitas Di Daerah Tersebut, C. CT Menunjukkan
Perubahan Di Area Yang Sama.
18

Gambar 2.9. A. MRI T2 Dan B. CT Pada Hari Ke 53 Setelah Perawatan


Kembali Ke Normal.

G. Ensefalopati Hepatik
Istilah ensefalopati hati (HE) mencakup spektrum kelainan neuropsikiatri yang
terjadi pada pasien dengan disfungsi hati. Sebagian besar kasus dikaitkan dengan
sirosis dan hipertensi portal atau shunt portal-sistemik, namun kondisinya juga bisa
dilihat pada pasien dengan kegagalan hati akut dan, jarang dengan bypass sistemik
dan tidak ada penyakit hepatoselular intrinsik yang terkait.13 Meskipun HE adalah
kondisi klinis, beberapa teknik neuroimaging, terutama pencitraan MR bermanfaat
untuk diagnosis karena bisa mengidentifikasi dan mengukur akibat dari
peningkatan subtansi-substansi yang pada kondisi normal dapat dimetabolisme oleh
hati terhadap Sistem Saraf Pusat (SSP).
Ensefalopati hati (atau ensefalopati sistemik portal) disebabkan oleh tidak
efektifnya fungsi hati dalam membersihkan komponen nitogen atau toksin yang
terkonsumsi atau terbentuk pada traktus gastrointestinal. Kegagalan pada sistem
detoksifikasi ini merupakan akibat dari fungsi hepar yang tidak dapat
mengkompensasi dan juga adanya shunting yang berlebihan dan darah splancnic
19

langsung menuju ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah kolateral porto-


sistemik. Faktor-faktor yang mencetuskan kondisi ini adalah diet protein, konstipasi
dan perdarahan gastrointestinal. Dan sebagai hasilnya, komponen toksis seperti
amnonia, mangan, dan mercaptan memiliki akses menuju Sistem Saraf Pusat (SSP).
Efek neurotoksik amonia mengenai pada beberapa sistem neurotransmitter dan
pada metabolisme otak. Gambaran yang ditemukan pada pada MRI dianggap
berkaitan dengan akumulasi dari mangan dan konsentrasi mangan pada serum
sekitar tiga kali lipat pada pasien sirrosis bila dibandingkan dengan individu
normal. Akumulasi mangan dapat menyebabkan parkinsonisme, terutama dengan
adanya keterlibatan pada substansia nigra. Ada hiperintensitas white matter pada
T2 diduga akibat dari edema otak dan adanya lesi fokal dikaitkan dengan degenerasi
spons yang melibatkan lapisan dalam korteks dan U-fibers.14
Kelainan pencitraan MR klasik meliputi intensitas sinyal tinggi di globus
palidus pada gambar T1, kemungkinan merupakan cerminan dari peningkatan
konsentrasi mangan pada jaringan, dan peningkatan puncak glutamin/glutamat
ditambah dengan sinyal myo-inositol dan kolin yang menurun pada MR proton
spektroskopi, yang menggambarkan gangguan homeostasis pada volume sel yang
diakibatkan oleh hiperamonemia otak.13 Tambahan yang ditemukan pada MRI
meliputi hiperintensitas pada white matter yang difus yang terllihat pada T2 yang
terutama pada traktus kortikospinal hemisferik dan lesi T2 fokal yang sangat terang
pada white matter subkortikal.14 Deposisi mangan berlebihan bilateral pada globus
palidus dapat terlihat pada penyakit hati berupa hiperintensitas T1 pada MRI.
Meskipun hiperintensitas pada ganglia basalis lebih sering terjadi pada penyakit
hati dan ensefalopati hepatik, gambaran radiologis ini juga dapat terlihat pada kasus
keracunan mangan eksogen dan pada sindrom hiperosmolar non ketotik.
Hiperintensitas T1 dapat juga ditemukan di dalam sistem limbik, di daerah ganglia
basalis lainnya dan di sepanjang jaras white matter. Tidak ada hubungan jelas antara
karakteristik MRI dengan keparahan klinis dari ensefalopati hepatikum.8
Semua gambaran-gambaran ini yaitu lesi pada T1 yang terang, hiperintensitas
white matter pada potongan T2, dan abnormalitas pada MRS akan mengalami
perbaikan dengan kembalinya fungsi hati seperti pada kasus transplantasi hati.14
20

Pada ensefalopati hepatikum akut gambaran pada CT scan merupakan alat yang
penting untuk menilai derajat edema serebri. Pada CT scan yang dinilai adalah
penipisan sulcus, visibilitas white matter subkortikal, derajat hilangnya sisterna
basalis. CT scan serial harus menjadi pertimbangan dalam tata laksana ensefalopati
hepatikum.8
Tabel 3.2 Gambaran MRI pada Pasien dengan Sirrosis dengan atau tanpa
Ensefalopati Hepatikum13

Gambar 2.10. CT Scan Kepala pada Penyakit Hati Fulminan


Pada Gambar A. Sisterna Basalis Menghilang, Sulkus Menghilang dan
Hilangnya Diferensiasi Gray Matter dan White Matter Akibat Edema Otak
yang Difus. Gambar B. Pasien Gagal Hati Akut dengan Riwayat Pemberian
Obat dan Alkohol Setelah Pemberian Manitol.15
21

Gambar 2.11. Gambar FLAIR Aksial A. Menunjukkan Sinyal Terang


Bilateral pada Globus Pallidus, B. Peningkatan Difusifitas pada ADC, C.
Hiperintens Ringan pada T1W114

Gambar 2.12. MRI potongan T2W1 (Gambar A) Fokus-fokus Hiperintens


yang Multipel Terutama pada Talamus tanpa Penyangatan pada Kontras
(Gambar B)14
22

Gambar 2.13. FLAIR pada Level Basal Ganglia Pasien Usia 10 Tahun. (A)
Abnormalitas Hiperintens Bilateral yang Berbentuk Bercak Terutama
Melibatkan Globus Pallidus (panah), (B) FLAIR 3 Tahun Kemudian, Regresi
Pada Lesi.14

H. Hiponatremia
Hiponatremia didefinisikan sebagai konsentrasi sodium serum kurang dari 135
mmol/liter. Insidensinya sekitar 1% dan prevalensinya sekitar 3% dari pasien yang
dirawat di Rumah Sakit. Hiponatremia mencerminkan perubahan keseimbangan air
di dalam tubuh sehingga akhirnya mempengaruhi osmolalitas plasma.
Hiponatremia dapat terjadi pada kondisi hipoosmolar atau isoosmolar.
Hiponatremia hipoosmolar lebih sering terjadi dan dapat dikelompokkan kembali
sesuai dengan status volumenya yakni menjadi hiponatremia isovolemik,
hipovolemik, dan hipervolemik. Hiponatremia hiposmolar terjadi karena kelebihan
relatif dari pelarut terhadap zat terlarut. Penyebab yang paling sering pada
ensefalopati hiponatremia adalah penggunaan diuretik tiazid atau penggunaan
cairan hipotonis di Rumah Sakit terutama pada pasien setelah operasi, terutama
pada periode post operasi, dan pada kondisi yang melibatkan hormon antidiuretik
(ADH) contohnya obat-obatan dan pada sindrom SIADH. Penggunaan cairan
hipotonis pada kondisi post operasi merupakan tindakan yang berisiko dikarenakan
SIADH dari nyeri, mual dan muntah.8
Hiponatremia yang berat dapat mengakibatkan kerusakan otak yang parah dan
permanen. Gejala klinis biasanya terjadi segera setelah turunnya kadar natrium
23

mendadak pada serum. Dari keadaan normonatremik, gejala biasanya terjadi bila
kadar natrium dalam serum berada di bawah 125 mmol/L, akan tetapi ada beberapa
laporan dari penelitian sebelumnya bahwa klinis yang berat juga dapat terjadi pada
kadar natrium 128 mmol/L. Gejala-gejala ensefalopati hiponatremia termasuk sakit
kepala, perubahan perilaku, mual, dan muntah sama dengan gejala yang
ditunjukkan pada saat penderita mengalami peningkatan intrakranial. Gambaran
pada EEG dapat berupa perlambatan umum. Gejala klinik dapat reversibel dengan
dengan dikoreksinya hiponatremia. Gejala awal yang muncul dapat sangat dramatis
meliputi penurunan derajat kesadaran, kejang, gagal nafas, koma, postur
deserebrasi, dan kematian. Pada kasus yang jarang, gejala klinis pada hiponatremia
kronik dapat menyerupai hiponatremia akut. Gambaran klinis yang dapat
ditemukan bergantung pada apakah disebabkan oleh benar-benar hiponatremia atau
dari penanggulangan yang salah terhadap hiponatremia (contohnya sindrom
myelinolisis osmotik).8 Ensefalopati hiponatremia merupakan efek kombinasi
antara stres hipoosmolar dan keterbatasan ekspansi ruang otak pada kondisi edema
serebri. Jika stres hipoosmolar cukup parah maka mekanisme adaptif tidak dapat
bekerja dengan baik dan dapat terjadi edema serebri.
Dalam kondisi fisiologis, osmolalitas otak berada dalam ekuilibrium dengan
osmolalitas ekstraselular. Ketika hiponatremia terjadi, penurunan osmolalitas
plasma (dengan pengecualian kasus hiponatremia non-hipoosmotik yang jarang
terjadi) menyebabkan pergerakan air ke otak sebagai respons terhadap gradien
osmotik, sehingga menyebabkan edema serebri. Sel yang paling terlibat dalam
pembengkakan adalah astrosit, sejenis sel glial yang merupakan penyusun sawar
darah otak dan memiliki peran mendasar dalam menjaga konsentrasi cairan dan
elektrolit ruang ekstraselular di otak. Sel glial secara selektif membengkak saat
terjadi tekanan hiposmolar dengan tanpa melibatkan neuron, menunjukkan adanya
saluran air spesifik yang dilokalisasi pada astrosit untuk melindungi neuron dari
masuknya air. Bukti terbaru menunjukkan adanya saluran air aquaporin (AQP) di
glia, khususnya subtipe AQP1 dan AQP4, yang tampaknya penting dalam
pengembangan edema serebral selama hiponatremia.16 Sebenarnya, ketika terjadi
hipoosmolalitas, air bergerak melalui saluran AQP1 dan AQP4 ke sel glial, yang
24

secara selektif membengkak sedangkan neuron relatif terhindar. Meskipun


demikian, sel glial merupakan osmometers yang tidak sempurna sehingga akhirnya
pembengkakan otak dapat terjadi. Adanya mekanisme adaptif yang menangkal
pembengkakan otak merupakan respons homeostatik awal yang penting untuk
kelangsungan hidup sel, karena perubahan volume sel dapat mengubah fungsi sel
seperti perkembangan siklus sel, proliferasi, apoptosis, rangsangan dan
metabolisme.16
Proses regulasi volume otak sangat penting untuk memahami variabilitas
presentasi klinis hiponatremia. Ketika hipoosmolalitas muncul pada tingkat yang
melebihi kemampuan otak untuk mengatur volumenya dengan kehilangan
elektrolit, seperti pada hiponatremia akut (<48 jam), edema otak dapat terjadi dan
pasien dapat menunjukkan tanda dan gejala neurologis yang parah, yang mungkin
menyebabkan kematian karena herniasi otak. Pada hiponatremia kronis, di mana
ketidakseimbangan hadir lebih dari 48 jam, hilangnya elektrolit dan osmolit organik
merupakan mekanisme yang sangat efisien untuk mengatur volume otak. Oleh
karena itu, pada edema otak akibat hiponatremia kronis dapat minimal dan gejala
neurologis mungkin tidak ada atau ringan.16
Pengetahuan tentang mekanisme adaptif kompleks ini sangat penting saat kita
memperbaiki hiponatremia dengan terapi aktif. Di sini, pembalikan respons
kompensasi sekunder akibat hiponatremia terjadi. Secara khusus, pengambilan
kembali osmolit organik diperlukan, untuk mencegah kehilangan cairan dari sel. Ini
adalah proses yang sangat lambat, yang mungkin memakan waktu beberapa hari.
Oleh karena itu, koreksi hiponatremia kronis yang terlalu cepat, yang melebihi
kemampuan otak untuk menangkap kembali osmolit yang hilang, menyebabkan
gradien osmotik terbalik dengan dehidrasi jaringan otak dan kemungkinan
demielinasi white matter. Konsekuensi dramatis ini dikenal sebagai Osmotic
Demyelination Syndrome (ODS) dan terjadi terutama pada pons (myelinolisis
pontin sentral), walaupun myelinolisis ekstra pontin yang mempengaruhi ganglia
basal, korteks, geniculate lateral body dan kapsul internal juga bisa terjadi. Juga
dalam patofisiologi ODS, sel yang terutama terlibat adalah astrosit. Sebuah studi in
vitro baru-baru ini telah menunjukkan kematian astrosit dini setelah koreksi cepat
25

hiponatremia. Apoptosis astrosit diikuti oleh hilangnya komunikasi antara astrosit


dan oligodendrosit, yang sangat penting untuk proses mielinasi.16

Gambar 2.14. Efek hiponatremia pada otak dan mekanisme adaptif. (a)
Normonatremia: osmolalitas otak berada dalam ekuilibrium dengan
osmolalitas ekstraselular; (b) Hiponatremia akut: air bergerak ke otak sebagai
respons terhadap gradien osmotik, menyebabkan pembengkakan otak; (c)
Hiponatremia kronis: dalam beberapa jam sel kehilangan elektrolit (adaptasi
cepat) dan kemudian osmolit organik (adaptasi lambat); Akibatnya hilangnya
air mengurangi pembengkakan seluler dan menormalkan volume otak (d)
Demielinasi osmotik: koreksi hiponatremia yang terlalu cepat menyebabkan
gradien osmotik invers dengan kehilangan air yang berlebihan dari sel-sel
yang menyebabkan dehidrasi otak dan demielinasi white matter.16
26

Gambar 2.15. CT Scan dan MRI kepala diperoleh dari pasien wanita berusia
44 tahun yang dirawat di gawat darurat dengan kadar natrium plasma 121
mmol/ L. CT Scan Kepala yang didapat dalam waktu 1 jam. Edema serebral
tampak jelas, ventrikel otak pada dasarnya telah hilang, dan sulci sebagian
besar tidak ada. MRI Kepala diambil 24 jam setelah masuk. Edema serebri
telah teratasi, ventrikel otak sekarang terlihat jelas, dan sulci lebih jelas.17

Gambar 2.16. Mielinolisis pons sentral.


Pada MRI 3.0T, 14 hari setelah koreksi natrium cepat, A: Gambar aksial
FLAIR MR menunjukkan edema di tengah pons, B: Gambar SWI tampak
normal tanpa perdarahan, dan C: DWI (atas) dan ADC (bawah)
27

mengkonfirmasi difusi berkurang. Pada MRI awal itu, gambar T1


postkontras (tidak diperlihatkan) tidak menunjukkan adanya peningkatan
abnormal. Lima hari setelah MRI awal, sebuah MRI ulangan menunjukkan
sinyal abnormal persisten dan relatif tidak berubah pada FLAIR nonkontras
(tidak ditunjukkan), sedangkan D: FLAIR postcontrast menunjukkan
penyangatan, seperti yang dikonfirmasi pada E: pengurangan FLAIR image
(mengurangi gambar pra-kontraksi postkontras ), dan F: postkontras.
Gambar T1, yang menunjukkan penyangatan sepanjang pinggiran lesi pons.
Peningkatan tersebut terjadi pada fase subakut akhir pada pasien ini, 19 hari
setelah episode koreksi natrium cepat.18

Gambar 2.17. Mielinolisis Ekstrapontin.


A. Gambar DWI aksial dan B: Peta ADC yang menunjukkan restriksi difusi
pada talamus dengan T2 menunjukkan abnormalitas sinyal pada ganglia
basal. C: T2 dan D: T2 FLAIR peningkatan intensitas sinyal ganglia basal dan
talamus pada pasien dengan myelinolisis extrapontine E: CT scan
menunjukkan hipodensitas simetris pada talamus dan putamen pasien yang
sama.18
28

I. Hipernatremia
Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145 mEq/L.
Hipernatremia simtomatik hampir selalu bermanifetasi pada tingkat serum lebih
dari 160 mEq, dan lebih dari 89% menjadii ensefalopati hipernatremik. Gambaran
klinis ensefalopati hipernatremik mencakup mual, kelesuan, kejang, dan koma. Dua
populasi dengan risiko tertinggi untuk ensefalopati hipernatremik adalah yang
sangat muda dan sangat tua. Penyakit gastrointestinal dengan muntah dan diare
disertai dengan kurangnya akses air pada anak-anak, atau rasa haus pada orang tua,
meningkatkan risiko terjadinya hipernatremia. Setiap situasi di mana sekresi ADH
terganggu atau respon haus terhadap ADH terganggu membuat pasien berisiko
terkena hipernatremia (disfungsi hipotalamus dari stroke, perdarahan, tumor, dan
sebagainya). Kelebihan asupan garam dapat mempengaruhi semua umur, dan ini
telah dilaporkan dalam konteks emetik asam air asin dan sindrom Pica. Formula
bayi yang terlalu kental (persiapan makanan bubuk yang tidak tepat) dapat
menyebabkan hipernatremia pada bayi. Hipernatremia dapat terjadi sebagai respons
terhadap perdarahan subdural akibat cedera kepala yang tidak berbahaya pada anak
muda. Ensefalopati hypernatremik juga telah dilaporkan terjadi secara spontan pada
keadaan pascapersalinan. Kematian hipernatremia bisa setinggi 20%, dengan
kerusakan otak yang parah pada 33% populasi anak-anak.7
Pada kondisi stres hiperosmolar, air dikeluarkan dari neuron dan glia.
Pengurangan volume seluruh otak terjadi, terutama karena penyusutan
oligodendroglia. Penyusutan volume menjadikan posisi vena tertarik sehingga
dapat terjadi robekan bridging vein kortikal yang mengakibatkan hematoma
subdural, perdarahan subarachnoid, perdarahan intrakranial, dan perdarahan
petechial. Trombosis sinovenosa juga bisa terlihat. Laporan kasus telah
menunjukkan beberapa temuan pencitraan menarik termasuk edema sitotoksik
sementara pada talamus, edema serebral difus, dan mielinolisis osmotik.7
Peningkatan osmolalitas cairan ekstraselular menyebabkan pergerakan air yang
cepat keluar dari kompartemen seluler menyebabkan penyusutan sel. Meskipun hal
ini sedikit berpengaruh pada organ lain, fungsi SSP dapat sangat terpengaruh. Di
beberapa jam mulai beradaptasi dengan hipermosmolar ini. Jumlah osmotik
29

intraseluler aktif. Langkah pertama melibatkan pengambilan kembali zat terlarut ke


dalam sel. Ini berfungsi untuk mengeluarkan air dari cairan serebrospinal, melalui
ruang interstisial, ke dalam kompartemen intraselular, mengembalikan ukuran sel.
Bila otak telah terpengaruh kondisi hipertonik yang bertahan selama beberapa jam
sampai hari, mekanisme kompensasi telah diaktifkan. Akumulasi osmolit membuat
otak sangat rentan terhadap pembengkakan sel akibat larutan hipotonik. Oleh
karena itu, pasien tersebut harus dikoreksi dengan sangat lambat, biasanya sekitar
satu minggu dalam keadaan hipermosmolar untuk mencegahnya rebound dari
edema serebral.19
Penyebab iatrogenik hipernatremia pada pasien rawat inap mungkin tidak
disengaja atau disengaja. Kegagalan untuk memperhatikan keluarnya air dan
elektrolit dan terapi cairan dengan tepat dapat menyebabkan hipernatremia pada
pasien dengan kehilangan air dalam jumlah besar yang tidak disadari. Selain itu,
penggunaan terapi osmotik dengan manitol atau garam hipertonik pada pasien
neurologis sering menyebabkan hipernatremia; manitol bertindak dengan
meningkatkan pengeluaran air dan garam hipertonik melalui peningkatan kadar
natrium relatif terhadap air.19
30

Gambar 2.18. A. MRI T1 dan B. T2, sesaat setelah pasien masuk dengan
hipernatremia menunujukkan penyusutan otak dan kompensasi pelebaran
ruang subdural. Pengumpulan cairan pada ruang subdural lebih jelas terlihat
pada T2. C. Dan D. Menunjukkan restorasi volume otak pada follow up MRI
3 minggu setelah onset.20

J. Hipokalsemia
Kalsium ekstraselular dipertahankan nilainya dalam rentang fisiologis yang
ketat dengan interaksi hormon paratiroid (PTH), vitamin D, kalsitonin, magnesium,
fosfat, dan kalsium. Gambaran lengkap tentang homeostasis kalsium berada di luar
cakupan artikel ini. Kalsium bersirkulasi baik dalam bentuk terikat atau terionisasi.
Fraksi terionisasi memberikan tindakan biologis kalsium. Manifestasi neurologis
homeostasis kalsium yang abnormal bergantung pada tingkat keparahan dan
kecepatan perkembangan ketidakseimbangan kalsium. Kalsium dapat memiliki
pengaruh mendalam pada proses neuron, termasuk perubahan pada eksitasi dan
permeabilitas membran, transmisi sinaptik, pengaktifan sistem messenger kedua,
fungsi organel, dan interaksi glial-neuronal (mis., Tripartit sinaps). Penyebab umum
hipokalsemia menimbulkan efeknya dengan menghambat aksis PTH-vitamin D,
dengan mendorong redistribusi kalsium, atau dengan menghambat efek kalsium.7
31

Gejala ensefalopati hipokalsemik meliputi perubahan kognitif dan perilaku,


disorientasi, kebingungan, hipomania, delirium, gelisah, dan korea. Pada kasus
yang parah, obtundasi dan koma bisa terjadi. Sakit kepala disertai papilledema
dapat terjadi akibat peningkatan ICP. Kejang dapat terjadi dan mungkin bersifat
fokal, umum, konvulsif, atau non konvulsif. Temuan EEG juga bervariasi dengan
perlambatan paroksismal, perlambatan irama dasar, dan lonjakan fokal dan umum.
Terjadinya ensefalopati reversibel yang disebabkan oleh hipokalsemia dan edema
serebral difus juga dilaporkan pada pasien dengan pseudohipoparatiroidisme.
Iritabilitas neuromuskular, disertai tanda hiperrefleksia, Chvostek dan Trousseau,
dan tetani merupakan tanda khas gejala hipokalsemia simtomatik. Stridor laring dan
kejang bisa membahayakan jalan napas.7
Manifestasi spesifik penyakit meliputi hipoparatiroidisme dan defisiensi
vitamin D. Pada hipoparatiroidisme terdapat kelainan ekstrapiramidal - kalsifikasi
ganglia basal adalah manifestasi dari hipoparatiroidisme jangka waktu lama. Dapat
dideteksi dengan CT scan saat rutinitas rontgen tengkorak normal. Beberapa pasien
dengan kalsifikasi basal ganglia bermanifestasi sebagai parkinsonisme, gangguan
gerakan lainnya (distonia, hemiballismus, koreoathetosis, dan oculogyric crisis),
atau demensia, sementara yang lainnya tetap tanpa gejala. Dalam beberapa kasus,
gejala ekstrapiramidal membaik setelah perawatan dengan vitamin D dan kalsium.

Gambar 2.19. MRI Kepala Potongan T1 pada Pasien dengan


Pseudohipoparatiroidisme Menunjukkan Hiperintensitas pada Straito-
Pallidal (Kepala Panah Putih), Mesensephalon (Panah Putih) dan Regio
Pontoserebellar (Kepala Panah Hitam)21
32

K. Ensefalopati Hashimoto
Ensefalopati Hashimoto adalah ensefalopati yang terkait dengan tiroiditis
autoimun yang ditandai dengan titer tinggi antibodi antitiroid dalam serum. Pasien
mungkin hipotiroid, tapi juga mungkin eutiroid atau bahkan hipertiroid. Kelainan
ini adalah ensefalopati yang kambuh dan remisi, dan dapat ditandai dengan kejang,
baik fokal maupun generalisata, mioklonus, kebingungan, dan dalam beberapa
kasus pingsan dan koma. Mungkin ada kaitan antara traktus piramidalis dan tanda
serebelum. MRI umumnya tidak informatif. Dalam beberapa kasus yang telah
sampai pada otopsi, tidak ada bukti vaskulitis. EEG menunjukkan perlambatan
umum dengan aktivitas delta ritmik intermiten dan sering gelombang trifasik.
Antibodi antitiroid ditemukan pada serum dan cairan tulang belakang, dan antibodi
antineuronal juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus, meskipun signifikansi
patofisiologis dari kedua jenis antibodi untuk ensefalopati tidak jelas. Pentingnya
sindrom ini adalah responnya terhadap steroid dan harus dicurigai bila pasien
hipotiroid tidak menunjukkan tingkat kesadaran yang meningkat sebagai respons
terhadap thyroxin. Diagnosis ditegakkan dengan peningkatan antibodi tiroid dan
responsifitas terhadap steroid.5
33

Gambar. 2.20. A. Gambar Awal Menunjukkan Sinyal Hiperintens Difus


Konfluen pada White Matter dalam Subkortikal dan Periventrikular, Basal
Ganglia dan Talamus Tidak Terlibat; B. 2 Tahun Kemudian Tidak Terlihat
Abnormalitas Lagi.

L. Addison’s Disease
Patogenesis ensefalopati kegagalan korteks adrenal pada penyakit Addison
mungkin melibatkan beberapa faktor selain tidak adanya efek kortisol pada jaringan
otak. Penyakit ini jika tidak diterapi juga menghasilkan hipoglikemia serta
hiponatremia dan hiperkalemia akibat hipoaldosteronisme. Hipotensi adalah hal
yang menentukan dan jika cukup parah, ini saja bisa menyebabkan gejala serebral
akibat hipotensi ortostatik. Gejala tidak sepenuhnya jelas sampai kedua
mineralokortikosteroid dan glukokortikosteroid diganti. Beberapa pasien yang
tidak diobati dan atau diobati tetapi tidak adekuat dengan penyakit Addison akan
mengalami klinis agak mengigau. Dalam suatu serial kasus terhada 86 pasien
34

dengan insufisiensi adrenal yang terkait dengan sindrom antifosfolipid, perubahan


status mental hanya ada pada 16 (19%). Gejala utamanya adalah nyeri perut (55%),
hipotensi (54%), dan mual atau muntah (31%). Kelemahan, kelelahan, malaise, atau
asthenia hadir pada 31%. Stupor dan koma biasanya muncul, jika tidak sama sekali
maka hanya selama krisis addisonian. Perubahan kesadaran, respirasi, pupil, dan
pergerakan okular tidak berbeda dengan beberapa jenis koma metabolik lainnya.
Kehadiran tanda-tanda motor tertentu, bagaimanapun, dapat membantu dalam
menyarankan diagnosis. Pasien dalam krisis addisonian memiliki kelemahan tipe
flaksid dan refleks tendon dalam hipoaktif atau tidak ada, mungkin akibat
hiperkalemia. Beberapa mengalami kejang umum, yang disebabkan oleh
hiponatremia dan intoksikasi air. Papiledema kadang-kadang hadir dan mungkin
hasil dari pembengkakan otak yang disebabkan oleh pergeseran cairan mungkin
diperburuk oleh peningkatan permeabilitas kapiler, yang biasanya dapat diatasi oleh
kortikosteroid. EEG difus lambat dan tidak berbeda dengan pola penyebab
ensefalopati metabolik lainnya.5
Kesalahan utama dalam diagnosis banding penyakit Addison adalah berkaitan
dengan hiponatremia, hiperkalemia, atau hipoglikemia sebagai penyebab utama
koma metabolik, dan bukannya mengenali kombinasi yang disebabkan oleh
kekurangan adrenal yang mendasarinya. Kesalahan ini hanya dapat dihindari
dengan mempertimbangkan penyakit Addison sebagai penyebab potensial koma
metabolik dan dengan memperhatikan tanda fisik umum lainnya.dan nilai
laboratorium. Hipotensi dan hiperkalemia, misalnya, jarang tampil bersamaan
dengan penyakit lain yang menyebabkan hiponatremia atau hipoglikemia. Pasien
dengan penyakit Addison sangat sensitif terhadap obat penenang, termasuk
barbiturat dan narkotika, dengan menelan dosis standar obat ini bisa menghasilkan
koma.5
35

Gambar 2.21. X-linked adrenoleukodystrophy. Laki-laki 8 tahun dengan


Penyakit Addison dengan Retardasi Mental. Lesi simetris dengan Intensitas
Sinyal Tinggi terlihat pada FLAIR (A) Karakteristik Gambaran Kupu-Kupu
(Panah Ganda Gambar A) Pada T1 post kontras Terlihat Penyangatan Ringan
Pada Batas-Batas White Matter peritrigonal (B). 22

M. Ensefalopati Wernicke
Ensefalopati Wernicke (EW) adalah keadaan darurat medis yang ditandai
dengan ataksia, kebingungan, nistagmus dan opthalmoplegia yang terkait dengan
kerusakan otak yang awalnya reversibel akibat berkurangnya tiamin intraselular.
Bila tidak diobati, bisa menyebabkan sindrom Korsakoff atau bahkan kematian.
Alkoholisme adalah penyebab paling umum defisiensi tiamin di seluruh dunia. Pola
makan yang buruk terkait dengan gaya hidup tidak sehat, penyimpanan tiamin yang
terganggu, penyerapan tiamin yang terganggu secara kronis dari saluran pencernaan
dan metabolisme tiamin berkurang adalah beberapa etiologi yang diketahui dari
kondisi ini. Secara klasik, defisiensi tiamin menyebabkan lesi pada bagian tektum,
talamus, nukleus hipotalamus dan nuklei periventrikular yang dapat menyebabkan
tanda-tanda kardiovaskular pada tanda ataksia, nistagmus, oftalmoplegia dan
kebingungan pada EW. Meskipun alkoholisme adalah penyebab paling umum,
kelainan lain mungkin disebabkan bioavailabilitas atau metabolisme tiamin.23
Pencitraan dengan tujuan mendiagnosis EW telah digunakan sejak tahun
1970an. Pembesaran ventrikel, terutama pada ventrikel ketiga, telah dilaporkan
36

pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan pemindaian tomografi


terkomputerisasi (CT) namun tidak dapat mendeteksi adanya kerusakan fokal atau
edema. Magnetic Resonance Imaging (MRI), memiliki sensitivitas tinggi pada
jaringan yang mengandung air, telah menjadi pilihan untuk diagnosis lesi
neurologis yang tidak terlihat pada CT. Jaringan dengan kadar air tinggi yang
ditunjukkan sebagai struktur abnormal hiperintens pada gambaran T2 MRI, dapat
menjadi tanda lesi edematous EW pada pecandu alkohol. Dengan melihat pada
literatur, tanda pada pencitraan yang paling jelas pada EW akut adalah
hiperintensitas bilateral pada MRI, biasanya terjadi pada gray matter dari badan
mamillari, nukelus anterior dan medial talamus, kolikulus inferior dan superior,
gray matter periventrikular, dan terkadang serebellum.23 Distribusi bilateral pada
ensefalopati ini berkorelasi dengan tingkat keparahan klinisnya. Meskipun pons
jarang sekali terkena pada ensefalopati ini, tetapi ada beberapa bukti mengenai
akumulasi cairan pada pons bagian sentral pada pasien ensefalopati wernicke akibat
konsumsi alkohol.23
Potongan FLAIR memiliki kemampuan khusus untuk memperlihatkan sinyal
pada lesi edema. Pada suatu penelitian yang mengevaluasi tentang 6 pasien
ensefalopati wernicke pada non peminum alkohol dengan menggunakan MRI
kepala potongan FLAIR, sinyal hiperintens terlihat pada jaringan di sekitar talamus
bagian medial, ventrikel tiga, akuaduktus, dan dasar ventrikel keempat. MRI
dengan potongan DWI merupakan teknik MRI lainnya untuk mendeteksi
ensefalopati wernicke pada otak. Sinyal yang sangat terang merepresentasikan
abnormalitas difus tinggi, pada periventrikular dan jaringan talamus yang tipikal
terjadi pada jenis ensefalopati ini.
37

Gambar 2.22. Laki-laki 54 tahun dengan Leukimia, Penurunan Kesadaran


dan Ataxia. A. Nukleus Hipoglosus Menunjukkan Peningkatan Intensitas
Sinyal, B. Nukleus Medial Vestibular menunjukkan Hipointensitas Simetris
(Panah), C. Perubahan Intensitas Sinyal Simetris pada Nukleus Fasialis
(Panah). Perubahan Sinyal Ringan pada Nukleus Abdusen, D. Tektum
mesensephalon dan periakuaduktal gray matter Menunjukkan Perubahan
Sinyal, E. Badan mamilari (Panah) Menunjukkan Perubahan Sinyal, F.
Perubahan Intensitas Sinyal pada Talamus Medial dan Periventrikel.24

N. Ensefalopati Hipoksik-Iskemik
Cedera otak hipoksia / anoksik dapat diakibatkan oleh aliran darah serebral
yang tidak mencukupi, berkurangnya ketersediaan oksigen, berkurangnya
pengangkutan oksigen oleh darah, atau gangguan metabolik dengan penggunaan
oksigen yang tersedia.25 Ensefalopati Hipoksik-Iskemik sering terlihat di bagian
gawat darurat dan sering memiliki prognosis buruk. Sejumlah besar kondisi medis
dapat menyebabkan situasi ini, terutama:25
38

1. Gagal jantung diikuti oleh depresi pernapasan sekunder akibat kehilangan


darah masif, syok septik atau traumatis, dan penyakit jantung, seperti
infark miokard atau aritmia ventrikel.
2. Kegagalan pernafasan diikuti dengan serangan jantung akibat asupan
oksigen yang rendah (dalam kompresi trakea atau obstruksi, tenggelam,
tercekik, aspirasi kandungan lambung, atau selama anestesi umum jika gas
yang dihirup kurang oksigen), kelemahan otot pernafasan pada penyakit
neurologis. penyakit (sindrom Guillain-Barré, Amyotrophic Lateral
Sclerosis, miastenia gravis) atau cedera sistem saraf pusat (terutama cedera
tulang belakang).
3. Berkurangnya oksigen pada darah dalam keracunan karbon monoksida.
4. Histotoksisitas pada keracunan sianida.

Hipoksia otak dan iskemia akibat hipoksemia sistemik, mengurangi aliran


darah serebral, atau keduanya merupakan proses fisiologis primer yang
menyebabkan ensefalopati hipoksik-iskemik. Kerusakan otak yang terjadi akibat
kejadian hipoksia berbeda tergantung pada mekanisme yang mendasarinya.
Iskemia (aliran darah serebral rendah) biasanya berakibat pada infark yang merata
di zona perbatasan antara arteri serebral utama, sedangkan anoksia (pengangkutan
oksigen berkurang) menyebabkan kematian neuron, terutama di hippocampus, deep
folia dari cerebellum, dan korteks serebral. Pada kasus ekstrim hipoksia dan
iskemia, kerusakan yang lebih umum terjadi pada korteks serebral, nukleus dalam,
dan otak kecil. Gray matter batang otak sangat resisten terhadap anoksia dan
cenderung bertahan setelah anoksia yang relatif parah dan berkepanjangan saat
kerusakan korteks ekstensif telah terjadi.25
Pada tingkat sel, cedera neuronal pada ensefalopati hipoksia-iskemik adalah
proses progresif yang dimulai dengan nekrosis dimana besarnya kerusakan neuron
akhir bergantung pada durasi dan tingkat keparahan kejadian awal yang
dikombinasikan dengan efek cedera reperfusi, dan apoptosis. Jaringan nekrotik
membengkak dengan cepat, terutama karena kandungan air intraseluler dan
interselular yang berlebihan. Awalnya, darah vena lebih gelap karena peningkatan
39

jumlah hemoglobin yang berkurang. Jaringan menjadi pucat dan arteri dan arteriol
menjadi menyempit, terutama di daerah pucat (pale). Akhirnya, selama fase
reperfusi, urutannya terbalik dan sedikit hiperemia mungkin ada. Nekrosis tidak
hanya mempengaruhi neuron tetapi juga sel oligodendroglial dalam white matter.
Dalam situasi hipoksia berat dan persisten, neuron mengkatabolisasi diri untuk
mempertahankan aktivitas, nekrosis jaringan terjadi kemudian, dan ada akumulasi
produk katabolik dan neurotransmitter eksitatorik seperti glutamat. Pada akhirnya,
masuknya kalsium intraseluler secara besar-besaran menyebabkan kerusakan sel
yang lebih difus.25 Saturasi oksigen darah digunakan sebagai pengukuran obyektif
untuk memprediksi keparahan hipoksia serebral. Saturasi 95-100% dianggap
normal, 91-94% dianggap ringan, 86- 90% dianggap sedang dan apapun di bawah
86% dianggap berat. Akan tetapi, penting diingat bahwa bila dicurigai keracunan
akibat CO, saturasi oksigen darah tidak dapat diandalkan dan karboksihemoglobin
harus diukur.25

Gambar 2.23. DWI pada Beberapa Pasien dengan Ensefalopati Hipoksik-


Iskemik: a. Pola Kortikal Difus dan Pola Grey Matter Dalam dengan
Keterlibatan Perirolandik; b. Pola Kortikal Difus dan Pola Gray Matter
Dalam dengan Tanpa Keterlibatan Perirolandik; c dan d. Keterlibatan
Perirolandik dan Oksipital Medial disertai Keterlibatan Ganglia Basalis; e.
Keterlibatan Girus Presentralis; f. Infark watershed temporo-oksipital
posterior; g. Keterlibatan White Matter Difus; h. Keterlibatan Ganglia Basalis
tanpa Lesi Korteks.
40

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muttikkal dkk. pada tahun 2012
mengenai gambaran MRI pada pasien dengan Ensefalopati hipoksik-iskemik dan
dikaitkan dengan keluaran klinisnya. Penelitan ini dengan 151 subyek awal yang
kemudian setelah dieksklusi menjadi 64. Hasilnya adalah sebagian besar pasien
dengan pola MRI yang sesuai akibat hipoksia-anoksik memiliki keluaran klinis
yang buruk, terlepas dari pola yang diamati, dengan pengecualian relatif hanya pada
pola watershed dan ganglia basal tanpa keterlibatan korteks. Penyebab ensefalopati
hipoksik-iskemik beserta gambaran MRI pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:26

Gambar 2.24. Distribusi Mekanisme yang Menyebabkan Hipoksik-Iskemik

Gambar 2.25. Pola Gambaran Pencitraan Hipoksik-Iskemik Ensefalopati


41

O. Ensefalopati Karbon Monoksida


Banyak situasi dihasilkan dari produksi karbon monoksida (CO). Tanda-
tanda keracunan bervariasi dan tidak spesifik serta dapat dengan mudah
dibingungkan dengan gangguan-gangguan lain. Hal ini menjelaskan mengapa
intoksikasi karbon monoksida akut cukup sulit didiagnosis. 27

Inhalasi karbonmonoksida berakhir dengan hipoksia jaringan akibat inhibisi


transport, penghantaran dan penggunaan oksigen. Afinitas karbon moniksida dalam
mengikat atom besi pada hemoglobin adalah 200-250 kali lipat dibandingkan
dengan oksigen sehingga dapat mengganggu fungsi ikatan oksigen. Hal ini
mengganggu metabolisme seluler tidak hanya melalui ikatan hemoglobin dan
mioglobin tetapi juga melalui inhibisi sitokrom ”a” dan sitokrom ”P450”. Beberapa
studi akhir-akhir ini mengusulkan sebuah mekanisme bari terkait toksisitas yang
diperantarai oleh karbon monokida yakni hipoksia yang diikuti dengan reoksigenasi
dan reperfusi jaringan. Paparan karbon monoksida telah ditunjuk sebagai penyebab
utama peroksidasi lipid dan produksi radikal bebas oksigen. Namun berdasarkan
penelitian terbaru tersebut ditemukan bahwa toksisitas karbon monoksida tidak
hanya mendorong terjadinya hipoksia jaringan melainankan trauma jaringan akibat
reperfusi. Dosis kecil karbon monoksida menyebabkan keluhan ringan seperti mual
dan pusing, sedangkan dosis besar menyebabkan kerusakan otak dan bahkan
kematian. 27

CT Scan kepala biasanya menunjukkan daerah dengan atenuasi rendah


unilateral atau bilateral pada globus pallidus namun kurang sensitif dibanding MRI.
Infark hemoragik telah dijelaskan pada CT dan MRI otak. Positron emission
tomography (PET) dan SPECT juga dapat memberikan informasi tambahan yang
menunjukkan penurunan metabolisme glukosa dan hipoperfusi yang paralel dengan
perkembangan lesi fokal dan diffus setelah keracunan CO. Salah satu modalitas
yang cukup sensitif untuk menilai cedera kepala pada keracunan karbon monoksida
adalah MRI kepala, yang dapat menunjukkan berbagai penemuan. Sebagian besar
pasien dengan penurunan kesadaran menunjukkan abnormalitas pada globus
palidus, talamus, periventrikular, nukelus subkortikal, white matter, terutama pada
42

lobus temporal dan frontal. Mungkin juga terdapat keterlibatan hipokampus dan
serebellum. Abnormalitas sinyal tinggi yang difus terlihat pada sentrum semiovale
bilateral. Pada T2 dan FLAIR ditemukan peningkatan sinyal. Lesi patognomonis
pada daerah globus pallidus lebih terlihat pada MRI dengan kontras. Perubahan
dalam white matter seringkali reversibel. Namun, setelah keracunan CO berat terus-
menerus pada MRI dapat ditemukan bertahun-tahun setelah terpapar saja tanpa
defisit klinis. Pada potongan T2 dan FLAIR sering menunjukkan simetri
hipersensitif bilateral pada medium putih centrum semiovale yang relatif tidak
mengenai batang otak. Status dan prognosis klinis sering berkorelasi dengan
perubahan white matter yang terkena.27

Gambar 2.24. Wanita 31 tahun dengan Keracunan Karbon Monoksida yang


menginduksi perubahan hipoksik-iskemik. A dan B, CT scan kepala
menunjukkan hipodensitas difus pada gray matter yang melibatkan korteks
serebri dan basal ganglia, white matter tidak terlibat.27
43

Gambar 2.25. Wanita 29 tahun dengan keracunan Karbon Monoksida akut,


A. T1 tanpa kontras, B. T1 dengan kontras, keduanya menunjukkan
hipointensitas bilateral pada globus pallidus (panah B). C. T2 yang diperoleh
setelah 1 hari, D. 2 minggu, E. 2 bulan27
44

BAB III

KESIMPULAN

Pencitraan penting dalam diagnosis dini gangguan metabolik, dan dalam


menentukan tingkat kerusakan otak. Apalagi setelah pengembangan teknik baru
seperti pencitraan MRI, neuroimaging berperan lebih penting dalam diagnosis dan
pengelolaan gangguan ini. Gejala yang muncul biasanya tidak spesifik. Pada
beberapa gangguan metabolik, pilihan diet atau riwayat pengobatan jangka panjang
merupakan informasi penting untuk membuat diagnosis dini pada kelainan ini
sehingga penting sebelum kerusakan otak terjadi. Diagnosis yang tepat, terutama
pada gangguan yang dapat diobati, sangat penting untuk mencegah gejala
neurologis atau kematian. Jika pengobatan memang tersedia, neuroimaging juga
memberikan dasar dalam evaluasi respon terhadap pengobatan. Oleh karena itu,
orang yang membaca gambaran pencitraan harus mengenali gangguan ini untuk
mencegah perburukan klinis akibat tertundanya diagnosis. Ensefalopati metabolik
dapat didiagnosis dengan penilaian sistematis terhadap pola pencitraan dan kelainan
sinyal di otak. Namun, korelasi antara fitur pencitraan dengan data klinis dan
laboratorium diperlukan untuk penilaian yang akurat.
45

DAFTAR PUSTAKA

1. Bathla G, Hegde AN. MRI and CT appearances in metabolic


encephalopathies due to systemic diseases in adults. Clin Radiol.
2013;68(6):545-554. doi:10.1016/j.crad.2012.05.021.
2. Freeman R, Kaufmann H. Section Editor Michael J Aminoff, MD, DSc
Deputy Editor Janet L Wilterdink, MD. 2013;(1):1-9.
3. Anderson D. DORLAND’S ILLUSTRATED MEDICAL DICTIONARY. 32nd
ed. (Anderson D, ed.). Philadelphia: Elsevier; 2012.
4. Yuyun Yueniwati. Pencitraan Pada Stroke. 1st ed. (Ruri E, ed.). Malang:
UB press; 2016. www.ubpress.ub.ac.id.
5. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum And Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Fourth Edi. (Gilman Si, Herdman WJ, eds.). New York:
Oxford University Press; 2007. doi:10.1016/B978-1-4377-0434-1.00005-0.
6. Biller J, Gruener G, Brazis PW, DeMyer W. DeMyer’s The Neurologic
Examination : A Programmed Text. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2011.
7. Manno EM. Metabolic Encephalopathies. Emerg Manag Neurocritical Care.
2013;29(4):153-161. doi:10.1002/9781118297162.ch17.
8. Howard Robin. Coma and Stupor. In: GB Y, EFM W, eds. Handbook of
Clinical Neurology. Vol 90. London: Elsevier B.V.; 2008:218-221.
doi:10.1002/hpm.2264.
9. Bathla G, Policeni B, Agarwal A. Neuroimaging in Patients with Abnormal
Blood Glucose Levels. Am J Neuroradiol. 2014;35(5):833-840.
doi:10.3174/ajnr.A3486.
10. Malone Q, Melbourne T, Centre N, Hospital RM. Computed tomography
and magnetic resonance imaging of the brain in hypoglycaemic
encephalopathy. 1997;4(3):1995-1998.
11. Scott JN, Sharma P, Eesa M, Jn S. Toxic and Acquired Metabolic
Encephalopathies: MRI Appearance. 2009;(September):879-886.
doi:10.2214/AJR.08.2257.
12. Okada J, Yoshikawa K, Matsuo H, Kanno K, Oouchi M. Reversible MRI
and CT findings in uremic encephalopathy. 1991:524-526.
13. Alonso J. REVIEW ARTICLE MR Imaging Findings in Hepatic
Encephalopathy. 2008. doi:10.3174/ajnr.A1139.
14. Image A, Approach P. Hepatic Encephalopathy. In: Zoran R, Mauricio C,
Benjamin H, Andrea R, eds. Brain Imaging with MRI and CT. 1st ed. New
York: Cambridge University Press; 2012:3.
15. Bernardini AP, Silva AO. Encefalopatia hep??tica. Arq Gastroenterol.
2016;20(4):156-165. doi:10.1056/NEJMra1600561.
16. Giuliani C, Peri A. Effects of Hyponatremia on the Brain. J Clin Med.
2014;3(4):1163-1177. doi:10.3390/jcm3041163.
17. Ayus JC, Varon J, Arieff AI. Hyponatremia, cerebral edema, and
noncardiogenic pulmonary edema in marathon runners. Ann Intern Med.
2000;132(9):711-714. doi:10.7326/0003-4819-132-9-200005020-00005.
18. Alleman AM. Osmotic demyelination syndrome: Central pontine
46

myelinolysis and extrapontine myelinolysis. Semin Ultrasound, CT MRI.


2014;35(2):153-159. doi:10.1053/j.sult.2013.09.009.
19. Diringer M. Neurologic Manifestations of Major Electrolyte Abnormalities.
Vol 141. 1st ed. Elsevier B.V.; 2017. doi:10.1016/B978-0-444-63599-
0.00038-7.
20. D. A, A. G, I. C, M.A. H, P.K. G, S.K. D. Subcortical white matter
abnormalities related to drug resistance in Wilson disease. Neurology.
2006;67(5):878-880.
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS%7B&%7DPAGE=reference%7
B&%7DD=emed10%7B&%7DNEWS=N%7B&%7DAN=44394208.
21. Kalita J, Kumar N, Maurya P K MUK. A study of computed tomography
scan and magnetic resonance imaging findings in
pseudohypoparathyroidism. Ann Indian Acad Neurol. 2010;13:204-206.
Kalita J, Kumar N, Maurya P K, Misra U K.
22. Kazi AZ, Joshi PC, Kelkar AB, Mahajan MS, Ghawate AS. MRI evaluation
of pathologies affecting the corpus callosum: A pictorial essay. Indian J
Radiol Imaging. 2013;23(4):321-332. doi:10.4103/0971-3026.125604.
23. Delavar Kasmaei H, Baratloo A, Soleymani M, Nasiri Z. Imaging-based
diagnosis of Wernicke encephalopathy: A case report. Trauma Mon.
2014;19(4):36-38. doi:10.5812/traumamon.17403.
24. Zuccoli G, Cruz DS, Bertolini M, et al. MR imaging findings in 56 patients
with wernicke encephalopathy: Nonalcoholics may differ from alcoholics.
Am J Neuroradiol. 2009;30(1):171-176. doi:10.3174/ajnr.A1280.
25. Butterworth R. Hypoxic Encephalopathy. Basic Neurochem Mol Cell Med
Asp. 1999.
26. Muttikkal TJE, Wintermark M. MRI patterns of global hypoxic-ischemic
injury in adults. J Neuroradiol. 2013;40(3):164-171.
doi:10.1016/j.neurad.2012.08.002.
27. Lo C-P, Chen S-Y, Lee K-W, et al. Brain Injury After Acute Carbon
Monoxide Poisoning: Early and Late Complications. Am J Roentgenol.
2007;189(4):W205-W211. doi:10.2214/AJR.07.2425.

Anda mungkin juga menyukai