PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat
D. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Anamnesis
a. Identitas Klien
Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama pada klien gangguan sistem persarafan biasanya akan
terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis. Meliputi kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
kejang, sakit kepala hebat, nyeri otot, kaku kuduk, sakit punggung,
tingkat kesadaran menurun, akral dingin, dan ekspresi rasa takut.
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan serangkaian wawancara
yang dilakukan perawat untuk menggali permasalahan klien dari
timbulnya keluhan utama pada gangguan sistem persarafan sampai
pada saat pengkajian.
2) Riwayat penyakit dahulu
Beberapa pertanyaan yang mengarah pada riwayat penyakit dahulu
dalam pengkajian neurologi.
Apakah klien menggunakan obat-obat, seperti analgesik,
sedatif, hipnotis, antipsikotik, antidepresi, atau perangsang
sistem persarafan.
Apakah klien pernah mengeluhkan gejala sakit kepala, kejang,
tremor, pusing, atau kesemutan pada bagian tubuh.
Bila klien telah mengalami salah satu gejala diatas, gali lebih
detail.
Diskusikan dengan pasangan klien, anggota keluarga, atau
teman klien mengenai perubahan perilaku klien akhir-akhir ini.
Perawat sebaiknya bertanya mengenai riwayat perubahan
penglihatan, pendengaran, pengecapan dan perabaan.
Riwayat trauma kepala, atau batang spinal, meningitis, kelainan
konginetal, penyakit neurologis, atau konseling psikiatri.
Riwayat peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah
tinggi.
Riwayat tumor, baik ganas maupun jinak perlu ditanyakan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Anamnesis akan adanya riwayat keluarga yang menderita
hipertensi ataupun diabetes melitus yang memberikan hubungan
dengan beberapa masalah disfungsi neurologis seperti masalah
stroke hemoragis dan neuropati perifer.
d. Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien saat ini.
Pengkajian status emosional dan mental secara fisik lebih banyak
termasuk pengkajian fungsi serebral meliputi tingkat kesadaran klien,
perilaku dan penampilan, bahasa, fungsi intelektual, termasuk ingatan,
pengetahuan, asosiasi dan penilaian.
e. Pengkajian Sosioekonomispiritual
Oleh karena klien harus menjalani rawat inap maka perawat harus
mengkaji apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi
klien sebab biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang
tidak sedikit. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua
masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis
dalam hubungannya dengan peran sosial klien.
2. Pemeriksaaan Diagnostik
a. Foto Rontgen
Foto rontgen polos tengkorak dan medula spinalis seringkali
digunakan untuk mengidentifikasi adanya fraktur, dislokasi, dan
abnormalitas tulang lainnya, terutama dalam penatalaksanaan trauma
akut. Selain itu, foto rontgen polos mungkin menjadi diagnostik bila
kelenjar pineal yang mengalami penyimpangan letak terletak pada
hasil foto rontgen, yang merupakan petunjuk dini tentang adanya SOL.
Adanya udara dalam tulang tengkorak juga merpakan suatu
indikasi adanya fraktur kepala terbuka, seperti fraktur tengkorak
frontal atau basilar, yang mungkin tidak nampak secara jelas dari luar.
Foto rontgen polos kepala juga dapat memperlihatkan adanya infeksi
atau neoplasma yang ditandai oleh perubahan kepadatan tulang.
Prosedur pembuatan foto polos kepala dan medula spinalis
mengharuskan klien dalam posisi yang cermat dan secara relatif tidak
menimbulkan nyeri. Peran perawat mencakup pemantauan klien dan
peralatan yang digunakan selama prosedur dan selalu mewaspadai
terhadap komplikasi yang berhubungan dengan posisi klien dan
lamanya prosedur.
b. Computed Tomography
Computed tomography (CT) merupakan suatu teknik diagnostik
dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-x untuk memindai kepala
dalam lapisan yang berurutan. Bayangan yang dihasilkan memberi
gambaran potongan melintang dari otak, dengan membandingkan
perbedaan jaringan padat pada tulang kepala, korteks, struktur
subkortikal, dan ventrikel. Gambaran yang jelas pada masing-masing
bagian atau irisan otak, pada bayangan ahir merupakan proporsi dari
derajat sinar-x diabsorpsi. Bayangan ditunjukan pada osiloskop atau
monitor TV dan foto.
CT Scan selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras dan jika
dengan zat kontras, maka zat kontras dimasukan melalui intravena.
Klien berbaring diatas meja yang dapat disesuaikan dengan kepala
pada posisi terfiksasi, sementara sistem pemindaian berputar disekitar
kepala klien. Klien harus dibaringkan dengan kepala pada posisi yang
sangat mantap dan dengan hati-hati untuk tidak bicara dengan
menggerakan wajah, karena gerakan kepala menyebabkan
penyimpangan pada bayangan.
c. PET (Positron emission tomography)
PET adalah teknik pencitraan nuklir berdasarkan komputer yang dapat
menghasilkan bayangan fungsi organ secara aktual. Klien menghirup
gas radioaktif yang memberikan partikel bermuatan positif. Bila
positron ini berkombinasi dengan elektron-elektron bermuatan negatif,
resultan gama dapat dideteksi oleh alat pemindai. Dalam alat-alat
pemindai, detektor tersusun dalam sebuah cincin dan seri-seri yang
dihasilkan berupa gambar dua dimensi pada berbagai tingkatan otak.
Informasi ini terintegrasi oleh komputer dan memberikan sebuah
komposisi bayangan kerja otak.
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
MRI menggunakan medan magnetik untuk mendapatkan gambaran
daerah yang berbeda pada tubuh. Foto magnetik di dalam tubuh seperti
magnet-magnet kecil di dalam medan magnet. Setelah pemberian
getaran radiofrekuensi, foto memancarkan sinyal-sinyal, yang diubah
menjadi bayangan. MRI mempunyai potensial untuk mengidentifikasi
keadaan abnormal serebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes
diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi tentang
perubahan kimia dalam sel, juga memberikan informasi kepada dokter
dalam memantau respon tumor terhadap pengobatan. Pemindaian MRI
tidak menyebabkan radiasi ion.
Pemindaian MRI memberikan gambaran grafik dari struktur
tulang, cairan, dan jaringan lunak. MRI ini memberikan gambaran
yang lebih jelas tentang detail anatomi dan dapat membantu seseorang
mendiagnosis tumor yang kecil atau sindrom infrak dini.
e. Angiografi Serebral
Angiografi serebral adalah proses pemeriksaan dengan menggunakan
sinar-x terhadap sirkulasi serebral setelah zat kontras disuntikan ke
dalam arteri yang dipilih.
Angiografi serebral adalah alat yang digunakan untuk
menyelidiki penyakit vaskular, aneurisma, dan malformasi arteriovena.
Hal ini sering dilakukan sebelum klien menjalani kraniotomi sehingga
arteri dan vena serebral terlihat dan untuk menentukan letak, ukuran,
dan proses patologis. Juga digunakan untuk mengkaji keadaan yang
baik dan adekuatnya sirkulasi serebral. Angiografi merupakan pilihan
terahir jika dengan pemeriksaan CT scan dan MRI, diagnosis masih
belum bisa ditegakan (Hacke W. dan Kramer H. 1991).
f. Mielogram
Mielogram adalah sinar-x yang digunakan untuk melihat ruang
subaraknoid spinal dengan menyuntikan zat kontras atau udara ke
ruang subaraknoid spinal melalui fungsi spinal. Mielogram
menggambarkan ruang subaraknoid spinal dan menunjukan adanya
penyimpangan medulla spinalis dan sakus dural spinal yang disebabka
oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain.
g. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktivitas umum elektrik di otak,
dengan meletakan elektroda pada area kulit kepala atau dengan
menempatkan mikroelektroda dalam jaringan otak. Pemeriksaan ini
memberikan pengkajian fisiologis aktivitas serebral. EEG adalah uji
yang bermanfaat untuk mendiagnosis gangguan kejang seperti epilepsi
dan merupakan prosedur pemindaian untuk klien koma atau
mengalami sindrom otak organik. EEG juga bertindak sebagai
indikator kematian otak. Tumor, abses, jaringan parut otak, bekuan
darah, dan infeksi dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari
pola normal irama dan kecepatan.
h. Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Pemeriksaan laboratorium klinik merupakan hal yang rutin untuk
dilaksanakan sebagai media untuk menonton reaksi pengobatan dan
dampak klinis yang memerlukan penanganan lanjut. Tujuannya
sebagai berikut.
1) Membantu menegakan diagnosis berbagai macam penyakit serebral
2) Melakukan kontrol untuk klien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami penyakit serebral (misalnya pemeriksaan kolesterol darah).
3) Mengukur abnormalitas kimia darah yang dapat memengaruhi
prognosis klien gangguann serebral.
4) Mengkaji derajat proses inflamasi.
5) Mengkaji kadar serum obat.
6) Mengkaji efek pengobatan.
7) Menetapkan data dasar klien sebelum intervensi terapeutik.
8) Skrining terhadap setiap abnormalitas. Oleh karena terdapat berbagai
metode pengukuran yang berbeda, maka nilai normal dapat berbeda
antara satu tes dengan tes lainnya.
9) Menentukan hal-hal yang dapat memengaruhi upaya intervensi
(misalnya diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit).
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Biasanya suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan biasanya berhubungan dengan akibat infeksi dan peningkatan
TIK. Keluhan tersebut diantaranya sakit kepala dan demam adalah
gejala awal yang sering terjadi. Sakit kepala dihubungkan dengan
meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen.
Perubahan yang terjadi tergantung pada beratnya penyakit, dapat
terjadi letargik, tidak responsif dan koma.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobin lain. Riwayat TB
paru perlu ditanyakan kepada klien terutama jika ada keluhan batuk
produktif dan pernah mengalami pengobatan obat anti tuberkolosis
yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis tuberkolosa.
c. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikososiospiritual klien meningitis meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal 38-4 C, dimulai pada fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, dan
berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan
iritasi meningen yang sudah menunggu pusat pengatur suhu tubuh. Jika
peningkatan frekuensi nafas sering kali berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum
mengalami meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat dan
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
1) BI (Breathing)
Inpeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas dan peningkatan frekuensi napas yang sering
didapatkan pada klien meningitis yang disertai dengan adanya
gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi toraks hanya dilakukan jika
terdapat deformitas pada tulang dada klien dengan efusi pleura massif.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.
Gambar B.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan meningitis
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien
meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami
syok. Infeksi fulminasi terjadi pada sekitar 10% klien dengan
meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septikema: demam
tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar sekitar wajah
dan ekstremitas. Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah
serangan infeksi.
3) B3 (Brain)
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada tingkat latergi,
stupor, dan semikomatosa.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental : observasi penampilan,
tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
Pengkajian saraf kranial.
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kodisi normal.
Pemeriksaan papildema mungkin didapatkan terutama pada
meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
Saraf III, IV dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitas yang telah
mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reaksi pupil akan didapatkan.
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastosideus dan
trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher
dan kaku kuduk.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecap normal.
Pengkajian sistem motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan, dan koordinasi pada meningitis tahap lanjut mengalami
perubahan.
Pengkajian refleks. Pemeriksaan reflesks profunda, pengertukan
pada tendon, ligamentum derajat refleks pada respon normal. Refleks
patologis akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat
kesadaran koma.
Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, tic dan
distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang
umum, terutama pada anak dengan meningitis disertai peningkatan
suhu tubuh yang tinggi.
Pengkajian sistem sensorik. Pemeriksaan sensorik pada
meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, suhu yang normal,
tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, sensasi propriosefsi
dan diskriminatif normal.
Adanya ruam merupakan salah satu ciri mencolok pada
meningitis meningokokus. Sekitar setengah dari semua klien
mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam petekie dengan lesi
purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas. Iritasi meningen
mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali, tanda tersebut
diantaranya :
Kaku kuduk
Kaku kuduk merupakan tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi
kepala mengalami kesulitan karena adanya spasme otot-otot leher.
Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat
Tanda kerning positif
Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah
abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.
Tanda brudzinski
Tanda ini didapatkan jika leher klien difleksikan, terjadi fleksi lutut
dan pinggul. Jika dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah
pada salah satu sisi, gerakan yang sama terlihat pada sisi
ekstremitas yang berlawanan.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sensi-sendi besar. Petekia dan lesi
purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat dapat
ditemukan ekimosis yang besar pada wajah dan ekstremitas. Klien
sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara
umum sehingga mengganggu ADL.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis, meliputi laboratorium
klinik rutin (HB, Leukosit, LED, Trombosit, Retikulosit dan dan Glukosa).
Pemeriksaan faal hemostasis diperlukan untuk mengetahui secara dini
adanya DIC. Serum elektrolit dan glukosa dinilai untuk mengidentifikasi
adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis
cairan otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan
peningkatan tekanana intrakarnial. Analisis cairan otak diperiksa untuk
jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah
dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya, kadar
glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien
meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Untuk lebih spesifik mengetahui jenis mikroba, organisme penyebab
infeksi dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan serebrospinal
dan darah. Counter Immuno Electrophoresis (CIE) digunakan secara luas
untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan tubuh, umumnya cairan
serebrospinal dan urine.
Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien, meliputi foto
rontgen paru, dan CT scan kepala. CT Scan dilakukan untuk menentukan
adanya edema serebal atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya
normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.
f. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi. Secara ringkas
penatalaksanaan pengobatan meningitis, meliputi pemberian antibiotik
yang mampu melewati darah-barier otak ke dalam ruang subraknoid dalam
konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri.
Biasanya menggunakan sefaloposforin generasi keempat atau sesuai
dengan hasil uji resistensi antibiotik agar pemberian antimikroba lebih
efektif digunakan.
2. Diagnosis Keperawatan
h. Resiko tinggi defisit cairan yang berhubungan dengan muntah dan demam.
i. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan
dengan asupan nutrisi tidak adekuat, mual dan muntah.
3. Perencanaan
Peradangan di otak
Saraf III, IV dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
klien ensefalitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis yang telah
mengganggu kesdaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui,
klien klien ensefalitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif
yang berlebihan terhadap cahaya.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada faskulasi. Indra pengecapan normal.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kemih biasanya didapatkan penurunan
volume urine output, yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien ensefalitis menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu orang lain.
2. Diagnosis Keperawatan
3. Perencanaan
Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak
pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
Kehilangan selaput tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
1. Pengkajian
Pengkajian terhadap komplikasi Sindrom Guillain-Barre meliputi pemantauan
terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam
kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui
pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena
profunda dan emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan
paralisis.
a. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan
dengan kelemahan otot, baik kelemahan otot baik kelemahan fisik secara
umum maupun lokal seperti melemahnya otot pernapasan.
b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demieliniasi. Keluhan tersebut di
antaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia
(kesemutan kebas) dan kelemahan otot wajah. Kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot
dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan
kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan
klien yang terdapat pada klien yang terdapat pada klien stroke.
Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular,yang
memungkinkan terjadinya gangguan sistem saraf otonom pada klien
GBS yang dapat mengakibatkan disritmia atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
Proses dimielinasi
pneumonia kematian
anuna
Prognosis
9. kecemasan Gawat Gagal ginjal
penyakit kurang
keluarga kardiovaskular akut
baik
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada sindrom Guillain Barre tahap
lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik
secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
menjadi berkurang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Lumbal fungsi dapat menunjukan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan
menghitung jumlah sel normal. Pemeriksaan konduksi saraf mencatat
transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujian elektrofisiologis
diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
f. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk
memberikan pemeliharaan fungsi sistem tubuh, dengan cepat mengatasi
krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi
imobilitas, serta memberikan dukungan psikologis untuk klien dan
keluarga.
Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan
medis dan klien diatasi di unit perawatan intensif. Klien mengalami
masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang untuk periode
yang lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebebkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada klien
dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk
kemungkinan adanya perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia
jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati
dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat
diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik.
2. Diagnosis Keperawatan
3. Perencanaan
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan, dan ancaman gagal napas
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Kriteria: secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 kali/menit. Tidak
menggunakan obat bantu napas, gerakan dada normal.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi Menjadi bahan parameter monitoring
napas tambahan, perubahan irama serangan gagal napas dan menjadi data dasar
dan kedalaman, penggunaan otot- intervensi selanjutnya.
otot aksesori.
Evaluasi keluhan sesak napas, baik Tanda dan gejala meliputi adanya kesulitan
secara verbal dan nonverbal. bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
iregular, menggunakan otot-otot aksesoris,
takikardia dan perubahan pola napas.
Beri ventilasi mekanik. Ventilasi menaik digunakan jika pengkajian
sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan ke arah kemunduran, yang
mengindikasi ke arah memburuknya
kekuatan otot-otot pernapasan.
Lakukan pemeriksaan kapasitas Kapasitas vital klien dipantau lebih serting
vital pernapasan. dan dengan interval yang teratur dalam
penambahan kecepatan pernapasan dan
kualitas pernapasan, sehiingga pernapasan
yang tidak efektif dapat diantisipasi.
Penurunan kapasitas vital karena kelemahan
otot-otot yang digunakan saat menelan,
sehingga hal ini menyebabkan kesulitan saat
batuk dan menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi: Membantu pemenuhan oksigen yang sangat
Pemberianhumidifikasi 3 diperlukan tubuh dengan kondisi laju
liter/menit. metabolisme sedang meningkat.
1. Trombosit Serebral
2. Hemoragi
3. Hipoksia Umum
4. Hipoksia Setempat
3) Kolesterol tinggi.
4) Obesitas,
8) Merokok.
1. Stroke hemoragi
2. Stroke nonhemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi
saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak
terjadi perdarahan namun terjadi iskema yang menimbulkan hipoksia dan
selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
Patofisologi
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darak ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nucleus kaudatus, thalamus, dan pons.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih
dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71%
pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebral dengan volume
antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume
darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Jusuf Misbach, 1999)
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak,
pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri
kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala
kelumpuhan separuh badan atau gangguan gungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsive, dan koma.
2) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, riwayat
merokok, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kontrsepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti
koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
mellitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
d. Pengkajian psikososial
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep
diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, dan tidak kooperatif.
Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien
biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak
stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. Factor biaya
juga dapat memepengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan
keluarga.
e. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami
gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara dan ttv-
nya: tekanan darah meningkat, dan denyut nadi bervariasi.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.
Pada klien kompos mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya
tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi
peningkatan dan dapat terjadi masif (TD>200 mmHg)
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai deficit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian
GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi status mental,
fungsi intelektual, kemampuan Bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
Pengkajian saraf kranial. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan
saraf kranial I-XII
Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman
Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam
area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Klein mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis,
pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta
kelumpuhan satu sisi otot pterigodeus internus dan eksternus.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf XI dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi fasikulasi,
serta indra pengecapan normal.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung
kemih karena kerusakan kontrol motoric dan postural. Kadang kontrol
sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengn tekni streril. Inkontinensia
urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunteer terjadap gerakan motoric. Oleh karena neuron motor atas
menyilang, gangguan kontrol motor volunteer pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi
yang berlawanan dari otak. Disfungsi motoric paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah
tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain
itu, perlu juga dikaji tanda-tanda decubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensoria tau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
f. Pemeriksaan Diagnostik
Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke
secara spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan
untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi
vascular.
Lumbal Fungsi. Tekanan yang meningkat dan diertai bercak darah
pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid
atau perdarahan pada intracranial. Peningkatan jumlah protein
menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor
merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya wran likuor masih normal (xantokrom)
sewaktu sehari-hari pertama.
CT scan. Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak
edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau
iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak.
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetic untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya
perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang
mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
USG Doppler. Untuk mengidentifikasi adanya penyakit
arteriovena (masalah sistem karotis)
EEG. Pemeriksaan ini bertujuan melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik
dalam jaringan otak
g. Pemeriksaan laboratorium
1) Lumbal fungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu sehari-hari pertama.
2) Pemeriksaan darah rutin.
3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke askut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum
dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
4) Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
h. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital
dengan melakukan kegiatan sebagai berikut:
Mempertahankan saluran napas yang paten yaitu lakukan pengisapan
lendir dengan sering dan oksigenasi, jika perlu lakukan trakeostomi,
membantu pernapasan
Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk
usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin klien harus diubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-
latihan gerak pasif.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Risiko peningkatan TIK b.d meningkatnya volume intracranial, penekanan
jaringan otak, dan edema serebral.
b. Perubahan perfusi jaringan otak b.d perdarahan intraserebral, oklusi otak,
vasospasme, dan edema otak.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d akumulasi sekret, kemampuan
batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, dan perubahan tingkat
kesadaran.
d. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiparese/hemiplegia, kelemahan
neuromuscular pada ekstremitas.
e. Risiko tinggi terhadap terjadinya cedera b.d penurunan luas lapang
pandang, penurunan sensasi rasa (panas, dingin).
f. Risiko gangguan integritas kulit b.d tirah baring lama.
g. Deficit perawatan diri b.d kelemahan neuromuscular, menurunnya
kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi ditandai oleh
kelemahan untuk ADL, seperti makan, mandi, mengatur suhu air, melipat
atau memakai pakaian.
h. Kerusakan komunikasi verbal b.d efek dari kerusakan pada area bicara di
hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
i. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kelemahan otot
mengunyah dan menelan.
j. Takut b.d parahnya kondisi.
k. Gangguan konsep diri citra tubuh b.d perubahan persepsi.
l. Ketidakpatuhan terhadap regimen terapeutik b.d kurangnya informasi,
perubahan status kognitif.
m. Gangguan persepsi sensori b.d penurunan sensori, penurunan penglihatan.
n. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) b.d imobilisasi, asupan cairan yang
tidak adekuat.
o. Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) b.d lesi pada UMN.
p. Risiko penurunan pelaksanaan ibadah spiritual b.d kelemahan
neuromuscular pada ekstremitas.
q. Perubahan proses keluarga b.d perubahan status sosial, ekonomi, dan
harapan hidup.
r. Kecemasan klien dan keluarga b.d prognosis peyakit yang tidak menentu.
3. Perencaaan
Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang, mungkin akibat
cedera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin ditemukan dalam
serum banyak penderita miastenia gravis. Pada klien miastenia gravis, secara
makroskopis otot ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, hal ini akibat otot yang
tidak dipakai. Secara mikroskopis, beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi
limfosit dalam otot dan organ organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat
ditemukan kelainan yang konsisten (price dan wilson,1995).
Gambar F.1 Peatofisiologi dan masalah keperawatan Miastenia Gravis
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Hal yang sering menyebabkan klien miastenia meminta bantuan medis
adalah kondisi penurunan atau kelemahan otot otot, dengan manifestasi :
diplopia (pengelihatan ganda) ptosis (jatuhnya kelopak mata merupakan
keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonoia (gangguan
suara) masalah menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat
keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang,
ketidakmampuan bentuk efektif, dan dispnea.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Miastenia gravis juga menyerang otot otot wajah laring, dan faring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidup jika klien
mencoba menelan (otot otot palatum) ; menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal dan klien tak mampu menutup mulut yang
disebut sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot otot
pernafasan terlihat dari adanya batu yang lemah, akhirnya dapat berupa
serangan dispnea dan klien tidak lagi mampu membersihkan lendir
dari trakea dan cabang cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
tanggul dapat terserang pula dapat pula terjadi kelemahan semua otot
otot rangka. Biasanya gelaja gejala miastenia gravis dapat diredakan
dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase.
2) Riwayat penyakit dahulu
Kaji faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit yang
memperberat kondisi miastenia gravis, seperti hipertensi dan diabetes
melitus.
3) Riwayat penyakit keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan
dengan keluhan klien saat ini.
c. Pengkajian psikososikultural
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi pada
kebanyakan klien kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan
tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan
kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami
gangguan citra diri.
d. Pengkajian fisik
1) B1 (breathing)
Infeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penuruanan batuk
efektif produksi sputum, sesak nafas, pengguanaan otot bantu, nafas ,
dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada
klien yang disertai adanya kelemahan otot otot pernafasan. Auskultasi
bunyi nafas tambahan seperti ronkhi atau stidor pada klien,
menunjukan adanya akumulasi skret pada jalan nafas dan penurunan
kemampuan otot otot pernafasan.
2) B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan dari status kardiovabskular, terutama denyut
nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai
dengan kondisi tidak membaiknya status pernafasan.
3) B3 (brain)
Saraf I, biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan, terutama
pada fungsi penciuman.
Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah.
2. Diagnosa keperawatan
3. Perencanaan
Aliran darah
Manifastasi Tremor ritmik
serebral regional Gangguan N. III Gangguan N. VIII
otonotonomi bradikesia
menurun
Gangguan Berkeringat, kulit Rigiditas Perubahan
Manifestasi konstraksi otot- deserebrasi
psikiatrik berminyak, wajah dan
otot bola mata sikap tubuh
sering dematitis, Perubahan gaya
Perubahan rasa lelah
kepribadian, Gangguan berjalan. Kekakuan Gangguan
psikosis, konvergensi berlebihan dan dalam beraktivitas citra diri
demensia, dan otot terasan
konfusi akut Pandangan kabur nyeri, hipotensi Hambatan
postural, mobilitas fisik
Kognitif dwon
Persepsi dwon Perubahan penurunan
Akut Dwon presepsi senson kemampuan Penurunan
batuk efektif aktivitas fisik umun
Kerusakan Resiko tinggi
komunikasi verbal.
Perubahan proses
kebersihan jalan Risiko konstipasi
pikir, koping napas tidak
individu tidak efektif. Risiko
efektif Gangguan
penurunan
eliminasi alvi
perfusi parifer.
Nyeri gangguan
ADL
Gambar G.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan Parkinson
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok usia lanjut, pada usia
50an dan 60-an), jenis kelamin (lebih banyak pada laki-laki), pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk menerima pertolongan
kesehatan adalah gangguan gerakan, kaku otot, tremor menyeluruh,
kelemahan otot, dan hilangnya refleks postural.
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis klien sering mengeluhkan adanya tremor, sering kali
pada salah satu tangan dan lengan, kemudian ke bagian yang lain, dan
akhirnya bagian kepala, walaupun tremor ini tetap unilateral.
Karakteristrik tremor dapat berupa: hambar, gerakan membalik
(pronasi-supinasi) pada lengan bawah dan telapak tangan serta jari-jari.
Keadaan ini meningkat jika klien sedang berkonsentrasi atau merasa
cemas dan muncul pada saat klien istirahat.
Keluhan lainnya pada penyakit meliputi adanya perubahan pada
sensasi wajah, sikap tubuh, dan gaya berjalan. Adanya keluhan
rigiditas deserebrasi, berkeringat, kulit berminyak dan sering
menderita dermatitis peboroik, sulit menelan, konstipasi, serta
gangguan kandungan kemih yang di perbesar oleh obat-obat
antikolinergik dan hipertrofi prostat.
2) Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan
obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, dan penggunaan obat-
obat antikolinergik dalam jangka waktu yang lama.
3) Riwayat penyakit keluarga
Walaupun penyakit Parkinson tidak ditemukan hubungan sebab
genetik yang jelas tetapi pengakuan adanya anggota generasi
terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus
diperlukan untuk melihat adanya komlikasi penyakit lain yang
dapat mempercepat progresifnya penyakit
d. Pengkajian psikososiospiritual
Perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit parkinson
adalah tanda depresi. Manifestasi mental muncul dalam bentuk penurunan
kognitif, presepsi, dan penurunan memori (ingatan). Beberapa menifestasi
priatrik (perubahan kepribadian, psikosis, demensis, konfusi akut)
umumnya terjadi pada lansia.
e. Pemeriksaan Fisik
Klien dengan penyakit parkinson umumnya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi berdikardia,
hipotensi, dan penurunan frekuensi pernafasan.
1) B1 (Breathing)
Gangguan fungsi pernafasan : berkaitan dengan hipoventilasi,
inaktivasi, aspirasi makan atau saliva, dan berkurangnya fungsi
pembersihan saluran nafas.
Inspeksi umum. Didapatkan klien batuk atau penurunan
kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, dan penggunaan otot bantu nafas.
Palipasi. Taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi. Adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru.
Aukultasi. Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stirdot,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada
klien dengan inaktivitas.
2) B2 (Blood)
Hipotensi postural: berkaitan dengan efek samping obat dan juga
gangguan pada pengaturan tekanan darah oleh sistem pernafasan
otonom. Rasa lelah berlebihan dan otot terasa nyeri : otot lelah karena
rigiditas.
3) B3 (Brain)
Inpeksi umum : didapatkan perubahan pada gaya berjalan, tremor
secara umum pada seluruh otak, dan kaku pada seluruh gerakan.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Tingkat kesadaran klien
biasanya compos dan juga bergantung pada aliran darah serebral
regional menurun yang mengakibatkan perubahan pada status kognitif
klien.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental: biasanya status mental
klien Mengalami perubahan yang berhubungan dengan penurunan
status kognitif penurunan presepsi, dan penurunan memori, baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
Pemeriksaan Saraf Kranial
2. Diagnosis Keperawatan
a. Hambatan mobilitaS fisik yang berhubungan dengan kekakuan dan
kelemahan otot.
b. Kurang perawatan diri (makan, minum, berpakaian, higine) yang
berhubungan dengan tremor dan gangguan motoric.
c. Konstipasi yang berhubungan dengan medikasi dan penurunan aktifitas.
d. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
tremor, pelambatan dalam proses makan, serta kesulitan mengunyah dan
menelan.
e. Kerusakan komunikasi verbal yang berhungan dengan volume bicara,
perlambatan bicara, dan ketidak mampuan menggerakan otot-otot wajah.
f. Koping tidak efektif yang berhungan dengan depresi dan disfungsi karena
perkembangan penyakit.
3. Perencanaan
Tujuan : dalam 2x-24jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria : klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur
sendi, bertambahnya kekuatan otot, dan klien menunjukan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.
Intervensi Rasionalisasi
Anjurkan mandi hangat dan massase Mandi hangat dan masase membantu otot-
otot otot rileks pada aktifitas aktif dan pasif
serta mengurangi nyeri otot akibat spasme
yang mengakibatkan kekakuan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok usia lanjut 50%
populasi berusia 85 tahun) jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis
medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta bantuan
kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan
kelumpuhan gerak ekstremitas.
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis klien mengeluhkan sering lupa dan hilangnya ingatan
yang baru. Pada beberapa kasus, keluarga sering mengeluhkan bahwa
klien sering mengalami bertingkah laku aneh dan kacau serta sering
keluar rumah sendiri tanpa mengatakan pada anggota keluarga yang
lain sehingga sangat meresahkan anak-anak yang menjaga klien.
Pada tahap lanjut dari penyakit, keluarga sering mengeluhkan
bahwa klien menjadi tidak dapat mengatur buang air, tidak dapat
mengurus keperluan dasar sehari-hari, atau mengenali anggota
keluarga.
Faktor predisposisi : virus lambat. Proses
autorium, keracunan alumunium, dan genetik
Kelainan
Terjadi plak neurotransmiter Penurunan sel neuron
senilis koligenetik yang berproyeksi ke
hipokampus dan amigadal
Dimensi
a
Saraf III, IV, dan VI, pada beberapa kasus penyakit Alzheimer
biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini.
Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal
4) B4 (Bladder)
Pada tahap lanjut, beberapa klien sering mengalami inkontinensia
urine, biasanya berhubungan dengan penurunan status kognitif dari
klien Alzheimer. Penurunan refleks kandung kemih yang bersifat
progresif dan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidak
mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril.
5) B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan intake nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif.
Penurunan aktivitas umum klien sering mengalami konstipasi.
6) B6 (Bone)
Pada tahap lanjut, biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif
menyebabkan masalah pola dan pemenuhan aktivitas sehari-hari.
Adanya gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan
pergerakan karena perubahan pada gaya berjalan dan kaku pada
seluruh gerakan memberikan risiko pada trauma fisik jika melakukan
aktivitas.
f) Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis penyakit Alzheimer rumit karena tidak adanya uji definitif.
Pemeriksaan rutin yang biasanya dilakukan meliputi pemeriksaan hitung
sel darah lengkap dan pemeriksaan elektronik serum.
CT scan mungkin memperlihatkan pelebaran ventrikel dan atrofi
korteks serta memastikan tidak terdapat tumor, abses otak, atau hematoma
subdural kronik yang dapat diatasi.
g) Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Penanganan pasien dengan penyakit Alzheimer melibatkan baik pasien
maupun keluarga. Obat penenang dan antidepresan dapat berguna dalam
mengendalikan tingkah laku pasien. Pelayanan kesehatan rawat jalan
untuk kesehatan keluarga dibutuhkan oleh keluarga pasien sewaktu
keadaan pasien semakin memburuk dan memerlukan perawatan total.
Anggota keluarga harus tetap menjaga agar pasien tidak melukai
orang lain. Memburuknya keadaan dapat diperkirakan dan terjadi setelah
3-10 tahun. Pada tahap lanjut dari penyakit, pasien menjadi tidak dapat
mengatur buang air, tidak dapat mengurus keperluan dasar sehari-hari,
atau mengenali anggota keluarga. Kematian biasanya disebabkan oleh
inspeksi atau malnutrisi.
2. Diagnosis Keperawatan
d. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan perubahan proses pikir dan
disfungsi karena perkembangan penyakit.
3. Perencanaan
Kurang perawatan diri (makanan, minum, berpakaian, higiene) yang
berhubungan dengan perubahan proses pikir
Tujuan: dalam waktu 2 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan dalam pemenuhan
perawatan diri.
Kriteria: klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat
diri dan mengindentifikasi personal/keluarga yang dapat membantu.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan dan tingkat Membantu dalam mengantisipasi dan
penurunan dalam melakukan ADL. merencanakan pertemuan kebutuhan
individual.
Hindari apa yang tidak dapat Klien dalam keadaan cemas dan hal ini
dilakukan klien dan bantu bila perlu. dilakukan untuk mencengah frustasi dan
harga diri klien.
Ajarkan dan dukung klien selama Dukungan pada klien selama aktivits
aktivitas. kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan
perawatan diri.
Rencanakan tindakan untuk defisit Klien akan mampu melakukan aktivitas
motorik seperti tempatkan makanan sendiri untuk memenuhi perawatan dirinya.
dan peralatan di dekat kien agar
mampu sendiri mengambilnya.
Modifikasi lingkungan. Modifikasi lingkungan diperlukan untuk
mengompensasi ketidakmampuan fungsi.
Gunakan pagar di sekeliling tempat Penggunakan pagar di sekeliling tempat
tidur. tidur, baik tempat tidur di rumah sakit
maupun di rumah, atau sebuah tali yang
dikaitkan pada kaki tempat tidur untuk
memberi bantuan dalam mendorong diri
untuk bangun tanpa bantuan orang lain serta
mencengah klien mengalami trauma.
Kaji kemampuan komunikasi untuk Ketidakmampuan berkomunikasi dengan
BAK. Kemampuan mengunakan perawat dapat menimbulkan masalah
urinal, pispot. Antarkan ke kamar pengosongan kandung kemih karena
mandi bila kondisi memungkinkan. masalah neurogenik.
Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan Meningkatkan latihan dan menolong
minum, dan meningkatkan aktivitas. mencegah konstipasi.
Kolaborasi:
Pemberian supositoria dan pelumas Pertolongan utama terhadap fungsi usus
feses/pencahar; atau defekasi.
Konsul ke dokter terapi okupasi. Untuk mengembangkan terapi dan
melengkapi kebutuhan khusus.
Demielinasi
2) B2 (Blood)
3) B3 (Brain)
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Tingkat kesadaran klien
biasanya compos mentis.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status Mental: biasanya status
mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan
penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori,
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Adanya gangguan afek
berupa euforia merupakan tanda khas pada klien multipel sklerosis.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian ini meliputi pengkajian
saraf kranial I-XII.
Saraf III, IV, dan VI, Pada beberapa kasus penyakit multipel
sklerosis biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini.
Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Berikut ini dijelaskan beberapa
pengkajian sistem motorik.
Merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan
terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju, serta pengontrolan
yang buruk.
Keadaan spastis yang lebih berat disertai spasme otot yang nyeri.
4) B4 (Bladder)
Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortikospinalis
menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan,
frekuensi dan urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas
kandung kemih yang spastis. Selain itu juga timbul retensi akut dan
inkontinensia
5) B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif.
Penurunan aktivitas umum klien sering mengalami konstipasi.
6) B6 (Bone)
Pada beberapa keadaan klien multipel sklerosis biasanya didapatkan
adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan spastik anggota
gerak. Kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi
secara asimetris pada keempat anggota gerak. Merasa lelah dan berat
pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang
sebelah terseret maju, dan pengontrolan yang kurang sekali. Klien
dapat mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan
terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan spastis
yang lebih berat disertai dengan spasme otot yang nyeri. Adanya
gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan pergerakan
karena perubahan pada gaya berjalan dan kaku. Pada seluruh gerakan
memberikan risiko pada trauma fisik bila melakukan aktivitas.
Risiko dari multipel sklerosis terhadap sistem ini berupa
komplikasi sekunder, seperti risiko kerusakan integritas jaringan kulit
(dekubitus) akibat penekanan setempat dari tirah baring lama,
deformitas kontraktur, dan edema dependen pada kaki.
f. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS biasanya mengungkap adanya
ikatan oligoklonal (beberapa pita imunoglobulin gamma G [IgG]), yang
menunjukkan abnormalitas imunoglobulin. Dalam kenyataannya, antibodi
IgG normal terlihat pada CSS klien sampai 95% klien multiple sklerosis.
Pemeriksaan potensial bangkitan dilakukan untuk membantu memastikan
luasnya proses penyakit dan memantau perubahan.
CT scan dapat menunjukkan atrofi serebral. MRI menjadi alat
diagnostik utama untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk
mengevaluasi perjalanan penyakit dan efek pengobata. Disfungsi kandung
kemih yang mendasari didiagnosis dengan pemeriksaan urodinamik.
Pengujian neuropsikologik dapat diindikasikan untuk mengkaji kerusakan
kognitif. Riwayat seksual membantu untuk mengindentifikasi hal-hal
kekhawatiran khusus.
g. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
1) Farmakoterapi
Kortikostreroid dan ACTH digunakan sebagai agens anti inflamasi
yang dapat meningkatkan konduksi saraf. Oleh karena mekanisme
imun merupakan faktor patogenesis multipel sklerosis, maka sejumlah
agens farmakologik dicoba untuk modulasi respons imun, menurunkan
kecepatan perkembangan penyakit dan serangan yang sering, dan
menurunkan keadaan yang semakin buruk. Obat-obat ini mencakup
azatioprin, siklofosfamid, dan interferon.
Beta interferon (betaseron) disetujui untuk digunakan dalam
perjalanan relapsing-remitting. Betaseron telah diketahui efektif dalam
menurunkan secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi akut
dengan pemindaian MRI yang menunjukkan area demielinasi yang
lebih kecil pada jaringan otak. Obat ini merupakan obat baru yang
dapat menjanjikan untuk disediakan bagi pengobatan multipel
sklerosis, meskipun telah ratusan kali dicoba.
Modalitas lain (misal radiasi, kopolimer 1 dan kladribin) saat ini
masih diteliti sebagai pengobatan yang mungkin untuk bentuk multipel
sklerosis progresif.
Baklofen, sebagai agens antispasmodik merupakan pengobatan
yang dipilih untuk spastisitas. Klien dengan spastisitas berat dan
kontraktur memerlukan blok saraf dan intervensi pembedahan untuk
mencengah kecacatan lebih lanjut.
2. Diagnosis Keperawatan
3. Perencanaan
Saraf III, IV, VI. Adanya kelumpuhan unilateral atau bilateral daei
saraf VI memberikan manifestasi pada suatu tanda adanya
glioblastoma multiformis.
Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Lokasi nyeri kepala cukup bernilai oleh karena sepertiga dari nyeri
kepala ini terjadi pada tempat tumor, sedangkan dua pertiga lainnya
terjadi didekat atau diatas tumor.
4) B4 (bladder)
Inkontensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neulorogis
luas.
5) B5 (bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah fase akut. Mual dan muntah terjadi sebagai
akibat rangsangan pusat muntah pada medula oblongata. Muntah
paling sering terjadi pada anak anak dan berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial disertai pergeseran batang otak.
Muntah dapat terjadi tanpa didahului mual dan dapat berupa muntah
proyektil.
6) B6 (bone)
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori, dan mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas
dan istrirahat.
e. Pemeriksaan diagnostik
1) Radiogram tengkorak
Memberikan informasi yang sangat berharga mengenai struktur,
penebalan, dan klasifikasi, posisi kelenjar pineal yang mengapur dan
posisi seta tursika.
2) Elektroensefalogram
Memberikan informasi mengenai perubahan kepekaan neuron.
Pergeseran kandungan intraserebral dapat dilihat pada
ekoensefalogram. Pencitraan radioaktif memperlihatkan area
akumulasi abnormal zat radioaktif.
2. Diagnosis keperawatan
b. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kompresi pada pusat
pernapasan dimedula oblongata, kelemahan otot otot pernapasan, dan
kegagalan fungsi pernapasan.
3. Perencanaan
Nyeri akut b.d. traksi dan pergeseran stuktur peka-nyeri dalam rongga
intrakranial
Tujuan: nyeri berkurang/beradaptasi
Kriteria: secara subjektif melaporkan nyeri berkurang/dapat beradaptasi dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri. Klien tidak
gelisah. Skala nyeri 1 (0-4).
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan nonfarmakologi lainnya telah
dan noninvasif menunjukan keefektifan dalam mengurangi
nyeri.
Ajarkan relaksasi : Akan melancarkan peredaran darah, sehingga
Teknik teknik untuk menurunkan kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi,
ketegangan otot rangka, yang dapat sehingga akan mengurangi nyeri.
menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi massase
Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal hal
akut menyenangkan
Berikan kesempatan waktu istirahat Istirahat akan merelaksasi semua jaringan
bila terasa nyeri dan memberikan posisi sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
yang nyaman, misalnya waktu tidur,
belakangnya dipasang bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuaan tentang : Pengetahuan yang akan dirasakan membantu
sebab sebab nyeri dan menghubungkan mengurangi nyeri nya dan dapat membantu
berapa lama nyeri akan berlangsung. mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Observasi tingkat nyeri dan respons Pengkajian yang optimal akan memberikan
motorik klien, 30 menit setelah perawatan data yang objektif untuk mencegah
pemberian obat analgetik untuk kemungkinan komplikasi dan melakukan
mengkaji efektivitasnya dan setiap 1 intervensi yang tepat.
2 jam setelah tindakan perawatan
selama 1 2 hari
kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga
analgetik nyeri akan berkurang
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran