Anda di halaman 1dari 123

A.

PERSIAPAN PEMERIKSAAN ECT


Pada penanganan klien gangguan jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun pasien baru biasanya
diberikan psikofarmaka ,psikotherapi, terapi modalitas yang meliputi terapi individu, terapi
lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok terapi perilaku dan terapi keluarga. Biasanya pasien
menunjukan gejala yang berkurang dan menunjukan penyembuhan, tetapi pada beberapa klien
kurang atau bahkan tidak berespon terhadap pengobatan sehingga diberikan terapi tambahan
yaitu ECT (Electro Convulsive Therapy).

a. Pengertian
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik
digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup
menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik
tercapai.Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT
menghasilkan perubahan-perubahan biokimia didalam otak (Peningkatan kadar norepinefrin dan
serotinin) mirip dengan obat anti depresan.

b. Indikasi
1. Gangguan afek yang berat: :pasien dengan depresi berat atau gangguan bipolar, atau depresi
menunjukkan respons yang baik pada pemberian ECT (80-90% membaik versus 70% atau lebih
dengan antidepresan). Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas (seperti insomnia, konstipasi;
riwayat bunuh diri, obsesi rasa bersalah, anoreksia, penurunan berat badan, dan retardasi
psikomotor) cukup bersespon.
2. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan respons yang
baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal ini tidak teralalu berguna.
c. Kontraindikasi
1) Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
2) Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran
3) Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
4) Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
5) Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita
d. Komplikasi
1) Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi berakhir 2-3 bulan
(tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan metode bilateral, jumlah terapi yang
semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya organik sebelumnya.
2) Sakit kepala, mual, nyeri otot.
3) Kebingungan.
4) Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
5) Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
6) Risiko anestesi pada ECT, atropin mernperburuk glaukom sudut sempit, kerja Suksinilkolin
diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan hipotonia.
e. Persiapan ECT (Pra-ECT)
1) Lengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, konsentrasikan pada peme¬riksaan jantung dan
status neurologic, pemeriksaan darah perifer lengkap, EKG, EEG atau CT Scan jika terdapat
gambaran Neurologis tidak abnormal. Hal ini penting mengingat terdapat kontraindikasi pada
gangguan jantung, pernafasan dan persarafan.
2) Siapkan pasien dengan, informasi, dan. dukungan, psikologis.
3) Puasa setelah tengah malam.
4) Kosongkan kandung kemih dan lakukan defekasi
5) Pada keadaan ansietas berikan 5 mg diazepam 1-2 jam sebelumnya
6) Antidepresan, antipsikotik, diberikan sehari sebelumnya
7) Sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan (dan sejenisnya) harus dihentikan -sehari sebelumnya.
f. Pelaksanaan ECT
1) Buat pasien merasa nyaman. Pindahkan ke tempat dengan permuka¬an rata dan cukup keras.
2) Hiperekstensikan punggung dengan bantal.
3) Bila sudah siap, berikan premedikasi dengan atropin (0,6-1,2 mg SC, IM atau IV).
Antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal.
4) Sediakan 90-100% oksigen dengan kantung oksigen ketika respirasi tidak spontan.
5) Beri natrium metoheksital (Brevital) (40-100 mg IV, dengan cepat). Anestetik barbiturat kerja
singkat ini dipakai untuk menghasilkan koma yang ringan.
6) Selanjutnya, dengan cepat berikan pelemas otot suksinilkolin (Anectine) (30-80 mg IV, secara
cepat awasi kedalaman relaksasi melalui fasikulasi otot yang dihasilkan) untuk menghindari
kemungkinan kejang umum (seperti plantarfleksi) meskipun jarang.
7) Setelah lemas, letakkan balok gigi di mulut kemudian berikan stimulus listrik (dapat dilakukan
secara bilateral pada kedua pelipis ataupun unilateral pada salah satu pelipis otak yang dominan)

g. Post ECT
1) Awasi pasien dengan hati-hati sampai dengan klien stabil kebingungan biasanya timbul
kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
2) Pasien berada pada resiko untuk terjadinya apneu memanjang dan delirium pascakejang (5 10
mg diazepam IV dapat membantu)

B. PERSIAPAN PEMERIKSAAN BRAIN MAPPING


Pengertian
Kecelakaan fisik yang terjadi pada otak seperti gegar otak, radiasi otak, gangguan yang
disebabkan oleh racun dari luar, seizure disorder, Alzheimer , anoxia dan infeksi pada otak (spt.,
peradangan selaput otak) yang disertai perubahan aktivitas gelombang otak, ADD, OCD,
anxiety, depresi dan seseorang yang lemah dalam belajar merupakan ciri-ciri adanya
permasalahan pada gelombang otak manusia.

EEG Brain MappingEEG (electroencephalogram) merupakan sebuah alat untuk mencatat


aktivitas gelombang otak selama kurun waktu tertentu. QEEG (Quantitative EEG) atau dikenal
pula dengan sebutan "brain mapping", memberikan data yang komprehensif tentang gelombang
otak dan memberikan analisa yang tepat dari data mentah yang diberikan oleh EEG. QEEG
bekerja menyerupai cara kerja EEG, akan tetapi data yang diperoleh dari QEEG bisa
ditampilkan dalam berbagai jenis sesuai kebutuhan, bisa dalam bentuk gambar topografi, berupa
diagram, atau beropa gambar-gambar yang menunjukkan aktivitas pada bagian cortex (luar
otak).

Prosedur
Prosedur Brain Map meliputi menempatkan elektroda di berbagai area pada kulit kepala sebagai
sarana untuk mengukur aktivitas gelombang otak dari klien (EEG). Sesuatu berbentuk gel
ditempelkan pada setiap elektroda untuk mendapatkan sinyal yang baik. Prosedur yang dilakukan
non-invasif dan tidak menimbulkan rasa sakit. Tidak ada sesuatu pun yang dimasukkan ke dalam
otak. Electroencephalogram secara murni hanya menggambarkan gelombang listrik di dalam
otak. Rekaman EEG diambil dalam beberapa kondisi atau tes.

Kondisi yang direkam adalah pada saat a)mata tertutup, b)mata tertutup, c) membaca untuk
memahami atau mengerjakan soal matematika dengan tingkat kesulitan tertentu. Analisis
statistik membandingkan data subjek dengan database normative dari anak maupun orang
dewasa lainnya. Data kemudian dievaluasi berdasarkan persentase yang ada dan kemudian
dibandingkan dengan database normatif dari kebervariasian yang ada.
Sementara teknik-teknik lain (CT, MRI, PET, SPECT dll.) cenderung mengukur aliran darah ke
otak, metabolisme otak atau mengamati bagian-bagian otak, QEEG justru mengukur arus listrik
yang dihasilkan oleh otak atau biasa disebut gelombang otak. QEEG menyediakan data analisis
yang sebetulnya sangat kompleks tentang gelombang otak dengan karakteristik khusus baik itu
secara simetris, tahap-tahap perubahannya, hubungan antara satu dengan lainnya, luas
gelombang otak yang dihasilkan, power dan gelombang otak yang dominan. Faktanya, gangguan
kecil pada gelombang otak bisa jadi adalah pertanda awal dari permasalahan besar yang bisa
terjadi pada otak dan tubuh kita.

Hasil laporan dari alat QEEG akan dibandingkan dengan data normatif. Data normatif ini
merupakan data yang diperoleh dari pencatatan otak pada kurang lebih ratusan otak pada
manusia yang sehat. Perbandingan tersebut disebut sebagai Z scores, Yang mana
menggambarkan selisih antara data normatif dengan data klien yang bermasalah.
Penggunaan utama dari QEEG adalah untuk memeriksa pola struktur dan frekwensi gelombang
otak serta untuk membantu seseorang yang akan menjalani proses terapi neurotherapy sehingga
nantinya memiliki perhitungan yang tepat sehingga bisa seperti gelombang otak yang normal
lainnya.
QEEG bukan merupakan alat yang menciptakan diagnosa, akan tetapi merupakan alat untuk
membantu terapis dalam menentukan diagnosa. QEEG diciptakan bukan untuk mengganti peran
EEG; hal itu merupakan dua hal yang berbeda terutama bagi Spesialis Otak yang menggunakan
EEG dan bukan QEEG dalam bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Guze, B., Richeimer, S., dan Siegel, D.J. (1990). The Handbook of Psychiatry. California: Year
Book Medical Publishers

Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry. New York: Williams
and Wilkins

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed ke-7).
St. Louis: Mosby, Inc.
http://www.neurotherapy.asia/eeg_brain_mapping.htm
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Salah satu terapi pada psikiatri atau dunia kedokteran jiwa yang tidak banyakdiketahui oleh
banyak masyarakat adalah suatu terapi kejut dengan menggunakansebuah instrumen khusus yang
dinamakan sebagai ECT (Electro ConvulsionTherapy). Zaman dahulu penanganan pasien
gangguan jiwa adalah dengandipasung, dirantai, atau diikat, lalu ditempatkan di rumah atau
hutan jika gangguan jiwa berat. Tetapi bila pasien tersebut tidak berbahaya, dibiarkan berkeliaran
di desa,sambil mencari makanan dan menjadi tontonan masyarakat. Terapi dalam gangguan jiwa
bukan hanya meliputi pengobatan dengan farmakologi tetapi juga denganpsikoterapi, serta terapi
modalitas yang sesuai dengan gejala atau penyakit pasienyang akan mendukung penyembuhan
pasien jiwa. Terapi kejang listrik merupakan salah satu terapi dalam kelompok terapitotal.Terapi
ini berupa terapi fisik dengan pasien-pasien psikiatri dengan indikasi dancara tertentu. Terapi
kejang listrik adalah suatu pengobatan untuk menimbulkankejang grand mal secara artificial
dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrodayang dipasang pada satu atau dua
“temples”(Stuard,2007).
Pada pelaksanaanpengobatan ECT, mekanismenya sebenarnya tidak diketahui, tapi
diperkirakanbahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia dalam otak.
Suatupeningkatan kadar norefinefrin dan serotonin, mirip efek obat antidepresan.Kehilangan
memori dan kekacauan mental sementara merupakan efek sampingyang paling umum dimana
perawat merupakan hal yang penting hadir pada saatpasien sadar setelah ECT, supaya dapat
mengurangi ketakutan-ketakutan yangdisertai dengan kehilangan memori (Erlinafsiah, 2010).
EEG Brain MappingEEG (electroencephalogram) merupakan sebuah alat untuk mencatat
aktivitas gelombang otak selama kurun waktu tertentu. QEEG (Quantitative EEG) atau dikenal
pula dengan sebutan "brain mapping", memberikan data yang komprehensif tentang gelombang
otak dan memberikan analisa yang tepat dari data mentah yang diberikan oleh EEG. QEEG
bekerja menyerupai cara kerja EEG, akan tetapi data yang diperoleh dari QEEG bisa
ditampilkan dalam berbagai jenis sesuai kebutuhan, bisa dalam bentuk gambar topografi, berupa
diagram, atau beropa gambar-gambar yang menunjukkan aktivitas pada bagian cortex (luar
otak).

Tujuan Umum
1. Penulis dapat memahami dan mengerti tentang persiapan pemeriksaan ECT.
2. Penulis dapat memahami dan mengerti tentang persiapan pemeriksaan brain mapping
Tujuan Khusus
1. penulis mampu melakukan intervensi peda pemmeriksaan ECT dan Brain mapping
Manfaat Penulisan
Untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang persiapan pemeriksaan ECT dan persiapan
pemeriksaan brain mapping
Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, Tujuan Umum, Tujuan Khusus, Manfaat Penelitian,Sistematika
Penulisan.BAB II : A.Pengertian, Indikasi, Kontraindikasi,Komplikasi, Persiapan ECT(pra
ECT), Penatalaksanaan ECT, Post ECT. B.Pengertian, Prosedur .BAB III : Kesimpulan.

BAB III
KESIMPULAN
A. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik danmenimbulkan kejang
pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalahbentuk terapi pada klien dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yangditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall. Therapi ECTmerupakan peubahan untuk penderita psikiatrik
berat, dimana pemberian arus listriksingkat dikepala digunakan untuk menghasilkan kejang tonik
klonik umum.Padaterapi ECT ini,ada efek samping yang di hasilkan.Oleh karena itu perawat
harusmemperhatikan efek samping yang akan terjadi.Dan peran perawat dalam terapiECT yaitu
perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat danmengantisipasi
kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akandilakukan.
B. EEG Brain MappingEEG (electroencephalogram) merupakan sebuah alat untuk mencatat
aktivitas gelombang otak selama kurun waktu tertentu. QEEG (Quantitative EEG) atau dikenal
pula dengan sebutan "brain mapping", memberikan data yang komprehensif tentang gelombang
otak dan memberikan analisa yang tepat dari data mentah yang diberikan oleh EEG.
DAFTAR ISI

Cover 1
Daftar Isi 2
BAB 1 Pendahuluan 3
a. Latar belakang 3
b. Tujuan Umum 4
c. Tujuan Khusus 4
d. Manfaat penulisan 4
e. Sistematika penulisan 4
BAB II Laporan Pendahuluan 5
A. Pengertian 5
Indikasi 5
Kontraindikasi 6
Komplikasi 6
Persiapan ECT(pra ECT) 6
Penatalaksanaan ECT 7
Post ECT 7
B.Pengertian 8
Prosedur 8,9
BAB 111 Kesimpulan 10
Daftar Pustaka 11

Diposting 4th March 2013 oleh Eva Maria Keljombar


0

Tambahkan komentar
Sistem Neurobehavior

  Beranda

1.

Mar

Kejang Demam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejang demam merupakan kejang yang cukup sering dijumpai pada anak-
anak yang berusia 6 bulan – 5 tahun, gejalah-gejalah yang timbul dapat bermacam-
macam tergantung di bagian otak mana yang terpengaruh, tetapi kejang demam
yang terjadi pada anak adalah kejang demam umum.
Faktor resiko utama yang umum menimpa anak di usia 6 bulan– 5 tahun
adalah demam tinggi yang bisa disebabkan oleh infeksi ekstrakarnial seperti ISPA,
radang telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh
sebesar 10C pun bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang
mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan
otak sebesar 20 %. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak tersebut
akan mengalami kejang.
Umumnya kejang tidak akan menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut
berlangsung kurang dari 5 menit tetapi anak harus tetap mendapat penanganan agar
tidak terjadi kejang ulang yang biasanya lebih lama frekuensinya dari kejang
pertama. Timmbulnya kejang pada anak akan menimbulkan berbagai masalah
seperti resiko cidera, resiko terjadinya respirasi atau yang lebih fatal adalah lidah
jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan napas.

B. Tujuan Penulisan
 Tujuan Umum
Untuk mengetahui masalah-masalah yang terkait pada anak, yang
berhubungan dengan masalah kejang dan demam
 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui masalah-masalah yang terkait dengan penanganan
kejang dan demam pada anak.

C. Manfaat Penulisan
 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui masalah-masalah secara jelas tentang
penanganan kejang dan demam pada anak
 Bagi Masyarakat
Masyarakat mampu mengatasi akan terjadinya kejang dan demam pada
anak

D. Sistematika Penulisan
Pada Bab I makalah ini membahas tentang latar belakang, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Pada Bab II membahas tentang
pengertian kejang demam, etiologi kejang demam, klasifikasi kejang demam,
patofisiologi, prognosis, faktor resiko yang berulangnya kejang demam dan
terjadinya epilepsi, pemeriksaan dan penatalaksanaan. Pada Bab III yaitu penutup
yang berisi kesimpulan dari isi makalah dan saran bagi pembaca.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakarnium.
Kejang demam pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun, dan banyak terjadi
pada usia 17-23 bulan. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang
demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului dengan demam, kemungkinan lainn harus dipertimbangkan
misalnya infeksi sistem saluran pernapasann atau epilepsi yang kebetulan terjadi
bersama demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang
demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.

B. Etiologi
Kejang demam terjadi karena aktivitas listrik di otak terganggu oleh
demam. Kejang demam dapat merupakan tanda pertama penyakit. Sebagian beesar
kejang demam terjadi dalam 24 jam pertama penyakit dan tidak selalu saat demam
tertinggi. Penyakit yang dapat menyebabkan kejang demam adalah flu, pilek,
infeksi telinga dan infeksi lai yang biasanya tidak serius.
Namun, penyakit serius seperti pneumonia dan meningitis juga dapat
menjadi penyebabnya. Kecenderungan untuk mendapatkan kejang demam
diwariskan dalam keluarga. Resiko anak memiliki kejang demam adalah 10-20%
bila salah satu orang tuanya pernah menndapatkannya. Resiko meninngkat
menjadi sekitar 30% jika kedua orang tua dan saudara kandung pernah
mendapatkannya.

C. Klasifikasi Kejang Demam


a. Kejang Demam Sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam
sederhana, kejang timbul bukan karena infeksi sendiri, akan tetapi oleh
kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada
radang telinga tengah yang akut dan sebagainya. Bila dalam riwayat
penderita pada umur-umur sebelumnya terdapat periode-periode dimana
anak menderita suhu yang sangat tinggi akan tetapi tidak mengalami
kejang, maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati-hati,
mungkin kejang yang ini ada penyebabnya.
Pada kejang demam sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu
sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Kenaikan suhu
yang tiba-tiba merupakan faktor yang penting unntuk menimbulkan
kejang.
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum
biasanya bersifat tonik-klonik. Kejang dapat juga berulang tapi hanya
sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu,
umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang
demam sederhana masih mungkin.

b. Kejang Demam Kompleks


Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
1) Kejang lama lebih dari 15 menit
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
3) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara
bangkitan kejang anak tidak sadar, serta kejang berulang terjadi
pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.

c. Kejang Tonik
Kejang inni biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat
badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi
dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinnis kejang ini yaitu berupa
pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrassi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang
tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap
epistotonus yang disebabkan oleh rangsangan meningkat karena infeksi
selaput otak.

d. Kejang Klonik
Kejang ini dapt berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal berpinndah-pindah. Bentuk klinis kejang
klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk
kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma fokal pada
bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensapalopati metabolik.

e. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda
kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada
kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

D. Patofisiologi
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran
selneuron adn dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui
membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan
listrik ini demikian besarnya sehinngga dapat meluas keseluruh sel maupun
membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan
terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih
dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot seklet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi alterial
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang
disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbulnya edema otak
yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan,
karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
E. Prognosis
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis.
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal
pada pasien. Penelitian lain melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama
atau kejang berulang. Kejang yang lebih dari 15 menit diduga biasanya
menimbulkan kelainan saraf yang menetap. Apabila tidak diterapi dengan
baik kejang demam dapat berkembang menjadi kejang demam berulang
dengan frekuensi berkisar antara 25%-50%, epilepsi, kelainan motorik,
serta gangguan mental dan belajar.
b. Kemungkinan mengalami kematian.
F. Faktor Resiko Berulangnya Kejang Demam dan Terjadinya Epilepsi
Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah :
1) Riwayat kejang demam dalam keluarga
2) Usia kurang dari 12 bulan
3) Temperatur yang rendah saat kejang
4) Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor ini ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10%-15%.
Faktor resiko terjadinya epilepsi adalah :
1) Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
2) Kejang demam kompleks.
3) Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. EEG : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunnakan kajian sinar-X yang lebih sensitif dari
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. MRI : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik
dengan gelombang radio berguna untu memperlihatkan daerah-daerah otak
yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT.
4. PET : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu
menetapkan lokasi lesi, pperubahan metabolik atau aliran darah dalam
otak.
5. Uji laboratorium

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat. Apabila datang dalam
keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang
adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-
2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20mg.
Obat yang praktis yang dapat diberikan oleh orang tua di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,7mg/kgBB atau
diazepam rektal 5mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10kg
dan 10mg untuk berat badan lebih dari 10kg. Atau diazepam rektal
dengan dosis 5mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau 7,5mg untuk
anak diatas usia 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti dapat
diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah pemberian dizepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit karena di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10 ± 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4 ± 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamapakah
kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

2. Pemberian Obat Pada Saat Demam


a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
resiko terjadinya kejangdemam, namun para ahli di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10 ± 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebihdari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 ± 10
mg/kgBB/kali, 3 ± 4 kali sehari. Meskipun jarang, asam
asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada
anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan.
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 %
kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap
8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut cukup tinggi dan
menyebabkanataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25
% - 39 % kasus.Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat
demam tidak berguna untuk mencegah kejangdemam.

3. Pemberiaan Obat Rumah


a. Indikasi Pemberian Obat Rumah
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut:
1). Kejang lama > 15 menit.
2). Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrosefalus.
3). Kejang fokal.
4). Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :‡ Kejang berulang dua
kali atau lebih dalam 24 jam.‡ Kejang demam terjadi pada bayi
kurang dari 12 bulan.‡ Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit
merupakan indikasi pengobatanrumat.Kelainan neurologis tidak
nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakanindikasi pengobatan rumat.Kejang fokal atau fokal
menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik.
b. Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumah
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan resiko berulangnya kejang.Berdasarkan bukti
ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapatmenyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka
pendek.Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil
kasus,terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat
dapat menyebabkan gangguan fungsihati. Dosis asam valproat 15 ±
40 mg/kgBB/hari dalam 2 ± 3 dosis, dan fenobarbital 3 ±
4mg/kgBB/hari dalam 1 ± 2 dosis.

4. Edukasi Pada Orang Tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.
Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya
telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangidengan cara yang
diantaranya:
o Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
o Memberitahukan cara penanganan kejang.
o Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali.
o Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif
tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
o
5. Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Terjadi Kejang
o Tetap tenang dan tidak panik.
o Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
o Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala
miring. Bersihkan muntahan ataulendir di mulut atau hidung.
Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan
sesuatuke dalam mulut.
o Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
o Tetap bersama pasien selama kejang.
o Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah
berhenti.
o Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5
menit atau lebih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektaldiatas 38 o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam ini terjadi pada anak yang berumur 6 bulan - 5 tahun. Faktor resiko
kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat kejang
demamkeluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik.Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium
rendah. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum
tonik dan atau klonik, tanpagerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam sederhana merupakan80 % diantara seluruh kejang demam.
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) adalah kejang dengan salah
satu ciri berikut :a. Kejang lama lebih dari 15 menit. b. Kejang fokal atau parsial
satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.c. Berulang atau lebih dari 1
kali dalam 24 jam.5. Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapatdikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratoriumyang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.6. Pemeriksaan cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkankemungkinan meningitis.

B. Saran
Bagi mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memanfaakan makalah ini untuk
menambah pengetahuan tentang penanganan kejang demam pada anak dan
dewasa yang berguna bagi profesinya dan dirinya sendiri.
Bagi masyarakat diharapkan dapat memanfaakan makalah ini untuk menambah
pengetahuan tentang penanganan kejang demam pada anak dan dewasa yang
berguna bagi kesahatan .

DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 ± 2060.
2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27.1982 : 6 ± 8.
3. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita
SelektaKedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK Universitas
Indonesia, Jakarta.2000 : 48, 434 ± 437.
4. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
PenatalaksanaanKejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta. 2006 :1 ± 14.
5. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
IlmuKesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 ± 273.6. Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu KesehatanAnak FKUI Jakarta.
1985 : 25, 847 ± 855.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Peninggian tekanan intrakranial (TIK/ICP, Intracranial Pressure) merupakan


bencana sejak masa awal bedah saraf, dan tetap merupakan penyebab kematian paling
sering pada penderita bedah saraf. Ini terjadi pada penderita cedera kepala, stroke
hemorrhagic dan trombotik, serta lesi desak ruang seperti tumor otak. Massa
intracranial bersama pembengkakkan otak meninggikan TIK dan mendistorsikan otak.

Cara untuk mengurangi TIK dengan cairan hipertonik yang mendehidrasi otak,
menjadi bagian penting pada tindakan bedah saraf. Beberapa proses patologi yang
mengenai otak dapat menimbulkan peninggian tekanan intrakranial. Sebaliknya
hipertensi intrakranial mempunyai konsekuensi yang buruk terhadap outcome pasien.
Jadi peninggian TIK tidak hanya menunjukkan adanya masalah, namun sering
bertanggung-jawab terhadapnya Walau hubungan antara pembengkakan otak dengan
hipertensi. intrakranial dan tanda-tanda neurologi yang umum terjadi pada herniasi
tentorial, hingga saat ini sedikit informasi direk tentang kejadian, derajat dan tanda
klinik yang jelas dari peninggian TIK.

Sebabnya adalah bahwa tekanan jarang yang langsung diukur intrakranial. Untuk
itu, pengukuran dilakukan pada rongga subarakhnoid lumbar dan hanya kadang-kadang
dicatat serta pada waktu yang singkat pula.
Pungsi lumbar tidak hanya memacu herniasi tentorial atau tonsilar, namun juga
tekanan yang terbaca lebih rendah dari yang sebenarnya. Sejak Lundberg
memperkenalkan pemantauan yang sinambung terhadap TIK dalam praktek bedah
saraf tahun 1960, telah banyak peningkatan pengetahuan atas TIK dan pengelolaannya.
Pada saat yang sama timbul kontroversi atas pemantauan TIK. Sebagian menganggap
teknik ini merupakan bagian dari perawatan intensif dan berperan dalam pengelolaan
setiap pasien koma. Lainnya mengatakan bahwa tidak ada hubungan bahwa
pemantauan TIK mempengaruhi outcome dan hanya menambah risiko karena tindakan
yang invasif tersebut. Pemantauan sinambung sebenarnya sudah dikenalkan oleh
Guillaume dan Janny 1951. Sejak awal 1970 lebih mendapat perhatian seiring dengan
majunya tehnologi yang bersangkutan.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemantauan TIK merupakan satu-satunya


cara untuk memastikan dan menyingkirkan hipertensi intrakranial. Bila hipertensi
terjadi, pemantauan TIK merupakan satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk
menilai tentang kerja pengobatan dan memberikan kesempatan dini untuk mengubah
pilihan terapi bila tampak kegagalan. Bila tak terdapat peninggian TIK, pengobatan
yang potensial berbahaya dapat dihindari. Bila pasien dalam keadaan paralisa atau tidur
dalam, pengamatan neurologis konvensional tidak ada gunanya dan pemantauan TIK
dapat memberikan nilai tekanan perfusi serebral dan indeks dari fungsi serebral.

B. TUJUAN

a. Tujuan Umum

- mahasiswa mampu memahami dan mengerti asuhan keperawatan pada pasien


yang menderita tekenen intra kranial
b. Tujuan Khusus

- Menjelaskan pengertian dari tekenen intra kranial


- Menyebutkan dan menjelaskan etiologi dari tekenen intra kranial
- Menyebutkan manifestasi klinis dari tekenen intra kranial
- Menjelaskan patofisiologi dari tekenen intra kranial
- Menyebutkan dan menjelaskan penatalaksanaan dari tekenen intra kranial
- Menyebutkan komplikasi dari tekenen intra kranial
- Membuat dan melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien penderita
tekenen intra kranial

c. Metode penulisan
1. Bab I terdiri dari latarbelakang yang menjelaskan tentang enekanan intrakarnial
2. Bab II terdiri dari Pengertian, Tanda Dan Gejala Spesifik
Peningkatanantekananintrakranial,Etiologi,Pathofisiol-Ogi Anatomi Dan
Fisiolog Manifestasi Klinik, Komplikasi, Pemeriksaan Diagnostik, Pengkajian,
Diagnosa Keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

Tekanan intrakranial adalah tekanan yang diakibatkan cairan cerebrospinal dalam


ventrikel otak. Secara umum istilah Penekanan tekanan intrakarnial adalah fenomena
dinamik yang berfluktuasi sebagai respon dari berbagai faktor penyebab. Dalam
keadaan normal Penekanan tekanan intrakarnial harus kurang dari 10 mmHg, bila
diukur dengan alat pengukur yang dipasang setinggi foramen Monro dalam posisi
bwebaring. Beberapa pakar menganggap nilai normal antara0 – 10 mmHg.
Meninggikan letak kepala atau berdiri akan menurunkan Penekanan tekanan
intrakarnial, sedangkan batuk, bersin, atau mengeden (manuver Vaisava) akan
meningkatkan Penekanan tekanan intrakarnial.

Istilah Penekanan tekanan intrakarnial jangan dianggap sebagai peninggian


menyeluruh di dalam kranial. Karena tekanan sebenarnya berbeda-beda didalam otak.
Sebagai contoh, tekanan pada jaringan otak yang berdekatan dengan suatu tumor
mungkin dapat meningkat, tetapi tekanan di dalam ventrikel beluym tentu.

Penekanan tekanan intrakarnial juga tidak selalu dapat disamakan dengan adanya
meninggian tekanan dispinal saat melakukan punksi lumbal. Berarti dikenal adanya
istilah Penekanan tekanan intrakarnial Regional (Penekanan tekanan intrakarnial pada
suatu daerah tertentu diotak).

A. TANDA DAN GEJALA SPESIFIK PENINGKATANAN TEKANAN INTRA


KRANIAL
Tanda dan gejala spesifik Penekanan tekanan intrakarnial adalah sebagai berikut :

1. Awal
- Penurunan derajat kesadaran (mis : delirium, gelisah, letargi)
- Disfungsi pupil
- Kelemahan motorik (mono atau hemiparesis)
- Defisit sensorik
- Paresis nervus kranial
- Kadang-kadang disertai nyeri kepala
- Kadang-kadang disertai bangkitan / kejang
2. Lanjut
- Lebih memburuknya derajat kesadaran (mis : stupor, soporokomatus, koma)
- Mungkin disertai muntah
- Nyeri kepala
- Hemiplegia, dekortiasi, atau deserebasi
- Pemburukan tanda vital
- Pola pernafasan ireguler
- Gangguanreflek batang otak (mis : gangguan reflrks kornea, refleks muntah)

Perwujudan klinis gejala dan tanda klinik Penekanan tekanan intrakarnial tergantung dari
:

1. Lokasi kompartemen mana terdapatnya kelainan


2. Lokasi spesifik dari massa ( hemisfer cerebral, batang otak atau cerebelum0
3. Derajat kemampuan kompensasi bagian otak yersebut.
Karena pentingnya mengenali gejala-gejala tersebut diatas, maka perlu sekali mengetahui
cara pemeriksaan neurologik. Untuk memudahkan akan diuraikan secara singkat temuan –
temuan diatas.

1. Pemburukan derajat kesadaran


Pemburukan derajat kesadarn tak selalu memperburuknya umum bagian otak, tetapi
merupakan peringkat sensitif dan dapat dipercaya untuk mengenali adanya kemungkinan
memburukkan kondisi neurologik. Penurunan derajat kesadaran dikarenakan :
a. Sebagian besar otak terbenrtuk dari sel – sel tubuh yang sangat khusus,
tetapi sensitif terhadap perubahan Kadar oksigen. Respon otak terhadap
tidak mencukupinya kebutuhan oksigen terlihat sebagai somnolen dan
gangguan daya nalar (kognisi)
b. Fluktuasi tekanan intrakarnial akibat perubahan fisikpembuluh darah
terminal.
Oleh karena itu gejala awal dari penurunan derajat kesadaran adalah somnolen,
delirium dan letargi. Penderita menjadi disorientasi, mula – mula terhadap waktu,
lalu tempat, dan akhirnya dalam hal memgenali seseorang, Dengan semakin
meningginya TIK, derajat kesadaran semakin rendah , dimana rangsang nyeri mulai
memberi reaksi adequat, hingga akhirnya komplikasi.

2. Disfungsi pupil
Akibat peninggian tekanan intrakarnial supratentorial atau oedema otak, perubahan ukuran
pupil terjadi. Tidak saja ukuran pupil yang berubah, tetapi dapat juga bentuk dan reaksi
terhadap cahaya. Pada tahap awal ukuran pupil menjadi berdiameter 3,5 mm atau disebut
sebagaui ukuran tengah. Lalu makin melebar (dilatasi) secara bertahap. Bewntuknya dapat
berubah menjadi Nmelonjong dan reaksi tyerhadap cahaya menjadi lamban. Perlambatan
reaksi cahaya dan tau perubahan melonjong, merupakan gejala awal dari penekanan pada
syaraf okulomotor. Karena sumber Penekanan tekanan intrakarnial cenderung berdampak
sesuai kompartemen pada tahap awal, disfungsi pupil masih ipsilateral (pada sisi yang yang
sam,a terhadap penyebabnya). Pada tahap lanjut Penekanan tekanan intrakarnial, pupil
ipsilateral berdilatasi bilateral dan non reaktif terhadap cahaya. Pupil menjadi berdilatasi
bilateral dan non reaktif pada fase terminal, karena Ptik menyebabkan proses herniasi.

3. Abnormalitas visual
Devisit visual dapat terjadi sejak gejala masih awal. Gangguan tersebut dapat berupa :
ketajaman visus, kabur dan diplopia. Menurutnya ketajaman penglihatan dan penglihatan
kabur adalah keluhan yang sering terjadi, karena diperkirakan akibat penekanan syaraf –
syaraf nervus optikus (N. 11) melintasi hemisfer cerebri. Diplopia berkaitan dengan
kelumpuhan dari satu atau lerbih syaraf – syaraf penggerak bola mata ekstra- okuler (N.
III, IV, VI) Sehingga pasien melihat dobel pada posisi tertentu. Gejala – gejala visual
semakin menonjol seiring semakin m,eningkatnya TIK.Pemburukan fungsi motori. Pada
tahap awal, monoparesis stau hemiparesis terjadi akibat penekanan traktus piramidalis
kontra lateral pada massa. Pada tahap[ selanjutnya hemiplegia, dekortikasi dan deserebrasi
dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pada tahap akhir (terminal menjelang mati) penderita
menjadi flasid bilateral.Secara klinis sering terjadi keracunan dengan respon primitif
perkembangan manusia, yaitu reflek fleksi yang disebut trifleksi (triple fleksion). Trifleklsi
terjadi akibat aktivasi motoneuron difus dengan hasil berupa aktivasi otot – otot fleksosr
menjauhi rangsang nyeri (otot – otot fleksor dipergelangan lutut, kaki, dan panggul me-
ngkontraksikankeempatanggota badan kearah badan). Trirefleks ini merupakan bentuk
primitif refleks spinal.

4. Nyeri kepala
Pada tahap paling awal Penekanan tekanan intrakarnial, beberapa penderita mengeluh nyeri
kepala ringan atau samar – samar. Secara umum, nyeri kepala sebenarnya tidak terlalu
sering terjkadi seperti diperkirakan banyak orang. Bnyeri kepala terjadi akibat pereganggan
struktur intrakranial yang peka nyeri (duramater, pembuluh darah besar basis kranji, sinus
nervus dan bridging veins0. Nyeri terjadiakibat penekanan langsung akibat pelebaran
pebuluh darah saat kompensasi. Nyeri kepala I pada kelainan ini sering dilaporkan sebagi
nyeri yang bertambah hebat saat bangkit dari tidur di pagi hari. Hari ini dikarenakan secara
normal terjadi peningkatan aktivitas metabolisme yang paling tinggi saat pagi harii,
,dimana pada saat tidur menjelang bangun pagi fase REM mengaktifkan metabolisme dan
produksi CO2. Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah vasodilatasi.

5. Muntah
Muntah akibat Penekanan tekanan intrakarnial tidak selalu sering dijumpai pada orang
dewasa. Muntah disebabkan adanya kelainan di infratentorial atau akibat penekanan
langsung pada pusat muntah. Kita belum mengerti secara lengkap bagaimana mekanisme
refleks muntah terjadi. Muntah dapat didahului oleh mual / dispepsia atau tidak.
Seandainya didahului oleh perasaan mual / dispepesia, berarti terjadi aktivasi saraf – saraf
ke otot Bantu pernafasan akibat kontraksi mendadak otot –otot abdomen dan thorak.

6. Perubahan tekanan darah dan denyut nadi


Pada tahap awal tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil pada tahap selanjutnya karena
penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan darah. Penekanan ke batang otak
menyebabkan susasana iskemik di pusat vasomotorik di batang otak. Seiring dengan
meningkatnya TIK, refleks rtespon Chusing teraktivasi agar tetap menjaga tekanan
didalam pembuluh darah serebral tetap lebih tinggi daripada TIK. Dengan meningginya
tekanan darah, curah jantunmgpun bertambah dengan meningkatnya kegiatan pompa
jantung yang tercermin dengan semakin memburuknya kondisi penderita akan terjadi
penurunan tekanan darah. Pada tahap awal denyut nadi masih relatif stabil dengan semakin
meningkatnya TIK, denyut nadi akan semakin menurun kearah 60 kali permenit sebagai
usaha kompensasi. Menurunnya denyut nadi dan “ isi “ denyut terjadi sebagai upayta jatung
untuk memompa akan ireguler, cepat, “ halus “ dan akhirnya menghilang.

7. Perubahan pola pernafasan


Perubahan pola pernafasan merupakan pencerminan sampai tingkat mana TIK. Bila terjadi
PTIK akut sering terjadi oedema pulmoner akut tanpadistress syndrome (ARDS) atau
dissminated intravaskular coangulopathy (DIC)

8. Perubahn suhu badan


Peningkatansuhu badan biasanya berhubungan dengan disfungsi hipothalamus. Pada fase
kompensasi, suhu badan mungkin masih dalam batas normal. Pada fase dekompensasi akan
terjadi peningkatan suhu badan sangat cepat dan sangat tinggi. Menaioknya suhu badan
dapat juga terjadiakibat infeksi sekunder, tetapi jarang yang mencapai sangat tinggi
sebagaiman halnya akibat gangguan fungsi hipothalamus. Hilangnya reflek – reflek batang
otak. Pada tahap lanjut PTIK terjadi penekanan kebatang otak yang berakibat hilangnya
atau disfungsi reflek – reflek batang otak. Refleks – refleks ini diantaranya : refleks kornea,
oukosefalik, dan aukulovestibuler. Prognosis penderita akan menjadi buruk bila terjadi
refleks – refleks tersebut.

9. Papiludema
Tergantung keadaan yang ada, pail oedema dapat terjadi akibat PTIK, atau memang sudah
ada sejak awal. Papiloedema akibat PTIK tak akan tyerjadi seandainya belum menjadi
ingkat yang sangat tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa tak adanya papiloedema tak beraarti
tak ada PTIK. Pada beberapa orang dapat ada jika PTIK terjadi secara bertahap.

a. Fleksi, ekstensi atau rotasi leher akan meningkatkan TIK karena obstruksi
venous outflow.
b. Penumpukan secret atau kerusakan kulit mungkin terjadi bila posisi pasien
tidak di rubah setiap 2 jam.
c. Nyeri atau kegelisahan akan meningkatkan TIK.
d. Herniasi batang otak di akibatkan dari peningkatan TIK yang berlebihan,
bila tekanan bertambah di dalam ruang cranial dan penekanan jaringan otak
ke arah batang otak. Tingginya tekanan pada batang otak menyebabkan
penghentian aliran darah ke otak dan menyebabkan penghentian aliran
darah ke otak dan menyebabkan anoksia otak yang dapat pulih dan mati-
otak.
e. Diabetes insipidus (DI) merupakan hasil dari penurunan sekresi hormone
anti-diuretik. Urine pasien berlebihan. Terapi yang diberikan terdiri dari
volume cairan, elektrolit pengganti dan terapi vasopressin (desmopresin,
DDAVP).
f. Sindrom Ketidaktepatan Hormon Anti-Diuretik (SIADH) adalah akibat dari
peningkatan sekresi hormon anti-diuretik. Pasien mengalami volume
berlebihan dan menurunnya jumlah urine yang keluar. Pengobatan SIADH
berupa pembatasan cairan dan pemberian fenitoin untuk menurunkan
pengeluaran ADH atau dengan litium untuk meningkatkan pengeluaran air.

B. ETIOLOGI

Pnekanan intrakarnial secara umum dapat disebabkan oleh 4 faktor, yaitu :

a. Peninggian cerebral blood volume.

Hal ini dapat disebabkan karena peninggian central venous pressure dan
vasodilatasi serebral.
b. Edema serebri.

Hal ini dapat disebabkan karena penurunan tekanan sistemik yang akan
menimbulkan penurunan cerebral perfusion pressure, selanjutnya akan
menurunkan cerebral blood flow sehingga menimbulkan hipoksia jaringan
otak. Jika hal ini berlanjut akan terjadi kerusakan otak kemudian kerusakan
blood brain barrier sehingga edema serebri.

c. Obstruksi aliran CSS ( cairan serebro spinal ).

Hal ini dapat disebabkan karena efek massa, infeksi, perdarahan trauma,
dan lain-lain.

d. Efek massa.

Hal ini dapat menimbulkan desakan dan peregangan mikrovaskuler


akibatnya terjadi pergeseran jaringan otak dan kerusakan jaringan.

Penyebab yang lainnya adalah :

a. neurisma pecah dan pendarahan subarachnoid

b. Tumor otak

c. Pendarahan otak hipertensi

d. Pendarahan

e. Cedera kepala parah


C. PATHOFISIOLOGI

Ruang intracranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intracranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam
keadaan normal, tekanan intracranial dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari pada normal.
Beberapa aktivitas tersebut adalah pernapasan abdominal dalam, batuk, dan mengedan
atau valsalva maneuver. Kenaikan sementara TIK tidak menimbulkan kesukaran, tetapi
kenaikan tekanan yang menetap mengakibatkan rusaknya kehidupan jaringan otak.
Ruang intracranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsure yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75
ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur
utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsure lainnya dan
menaikan tekanan intracranial. Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu contoh
konsep pemahaman peningkatan TIK. Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak
tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga ruangannya meluas, dua ruang
lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (apabila TIK masih
konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi
neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap
peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang
berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak kearah bawah atau horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat.
Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi syaraf. Apabila
peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan
peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal. Tumor otak, cedera otak,
edema otak, dan obstruksi aliran darah CSF berperan dalam peningkatan TIK. Edema
otak (mungkin penyebab tersering peningkatan TIK) disebabkan oleh banyak hal
(termasuk peningkatan cairan intrasel, hipoksia, iskemia otak, meningitis, dan cedera).
Pada dasarnya efeknya sama tanpa melihat factor penyebabnya. TIK pada umumnya
meningkat secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema terjadi dalam 36 hingga 48
jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan TIK hingga 33 mmHg (450 mmH2O)
menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak (cerebral blood flow, CBF). Iskemia
yang terjadi merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik meningkat.
Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan
menjadi lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai reflek cushing,
membantu mempertahankan aliran darah otak. (akan tetapi, menurunnya pernapasan
mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu
menaikan tekanan intracranial). Tekanan darah sistemik akan terus meningkat
sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu titik ketika TIK
melebihi tekanan arteria dan sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian
otak. Pada umumnya, kejadian ini didahului oleh tekanan darah arteria yang cepat
menurun. Siklus deficit neurologik progresif yang menyertai kontusio dan edema otak
(atau setiap lesi massa intracranial yang membesar). Seperti pada gambar dibawah
peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada
gilirannya akan menurunkan CBF, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan
peningkatan PaCO2), dan kerusakan BBB lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut
sehingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali bila
dilakukan intervensi.

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen: otak, cairan
serebrospinal (CSS) dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium
hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga
memiliki tentorium yang kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.
Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.

SIRKULASI CAIRAN SEREBROSPINA


a. Produksi
CSS diproduksi terutama oleh pleksus khoroid ventrikel lateral, tiga dan empat,
dimana ventrikel lateral merupakan bagian terpenting. 70 % CSS diproduksi
disini dan 30 % sisanya berasal dari struktur ekstrakhoroidal seperti ependima
dan parenkhima otak. Pleksus khoroid dibentuk oleh invaginasi
piamatervaskuler (tela khoroidea) yang membawa lapisan epitel pembungkus
dari lapis ependima ventrikel. Pleksus khoroid mempunyai permukaan yang
berupa lipatan-lipatan halus hingga kedua ventrikel lateral memiliki permukaan
40 sm2. Mereka terdiri dari jaringan ikat pada pusatnya yang mengandung
beberapa jaringan kapiler yang luas dengan lapisan epitel permukaan sel kuboid
atau kolumner pendek. Produksi CSS merupakan proses yang kompleks.
Beberapa komponen plasma darah melewati dinding kapiler dan epitel khoroid
dengan susah payah, lainnya masuk CSS secara difusi dan lainnya melalui
bantuan aktifitas metabolik pada sel epitel khoroid. Transport aktif ion ion
tertentu (terutama ion sodium) melalui sel epitel, diikuti gerakan pasif air untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik antara CSS dan plasma darah.
b. Sirkulasi Ventrikuler
Setelah dibentuk oleh pleksus khoroid, cairan bersirkulasi pada sistem
ventrikuler, dari ventrikel lateral melalui foramen Monro (foramen
interventrikuler) keventrikel tiga, akuaduktus dan ventrikel keempat. Dari sini
keluar melalui foramina diatap ventrikel keempat kesisterna magna.
c. Sirkulasi Subarakhnoid
Sebagian cairan menuju rongga subarakhnoid spinal, namun kebanyakan
melalui pintu tentorial (pada sisterna ambien) sekeliling otak tengah untuk
mencapai rongga subarakhnoid diatas konveksitas hemisfer serebral.

d. Absorpsi
Cairan selanjutnya diabsorpsi kesistem vena melalui villi arakhnoid. Villa
arakhnoid adalah evaginasi penting rongga subarakhnoid kesinus venosus dural
dan vena epidural; mereka berbentuk tubuli mikro, jadi tidak ada membran yang
terletaka antara CSS dan darah vena pada villi. Villi merupakan katup yang
sensitif tekanan hingga aliran padanya adalah satu arah. Bila tekanan CSS
melebihi tekanan vena, katup terbuka, sedang bila lebih rendah dari tekanan vena
maka katup akan menutup sehingga mencegah berbaliknya darah dari sinus
kerongga subarakhnoid. Secara keseluruhan, kebanyakan CSS dibentuk di
ventrikel lateral dan ventrikel keempat dan kebanyakan diabsorpsi di sinus
sagittal. Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara pembentukan
dan absorpsi CSS. Derajat absorpsi adalah tergantung tekanan dan bertambah
bila tekanan CSS meningkat. Sebagai tambahan, tahanan terhadap aliran
tampaknya berkurang pada tekanan CSS yang lebih tinggi dibanding tekanan
normal. Ini membantu untuk mengkompensasi peninggian TIK dengan
meningkatkan aliran dan absorpsi CSS. Hampir dapat dipastikan bahwa jalur
absorptif adalah bagian dari villi arakhnoid, seperti juga lapisan ependima
ventrikel dan selaput saraf spinal; dan kepentingan relatifnya mungkin bervariasi
tergantung pada TIK dan patensi dari jalur CSS secara keseluruhan. Sebagai
tambahan atas jalur utama aliran CSS, terdapat aliran CSS melalui otak, mirip
dengan cara cairan limfe. Cara ini kompleks dan mungkin berperan dalam
pergerakan dan pembuangan cairan edem serebral pada keadaan patologis.
e. Komposisi CSS
CSS merupakan cairan jernih tak berwarna dengan tampilan seperti air. Otak dan
cord spinal terapung pada medium ini dan karena efek mengambang, otak yang
beratnya 1400 g akan mempunyai berat netto 50-100 g. Karenanya otak
dilindungi terhadap goncangan oleh CSS dan mampu meredam kekuatan yang
terjadi pada gerak kepala normal. Otak mempunyai kapasitas gerakan terbatas
terhadap gerakan tengkorak karena terpaku pada pembuluh darah dan saraf otak.
Pada dewasa terdapat 100-150 ml CSS pada aksis kraniospinal, sekitar 25 ml
pada ventrikel dan 75 ml pada rongga subarakhnoid. Pencitraan Resonansi
Magnetik telah digunakan untuk mengukur isi CSS intrakranial. Isi CSS kranial
total meningkat bertahap sesuai usia pada tiap jenis kelamin. Tingkat rata-rata
pembentukan CSS sekitar 0.35 ml/menit, atau 20 ml/jam atau sekitar 500
ml/hari. CSS terdiri dari air, sejumlah kecil protein, O2 dan CO2 dalam bentuk
larutan, ion sodium, potasium dan klorida, glukosa dan sedikit limfosit. CSS
adalah isotonik terhadap plasma darah dan sesungguhnya mungkin dianggap
sebagai ultrafiltrat darah yang hampir bebas sel dan bebas protein. Konsentrasi
protein berbeda secara bertingkat sepanjang neuraksis. Pada ventrikel nilai rata-
rata protein adalah 0.256, dan pada sisterna magna 0.316. Dalam keadaan
normal, TIK ditentukan oleh dua faktor. Pertama, hubungan antara tingkat
pembentukan CSS dan tahanan aliran antara vena serebral. Kedua, tekanan sinus
venosus dural, yang dalam kenyataannya merupakan tekanan untuk membuka
system aliran. Karenanya tekanan CSS = (tingkat pembentukan X tahanan
aliran) + tekanan sinus venosus Tingkat pembentukan CSS hampir konstan pada
daerah yang luas dari TIK namun mungkin jatuh pada tingkat TIK yang sangat
tinggi. Dilain fihak, absorpsi tergantung pada perbedaan tekanan antara CSS dan
sinus venosus besar, karenanya makin tinggi tingkat absorpsi bila TIK makin
melebihi tekanan vena.

f. Volume Darah Serebral


Bagian yang paling labil pada peninggian TIK dan yang mempunyai
hubungan yang besar dengan klinis adalah peningkatan volume darah
serebral (VDS/CBV, Cerebral Blood Volume). Ini mungkin akibat dilatasi
arterial yang berhubungan dengan peningkatan aliran darah serebral, atau
karena obstruksi aliran vena dari rongga kranial sehubungan dengan
pengurangan aliran darah serebral (ADS/CBF,Cerebral Blood Flow).
Volume darah serebral normal sekitar 100 ml. Pada percobaan binatang
dengan menggunakan sel darah merah yang dilabel dengan fosfor-32,
khromium-51 dan albumin yang dilabel dengan iodin-131 didapatkan
volume darah serebral sekitar 2 % dari seluruh isi intracranial. Pengukuran
langsung VDS, ADS regional dan ekstraksi oksigen kini dapat diukur pada
manusia dengan menggunakan tomografi emisi positron (PET scanning).
Sekitar 70 % volume darah intrakranial terdapat pada pembuluh kapasitans,
yaitu bagian vena dari sistem vaskular. Pada berbagai volume intrakranial,
hanya volume darah yang dapat berubah cepat sebagai respons terhadap
perubahan TIK atau perubahan pada volume in- trakranial lainnya. Ini
adalah hubungan langsung antara vena serebral, sinus venosus dural dan
vena besar dleher. Jadi tak ada yang menghalangi transmisi peninggian
tekanan vena dari dada dan leher ke isi intrakranial. Fenomena ini
mempunyai kegunaan terapeutik yang penting. Perubahan VDS bergantung
pada mekanisme yang kompleks yang bertanggung-jawab untuk mengatur
sirkulasi serebral.
g. Dioksida Karbon, ADS dan VDS
Pembuluh yang fisiologis paling aktif adalah arteriola serebral. Ia sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan metabolik. Artinya ADS regional
bereaksi atas kebutuhan metabolik jaringan. Zat vasodilator yang paling
kuat adalah CO2; ADS berubah 2-4 % untuk tiap mmHg perubahan tekanan
arterial dioksida karbon, PaCO2. ADS akan mengganda pada peninggian
PaCO2 40-80 mmHg dan akan tinggal setengahnya bila PaCO2 turun ke 20
mmHg. Dibawah 20 mmHg, perubahan PaCO2 hanya sedikit berpengaruh
pada ADS karena aliran sangat lambat dimana terjadi hipoksia jaringan.
Karenanya vasokonstriksi hipokapnik mungkin tidak menyebabkan
hipoksia hingga derajat yang menyebabkan kerusakan struktur otak.
Hubungan ini pada manusia telah dipastikan menggunakan sidik PET
dengan mengukur reaksi VDS atas perubahan PaCO2.
h. Oksigen, ADS dan VDS
Penurunan tekanan arterial oksigen (PaO2) berakibat peninggian ADS. Ada
ambang rangsang untuk fenomena ini dan hanya bila PaO2 dibawah 50
mmHg yang jelas menaikkan.

E. MANIFESTASI KLINIK

Prinsip penangganan yang harus dilakukan adalah prinsip super akut yang
dilakukan oleh multidisipilin terutama kerjasama yang baik antara perawat dan tenaga
medis (dokter). Diagnosa keperawatan yang dapat ditagakkan pada kasus seperti ini adalah
gangguan perfusi cerebral berhubungan dengan adanya oedema, pembengkakkan atau
hemoragik intracerebral. Dan lalu dikembangkan penatalaksanaan dalan upaya – upaya
untuk mengatasi masalah tersebut.
Tujuan penatalaksanan dari TIK tersebut adalah :

1. Deteksi dini dari tanda – tanda peningkatan TIK akut.


2. Mengurangi munculnya oedema
3. Mencegah formasi oedema cerebral selanjutnya

F. KOMPLIKASI

Berdasarkan data pengkajian, komplikasi potensial meliputi:

1. Herniasi batang otak diakibatkan dari peningkatan tekanan intracranial yang berlebihan,
bila tekanan bertambah di dalam ruang cranial dan penekanan jaringan otak kearah batang
otak. Tingginya tekanan pada batang otak menyebabkan penghentian aliran darah ke otak
dan menyebabkan anoksia otak yang tidak dapat pulih dan mati otak.
2. Diabetes insipidus merupakan hasil dari penurunan sekresi hormone antidiuretik. Urine
pasien berlebihan. Terapi yang diberikan terdiri dari volume cairan, elektrolit pengganti
dan terapi vasopressin.
3. Sindrom ketidaktepatan hormone antidiuretik (SIADH), adalah akibat dari peningkatan
sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengalami volume berlebihan dan menurunnya
jumlah urin yang keluar. Pengobatan SIADH berupa pembatasan cairan dan pemberian
feniotoin untuk menurunkan pengeluaran ADH atau dengan litium untuk meningkatkan
pengeluaran air.
4. Fleksi, ekstensi atau rotasi leher akan meningkatkan TIK karena obstruksi venous outflow.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Scan otak. Meningkatt isotop pada tumor.


b. Angiografi serebral. Deviasi pembuluh darah.
c. X-ray tengkorak. Erosi posterior atau adanya kalsifikasi intracranial.
d. X-ray dada. Deteksi tumor paru primer atau penyakit metastase.
e. CT scan atau MRI. Identfikasi vaskuler tumor, perubahan ukuran ventrikel
serebral.
f. Ekoensefalogram. Peningkatan pada struktur midline.

H. PENGKAJIAN

a. Pemeriksaan GCS.
GCS adalah pengkajian neurologi yang paling umum dan terdapat tiga
komponen pemeriksaan yaitu membuka mata, respon verbal dan respon
motorik. Nilai tertinggi 15 dan nilai terendah 3. pemeriksaan GCS tidak
dapat dilakukan jika klien diintubasi sehingga tidak bisa berbicara, mata
bengkak&tertutup, tidak bisa berkomunikasi, buta, afasia, kehilangan
pendengaran, dan mengalami paraplegi/paralysis. Pemeriksaan GCS
pertama kali menjadi nilai dasar yang akan dibandingkan dengan nilai hasil
pemeriksaan selanjutnya untuk melihat indikasi keparahan. Penurunan nilai
2 poin dengan GCS 9 atau kurang menunjukkan injuri yang serius
(Black&Hawks, 2005).
b. Tingkat kesadaran
pasien dikaji sebagai dasar dalam mengidentifikasi criteria Skala Koma
Glasgow. Pasien dengan peningkatan TIK memperlihatkan perubahan lain
yang dapat mengarah pada peningkatan TIK berat. Hal ini termasuk
perubahan yang tidak terlihat, perubahan tanda vital, sakit kepala,
perubahan pupil, dan muntah.
c. Perubahan samar.
Gelisah, sakit kepala, pernapasan cepat, gerakan tidak tertuju dan mental
berkabut dapat merupakan indikasi klinis dini dari peningkatan TIK.
Indicator pertama TIK adalah perubahan tingkat kesadaran.
d. Perubahan tanda vital.
Perubahan tanda vital mungkin tanda akhir dari peningkatan TIK. Pada
peningkatan TIK, frekuensi nadi dan pernapasan menurun dan tekanan
darah serta suhu meningkat. Tanda-tanda spesifik yang diobservasi
termasuk adanya tekanan tinggi pada arteri, bradikardia dan respirasi tidak
teratur serta adanya tanda lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pernapasan tidak teratur yangdikaji termasuk pernapasan cheyne stokes
(frekuensi dan kedalaman pernapasan bergantian dengan periode singkat
apnea) dan pernapasan ataksia (pernapasan tidak teratur dengan urutan
kedalaman yang acak dan pernapasan dangkal). Tanda vital pasien
berkompensasi selama sirkulasi otak dipertahankan. Bila, sebagai akibat
dari kompresi , sirkulasi utama mulai gagal, nadi dan pernapasan mulai
cepat dan suhu biasanya meningkat tetapi tidak diikuti pola yang konsisten.
Tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolic) melebar,
keadaan ini berkembang serius. Perubahan cepat pada respons klinik
sebelumnya selalu berada pada periode di mana fluktuasi nadi menjadi
cepat, dengan kecepatan yang bervariasi dari lambat sampai cepat.
Intervensi pembedahan adalah penting untuk mencegah kematian. Tanda
vital tidak selalu berubah, pada keadaan peningkatan TIK. Pasien dikaji
terhadap perubahan dalam tingkat responsivitas dan adanya syok,
manifestasi ini membantu dalam evaluasi.
e. Sakit kepala.
Sakit kepala konstan, yang meningkat intensitasnya, dan diperberat oleh
gerakan atau mengejan.
f. Perubahan pupil dan ocular
Peningkatan tekanan atau menyebarnya bekuan darah pada otak dapat
mendesak otak pada saraf okulomotorius dan optikal, yang menimbulkan
perubahan pupil.
g. Muntah.
Muntah berulang dapat terjadi pada peningkatan tekanan pada pusat refleks
muntah di medulla. Pengkajian klinis tidak selalu diandalkan dalam
menentukan peningkatan TIK, terutama pasien koma. Pada situasi tertentu,
pemantauan TIK adalah bagian esensial dari penatalaksanaan.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan peningkatan TIK antara
lain (Black&Hawks, 2005)
a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranial.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan berupa :

1. Posisikan klien terlentang dengan posisi kepala lebih tinggi


30 derajat jika tidak ada kontraindikasi
2. Jaga posisi kepala tetap netral untuk memfasilitasi venous
return dari otak lancar.
3. Hindari rotasi dan fleksi pada leher karena dapat
menghambat venous return dan meningkatkan TIK.
4. Hindari fleksi berlebihan pada pinggang karena dapat
meningkatkan tekanan intra-abdomen dan intratoraks yang
dapat meningkatkan TIK.
5. Hindari valsava maneuver, minta klien ekshalasi ketika
berputar atau pindah posisi.
6. Beri obat-obatan untuk menurunkan edema serebral sesuai
instruksi, seperti osmotik diuretik dan obat untuk
menurunkan risiko kejang seperti antikonvulsan. Konsul
dengan tim medis u/ membantu evakuasi bowel tanpa
pengikatan karena dapat meningkatkan TIK.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran, gangguan saraf pusat pernafasan
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan berupa :

1. Lakukan suctioning untuk mencegah penumpukan sekret


dan CO2 yang dapat meningkatkan TIK.
2. Beri oksigen yang cukup sebelum, antara dan sesudah
melakukan suctioning.
3. Hindari suction nasal jika terdapat drainase nasal, karena
drainase nasal mengindikasikan robekan di dural, sehingga
berisiko terjadinya meningitis.
4. Auskultasi daerah paru
5. Monitor hasil AGD dan pulse oksimetri
6. Tinggikan posisi kepala klien dengan posisi netral.
7. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian terapi medis.
c. Risti gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan restriksi cairan
untuk menurunkan edema serebral.
Pada masa lampau, pembatasan cairan dilakukan untuk mengurangi
edema serebral. Namun data terbaru

menunjukkan pembatasan cairan menurunkan volume darah dan menurunkan


sirkulasi serebral. Penurunan

volume darah menyebabkan darah mengental dan menurunkan mobilisasi


nutrisi dan toksin masuk/keluar dari

sirkulasi. Pembatasan cairan hanya cocok untuk klien dengan SIADH. Klien
sebaiknya dipertahankan pada

keadaan euvolemik daripada membatasi cairan (Black&Hawks, 2005).

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan berupa :

1. Monitor turgor kulit, membrane mukosa, serum dan


osmolalitas urin.
2. Monitor tanda-tanda vital
3. Monitor ketat intake dan output cairan
4. Observasi tanda CHF dan edema paru jika memberi manitol
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tekanan intrakranial adalah tekanan yang diakibatkan cairan cerebrospinal dalam


ventrikel otak. Secara umum istilah Penekanan tekanan intrakarnial adalah fenomena
dinamik yang berfluktuasi sebagai respon dari berbagai faktor penyebab. Dalam
keadaan normal Penekanan tekanan intrakarnial harus kurang dari 10 mmHg, bila
diukur dengan alat pengukur yang dipasang setinggi foramen Monro dalam posisi
bwebaring. Beberapa pakar menganggap nilai normal antara0 – 10 mmHg. Memiliki
gejala-gejala awal seperti Penurunan derajat kesadaran, Kelemahan motorik, Kadang-
kadang disertai nyeri kepala. Jika tidak ditanganni maka akan berakibat gejala seperti
Nyeri kepala, Mungkin disertai muntah Hemiplegia, dekortiasi, atau deserebasi
Pemburukan tanda vital Pola pernafasan ireguler.

B. SARAN

1. Sebagai seorang perawat dan calon perawat hendaknya kita perlu memiliki
pengetahuan yang lebih mengenai penekanan intrakarnial.
2. Sebagai masyarakat, kita perlu mengetahui gejala awal penekanan intrakarnial
dan gejala lanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Lewis, Heitkemper, Dirksen (2000). Medical Surgical Nursing Assessment and
management of clinical problems. St Louis, Mosby Comp

Monahan D F, Neighbors M (1998). Medical Surgical Nursing, foundations for clinical


practice.(5th ed). Philadelphia ,W.B Saunders company

White Lois, Duncan Gena (2002). Medical Surgical Nursing an Integrated Approach (2nd
ed).USA

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th
edition, Mosby Year Book, Toronto

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made
Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Smeltzer, Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Bruner & Suddart Vol 3
E/8, EGC, Jakarta
Diposting 4th March 2013 oleh Eva Maria Keljombar

Tambahkan komentar

2.

Mar

Pemeriksaan Laboratorium

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prosedur dan pemeriksaan khusus dalam dunia kesehatan merupakan


bagian dari tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dilaksanakan
secara tim, dimana perawat melakukan fungsi kolaboratif dalam memberikan
tindakan. Salah satu penyakit yang memerlukan pemeriksaan khusus yakni
penyakit saraf. Pemeriksaan khusus pada penyakit saraf meliputi pemeriksaan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental dan pemeriksaan
laboratorium.dari beberapa pemeriksaan yang dilaksanakan, pemeriksaan
laboratorium merupakan salah satu pemeriksaan yang memiliki peran sangat
penting, dimana pemeriksaan laboratorium berfungsi dalam membantu untuk
menegakkan diagnosis, memantau perjalanan penyakit serta serta menentukan
prognosis. Dalam pemeriksaan ada beberapa faktor yang memegang peran
penting dalam mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.
Dalam melakukan pemeriksaan laboratorium, terdapat 3 tahap yang
harus dilaksanakan secara teliti, guna mencegah kesalahan pada hasil
laboratorium pasien. Tahap-tahap tersebut yakni:
1. Pra-instrumentasi( sebelum dilakukan pemeriksaan). Pada tahap ini
sangat penting diperlukan kerja sama antara petugas kesehatan,pasien
dan dokter seperti pemahaman instruksi, pengisian formulir, persiapan
pasien, persiapan alat yang dipakai, cara pengambilan sampel,
penanganan awal sampel(pengawetan) dll. Karena tanpa kerja sama
yang baik dapat memepngaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.
2. Instrumentasi. Pada tahap ini petugas kesehatan akan melakukan
pemeriksaan atau analisa sampel yang dimiliki oleh pasien.
3. Pasca instrumentasi. Pada tahap ini dilakukan penulisan hasil
pemeriksan dari sampel yang dianalisa
Dengan berkembangnya teknologi kedokteran yang sangat pesat banyak
fasilitas dan alat-alat teknologi yang dapat memberikan bantuan yang sangat
penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan atau
perjalanan penyakit selain pemeriksaan-pemeiksaan khusus yang disebutkan
diatas. Saat ini kita dapat dengan mudah mendiagnosis perdarahan diotak atau
keganasan di otak melalui pemeriksaan pencitraan dan kita juga dapat dengan
mudah menentukan polineuropati dan perkembangannya melalui pemeriksaan
kelistrikan.

Oleh karena itu sangatlah penting bagi kita khususnya petugas kesehtan
untuk tetap dan harus memupuk kemampuan untuk melihat, mendengar dan
meras serta mengobservasi keadaan pasien baik dengan pemeriksaan anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental, pemeriksaan laboratorium ataupun
dengan alat-alat teknologi yang telah maju seiring berkembangnya zaman.

B. Tujuan Penulisan

 Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi tentang pemeriksaan-pemeriksaan yang
harus dilakukan guna menegakkan diagnosa
 Tujuan Khusus
Untuk memahami pemeriksaan-pemeriksaan yang berfungsi sebagai
penunjang kesehatan khususnya pemeriksaan laboratorium dalam kasus
neurobehaviour

C. Manfaat Penulisan

 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui mengenai pemeriksaan laboratorium pada
pasien dalam kasus neurobehaviour
 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat mengetahui tentang pentingnya melakukan
pemeriksaan laboratorium khususnya dalam kasus neurobehaviour

D. Sistematika Penulisan

Pada bab 1 dalam makalah ini dibahas tentang latar belakang, tujuan, manfaat serta
sistematika penulisan dari makalah ini. Pada bab 2 dibahas definisi dari pemeriksaan
laboratorium, fungsi pemeriksaan laboratorium, tahap-tahap pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan laboratorium khususnya dalam kasus neorobehaviour.
Pada bab 3 berisi kesimpulan dari isi makalah dan saran bagi pembaca.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur


pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan atau sample dari penderita
dimana dapat berupa urine, darah, sputum(dahak) dll. Pemeriksaan ini bertujuan
mendukung dan menyingkirkan diagnosis lainnya. Pemeriksaan laboratorium
juga sebagai ilmu terapan untuk menganalisa cairan tubuh dan jaringan guna
membantu tenaga kesehatan mendiagnosis dan mengobati pasien.
Pada umunya diagnosis penyakit dibuat berdasarkan gejala
penyakit(keluhan dan tanda dan gejala ini mengarahkan dokter pada
kemungkinan penyebab penyakit. Dengan adanya pemeriksaan laboratorium ini
sangatlah membantu dokter untuk menetapkan penyakit apa yang dialami oleh
seorang pasien. Salah satu contoh pemeriksaan laboratorium yakni dalam
pemeriksaan demam tifoid, jika positif sangat mendukung diagnosis, tapi bila
negatif tak menyingkirkan diagnosis demam tifoid jika secara klinis dan
pemeriksaan lain seperti pemeriksaan widal maka hal ini sangat membantu
petugas kesehatan.
Oleh karena itu menurut henry dan howanitz, para dokter memilih
mengevaluasi uji-uji laboratorium dalam perawatn pasien karena beberapa
alasan seperti berikut ini:
1. Untuk menunjang diagnosis klinis

2. Untuk menyingkirkan kemungkinan suatu diagnosis atau penyakit

3. Untuk digunakan sebagai pedoman terapi

4. Untuk digunakan sebagai panduan prognosis

B. Fungsi pemeriksaan laboratorium

Dari beberapa alasan diatas, dapat ditentukan fungsi dari pemeriksaan


laboratorium yakni:
1. Skrining atau uji saring adanya penyakit subklinis, dengan tujuan
menentukan resiko terhadap suatu penyakit dan mendeteksi dini
penyakit terutama bagi individu beresiko tinggi (walaupun tidak ada
gejala atau keluhan).

2. Konfirmasi pasti diagnosis, yaitu untuk memastikan penyakit yang


diderita seseorang, berkaitan dengan penanganan yang akan diberikan
dokter serta berkaitan erat dengan komplikasi yang mungkin saja dapat
terjadi.

3. Menemukan kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan gejala


klinis

4. Membantu pemantauan pengobatan.

5. Menyediakan informasi prognosis atau perjalanan penyakit, yaitu untuk


memprediksi perjalanan penyakit dan berkaitan dengan terapi dan
pengelolaan pasien selanjutnya.

6. Memantau perkembangan penyakit, yaitu untuk memantau


perkembangan penyakit dan memantau efektivitas terapi yang dilakukan
agar dapat meminimalkan komplikasi yang dapat terjadi. Pemantauan
ini sebaiknya dilakukan secara berkala.

7. Mengetahui ada tidaknya kelainan atau penyakit yang banyak dijumpai


dan potensial membahayakan.

8. Memberi ketenangan baik pada pasien maupun klinisi karena tidak


didapati penyakit.

C. Tahap-tahap pemeriksaan laboratorium


Disetiap laboratori untuk mendapatkan hasil yang akurat harus mengacu kepada
GLP (Good laboratory Procedure) yaitu melalui tahapan:

1. Pre Analitik. Pada tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap persiapan
awal, dimana tahap ini sangat menentukan kualitas sampel yang
nantinya akan dihasilkan dan mempengaruhi proses kerja berikutnya.
Yang termasuk dalam tahap Pra Analitik meliputi Kondisi pasien, cara
dan waktu pengambilan sampel, perlakuan terhadap proses persiapan
sampel sampai sampel selesai dikerjakan.
2. Analitik. Adalah tahap pengerjaan pengujian sampel sehingga
diperoleh hasil pemeriksaan.
3. Pasca Analitik. Adalah tahap akhir pemeriksaan yang dikeluarkan
untuk meyakinkan bahwa hasil pemeriksaan yang dikeluarkan benar –
benar valid atau benar.

D. Pemeriksaan laboratorium khususnya dalam kasus neurobehaviour


1. Meningitis
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu
membrane atau selaput yang melapisi otak dan syaraf tunjang. Meningitis
dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur
yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak.

 Penyebab Penyakit Meningitis


Meningitis yang disebabkan oleh virus umumnya tidak berbahaya,
akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik. Namun
Meningitis disebabkan oleh bakteri bisa mengakibatkan kondisi serius,
misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran, kurangnya
kemampuan belajar, bahkan bisa menyebabkan kematian. Sedangkan
Meningitis disebabkan oleh jamur sangat jarang, jenis ini umumnya
diderita orang yang mengalami kerusakan immun (daya tahan tubuh)
seperti pada penderita AIDS.

Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis diantaranya


:

1. Streptococcusm pneumoniae(pneumococcus)
Bakteri ini yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi
ataupun anak-anak. Jenis bakteri ini juga yang bisa menyebabkan
infeksi pneumonia, telinga dan rongga hidung (sinus).
2. Neisseria meningitidis (meningococcus).
Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak setelah
Streptococcus pneumoniae, Meningitis terjadi akibat adanya infeksi
pada saluran nafas bagian atas yang kemudian bakterinya masuk
kedalam peredaran darah.
3. Haemophilus influenzae (haemophilus).
Haemophilus influenzae type b (Hib) adalah jenis bakteri yang juga
dapat menyebabkan meningitis. Jenis virus ini sebagai penyebabnya
infeksi pernafasan bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis.
Pemberian vaksin (Hib vaccine) telah membuktikan terjadinya
angka penurunan pada kasus meningitis yang disebabkan bakteri
jenis ini.
4. Listeria monocytogenes (listeria).
Ini merupakan salah satu jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan
meningitis. Bakteri ini dapat ditemukan dibanyak tempat, dalam
debu dan dalam makanan yang terkontaminasi. Makanan ini
biasanya yang berjenis keju, hot dog dan daging sandwich yang
mana bakteri ini berasal dari hewan lokal (peliharaan).
5. Bakteri lainnya yang juga dapat menyebabkan meningitis adalah
Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis.

 Tanda dan Gejala Penyakit Meningitis


Gejala yang khas dan umum ditampakkan oleh penderita
meningitis diatas umur 2 tahun adalah demam, sakit kepala dan
kekakuan otot leher yang berlangsung berjam-jam atau dirasakan
sampai 2 hari. Tanda dan gejala lainnya adalah photophobia
(takut/menghindari sorotan cahaya terang), phonophobia
(takut/terganggu dengan suara yang keras), mual, muntah, sering
tampak kebingungan, kesusahan untuk bangun dari tidur, bahkan tak
sadarkan diri. Pada bayi gejala dan tanda penyakit meningitis mungkin
sangatlah sulit diketahui, namun umumnya bayi akan tampak lemah dan
pendiam (tidak aktif), gemetaran, muntah dan enggan menyusui.

 Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium dari infeksi meningococcus adalah seperti
umunya infeksi pyogenic berupa peningkatan jumlah leukosit sebesar
10.000 sampai 30.000/mm3 dan eritrosit sedimentation. Pada urine
dapat ditemukan albuminuria, dan sel darah merah. Pada kebanyakan
kasus, meningococcus dapat dikultur dari nasofaring, dari darah
ditemukan lebih dari 50% dari kasus pada stadium awal, serta dari lesi
kulit dan CSF. CSF kultur menjadi steril pada 90-100% kasus yang
diobati dengan antimikrobal terapi yang apropiate, meskipun tidak
terdapat perubahan yang signifikan dari gambaran CSF. Pada pasien
meningitis, pemeriksaan CSF ditemukan pleositosis dan purulen.
Walaupun pada fase awal dapat predominan lymphocytic, dalam waktu
yang singkat menjadi granulocytic. Jumlah sel bervariasi dari 100
sampai 40.000 sel/ul. Tekanan CSF meningkat biasanya antara 200 dan
500 mm H2O. protein sedikit meningkat dan kadar glukosa rendah
biasanya dibawah 20 md/dl. Pemeriksaan gram stain dari CSF dan lesi
petechial, menunjukkan diplococcus gram negatif. Diagnosa pasti
didapatkan dari kultur CSF, cairan sendi, tenggorokan dan sputum.
Kultur dapat positif pada 90% kasus yang tidak diobati. Counter
Immuno elektrophoresis (CIE) dapat mendeteksi sirculating
meningococcal antigen atau respon antibodi. Pada kasus dengan
gambaran CSF yang khas tapi gram stain negatif, dapat dilakukan
pemeriksaan latex aglutination test untuk antigen bakteri. Sensitivitas
dari test ini sekitar 50-100% dengan spesifisitas yang tinggi.
Bagaimanapun test yang negatif belum menyingkirkan diagnosa
meningitis yang disebabkan oleh meningococcus. Polymerase chain
reaction dapat digunakanuntuk pemeriksaan DNA dari pasien dengan
meningitis meningococcus dengan sensitivitas dan spesifisitas.

2. Epilepsi
Epilepsi (dari bahasa Yunani Kuno ἐπιληψία yang memiliki arti
Epilepsia) adalah gangguan neurologis umum kronis yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa alasan. Ini adalah tanda-tanda kejang sementara dan
atau gejala dari aktivitas neuronal yang abnormal, berlebihan atau sinkron
di otak. Epilepsi lebih mungkin terjadi pada anak-anak muda, atau orang di
atas usia 65 tahun, namun dapat terjadi setiap saat. Epilepsi biasanya
dikontrol, tapi tidak sembuh, dengan pengobatan.

 Pemeriksaan laboratorium
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang.
Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium,
magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila
dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

3. Ensefalitis
Ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi
virus. Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti
meningitis, atau komplikasi dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan
oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan
protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic
meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang
sistem kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak
terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.

 Penyebab Ensefalitis
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan Ensefalitis,
misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus.
Bakteri penyebab Ensefalitis adalah Staphylococcus aureus,
streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum. Encephalitis
bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut (Mansjoer,
2000). Penyebab lain adalah keracunan arsenik dan reaksi toksin dari
thypoid fever, campak dan chicken pox/cacar air. Penyebab encephalitis
yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena
virus langsung menyerang otak, atau reaksi radang akut infeksi sistemik
atau vaksinasi terdahulu.
 Tanda dan Gejala Ensefalitis
Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis lebih
kurang sama dan khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria
diagnosis. Secara umum, gejala berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari
demam, kejang dan kesadaran menurun. (Mansjoer, 2000).

Adapun tanda dan gejala ensefalitis sebagai berikut :

1. Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia


2. Kesadaran dengan cepat menurun

3. Muntah

4. Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja


(kejang-kejang di muka)

5. Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau


bersama-sama, misal paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya
(Hassan, 1997)

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien epilepsi dapat dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal. Gambaran cairan serebrospinal dapat
dipertimbangkan meskipun tidak begitu membantu. Biasanya berwarna
jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit. Kadar protein
kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas
normal. Selain itu juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan darah
lengkap.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemeriksaan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan


khusus dengan mengambil bahan atau sample dari penderita dimana dapat
berupa urine, darah, sputum(dahak) dll. Yang mana, pemeriksaan laboratorium
berfungsi untuk uji saring adanya penyakit subklinis, Konfirmasi pasti
diagnosis, Menemukan kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan
gejala klinis, Membantu pemantauan pengobatan, Menyediakan informasi
prognosis atau perjalanan penyakit, Memantau perkembangan penyakit,
Mengetahui ada tidaknya kelainan serta Memberi ketenangan baik pada pasien
maupun klinisi karena tidak didapati penyakit. Dalam pemeriksaan
laboratorium terdapat beberapa tahap yakni: Pra-analitik, Analitik, dan Pasca
analitik.

Adapun pemeriksaan laboratorium khususnya dalam kasus neurobehaviour


yakni: pada kasus meningitis pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan
adalah pemeriksaan CSF, pemeriksaan darah dan pemeriksaan serum elektrolit
dan glukosa. dan pada kasus epilepsi dilakukam pemeriksaan laboratorium
glukosa,pemeriksaan kadar elektrolit dan pemeriksaan kalsium dan magnesium.
Sedangkan pada kasus ensefalitis pemeriksaan laboratorium yang biasa
dilakukan adalah pemeriksaaan CSF dan pemeriksaan darah lengkap.

B. Saran
Bagi mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memanfaatkan makalah ini
untuk menambah pengetahuan tentang pemeriksaan laboratorium yang berguna
bagi profesi dan orang disekitar kita.
Bagi masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan makalah ini untuk menambah
pengetahuan tentang pemeriksaan-pemeriksaan khusus guna mengetahui
penyakit yang diderita. Khususnya, pemeriksaan laboratorium dalam kasus
neurobehaviour.

Diposting 4th March 2013 oleh Eva Maria Keljombar

Tambahkan komentar

3.

Mar

Lumbal Pungsi

BAB I
Pendahuluan

A. Latar belakang

Lumbar puncture adalah uapaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan


memasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. Test ini dilakukan untuk pemeriksaan
cairan serebrospinali, mengukur dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal,
menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk mendeteksi adanya
blok subarakhnoid spinal, dan untuk memberikan antibiotic intrathekal ke dalam
kanalis spinal terutama kasus infeksi.
(Brunner and Suddarth’s, 1999, p 1630). Jarum biasanya dimasukan kedalam ruang su
barkhnoid diantara tulang belakang daerah lumbal ketiga dan keempat atau antara
lumbal keempat dan kelima hingga mencapai ruang subarachnoid dibawah medulla
spoinalis di bagian causa. Karena medula spinalis membagi lagi dalam sebuah berkas
saraf pada tulang belakang bagian lumbal yang pertma maka jarum ditusukan di bawah
tingkat ketiga tulang belakang daerah lumbal , untuk mencegah meduila spinalis
tertusuk. Manometer dipasang diujung jarum via dua jalan dan cairan serebrospinal
memungkinkan mengalir ke manometer untuk mengetahui tekanan intraspinal. Test
Queckenstedt’s (Uji manometrik lumbal) dilakukan pada kesempatan ini. Test
queckensted’s dilakukan untuk menentukan adanya obstruksi di jalur subarakhnoid
spinal. Hal ini mungkin akibat fraktur atau dislokasi verebra atau tumor. Normalnya,
aliran cepat dalam tekana intraspinal ketika vena jugularis ditekan pada masins-masing
sisi leher selama pungsi lumbal dan kecepata kembali normal ketika tekanan
dilepaskan. Peningkatan tekanan disebabkan karena adanya tekanan. Bila terjadi
obstruksi, munculnya tekanan intraspinal dan turunnya kembali sangat lambat.
Selanjutnya Jika menometer sempurna terpasang dan 2-3 ml cairan serebrospinal
dialirkan kedalam tempat specimen steril. Kita akan mengobservasi warna, konsistensi
dan opacitas cairan serebrospinal apakah ada darah atau tidak. Jika telah selesai jarum
dicabut dan tempat penusukan ditutup dengan perban steril. Normalnya tekanan CSS
meninggi cepat dalam merespons terhadap penekanan vena jugularis dan menurun
dengan cepat sampai normal bila penekanan dikurangi. Peninggian lambat dan
turunnya tekanan merupakan indikasi adanya hambatan sebagian karena penekanan
sebuah lesi pada jalur subarkhnoid spinal. Jika tidak ada perubahan tekanan merupakan
indikasi adanya hambatan total. Uji ini tidak digunakan jika dicurigai ada lesi
intrakranial. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal. CSS harus jernih dan tidak berwarna .
Warna merah muda, adanya darah, atau bercampur darah merupakan indikasi sebuah
kontusio serebral, laserasi atau perdarahan subarakhnoid.Kadang-kadang karena
kesulitan dalam pungsi lumbal, CSS dapat mengandung darah, karena ada trauma lokal
tetapi akhirnya menjadi jernih.Umumnya spesimen diperoleh untuk melihat jumlah sel,
kultur, kandungan glukosa dan protein. Spesimen ini harus segera dikirim ke
laboratorium karena perubahan tempat dapat mengubah hasil pemeriksaan spesimen
yang benar. Pungsi lumbal yang berhasil membutuhkan pasien dalam keadaan rileks,
kecemasan pasien menimbulkan tegang dan peningkatan kecemasan dapat
menyebabkan peningkatan tekanan pada saat hasil dibaca.Jarak normal tekanan cairan
spinal dengan posisi rekumben adalah 7o samapai 200 mm H2O. Tekanan sampai 200
mm H2O Dikatakan abnormal.Pungsi lumbal sangat berbahaya bila dilakukan pada
masa lesi intrakranial, karena tekanan intra kranial diturunkan melalui pengeluaran
CSS, maka herniasi otak menurun sampai tentorium dan foramen magnum.

Electroencephalogram ( EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan


aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006). Aktivitas otak berupa gelombang listrik,
yang dapat direkam melalui kulit kepala disebut Elektro-Ensefalografi (EEG).
Amplitudo dan frekuensi EEG bervariasi, tergantung pada tempat perekaman dan
aktivitas otak saat perekaman. Saat subyek santai, mata tertutup, gambaran EEG nya
menunjukkan aktivitas sedang dengan gelombang sinkron 8-14 siklus/detik, disebut
gelombang alfa. Gelombang alfa dapat direkam dengan baik pada area visual di daerah
oksipital. Gelombang alfa yang sinkron dan teratur akan hilang, kalau subyek membuka
matanya yang tertutup. Gelombang yang terjadi adalah gelombang beta (> 14
siklus/detik). Gelombang beta direkam dengan baik di regio frontal, merupakan tanda
bahwa orang terjaga, waspada dan terjadi aktivitas mental. Meski gelombang EEG
berasal dari kortek, modulasinya dipengaruhi oleh formasio retikularis di subkortek.
Formasio retikularis terletak di substansi abu otak dari daerah medulla sampai midbrain
dan talamus. Neuron formasio retikularis menunjukkan hubungan yang menyebar.
Perangsangan formasio retikularis midbrain membangkitkan gelombang beta, individu
seperti dalam keadaan bangun dan terjaga. Lesi pada formasio retikularis midbrain
mengakibatkan orang dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta.
Jadi formasio retikularis midbrain merangsang ARAS (Ascending Reticular Activating
System), suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian area di forebrain. Nuklei
reticular thalamus juga masuk dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus
kesemua area di kortek serebri. ARAS mempunyai proyeksi non spesifik dengan
depolarisasi global dikortek, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik dari
thalamus yang mempunyai efek eksitasi kortek secara khusus untuk tempat tertentu.
Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal sensori spesifik
dari thalamus. Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke kortek, sinyal sensorik
dari serabut sensori aferen menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral akson.
Jika sistem aferen terangsang seluruhnya (suara keras, mandi air dingin), proyeksi
ARAS memicu aktivasi kortikal umum dan terjaga.

B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagau berikut:
1. Tujuan umum
Mampu melakukan prosedur-prosedur lumbal pungsi dan EEG
dengan benar
2. Tujuan khusus
a. Mampu melakukan tindakan dalam melakukan Lumbal Pungsi
dan EEG
b. Mampu melakukan persiapan-persiapan sebelum melakukan
tindakan lumbal pungsi dan EEG kepada pasien
c. Mengetahui indikasi dan kotnraindikasi Lumbal pungsi dan
EEG

3. Metode penulisan
Makalah ini berjudul Lumbal Pungsi dan EEG yang disusun dengan metode:

1. Bab I terdiri dari latar belakang yang menjelaskan tentang Lumba pungsi
dan EEG Tujuan menjelaskan tentang sasaran utama yang akan dicapai dari
penulisan makalah ini. Metode penulisan menjelaskan tentang langkah-
langkah yang kami gunakan dalam penulisan makalah.
2. Bab II menjelaskan tentang laporan pendahuluan Lumbal pungsi yang
terdiri atas definisi, indikasi, kontraindikasi, komplikasi, persiapan alat,
persiapan pasien, prosedur pelaksanaan, perawatan selama proses lubal
pungsi.
3. Bab III menjelaskan tentang laporan pendahuluan EEG yang terdiri atas
definisi, tujuan, EEG normal dan EEG abnormal, persiapan pasien,
persiapan alat, pelaksanaan EEG.
4. Bab IV terdiri dari kesimpulan yang menjelaskan tentang keseluruhan dari
pembahasan yang terdapat dalam Bab II dan Bab III
Saran menjelaskan tentang bagaimana pendapat penulis kepada para
mahasiswa-mahasiswa keperawatan.
BAB II

Laporan Pendahuluan Lumbal Pungsi

A. DEFINISI
Lumbal puncture adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal
denganmemasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. Test ini dilakukan untuk
pemeriksaan cairan serebrospinali, mengukur dan mengurangi tekanan cairan
serebrospinal, menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk
mendeteksi adanya bloksubarakhnoid spinal, dan untuk memberikan antibiotic
intrathekal ke dalam kanalis spinalterutama kasus infeksi. (Brunner and Suddarth’s,
1999, p 1630)

B. INDIKASI
1. Meningitis bacterial / TBC.
2. Perdarahan subarahnoid.
3. Febris (Kaku kuduk) dengan kesadaran menurun (sebab tak jelas).
4. encepahilitis atau tumor malignan.
5. Tumor mielum : sebelum dan sesudah mielografi / caudiografi.
6. Sindroma GuillainBarre (bila perlu diulang-ulang + satu minggu).
7. Kelumpuhan yang tidak jelas penyebabnya.
8. Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam CSS akibat trauma
ataudicurigai adanya perdarahan subarachnoid.
9. Kejang
10. Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
11. Ubun – ubun besar menonjol
C. KONTRA INDIKASI
1. Syock/renjatan
2. Infeksi local di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
3. Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying
lesion,hidrosefalus)
4. Gangguan pembekuan darah yang belum diobati
5. Pasien yang mengalami penyakit sendi-sendi vertebra degeneratif. Hal ini akan
sulituntuk penusukan jarum ke ruang interspinal
6. Pasien dengan peningkatan tekanan intra cranial. Herniasi serebral atau herniasi
serebralbisa terjadi pada pasien ini.

D. KOMPLIKASI
1. Infeksi
2. Iritasi zat kimia terhadap selaput otak
3. Jarum pungsi pata
4. Hernias
5. Tertusuknya saraf oleh jarum pungs
6. Nyeri kepala hebat akibat kebocoran CSS.
7. Meningitis akibat masuknya bakteri ke CSS.
8. Paresthesia/ nyeri bokong atau tungkai.
9. Injury pada medulla spinalis.
10. Injury pada aorta atau vena cava, menyebabkan perdarahan serius.
11. Herniasi otak. Pada pasien denga peningkatan tekanan, tiba-tiba terjadi penurunan
12. tekanan akibat lumbar puncture, bisa menyebabkan herniasi kompressi otak
terutama
13. batang otak.
14. -10 – 30% pasien dalam 1 – 3 hari dan paling lama 2 – 7 hari mengalami postlumbar
15. puncture headache. Sebagian kecil mengalami nyeri, tapi bisa dikurangi dengan
berbaringdatar. Penanganan meliputi bed rest dan cairan dengan analgetik ringan.
E. ALAT DAN BAHAN
1. Sarung tangan steril
2. Duk luban
3. Kassa steril, kapas dan plester
4. Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70
5. Troleey
6. Baju steril
7. Jarum punksi ukuran 19, 20, 23 G.
8. Manometer spinal
9. Two way tap
10. Alcohol dalam lauran antiseptic untuk membersihkan kulit.
11. Tempat penampung csf steril x 3 (untuk bakteriologi, sitologi dan biokimia)
12. Plester
13. Depper
14. Jam yang ada penunjuk detiknya
15. Tempat sampah.

Anestesi local

1. Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local


2. Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin. (Reis CE, 2006
3. Tempat sampah.

F. PERSIAPAN PASIEN
Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke
abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas kursi,
dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.

G. PROSEDUR PELAKSANAAN
1. Lakukan cuci tangan steril
2. Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
3. Jamin privacy pasien
4. Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu pasien dalam posisi miring pada salah satu
sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik kearah lutut), eksterimitas bawah fleksi
maksimum (lutut di atarik kearah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis)
sejajar dengan tempat tidur.
5. Tentukan daerah pungsi lumbal diantara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan
garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina
iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara
L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namuntidak boleh pada bayi
6. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan
larutan povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70 % dan tutup dengan duk steril
di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka Tentukan kembali daerah pungsi
dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung tangan steril selama 15-30
detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
7. Anestesi lokal disuntikan ke tempat tempat penusukan dan tusukkan jarum spinal pada
tempat yang telah di tentukan. Masukkan jarum perlahan – lahan menyusur tulang
vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus
durameter. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung
umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5 – 2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm
pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm.
8. Lepaskan stylet perlahan – lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan
yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke cranial. Ambil cairan
untuk pemeriksaan.
9. Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester
10. Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit
11. Cuci tangan
H. PERAWATAN
Pasien berbaring datar dengan hanya hanya 1 bantal untuk mengurangi post-
duralpuncture headache.Anjurkan pasien tidur datar selama 6 – 12 jam setelah
dilakukan prosedur.Observasi tempat penusukan apakah ada kebocoran. Observasi
pasien mengenai orientasi, gelisah, perasaan mengantuk, mual, irritabilitasserebral
(fitting, twitching, spasticity atau kelemahan tungkai) dan melaporkannyakepada
dokter.Anjurkan pasien melaporkan adanya nyeri kepala dan memberikan analgerik
sesuaiprogram.Melaporkan ke dokter bila ada hal yang tidak bisa diatasi. intervensi
keperawatan Tanggung jawab perawat adalah membantu pasien mempertahankan
posisi lateral rekumben dengan lutut fleksi. Menjamin prinsip/ teknik aseptik secara
ketat. Memberi label specimen CSF. Menjaga posisi pasien dengan posisi flat beberapa
jam tergantung pada permintaan dokter. Memonitor status cairan, neurologis dan tanda-
tanda vital. Memberikan obat analgetik sesuai kebutuhan. (Lewis,Heitkemper and
Dirksen, 2000. p 1603).
BAB III

Laporan pendahuluan EEG

A. DEFINISI
Electroencephalogram ( EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan aktivitas
elektrik otak (Campellone, 2006).

B. INDIKASI (Jan Nissl, 2006)


1. Mendiagnosa dan mengklasifikasikan Epilepsi
2. Mendiagnosa dan lokalisasi tumor otak, Infeksi otak, perdarahan
otak
3. Mendiagnosa Lesi desak ruang lain
4. Mendiagnosa Cedera kepala
5. Periode keadaan pingsan atau dementia.
6. Narcolepsy.
7. Memonitor aktivitas otak saat seseorang sedang menerima
anesthesia umumselama perawatan.
8. Mengetahui kelainan metabolik dan elektrolit

C. EEG NORMAL

Salah satu penemuan Hans Berger adalah bahwa kebanyakan EEG orang
dewasa normal mempunyai irama dominant dengan frekuensi 10 siklus per detik,
yang di sebutnya sebagai irama alfa. Pada umumnya kini yang dimaksud dengan
iarama alfa adalah irama dengan frekuensi antara 8-13 spd, yang paling jelas terlihat
di daerah parieto-oksipital, dengan voltase 10-150 mikrovolt, berbentuk sinusoid,
relative sinkron dan simetris antara kedua hemisfer. Suatu asimetri ringan dalam
voltase adalah normal, mengingat adanya dominasi hemisfer. Pada umumnya suatu
perbedaan voltase 2 : 3 adalah dalam batas-batas normal, asalkan voltase yang lebih
tinggi terlihat pada hemisfer non dominant. Yang lebih penting maknanya adalah
bila terdapat perbedaan frekwensi antara kedua hemisfer. Suatu perbedaan
frekwensi yang konsisten dari 1 spd atau lebih antara kedua hemisfer mungkin
sekali diakibatkan suatu proses patologis di sisi dengan frekwensi yang lebih
rendah. Irama alfa terlihat pada rekaman individu dalam keadaan sadar dan istirahat
serta mata tertutup. Pada keadaan mata terbuka irama alfa akan menghilang, irama
yang terlihat adalah irama lamda yang paling jelas terlihat bila individu secara aktif
memusatkan pandangannya pada suatu yang menarik perhatiannya. Ditinjau dari
irama alfanya dapat dibedakan tiga golongan manusia, sekelompok kecil yang
memperlihatkan sedikit sekali atau tidak mempunyai irama alfa, sekelompok kecil
lagi yang tetap memperlihatkan irama alfa walaupun kedua mata dibuka, dan
diantara kedua ekstrem ini terletak sebagian besar manusia yang menunjukkan
penghilangan irama alfa ketika membuka mata. Berturut-berturut ketiga kelompok
ini disebut sebagai kelompok alfa M (minimal atau minus), alfa P (persisten), alfa
R (responsive). Suatu irama yang lebih cepat dari irama alfa ialah irama beta yang
mempunyai frekuensi di atas 14 spd, dapat ditemukan pada hamper semua orang
dewasa normal. Biasanya amplitudonya daopat mencapai 25 mikrovolt, tetapi pada
keadaan tertentu bisa lebih tinggi. Pada keadaan normal terlihat terutama di daerah
frontal atau presentral. Irama yang lebih lambat dari irama alfa adalah tidak jarang
pula ditemukan pada orang dewasa normal. Irama teta mempunyai frekuensi antara
4-7 spd. Suatu irama yang lebih pelan dari teta disebut irama delta adalah selalu
abnormal bila didapatkan pada rekaman bangun, tetapi merupakan komponen yang
normal pada rekaman tidur. Frekuensi irama delta ialah ½ - 3 spd. Berbagai keadaan
dapat mempengaruhi gambaran EEG. Perhatian cenderung untuk menghapuskan
irama alfa, merendahkan voltase secara umum dan mempercepat frekuensi.
Termasuk perhatian ini adalah usaha introspeksi dan kerja mental (misalnya
berhitung). Demikian pula setiap stimulus visual, auditorik dan olfaktorik akan
merendahkan amplitudo dan menimbulkan ketidak teraturan irama alfa. Penurunan
kadar O2 dan atau CO2 darah cenderung menimbulkan perlambatan, sebaliknya
peninggian kadar CO2 menimbulkan irama yang cepat. Faktor usia juga
mempunyai pengaruh penting pula dalam EEG. Rekaman dewasa sebagaimana
digambarkan di atas pada umumnya dicapai pada usia 20-40 tahun. Rekaman
neonatus berusia di bawah satu bulan memperlihatkan amplitude yang rendah
dengan irama delta atau teta. Antara usia 1-12 bulan terlihat peninggian voltase,
walaupun irama masih tetap delta atau teta. Antara 1-5 tahun terlihat amplitudo
yang tinggi, irama teta yang meningkat dan mulai terlihat irama alfa, sedangkan
irama delta mengurang. Antara 6-10 tahun amplitude menjadi sedang, irama alfa
menjadi lebih banyak, teta berkurang, delta berkurang sampai hilang. Antara 11-20
tahun voltase terlihat sedang sampai tinggi, dominsi alfa mulai jelas, teta minimal,
delta kadangkadang masih terlihat di daerah belakang. Di atas 40 tahun mulai lagi
terlihat gelombang lambat 4-7 spd di daerah temporal dan di atas 60 tahun rekaman
kembali melambat seperti rekaman anak-anak. Perubahan tahap-tahap tidur
berpengaruh besar pula terhadap rekaman EEG. Dalam keadaan mengantuk terlihat
pengurangan voltase dan timbul sedikit perlambatan. Pada keadaan tidur sangat
ringan dapat terlihat adanya gelombang-gelombang mirip paku bervoltase tinggi,
bifasik denganfrekuensi 3-8 spd, simetris dan terjelas di daerah parietal (parietal
humps). Gambaran ini paling jelas pada usia 3-9 tahun dan terus terlihat sampai
usia 40 tahun. Pada keadaan tidur ringan terdapat (sleep spndle) terdapat gelombang
tajam berfrekuensi 12-14 spd yang sifatnya simetris. Pada keadaan tidur sedang
sampai dalam rekaman didominir oleh gelombnag-gelombang lambat tak teratur
dengan frekuensi ½ - 3 spd.

D. EEG ABNORMAL

EEG abnormal disebut spesifik bila gelombang yang timbul mempunyai gambaran
yang khas dan berkorelasi tinggi dengan kelainan klinik tertentu, disebut nonspesifik
(aspesifik) bila gelombangnya tidak khas dan dapat ditimbulkan oleh banyak kelainan-
kelainan neurologik atau sistemik.

bawah ini akan dijelaskan beberapa hasil pemeriksaan EEG yang pentingdari
kelainan-kelainan neurologik, yaitu :

1. EEG pada penyakit konvulsif


EEG paling banyak digunakan untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan epilepsy.
Paroksismal merupakan pemunculan yang episodic dan mendadak suatugelombang
atau kelompok gelombang yang secara kwantitatif dan kwalitatifberbeda dengan
gambaran irama dasarnya.

2. EEG pada tumor intracranial


Pentingnya pemeriksaan EEG pada tumor otak ditegaskan oleh Walter, yang
menyebutkan irama lambat berfrekuensi kurang dari 4 spd (irama delta). Irama delta ini
umumnya terlihat fokal, karenanya dapat dipakai untuk menetukan lokalisasi tumor.
Jaringan otak sendiri tidak memberikan lepas muatan listrik, gelombang-gelombang
lambat yang dicatat oleh EEG berasal dari neuron-neuron disekitar tumor atau ditempat
lain yang fungsinya terganggu secara langsung atau tidak langsung. Tomor otak tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kiranya rekaman serial adalah lebih bernilai dari
pada rekaman tunggal. Tomor infra tentorial memberikan gambaran EEG yang berbeda
dengan tomor supra tentorial. Gambaran karakteristik tumor infra tentorial adalah
berupa perlambatan sinusoidal yang ritmik berfrekuensi 2-3 spd atau 4-7 spd, dapat
bersifat terus menerus ataupun paroksismal.Berbeda dengan tomor infra tentorial,
tumor supra tentorial pada umumnya memberikan gambaran yang bersifat fokal teta
maupun delta, sehingga penentuan lokalisasi lebih dimungkinkan. Kadang-kadang
dapat pula ditemui gambar spike atau gelombang tajam yang fokal.Suatu ketentuan
yang banyak dianut tentang tumor otak mengatakan bahwasuatu EEG yang normal
menyingkirkan sebesar 97% tumor kortikal dan sebesar90% tumor otak pada
umumnya.
3. EEG pada lesi desak ruang lain
Secara EEG, abses otak memberikan gambaran yang sama dengan tumor : 90-95%
memperlihatkan aktivitas teta atau delta yang menyeluruh dengan focus frekuensi
terendah diatas daerah abses.
4. EEG pada rudapaksa kepala
EEG berkorelasi dengan hebat dan luasnya rudapaksa kepala. Commotio cerebri EEG
umunya normal. Memar otak akut meperlihatkan penurunan voltase yang diffuse,
diikuti pembentukan aktivitas delta bervoltase rendah yang menyeluruh.
5. EEG pada infeksi otak
Meningitis akut memberikan abnormalitas perlambatan yang difus berupa irama delta,
baik pada bentuk purulent maupun serosa. Biasanya kelainan EEG berkaitan erat
dengan tingkat kesadaran individu. Uatu perlambatan fokal yang timbul pada rekaman
ulangan individu dengan meningitis mungkin sekali menandakan pembentukan abses.
6. EEG pada kelainan metabolic dan elektrolit
Hipoglikemia (<50 mg%) akan selalu memberikan kelainan EEG berupa perlambatan,
yang mulanya bersifat frontal kemudian juga temporal. Dengan makin merendahnya
glukosa darah makin banyak dan makin tinggi voltase aktivitas delta yang terlihat.
Setelah koma diabetikum, perlambata menyeluruh dapat terlihat 2-3 minggu.

E. PELAKSANAN PEMERIKSAAN
1. Persiapan Alat
Sebelum digunakan alat EEG dipanaskan terlebih dahulu. Elektrode dikelompokkan
menjadi tiga bagian yaitu bagian kiri, tengah dan kanan sesuai dengan yang tertera pada
junction box. Kertas EEG sudah terpasang dengan sempurna. Elefik paste, skin pure,
sisir, metlyn, spidol, dipersiapkan di meja, dan kalau perlu karet gelang untuk pasien
yang berambut panjang

2. Persiapan Pasien
Sebelum di lakukan EEG pasien dianjurkan untuk keramas terlebih dahulu ( untuk
pasien rawat jalan ) dan tidak diperbolehkan memakai minyak rambut. Untuk pasien
rawat inap tidak diharuskan keramas ( kalau kondisi pasien tidak memungkinkan)
Pasien tidak diperbolehkan memakai minyak rambut, supaya electrode melekat dengan
sempurna. Pasien / keluarganya membayar biaya sesuai dengan tarif yang telah
ditentukan, kecuali pasien Astek / Askes. Pasien bayi / anak-anak / pasien dewasa yang
gelisah kolaborasi dengan dokter untuk pemberian premedikasi. Sebelum pemberian
premedikasi keluarga pasien diberi pengertian terlebih dahulu kemudian diminta untuk
menandatangani inform concent yang telah disediakan. Pasien bayi / anak-anak
ditimbang dahulu untuk menentukan dosis obat premedikasi.

3. Pelaksanaan
Pasien / keluarganya diberi penjelasan terlebih dahulu tentang tindakan yang akan
dikerjakan. Perawat cuci tangan. Kepala diukur dengan menggunakann metlyn, posisi
pasien duduk dikursi ( kalau kondisi pasien tidak memungkinkan, diukur dengan posisi
tidur terlentang pada tengkuk diberi bantalan supaya tidak ada penekanan ) dengan
menggunakan system Ten – Twenty. Hasil pengukuran diberi tanda dengan spidol
merah supaya jelas. Selesai pengukuran kepala yang sudah bertanda spidol merah
dibersihkan dengan kapas alcohol, kemudian digosok perlahan dengan skin pure, elefik
paste ditempelkan sesuai hasil pengukuran tadi, sampai selesai. Pasien dianjurkan untuk
tidur terlentang, tengkuk diberi bantalan kemudian electrode ( 22 elektrode )di
tempelkan di atas elefik . Sebelum mulai merekam pasien dianjurkan untuk tetap rileks
dan diberi penjelasan apa yang harus dilakukan pada saat perekaman. Rekaman /
pemeriksaan EEG diawali dengan kalibrasi sesuai dengan kebutuhan. Perekaman
dimulai dari pattern 1 ( satu ) sampai 6 ( enam ) dengan waktu kurang lebih 15 sampai
20 menit ( 60 lembar kertas ). Pattern 1 ( pertama ) pasien dianjurkan untuk menutup
dan membuka mata ( kecuali pasien yang tidak sadar atau pasien yang dengan
premedikasi ) sampai 10 lembar kertas atau lebih kurang 3 menit. Pattern ke 2 ( kedua
) pasien dianjurkan untuk menutup mata dan menjawab pertanyaan yang diberikan dan
tidak diperbolehkan menggeleng atau menganggukkkan kepala, waktu sama dengan
pattern pertama. Pattern ke 3 ( ketiga ) pasien dianjurkan untuk membuka mata
kemudian dilakukan PS ( photic stimulation ) sampai selesai kemudian pasien diminta
untuk menutup mata lagi, pasien dianjurkan untuk nafas panjang atau HV ( hiper
ventilasi ) waktu sama dengan pattern sebelumnya. Setelah nafas panjang selesai pasien
nafas biasa dan diperbolehkan tidur sampai perekaman selesai. Pattern keempat sampai
empat lembar kertas, kertas dibalik dan dilanjutkan sampai sepuluh lembar kertas
dengan waktu yang sama tanpa aktivitas, begitu juga dengan pattern kelima dan
keenam. Pada pasien yang memakai obat premedikasi mulai dari pattern pertama
sampai keenam tidak dilakukan aktivitas. Setelah pattern keenam kembali ke pattern
ketiga dan pasien dibangunkan untuk dilakukan Photik .Pada akhir perekaman
dilakukan kalibrasi lagi. Apabila di tengah – tengah perekaman grafik mengecil atau
terlalu tinggi maka kalibrasi bisa dirubah sesuai dengan kebutuhan.Segala sesuatu yang
terjadi pada saat perekaman dicatat pada kertas perekaman. Setelah proses perekaman
selesai, electrode dilepas dimasukkan dalam air yang sudah disediakan pada suatu
tempat dan kulit kepala dibersihkan dengan kapas basah. Pada kertas perekaman
diisikan identitas pasien, tanggal, dan nomor register. Hasil perekaman diberikan pada
pasien / keluarganya untuk kembali ke dokternya, kecuali pasien konsulan hasil
perekaman diserahkan ke dokter spesialis saraf terlebih dahulu untuk pembacaan
sebelum kembali pada dokter yang bersangkutan. Elektrode dan alat – alat yang lain
dibersihkan, dirapikan, perawat mencuci tangan.
Bab IV

Penutup

A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas maka kami menarik kesimpulan bahwa :

Lumbal pungsi merupakan pengeluaran cairan serebrospinal (CSS) dengan cara


memasukan jarum keruang subarachnoid. Pengambilan cairan serebrospinal sendiri
dilakukan untuk mendiagnosa berbagai indikasi penyakit yang biasanya menyerang
bagian otak. Saat melakukan lumbal pungsi persiapan pasien harus diperhatikan secara
mendetail, persiapan alat dan bahan serta tenaga medis juga harus secara mendetail,
dikarenakan keintensifan pelaksanaa lumbal pungsi. Lumbal pungsi sendiri tidak
dianjurkan dilaksanakan pada balita. Selanjutnya, Electroencephalogram (EEG)
merupakan suatu tes untuk mendeteksi kelainan aktifitas elktrik otak. Ada beberapa
tujuan EEG salah satunya untuk mendiagnosa dan mengklarifikasi epilepsy. EEG
abnormal terjadi pada kelainan neurologic seperti penyakit konvulsif, tumor
intracranial. Pelaksanaan EEG sendiri sama halnya dengan brain mapping, dan EKG
pada system kardiovaskular. Proses perekaman EEG pada pasien dilakukan di kulit
kepala dengan menempelkan elektroda-elektroda pada kulit kepala, dalam hal ini kulit
kepala diwajibkan dalam keadaan bersih dan tidak menggunakan minyak rambut.

B. SARAN

Adapun saran-saran yang dapat kami sampaikan :

1. Sebagai seorang perawat dan calon perawat hendaknya kita perlu memiliki
pengetahuan yang lebih mengenai cara-cara plaksanaan Lumbal pungsi dan EEG serta
berbagai Indikasinya.

2. Sebagai masyarakat, kita perlu mengetahui indikasi, kontra indikasi dan komplikasi
dari tindakan melakukan EEG dan Lumbal Pungsi, sehingga penanganan dini kelainan
otak dapat tercapai.
REFERENSI

Brunner and Suddarth’s. 1999. Medical Surgical Nursing. 9th Edition. Lippincot :
Philadelphia

Lewis, Heitkemper and Dirksen. 2000. Medical Surgical Nursing : Assessment


an

Management of Clinical Problems. Volume 2. Mosby : St. Louis Missouri

Luckmann and Sorensen’s. 1993. Medical Surgical Nursing : A Psychophysiologic


Appraoach.

4th Edition. WB Saunders : Philadelphia.

Reis CE. 2006. Lumbar Puncture. Diambil dari internet tanggal 20 Februasi 2006, pukul
20.45

…. www.arrowheadhospital.com. 2006. Physician Employed Nurse Practioner.


Diambil dari internet tanggal 9 oktober 2012 pukul 20.00

….www.ngt.org.uk. 206. Lumbar Puncture. Diambil dari internet tanggal 9 oktober


2012,

pukul 21.00

….www.mtio.com. 206. Lumbar Puncture. Diambil dari internet tanggal 9 oktober


2012,

pukul 20.30

Diposting 4th March 2013 oleh Eva Maria Keljombar

Tambahkan komentar
4.

Mar

Pemeriksaan ECT dan Brain Mapping

PERSIAPAN PEMERIKSAAN ECT


DAN
PERSIAPAN PEMERIKSAAN BRAIN
MAPPING

Oleh : kelompok

EVART MANOI

DENIS MANANSAL
JOANETE KOMALIG
YULANDA TUMELENG
NORMACHRISTI KOJONGIAN
SERNI IRJAYANTI RONGA

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE
MANADO
2012

BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PERSIAPAN PEMERIKSAAN ECT


Pada penanganan klien gangguan jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun
pasien baru biasanya diberikan psikofarmaka ,psikotherapi, terapi
modalitas yang meliputi terapi individu, terapi lingkungan, terapi kognitif,
terapi kelompok terapi perilaku dan terapi keluarga. Biasanya pasien
menunjukan gejala yang berkurang dan menunjukan penyembuhan, tetapi
pada beberapa klien kurang atau bahkan tidak berespon terhadap
pengobatan sehingga diberikan terapi tambahan yaitu ECT (Electro
Convulsive Therapy).

a. Pengertian
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik
dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang
ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand
mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai.Mekanisme
kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT
menghasilkan perubahan-perubahan biokimia didalam otak (Peningkatan
kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan.

b. Indikasi
1. Gangguan afek yang berat: :pasien dengan depresi berat atau gangguan
bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik pada pemberian
ECT (80-90% membaik versus 70% atau lebih dengan antidepresan).
Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas (seperti insomnia, konstipasi;
riwayat bunuh diri, obsesi rasa bersalah, anoreksia, penurunan berat badan,
dan retardasi psikomotor) cukup bersespon.

2. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited


memberikan respons yang baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan
schizofrenia kronik hal ini tidak teralalu berguna.

c. Kontraindikasi
1) Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
2) Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran
3) Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
4) Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
5) Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita

d. Komplikasi
1) Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi
berakhir 2-3 bulan (tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat
dengan metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan
listrik yang meningkat dan adanya organik sebelumnya.
2) Sakit kepala, mual, nyeri otot.
3) Kebingungan.
4) Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
5) Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
6) Risiko anestesi pada ECT, atropin mernperburuk glaukom sudut sempit,
kerja Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa
menyebabkan hipotonia.

e. Persiapan ECT (Pra-ECT)


1) Lengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, konsentrasikan pada
peme¬riksaan jantung dan status neurologic, pemeriksaan darah perifer
lengkap, EKG, EEG atau CT Scan jika terdapat gambaran Neurologis tidak
abnormal. Hal ini penting mengingat terdapat kontraindikasi pada gangguan
jantung, pernafasan dan persarafan.
2) Siapkan pasien dengan, informasi, dan. dukungan, psikologis.
3) Puasa setelah tengah malam.
4) Kosongkan kandung kemih dan lakukan defekasi
5) Pada keadaan ansietas berikan 5 mg diazepam 1-2 jam sebelumnya
6) Antidepresan, antipsikotik, diberikan sehari sebelumnya
7) Sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan (dan sejenisnya) harus dihentikan -
sehari sebelumnya.

f. Pelaksanaan ECT
1) Buat pasien merasa nyaman. Pindahkan ke tempat dengan permuka¬an
rata dan cukup keras.
2) Hiperekstensikan punggung dengan bantal.
3) Bila sudah siap, berikan premedikasi dengan atropin (0,6-1,2 mg SC, IM
atau IV). Antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan
sekresi gastrointestinal.
4) Sediakan 90-100% oksigen dengan kantung oksigen ketika respirasi
tidak spontan.
5) Beri natrium metoheksital (Brevital) (40-100 mg IV, dengan cepat).
Anestetik barbiturat kerja singkat ini dipakai untuk menghasilkan koma
yang ringan.
6) Selanjutnya, dengan cepat berikan pelemas otot suksinilkolin (Anectine)
(30-80 mg IV, secara cepat awasi kedalaman relaksasi melalui fasikulasi
otot yang dihasilkan) untuk menghindari kemungkinan kejang umum
(seperti plantarfleksi) meskipun jarang.
7) Setelah lemas, letakkan balok gigi di mulut kemudian berikan stimulus
listrik (dapat dilakukan secara bilateral pada kedua pelipis ataupun
unilateral pada salah satu pelipis otak yang dominan)

g. Post ECT
1) Awasi pasien dengan hati-hati sampai dengan klien stabil kebingungan
biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
2) Pasien berada pada resiko untuk terjadinya apneu memanjang dan
delirium pascakejang (5 10 mg diazepam IV dapat membantu)

B. PERSIAPAN PEMERIKSAAN BRAIN MAPPING


Pengertian

Kecelakaan fisik yang terjadi pada otak seperti gegar otak, radiasi otak,
gangguan yang disebabkan oleh racun dari luar, seizure disorder, Alzheimer ,
anoxia dan infeksi pada otak (spt., peradangan selaput otak) yang disertai
perubahan aktivitas gelombang otak, ADD, OCD, anxiety, depresi dan
seseorang yang lemah dalam belajar merupakan ciri-ciri adanya permasalahan
pada gelombang otak manusia.

EEG Brain MappingEEG (electroencephalogram) merupakan sebuah alat


untuk mencatat aktivitas gelombang otak selama kurun waktu tertentu. QEEG
(Quantitative EEG) atau dikenal pula dengan sebutan "brain mapping",
memberikan data yang komprehensif tentang gelombang otak dan
memberikan analisa yang tepat dari data mentah yang diberikan oleh EEG.
QEEG bekerja menyerupai cara kerja EEG, akan tetapi data yang diperoleh
dari QEEG bisa ditampilkan dalam berbagai jenis sesuai kebutuhan, bisa
dalam bentuk gambar topografi, berupa diagram, atau beropa gambar-gambar
yang menunjukkan aktivitas pada bagian cortex (luar otak).
Prosedur

Prosedur Brain Map meliputi menempatkan elektroda di berbagai area pada


kulit kepala sebagai sarana untuk mengukur aktivitas gelombang otak dari
klien (EEG). Sesuatu berbentuk gel ditempelkan pada setiap elektroda untuk
mendapatkan sinyal yang baik. Prosedur yang dilakukan non-invasif dan
tidak menimbulkan rasa sakit. Tidak ada sesuatu pun yang dimasukkan ke
dalam otak. Electroencephalogram secara murni hanya menggambarkan
gelombang listrik di dalam otak. Rekaman EEG diambil dalam beberapa
kondisi atau tes.

Kondisi yang direkam adalah pada saat a)mata tertutup, b)mata tertutup, c)
membaca untuk memahami atau mengerjakan soal matematika dengan tingkat
kesulitan tertentu. Analisis statistik membandingkan data subjek dengan
database normative dari anak maupun orang dewasa lainnya. Data kemudian
dievaluasi berdasarkan persentase yang ada dan kemudian dibandingkan
dengan database normatif dari kebervariasian yang ada.
Sementara teknik-teknik lain (CT, MRI, PET, SPECT dll.) cenderung
mengukur aliran darah ke otak, metabolisme otak atau mengamati bagian-
bagian otak, QEEG justru mengukur arus listrik yang dihasilkan oleh otak atau
biasa disebut gelombang otak. QEEG menyediakan data analisis yang
sebetulnya sangat kompleks tentang gelombang otak dengan karakteristik
khusus baik itu secara simetris, tahap-tahap perubahannya, hubungan antara
satu dengan lainnya, luas gelombang otak yang dihasilkan, power dan
gelombang otak yang dominan. Faktanya, gangguan kecil pada gelombang
otak bisa jadi adalah pertanda awal dari permasalahan besar yang bisa terjadi
pada otak dan tubuh kita.

Hasil laporan dari alat QEEG akan dibandingkan dengan data normatif. Data
normatif ini merupakan data yang diperoleh dari pencatatan otak pada kurang
lebih ratusan otak pada manusia yang sehat. Perbandingan tersebut disebut
sebagai Z scores, Yang mana menggambarkan selisih antara data normatif
dengan data klien yang bermasalah.

Penggunaan utama dari QEEG adalah untuk memeriksa pola struktur dan
frekwensi gelombang otak serta untuk membantu seseorang yang akan
menjalani proses terapi neurotherapy sehingga nantinya memiliki perhitungan
yang tepat sehingga bisa seperti gelombang otak yang normal lainnya.

QEEG bukan merupakan alat yang menciptakan diagnosa, akan tetapi


merupakan alat untuk membantu terapis dalam menentukan diagnosa. QEEG
diciptakan bukan untuk mengganti peran EEG; hal itu merupakan dua hal
yang berbeda terutama bagi Spesialis Otak yang menggunakan EEG dan
bukan QEEG dalam bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Guze, B., Richeimer, S., dan Siegel, D.J. (1990). The Handbook of Psychiatry.
California: Year Book Medical Publishers

Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry.
New York: Williams and Wilkins

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. (Ed ke-7). St. Louis: Mosby, Inc.

http://www.neurotherapy.asia/eeg_brain_mapping.htm
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Salah satu terapi pada psikiatri atau dunia kedokteran jiwa yang tidak
banyakdiketahui oleh banyak masyarakat adalah suatu terapi kejut dengan
menggunakansebuah instrumen khusus yang dinamakan sebagai ECT (Electro
ConvulsionTherapy). Zaman dahulu penanganan pasien gangguan jiwa adalah
dengandipasung, dirantai, atau diikat, lalu ditempatkan di rumah atau hutan
jika gangguan jiwa berat. Tetapi bila pasien tersebut tidak berbahaya,
dibiarkan berkeliaran di desa,sambil mencari makanan dan menjadi tontonan
masyarakat. Terapi dalam gangguan jiwa bukan hanya meliputi pengobatan
dengan farmakologi tetapi juga denganpsikoterapi, serta terapi modalitas yang
sesuai dengan gejala atau penyakit pasienyang akan mendukung penyembuhan
pasien jiwa. Terapi kejang listrik merupakan salah satu terapi dalam kelompok
terapitotal.Terapi ini berupa terapi fisik dengan pasien-pasien psikiatri dengan
indikasi dancara tertentu. Terapi kejang listrik adalah suatu pengobatan untuk
menimbulkankejang grand mal secara artificial dengan melewatkan aliran
listrik melalui elektrodayang dipasang pada satu atau dua
“temples”(Stuard,2007).

Pada pelaksanaanpengobatan ECT, mekanismenya sebenarnya tidak diketahui,


tapi diperkirakanbahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia
dalam otak. Suatupeningkatan kadar norefinefrin dan serotonin, mirip efek
obat antidepresan.Kehilangan memori dan kekacauan mental sementara
merupakan efek sampingyang paling umum dimana perawat merupakan hal
yang penting hadir pada saatpasien sadar setelah ECT, supaya dapat
mengurangi ketakutan-ketakutan yangdisertai dengan kehilangan memori
(Erlinafsiah, 2010).

EEG Brain MappingEEG (electroencephalogram) merupakan sebuah alat


untuk mencatat aktivitas gelombang otak selama kurun waktu tertentu. QEEG
(Quantitative EEG) atau dikenal pula dengan sebutan "brain mapping",
memberikan data yang komprehensif tentang gelombang otak dan
memberikan analisa yang tepat dari data mentah yang diberikan oleh EEG.
QEEG bekerja menyerupai cara kerja EEG, akan tetapi data yang diperoleh
dari QEEG bisa ditampilkan dalam berbagai jenis sesuai kebutuhan, bisa
dalam bentuk gambar topografi, berupa diagram, atau beropa gambar-gambar
yang menunjukkan aktivitas pada bagian cortex (luar otak).
Tujuan Umum

1. Penulis dapat memahami dan mengerti tentang persiapan pemeriksaan


ECT.
2. Penulis dapat memahami dan mengerti tentang persiapan pemeriksaan
brain mapping
Tujuan Khusus

1. penulis mampu melakukan intervensi peda pemmeriksaan ECT dan Brain


mapping

Manfaat Penulisan

Untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang persiapan pemeriksaan


ECT dan persiapan pemeriksaan brain mapping

Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, Tujuan Umum, Tujuan Khusus, Manfaat


Penelitian,Sistematika Penulisan.BAB II : A.Pengertian, Indikasi,
Kontraindikasi,Komplikasi, Persiapan ECT(pra ECT), Penatalaksanaan ECT,
Post ECT. B.Pengertian, Prosedur .BAB III : Kesimpulan.
BAB III
KESIMPULAN

A. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik


danmenimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik.
Tindakan ini adalahbentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yangditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall. Therapi ECTmerupakan peubahan
untuk penderita psikiatrik berat, dimana pemberian arus listriksingkat
dikepala digunakan untuk menghasilkan kejang tonik klonik
umum.Padaterapi ECT ini,ada efek samping yang di hasilkan.Oleh karena
itu perawat harusmemperhatikan efek samping yang akan terjadi.Dan
peran perawat dalam terapiECT yaitu perawat sebelum melakukan terapi
ECT, harus mempersiapkan alat danmengantisipasi kecemasan klien
dengan menjelaskan tindakan yang akandilakukan.
B. EEG Brain MappingEEG (electroencephalogram) merupakan sebuah alat
untuk mencatat aktivitas gelombang otak selama kurun waktu tertentu.
QEEG (Quantitative EEG) atau dikenal pula dengan sebutan "brain
mapping", memberikan data yang komprehensif tentang gelombang otak
dan memberikan analisa yang tepat dari data mentah yang diberikan oleh
EEG.
DAFTAR ISI

Cover
1

Daftar Isi
2

BAB 1 Pendahuluan
3
a. Latar belakang
3

b. Tujuan Umum
4

c. Tujuan Khusus
4
d. Manfaat penulisan
4 e. Sistematika penulisan
4

BAB II Laporan Pendahuluan


5
A. Pengertian
5

Indikasi
5

Kontraindikasi
6
Komplikasi
6

Persiapan ECT(pra ECT)


6

Penatalaksanaan ECT
7

Post ECT
7

B.Pengertian 8
Prosedur
8,9

BAB 111 Kesimpulan


10

Daftar Pustaka
11

Diposting 4th March 2013 oleh Eva Maria Keljombar

Tambahkan komentar

5.

Mar

4
Pemeriksaan Fisik

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Pengkajian kesehatan menyeluruh seorang individu terdiri dari tiga komponen:
wawancara dan riwayat kesehatan; pengamatan umum dan pengukuran tanda-tanda
vital; dan pemeriksaan fisik, yang meliputi evaluasi diagnostik, interpretasi temuan
klinis, diagnosis, terapi dan tindak-lanjut.
Pemeriksaan dalam keperawatan menggunakan pendekatan yang sama dengan
pengkajian fisik kedokteran, yaitu dengan pendekatan inspeksi, palpasi, auskultasi
dan perkusi . Pengkajian fisik kedokteran dilakukan untuk menegakkan diagnosis
yang berupa kepastian tentang penyakit apa yang diderita klien . pengkajian fisik
keperawatan pada prinsipnya dikembangkan berdasarkan model keperawatan yang
lebih difokuskan pada respon yang ditimbulkan akibat masalah kesehatan yang
dialami. Pengkajian fisik keperawatan harus mencerminkan diagnosa fisik yang
secara umum perawat dapat membuat perencanaan tindakan untuk mengatasinya.
Untuk mendapatkan data yang akurat sebelum pemeriksaan fisik dilakukan
pengkajian riwayat kesehatan, riwayat psikososial, sosek, dll. Hal ini
memungkinkan pengkajian yang fokus dan tidak menimbulkan bias dalam
mengambil kesimpulan terhadap masalah yang ditemukan.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan tujuan pemeriksaan fisik.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis pemeriksaan fisik.
3. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik pada Alzeimer, Dementia, dan Epilepsi.
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Pemeriksaan fisik
1. Definisi
Pemeriksaan fisik adalah salah satu tehnik pengumpul data untuk mengetahui
keadaan fisik dan keadaan kesehatan.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan fisik
a. Selalu meminta kesediaan/ ijin pada pasien untuk setiap pemeriksaan
b. Jagalah privasi pasien
c. Pemeriksaan harus seksama dan sistimatis
d. Jelaskan apa yang akan dilakukan sebelum pemeriksaan (tujuan, kegunaan,
cara dan bagian yang akan diperiksa)
e. Beri instruksi spesifik yang jelas
f. Berbicaralah yang komunikatif
g. Ajaklah pasien untuk bekerja sama dalam pemeriksaan
h. Perhatikanlah ekpresi/bahasa non verbal dari pasien
3. Jenis pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan Inspeksi
a) Definisi
Inspeksi adalah suatu tindakan pemeriksa dengan menggunakan indera
penglihatannya untuk mendeteksi karakteristik normal atau tanda
tertentu dari bagian tubuh atau fungsi tubuh pasien. Inspeksi digunakan
untuk mendeteksi bentuk, warna, posisi, ukuran, tumor dan lainnya dari
tubuh pasien.
b) Cara pemeriksaan
1. Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
2. Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka (diupayakan pasien
membuka sendiri pakaiannya Sebaiknya pakaian tidak dibuka
sekaligus, namun dibuka seperlunya untuk pemeriksaan
sedangkan bagian lain ditutupi selimut).
3. Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas.
4. Catat hasilnya
b. Pemeriksaan Palpasi
a) Definisi
Palpasi adalah suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau
tangan. Palpasi dapat digunakan untuk mendeteksi suhu tubuh, adanya
getaran, pergerakan, bentuk, kosistensi dan ukuran. Rasa nyeri tekan
dan kelainan dari jaringan/organ tubuh. Dengan kata lain bahwa palpasi
merupakan tindakan penegasan dari hasil inspeksi, disamping untuk
menemukan yang tidak terlihat.
b) Cara pemeriksaan
1. Posisi pasien bisa tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian mana
yang diperiksa dan Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
2. Pastikan pasien dalam keadaan rileks dengan posisi yang nyaman
untuk menghindari ketegangan otot yang dapat mengganggu hasil
pemeriksaan
3. Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
4. Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan
relaksasi otot.
5. Lakukan Palpasi dengan sentuhan perlahan-lahan yaitu dengan
tekanan ringan dan sebentar-sebentar.
6. Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan menandakan
kelainan
7. Lakukan Palpasi secara hati-hati apabila diduga adanya fraktur
tulang.
8. Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah.
9. Lakukan Palpasi ringan apabila memeriksa organ/jaringan yang
dalamnya kurang dari 1 cm.
10. Lakukan Palpasi agak dalam apabila memeriksa organ/jaringan
dengan kedalaman 1 - 2,5 cm.
11. Lakukan Palpasi bimanual apabila melakukan pemeriksaan dengan
kedalaman lebih dari 2,5 cm. Yaitu dengan mempergunakan kedua
tangan dimana satu tangan direlaksasi dan diletakkan dibagian
bawah organ/jaringan tubuh, sedangkan tangan yang lain menekan
kearah tangan yang dibawah untuk mendeteksi karakteristik organ/
jaringan.
12. Rasakan dengan seksama kelainan organ/jaringan, adanya nodul,
tumor bergerak/tidak dengan konsistensi padat/kenyal, bersifat
kasar/lembut, ukurannya dan ada/tidaknya getaran/ trill, serta rasa
nyeri raba / tekan .
13. Catatlah hasil pemeriksaan yang didapat
c. Pemeriksaan Perkusi
a) Definisi
Perkusi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan
bunyi getaran/ gelombang suara yang dihantarkan kepermukaan tubuh
dari bagian tubuh yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan
ketokan jari atau tangan pada permukaan tubuh. Perjalanan getaran/
gelombang suara tergantung oleh kepadatan media yang dilalui.
Derajat bunyi disebut dengan resonansi. Karakter bunyi yang
dihasilkan dapat menentukan lokasi, ukuran, bentuk, dan kepadatan
struktur di bawah kulit. Sifat gelombang suara yaitu semakin banyak
jaringan, semakin lemah hantarannya dan udara/ gas paling resonan
b) Cara pemeriksaan
1. Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung pada bagian
mana yang akan diperiksa dan bagian tubuh yang diperiksa harus
terbuka
2. Pastikan pasien dalam keadaan rilek dan posisi yang nyaman untuk
menghindari ketegangan otot yang dapat mengganggu hasil
perkusi.
3. Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan
relaksasi otot.
4. Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering.
5. Lakukan perkusi secara seksama dan sistimatis yaitu dengan :
 Metode langsung yaitu melakukan perkusi atau mengentokan
jari tangan langsung dengan menggunakan 1 atau 2 ujung jari.
 Metode tidak langsung dengan cara sebagai berikut :
1. Jari tengah tangan kiri (yang tidak dominan) sebagai
fleksimeter di letakkan dengan lembut di atas permukaan
tubuh, upayakan telapak tangan dan jari-jari lain tidak
menempel pada permukaan tubuh.
2. Ujung jari tengah dari tangan kanan (dominan) sebagai
fleksor, untuk memukul/ mengetuk persendian distal dari
jari tengah tangan kiri.
3. Pukulan harus cepat, tajam dengan lengan tetap/ tidak
bergerak dan pergelangan tangan rileks
4. Berikan tenaga pukulan yang sama pada setiap area tubuh.
5. Bandingkan bunyi frekuensi dengan akurat.
a) Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan
oleh perkusi.
Bunyi timpani mempunyai intensitas keras, nada
tinggi, waktu agak lama dan kualitas seperti drum
(lambung).
b) Bunyi resonan mempunyai intensitas menengah, nada
rendah, waktu lama, kualitas bergema (paru normal).
c) Bunyi hipersonar mempunyai intensitas amat keras,
waktu lebih lama, kualitas ledakan (empisema paru).
d) Bunyi pekak mempunyai intensitas lembut sampai
menengah, nada tinggi, waktu agak lama kualitas
seperti petir (hati).
e) Bunyi kempes mempunyai intensitas lembut, nada
tinggi, waktu pendek, kualitas datar (otot).
d. Pemeriksaan Auskultasi
a) Definisi
Aukultasi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan
bunyi yang terbentuk di dalam organ tubuh. Hal ini dimaksudkan untuk
mendeteksi adanya kelainan dengan cara membandingkan dengan
bunyi normal. Auskultasi yang dilakukan di dada untuk mendengar
suara napas dan bila dilakukan di abdomen mendengarkan suara bising
usus.
b) Penilaian pemeriksaan auskultasi meliputi :
1) Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran permenit.
2) Durasi yaitu lama bunyi yang terdengar.
3) Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat/ lemahnya suara
4) Kualitas yaitu warna nada/ variasi suara.
Pemeriksa harus mengenal berbagai tipe bunyi normal yang
terdengar pada organ yang berbeda, sehingga bunyi abnormal dapat
di deteksi dengan sempurna. Untuk mendeteksi suara diperlukan
suatu alat yang disebut stetoskop yang berfungsi menghantarkan,
mengumpulkan dan memilih frekuensi suara. Stetoskop terdiri dari
beberapa bagian yaitu bagian kepala, selang karet/plastik dan
telinga. Selang karet/plastik stetoskop harus lentur dengan panjang
30-40 cm dan bagian telinga stetoskop yang mempunyai sudut
binaural dan bagiannya ujungnya mengikuti lekuk dari rongga
telinga Kepala stetoskop pada waktu digunakan menempel pada
kulit pasien.
Ada 2 jenis kepala stetoskop yaitu :
 Bel stetoskop digunakan untuk bunyi bernada rendah pada
tekanan ringan, seperti pada bunyi jantung dan vaskuler. Bila
ditekankan lebih kuat maka nada frekuensi tinggi terdengar
lebih keras karena kulit menjadi teranggang, maka cara
kerjanya seperti diafragma.
 Diafragma digunakan untuk bunyi bernada tinggi seperti bunyi
usus dan paru
c) Cara pemeriksaan
1) Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian
mana yang diperiksa dan bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
2) Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman
3) Pastikan stetoskop sudah terpasang baik dan tidak bocor antara
bagian kepala, selang dan telinga
4) Pasanglah ujung steoskop bagian telinga ke lubang telinga
pemeriksa sesuai arah, ukuran dan lengkungannya. Stetoskop
telinga
5) Hangatkan dulu kepala stetoskop dengan cara menempelkan pada
telapak tangan pemeriksa atau menggosokan pada pakaian
pemeriksa
6) Tempelkan kepala stetoskop pada bagian tubuh pasien yang akan
diperiksa dan lakukan pemeriksaan dengan seksama dan sistimatis
7) Pergunakanlah bel stetoskop untuk mendengarkan bunyi bernada
rendah pada tekanan ringan yaitu pada bunyi jantung dan vaskuler
dan gunakan diafragma untuk bunyi bernada tinggi seperti bunyi
usus dan paru
8) Informasikan hasil pemeriksaan dan catat pada status.

4. Posisi Pemeriksaan
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal, maka posisi pemeriksaan
sangat menentukan. Beberapa posisi yang umum dilakukan yaitu :
1) Posisi duduk dapat dilakukan di kursi atau tempat tidur. Digunakan untuk
pemeriksaan pada kepala, leher, dada, jantung, paru, mamae, ektremitas
atas.
2) Posisi supine (terlentang) yaitu posisi berbaring terlentang dengan kepala
disangga bantal. Posisi ini untuk pemeriksaan pada kepala, leher, dada
depan, paru, mamae, jantung, abdomen, ektremitas dan nadi perifer
3) Posisi dorsal recumbent yaitu posisi berbaring dengan lutut ditekuk dan
kaki menyentuh tempat tidur
4) Posisi sims (tidur miring) , untuk pemeriksaan rectal dan vagina
5) Posisi Prone (telungkup), untuk evaluasi sendi pinggul dan punggung
6) Posisi lithotomi yaitu posisi tidur terlentang dengan lutut dalam keadaan
fleksi.
7) Untuk pemeriksaan rectal dan vagina
8) Posisi knee chest (menungging), untuk pemeriksaan rectal
9) Posisi berdiri yaitu untuk evaluasi abnormalitas postural, langkah dan
keseimbangan.

B. Alzeimer
1. Definisi
Alzheimer bukan penyakit menular, melainkan merupakan sejenis sindrom dengan
apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak
mengerut dan mengecil.
Alzheimer juga dikatakan sebagai penyakit yang sinonim dengan orang tua. Risiko
untuk mengidap Alzheimer, meningkat seiring dengan pertambahan usia. Bermula pada
usia 65 tahun, seseorang mempunyai risiko lima persen mengidap penyakit ini dan akan
meningkat dua kali lipat setiap lima tahun, kata seorang dokter. Menurutnya, sekalipun
penyakit ini dikaitkan dengan orang tua, namun sejarah membuktikan bahawa pesakit
pertama yang dikenal pasti menghidap penyakit ini ialah wanita dalam usia awal 50-
an.
2. Faktor risiko
1) Pengidap hipertensi yang mencapai usia 40 tahun ke atas
2) Pengidap kencing manis
3) Kurang berolahraga
4) Tingkat kolesterol yang tinggi
5) Factor keturunan
3. Kriteria diagnose
Terdapat beberapa kriteria untukdiagnosa klinis penyakit alzheimer yaitu:
1) Kriteria diagnosis tersangka penyakit alzheimer terdiri dari:
 Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan
status mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta
dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik
 Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2
 Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
 Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun
 Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
2) Diagnosis tersangka penyakit alzheimer ditunjang oleh:
 Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa,
ketrampilan motorik, dan persepsi
 ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
 Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan
neuropatologi
 Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan
nonspesifik seperti peningkatan aktivitas gelombang lambat
 Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri

4. Pemeriksaan penunjang
1) Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris,
sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa
penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks
motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937). Kelainan-
kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen
abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini
juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba,
lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan
pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down
syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear
palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve
ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler,
astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP
sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama
terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis,
dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks
somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga
terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile
plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik.
Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan
gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada
penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks
terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan
frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang
otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra.
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari
meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel
serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan
harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat
menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna
dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada
korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan
pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan
batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada
enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah
kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body
kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy
body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.
2) Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi
pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya
gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit
yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang
ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan
memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik
yang penting karena:
a. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang
dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat
penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan
untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan
deficit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik,
dan gangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan
oleh demensia karena berbagai penyebab. The Consortium to establish
a Registry for Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu
prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey
yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya
terdiri dari:
a) Verbal fluency animal category
b) Modified boston naming test
c) mini mental state
d) Word list memory
e) Constructional praxis
f) Word list recall
g) Word list recognition
Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol
3) CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer
antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan
adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark
dantumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel
keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada
penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya
seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk
membedakan dengan penyakit alzheimer. Penipisan substansia alba serebri
dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan
hasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan
intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn
pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia
awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat
pada daerah subkortikal sepertiadanya atropi hipokampus, amigdala, serta
pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii. Seab et al, menyatakan MRI
lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan
penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
4) EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang
pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada
lobus frontalis yang non spesifik.
5) PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,
metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat
menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan
fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian
neuropatologi
6) SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan
ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif.
Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
7) Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita
alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan
penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12,
Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi
sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.

C. Dementia
1. Definisi
Demensia (bahasa Inggris: dementia, senility) merupakan istilah yang digunakan untuk
menjelaskan penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada
otak. Demensia bukan berupa penyakit dan bukanlah sindrom. Pikun merupakan gejala
umum demensia, walaupun pikun itu sendiri belum berarti indikasi terjadinya
demensia.
Demensia (Pikun) adalah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan
sekelompok gejala yang terdiri dari kehilangan ingatan, gangguan penilaian,
disorientasi dan perubahan tingkah laku, yang cukup akut untuk mengakibatkan
kehilangan fungsi.
Demensia (Pikun) bukan merupakan bagian dari proses penuaan normal, meskipun
lansia lebih rentan untuk menjadi pikun. Demensia (Pikun) terjadi akibat adanya
degenerasi fungsi otak, yang pada akhirnya mempengaruhi kegiatan sosial atau kerja
(misalnya pekerjaan, hobi, berbelanja, memasak, berpakaian, makan, mandi dan
kegiatan higienis).
Orang-orang yang menderita demensia sering tidak dapat berpikir dengan baik dan
berakibat tidak dapat beraktivitas dengan baik. Oleh sebab itu mereka lambat laun
kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan dan perlahan menjadi
emosional, sering hal tersebut menjadi tidak terkendali. Banyak penyakit/sindrom
menyebabkan demensia, seperti stroke, Alzheimer, penyakit Creutzfeldt-Jakob,
Huntington, Parkinson, AIDS, dan lain-lain. Demesia juga dapat diinduksi oleh
defisiensi niasin. Demensia pada Alzheimer dikategorikan sebagai simtoma degeneratif
otak yang progresif. Mengingat beban yang ditimbulkan penyakit ini, masyarakat perlu
mewaspadai gangguan perilaku dan psikologik penderita demensia Alzheimer.
2. Faktor resiko
Pertambahan usia, faktor kardiovaskular seperti hipertensi, dan lebih langka, faktor
genetik, berkontribusi terhadap resiko demensia.
3. Gejala
 Akhir-akhir ini hilang ingatan sehingga mempengaruhi kinerja bekerja
 Kesulitan dalam menjalankan tugas-tugas rutin
 Permasalahan dengan bahasa
 Disorientasi waktu dan jarak
 Penilaian buruk atau berkurang
 Masalah dengan pemikiran abstrak
 Salah menempatkan barang-barang
 Perubahan kepribadian
 Kehilangan inisiatif
 Perubahan suasana hati atau tingkah laku
4. Pemeriksaan Demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini
belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk
menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan
antara lain :
a. Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang
dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi
kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia
vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering
menoleh yang disebut head turning sign.
b. Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-
kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma
kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena
tumor atau hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan
motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia
lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.
c. Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau
tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka
pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan
bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian,
mengurus uang dan membuat keputusan.
d. Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah
mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya
riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif,
delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat
menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.
e. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan
gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi
nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik
untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan
trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.
f. Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga,
terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
g. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan
status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
h. Pemeriksaan penunjang (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
a) Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia
khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang
demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium
normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah,
ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
b) Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan
demensia.
c) Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen
dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes
sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
d) Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon
4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe
awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif
APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
i. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas
sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. .(Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003). Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai
penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi
kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi
sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan
proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan
neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
o mampu menyaring secara cepat suatu populasi
o mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan
demensia. (Sjahrir,1999)
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003
;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk
mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering
dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam
mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau
penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap
abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada
penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling
rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor
MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80
tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26
untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4
tahun. Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan
umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu
metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan.
(Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori
antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas
sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang
dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi
kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai
0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat
demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang
dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. (Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001).

D. Epilepsy
1. Definisi
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan
pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat
melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau lebih luas pada kedua
hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis kompleks yang
disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron
yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi
(EEG), atau keduanya.
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang
berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang
dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,psikologis
dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya.
2. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran
epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke
diagnosis adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Tahap pertama mengevaluasi penderita dengan kemungkinan epilepsi
adalah menetapkan apakah penderita menderita kejang atau tidak.
Anamnesis yang lengkap seorang dokter dapat memperkirakan apakah
seseorang benar menderita kejang atau tidak, dan juga perlu untuk
menentukan tipe kejang atau jenis epilepsi tertentu. Penentuan tipe kejang
atau epilepsi sangat penting karena pengobatan penderita epilepsi salah
satunya didasarkan pada tipe kejang atau jenis epilepsi. Anamnesis dapat
dilakukan pada pasien atau saksi mata yang menyaksikan pasien kejang.
Sering penderita datang dalam keadaan tidak sadar, sehingga gambaran
bangkitan sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Ini sering
bergantung pada kepandaian pemeriksa untuk menentukan pola bangkitan
dan kepandaian saksi mata dalam melukis bangkitan. Untuk penentuan
penyebab dari kejang, dokter harus menentukan apakah ada anamnesa
keluarga dengan epilepsi, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga
tengah atau sinus atau gejala dari keganasan.
Adapun pertanyaan yang penting untuk ditelusuri berupa:
 Pola / bentuk bangkitan
 Lama bangkitan
 Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
 Frekuensi bangkitan
 Faktor pencetus\
 Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
 Usia saat terjadinya bengkitan pertama
 Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan / kelahiran dan
perkembangan bayi / anak
 Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologi
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala,
infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal
atau difus, kecanduan obat terlarang atau alkohol dan kanker.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
 EEG (elektroensefalogram)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko.
Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik
di dalam otak. Setelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan
lainnya untuk menentukan penyebab yang biasa diobati.
EEG hanyalah suatu pemeriksaan, bukan penentu diagnosis pasti.
Interpretasi gambaran EEG harus dilakukan dengan hati-hati. Pada
sebagian pasien, digunakan teknik-teknik pengaktifan tertentu, seperti
hiperventilasi atau stimulasi cahaya berkedip-kedip, untuk memicu
munculnya pola listrik yang abnormal. Bahkan setelah pemeriksaan
EEG berulang, hasil tetap negatif pada hampir 20% pasien. EEG yang
normal sering dijumpai pada anak dengan kejang tonik-klonik.
Rekaman EEG digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah otak
spesifik yang terlibat dalam lepas muatan abnormal, dan data ini
dikolerasikan dengan rekaman video.
 Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin, leukosit, trombosit, hapusan
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula
darah, fungsi hati (SGOT, SGPT, Gamma GT, Alkali fosfatase), ureum,
kreatinin dan lain-lain atas indikasi. Pemeriksaan darah rutin dilakukan
untuk:
 Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
 Menilai fungsi hati dan ginjal
 Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi)
 Pemeriksaan cairan serebrospinal bila dicurigai adanya infeksi SSP
 Pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk dilakukan bila ada indikasi
misalnya adanya kelainan metabolik bawaan.
 EKG (elektrokardiogram)
EKG dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung
sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa
menyebabkan seseorang mengalami pingsan.
 CT – Scan dan MRI
CT –scan dan MRI dilakukan untuk melihat ada tidaknya neuropati
fokal. MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya
tumor kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus
temporalis.
 Pungsi Lumbal
Kadang dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak.
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
Pemeriksaan fisik adalah salah satu tehnik pengumpul data untuk mengetahui
keadaan fisik dan keadaan kesehatan. Jenis-jenis pemeriksaan fisik yaitu, palpasi,
auskultasi, perkusi, dan inspeksi. Pemeriksaan penunjang juga termasuk dalam
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sangat diperlukan
untuk mendiagnosa klien dengan alzeimer, dementia & epilepsi

B. Saran
Pemeriksaan fisik sangat diperlukan untuk menentukan diagnose bagi klien
sehingga kita harus mengetahui pemeriksaan fisik apa yang dperlukan khususnya
bagi alzeimer, dementia dan epilepsy. Terutama bagi mahasiswa keperawatan yang
nantinya akan melakukan pemeriksaan fisik pada klien.

Daftar Pustaka

Blass J et al. Thiamin and alzheimer disease. Arch. Neurol. 1988(45): 833-835

BR Reed. Alzheimer disease: age antibodi onset and SPECT pattern of reginal

cerebral blood flow, Archieves of Neurology, 1990(47):628-633

Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93

DL Spark. Aging and alzheimer disease: alteredd cortical serotogenic binding. Arch.

Neurology, 1989(46): 138-145.


E.Mohr. Clonidine treatment of alzheimer disease. Archive of Neurology, 1989(46):

376-378

Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in

population survey. Arc.Neurol. 1992(49):927-932

J.C. Morries. The consortium to establish a registry for alzheimer disease (CERALD)

part I: clinical and neuropsycologycal assessment of ADALAH.Neurology,


1989 (39):1159-1105

Jaka.2009.Dementia. http://www.drjaka.com/2009/10/demensia.html diakses pada 16


oktober 2012 pada 18.00 WITA

Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 1997


(49): S11-S13

Made.2012.Askep Demensia. http://udayatimade.blogspot.com/2012/05/askep-


demensia.html diakses pada 16 Oktober 2012 pada 18.00 WITA

Diposting 4th March 2013 oleh Eva Maria Keljombar

Tambahkan komentar

6.

Mar

Tingkat Kesadaran

Daftar Isi
BAB I

1.1 Latar belakang


.................................................2

1.2 Tujuan Penulisan


.................................................2

1.3 Manfaat Penulisan


.................................................2

BAB II Pembahasan

2.1 Tingakat Kesadaran


.................................................3

2.1.1 Pengujian Tingkat Kesadaran


.................................................4

2.1.2 Penyebab Penurunan Tingkat Kesadaran


.................................................5

2.2 Status Mental


.................................................6

2.2.1 Pemeriksaan status mental


.................................................7

2.2.2 Pemeriksaan kemampuan berbicara


.................................................7

2.2.3 Pengenalan status mental secara formal


.................................................7

2.2.4 Pemeriksaan Orientasi ................................................8

2.2.5 Pemeriksaan pengetahuan mengenai kejadian mutakhir


................................................8

2.2.6 Pemeriksaan daya pertimbangan ...............................................8

2.2.7 Penilaian daya abstraksi ................................................8

2.2.8 Pemeriksaan kosakata ................................................8

2.2.9 Pemeriksaan respon emosional ................................................9


2.2.10 Pemeriksaan daya ingat ................................................9

2.2.11 Pemeriksaan integritas aktifitas motorik


................................................ 9

2.2.12 Pemeriksaan Olfaksi ................................................9

2.2.13 Pemeriksaan kemampuan berhitung.


................................................9

2.2.14 Pemeriksaan kemampuan mengenal benda


................................................9

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan
..................................................10

3.2 Saran
..................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Neurologi adalah ilmu kedokteran yang mempelajari kelainan, gangguan fungsi,


penyakit, dan kondisi lain pada sistim saraf manusia. Oleh sebab itu dipelajari pula hal-
hal yang secara alami dianggap fungsi sistim saraf normal. Misalnya: kepandaian
berbahasa, gangguan belajar, pikun dan lain-lainnya. Dalam rangka menegakkan
diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan mental dan laboratorium (penunjang). Pemeriksaan neurologis meliputi:
fungsi cerebral, fungsi nervus cranialis, fungsi sensorik, fungsi motorik dan reflek.

Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan berkembang
dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan bantuan yang
sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan atau
perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat mendiagnosis perdarahan di
otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan pencitraan. Kita juga dengan mudah
dapat menentukan polineuropati dan perkembangannya melalui pemeriksaan
kelistrikan.

Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik dan mental di sisi ranjang
(bedside) masih tetap memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat
meningkatkan kemampuan pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi
yang canggih. Kita dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik dan mental
dengan bantuan alat-alat canggih yang kita miliki.

Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk melihat,
mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan pemeriksaan
anamnesis, fisik dan mental yang cermat, kita dapat menentukan diagnosis, dan
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.

1.1 TUJUAN PENULISAN

Dalam penulisan makalah ini terdapat 2 (dua) tujuan utama penulisan yaitu;

1.1.1 Tujuan Umum

untuk memberikan informasi mengenai cara pemeriksaan tingkat kesadaran


dan status mental pada pasien penderita gangguan kejiwaan.
1.1.2 Tujuan Khusus

Secara khusus bagi :

 Mahasiswa keperawatan bertujuan untuk memberikan pengetahuan


dasar mengenai pemeriksaan tingkat kesadaran dan status mental.

 Institusi keperawatan bertujuan untuk mendambah literatur atau


referensi mengenai pemeriksaan tingkat kesadaran dan status mental.

1.3 MANFAAT PENULISAN

penulisan ini diharapkan memberikan manfaat bagi dunia kesehatan pada


umumnya terlebih mengenai pemeriksaan tingkat kesadaran dan status mental bagi
pasien yang menderita gangguan kejiwaan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TINGKAT KESADARAN

Kesadaran mempunyai arti yang luas,kesadaran dapat didefinisikan sebagai


keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Keseluruhan
dari impuls aferen dapat disebut input susunan saraf pusat dan keseluruhan dari impuls
eferen dapat disebut output susunan saraf pusat.

Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai kewaspadaan, yaitu aksi dan
reaksi terhadap apa yang diserap (dilihat, didengar, dihidu, dikecap. Dan sterusnya )
bersifat sesuai dan tepat. Keadaan ketika aksi sama sekali tidak dibalas dengan reaksi
dikenal sebagai koma. Kesadaran yang terganggu dapat menonjolkan kedua seginya,
yaitu unsure tingkat dan unsure kualitasnya.Suatu ilustrasi perbedaan tingkat dan
kualitas kesadaran ketika seorang klien yang sakit tidak dapat mengenal lagi orang-
orang yang biasanya bergaul akrab dengan dia. Orang awam menamakan keadaan itu “
tidak sadar” atau pikiran kacau. Apa yang dimaksud dengan istilah itu adalah kualitas
kesaradarannya terganggu. Dalam hal ini, klien tidak menunjukkan gangguan tingkat
kesaradan, oleh karena apabila perawat memberi stimuli klien akan memberikan
respons dengan perubahan ekspresi nyeri atau klien akan menarik bagian yang
diberikan stimuli untuk menghindarinya.
Kualitas kesadaran yang menurun tidak senantiasa menurunkan juga tingkat
kesadaran. Tetapi tingkat kesadaran yang menurun senantiasa menggangu kualitas
kesadaran. Oleh karena itu fungsi mental yang ditandai oleh berbagai macam kualitas
kesadaran sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran.

Pengertian kualitas dan tingkat kesadaran dapat diartikan bahwa jumlah (kuantitas)
input susunan saraf pusat menentukan tingkat kesadaran. Cara pengolahan input itu
yang melahirkan pola-pola output susunan saraf pusat menentukan kualitas kesadaran.
Input susunan saraf pusat dapat dibedakan menjadi input yang bersifat spesifik dan
yang bersifat nonspesifik.Pengertian spesifik itu merujuk kepada perjalanan impuls
aferen yang khas dan kesadaran yang dilahirkan oleh impuls aferen itu yang khas itu
juga. Hal ini berlaku bagi semua lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh
dengan suatu titik di daerah korteks perseptif primer. Oleh karena itu penghantaran
impuls spesifik itu dikenal sebagai penghantaran impuls aferen dari titik ke titik.
Setibanya impuls aferens spesifik ditingkat korteks terciptalah suatu kesadaran akan
suatu modalitas perasaan, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu
penglihatan penciuman atau pendengaran tertentu.

Pengertian input yang bersifat nonspesifik itu adalah sebagian dari impuls aferen
spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen nonspesifik. Lintasan ini terdiri atas
serangkaian neuron-neuron di substansia medulla spinalis dan batang otak yang
menyalurkan impuls aferen ke thalamus yaitu ke inti intralaminaris.Impuls aferen
spesifik sebagian disalurkan melalui kolateralnya ke rangkaian neuron-neuron
substansia metikularis dan impuls aferen itu selanjutnya bersifat nonspesifik oleh
karena cara penyalurannya ke thalamus berlangsung secara multisinaptik, unilateral,
dan bilateral dan setibanya di nucleus intralaminaris akan membangkitkan inti tersebut
untuk memancar impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara divus dan bilateral.
Lintasan aferen yang nonspesifik itu lebih dikenal sebagai diffuse ascending reticular
system.

Dengan adanya dua lintasan aferen itu, maka terbentuk penghantaran aferen
yang pada prinsipnya berbeda. Lintasan spesifik (jaras spino-talamik, lemniskus
medialis, jaras genikolo-kalkarina dsb) menghantarkan impuls dari satu alat reseptor ke
satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya, lintasan aferen nonspesifik
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun dari tubuh ke titik-titik dibagian
seluruh korteks serebri.

Neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang dibangkitkan oleh impuls aferen


nonspesifik disebut Neuron Pengemban Kewaspadaan, oleh karena bergantung pada
jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, maka derajat kesadaran bisa tinggi atau
rendah. Aktivasi neuron-neuron tersebut dilakukan oleh neuron-neuron yang menyusun
inti talamik yang disebut Nukleus Intralaminaris. Apabila terjadi gangguan sehingga
kesadaran menurun sampai tingkat yang terendah, maka koma yang dihadapi dapat
terjadi karena neuron pengemban kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi
disebut Koma Kortikal Bihemisferik atau oleh karena neuron pembangkit
kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan
disebut Koma Diensefalik yang dapat bersifat Supratentorial atau Infratentorial.

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan


penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system
persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan keterjagaan. Istilah-istilah seperti letargi, stupor, dan semikomatosa
adalah istilah yang umum digunakan dalam berbagai area.

2.1.1 PENGUJIAN TINGKAT KESADARAN

a. Secara kualitatif

1. ComposMentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat


menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.

2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.

3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,


berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang


lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.

6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

b. Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )

1. Menilai respon membuka mata (E)

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).


(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)

(1) : tidak ada respon

2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi


tempat dan waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak
dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

3. Menilai respon motorik (M)

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus


saat diberi rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol


E…V…M… Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1

Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan :

(Compos Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) / Somnolen(11-10) / Delirium


(GCS: 9-7)/ Sporo coma (GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3)).
2.1.2 PENYEBAB PENURUNAN TINGKAT KESADARAN

Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat


kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia),
kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok), penyakit metabolic seperti
diabetes mellitus (koma ketoasidosis), pada keadaan hipo atau hipernatremia, dehidrasi,
asidosis, alkalosis, pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan, hipertermia, hipotermia,
peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak), infeksi
(encephalitis) & epilepsi.

2.2 STATUS MENTAL

Status mental merupakan keadaan kejiwaan yang dimiliki seseorang.

Secara ringkas prosedur pengkajian status mental klien dapat dilakukan meliputi:

1. Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya dengan melihat cara berpakaian
klien, kerapihan, dan kebersihan diri.

2. Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah dan aktifitas


motorik semua ini sering memberikan informasi penting tentang klien.

3. Penilaian gaya bicara klien dan tingkat kesadaran juga diobservasi.

4. Apakah gaya bicara klien jelas atau masuk akal ?

5. Apakah klien sadar dan berespons atau mengantuk dan stupor ?


Untuk melihat lebih jauh penilaian status mental bagi perawat terdapat pada table
berikut :

PENILAIAN RESPONS
Perhatian Rentang perhatian ke depan dan ke belakang
Daya ingat - Jangka pendek: mengingat kembali tiga item setelah 5 menit
- Jangka panjang : mengingat nama depan ibunya, mengingat
kembali menu makanan pagi, kejadian pada hari sebelumnya.
Perasaan (efektif) - Amati suasana hati yang tercermin pada tubuh, ekspresi tubuh
- Deskripsi verbal efektif
- Verbal kongruen, indicator tubuh tentang suasana hati.
Bahasa - Isi dan kualitas ucapan spontan
- Menyebutkan benda-benda yang umum, bagian-bagian dari
suatu benda
- Pengulangan kalimat
- Kemampuan untuk membaca dan menjelaskan pesan-pesan
singkat pada surat kabar, majalah.
- Kemampuan menulis secara spontan, di-dikte.
Pikiran - Informasi dasar (misalnya presiden terbaru, 3 presiden
terdahulu)
- Pengetahuan tentang kejadian-kejadian baru.
- Orientasi terhadap orang tempat dan waktu.
- Menghitung : menambahkan dua angka, mengurangi 100 dengan
7.
Persepsi - Menyalin gambar : persegi, tanda silang, kubus, tiga dimensi.
- Menggambar bentuk jam membuat peta ruangan.
- Menunjuk ke sisi kanan dan kiri tubuh.
- Memperagakan : mengenakan jaket, meniup peluit,
menggunakan sikat gigi.

2.2.1 Pemeriksaan status mental


Pemeriksaan status mental terdiri dari hal-hal berikut ini :

 Bicara

 Orientasi

 Pengetahuan kejadian mutakhir

 Pertimbangan

 Abstraksi

 Kosakata

 Respon emosional

 Daya ingat

 Berhitung

 Pengenalan benda

 Praktis (integrasi aktivitas motorik)

2.2.2 Pemeriksaan kemampuan berbicara

Jika pasien bangun dan waspada, anda sudah dapat mengamati cara
berbicaranya. Pasien sekarang diminta untuk mengulangi ungkapan singkat. Apakah
ada disatria disfoni,disfasia, atau afasia? Disatria adalah kesukaran artikulasi. Biasanya
disatria disebabkan oleh lesi pada lidah dan palatum. Disfoni adalah kesulitan dalam
fonasi. Akibatnya perubahan volume dan nada suara. Lesi palatum dan pita suara
seringkali menjadi penyebabnya. Disfasia adalah kesukaran memahami atau berbicara
sebagai akibat gangguan fungis serebral. Pasien yang kehilangan kemampuan
berbicaranya sama sekali menderita afasia. Berbagai daerah di otak menyebabkan
afasia yang berbeda-beda. Afasia tidak lancar, motorik, ekspresif ada jika pasien
mengetahui apa yang ingin dikatakannya, tetapi menderita gangguan motorik dan tidak
dapat mengucapkannya dengan tepat. Ia memahami tulisan dan perintah verbal tetapi
tidak dapat mengulanginya. Suatu lesi di lobus frontal sering menjadi penyebabnya.
Afasia sensorik, reseptif, lancar, ada jika pasien mengucapkan kata-kata secara spontan
tetapi memakai kata-kata secara tidak tepat. Pasien mengalami kesukaran dalam
memahami perintah tertulis dan verbal serta tidak dapat mengulanginya. Keadaan
sering disebabkan oleh lesi temporoparietal.

2.2.3 Pengenalan status mental secara formal


Selama wawancara, pemeriksa telah memperoleh banyak informasi mengenai
status mental pasien. Pewawancara mungkin sudah dapat menilai daya ingat jangka
panjang pasien, afek dan pertimbangannya. Pemeriksaan status mental secara formal,
sebagai bagian pemeriksaan neurologik, diperkenalkan oleh pemeriksa.

2.2.4 Pemeriksaan Orientasi

Orientasi pasien terhadap orang, tempat dan waktu harus ditentukan. Orientasi
menunjukkan kesadaran orang bersangkutan dalam hubungannya dengan orang lain,
tempat dan waktu. Disorientasi terjadi dalam kaitannya dengan gangguan daya ingat
dan rentang perhatian.

2.2.5 Pemeriksaan pengetahuan mengenai kejadian mutakhir

Pemeriksaan pengetahuaan mengenai kejadian mutakhir dapat diperiksa dengan


menanyakan kepada pasien, nama empat presiden terakhir amerika serikat.
Menanyakan kepada pasien nama walikota atau gubernur. Kemampuan menyebutkan
peristiwa mutakhir memerlukan orientasi yang utuh, daya ingat mutakhir yang utuh,
dan kemampuan berpikir secara abstrak.

2.2.6 Pemeriksaan daya pertimbangan

Pemeriksaan daya pertimbangan dilakukan dengan meminta pasien untuk


menafsirkan suatu masalah sederhana.

2.2.7 Penilaian daya abstraksi

Abstraksi adalah suatu fungsi luhur serebral yang memerlukan pemahaman dan
pertimbangan. Peribahasa lazim dipakai untuk menguji penalaran abstraksi. Pasien
dengan kelainan penalaran abstrak mungkin menafsirkan peribahasa dengan memakai
tafsiran konkrit. Respon konkrit lazim dijumpai pada pasien dengan retardasi mental
atau dengan kegagalan otak. Pasien skizofrenia sering menjawab dengan penafsiran
konkrit, tetapi penilaian yang aneh juga lazim dijumpai. Cara lain untuk memeriksa
penalaran abstrak adalah dengan menanyakan kepada pasien bagaimana sepasang
benda serupa atau tidak serupa.

2.2.8 Pemeriksaan kosakata

Kosakata seringkali sangat sulit untuk diperiksa. Kesulitan ini berdasarkan atas
banyak faktor, yang mencakup pendidikan pasien, latar belakang, pekerjaan,
lingkungan dan fungsi serebral. Tetapi kosakata merupakan parameter penting dalam
menilai kemampuan intelektual. Pasien retardasi mental mempunyai kosakata yang
terbatas, sedangkan pasien dengan kegagalan otak mental mempunyai kosakata yang
terpelihara dengan baik. Pasien harus diminta untuk mendefinisikan kata-kata atau
memakainya dalam kalimat. Kata apa saja dapat dipakai, tetapi harus dipakai dengan
tingkat kesukaran yang makin bertambah.

2.2.9 Pemeriksaan respon emosional


Meskipun respon emosional sudah diamati secara tidak formal, penting untuk
ditanyakan secara spesifik apakah pasien memperhatikan adanya perubahan suasana
hati secara tiba-tiba. Afek didefinisikan sebagai respon emosional terhadap suatu
peristiwa. Responnya mungkin tepat, abnormal, atau mendatar. Respon yag tepat
terhadap kematian orang yang dicintai mungkin menangis. Respon yang tidak tepat
mungkin tertawa. Respon mendatar memperlihatkan sedikit respon emosional. Pasien
dengan kerusakan serebral bilateral kehilangan kendali akan emosinya.

2.2.10 Pemeriksaan daya ingat

Untuk memeriksa daya ingat, pasien harus diminta untuk mengingat kejadian
yang baru saja terjadi dan dominan. Autotopagnosia adalah istilah yang dipakai untuk
melukiskan ketidak mampuan untuk mengenali tubuh pasien sendiri, seperti tangan
atau tungkainya.

2.2.11 Pemeriksaan integritas aktifitas motorik

Praksis adalah kemampuan untuk melakukan suatu aktifitas motorik apraksia


adalah ketidakmampuan pasien untuk melakukan suatu gerakan volunter tanpa adanya
gangguan dalam kekuatan, sensasi, atau koordinasi motorik. Dispraksia adalah
berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktifitas. Pasien mendengar dan
memahami perintah, tetapi ia tidak dapat mengintegrasikan aktifitas motorik yang akan
melakukan gerakan itu. Mintalah kepada pasien untuk menuangkan air dari tempat air
minum kedalam gelas minumannya. Gangguan ini sering disebabakan oleh lesi jauh di
dalam lobus frontal.jenis apraksia lainnya disebut apraksia konstruksi pada penyakit
ini, pasien tidak mampu menyusun atau menggambar desain sederhana. Pasien dengan
apraksia konstruksi sering menderita lesi dipars posterior lobus pariental.

2.2.12 Pemeriksaan Olfaksi

Pasien diminta untuk menutup matanya dan satu lubang hidung ketika
pemeriksa mendekat zat penguji kelubang hidung lainnya.pasien diminta untuk
menghirup zat penguji itu. Zat penguji itu harus mudah mengguap dan tidak
mengiritasi,seperti cenggkeh,vanila bean,kopi yang baru digiling,atau lavender.

2.2.13 Pemeriksaan kemampuan berhitung.

Kemampuan berhitung tergantung kepada integritas bemisfer serebral yang


dominan dan juga intelegensia pasien.

2.2.14 Pemeriksaan kemampuan mengenal benda

Pengenalan benda disebut genosia. Agnosia adalah kegagalan mengenali suatu


rangsangan sensorik meskipun ada sensasi primer yang
normal,contohnya:memperlihtakan benda yang sudah dikenal secara luas seperti uang
logam,pena,kacamata dll. Dan mintalah kepadanya untuk mnyebutkan nama-nama
benda itu. Jika pasien mempunyai daya visus normal dan tidak dapat mengenal benda
itu dikatakan bahwa ia mangalami agnosia visual.

Agnosia taktil adalah ketidakmampuan seorang pasien mengenal sebuah benda dengan
palpasi tanpa ada gangguan sensorik. Semua terjadi pada lesi lubus pariental yang tidak.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kualitas kesadaran yang menurun tidak senantiasa menurunkan juga tingkat


kesadaran. Tetapi tingkat kesadaran yang menurun senantiasa menggangu kualitas
kesadaran. Oleh karena itu fungsi mental yang ditandai oleh berbagai macam kualitas
kesadaran sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran.

Status mental merupakan keadaan kejiwaan yang dimiliki seseorang.


Pemeriksaan status mental seseorang harus dinilai dari berbagai aspek yang
ditentukan, tidak bisa hanya melihat dari satu penilaian saja.

3.2 SARAN

- bagi perawat dalam melakukan pemeriksaan harus menggunakan ketelitian

- Serta dalam pemeriksaan status mental perawat harus menggunakan prosedur


pengkajian yang telah biasa diterapkan kepada pasien yang mengalami gangguan
mental.

Diposting 4th March 2013 oleh Eva Maria Keljombar

Lihat komentar

Memuat
Tema Tampilan Dinamis. Gambar tema oleh sndr. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai