Anda di halaman 1dari 93

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat
D. Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengkajian Keperawatan Sistem Persarafan


Pengkajian keperawatan sistem persarafan meliputi usaha pengumpulan
data, membuktikan data tentang status kesehatan klien, baik fisik, emosi,
pertumbuhan, sosial, kebudayaan, intelektual maupun spritual. Keahlian dalam
melakukan observasi, komunikasi, wawancara dan pemeriksaan fisik sangat
penting untuk mewujudkan seluruh fase pada asuhan keperawatan.

Gambar A.1 Skema pengkajian keperawatan sistem persarafan

1. Anamnesis

Anamnesis secara umum meliputi pengumpulan informasi tentang status


kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya,
spiritual, tingkat perkembangan, dan gaya hidup klien. Pengkajian neurologis
secara umum meliputi identitas umum, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyaklit dahulu, dan penyakit keluarga yang berhubungan
dengan gangguan neurologis klien.

a. Identitas Klien
Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama pada klien gangguan sistem persarafan biasanya akan
terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis. Meliputi kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
kejang, sakit kepala hebat, nyeri otot, kaku kuduk, sakit punggung,
tingkat kesadaran menurun, akral dingin, dan ekspresi rasa takut.
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan serangkaian wawancara
yang dilakukan perawat untuk menggali permasalahan klien dari
timbulnya keluhan utama pada gangguan sistem persarafan sampai
pada saat pengkajian.
2) Riwayat penyakit dahulu
Beberapa pertanyaan yang mengarah pada riwayat penyakit dahulu
dalam pengkajian neurologi.
Apakah klien menggunakan obat-obat, seperti analgesik,
sedatif, hipnotis, antipsikotik, antidepresi, atau perangsang
sistem persarafan.
Apakah klien pernah mengeluhkan gejala sakit kepala, kejang,
tremor, pusing, atau kesemutan pada bagian tubuh.
Bila klien telah mengalami salah satu gejala diatas, gali lebih
detail.
Diskusikan dengan pasangan klien, anggota keluarga, atau
teman klien mengenai perubahan perilaku klien akhir-akhir ini.
Perawat sebaiknya bertanya mengenai riwayat perubahan
penglihatan, pendengaran, pengecapan dan perabaan.
Riwayat trauma kepala, atau batang spinal, meningitis, kelainan
konginetal, penyakit neurologis, atau konseling psikiatri.
Riwayat peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah
tinggi.
Riwayat tumor, baik ganas maupun jinak perlu ditanyakan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Anamnesis akan adanya riwayat keluarga yang menderita
hipertensi ataupun diabetes melitus yang memberikan hubungan
dengan beberapa masalah disfungsi neurologis seperti masalah
stroke hemoragis dan neuropati perifer.
d. Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien saat ini.
Pengkajian status emosional dan mental secara fisik lebih banyak
termasuk pengkajian fungsi serebral meliputi tingkat kesadaran klien,
perilaku dan penampilan, bahasa, fungsi intelektual, termasuk ingatan,
pengetahuan, asosiasi dan penilaian.
e. Pengkajian Sosioekonomispiritual
Oleh karena klien harus menjalani rawat inap maka perawat harus
mengkaji apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi
klien sebab biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang
tidak sedikit. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua
masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis
dalam hubungannya dengan peran sosial klien.
2. Pemeriksaaan Diagnostik
a. Foto Rontgen
Foto rontgen polos tengkorak dan medula spinalis seringkali
digunakan untuk mengidentifikasi adanya fraktur, dislokasi, dan
abnormalitas tulang lainnya, terutama dalam penatalaksanaan trauma
akut. Selain itu, foto rontgen polos mungkin menjadi diagnostik bila
kelenjar pineal yang mengalami penyimpangan letak terletak pada
hasil foto rontgen, yang merupakan petunjuk dini tentang adanya SOL.
Adanya udara dalam tulang tengkorak juga merpakan suatu
indikasi adanya fraktur kepala terbuka, seperti fraktur tengkorak
frontal atau basilar, yang mungkin tidak nampak secara jelas dari luar.
Foto rontgen polos kepala juga dapat memperlihatkan adanya infeksi
atau neoplasma yang ditandai oleh perubahan kepadatan tulang.
Prosedur pembuatan foto polos kepala dan medula spinalis
mengharuskan klien dalam posisi yang cermat dan secara relatif tidak
menimbulkan nyeri. Peran perawat mencakup pemantauan klien dan
peralatan yang digunakan selama prosedur dan selalu mewaspadai
terhadap komplikasi yang berhubungan dengan posisi klien dan
lamanya prosedur.
b. Computed Tomography
Computed tomography (CT) merupakan suatu teknik diagnostik
dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-x untuk memindai kepala
dalam lapisan yang berurutan. Bayangan yang dihasilkan memberi
gambaran potongan melintang dari otak, dengan membandingkan
perbedaan jaringan padat pada tulang kepala, korteks, struktur
subkortikal, dan ventrikel. Gambaran yang jelas pada masing-masing
bagian atau irisan otak, pada bayangan ahir merupakan proporsi dari
derajat sinar-x diabsorpsi. Bayangan ditunjukan pada osiloskop atau
monitor TV dan foto.
CT Scan selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras dan jika
dengan zat kontras, maka zat kontras dimasukan melalui intravena.
Klien berbaring diatas meja yang dapat disesuaikan dengan kepala
pada posisi terfiksasi, sementara sistem pemindaian berputar disekitar
kepala klien. Klien harus dibaringkan dengan kepala pada posisi yang
sangat mantap dan dengan hati-hati untuk tidak bicara dengan
menggerakan wajah, karena gerakan kepala menyebabkan
penyimpangan pada bayangan.
c. PET (Positron emission tomography)
PET adalah teknik pencitraan nuklir berdasarkan komputer yang dapat
menghasilkan bayangan fungsi organ secara aktual. Klien menghirup
gas radioaktif yang memberikan partikel bermuatan positif. Bila
positron ini berkombinasi dengan elektron-elektron bermuatan negatif,
resultan gama dapat dideteksi oleh alat pemindai. Dalam alat-alat
pemindai, detektor tersusun dalam sebuah cincin dan seri-seri yang
dihasilkan berupa gambar dua dimensi pada berbagai tingkatan otak.
Informasi ini terintegrasi oleh komputer dan memberikan sebuah
komposisi bayangan kerja otak.
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
MRI menggunakan medan magnetik untuk mendapatkan gambaran
daerah yang berbeda pada tubuh. Foto magnetik di dalam tubuh seperti
magnet-magnet kecil di dalam medan magnet. Setelah pemberian
getaran radiofrekuensi, foto memancarkan sinyal-sinyal, yang diubah
menjadi bayangan. MRI mempunyai potensial untuk mengidentifikasi
keadaan abnormal serebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes
diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi tentang
perubahan kimia dalam sel, juga memberikan informasi kepada dokter
dalam memantau respon tumor terhadap pengobatan. Pemindaian MRI
tidak menyebabkan radiasi ion.
Pemindaian MRI memberikan gambaran grafik dari struktur
tulang, cairan, dan jaringan lunak. MRI ini memberikan gambaran
yang lebih jelas tentang detail anatomi dan dapat membantu seseorang
mendiagnosis tumor yang kecil atau sindrom infrak dini.
e. Angiografi Serebral
Angiografi serebral adalah proses pemeriksaan dengan menggunakan
sinar-x terhadap sirkulasi serebral setelah zat kontras disuntikan ke
dalam arteri yang dipilih.
Angiografi serebral adalah alat yang digunakan untuk
menyelidiki penyakit vaskular, aneurisma, dan malformasi arteriovena.
Hal ini sering dilakukan sebelum klien menjalani kraniotomi sehingga
arteri dan vena serebral terlihat dan untuk menentukan letak, ukuran,
dan proses patologis. Juga digunakan untuk mengkaji keadaan yang
baik dan adekuatnya sirkulasi serebral. Angiografi merupakan pilihan
terahir jika dengan pemeriksaan CT scan dan MRI, diagnosis masih
belum bisa ditegakan (Hacke W. dan Kramer H. 1991).
f. Mielogram
Mielogram adalah sinar-x yang digunakan untuk melihat ruang
subaraknoid spinal dengan menyuntikan zat kontras atau udara ke
ruang subaraknoid spinal melalui fungsi spinal. Mielogram
menggambarkan ruang subaraknoid spinal dan menunjukan adanya
penyimpangan medulla spinalis dan sakus dural spinal yang disebabka
oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain.
g. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktivitas umum elektrik di otak,
dengan meletakan elektroda pada area kulit kepala atau dengan
menempatkan mikroelektroda dalam jaringan otak. Pemeriksaan ini
memberikan pengkajian fisiologis aktivitas serebral. EEG adalah uji
yang bermanfaat untuk mendiagnosis gangguan kejang seperti epilepsi
dan merupakan prosedur pemindaian untuk klien koma atau
mengalami sindrom otak organik. EEG juga bertindak sebagai
indikator kematian otak. Tumor, abses, jaringan parut otak, bekuan
darah, dan infeksi dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari
pola normal irama dan kecepatan.
h. Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Pemeriksaan laboratorium klinik merupakan hal yang rutin untuk
dilaksanakan sebagai media untuk menonton reaksi pengobatan dan
dampak klinis yang memerlukan penanganan lanjut. Tujuannya
sebagai berikut.
1) Membantu menegakan diagnosis berbagai macam penyakit serebral
2) Melakukan kontrol untuk klien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami penyakit serebral (misalnya pemeriksaan kolesterol darah).
3) Mengukur abnormalitas kimia darah yang dapat memengaruhi
prognosis klien gangguann serebral.
4) Mengkaji derajat proses inflamasi.
5) Mengkaji kadar serum obat.
6) Mengkaji efek pengobatan.
7) Menetapkan data dasar klien sebelum intervensi terapeutik.
8) Skrining terhadap setiap abnormalitas. Oleh karena terdapat berbagai
metode pengukuran yang berbeda, maka nilai normal dapat berbeda
antara satu tes dengan tes lainnya.
9) Menentukan hal-hal yang dapat memengaruhi upaya intervensi
(misalnya diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit).

B. Asuhan Keperawatan Klien dengan Meningitis

Secara singkat, pengertian dari meningitis adalah inflamasi pada membran


(selaput) yang mengelilingi otak dan medula spinalis. Penyebab meningitis
meliputi 1) bakteri, piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus,
terutama meningokokus, pneumokokus, dan basil influensa. 2) virus, yang
disebabkan oleh agens-agens virus yang sangat bervariasi. 3) organisme jamur.

1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Biasanya suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan biasanya berhubungan dengan akibat infeksi dan peningkatan
TIK. Keluhan tersebut diantaranya sakit kepala dan demam adalah
gejala awal yang sering terjadi. Sakit kepala dihubungkan dengan
meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen.
Perubahan yang terjadi tergantung pada beratnya penyakit, dapat
terjadi letargik, tidak responsif dan koma.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobin lain. Riwayat TB
paru perlu ditanyakan kepada klien terutama jika ada keluhan batuk
produktif dan pernah mengalami pengobatan obat anti tuberkolosis
yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis tuberkolosa.
c. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikososiospiritual klien meningitis meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
d. Pemeriksaan Fisik

Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal 38-4 C, dimulai pada fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, dan
berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan
iritasi meningen yang sudah menunggu pusat pengatur suhu tubuh. Jika
peningkatan frekuensi nafas sering kali berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum
mengalami meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat dan
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.

1) BI (Breathing)
Inpeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas dan peningkatan frekuensi napas yang sering
didapatkan pada klien meningitis yang disertai dengan adanya
gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi toraks hanya dilakukan jika
terdapat deformitas pada tulang dada klien dengan efusi pleura massif.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.
Gambar B.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan meningitis

2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien
meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami
syok. Infeksi fulminasi terjadi pada sekitar 10% klien dengan
meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septikema: demam
tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar sekitar wajah
dan ekstremitas. Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah
serangan infeksi.
3) B3 (Brain)
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada tingkat latergi,
stupor, dan semikomatosa.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental : observasi penampilan,
tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
Pengkajian saraf kranial.
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kodisi normal.
Pemeriksaan papildema mungkin didapatkan terutama pada
meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
Saraf III, IV dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitas yang telah
mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reaksi pupil akan didapatkan.
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastosideus dan
trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher
dan kaku kuduk.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecap normal.
Pengkajian sistem motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan, dan koordinasi pada meningitis tahap lanjut mengalami
perubahan.
Pengkajian refleks. Pemeriksaan reflesks profunda, pengertukan
pada tendon, ligamentum derajat refleks pada respon normal. Refleks
patologis akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat
kesadaran koma.
Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, tic dan
distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang
umum, terutama pada anak dengan meningitis disertai peningkatan
suhu tubuh yang tinggi.
Pengkajian sistem sensorik. Pemeriksaan sensorik pada
meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, suhu yang normal,
tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, sensasi propriosefsi
dan diskriminatif normal.
Adanya ruam merupakan salah satu ciri mencolok pada
meningitis meningokokus. Sekitar setengah dari semua klien
mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam petekie dengan lesi
purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas. Iritasi meningen
mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali, tanda tersebut
diantaranya :
Kaku kuduk
Kaku kuduk merupakan tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi
kepala mengalami kesulitan karena adanya spasme otot-otot leher.
Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat
Tanda kerning positif
Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah
abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.
Tanda brudzinski
Tanda ini didapatkan jika leher klien difleksikan, terjadi fleksi lutut
dan pinggul. Jika dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah
pada salah satu sisi, gerakan yang sama terlihat pada sisi
ekstremitas yang berlawanan.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sensi-sendi besar. Petekia dan lesi
purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat dapat
ditemukan ekimosis yang besar pada wajah dan ekstremitas. Klien
sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara
umum sehingga mengganggu ADL.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis, meliputi laboratorium
klinik rutin (HB, Leukosit, LED, Trombosit, Retikulosit dan dan Glukosa).
Pemeriksaan faal hemostasis diperlukan untuk mengetahui secara dini
adanya DIC. Serum elektrolit dan glukosa dinilai untuk mengidentifikasi
adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis
cairan otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan
peningkatan tekanana intrakarnial. Analisis cairan otak diperiksa untuk
jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah
dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya, kadar
glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien
meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Untuk lebih spesifik mengetahui jenis mikroba, organisme penyebab
infeksi dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan serebrospinal
dan darah. Counter Immuno Electrophoresis (CIE) digunakan secara luas
untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan tubuh, umumnya cairan
serebrospinal dan urine.
Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien, meliputi foto
rontgen paru, dan CT scan kepala. CT Scan dilakukan untuk menentukan
adanya edema serebal atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya
normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.
f. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi. Secara ringkas
penatalaksanaan pengobatan meningitis, meliputi pemberian antibiotik
yang mampu melewati darah-barier otak ke dalam ruang subraknoid dalam
konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri.
Biasanya menggunakan sefaloposforin generasi keempat atau sesuai
dengan hasil uji resistensi antibiotik agar pemberian antimikroba lebih
efektif digunakan.

2. Diagnosis Keperawatan

a. Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume


intrkarnial, penekanan jaringan otak, dan edema serebal

b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan inflamasi dan


edema pada otak meningen.

c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang dengan akumulasi sekret,


penurunan kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran .

d. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan perubahan tingkat


kesadaran, depresi pada pusat napas di otak.

e. Gangguan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan infeksi


meningokokus.

f. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi pada meninges dan jaringan


otak.

g. Hipertermia yang berhubungan dengan dengan inflamasi pada meninges,


peningkatan metabolisme umum.

h. Resiko tinggi defisit cairan yang berhubungan dengan muntah dan demam.
i. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan
dengan asupan nutrisi tidak adekuat, mual dan muntah.

j. Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan kejang berulang, fiksasi


kurang optimal.

k. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum

l. Resiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang


berhubungan prognosis penyakit.

m. Ansietas yang berhubungan dengan parahaya kondisi.

3. Perencanaan

Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume


intrakarnial, penekanan jaringan otak, dan edema serebal
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK.
Kriteria: klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS: 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji faktor penyebab dari Deteksi dini untuk memprioritaskan
situasi/keadaan individu/penyebeb intervensi, mengkaji status
koma/penurunan perfusi jaringan dan neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk
kemungkinan penyebab menentukan perawatan kegawatan atau
peningkatanTIK. tindakan pembedahan.
Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam. Suatu keadaan normal jika sirkulasi
serebal terpelihara dengan baik atu
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah
sistemik, penurunan dari outoregulator
kebanyakan merupakan tanda penurun
difusi lokal vaskularisasi darah serebal.
Dengan peningkatan tekanan darah
(diasolik) maka diikuti dengan
peningkatan tekanan darah intrakarnial.
Adanya peningkatan tekanan darah,
brakardia, distrimia, dispneu merupakan
tanda terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, Reaksi pupil dan pergerakan ulang dari
ketajaman, dan reaksi terhaap cahaya. bola mata merupakan tanda dari gangguan
jika batang otak terkoyak . reaksi pupil
diatur oleh saraf ketiga kranial
(okulomorik) yang menunjukan keutuhan
batang otak, ukuran pupil menunjukkan
keseimbangan antara prasimpatis dan
simpatis. Respons terhadap cahaya
merupakan kombinasi fungsi dari saraf
kedua dari ketiga kranial.
Monitor temperatur dan pengaturan Panas merupakan refleks dari
suhu lingkungan. hipotalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan 02 akan menunjang
peningkatan TIK.
Pertahankan kepala/leher pada posisi Perubahan kepal pada satu sisi dapat
yang netral, usahakan dengan sedikit menimbulkan penekanan pada vena
bantal. Hindari penggunaan bantal jugularis dan menghambat aliran darah
yang tinggi pada kepala. otak (menghambat drainage pada vena
serebal), sehingga dapat meningkatkan
tekanan intakranial.
Berikan periode istirahat antara Tindakan yang terus-menerus dapat
tindakan perawat dan batasi lamanya meningkatkan TIK akibat efek rangsangan
prosedur. kumulatif
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan Memberikan suasana yang tenang dapat
rasa nyaman seperti masase punggung, mengurangi respons psikologis dan
lingkungan yang tenang, sentuhan yang memberikan istirahat untuk
ramah dan suasana/ pembicaraan yang mempertahankan TIK yang rendah.
tidak gaduh.
Bantu klien jika batuk, muntah. Aktivitas ini dapat meningkatkan
intratoraksdan tekanan intra-abdomen,
yang dapat meningkatkan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkah Tingkah nonverbal ini dapat merupakan
laku pada pagi nhari. indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri, yaitu pasien
tidak mampu mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pembesaran/kandung kemih, Dapat meningkatkan respons automatik
pertahankan drainase urine secara yang potensial meningkatkan TIK.
paten digunakan dan juga monitor
terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan kepada klien (jika Meningkatkan kerja sama dalam
sadar) dan keluarga tentang sebab- meningkatkan perawatan klien dan
akibat TIK meningkat. mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan Perubahan kesadaran menunjukan
GCS. peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi: Mengurangi hipoksemia, yang dapat
Pemberian O2 sesuai induksi; meningkatkan vasodilatasi serebal dan
volume darah sehingga meningkatkan
TIK.
Berikan cairan intravena sesuai dengan Pemberian cairan mungkin diinginkan
yang diindikasikan; untuk mengurangi edema serebal,
peningkatan minimum pada pembuluh
darah, tekanan darah dan TIK.
Berikan obat osmotik diuresis, Diuretik mungkin diinginkan pada fase
contohnya manitol, furoside; akut untuk mengalirkanair dari sel otak,
dan menurunkan edema serebal dan TIK.
Berikan steroid, contohnya Untuk menurunkan inflamasi (radang)
deksametason, metil prednisolon; dan mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesik narkotik, contohnya Mungikn diindikasikan untuk mengurangi
codein; nyeri dan obat ini berefek negatif pada
TIK tetapi dapat digunakan dengan tujuan
untuk mencegah dan menurunkan sensasi
nyeri.
Berikan antipretik, contohnya Mengurangi/mengontrol hari dan pada
asetaminopen; metabolisme serebal/oksigen yang
diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai Membantu memberikan informasi tentang
dengan indikasi seperti protombin, efektivitas pemberian obat.
LED.

C. Asuhan Keperawatan Klien dengan Enfesilitas


Ensifilitas adalah infeksi yang mengenai sistem saraf pusat (SSP) yang
disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang nonpurulen. Penyebab
tersering dari ensifilitas adalah virus kemudian, herpes simpleks, arbovirus dan
jarang disebabkan oleh enterovirus, gondongan, dan adenovirus. Ensifilitas bisa
juga terjadi pada pascainfeksi campak, influenza, varisella, dan pascavaksinasi
pertusis.
Patofisiologinya virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran napas dan
saluran cerna, setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh
tubuh dengan secara likal: aliran virus terbatas menginfeksi selaput lendir
permukaan atau organ tertentu, penyebaran hematogen primer: virus masuk ke
dalam darah, kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut
dan menyebar melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lendir
dan menyebar melelui sistem persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak, timbul manifestasi klinis ensefalitis.
Masa prodormal berlangsung selama1-4 hari ditandai dengan demam, sakit
kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorok, malaise, nyeri ekstremitas, dan pucat.
Suhu badan meningkatkan, fotobia, sakit kepala, muntah letargi, kadang disertai
kaku kuduk jika infeksi mengenai meningen. (Gambar C.1).
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Biasanya kejang disertai penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien ensefalitis biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami campak, cacar air, herpes, dan
bronkopneumonia.
c. Pengkajian psikosiospiritual
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stres, meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada klien ensefalitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal 39-41C. keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses
inflamasi dari selaput otak yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu
tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tandatanda
peningkatan TIK. Jika disertai peningkatan frekuensi napas sering
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami ensefalitis.
Faktor-faktor predisposisi pernah
mengalami campak, cacar air, herpens dan
bronchopneumonia

Virus/bakteri masuk jaringan otak secara


lokal, hematogen dan melalui saraf-saraf

Peradangan di otak

Pembentukan Reaksi kuman Iritasi kortek Kerusakan saraf Kerusakan saraf


transudat dan patogen serebal area V IX
eksudat fokal

Edema Kejang. Kesulitan


Suhu tubuh Sulit makan
serebal Nyeri kepala mengunyah

Gangguan Defisit cairan 4. pemenuhan nutrisi kurang dari


perfusi dan kebutuhan
5. resiko tinggi
Jaringan hipovolemik
trauma
serebal 6. resiko kejang
berulang
3. resiko tinggi 7. nyeri
defisit cairan
dan
hipovolemik

kesadaran 8. Gangguan mobilitas fisik

Penumpukan 9. Gangguan persepsi sensori


sekret

2. gangguan 10. koping individu tidak


bersihan jalan efektif
napas 11. kecemasan

Gambar C.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan ensefalitis


Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda tanda
peningkatan TIK.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi napas yang
sering di dapatkan pada klien ensefalitis yang disertai adanya
gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Aukultasi bunyi napas seperti ronkhi pada
klien dengan ensefalitis karena akumulasi sekret dari penurunan
kesadaran.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien ensefalitis yang telah
mengganggu autoregulasi dari sistem kardiovaskular.
3) B3 (Brain)
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien ensefalitis biasanya berkisar pada tingkat letargi,
stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma,
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien
dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebal. Status mental: observasi
penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien ensefalitis tahap lanjut biasanya
status mrntal klien mengalami perubahan.
Pengkajian saraf kranial. Pemeriksaan saraf kranial.
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf I-XII.

Saraf I. Biasanya pada klien ensefalitis tidak ada kelainan dan


fungsi penciuman tidak ada kelainan.

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.


Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada
ensefalitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.

Saraf III, IV dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
klien ensefalitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis yang telah
mengganggu kesdaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui,
klien klien ensefalitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif
yang berlebihan terhadap cahaya.

Saraf V. Pada klien ensefalitis didapatkan paralisis pada otot


sehingga mengganggu proses mengunyah.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah


asimetris karena adanya paralisis unilateral.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli


persepsi.

Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga


mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

Saraf XI. Tidak ada otot strenokleidomastoideus dan trape zius.


Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku
kuduk.

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada faskulasi. Indra pengecapan normal.

Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun,


kontrol keseimbangan dan koordinasi pada ensefalitis tahap lanjut
mengalami perubahan.

Pengkajian Refleks. Pemeriksaan refleks profunda,


pengetukan pada tendon, ligamentrum atau periosteum derajat
refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan
pada klien ensefalitis dengan tingkat kesadaran koma.

Gerakan Involunter. Tidak adanya tremor, tic, dan distonia.


Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum,
terutama pad anak dengan ensefalitis disertai peningkatan suhu
tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan
dengan ensefalitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal
kortikal peka.

Pengkajian Sistem Sensorik. Pemeriksaan sensorik pada


ensefalitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, dan suhu yang
normal, tidak ada sensasi abnormal di permukaan tubuh, sensasi
propriosefsi dan diskriminatif normal. Inflamasi pasa selaput otak
mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali pada
ensefalitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk, yaitu adanya upaya
untuk fleksi kepala mengalami kesulitan karena adanya spasme
otot-otot leher.

4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kemih biasanya didapatkan penurunan
volume urine output, yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien ensefalitis menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu orang lain.

2. Diagnosis Keperawatan

a. Gangguan perfusi jaringan serebal yang berhubungan dengan peningkatan


tekanan intrakarnial.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan


akumulasi sekret, kemempuan batuk menurun batuk menurun akibat
penurunan kesadaran.

c. Resiko pemenuhan kebutuhan nutris: kurang dari kebutuhan tubuh yang


berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
d. Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan adanya kejang, perubahan
ststus mental dan penurunan tingkat kesadaran.

e. Nyeri yang berhubungan dengan iritasi lapisan otak.

f. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan-kerusakan


persepsi/ kognitif.

g. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan kerusakan penerima


rangsang sensori, transmisi sensori, dan integrasi sensori.

3. Perencanaan

Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi


sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan jalan napas kembali
efektif.
Kriteria: secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 kali/menit. Tidak
menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS (-), ronkhi (-/-) mengi (-/-). Dapat
mendemostrasikan cara batuk efektif.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi Memantau dan mengatasi komplikasi
napas tambahan, perubahan irama potensial. Pengkajian fungsi pernapasan
dan kedalaman, penggunaan otot- dengan interval yang teratur adalah penting
otot aksesori, warna dan karena pernapasan yang tidak efektif dan
kekentalan sputum. adanya kegagalan, karena adanya kelemahan
atau paralisis pada otot-otot interkostal dan
diafragma yang berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan semifowler. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan
pernapasan, meningkatkan ekspansi dada dan
meningkatkan batuk lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif. Klien berada pada resiko tinggi jika tidak
batuk dengan efektif untuk membersihkan
jalan napas dan mengalami kesulitan dalam
menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi
saliva dan mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterapi dada; vibrasi Terapi fisik dada membantu meningkatkan
dada. batuk lebih efektif
Penuhi hidrasi cairan via oral, Pemenuhan cairan dapat mengencerkan
seperti minum air putih, dan mukus yang kental dan dapat membantu
pertahankan asupan cairan 2.500 pemenuhan cairan yang banyak keluar dari
ml/hari. tubuh.
Lakukan pengisapan lendir jalan Pengisapan mungkin diperlukan untuk
napas. mempertahankan kepatenan jalan napas
menjadi bersih.

D. Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Guillain Barre


Sindrom Guillare-Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukan oleh
onset atau dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses
penyakit mencakup demielinasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf perifer
dan kranial (Sylvia A. Price Dan Lorraine M. Wilson 1995)
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respons alergi atau respons autoimun
sangat mungkin sekali. Pada beberapa keadaan dapat diakibatkan oleh infeksi
virus primer, reaksi imun dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi
proses. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi
autoimun yang menyerang saraf perifer. Mielin merupakan substansi yang ada di
sekitar atau menyelimuti akson-aksonn saraf dan berperan penting pada transmisi
impuls saraf.
Akson bermielin impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin.
Sepanjang perjalanan serabut bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin
terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara
membran sel akson dengan cairan ekstraselular. Membran sangat permiabel pada
nodus tersebur, sehingga konduksi menjadi baik.

Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak
pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
Kehilangan selaput tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.

1. Pengkajian
Pengkajian terhadap komplikasi Sindrom Guillain-Barre meliputi pemantauan
terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam
kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui
pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena
profunda dan emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan
paralisis.
a. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan
dengan kelemahan otot, baik kelemahan otot baik kelemahan fisik secara
umum maupun lokal seperti melemahnya otot pernapasan.
b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demieliniasi. Keluhan tersebut di
antaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia
(kesemutan kebas) dan kelemahan otot wajah. Kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot
dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.

Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan
kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan
klien yang terdapat pada klien yang terdapat pada klien stroke.
Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular,yang
memungkinkan terjadinya gangguan sistem saraf otonom pada klien
GBS yang dapat mengakibatkan disritmia atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.

2) Riwayat penyakit dahulu


Pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan
tindakan bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian
jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian.
c. Pengkajian psikososiopiritual
d. Pemeriksaan fisik
Pada klien sindrom Guillain Barre biasanya didapatkan suhu tubuh
normal. Penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi napas
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi pada sistem pernapasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi
pernapasan. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan
darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan obat bantu napas dan peningkatan
frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan yang
paling sering didapatkan pada klien sindrom Guillain Barre adalah
penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-
otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan
dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan sindrom Guillain Barre berhubungan akumulasi
sekret dari infeksi saluran napas.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular pada klien sindrom Guillain
Barre menunjukan bradikardia akibat penurunan perfusi perifer.
Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat
(hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset, meliputi
adanya ISPA, infeksi gastrointesnital, dan tindakan bedah saraf

Selaput mielin hilang akibat dari respons alergi, respons


autoimun, hipoksemia, toksik kimia, dan insufisiensi vaskular

Proses dimielinasi

Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak


ada transmisi impuls saraf

Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial

Gangguan saraf perifer dan


Gangguan fungsi
neuromuskular Disfungsi
saraf kranial: III, IV,
V,VI, VII, IX danX otonom
Parestesia (kesemutan
kebas) dan kelemahan Paralisis lengkap, otot
Paralisis pada okular, otot kaki, yang dapat Kurang bereaksinya
pernapasan terkena,
wajah dan otot orofaring, berkembang ke sistem saraf simpatis
mengakibatkan
kesulitan berbicara, ekstremitas atas, batang dan parasimpatis,
insufisiensi pernapasan
mengunyah, dan menelan tubuh, dan otot wajah perubahan sensori

Gangguan Kelemahan fisik Gangguan frekuensi jantung


Resiko tinggi gagal dan ritme, perubahan tekanan
pemenuhan nutrisi umum, paralisis pernapasan (ARDS) darah(hipertensi transien,
dan cairan otot wajah penurunan kemampuan hipotensi ortostatik), dan
batuk, peningkatan sekresi gangguan vasomotor
mukus
4. resiko tinggi defisit Penurunan tonus 3. resiko tinggi
cairan tubuh otot seluruh tubuh,
5. resiko tinggi penurunan
perubahan ekstetika
pemenuhan nutrisi kurang
wajah perfusi perifer
dari kebutuhan

1. Ketidakefektifan 2. Ketidakefektifan Penurunan curah


6. gangguan pemenuhan bersihan jalan pola napas jantung ke ginjal
ADL napas
7. kerusakan mobilitas fisik
8. gangguan konsep diri Sekresi mukus masuk Penurunan curah
(gambaran diri) Gagal fungsi
lebih ke bawah jalan jantung ke ginjal
pernapasan
napas

Resiko tinggi infeksi saluran napas


bawah dan parenkim paru
koma Penurunan filtrasi
glomerulus

pneumonia kematian
anuna
Prognosis
9. kecemasan Gawat Gagal ginjal
penyakit kurang
keluarga kardiovaskular akut
baik

Gambar D.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan GBS


3) B3 (Brain)
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Pada klien sindrom
Guillain Barre biasanya kesadaran klien komposmetis. Apabila
klien mengalami penurunan tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebal. Status mental: observasi
penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien sindrom Guillain Barre tahap
lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya ststus mental
klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian saraf kranial
meliputi pengkajian saraf krania I-XII.

Saraf I. Biasanya pada klien sindrom Guillain Barre tidak ada


kelainan dan fungsi penciuman.

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan


menutup kelopak mata, paralisis okular.

Saraf V. Pada klien sindrom Guillain Barre didapatkan paralisis


pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah


asimetris karena adanya paralisis unilateral.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli


persepsi.

Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara,


mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik,
sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan


trapzeus. Kemampuan mobilisasi leher baik.

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada sindrom Guillain Barre tahap
lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik
secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.

Pengkajian Refleks. Pemeriksaan refleks propunda,


pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
refleks pada respons normal. Gerakan Involunter. Tidak ditemukan
adanya tremor, kejang, tic dan distonia.

Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas)


dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas
atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
menjadi berkurang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Lumbal fungsi dapat menunjukan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan
menghitung jumlah sel normal. Pemeriksaan konduksi saraf mencatat
transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujian elektrofisiologis
diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
f. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk
memberikan pemeliharaan fungsi sistem tubuh, dengan cepat mengatasi
krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi
imobilitas, serta memberikan dukungan psikologis untuk klien dan
keluarga.
Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan
medis dan klien diatasi di unit perawatan intensif. Klien mengalami
masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang untuk periode
yang lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebebkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada klien
dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk
kemungkinan adanya perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia
jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati
dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat
diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik.

2. Diagnosis Keperawatan

a. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan melemahnya otot-otot


pernapasan.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan


akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penururnan
kesadaran.

c. Resiko tinggi penururnan curah jantung yang berhubungan dengan


perubahan frekuensi jantung ritme dan irama bradikardia.

d. Resiko perubahan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang


berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.

e. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan


neuromuskular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan
persepsi/kognitif.
f. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensori, transmisi sensori, dan integrasi sensori.

g. Ansietas yang berhubungan dengan kondisi sakit prognosis penyakit yang


jelek.

3. Perencanaan

Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan, dan ancaman gagal napas
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Kriteria: secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 kali/menit. Tidak
menggunakan obat bantu napas, gerakan dada normal.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi Menjadi bahan parameter monitoring
napas tambahan, perubahan irama serangan gagal napas dan menjadi data dasar
dan kedalaman, penggunaan otot- intervensi selanjutnya.
otot aksesori.
Evaluasi keluhan sesak napas, baik Tanda dan gejala meliputi adanya kesulitan
secara verbal dan nonverbal. bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
iregular, menggunakan otot-otot aksesoris,
takikardia dan perubahan pola napas.
Beri ventilasi mekanik. Ventilasi menaik digunakan jika pengkajian
sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan ke arah kemunduran, yang
mengindikasi ke arah memburuknya
kekuatan otot-otot pernapasan.
Lakukan pemeriksaan kapasitas Kapasitas vital klien dipantau lebih serting
vital pernapasan. dan dengan interval yang teratur dalam
penambahan kecepatan pernapasan dan
kualitas pernapasan, sehiingga pernapasan
yang tidak efektif dapat diantisipasi.
Penurunan kapasitas vital karena kelemahan
otot-otot yang digunakan saat menelan,
sehingga hal ini menyebabkan kesulitan saat
batuk dan menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi: Membantu pemenuhan oksigen yang sangat
Pemberianhumidifikasi 3 diperlukan tubuh dengan kondisi laju
liter/menit. metabolisme sedang meningkat.

E. Asuhan Keperawatan Klien dengan Stroke


Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan kelainan
fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan
peredaran darah otak. Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik
yang berkembangan cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yaang menyebabkan
kematin tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke merupakan
penyakit yang paling sering menyebabakan cacat berupa kelumpuhan anggota
gerak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan
yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak.
Penyebab

1. Trombosit Serebral

Trombosit ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi


sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan
oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosit biasanya terjadi pada orang
tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena
penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali
memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trombosis otak:
Aterosklerosis, Hiperkoagulasi pada polisitemia, Arteritis (radang pada
arteri), dan emboli.

2. Hemoragi

Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam


ruang subaraknoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini
dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi. Akibat pecahnya
pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim
otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan
jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan
otak tertekan, sehingga terjadi infrak otak, edema. dan mungkin herniasi
otak.

3. Hipoksia Umum

Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah:


hipertensi yang parah, henti jantung-paru, dan curah jantung turun akibat
aritmia.

4. Hipoksia Setempat

Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:

Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid;

Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

Beberapa faktor penyebab stroke antara lain:

1) Hipertensi, merupakan faktor risiko utama.

2) Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung.

3) Kolesterol tinggi.

4) Obesitas,

5) Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infrak serebal.

6) Diabetes-terkait dengan aterogenesis terakselerasi.

7) Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar


estrogen tinggi).

8) Merokok.

9) Penyalahgunaan obat (khususnya kokain).

10) Konsumsi alkohol.


Klasifikasi

1. Stroke hemoragi

Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid.


Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa
juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya menurun. Perdarahan
otak dibagi dua, yaitu:

a. Perdarahan Intraserebral. Pecahnya pembuluh darah


(mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan darah
masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan
jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK
yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak
karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan
karena hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus,
pons, dan serebelum.

b. Perdarahan Subaraknoid. Perdarahan ini berasal dari pecahnya


aneurisma berry atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal dari
pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang
terdapat di luar parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke
ruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
meregangnya stuktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah
serebral yang berakibat disfungsi otak global (sakit kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi
sensorik, afasia, dan lain-lain).

Pecahnya arteri keluarnya darah ke ruang subaraknoid mengakibatkan


terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya stuktur
peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula di jumpai
kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya.
Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan
subaraknoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah
serebral. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global
(sakit kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese,
gangguan hemisensorik, afasia, dan lain-lain).

2. Stroke nonhemoragik

Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi
saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak
terjadi perdarahan namun terjadi iskema yang menimbulkan hipoksia dan
selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.

Patofisologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.


Luasnya infark bergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan, dan
spasme vascular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru
dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai factor penyebab infark pada otak.
Thrombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.

Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai


emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang
disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di
sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada
area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-
kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai
menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak
terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah dan rupture.
Gambar E.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan stroke
Perdarahan pada otak disebabkan oleh rupture arteriosklerotik dan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih
sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebro
vaskular, karean perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan
tekanan intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada
falk serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darak ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nucleus kaudatus, thalamus, dan pons.

Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.


Perubahan yang disebabka oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6
menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.

Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative


banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
darah ynag keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.

Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih
dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71%
pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebral dengan volume
antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume
darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Jusuf Misbach, 1999)

1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak,
pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri
kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala
kelumpuhan separuh badan atau gangguan gungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsive, dan koma.
2) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, riwayat
merokok, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kontrsepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti
koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
mellitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
d. Pengkajian psikososial
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep
diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, dan tidak kooperatif.
Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien
biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak
stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. Factor biaya
juga dapat memepengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan
keluarga.
e. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami
gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara dan ttv-
nya: tekanan darah meningkat, dan denyut nadi bervariasi.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.
Pada klien kompos mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya
tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi
peningkatan dan dapat terjadi masif (TD>200 mmHg)
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai deficit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian
GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi status mental,
fungsi intelektual, kemampuan Bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
Pengkajian saraf kranial. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan
saraf kranial I-XII
Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman
Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam
area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Klein mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis,
pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta
kelumpuhan satu sisi otot pterigodeus internus dan eksternus.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf XI dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi fasikulasi,
serta indra pengecapan normal.

Pengkajian sistem motoric. Stroke adalah penyakit saraf motoric


atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunteer terhadap
gerakan motoric. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol
motor volunteer pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari otak.

Inspeksi umum: Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu


sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
Tonus otot. Meningkat.
Kekuatan otot. Nilai 0 pada penilaian dengan menggunakan tingkat
kekuatan otot pada sisi yang sakit.
Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparese dan hemiplegia

Pengkajian reflex. Pemeriksaan reflex profunda. Pengetukan pada


tendon, ligamentum atau periosteum derajar reflex pada respons
normal.
Pemeriksaan reflex patologis. Pada fase akut reflex fisiologis sisi
yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari reflex fisiologis
akan muncul kembali didahului dengan reflex patologis. Gerakan
involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, tic, dan dystonia. Pada
keadaan tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum, terutama
pada anak dengan stroke disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
Kejang berhubungan seunder akibat area fokal kortikal yang peka.

Pengkajian sistem sensorik. Dapat terjadi hemihipestesi. Pada


persepsi terdapat ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di
antara mata dan korteks visual.

Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua


atau lebih objek dalam area spsial) sering terlihat pada klien dengan
hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke
bagian tubuh.

Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan


ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan
auditorius.

4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung
kemih karena kerusakan kontrol motoric dan postural. Kadang kontrol
sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengn tekni streril. Inkontinensia
urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunteer terjadap gerakan motoric. Oleh karena neuron motor atas
menyilang, gangguan kontrol motor volunteer pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi
yang berlawanan dari otak. Disfungsi motoric paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah
tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain
itu, perlu juga dikaji tanda-tanda decubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensoria tau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
f. Pemeriksaan Diagnostik
Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke
secara spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan
untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi
vascular.
Lumbal Fungsi. Tekanan yang meningkat dan diertai bercak darah
pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid
atau perdarahan pada intracranial. Peningkatan jumlah protein
menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor
merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya wran likuor masih normal (xantokrom)
sewaktu sehari-hari pertama.
CT scan. Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak
edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau
iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak.
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetic untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya
perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang
mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
USG Doppler. Untuk mengidentifikasi adanya penyakit
arteriovena (masalah sistem karotis)
EEG. Pemeriksaan ini bertujuan melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik
dalam jaringan otak
g. Pemeriksaan laboratorium
1) Lumbal fungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu sehari-hari pertama.
2) Pemeriksaan darah rutin.
3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke askut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum
dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
4) Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
h. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital
dengan melakukan kegiatan sebagai berikut:
Mempertahankan saluran napas yang paten yaitu lakukan pengisapan
lendir dengan sering dan oksigenasi, jika perlu lakukan trakeostomi,
membantu pernapasan
Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk
usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin klien harus diubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-
latihan gerak pasif.

Penatalaksanaan Jenis dan Makna Klinis


Pengobatan Vasodilator meningkatkan aliran darah
konservatif serebral (ADS) secara percobaan, tetapi
maknanya pada tubuh manusia belum dapat
dibuktikan.
Dapat diberikan histamine, aminophilin,
asetazolamid, papaverin intra arterial.
Medikasi antitrombosit dapat diresepkan
karean trombosit memainkan peran sangat
penting dalam pembentukan thrombus dan
embolisasi. Antiagregasi thrombosis seperti
aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi
sesudah ulserasi alteroma.
Antikoagulan dapat diresepkan untuk
mencegah terjadinya atau memberatnya
thrombosis atau embolisasi dari tempat lain
dalam sistem kardiovaskular.
Pengiobatan Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah
pembedahan serebral.
Endosterektomi karotis membentuk kembali
arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri
karotis di leher.
Revaskularisasi terutama merupakan
tindakan pembedahan dan manfaatnya paling
dirasakan oleh klien TIA.
Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke
akut.
Ugasi arteri karotis komunis di leher
khususnya pada aneurisma

2. Diagnosis Keperawatan
a. Risiko peningkatan TIK b.d meningkatnya volume intracranial, penekanan
jaringan otak, dan edema serebral.
b. Perubahan perfusi jaringan otak b.d perdarahan intraserebral, oklusi otak,
vasospasme, dan edema otak.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d akumulasi sekret, kemampuan
batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, dan perubahan tingkat
kesadaran.
d. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiparese/hemiplegia, kelemahan
neuromuscular pada ekstremitas.
e. Risiko tinggi terhadap terjadinya cedera b.d penurunan luas lapang
pandang, penurunan sensasi rasa (panas, dingin).
f. Risiko gangguan integritas kulit b.d tirah baring lama.
g. Deficit perawatan diri b.d kelemahan neuromuscular, menurunnya
kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi ditandai oleh
kelemahan untuk ADL, seperti makan, mandi, mengatur suhu air, melipat
atau memakai pakaian.
h. Kerusakan komunikasi verbal b.d efek dari kerusakan pada area bicara di
hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
i. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kelemahan otot
mengunyah dan menelan.
j. Takut b.d parahnya kondisi.
k. Gangguan konsep diri citra tubuh b.d perubahan persepsi.
l. Ketidakpatuhan terhadap regimen terapeutik b.d kurangnya informasi,
perubahan status kognitif.
m. Gangguan persepsi sensori b.d penurunan sensori, penurunan penglihatan.
n. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) b.d imobilisasi, asupan cairan yang
tidak adekuat.
o. Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) b.d lesi pada UMN.
p. Risiko penurunan pelaksanaan ibadah spiritual b.d kelemahan
neuromuscular pada ekstremitas.
q. Perubahan proses keluarga b.d perubahan status sosial, ekonomi, dan
harapan hidup.
r. Kecemasan klien dan keluarga b.d prognosis peyakit yang tidak menentu.

3. Perencaaan

Gangguan komunikasi verbal atau tulis b.d gangguan sirkulasi serebral,


gangguan neuromuscular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral dan
kelemahan secara umum
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam klien dapat menunjukkan pengertian terhadap
masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan
Bahasa isyarat.
Kriteria: terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat terpenuhi,
klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji tipe disfungsi, misalnya klien Membantu menemukan kerusakan area pada
tidak mengerti tentang kata-kata otak dan menentukan kesulitan klien dengan
atau masalah berbicara atau tidak sebagian atau seluruh proses komunikasi,
mengerti bahasa sendiri klien mungkin mempunyai masalah dalam
mengartikan kata-kata (afasia, Wernicke, area
dan kerusakan pada area Broca)
Bedakan afasia dengan disartria Dapat menentukan pilihan intervensi sesuai
dengan tipe gangguan.
Lakukan metode percakapan yang Klien dapat kehilangan kemampuan untuk
baik dan lengkap, beri kesempatan memonitor ucapannya, komunikasinya secara
klien untuk mengklarifikasi. tidak sadar, dengan melengkapi dapat
merealisasikan pengertian klien dan dapat
mengklaifikasi percakapan.
Katakan untuk mengikuti perintah Untuk menguji afasia reseptif
secara sederhana seperti tutup
matamu dan lihat ke pintu
Perintahkan klien untuk Menguji afasia ekspresif, misalnya klien dapat
menyebutkan nama suatu benda mengenal benda tersebut tetapi tidak dapat
yang dierlihatkan menyebutkan namanya.
Perdengarkan bunyi yang Mengidentifikasi disatria komponen berbicara
sederhana seperti shcat (lidah, gerakan bibir, kontrol pernapasan dapat
memengaruhi artikulasi dan mungkin tidak
terjadinya afasia ekspresif)
Suruh klien untuk menulis nama Menguji ketidakmampuan menulis (agrafia)
atau kalimat pendek, bila tidak dan deficit membaca (alexia) yang juga
mampu untuk menulis suruh klien merupakan bagian dari afasia reseptif dan
untuk membaca kalimat pendek. ekspresif.
Beri peringatan bahwa klien di Untuk kenyamanan hubungan dengan
ruang ini mengalami gangguan ketidakmampuan berkomunikasi.
berbicara, sediakan bel khusus bila
perlu
Pilih metode komunikasi Memberikan komunikasi dasar sesuai dengan
alternative misalnya menulis pada situasi individu.
papan tuls, menggambar, dan
mendemonstrasikan secara visual
gerakan tangan.
Antisipasi dan bantu kebutuhan Membantu menurunkan frustasi karean
klien. ketergantungan atau ketidakmampuan
berkomunikasi.
Ucapkan langsung kepada klien Mengurangi kebingungan atau kecemasan
berbicara pelan dan tenang, terhdap banyaknya informasi. Memajukan
gunakan pertanyaan dengan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
jawaban ya atau tidak dan
perhatikan respons klien.
Berbicara dengan nada normal dan Klien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak
hindari ucapan yang terlalu cepat. menyebabkan klien marah, dan tidak
Berikan waktu klien untuk menyebabkan rasa frustasi.
berespons.
Anjurkan pengunjung untuk Menurunkan isolasi sosial dan mengefektifkan
berkomunikasi dengan klien komunikasi
misalnya membaca surat,
membicarakan keluarga.
Bicaralah topik-topik tentang Meningkatkan pengertian percakapan dan
keluarga pekerjaan dan hobi kesempatan untuk mempraktikan ketrampilan
praktis dalam berkomunikasi.
Perhatikan percakapan klien dan Memungkinkan klien dihargai karena
hindari berbicara secara sepihak kemampuan intelektualnya masih baik.
Kolaborasi: konsul ke ahli terapi Mengkaji kemampuan vebal individual dan
bicara sensori motoric dan fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi deficit kebutuhan terapi.

F. Asuhan keperawatan klien dengan Miastenia gravis


Miastenia gravis merupakan gangguan yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang parah. Kondisi ini adalah
satu satunya penyakit neuromuskular yang merupakan kombinasi antara cepatnya
terjadi kelelahan otot otot volunter dan lambatnya pemulihan yang dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal (price dan wilson,
1995).

Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, umumnya


terjadi kelelahan pada otot otot volunter, dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf
kranial. Serangan dapat terjadi pada berbagai usia dan terlihat paling sering pada
wanita berusia antara 15-39 tahun serta pada pria 40-an tahun.

Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan


pada transmisi impuls saraf menuju sel sel otot karena kehilangan kemampuan
atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan
neuromuskular

Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang, mungkin akibat
cedera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin ditemukan dalam
serum banyak penderita miastenia gravis. Pada klien miastenia gravis, secara
makroskopis otot ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, hal ini akibat otot yang
tidak dipakai. Secara mikroskopis, beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi
limfosit dalam otot dan organ organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat
ditemukan kelainan yang konsisten (price dan wilson,1995).
Gambar F.1 Peatofisiologi dan masalah keperawatan Miastenia Gravis

1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Hal yang sering menyebabkan klien miastenia meminta bantuan medis
adalah kondisi penurunan atau kelemahan otot otot, dengan manifestasi :
diplopia (pengelihatan ganda) ptosis (jatuhnya kelopak mata merupakan
keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonoia (gangguan
suara) masalah menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat
keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang,
ketidakmampuan bentuk efektif, dan dispnea.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Miastenia gravis juga menyerang otot otot wajah laring, dan faring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidup jika klien
mencoba menelan (otot otot palatum) ; menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal dan klien tak mampu menutup mulut yang
disebut sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot otot
pernafasan terlihat dari adanya batu yang lemah, akhirnya dapat berupa
serangan dispnea dan klien tidak lagi mampu membersihkan lendir
dari trakea dan cabang cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
tanggul dapat terserang pula dapat pula terjadi kelemahan semua otot
otot rangka. Biasanya gelaja gejala miastenia gravis dapat diredakan
dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase.
2) Riwayat penyakit dahulu
Kaji faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit yang
memperberat kondisi miastenia gravis, seperti hipertensi dan diabetes
melitus.
3) Riwayat penyakit keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan
dengan keluhan klien saat ini.
c. Pengkajian psikososikultural
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi pada
kebanyakan klien kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan
tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan
kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami
gangguan citra diri.
d. Pengkajian fisik
1) B1 (breathing)
Infeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penuruanan batuk
efektif produksi sputum, sesak nafas, pengguanaan otot bantu, nafas ,
dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada
klien yang disertai adanya kelemahan otot otot pernafasan. Auskultasi
bunyi nafas tambahan seperti ronkhi atau stidor pada klien,
menunjukan adanya akumulasi skret pada jalan nafas dan penurunan
kemampuan otot otot pernafasan.
2) B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan dari status kardiovabskular, terutama denyut
nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai
dengan kondisi tidak membaiknya status pernafasan.
3) B3 (brain)
Saraf I, biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan, terutama
pada fungsi penciuman.

Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman pengelihatan, klien sering


mengeluh adanya pengelihatan ganda.

Saraf III, IV dan VI . sering didapatkan adanya ptosis. Adanya


oftalmoplegia , mimik dari pseudointernuklear oftalmoplegia
akibat gangguan mototrik pada nervus VI.

Saraf V . didapatkan adanya paralisi pada otot wajah akibat


kelumpuhan pada otot otot wajah.

Saraf VII . persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan


motorik lidah.

Saraf VIII . tidak ditemukan adanya tuki konduktif dan tuli


persepsi.

Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan.

Saraf XI . tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan


trapezius.

Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah.

Pengkajian sistem motorik. Karakteristik utama miastenia gravis


adalah kelemahan dari sistem motorik. Adanya kelemahan umum pada
otot otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan
intoleransi alktivitas klien.

Pengkajian refleks. Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan


pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon
normal.

Pengkajian sistem sensorik. Pemeriksaan sensorik pada epilepsi


biasanya didapatkan sensasi raba dan suhu normal, tidak ada perasaan
abnormal dipermukaan tubuh.
4) B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya menunjukan
berkurangnya volume pengeluaran urine, yang berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot otot
menelan.
6) B6 (bone)
Adanya kelemahan otot otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.
e. Pemeriksaan diagnostik
Edrofonium (dosis awal 2 mg, dilanjutkan 8 mg, 30 detik kemudian)
diberikan secara IV sebagai tes untuk membedakan kedua tipe. Jika pada
krisis miastenik klien tetap mendapat pernafasan buatan, antikolinesterase
tidak diberikan dahulu, karena obat obat ini dapat memperbanyak sekresi
saluran nafas dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik.setelah
krisis terlampaui, obat obat dapat mulai diberikan secara bertahap dan
sering kali dosis dapat diturunkan.
Pada krisis kolinergik klien dipertahankan mendapatkan ventilasi
artivisial obat obatan antikolinergik dihentikan dan dapat diberikan atrofin
1 mg IV serta dapat diulang.

2. Diagnosa keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot


pernafasan.

b. Jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan sekret kemampuan


batuk menurun.

c. Risiko tinggi aspirasi yang berhubugan dengan penurunan kontrol torsedak


dan batuk efektif.

d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan


ketidakmampuan menelan.
e. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot otot
volunter

f. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan disfonia, gangguan


berbicara.

g. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan


komunikasi verbal.

3. Perencanaan

Gangguan citra diri b.d adanya ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal


Tujuan: Citra diri klien meningkat
Kriteria: Mampu menyatakan atau mengomunikasikan dengan orang terdekat
tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan
diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negative.
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari Menentukan bantuan individual dalam menyusun
gangguan persepsi dan rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
hubungan dengan derajat
ketidakmampuan.
Identifikasi arti dari Beberapa klien dapat menerima dan mengatur
kehilangan atau disfungsi perubahan fungsi secara efektif dengan sedikit
pada klien. penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai
kesulitan membandingkan mengenal dan mengatur
kekurangan.
Catat ketika klien Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau
terpengaruh seperti sekarat perasaan negatif terhadap gambaran tubuh dan
atau mengingkari dan kemampuan yang menunjukan kebutuhan dan
menyatakan inilah intervensi serta dukungan emosional.
kematian.
Persyaratan pengakuan Membantu klien untuk melihat bahwa perawat
penolakan tubuh, menerima kedua bagian sebagai bagian dari seluruh
mengingatkan kembali fakta tubuh. Mengizinkan klien untuk merasakan adanya
kejadian tentang realitas harapan dan mulai menerima situasi baru.
bahwa masih dapat
menggunakan sisi yang
sakit dan belajar mengontrol
sisi yang sehat.
Bantu dan anjurkan Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan
perawatan yang baik dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
memperbaiki kebiasaan.
Anjurkan orang yang Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
terdekat untuk mengizinkan membantu perkembangan harga diri serta
klien melakukan sebanyak memengaruhi proses rehabilitas.
banyaknya hal untuk
dirinya.
Dukung perilaku atau usaha Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan
seperti peningkatan minat pengertian tentang peran individu masa mendatang.
atau partisipasi dalam
aktivitas rehabilitas.
Monitor gangguan tidur Dapat mengindikasikan terjadinya depresi umumnya
peningkatan kesulitan terjadi sebagai pengaruh dari struk dimana
konsentrasi , lethargi, dan memerlukan intervensi dan evaluasi lebih lanjut.
menarik diri.
Kolaborasi : rujuk pada ahli Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting
neuropsikologi dan untuk perkembangan perasaan.
konseling bila ada indikasi

G. Asuhan Keperawatan Klien dengan Parkinson


Parkinsonisme merupakan istilah dari suatu sindrom yang ditandai dengan
tremor ritmik, bradikinesia, kekuan otot, dan hilangnya refleks-refleks postural.
Kelamin pergerakan diakibatkan oleh defek jalur dopaminergik (produksi
dopamin) yang menghubungkan substansia nigra dengan korpus striatum (nukleus
kaudatus dan nukles lentikularis). Ganglia basalis adalah bagian dari sistem
ekstrapiramidal dan berpengaruh untuk mengawali, modulasi, dan mengakhiri
pegerakan sertamengatur gerakan-gerakan otomatis karakteristik yang muncul
berupa bradikinesia (perlambatan gerakan), tremor, dan, kekakuan otot.
Penyakit ini bersifat progresif lembat yang menyerang usia pertengahan
atau lanjut, dengan onset khas pada 50-an dan 60-an.

Lesi utama tampak menyebabkan hilangnya neuron pigmen, terutama neoron


didalam substansi nigra pada otak. (Substansi niga merupakan kumpulan nukleus
otak tengah yang memproyeksikan serabut-serabut korpus striatrum).
Salah satu neurotransniter mayor didaerah otak ini dan bagian-bagian lain
pada sistem persarafan pusat adalah dopamin, yang mempunyai fungsi penting
dalam menghambat gerakan pada pusat kontrol gerakan. Walaupun dopamin
normalnya ada dalam konsentrasi tinggi di bagian-bagian otak tertentu, pada
penyakit parkinson dopamin dalam basal ganglia berhubungan dengan adanya
bradiknesia, kelakuan, tremor. Aliran darah serebral regional menurun pada klien
dengan penyakit parkinson, dan ada kejadian demensia yang tinggi. Data
patologik dan biokimia menunjukan bahwa klien demensia dengan penyakit
parkinson mengalami penyakit penyerta alzheimer.
Pada kebanyakan klien, penyebab penyakit tersebut tidak diketahui
parkinsonisme arteriosklerotik terlihat lebih sering pada kelompok usia lanjut
kondisi ini menyertai ensafalitas, keracunan, atau roksistas (mangan, karbon
monoksida), hipoksia atau dapat akibat pengaruh obat. Krisis menyertai parkinson
jenis pasca-ensefilitis otot-otot konrugasi mata
faktor predisposisi lesi di substansia
nigra faktor usia. Ateroskleretik. Post
ensefalitis, induksi obat. Dan
kehancuran logam berat

Dopamin menipis dalam


subslansia nigra dan korups
striatum

Kehilangan kelola dari substansi


nigra

Globus palidus mengeluarkan


impuls yang abnormal

Impuls globus palidus ini tidak


melakukan inhhibisi terhadap
korkets piramidalis dan
ekstrapiramidalis

Kerusakan kontrol gerakan


voluntar yang memiliki
ketangkasan sesuai dan gerakan
otomatis

Aliran darah
Manifastasi Tremor ritmik
serebral regional Gangguan N. III Gangguan N. VIII
otonotonomi bradikesia
menurun
Gangguan Berkeringat, kulit Rigiditas Perubahan
Manifestasi konstraksi otot- deserebrasi
psikiatrik berminyak, wajah dan
otot bola mata sikap tubuh
sering dematitis, Perubahan gaya
Perubahan rasa lelah
kepribadian, Gangguan berjalan. Kekakuan Gangguan
psikosis, konvergensi berlebihan dan dalam beraktivitas citra diri
demensia, dan otot terasan
konfusi akut Pandangan kabur nyeri, hipotensi Hambatan
postural, mobilitas fisik
Kognitif dwon
Persepsi dwon Perubahan penurunan
Akut Dwon presepsi senson kemampuan Penurunan
batuk efektif aktivitas fisik umun
Kerusakan Resiko tinggi
komunikasi verbal.
Perubahan proses
kebersihan jalan Risiko konstipasi
pikir, koping napas tidak
individu tidak efektif. Risiko
efektif Gangguan
penurunan
eliminasi alvi
perfusi parifer.
Nyeri gangguan
ADL
Gambar G.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan Parkinson
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok usia lanjut, pada usia
50an dan 60-an), jenis kelamin (lebih banyak pada laki-laki), pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk menerima pertolongan
kesehatan adalah gangguan gerakan, kaku otot, tremor menyeluruh,
kelemahan otot, dan hilangnya refleks postural.
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis klien sering mengeluhkan adanya tremor, sering kali
pada salah satu tangan dan lengan, kemudian ke bagian yang lain, dan
akhirnya bagian kepala, walaupun tremor ini tetap unilateral.
Karakteristrik tremor dapat berupa: hambar, gerakan membalik
(pronasi-supinasi) pada lengan bawah dan telapak tangan serta jari-jari.
Keadaan ini meningkat jika klien sedang berkonsentrasi atau merasa
cemas dan muncul pada saat klien istirahat.
Keluhan lainnya pada penyakit meliputi adanya perubahan pada
sensasi wajah, sikap tubuh, dan gaya berjalan. Adanya keluhan
rigiditas deserebrasi, berkeringat, kulit berminyak dan sering
menderita dermatitis peboroik, sulit menelan, konstipasi, serta
gangguan kandungan kemih yang di perbesar oleh obat-obat
antikolinergik dan hipertrofi prostat.
2) Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan
obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, dan penggunaan obat-
obat antikolinergik dalam jangka waktu yang lama.
3) Riwayat penyakit keluarga
Walaupun penyakit Parkinson tidak ditemukan hubungan sebab
genetik yang jelas tetapi pengakuan adanya anggota generasi
terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus
diperlukan untuk melihat adanya komlikasi penyakit lain yang
dapat mempercepat progresifnya penyakit
d. Pengkajian psikososiospiritual
Perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit parkinson
adalah tanda depresi. Manifestasi mental muncul dalam bentuk penurunan
kognitif, presepsi, dan penurunan memori (ingatan). Beberapa menifestasi
priatrik (perubahan kepribadian, psikosis, demensis, konfusi akut)
umumnya terjadi pada lansia.
e. Pemeriksaan Fisik
Klien dengan penyakit parkinson umumnya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi berdikardia,
hipotensi, dan penurunan frekuensi pernafasan.
1) B1 (Breathing)
Gangguan fungsi pernafasan : berkaitan dengan hipoventilasi,
inaktivasi, aspirasi makan atau saliva, dan berkurangnya fungsi
pembersihan saluran nafas.
Inspeksi umum. Didapatkan klien batuk atau penurunan
kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, dan penggunaan otot bantu nafas.
Palipasi. Taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi. Adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru.
Aukultasi. Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stirdot,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada
klien dengan inaktivitas.
2) B2 (Blood)
Hipotensi postural: berkaitan dengan efek samping obat dan juga
gangguan pada pengaturan tekanan darah oleh sistem pernafasan
otonom. Rasa lelah berlebihan dan otot terasa nyeri : otot lelah karena
rigiditas.
3) B3 (Brain)
Inpeksi umum : didapatkan perubahan pada gaya berjalan, tremor
secara umum pada seluruh otak, dan kaku pada seluruh gerakan.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Tingkat kesadaran klien
biasanya compos dan juga bergantung pada aliran darah serebral
regional menurun yang mengakibatkan perubahan pada status kognitif
klien.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental: biasanya status mental
klien Mengalami perubahan yang berhubungan dengan penurunan
status kognitif penurunan presepsi, dan penurunan memori, baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
Pemeriksaan Saraf Kranial

Saraf I. Biasanya pada klien cedera tulang belakang tidak ada


kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan,
dimana sesuai tingkat usia yang tua biasanya klien dengan
penyakit Parkinson mengalami penurunan ketajaman
penglihatan.
Saraf III, IV, dan VI Gangguan saraf okulomotorius : sewaktu
melakukan konvergensi penglihatan menjadi kabur karena
tidak mempu mempertahankan kontrraksi otot-otot bola mata.
Gerakan kedua bola mata untuk menatapkan mata pada sesuatu
tidak selalu berjalan searah, yang sinkron dengan arah yang
berlawanan hanyalah gerakan kedua bola mata ke arah nasal.
Dalam gerakan itu, bola mata kini bergerak ke kanan dan bola
mata kanan bergerak ke kiri. Gerakan kedua bola mata ke arah
nasal dinamakan gerakan konvergen, yang terjadi karena kedua
otot rektus medialis (internus) berkontraksi.
Saraf V. Pada klien dengan penyakit Parkinson umumnya
didapatkan perubahan pada otot wajah. Adanya keterbatasan
otot wajah maka terlihat ekspresi wajah mengalami penurunan
dimana saat berbicara wajah seperti topeng (sering
mengedipkan mata).\
Saraf VII Presepsi pengecapan dalam batas normal.
Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli presepsi
berhubungan proses senilis dan penurunan aliran darah
regional.
Saraf XI dan X. Didapatkan kesulitan dalam menelan
makanan.
Saraf XII. Lidah simestris, tidak ada devisa pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal.
Penyajian Sistem Motorik. Inspeksi umum, didapatkan
Perubahan pada gaya berjalan, tremor secara umum pada seluruh
otot, dan kaku pada seluruh gerakan. Klien sering mengalami
regiditas deserebrasi.
Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
Keseimbangan dan Kordinasi. Didapatkan mengalami
gangguan karena adanya kelemahan otot, kelelahan,
perubahan pada gaya berjalan, tremor secara umum pada
seluruh otot, dan kaku pada seluruh gerakan.
Menifestasi utama penyakit Parkinson adalah
gangguan gerakan, kaku otot, tremor menyeluruh,
kelemahan otot, dan hilangnya refleks postural.
Anifestasi otonom penyakit Parkinson antara lain
adalah berkeringat, kulit berminyak, dan sering menderita
dermatitis seboroik, sulit menelan, konstipasi, dan
gangguan kandung kemih yang diperberat oleh obat-obat
antikolinergik dan hipertrofi prosat.
Pengkajian reflex. Terdapat kehilangan reflek
postural, jika klien mencoba untuk berdiri, kepala
cenderung ke depan dan berjalan dengan gaya seperti di
dorong. Kesulitan dalam berputar dan hilangnya
keseimbangan (salah satunya ke depan atau ke belakang)
dapat menimbulkan sering jatuh.
Pengkajian sistem sensorik. Sesuai berlanjutnya
usia, klien dengan penyakit Parkinson mengalami
penurunan terhadap sensorik secara progresif. Penurunan
sensorik yang ada merupakan hasil dari neuropati.
4) B4 (Bladder)
Penurunan reflex kandung kemih area perifer yang
dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien
secara umum. Klien mungkin mengalami inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, serta
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan
kontrol motoric dan postural. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
5) B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang sehbungan dengan intake nutrisi
yang kurang karena kelemahan fisik umum, kelelahan otot, dan
adanya tremor menyeluruh. Penurunan aktivitas umum klien
sering mengalami konstipasi.
6) B6 (Bone)
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelmahan,
kelelahan otot, serta tremor secara umum pula seluruh otot dan
kaku pada seluruh gerakan menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan pemenuhan aktivitas sehari-hari. Adanya
gangguan kesimbangan dan koordinasi dalam melakukan
pergerakan karena perubahan dan kaku pada seluruh gerakan
memberikan resiko pada trauma fisik bila melakukan aktifitas.
f. Pengkajian Penatalaksanaan Media
Sasaran tindakan adalah untuk merugikan transmisi depomin. Terapi obat-
obatan mencakup antihistamin, antikolinergik, amantidin, levodopa,
inhibitor monoamin oksidasi (MAO), dan antidepresi, beberapa obat-obat
ini menyebabkan efek samping psikiatrik pada lansia.
Antihistamin
Antihistamin mempunyai efek sedatif dan antikolinergik pusat
ringan, dapat membantu menghilangkan tumor.
Terapi Antikolinergik
Agens antikolinergik (triheksifenidil), prosiklidin, dan benzotropin
mesilat) efektif untuk mengontrol tremor dan Kekakuan Parkinson.
Obat-obatan ini dapat diginakan dalam kombinasi dengan
levodopa. Agens ini meniadakan aksi asetilkolin pada sistem
persarafan pusat. Efek samping mencakup Penglihatan kabur,
wajah memerah, ruam pada wajah, konstipasi, retansi urine, dan
kondisi akut. Tekanan intraokular dipantau ketat karena obat-obat
ini kontraindikasi pada klien dengan glaukoma sedikit sekalipun.
Klien-klien dengan hiperplasia prostatik dipantau terhadap adanya
tanda-tanda retensi urine.
Amantadin Hidrokhloridia
Amantadin Hidrokhloridia (symmetrel), agens-agens antivirus
yang diginakan pada awal pengobatan penyakit Parkinson untuk
menurunkan kekuatan, tremor, dan bradikinesia. Agens ini
diperkirakan bekerja melalui pelepasan dopamin dari daerah
penyimpanan didalam saraf. Reaksi efek samping terdiri atas
gangguan psikiatrik (perubahan prasaan hati, konfusi, halusinasi),
muntah, adanya tekanan pada epigasrtium, pusing, dan gangguan
penglihatan.
Terapi Lovodopa
Walaupun levodopa bukan untuk pengobatan, saat itu merupakan
agens yang paling efektif untuk pengobatan pada penyakit
Parkinson. Levodopa diubah dari (MD4)-dopa menjadi dopamin
pada basal ganglia. Seperti disebutkan di atas dopamin dengan
konsentrasi normal yang terdapat di dalam sel sel subtansi nigra
menjadi hilang yaitu pada klien dengan penyakit parkinson. Gejala
dapat hilang akibat kadar dopamin yang lebih tinggi yang ada
bersamaan dengan levodopa.
Derivate Ergoet-Agonis Dopamin
Agens-agen ini (bromokiptin dan pergolid) dianggap menjadi
agonis reseptor dopamine; agens ini bermanfaat bila ditambahkan
pada levodopa dan pada klien yang mengalami reaksi on-off
terhadap fluktuasi klinis ringan.
Inhibitor MAO
Eldepril adalah salah satu perkembangan dalam farmakoterapi
penyakit Parkiston. Obat ini mengghambat pemecahan dopamin
sehingga peningkatkan jumlah dopamin tercapai, tidak seperti
bentuk terapi lain agens ini secara nyata memperlambat progresi
penyakit.
Antidepresan
Antidepresan trisiklik dapat diberikan untuk mengurangi depresi
yang juga biasa terjadi pada penyakit parkiston.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Hambatan mobilitaS fisik yang berhubungan dengan kekakuan dan
kelemahan otot.
b. Kurang perawatan diri (makan, minum, berpakaian, higine) yang
berhubungan dengan tremor dan gangguan motoric.
c. Konstipasi yang berhubungan dengan medikasi dan penurunan aktifitas.
d. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
tremor, pelambatan dalam proses makan, serta kesulitan mengunyah dan
menelan.
e. Kerusakan komunikasi verbal yang berhungan dengan volume bicara,
perlambatan bicara, dan ketidak mampuan menggerakan otot-otot wajah.
f. Koping tidak efektif yang berhungan dengan depresi dan disfungsi karena
perkembangan penyakit.
3. Perencanaan

Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kekakuan dan


kelemahan otot

Tujuan : dalam 2x-24jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.

Kriteria : klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur
sendi, bertambahnya kekuatan otot, dan klien menunjukan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.

Intervensi Rasionalisasi

Kaji mobilitas yang ada dan Mengetahui tingkat kemampuan klien


observasi terhadap peningkatan dalam melakukan aktivitas
kerukakan. Kaji secara teratur fungsi
motorik.

Lakukan program latihan Meningkatkan koordinasi dan


meningkatkan kekuatan otot. ketangkasan, menurunkan kekakuan otot
dan mencegah kontraktur bila otot tidak
digunakan.

Lakukan latihan postural. Latihan postural untuk melawan


kecenderungan kepala dan leher tertarik ke
depan dan kebawah.

Ajarkan teknik berjalan khusus: Teknik berjalan khusus dapat juga


dipelajari untuk mengimbangi gaya
Ajarkan untuk berkonsentrasi
berjalan menyeret dan kecenderungan
berjalan tegak , memandang lurus
tubuh condong kedepan
kedepan, dan menggunakan cara
berjalan dengan dasar lebar
(misalnya berjalan dengan kaki
terpisah)
Klien dianjurkan untuk latihan
berjalan serupa dengan barisan
musik marching atau suara dengan
irama lagu, karena hal ini
memberikan rangsangan sensori
Latihan bernafas sambil berjalan
membantu untuk menggerakan
rangka tulang rusuk dan transport
oksigen untuk mengisi bagian paru-
paru yang miskin oksigen
Periode istirahat yang sering untuk
membantu pencegahan frustasi dan
kelelahan

Anjurkan mandi hangat dan massase Mandi hangat dan masase membantu otot-
otot otot rileks pada aktifitas aktif dan pasif
serta mengurangi nyeri otot akibat spasme
yang mengakibatkan kekakuan

Bantu klien melakukan latihan ROM, Untuk memelihara fleksibelitas sendi


perawatan diri sesuai toleransi sesuai kemampuan
Kolaburasi dengan ahli fisioterapi Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi
untuk latihan fisik klien ekstremitas dapat ditingkatkan dengan
latihan fisik dari tim fisioterapis

H. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Alzheimer


Penyakit Alzheimer adalah penyakit degenerasi neuron kolinergik yang
merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia
65 tahun keatas. Penyakit Alzheimer ditandai dengan hilangnya ingatan dan
fungsi kognitif secara progresif. Penyebab degenerasi neuron kolinergik pada
penyakit Alzheimer tidak diketahui. Sampai sekarang belum satupun penyebab
penyakit ini diketahui, tetapi ada tiga kategori utama pengenai penyebabnya: 1)
virus lambat, 2) proses auto imun, 3) keracunan aluminium (Prince dan Wilson,
1995).

Predisposisi genetik juga ikut berperan dalam perkembangan penyakit


Alzheimer. Diperkirakan 10%-30% dari penderita Alzheimer menunjukan tipe
yang diwariskan dan dinyatakan sebagai penyakit Alzheimer familia (familia
Alzheimer didease-FAD)

Dipihak lain, benzodiazepindibuktikan mengganggu fungsi kognitif selain


memiliki efek ansietas, mungkin melalui reseptor GABA yang menghambat lepas
muatan neuron-neuron kolinergik di nucleus basalis.terdapat bukti-bukti awal
bahwa obat menghambat reseptor GABA memperbaiki ingatan.

1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok usia lanjut 50%
populasi berusia 85 tahun) jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis
medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta bantuan
kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan
kelumpuhan gerak ekstremitas.
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis klien mengeluhkan sering lupa dan hilangnya ingatan
yang baru. Pada beberapa kasus, keluarga sering mengeluhkan bahwa
klien sering mengalami bertingkah laku aneh dan kacau serta sering
keluar rumah sendiri tanpa mengatakan pada anggota keluarga yang
lain sehingga sangat meresahkan anak-anak yang menjaga klien.
Pada tahap lanjut dari penyakit, keluarga sering mengeluhkan
bahwa klien menjadi tidak dapat mengatur buang air, tidak dapat
mengurus keperluan dasar sehari-hari, atau mengenali anggota
keluarga.
Faktor predisposisi : virus lambat. Proses
autorium, keracunan alumunium, dan genetik

Penurunan metabolisme dan aliran darah di


korteks parietalis superior

Degenerasi neuron koligenerik

Kekusututan neurofibrial yang difus Hilangnya serat saraf koligenerik di


korteks serebrum

Kelainan
Terjadi plak neurotransmiter Penurunan sel neuron
senilis koligenetik yang berproyeksi ke
hipokampus dan amigadal

Asetilkolin pada otak

Dimensi
a

Perubahan kemampuan Tingkah laku aneh dan


merawat diri sendiri Kehilangan kemampuan menyelesaikan kacau, dan cenderung
masalah : perubahan mengawasi keadaan mengembara.
yang kompleks dan berfikir abstrak : Mempunyai dorongan
1.Defisit perawatan diri Labil, pelupa, apatis melakukan kekerasan
(makan, minum,
berpakaian, dan higien
2. resiko tinggi
3. perubahan proses pikir trauma
7. Perubahan nutrisi, 4. kerusakan interaksi sosial
kurang dari kebutuhan 5. kerusakan komunikasi verbal
tubuh 6. koping tidak efektif

Gambar H.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan Alzheimer

2) Riwayat penyakit dahulu


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
diabetes melistus, penyakit jantung, penggunaan obat-obat antiansietas
(benzodiazepine), penggunaan obat-obatan antikolinergik dalam
jangka waktu yang lama dan mengalami sindrom dwon yang pada
suatu saat kemudian menderita penyakit Alzheimer saat usia
40tahunan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit Alzheimer ditemukan hubungan sebab genetic yang jelas.
Diperkirakan 10%-30% darib klien Alzheimer menunjukan tipe yang
diwariskan, dan dinyatakan sebagai penyakit Alzheimer familia (FAD).
Penggkajian adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes mellitus diperlukan untuk melihat adanya
komplikasi penyakit lain yang dapat mempercepat progresifnya
penyakit.
d. Pengkajian psikososiospiritual
Perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit Alzheimer adalah
penurunan kognitif dan menurunan memori (ingatan).
e. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien dengan penyakit Alzheimer umumnya mengalami
penurunan kesadaran sesuai dengan degenerasi neuron kolinegik dan
proses senilisme. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi
bradikardia, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernafasan
1) B1 (Breathing)
Gangguan fungsi pernafasan : berkaitan dengan hipoventilasi,
inaktivitas, aspirasi makanan atau saliva, dan berkurangnya fungsi
pembersihan saluran nafas.
a) Inspeksi. Didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan
untuk batuk efektif , peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas.
b) Palpasi. Taktil premitus seimbang kanan kiri
c) Perkusi. Adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru
d) Auskultasi . bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor,
ronkhi, pada klien dengan peningkatan produksi secret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering di dapatkan pada
klien dengan inaktivitas.
2) B2 (Blood)
Hipotensi postural: berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan
juga gangguan pada pengaturan tekanan darah oleh system pernafasan
otonom
3) B3 (Brain)
Inspeksi umum, didapatkan berbagai manifestasi akibat perubahan
tingkah laku.
Pengkajian Tingkat Kesehatan. Tingkat kesadaran klien biasanya
apatis dan juga bergantung pada perubahan status kognitif klien.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental: biasannya status
mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan
penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori,
baik jangka pendek maupun memory jangka panjang.
Pengkajian Saraf Kranial

Saraf I. Biasanya pada klien penyakit Alzheimer tidak ada kelainan


dan fungsi penciuman.

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan, yaitu


sesuai dengan keadaan usia lanjut biasanya klien dengan penyakit
Alzheimer mengalami penurunan ketajaman penglihatan.

Saraf III, IV, dan VI, pada beberapa kasus penyakit Alzheimer
biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini.

Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal.

Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi behubungan


proses senilis serta penurunan aliran darah regional.

Saraf IX dan X. Didapatkan kesulitan dalam menelan makanan


yang berhubungan dengan perubahan status kognitif.

Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan


trapezius.

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal

Pengkajian Sistem Motorik. Inspeksi umum, pada tahap lanjut


klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada fungsi motorik
secara umum.
Tonus Otot. Didapatkan meningkat.

Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan


karena adanya perubahan status kognitif dan ketidak kooperatifan
klien dengan metode pemeriksaan.

Pengkajian Refleks. Pada tahap lanjut, penyakit Alzheimer sering


mengalami kehilangan refleks postural, apabila klien mencoba untuk
berdiri dengan kepala cenderung ke depan dan berjalan dengan gaya
berjalan seperti didorong. Kesulitan dalam berputar dan hilangnya
keseimbangan (salah satunya ke depan atau ke belakang) dapat
menyebabkan klien sering jatuh.

Pengkajian Sistem Sensorik. Sesuai berlanjutnya usia, klien


dengan penyakit Alzheimer mengalami penurunan terhadap sensasi
sensorik secara progresif. Penurunan sensori yang ada merupakan hasil
dari neuropati perifer yang dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan
persepsi klien secara umum.

4) B4 (Bladder)
Pada tahap lanjut, beberapa klien sering mengalami inkontinensia
urine, biasanya berhubungan dengan penurunan status kognitif dari
klien Alzheimer. Penurunan refleks kandung kemih yang bersifat
progresif dan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidak
mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril.
5) B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan intake nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif.
Penurunan aktivitas umum klien sering mengalami konstipasi.
6) B6 (Bone)
Pada tahap lanjut, biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif
menyebabkan masalah pola dan pemenuhan aktivitas sehari-hari.
Adanya gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan
pergerakan karena perubahan pada gaya berjalan dan kaku pada
seluruh gerakan memberikan risiko pada trauma fisik jika melakukan
aktivitas.
f) Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis penyakit Alzheimer rumit karena tidak adanya uji definitif.
Pemeriksaan rutin yang biasanya dilakukan meliputi pemeriksaan hitung
sel darah lengkap dan pemeriksaan elektronik serum.
CT scan mungkin memperlihatkan pelebaran ventrikel dan atrofi
korteks serta memastikan tidak terdapat tumor, abses otak, atau hematoma
subdural kronik yang dapat diatasi.
g) Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Penanganan pasien dengan penyakit Alzheimer melibatkan baik pasien
maupun keluarga. Obat penenang dan antidepresan dapat berguna dalam
mengendalikan tingkah laku pasien. Pelayanan kesehatan rawat jalan
untuk kesehatan keluarga dibutuhkan oleh keluarga pasien sewaktu
keadaan pasien semakin memburuk dan memerlukan perawatan total.
Anggota keluarga harus tetap menjaga agar pasien tidak melukai
orang lain. Memburuknya keadaan dapat diperkirakan dan terjadi setelah
3-10 tahun. Pada tahap lanjut dari penyakit, pasien menjadi tidak dapat
mengatur buang air, tidak dapat mengurus keperluan dasar sehari-hari,
atau mengenali anggota keluarga. Kematian biasanya disebabkan oleh
inspeksi atau malnutrisi.
2. Diagnosis Keperawatan

a. Kurang perawatan diri (makanan, minuman, berpakaian, higiene) yang


berhubungan dengan perubahan proses pikir.

b. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan


asupan tidak adekuat, perubahan proses pikir.

c. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan perubahan proses


pikir,

d. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan perubahan proses pikir dan
disfungsi karena perkembangan penyakit.

3. Perencanaan
Kurang perawatan diri (makanan, minum, berpakaian, higiene) yang
berhubungan dengan perubahan proses pikir
Tujuan: dalam waktu 2 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan dalam pemenuhan
perawatan diri.
Kriteria: klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat
diri dan mengindentifikasi personal/keluarga yang dapat membantu.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan dan tingkat Membantu dalam mengantisipasi dan
penurunan dalam melakukan ADL. merencanakan pertemuan kebutuhan
individual.
Hindari apa yang tidak dapat Klien dalam keadaan cemas dan hal ini
dilakukan klien dan bantu bila perlu. dilakukan untuk mencengah frustasi dan
harga diri klien.
Ajarkan dan dukung klien selama Dukungan pada klien selama aktivits
aktivitas. kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan
perawatan diri.
Rencanakan tindakan untuk defisit Klien akan mampu melakukan aktivitas
motorik seperti tempatkan makanan sendiri untuk memenuhi perawatan dirinya.
dan peralatan di dekat kien agar
mampu sendiri mengambilnya.
Modifikasi lingkungan. Modifikasi lingkungan diperlukan untuk
mengompensasi ketidakmampuan fungsi.
Gunakan pagar di sekeliling tempat Penggunakan pagar di sekeliling tempat
tidur. tidur, baik tempat tidur di rumah sakit
maupun di rumah, atau sebuah tali yang
dikaitkan pada kaki tempat tidur untuk
memberi bantuan dalam mendorong diri
untuk bangun tanpa bantuan orang lain serta
mencengah klien mengalami trauma.
Kaji kemampuan komunikasi untuk Ketidakmampuan berkomunikasi dengan
BAK. Kemampuan mengunakan perawat dapat menimbulkan masalah
urinal, pispot. Antarkan ke kamar pengosongan kandung kemih karena
mandi bila kondisi memungkinkan. masalah neurogenik.
Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan Meningkatkan latihan dan menolong
minum, dan meningkatkan aktivitas. mencegah konstipasi.
Kolaborasi:
Pemberian supositoria dan pelumas Pertolongan utama terhadap fungsi usus
feses/pencahar; atau defekasi.
Konsul ke dokter terapi okupasi. Untuk mengembangkan terapi dan
melengkapi kebutuhan khusus.

I. Asuhan Keperawatan Klien dengan Multipel Sklerosis


Multipel sklerosis merupakan salah satu ganguan neurologis yang paling
sering ditemukan pada usia muda. Kasus ini sedikit lebih banyak menyerang
wanita dibandingkan pria. Usia rata-rata penderita penyakit ini adalah 30 tahun,
dengan batas antara 18 sampai 40 tahun. Sklerosis ditandai dengan bercak
kerusakan mielin yang terbesar, diikuti dengan gliosis dari substansia alba sistem
persarafan. Sifat perjalanan penyakit merupakan serangkaian serangan pada
berbagai bagian sistem persarfan pusat. Setiap serangan memperlihatkan derajat
remisi tertentu, tetapi secara menyeluruh gambarannya adalah ke arah yang buruk
(Brunner dan Suddart, 2002). Penyebab pasti masih belum diketahui.
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok dewasa muda, antara 18
sampai 40 tahun), jenis kelamin (lebih sering menyerang wanita
dibandingkan dengan pria), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta bantuan medis
adalah kelemahan anggota gerak, penurunan daya ingat, gangguan
sensorik, dan penglihatan.
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis sering klien mengeluhkan parestesia (baal, perasaan
geli, perasaan mati atau tertusuk-tusuk jarum dan peniti),
kekaburan penglihatan, lapang pandang yang makin menyempit, dan
klien sering mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara
spontan terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Merasa
lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas
kaki yang sebelah terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali.
Pada beberapa kasus keluarga sering mengeluhkan bahwa klien
sering mengalami bertingkah laku euforia, suatu perasaan senang yang
tidak realistis. Ini diduga disebabkan terserangnya substansia alba
lobus frontalis. Pada tahap lanjut dari penyakit, sering mengeluhkan
retensi akut dan inkontinensia.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat infeksi
virus pada masa kanak-kanak yang menyebabkan multipel sklerosis
pada waktu mulai menginjak masa dewasa muda. Virus campak
(rubela) diduga sebagai virus penyebab penyakit ini.
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan di antara keluarga yang
pernah menderita penyakit tersebut, yaitu kira-kira 5-8 kali lebih sering
pada keluarga dekat. Masih dipertanyakan apakah meningktkan kasus
pada keluarga diakibatkan oleh predisposisi genetik (tidak terdapat
pola herediter).
Faktor predisposisi: virus, respons autoimun, dan genetik

Edema dan degenerasi mielin

Demielinisasi yang mengkerut menjadi multiple plak

Lesi sklerosis multipel terjadi pada substansia alba SSP

Demielinasi

Terhentinya alur impuls saraf

Saraf optik dan


Serebelum dan Sereblum Medula spinalis
khiasma
batang otak
Gangguan
penglihatan
Nistagmus Disfungsi serebral Gangguan
Lesi
kortiko sensorik,
spinalis kelemahan
Ataksia serebral Hilangnya daya spastik
Risiko tinggi
ingat dan anggota
trauma
dimensia, gerak
gangguan afek
Kerusakan Disartia Hambatan
Perubahan
komunikasi mobilitas
eliminasi
verbal fisik
urinarius,
risiko
terhadap
Perubahan disfungsi
kemampuan Eforia; Kehilangan kemampuan Tirah
seksual
merawat diri sendiri menyelesaikan masalah; baring lama
perubahan mengawasi keadaan
yang kompleks dan berpikir
abstrak; emosi labil, pelupa, Koping
apatis; loss deep memory keluarga
tidak efektif, Risiko
Defisit perawatan diri perubahan
(makan, minum, tinggi
peran dalam kerusakan
berpakaian, higiene), keluarga
perubahan nutrisi, Perubahan proses pikir, integritas
kurang dari kebutuhan kerusakan interaksi sosial, jaringan
tubuh koping tidak efektif
d. Pengkajian psikososiospiritual
Perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit multipel sklerosis
adalah adanya gangguan afek, berupa eforia. Keluhan lain yang
melibatkan gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya ingat dan
demensia.
e. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien dengan multipel sklerosis umumnya tidak
mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda
vital, meliputi bradikardia, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernapasan
berhubungan dengan bercak lesi di medula spinalis.
1) B1 (Breathing)
Pada umumnya, klien dengan multipel sklerosis tidak mengalami
gangguan pada sistem pernapasan. Pada beberapa klien yang telah
lama menderita multipel sklerosis dengan dampak dari tirah baring
lama, mengalami gangguan fungsi pernapasan. Pemeriksaan fisik yang
didapat mencakup hal-hal sebagai berikut.

Inspeksi Umum. Didapatkan klien batuk atau penurunan


kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, dan penggunaan otot bantu napas.

Palpasi. Taktil premitus seimbang kanan dan kiri

Perkusi. Adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru.

Auskultsi. Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,


ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada
klien dengan inaktivitas.

2) B2 (Blood)

Pada umumnya klien dengan multipel sklerosis tidak mengalami


gangguan pada sistem kardiovaskular. Akibat dari tirah baring lama
dan inaktivitas biasanya klien mengalami hipotensi postural.

3) B3 (Brain)
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Tingkat kesadaran klien
biasanya compos mentis.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status Mental: biasanya status
mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan
penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori,
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Adanya gangguan afek
berupa euforia merupakan tanda khas pada klien multipel sklerosis.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian ini meliputi pengkajian
saraf kranial I-XII.

Saraf I. Biasanya pada klien multipel sklerosis tidak memiliki


kelainan fungsi penciuman.

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan


penurunan ketajaman penglihatan. Sejumlah besar klien menderita
ganguan penglihatan sebagai gejala awal. Dapat terjadi kekaburan
penglihatan, lapang pandang yang abnormal dengan bintik buta
(skotoma) baik pada salah satu maupun pada kedua mata. Salah
satu mata mungkin mengalami kebutaan total. Gangguan visual ini
mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Lesi pada batang
otak yang menyerang nukleus atau serabut traktus dari otot-otot
ekstraokular dan nistagmus (gerakan osilasi bola mata yang cepat
dalam arah horizontal atau vertikal).

Saraf III, IV, dan VI, Pada beberapa kasus penyakit multipel
sklerosis biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini.

Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli


persepsi.

Saraf IX dan X. Didapatkan kesulitan dalam menelan makanan


yang berhubungan dengan perubahan status kognitif (klien tidak
kooperatif).
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Berikut ini dijelaskan beberapa
pengkajian sistem motorik.

Kelemahan spastik anggota gerak, dengan manifestasi berbagai


gejala, meliputi kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau
berbagai secara asimetris pada keempat anggota gerak.

Merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan
terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju, serta pengontrolan
yang buruk.

Klien dapat mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara


spontan terutama jika klien sedang berada di tempat tidur.

Keadaan spastis yang lebih berat disertai spasme otot yang nyeri.

Pengkajian Refleks. Berikut dijelaskan beberapa pengkajian


refleks.

Refleks tendon hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada.

Respons plantar berupa ekstensor (tanda Babinski). Tanda ini


merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal.

Pengkajian Sistem Sensorik. Gangguan sensorik. Parestesia


(baal, perasaan geli, perasaan mati rasa atau tertusuk-tusuk jarum
dan peniti). Jika lesi terdapat pada kolumna posterior medula spinalis
servikalis, fleksi leher menyebabkan sensasi seperti syok (tanda
Lhermitte). Gangguan proprioseptif sering menimbulkan ataksia
sensorik dan inkoordinasi lengan. Sensani getar sering kali
menghilang.

4) B4 (Bladder)
Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortikospinalis
menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan,
frekuensi dan urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas
kandung kemih yang spastis. Selain itu juga timbul retensi akut dan
inkontinensia
5) B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif.
Penurunan aktivitas umum klien sering mengalami konstipasi.
6) B6 (Bone)
Pada beberapa keadaan klien multipel sklerosis biasanya didapatkan
adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan spastik anggota
gerak. Kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi
secara asimetris pada keempat anggota gerak. Merasa lelah dan berat
pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang
sebelah terseret maju, dan pengontrolan yang kurang sekali. Klien
dapat mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan
terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan spastis
yang lebih berat disertai dengan spasme otot yang nyeri. Adanya
gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan pergerakan
karena perubahan pada gaya berjalan dan kaku. Pada seluruh gerakan
memberikan risiko pada trauma fisik bila melakukan aktivitas.
Risiko dari multipel sklerosis terhadap sistem ini berupa
komplikasi sekunder, seperti risiko kerusakan integritas jaringan kulit
(dekubitus) akibat penekanan setempat dari tirah baring lama,
deformitas kontraktur, dan edema dependen pada kaki.
f. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS biasanya mengungkap adanya
ikatan oligoklonal (beberapa pita imunoglobulin gamma G [IgG]), yang
menunjukkan abnormalitas imunoglobulin. Dalam kenyataannya, antibodi
IgG normal terlihat pada CSS klien sampai 95% klien multiple sklerosis.
Pemeriksaan potensial bangkitan dilakukan untuk membantu memastikan
luasnya proses penyakit dan memantau perubahan.
CT scan dapat menunjukkan atrofi serebral. MRI menjadi alat
diagnostik utama untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk
mengevaluasi perjalanan penyakit dan efek pengobata. Disfungsi kandung
kemih yang mendasari didiagnosis dengan pemeriksaan urodinamik.
Pengujian neuropsikologik dapat diindikasikan untuk mengkaji kerusakan
kognitif. Riwayat seksual membantu untuk mengindentifikasi hal-hal
kekhawatiran khusus.
g. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
1) Farmakoterapi
Kortikostreroid dan ACTH digunakan sebagai agens anti inflamasi
yang dapat meningkatkan konduksi saraf. Oleh karena mekanisme
imun merupakan faktor patogenesis multipel sklerosis, maka sejumlah
agens farmakologik dicoba untuk modulasi respons imun, menurunkan
kecepatan perkembangan penyakit dan serangan yang sering, dan
menurunkan keadaan yang semakin buruk. Obat-obat ini mencakup
azatioprin, siklofosfamid, dan interferon.
Beta interferon (betaseron) disetujui untuk digunakan dalam
perjalanan relapsing-remitting. Betaseron telah diketahui efektif dalam
menurunkan secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi akut
dengan pemindaian MRI yang menunjukkan area demielinasi yang
lebih kecil pada jaringan otak. Obat ini merupakan obat baru yang
dapat menjanjikan untuk disediakan bagi pengobatan multipel
sklerosis, meskipun telah ratusan kali dicoba.
Modalitas lain (misal radiasi, kopolimer 1 dan kladribin) saat ini
masih diteliti sebagai pengobatan yang mungkin untuk bentuk multipel
sklerosis progresif.
Baklofen, sebagai agens antispasmodik merupakan pengobatan
yang dipilih untuk spastisitas. Klien dengan spastisitas berat dan
kontraktur memerlukan blok saraf dan intervensi pembedahan untuk
mencengah kecacatan lebih lanjut.
2. Diagnosis Keperawatan

a. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan, paresis,


dan spastisitas.

b. Risiko tinggi kontraktur sendi yang berhubungan dengan penurunan


aktivitas sekunder hambatan mobilitas fisik.
c. Risiko terhadap cedera yang berhubungan dengan kerusakan sensori dan
penglihatan.

d. Defisit perawatan diri (makan, minum, berpakaian, higiene) yang


berhubungan dengan perubahan kemampuan merawat diri sendiri,
kelemahan fisik spastis.

e. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan


asupan nutrisi tidak adekuat.

f. Perubahan eliminasi urine dan fekal yang berhubungan dengan disfungsi


medula spinalis.

g. Risiko tinggi kerusakan integritas jaringan yang berhubungan tirah baring


lama.

h. Perubahan proses pikir (kehilangan memori, demensia, euforia) yang


berhubungan dengan disfungsi serebral.

i. Kerusakan penatalaksannan pemeliharaan dirumah yang berhubungan


dengan keterbatasan fisik, psikologis, dan sosial.

j. Risiko disfungsi seksual yang berhubungan dengan keterlibatan atau reaksi


psikologis terhadap kondisi.

3. Perencanaan

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan


spastisitas
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai
dengan kemampuannya.
Kriteria: klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi,
bertambahnya kekuatan otot, klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan
mobilitas.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji mobilitas yang ada dan observasi Mengetahui tingkat kemampuan klien
terhadap peningkatan kerusakan. Kaji dalam melakukan aktivitas.
secara teratur fungsi motorik.
Modifikasi peningkatan mobilitas fisik. Relaksasi koordinasi latihan otot
meningkatkan efisiensi otot pada klien
multipel sklerosis. Latihan secara progresif
digunakan untuk menguatkan otot yang
lemah, karena penurunan kekuatan otot
adalah masalah signifikan untuk klien ini.
Anjurkan teknik aktivitas dan teknik Klien di anjurkan untuk melakukan
istirahat. aktivitas melelahkan dalam waktu singkat.
latihan fisik yang giat tidak dianjurkan
karena hal itu meningkatkan suhu tubuh
dan dapat menimbulkan gejala yang lebih
buruk. Lamanya latihan yang melelahkan
ekstremitas dapat menyebabkan paresis,
kebas, atau tidak ada koordinasi. Klien
dianjurkan untuk tetap sering beristirahat
pada periode pendek, dan berbaring lebih
disukai. Kelelahan yang berlebihan dapat
berhubungan dengan faktor penyebab
gejala eksaserbasi.
Ajarkan teknik latihan jalan. Latihan berjalan meningkatkan gaya
berjalan, karena umumnya pada keadaan
tersebut kaki dan tapak kaki kehilangan
sensasi positif. Jika kelompok otot yang
terpengaruh tidak dapat sembuh maka otot-
otot lain dapat dicoba untuk melakkan aksi.
Ubah posisi klien tiap 2 jam. Menurunkan risiko terjadinya iskemia
jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek
pada daerah yang tertekan.
Ajarkan klien untuk melakukan latihan Gerakan aktif memberikan massa, tonus,
gerak aktif pada ekstremitas yang tidak dan kekuatan otot serta memperbaiki
sakit. fungsi jantung dan pernapasan.
Lakukan gerak pasif pada ekstremitas Otot volunter akan kehilangan tonus dan
yang sakit. kekuatannya bila tidak dilatih untuk
digerakkan.
Bantu klien melakukan latihan ROM, Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai
perawatan diri sesuai toleransi. kemampauan.
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi
untuk latihan fisik klien. ekstremitas dapat ditingkatkan dengan
latihan fisik dari tim fisioterafis.

J. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Tumor Intrakranial


Tumor intrakranial diantaranya lesi desak ruang jinak maupun ganas, yang
tumbuh diotak, meningen, dan tengkorak. Tumor otak menyebabkan
neurologis progresif. Gangguan neurologis pada tumor otak biasanya
dianggap disebabkan oleh 2 faktor, yaitu gangguan vokal karena tumor dan
kenaikan tekanan intrakranial.
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
dan adanya gangguan fokal. Seperti nyeri kepala hebat, muntah muntah,
kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya keluhan nyeri kepala, mual, muntah, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran dengan pendekatan PQRST. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan didalam intra kranial. Keluhan perubahan perilaku
juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi
letargik, tidak responsif, dan koma.
2) Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat nyeri kepala pada masa sebelumnya. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan
untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Gambar J.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan Tumor Intrakranial

3) Riwayat penyakit keluarga


Kaji adanya hubungan keluhan tumor intrakranial pada generasi
terdahulu.
c. Pengkajiaan psikososiospiritual
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep
diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, tidak kooperatif. Poila penanganan setres, klien biasanya
menangani kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses
berpikir dan kesulitaan berkomunikasi. Pola tata nilai dan kepercayaan,
klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang
tidak stabil, dan kelemahan / kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
d. Pemeriksaan fisik
1) B1 ( breathing)
Infeksi : pada keadaan lanjut yang disebabkan adanya kompresi pada
medula oblongata didapatkan adanya kegagalan pernafasan. Pada klien
tanpa kompresi medula oblongata pada pengkajian infeksi pernafasan
tidak ada kelainan. Palpasi torak didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi nafas tambahan.
2) B2 (blood)
Pada keadaan lanjut yang disebabkan adanya kompresi pada medula
oblongata didapatkan adanya kegagalan sirkulasi pada klien tanpa
kompresi medula oblongata pada pengkajian tidak ada kelainan.
Tekanan darah biasanya normal, dan tidak ada peningkatan beart rate.
3) B3 (brain)
Tomur intrakranial sering menyebabkan berbagai defisit neurologis,
bergantung pada gangguan fokla dan adanya peningkatan intrakranial.
Pengkajian tingkat kesadaran. Kualitas kesadaran klien
merupakan paremeter yang paling mendasar dan paremeter yang
paling penting yang membutuhkan pengkajian.tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesaran klien tumor intrakranial
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika
klien sudah mengalami koma, penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan
pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi status mental,
fungsi intelektual, dan lobus frontal.

Status mental. Observasi penampilan tingkah laku, nilai gaya


bicara, ekspresi wajah dan aktifitas motorik klien. Pada klien
intrakranial tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.

Fungsi intelektual. Didapatkan penurunan dalam ingatan dan


memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan
kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien
mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal
persamaan perbedaan yang tidak begitu nyata.

Lobus frontal. Tumor lobus frontalis memberi gejala perubahan


mental, hemiparesis, ataksia dan gangguan bicara.

Perubahan mental bermanifestasi sebagai perubahan ringan dalam


kepribadian. Beberapa klien mengalami periode depresi, bingung atau
periode ketika tingkah laku klien menjadi aneh.

Perubahan yang paling sering adalah perubahan dalam memberi


argumentasi yang sulit dari perubahan dalam memberi penilaian
tentang benar dan salah. Hemiparesis disebabkan oleh tekanan pada
area dan lintasan motorik di dekat tumor. Jika area motorik terlibat
akan terjadi epilepsi jackson dan kelemahan motorik yang jelas.
Tumor yang menyerang ujung bawah korteks prasentralis
menyebabkan kelemahan pada kaki dan ekstremitas bawah.

Tumor pada lobus frontalis dapat mengakibatkan gaya berjalan yan


g tidak mantap, sering dijumpai ataksia serebelum. Jika lobus frontalis
kiri atau yang dominan terkena, akan terlihat adanya afasia dan
apraksia.

Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika


kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, meori atau fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini
dapat ditunjukan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitas mereka.
Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestaskan oleh
emosi yang labil, bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerjasama.

Pengkajian saraf kranial

Saraf I. Pada klien tumor intra kranial yang tidak mengalami


kompresi saraf ini tidak memiliki kelainan pada fungsi penciuman.

Saraf II. Gangguan lapang pandang disebabkan lesi pada bagian


tertentu dari lintasan visual.

Papiledema disebabkan oleh statis vena yang menimbulkan


pembengkakan papila saraf optikus, jika terlihat pada pemeriksaan
fundus kopi, tanda ini mengisyaratkan peningkatan tekanan
intrakranial. Sering kali sulit untuk menggunakan tanda ini sebagai
diagnosis tumor otak karena pada beberapa individu fundus tidak
memperlihatkan edema meskipun tekanan intra kranial sangat
tinggi. Menyertai papiledema dapat terjadi gangguan pengelihatan,
termasuk pembesaran bintik buta dan amaurosis fugaks (saat
pengelihatan berkurang)

Saraf III, IV, VI. Adanya kelumpuhan unilateral atau bilateral daei
saraf VI memberikan manifestasi pada suatu tanda adanya
glioblastoma multiformis.

Saraf V. Pada keadaan tumor intra kranial yang tidak menekan


saraf trigeminus, tidak ada kelainan pada fungsi saraf ini, akan
didapatkan adanya paralis wajah unilateral.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah


asimetris, dan otot wajah tertarik kebagian sisi yang sehat.
Saraf VIII. Pada neurolema didapatkan adanya tuli persepsi. Tumor
lobus temporalis menyebabkan tinitus dan halusinasi pendengaran
yang munngkin diakibatkan iritasi korteks pendengaran temporalis
atau korteks yang berbatasan.

Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, dan terdapat


kesulitan membuka mulut.

Saraf XI. Tidak ada atrofi otot strenokkleidomastoideus dan


trapezius

Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecapan normal.

Pengkajian sistem motorik. Keseimbangan dan koordinasi, lesi


serebelum mengakibatkan gangguan pergerakan. Gangguan ini
bervariasi bergantung pada ukuran dan lokasi spesifik tumor dalam
serebelum. Gangguan yang paling sering dijumpai yang kurang
mencolok tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan tumor
serebelum adalah hipotonia (tidak adanya resistensi nornal terhadap
regangan atau perpindahan anggota tubuh dari sikap aslinya) dan
hipererektensibilitas sendi. Gangguan dalam koordinasi berpakaian,
merupakan ciri khas pada klien dengan tumor pada lobus temporalis.

Pengkajian refleks. Gerakan involunter: pada lesi tertentu yang


memberikan tekanan pada area fokal kortikal tertentu,biasanya
meyebabkan kejang umum, terutama pada tumor lobus oksipital.

Pengkajian sistem sensorik. Mungkin nyeri kepala merupakan


gejala umum yang paling sering dijumpai pada klien tumor otak. Nyeri
dapat digambarkan bersifat dalam ,terus menerus, tumpul dan kadang
kadang hebat sekali. Nyeri ini paling hebat waktu pagi dan menjadi
lebih hebat oleh aktivitas yang biasanya meningkatkan tekanan intra
kranial, seperti membungkuk, batuk, atau mengejan pada waktu buang
air besar. Nyeri kepala sedikit berkurang jika diberi aspirin dengaan
kompres dingin pada tempat yang sakit. Nyeri kepala dihubungkan
dengan tumor otak disebabkan oleh traksi dan pergeseran struktur peka
nyeri dalam rongga intra kranial.

Lokasi nyeri kepala cukup bernilai oleh karena sepertiga dari nyeri
kepala ini terjadi pada tempat tumor, sedangkan dua pertiga lainnya
terjadi didekat atau diatas tumor.

Nyeri kepala oksipital merupakan gejala pertama pada tumot frosa


posterior. Kira kira sepertiga lesi supratentorial menyebabkan nyeri
kepala frontal. Jika keluhan nyeri dikepala menyeluruh maka nilai
lokasinya kecil dan pada umumnya menunjukan pergeseran ekstensif
kandungan intrakranial yang meningkatkan tekanan intrakranial.

Tumor pada lobus parietalis korteks sensorik parietalis


mengakibatkan hilangnya fungsi sensorik kortikalis, gangguan
lokalisasi sensorik, diskriminasi dua titik, grafestesia, kesan posisi, dan
stereognosis.

4) B4 (bladder)
Inkontensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neulorogis
luas.
5) B5 (bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah fase akut. Mual dan muntah terjadi sebagai
akibat rangsangan pusat muntah pada medula oblongata. Muntah
paling sering terjadi pada anak anak dan berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial disertai pergeseran batang otak.
Muntah dapat terjadi tanpa didahului mual dan dapat berupa muntah
proyektil.
6) B6 (bone)
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori, dan mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas
dan istrirahat.
e. Pemeriksaan diagnostik
1) Radiogram tengkorak
Memberikan informasi yang sangat berharga mengenai struktur,
penebalan, dan klasifikasi, posisi kelenjar pineal yang mengapur dan
posisi seta tursika.
2) Elektroensefalogram
Memberikan informasi mengenai perubahan kepekaan neuron.
Pergeseran kandungan intraserebral dapat dilihat pada
ekoensefalogram. Pencitraan radioaktif memperlihatkan area
akumulasi abnormal zat radioaktif.

2. Diagnosis keperawatan

a. Radio tinggi peningkatan intrakranial berhubungan dengan desak ruang


oleh masa tumor intrakranial.

b. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kompresi pada pusat
pernapasan dimedula oblongata, kelemahan otot otot pernapasan, dan
kegagalan fungsi pernapasan.

c. Nyeri kepala yang berhubungan dengan traksi dan pergeseran struktur


peka nyeri dalam rongga intrakranial.

d. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan serangan kejang dan


penurunan tingkaat kesadaran.

e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan kesadaran dan


kehilangan kontrol koordinasi gerakan.

f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan


pemakaian energi untuk metabolisme serta asupan nutrisi yang kurang
sekunder dari mual dan muntah.

g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan misinterpretasi informasi, tidak


mengenal sumber sumber informasi, dan ketegangan akibat krisis
situasional.

h. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit yang tidak jelas.

3. Perencanaan
Nyeri akut b.d. traksi dan pergeseran stuktur peka-nyeri dalam rongga
intrakranial
Tujuan: nyeri berkurang/beradaptasi
Kriteria: secara subjektif melaporkan nyeri berkurang/dapat beradaptasi dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri. Klien tidak
gelisah. Skala nyeri 1 (0-4).
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan nonfarmakologi lainnya telah
dan noninvasif menunjukan keefektifan dalam mengurangi
nyeri.
Ajarkan relaksasi : Akan melancarkan peredaran darah, sehingga
Teknik teknik untuk menurunkan kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi,
ketegangan otot rangka, yang dapat sehingga akan mengurangi nyeri.
menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi massase
Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal hal
akut menyenangkan
Berikan kesempatan waktu istirahat Istirahat akan merelaksasi semua jaringan
bila terasa nyeri dan memberikan posisi sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
yang nyaman, misalnya waktu tidur,
belakangnya dipasang bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuaan tentang : Pengetahuan yang akan dirasakan membantu
sebab sebab nyeri dan menghubungkan mengurangi nyeri nya dan dapat membantu
berapa lama nyeri akan berlangsung. mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Observasi tingkat nyeri dan respons Pengkajian yang optimal akan memberikan
motorik klien, 30 menit setelah perawatan data yang objektif untuk mencegah
pemberian obat analgetik untuk kemungkinan komplikasi dan melakukan
mengkaji efektivitasnya dan setiap 1 intervensi yang tepat.
2 jam setelah tindakan perawatan
selama 1 2 hari
kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga
analgetik nyeri akan berkurang
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai