Penyaji:
dr. Balinda
Pembimbing:
dr. RM. Faisal, Sp. Rad (K)
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
2017
ii
DAFTAR ISI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Ensefalopati
Ensefalopati berdasarkan asal katanya berasal dari kata encephalo- +-pathy
yang berarti penyakit degeneratif otak. Sedangkan Ensefalopati metabolik
didefinisikan sebagai neuropsychiatric disturbances due to metabolic brain
disease; it may be primary, resulting from conditions such as hypoxia or ischemia
that affect the brain directly, or it may be secondary to disease of other organs.3
Sehingga menurut pengertian ini, ensefalopati metabolik adalah suatu gangguan
neuropsikiatri yang diakibatkan penyakit metabolik otak yang dapat primer
(hipoksia atau iskemia) atau sekunder yang diakibatkan oleh penyakit pada organ
lainnya.
2. MRI Kepala
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan salah satu alat penunjang
diagnostik yang cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan pada jaringan otak dan
sekitarnya. MRI adalah suatu teknik penggambaran penampang tubuh berdasarkan
prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen. Cara kerja MRI mengacu pada
komposisi tubuh yang terdiri atas atom hidrogen atau proton. Bila atom hidrogen
ini ditembakkan tegak lurus pada intinya dengan radiofrekuensi tinggi dalam medan
magnet kemudian beresonansi maka proton tersebut akan bergerak menjadi searah.
Jika radiofrekuensi tinggi ini dimatikan maka proton yang bergetar ini akan kembali
4
ke posisi semula dan akan menginduksi dalam suatu kumparan untuk menghasilkan
sinyal elektrik yang lemah. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal elektrik
tersebut ditangkap kemudian diproses dalam komputer maka akan dapat disusun
menjadi suatu gambar.4
Ada empat parameter dasar dari gambar pencitraan MRI yaitu densitas proton,
longitudinal relaxation time (T1), transverse relaxation time (T2), perfusi dan
difusi. Densitas proton adalah konsentrasi proton dalam jaringan dalam bentuk air
dan makromolekul. Waktu relaksasi T1 dan T2 menentukan cara proton kembali ke
tempat istirahatnya setelah dorongan radiofrekuensi awal. Terdapat tiga macam
intensitas yaitu hipointens, isointens, dan hiperintens. Setiap jaringan memiliki
karateristik yang khas pada T1 dan T2 sehingga bila ada perbedaan intensitas dari
jaringan normal akan mudah diketahui bahwa terjadi kelainan. Bila didapatkan T1
yang panjang maka akan didapatkan gambaran hipointens dan bila T1 pendek maka
akan didapatkan gambaran hiperintens. Sebaliknya bila didapatkan T2 pendek
maka akan didapatkan gambaran hiperintens dan bila T2 panjang akan didapatkan
gambaran hipointens.4
Pemeriksaan MRI memiliki keunggulan yaitu mampu memperlihatkan struktur
organ dengan lebih teliti dan akurat, dapat membedakan gambaran jaringan normal
dengan jelas, memperlihatkan gambaran jaringan tubuh dari berbagai sudut
pandang, dan tidak menggunakan sinar X. Pada saat melihat MRI, cara termudah
untuk menentukan urutan gambar adalah dengan melihat cerebrospinal fluid (CSF).
Jika CSF cerah (sinyal tinggi) maka itu merupakan gambar T2WI. Jika CSF gelap
maka adalah gambar T1.
secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch,
untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake).5
pada ensefalopati metabolik termasuk edema serebral fokal atau global, perubahan
fungsi transmisi, akumulasi metabolit toksik, edema vasogenik vena postkapiler,
dan kegagalan energi. Mekanisme bervariasi seperti itu mencerminkan etiologi
heterogen yang menghasilkan kondisi perubahan kesadaran. Ensefalopati
metabolik oleh karenanya bukan diagnosis, melainkan sebuah keadaan klinis.7
E. Ensefalopati Hipoglikemik
Menurut Asosiasi Diabetes Amerika, hipoglikemia adalah kadar gula darah
plasma 70 mg/dl (3,9 mmol/l) dan hipoglikemia berat didefinisikan sebagai kadar
gula darah plasma 40 mg/dl (2,2 mmol/l). Hipoglikemia lebih sering ditemukan
pada pasien diabetes dan dapat terjadi akibat komplikasi terapi dengan
menggunakan insulin atau obat sulfonilurea kerja lama. Hipoglikemia simtomatis
mengenai sekitar 2% pasien diabetes setiap tahunnya dan dihubungkan dengan
peningkatan 4% kematian pada pasien dengan Diabetes Mellitus Tipe I. Penyebab
lainnya termasuk pemberian insulin eksogen, yang baik disengaja maupun tidak
disengaja, tumor-tumor yang mensekresi insulin, sepsis, penyakit Addison, gagal
hati dan gagal ginjal.9 Gejala hipoglikemia dapat dibagi menjadi otonom dan
neuroglikopenik. Gejala hipoglikemik otonom termasuk diantaranya berkeringat,
gemetar, palpitasi, dan perasaan cemas. Gejala neuroglikopenik meliputi
kelemahan, bingung, perubahan perilaku, kejang dan kehilangan memori
sementara. Hipoglikemia yang parah dapat mengakibatkan perubahan status mental
atau koma. Terkadang pasien dapat muncul dengan gejala hemiparesis atau
kuadriparesis dan menyerupai stroke. Secara umum, gejala otonom biasanya
12
periventrikular, nukelus kaudatus, putamen, talamus dan globus pallidus juga dapat
ditemui akibat hipoglikemia.10
Pada MRI, hipoglikemia berat terlihat sebagai area yang lebih terang
(pemanjangan pada T2) pada korteks serebri, hipokampus, dan ganglia basalis.
Pada semua kasus dengan hipoglikemia yang lebih ringan dan hipoglikemia
reversibel terlihat abnormalitas white matter yang melibatkan splenium dari corpus
callosum, kapsula interna, dan korona radiata juga terdapat pada beberapa laporan.
Pasien-pasien ini dapat mengalami pemulihan tanpa adanya defisit neurologis.1
F. Ensefalopati Uremikum
Gangguan kesadaran dan abnormalitas Sistem Saraf Pusat (SSP) lainnya yang
berhubungan dengan gagal ginjal dapat dikategorikan secara garis besar menjadi
gangguan kesadaran yang diakibatkan oleh gagal ginjal dan gangguan kesadaran
yang disebabkan oleh tatalaksana yang salah terhadap gagal ginjal. Uremia
merupakan sindrom klinik dari gagal ginjal dan hal ini disebabkan oleh dua
15
mekanisme utama yaitu akumulasi berlebihan dari produk metabolisme protein dan
hilangnya fungsi endokrin dan homeostasis ginjal intrinsik. Ensefalopati uremikum
merupakan manifestasi serebral pada uremia.8 Cukup sulit dalam menentukan profil
epidemiologi pada ensefalopati uremikum, prevalensinya mengikuti penyakit ginjal
pada stadium akhir. Diperkirakan jumlahnya akan mencapai 2 juta pada tahun 2030
di Amerika Serikat.
Ensefalopati uremikum adalah istilah yang digunakan untuk sindroma otak
yang terjadi pada pasien dengan gagal fungsi ginjal. Manifestasi klinis yang
mungkin terjadi adalah gangguan cara berbicara, kebingungan, demensia, gait yang
tidak stabil, tremor aksi, asterixis dan klonus multifokal. Patogenesisnya tidak
diketahui. Faktor-faktor seperti kalsium, hormon paratiroid, neurotransmitter,
osmolalitas otak, perubahan aliran darah otak dan metabolisme telah diajukan pada
beberapa penelitian sebagai hal yang berpengaruh pada ensefalopati ini. Pada studi
patologi otak pasien dengan Gagal Ginjal Kronik terdapat Perdarahan Subdural,
Perdarahan Intraserebral, dan degenerasi neuronal pada beberapa pasien tetapi
tidak ditemukan perubahan morfologi spesifik.12
Ensefalopati uremikum akut adalah penyakit neuropsikiatri florid yang
penampilan klinisnya berkisar dari disfungsi eksekutif yang tidak terlihat sampai
pada koma. Tanda awal dapat meliputi penurunan atensi, penurunan kemampuan
konstruksi dan menulis, disfungsi eksekutif, perubahan perilaku, dan gangguan
tidur. Hal ini kemudian dapat berkembang menjadi delirium agitasi dan koma.
Hiperventilasi dapat muncul pada periode metabolik asidosis. Penemuan motorik
termasuk kelemahan umum, paratonia, mioklonus multifokal, mioklonus aksi,
mioklonus sensitif stimulus, tremor dan asterixis. Mioklonus lebih sering ditemui
pada kondisi uremia dibandingkan dengan kondisi ensefalopati metabolik lainnya
dan sering respon dengan pemberian klonazepam. Asterixis adalah hilangnya tonus
otot yang terjadi secara periodik (contohnya mioklonus negatif) dan dapat terlihat
sebagai gerakan “flapping” pada sendi pergelangan tangan dengan lengan bawah
melebar dan pergelangan tangan hiperekstensi. Asterixis dapat diidentifikasi
dengan meminta pasien untuk mengeluarkan lidah: bila terjadi retraksi periodik
lidah ke dalam mulut dapat dianalogikan dengan asterixis.
16
G. Ensefalopati Hepatik
Istilah ensefalopati hati (HE) mencakup spektrum kelainan neuropsikiatri yang
terjadi pada pasien dengan disfungsi hati. Sebagian besar kasus dikaitkan dengan
sirosis dan hipertensi portal atau shunt portal-sistemik, namun kondisinya juga bisa
dilihat pada pasien dengan kegagalan hati akut dan, jarang dengan bypass sistemik
dan tidak ada penyakit hepatoselular intrinsik yang terkait.13 Meskipun HE adalah
kondisi klinis, beberapa teknik neuroimaging, terutama pencitraan MR bermanfaat
untuk diagnosis karena bisa mengidentifikasi dan mengukur akibat dari
peningkatan subtansi-substansi yang pada kondisi normal dapat dimetabolisme oleh
hati terhadap Sistem Saraf Pusat (SSP).
Ensefalopati hati (atau ensefalopati sistemik portal) disebabkan oleh tidak
efektifnya fungsi hati dalam membersihkan komponen nitogen atau toksin yang
terkonsumsi atau terbentuk pada traktus gastrointestinal. Kegagalan pada sistem
detoksifikasi ini merupakan akibat dari fungsi hepar yang tidak dapat
mengkompensasi dan juga adanya shunting yang berlebihan dan darah splancnic
19
Pada ensefalopati hepatikum akut gambaran pada CT scan merupakan alat yang
penting untuk menilai derajat edema serebri. Pada CT scan yang dinilai adalah
penipisan sulcus, visibilitas white matter subkortikal, derajat hilangnya sisterna
basalis. CT scan serial harus menjadi pertimbangan dalam tata laksana ensefalopati
hepatikum.8
Tabel 3.2 Gambaran MRI pada Pasien dengan Sirrosis dengan atau tanpa
Ensefalopati Hepatikum13
Gambar 2.13. FLAIR pada Level Basal Ganglia Pasien Usia 10 Tahun. (A)
Abnormalitas Hiperintens Bilateral yang Berbentuk Bercak Terutama
Melibatkan Globus Pallidus (panah), (B) FLAIR 3 Tahun Kemudian, Regresi
Pada Lesi.14
H. Hiponatremia
Hiponatremia didefinisikan sebagai konsentrasi sodium serum kurang dari 135
mmol/liter. Insidensinya sekitar 1% dan prevalensinya sekitar 3% dari pasien yang
dirawat di Rumah Sakit. Hiponatremia mencerminkan perubahan keseimbangan air
di dalam tubuh sehingga akhirnya mempengaruhi osmolalitas plasma.
Hiponatremia dapat terjadi pada kondisi hipoosmolar atau isoosmolar.
Hiponatremia hipoosmolar lebih sering terjadi dan dapat dikelompokkan kembali
sesuai dengan status volumenya yakni menjadi hiponatremia isovolemik,
hipovolemik, dan hipervolemik. Hiponatremia hiposmolar terjadi karena kelebihan
relatif dari pelarut terhadap zat terlarut. Penyebab yang paling sering pada
ensefalopati hiponatremia adalah penggunaan diuretik tiazid atau penggunaan
cairan hipotonis di Rumah Sakit terutama pada pasien setelah operasi, terutama
pada periode post operasi, dan pada kondisi yang melibatkan hormon antidiuretik
(ADH) contohnya obat-obatan dan pada sindrom SIADH. Penggunaan cairan
hipotonis pada kondisi post operasi merupakan tindakan yang berisiko dikarenakan
SIADH dari nyeri, mual dan muntah.8
Hiponatremia yang berat dapat mengakibatkan kerusakan otak yang parah dan
permanen. Gejala klinis biasanya terjadi segera setelah turunnya kadar natrium
23
mendadak pada serum. Dari keadaan normonatremik, gejala biasanya terjadi bila
kadar natrium dalam serum berada di bawah 125 mmol/L, akan tetapi ada beberapa
laporan dari penelitian sebelumnya bahwa klinis yang berat juga dapat terjadi pada
kadar natrium 128 mmol/L. Gejala-gejala ensefalopati hiponatremia termasuk sakit
kepala, perubahan perilaku, mual, dan muntah sama dengan gejala yang
ditunjukkan pada saat penderita mengalami peningkatan intrakranial. Gambaran
pada EEG dapat berupa perlambatan umum. Gejala klinik dapat reversibel dengan
dengan dikoreksinya hiponatremia. Gejala awal yang muncul dapat sangat dramatis
meliputi penurunan derajat kesadaran, kejang, gagal nafas, koma, postur
deserebrasi, dan kematian. Pada kasus yang jarang, gejala klinis pada hiponatremia
kronik dapat menyerupai hiponatremia akut. Gambaran klinis yang dapat
ditemukan bergantung pada apakah disebabkan oleh benar-benar hiponatremia atau
dari penanggulangan yang salah terhadap hiponatremia (contohnya sindrom
myelinolisis osmotik).8 Ensefalopati hiponatremia merupakan efek kombinasi
antara stres hipoosmolar dan keterbatasan ekspansi ruang otak pada kondisi edema
serebri. Jika stres hipoosmolar cukup parah maka mekanisme adaptif tidak dapat
bekerja dengan baik dan dapat terjadi edema serebri.
Dalam kondisi fisiologis, osmolalitas otak berada dalam ekuilibrium dengan
osmolalitas ekstraselular. Ketika hiponatremia terjadi, penurunan osmolalitas
plasma (dengan pengecualian kasus hiponatremia non-hipoosmotik yang jarang
terjadi) menyebabkan pergerakan air ke otak sebagai respons terhadap gradien
osmotik, sehingga menyebabkan edema serebri. Sel yang paling terlibat dalam
pembengkakan adalah astrosit, sejenis sel glial yang merupakan penyusun sawar
darah otak dan memiliki peran mendasar dalam menjaga konsentrasi cairan dan
elektrolit ruang ekstraselular di otak. Sel glial secara selektif membengkak saat
terjadi tekanan hiposmolar dengan tanpa melibatkan neuron, menunjukkan adanya
saluran air spesifik yang dilokalisasi pada astrosit untuk melindungi neuron dari
masuknya air. Bukti terbaru menunjukkan adanya saluran air aquaporin (AQP) di
glia, khususnya subtipe AQP1 dan AQP4, yang tampaknya penting dalam
pengembangan edema serebral selama hiponatremia.16 Sebenarnya, ketika terjadi
hipoosmolalitas, air bergerak melalui saluran AQP1 dan AQP4 ke sel glial, yang
24
Gambar 2.14. Efek hiponatremia pada otak dan mekanisme adaptif. (a)
Normonatremia: osmolalitas otak berada dalam ekuilibrium dengan
osmolalitas ekstraselular; (b) Hiponatremia akut: air bergerak ke otak sebagai
respons terhadap gradien osmotik, menyebabkan pembengkakan otak; (c)
Hiponatremia kronis: dalam beberapa jam sel kehilangan elektrolit (adaptasi
cepat) dan kemudian osmolit organik (adaptasi lambat); Akibatnya hilangnya
air mengurangi pembengkakan seluler dan menormalkan volume otak (d)
Demielinasi osmotik: koreksi hiponatremia yang terlalu cepat menyebabkan
gradien osmotik invers dengan kehilangan air yang berlebihan dari sel-sel
yang menyebabkan dehidrasi otak dan demielinasi white matter.16
26
Gambar 2.15. CT Scan dan MRI kepala diperoleh dari pasien wanita berusia
44 tahun yang dirawat di gawat darurat dengan kadar natrium plasma 121
mmol/ L. CT Scan Kepala yang didapat dalam waktu 1 jam. Edema serebral
tampak jelas, ventrikel otak pada dasarnya telah hilang, dan sulci sebagian
besar tidak ada. MRI Kepala diambil 24 jam setelah masuk. Edema serebri
telah teratasi, ventrikel otak sekarang terlihat jelas, dan sulci lebih jelas.17
I. Hipernatremia
Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145 mEq/L.
Hipernatremia simtomatik hampir selalu bermanifetasi pada tingkat serum lebih
dari 160 mEq, dan lebih dari 89% menjadii ensefalopati hipernatremik. Gambaran
klinis ensefalopati hipernatremik mencakup mual, kelesuan, kejang, dan koma. Dua
populasi dengan risiko tertinggi untuk ensefalopati hipernatremik adalah yang
sangat muda dan sangat tua. Penyakit gastrointestinal dengan muntah dan diare
disertai dengan kurangnya akses air pada anak-anak, atau rasa haus pada orang tua,
meningkatkan risiko terjadinya hipernatremia. Setiap situasi di mana sekresi ADH
terganggu atau respon haus terhadap ADH terganggu membuat pasien berisiko
terkena hipernatremia (disfungsi hipotalamus dari stroke, perdarahan, tumor, dan
sebagainya). Kelebihan asupan garam dapat mempengaruhi semua umur, dan ini
telah dilaporkan dalam konteks emetik asam air asin dan sindrom Pica. Formula
bayi yang terlalu kental (persiapan makanan bubuk yang tidak tepat) dapat
menyebabkan hipernatremia pada bayi. Hipernatremia dapat terjadi sebagai respons
terhadap perdarahan subdural akibat cedera kepala yang tidak berbahaya pada anak
muda. Ensefalopati hypernatremik juga telah dilaporkan terjadi secara spontan pada
keadaan pascapersalinan. Kematian hipernatremia bisa setinggi 20%, dengan
kerusakan otak yang parah pada 33% populasi anak-anak.7
Pada kondisi stres hiperosmolar, air dikeluarkan dari neuron dan glia.
Pengurangan volume seluruh otak terjadi, terutama karena penyusutan
oligodendroglia. Penyusutan volume menjadikan posisi vena tertarik sehingga
dapat terjadi robekan bridging vein kortikal yang mengakibatkan hematoma
subdural, perdarahan subarachnoid, perdarahan intrakranial, dan perdarahan
petechial. Trombosis sinovenosa juga bisa terlihat. Laporan kasus telah
menunjukkan beberapa temuan pencitraan menarik termasuk edema sitotoksik
sementara pada talamus, edema serebral difus, dan mielinolisis osmotik.7
Peningkatan osmolalitas cairan ekstraselular menyebabkan pergerakan air yang
cepat keluar dari kompartemen seluler menyebabkan penyusutan sel. Meskipun hal
ini sedikit berpengaruh pada organ lain, fungsi SSP dapat sangat terpengaruh. Di
beberapa jam mulai beradaptasi dengan hipermosmolar ini. Jumlah osmotik
29
Gambar 2.18. A. MRI T1 dan B. T2, sesaat setelah pasien masuk dengan
hipernatremia menunujukkan penyusutan otak dan kompensasi pelebaran
ruang subdural. Pengumpulan cairan pada ruang subdural lebih jelas terlihat
pada T2. C. Dan D. Menunjukkan restorasi volume otak pada follow up MRI
3 minggu setelah onset.20
J. Hipokalsemia
Kalsium ekstraselular dipertahankan nilainya dalam rentang fisiologis yang
ketat dengan interaksi hormon paratiroid (PTH), vitamin D, kalsitonin, magnesium,
fosfat, dan kalsium. Gambaran lengkap tentang homeostasis kalsium berada di luar
cakupan artikel ini. Kalsium bersirkulasi baik dalam bentuk terikat atau terionisasi.
Fraksi terionisasi memberikan tindakan biologis kalsium. Manifestasi neurologis
homeostasis kalsium yang abnormal bergantung pada tingkat keparahan dan
kecepatan perkembangan ketidakseimbangan kalsium. Kalsium dapat memiliki
pengaruh mendalam pada proses neuron, termasuk perubahan pada eksitasi dan
permeabilitas membran, transmisi sinaptik, pengaktifan sistem messenger kedua,
fungsi organel, dan interaksi glial-neuronal (mis., Tripartit sinaps). Penyebab umum
hipokalsemia menimbulkan efeknya dengan menghambat aksis PTH-vitamin D,
dengan mendorong redistribusi kalsium, atau dengan menghambat efek kalsium.7
31
K. Ensefalopati Hashimoto
Ensefalopati Hashimoto adalah ensefalopati yang terkait dengan tiroiditis
autoimun yang ditandai dengan titer tinggi antibodi antitiroid dalam serum. Pasien
mungkin hipotiroid, tapi juga mungkin eutiroid atau bahkan hipertiroid. Kelainan
ini adalah ensefalopati yang kambuh dan remisi, dan dapat ditandai dengan kejang,
baik fokal maupun generalisata, mioklonus, kebingungan, dan dalam beberapa
kasus pingsan dan koma. Mungkin ada kaitan antara traktus piramidalis dan tanda
serebelum. MRI umumnya tidak informatif. Dalam beberapa kasus yang telah
sampai pada otopsi, tidak ada bukti vaskulitis. EEG menunjukkan perlambatan
umum dengan aktivitas delta ritmik intermiten dan sering gelombang trifasik.
Antibodi antitiroid ditemukan pada serum dan cairan tulang belakang, dan antibodi
antineuronal juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus, meskipun signifikansi
patofisiologis dari kedua jenis antibodi untuk ensefalopati tidak jelas. Pentingnya
sindrom ini adalah responnya terhadap steroid dan harus dicurigai bila pasien
hipotiroid tidak menunjukkan tingkat kesadaran yang meningkat sebagai respons
terhadap thyroxin. Diagnosis ditegakkan dengan peningkatan antibodi tiroid dan
responsifitas terhadap steroid.5
33
L. Addison’s Disease
Patogenesis ensefalopati kegagalan korteks adrenal pada penyakit Addison
mungkin melibatkan beberapa faktor selain tidak adanya efek kortisol pada jaringan
otak. Penyakit ini jika tidak diterapi juga menghasilkan hipoglikemia serta
hiponatremia dan hiperkalemia akibat hipoaldosteronisme. Hipotensi adalah hal
yang menentukan dan jika cukup parah, ini saja bisa menyebabkan gejala serebral
akibat hipotensi ortostatik. Gejala tidak sepenuhnya jelas sampai kedua
mineralokortikosteroid dan glukokortikosteroid diganti. Beberapa pasien yang
tidak diobati dan atau diobati tetapi tidak adekuat dengan penyakit Addison akan
mengalami klinis agak mengigau. Dalam suatu serial kasus terhada 86 pasien
34
M. Ensefalopati Wernicke
Ensefalopati Wernicke (EW) adalah keadaan darurat medis yang ditandai
dengan ataksia, kebingungan, nistagmus dan opthalmoplegia yang terkait dengan
kerusakan otak yang awalnya reversibel akibat berkurangnya tiamin intraselular.
Bila tidak diobati, bisa menyebabkan sindrom Korsakoff atau bahkan kematian.
Alkoholisme adalah penyebab paling umum defisiensi tiamin di seluruh dunia. Pola
makan yang buruk terkait dengan gaya hidup tidak sehat, penyimpanan tiamin yang
terganggu, penyerapan tiamin yang terganggu secara kronis dari saluran pencernaan
dan metabolisme tiamin berkurang adalah beberapa etiologi yang diketahui dari
kondisi ini. Secara klasik, defisiensi tiamin menyebabkan lesi pada bagian tektum,
talamus, nukleus hipotalamus dan nuklei periventrikular yang dapat menyebabkan
tanda-tanda kardiovaskular pada tanda ataksia, nistagmus, oftalmoplegia dan
kebingungan pada EW. Meskipun alkoholisme adalah penyebab paling umum,
kelainan lain mungkin disebabkan bioavailabilitas atau metabolisme tiamin.23
Pencitraan dengan tujuan mendiagnosis EW telah digunakan sejak tahun
1970an. Pembesaran ventrikel, terutama pada ventrikel ketiga, telah dilaporkan
36
N. Ensefalopati Hipoksik-Iskemik
Cedera otak hipoksia / anoksik dapat diakibatkan oleh aliran darah serebral
yang tidak mencukupi, berkurangnya ketersediaan oksigen, berkurangnya
pengangkutan oksigen oleh darah, atau gangguan metabolik dengan penggunaan
oksigen yang tersedia.25 Ensefalopati Hipoksik-Iskemik sering terlihat di bagian
gawat darurat dan sering memiliki prognosis buruk. Sejumlah besar kondisi medis
dapat menyebabkan situasi ini, terutama:25
38
jumlah hemoglobin yang berkurang. Jaringan menjadi pucat dan arteri dan arteriol
menjadi menyempit, terutama di daerah pucat (pale). Akhirnya, selama fase
reperfusi, urutannya terbalik dan sedikit hiperemia mungkin ada. Nekrosis tidak
hanya mempengaruhi neuron tetapi juga sel oligodendroglial dalam white matter.
Dalam situasi hipoksia berat dan persisten, neuron mengkatabolisasi diri untuk
mempertahankan aktivitas, nekrosis jaringan terjadi kemudian, dan ada akumulasi
produk katabolik dan neurotransmitter eksitatorik seperti glutamat. Pada akhirnya,
masuknya kalsium intraseluler secara besar-besaran menyebabkan kerusakan sel
yang lebih difus.25 Saturasi oksigen darah digunakan sebagai pengukuran obyektif
untuk memprediksi keparahan hipoksia serebral. Saturasi 95-100% dianggap
normal, 91-94% dianggap ringan, 86- 90% dianggap sedang dan apapun di bawah
86% dianggap berat. Akan tetapi, penting diingat bahwa bila dicurigai keracunan
akibat CO, saturasi oksigen darah tidak dapat diandalkan dan karboksihemoglobin
harus diukur.25
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muttikkal dkk. pada tahun 2012
mengenai gambaran MRI pada pasien dengan Ensefalopati hipoksik-iskemik dan
dikaitkan dengan keluaran klinisnya. Penelitan ini dengan 151 subyek awal yang
kemudian setelah dieksklusi menjadi 64. Hasilnya adalah sebagian besar pasien
dengan pola MRI yang sesuai akibat hipoksia-anoksik memiliki keluaran klinis
yang buruk, terlepas dari pola yang diamati, dengan pengecualian relatif hanya pada
pola watershed dan ganglia basal tanpa keterlibatan korteks. Penyebab ensefalopati
hipoksik-iskemik beserta gambaran MRI pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:26
lobus temporal dan frontal. Mungkin juga terdapat keterlibatan hipokampus dan
serebellum. Abnormalitas sinyal tinggi yang difus terlihat pada sentrum semiovale
bilateral. Pada T2 dan FLAIR ditemukan peningkatan sinyal. Lesi patognomonis
pada daerah globus pallidus lebih terlihat pada MRI dengan kontras. Perubahan
dalam white matter seringkali reversibel. Namun, setelah keracunan CO berat terus-
menerus pada MRI dapat ditemukan bertahun-tahun setelah terpapar saja tanpa
defisit klinis. Pada potongan T2 dan FLAIR sering menunjukkan simetri
hipersensitif bilateral pada medium putih centrum semiovale yang relatif tidak
mengenai batang otak. Status dan prognosis klinis sering berkorelasi dengan
perubahan white matter yang terkena.27
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA