Anda di halaman 1dari 29

1

Referat Kecil

AGRESIVITAS

Presentan : Tatih Meilani,dr

Pembimbing : Ike M.P Siregar, dr., SpKJ(K),MPH

Penelaah : R.M Haryadi Karyono, dr., SpKJ

Penyanggah : Santi Andayani, dr., SpKJ

Tanggal : 10 Juni 2015

Tempat : Ruang Sidang Departemen/SMF

Psikiatri RS Hasan Sadikin

DEPARTEMEN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RSUP.Dr.HASAN SADIKIN

BANDUNG

2015
2

BAB I

PENDAHULUAN

Agresivitas merupakan perilaku yang menimbulkan cedera, permusuhan

atau bersifat destruktif, sering disebabkan oleh frustrasi. Agresivitas pada manusia

merupakan suatu fenomena yang terjadi di mana-mana dan menyebabkan banyak

kerugian di masyarakat. Tenaga kesehatan jiwa sering dibutuhkan untuk

mengevaluasi bentuk-bentuk agresivitas individu yang patologis pada seting

klinis, forensik maupun sekolah.1

Agresivitas pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa juga merupakan

masalah yang besar, baik ketika berada di masyarakat maupun di institusi rumah

sakit. Data epidemiologi menunjukkan bahwa perilaku agresivitas lebih sering

terjadi di antara individu dengan gangguan psikotik, terutama ketika mereka

memiliki waham curiga dan halusinasi ataupun komorbid dengan gangguan

penggunaan zat. Individu-individu agresif dengan ancaman verbal yang sangat

sering dan tidak dapat diprediksi, melempar benda-benda, merusak perabot dan

jendela, serta menyerang secara fisik cenderung menghuni bangsal psikiatrik

dalam jangka waktu lama.2

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas sudah seharusnya seorang calon

psikiater memahami lebih dalam tentang agresivitas. Makalah ini bertujuan untuk

membahas definisi, jenis-jenis, etiologi, prediktor, neurobiologi, evaluasi,

pencegahan dan pengendalian agresivitas.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Agresivitas

Agresivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti hal (sifat,

tindak) agresif; keagresifan.3 Sedangkan menurut Kaplan agresi itu sendiri

merupakan tindakan yang bertujuan dan penuh tenaga, dapat berupa verbal

ataupun fisik; aspek motorik yang menyertai afek marah atau permusuhan.4

Moyer mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang jelas dan memiliki

maksud untuk menimbulkan stimulasi yang merugikan.5 Menurut Berkowitz

agresi diartikan sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk

menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun verbal.6

Menurut Ludy T. Benjamin agresi memiliki dua ciri, yaitu pertama

tindakan haruslah mengandung permusuhan dan memiliki potensi

membahayakan. Kedua, korban agresi harus merupakan pihak yang tidak

menginginkan hal tersebut. Bukan merupakan agresi bila korban memicu

serangan untuk memenuhi keinginan pribadinya.7

Menurut Gordon H.Bower kata kunci yang menyertai tindakan agresi

adalah maksud (intention). Luka yang diakibatkan karena kecelakaan atau

ketidaksengajaan tidak dianggap sebagai agresi.8


4

2.2 Jenis-jenis Agresivitas1

Agresivitas dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, misal berdasarkan

targetnya (diri sendiri atau orang lain), berdasarkan cara dilakukannya (fisik atau

verbal, langsung atau tidak langsung), atau penyebab agresivitas (misal medis ).

Klasifikasi yang paling banyak digunakan dan mungkin paling bernilai

secara heuristis adalah agresivitas yang terencana dibandingkan dengan

agresivitas impulsif. Agresivitas yang terencana merupakan perilaku yang

direncanakan dan tidak berkaitan dengan frustrasi atau respon terhadap ancaman

yang segera. Bentuk agresivitas ini disebut juga sebagai agresivitas predator,

instrumental, atau juga proaktif. Agresivitas terencana tidak selalu disertai dengan

gejala otonom dan direncanakan dengan tujuan yang jelas. Kadang-kadang bentuk

agresivitas ini diberikan sanksi secara sosial. Sebaliknya agresivitas impulsif

ditandai dengan gejala otonom yang sangat kuat dan terdapat presipitasi yang

berkaitan dengan emosi negatif seperti kemarahan atau ketakutan. Agresifitas

impulsif biasanya merupakan suatu respon terhadap stres yang dirasakan.

Agresivitas impulsif disebut juga sebagai agresivitas reaktif, agresivitas afektif

ataupun agresivitas bermusuhan. Tipe agresivitas ini menjadi patologis jika respon

agresif berlebihan dalam kaitannya dengan provokasi emosi yang terjadi. Apabila

ancaman yang ada bersifat membahayakan dan mengancam maka agresivitas yang

tidak terencana ini dapat disebut sebagai agresivitas defensif dan merupakan

bagian dari dinamika perilaku manusia yang normal.


5

2.3 Epidemiologi Agresivitas1

Data dari WHO baru-baru ini menyebutkan estimasi sebanyak 1,43 juta

orang meninggal setiap tahunnya di seluruh dunia akibat kekerasan melibatkan

diri sendiri ataupun antar personal, dan jumlah yang lebih besar untuk korban-

korban kekerasan yang non-fatal. Kebanyakan dari kekerasan tersebut tidak

terencana atau merupakan agresivitas impulsif.

Terdapat juga laporan bahwa seperempat dari seluruh laki-laki dan hampir

setengah dari jumlah wanita mengadukan tentang tindakan agresivitas fisik

setelah usia 18. Agresivitas impulsif dan episodik secara verbal maupun fisik

dapat berhubungan dengan berbagai gangguan psikiatrik dan seringkali dijumpai

pada gangguan kepribadian seperti gangguan kepribadian ambang dan antisosial.

Konsekuensi dari perilaku-perilaku ini dapat berakibat serius, meliputi

penganiayaan pasangan, cedera, kehilangan pekerjaan, tindak kriminal,

pemerkosaan atau pembunuhan. Di antara pelaku kekerasan sebanyak 47 % dari

laki-laki dan 21 % dari perempuan memiliki gangguan kepribdian antisosial.

2.4 Agresivitas dan Kekerasan9

Kekerasan menjadi sebuah kontroversi di antara etolog. Istilah tersebut

telah digunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk agresivitas yang

mengalami eskalasi abnormal dan patologis ditandai dengan serangan yang sering

dan berkelanjutan serta periode laten yang singkat. Perbedaan di antara kekerasan

dan agresivitas secara kuantitatif yaitu di mana kekerasan ditandai dengan periode

laten serangan yang pendek, frekuensi yang lebih sering dan durasi yang lebih
6

lama dibandingkan agresivitas yang adaptif. Sementara secara kualitatif kekerasan

digambarkan sebagai serangan yang tidak tergantung pada konteks, diarahkan

kepada lawan tanpa memperhatikan jenis kelamin, kesiagaan ataupun tempat

kejadian. Oleh karena itu secara prinsip kekerasan mengacu pada agresivitas yang

mengalami peningkatan atau bentuk agresivitas yang secara kualitatif abnormal.

2.5 Etiologi Agresivitas4

2.5.1 Faktor-faktor Psikologis

2.5.1.1 Perilaku Instingtual

Pada awal karyanya, Sigmund Freud mengemukakan bahwa semua

perilaku manusia berasal dari insting hidup (Eros) yang mana energi atau

libidonya ditujukan untuk perbaikan hidup dan reproduksi. Dalam kerangka ini,

agresivitas dipandang sebagai sebuah reaksi terhadap penggagalan dorongan

libidinal. Setelah Perang Dunia I, Freud mengemukakan adanya insting kedua

yaitu insting kematian (Thanatos) yang mana energinya ditujukan ke arah

pengrusakan atau terminasi kehidupan. Menurut Freud semua perilaku manusia

berakar dari interaksi yang kompleks antara Eros dan Thanatos serta ketegangan

yang konstan di antara keduanya.

Insting kematian jika tidak dibatasi akan mengakibatkan kerusakan pada

diri, sehingga Freud mengemukakan hipotesis bahwa energi Thanatos diarahkan

ke dunia luar dan merupakan dasar untuk agresivitas terhadap orang lain. Maka

pendapat Freud kemudian bahwa agresivitas secara primer berasal dari pengalihan

pengrusakan diri yang diarahkan terhadap orang lain.


7

2.5.1.2 Pendapat Lorenz

Menurut Konrad Lorenz agresivitas berasal dari insting berkelahi yang

dimiliki manusia terhadap organisme lain. Energi yang berhubungan dengan

insting ini dihasilkan secara spontan dalam organisme secara konstan. Probabilitas

terjadinya agresivitas meningkat seiring dengan berfungsinya sejumlah energi

yang tersimpan dan keberadaan stimulus pencetus agresivitas. Saat itu agresivitas

tak terelakkan dan ledakan spontan terjadi.

2.5.1.3 Perilaku Yang Dipelajari

Ditinjau dari perspektif lain agresivitas secara primer merupakan suatu

bentuk perilaku sosial yang dipelajari dan dipertahankan dengan cara yang sama

seperti aktivitas lain. Menurut Albert Bandura sumber dari agresivitas bukanlah

dorongan untuk melakukan kekerasan yang bersifat bawaan dan dibangkitkan

oleh frustrasi. Menurutnya seseorang memperoleh kemampuan tersebut hampir

seperti perilaku lain, melalui pengalaman pribadi maupun pengamatan terhadap

orang lain. Perilaku yang dipelajari ini bervariasi antara budaya. Pada saat yang

bersamaan seseorang juga belajar melalui pengalaman siapa-siapa atau situasi apa

saja yang membenarkan adanya suatu agresivitas.

2.5.2 Faktor-faktor Sosial

2.5.2.1 Frustrasi

Cara satu-satunya yang paling ampuh untuk memancing seseorang

melakukan agresivitas adalah membuat frustrasi. Pendapat ini bersumber dari

hipotesis John Dollard mengenai frustrasi dan agresivitas. Hipotesis tersebut


8

menyebutkan bahwa frustrasi selalu mengarah kepada suatu bentuk agresivitas

dan agresivitas selalu bersumber dari frustrasi.

Namun demikian orang-orang yang frustrasi tidak selalu berespon dengan

pemikiran, kata-kata atau tindakan agresif. Mereka dapat menunjukkan reaksi

yang bervariasi yang berkisar mulai dari menarik diri, depresi, dan putus asa

dalam menghadapi sumber frustrasinya. Begitu pula tidak semua agresivitas

diakibatkan oleh frustrasi. Beberapa orang seperti petinju dan pemain sepak bola

bertindak agresif karena berbagai alasan dan sebagai responnya terhadap berbagai

stimulus.

Penyelidikan terhadap bukti-bukti mengindikasikan bahwa apakah

frustrasi akan meningkatkan atau gagal memunculkan agresivitas tergantung pada

dua faktor. Pertama, frustrasi akan meningkatkan agresivitas ketika intensitasnya

kuat. Kedua, frustrasi kemungkinan akan meningkatkan agresivitas ketika

dipersepsikan sebagai sesuatu yang sewenang-wenang dan tidak logis.

2.5.2.2 Provokasi Langsung

Penelitian membuktikan bahwa penganiayaan fisik dan ejekan dari orang

lain sering menimbulkan tindakan-tindakan agresif. Sekali agresivitas dicetuskan

seringkali menjadi semakin menjadi-jadi, bahkan teguran ringan atau tatapan

sekilas dapat memprovokasi lebih jauh.

2.5.2.3 Kekerasan Di Media

Media dapat mempengaruhi perilaku melalui modeling, disinhibisi,

desensitisasi, pembangkitan perasaan agresivitas, dan dorongan untuk mengambil

risiko. Paparan terhaadap materi-materi kekerasan dilaporkan meningkatkan


9

fantasi kekerasan terutama pada laki-laki. Remaja sangat rentan terhadap paparan

tersebut.

2.5.3 Faktor-faktor Lingkungan

2.5.3.1 Polusi Udara

Paparan terhadap bau yang mengganggu, misal yang dihasilkan oleh

industri kimia, dapat meningkatkan iritabilitas seseorang dan agresivitas,

meskipun dampak dari hal ini hanya berlaku hingga batas tertentu.

2.5.3.2 Bising

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang dipaparkan

terhadap bunyi keras dan mengganggu melakukan kekerasan lebih kuat

dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terpapar bunyi keras.

2.5.3.3 Kesesakan

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa kesesakan menimbulkan

peningkatan agresivitas, namun penelitian lainnya gagal membuktikan hubungan

tersebut. Kesesakan dapat meningkatkan kemungkinan meledaknya agresivitas

bila reaksi yang timbul bersifat negatif (misal jengkel dan frustrasi).

2.5.4 Faktor-faktor Situasional

2.5.4.1 Tingginya Dorongan Fisiologis

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa dorongan fisiologis yang

tinggi yang berasal dari berbagai sumber seperti keikutsertaan dalam kompetisi,

olah raga yang penuh tenaga, dan paparan terhadap film yang provokatif

meningkatkan agresivitas yang nyata.


10

2.5.4.2 Dorongan Seksual

Penelitian baru-baru ini mengindikasikan bahwa efek dorongan seksual

pada timbulnya agresivitas sangat tergantung pada materi-materi erotik yang

digunakan untuk menginduksi reaksi agresivitas. Ketika keerotisan yang

ditampilkan ringan, msal foto-foto bugil, agresivitas berkurang. Ketika keerotisan

ditampilkan secara eksplisit, misal film-film tentang pasangan yang melakukan

berbagai aktivitas seksual, agresivitas meningkat.

2.5.4.3 Nyeri

Nyeri dapat membangkitkan dorongan agresivitas yang berlanjut pada

pencarian target termasuk orang-orang yang tidak berkaitan dengan nyeri yang

dialami sang agresor.

2.5.5 Faktor-faktor Biologis

2.5.5.1 Hormon

Beberapa penelitian menghubungkan tingkat agresivitas dengan kadar

androgen. Penelitian-penelitian ini menunjukkan adanya sindrom non-sensitivitas

androgen ( di mana terdapat defek pengikatan androgen pada protein yang

menyebabkan anak laki-laki dengan penampilan feminim dan kecenderungan

yang rendah untuk bermain kasar) dan sindrom androgenital ( di mana janin

terpapar secara berlebihan oleh hormon androgen dari korteks adrenal ibu yang

meningkat sehingga menyebabkan maskulinisasi pada anak perempuan).

2.5.5.2 Obat-obatan

Dosis kecil alkohol menghambat agresivitas sedangkan dosis besar

meningkatkan agresivitas. Efek dari barbiturat sama dengan alkohol. Obat-obat


11

ansiolitik secara umum menghambat agresivitas. Ketergantungan opioid

berhubungan dengan peningkatan agresivitas, seperti halnya penggunaan

stimulan, kokain, halusinogen dan pada beberapa kasus juga ganja pada dosis

yang bervariasi.

2.5.5.3 Kerusakan neuroanatomi

Beberapa peneliti mengemukakan hipotesis bahwa akar dari perilaku

agresivitas yang kronis pada orang-orang tertentu adalah kerusakan organik pada

otak. Pendapat ini adalah perluasan dari teori bahwa agresivitas merupakan

perilaku sosial yang dipelajari, kemudian bahwa pada orang yang pernah menjadi

korban penganiayaan fisik berat dapat mengalami sekuele neurologis yang

bersifat sekunder akibat penganiayaan tersebut dan sekuele yang terjadi

merupakan faktor predisposisi biologis untuk perilaku agresivitas.

2.5.5.4 Neurotransmiter

Secara umum mekanisme kolinergik dan katekolaminergik tampaknya

terlibt dalam induksi dan peningkatan agresivitas predator. Sementara itu sistem

serotonergik dan GABA tampaknya menghambat perilaku agresivitas. Sistem

katekolaminergik dan serotonergik terbukti memodulasi agresivitas afektif.

Dopamin tampaknya memfasilitasi agresivitas sementara norepinefrin dan

seerotonin menghambatnya.

2.5.5.5 Faktor-faktor genetik

Penelitian mengenai perilaku meneliti pengaruh kromosom, khususnya

sindrom XYY 47-kromosom terhadap agresivitas. Orang dengan sindrom tersebut

memiliki karakteristik tinggi, intelegensi di bawah rata-rata, memiliki


12

kemungkinan untuk ditangkap dan dipenjara akibat perilaku kriminal. Namun

demikian penelitian-penelitian selanjutnya membuktikan bahwa sindrom XYY

hanya berkontribusi pada sebagian kecil kasus perilaku agresivitas.

2.6 Prediktor Agresivitas 4

Kebanyakan orang dewasa yang melakukan perilaku agresivitas

kemungkinan besar melakukannya terhadap orang yang mereka kenal, biasanya

anggota keluarga. Pengecualian dapat terjadi pada remaja laki-laki yang sering

melakukan agresi terhadap orang yang dikenal sepintas lalu atau orang asing.

Secara umum kemungkinan perilaku agresivitas meningkat ketika

seseorang secara psikologis mengalami dekompensasi dan mungkin juga ketika

onset gangguan mental terjadi dengan cepat. Dekompensasi yang berlangsung

episodik dapat terjadi pada mereka yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah

besar. Lebih dari 50 % orang-orang yang melakukan tindakan kriminal

pembunuhan dan yang melakukan penganiayaan dilaporkan mengkonsumsi

alkohol dalam jumlah yang signifikan sebelumnya.

Berikut beberapa prediktor keberbahayaan terhadap orang lain :

- Niat yang kuat untuk melukai,

- Adanya korban,

- Ancaman yang terang-terangan dan sering,

- Rencana yang konkret,

- Akses terhadap alat untuk melakukan kekerasan,

- Riwayat kehilangan kontrol,


13

- Kemarahan, permusuhan atau kebencian yang terus-menerus,

- Kenikmatan melakukan atau menonton kekerasan,

- Kurangnya rasa belas kasihan,

- Memandang diri sendiri sebagai korban,

- Kebencian terhadap otoritas,

- Kebrutalan atau deprivasi pada masa kanak-kanak,

- Kurangnya kasih sayang dan kehangatan di rumah,

- Kehilangan orang tua sejak dini,

- Sering bermain-main dengan api, mengompol dan kejam terhadap binatang,

- Riwayat kekerasan sebelumnya,

- Menyetir dengan ugal-ugalan.

Di antara kesemuanya prediktor terbaik untuk agresivitas adalah riwayat

kekerasan sebelumnya.

2.7 Agresivitas dan Gangguan Psikiatrik1,4,10

Terdapat hubungan yang jelas antara agresivitas dan gangguan psikiatrik.

Perilaku agresif merupakan bagian integral dari beberapa gangguan psikiatrik.

Beberapa gangguan psikiatrik yang berhubungan dengan agresivitas :

- Retardasi mental

- Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas

- Gangguan perilaku (conduct disorder)

- Gangguan kognisi : delirium dan demensia

- Gangguan psikotik : skizofrenia dan gangguan psikotik YTT


14

- Gangguan mood : akibat kondisi medis umum ataupun akibat penggunaan zat

- Gangguan eksplosif intermitten

- Gangguan penyesuaian

- Gangguan kepribadian : paranoid, antisosial, borderline, narsisistik

Pada pasien gangguan jiwa terdapat suatu kerentanan untuk timbulnya

agresivitas. Manifestasi dari kerentanan tersebut berbeda-beda tergantung dari

konteks psikopatologinya (Gambar 1). Misalnya pada konteks adanya psikopati

yang ditandai dengan tidak adanya empati dan perilaku tidak berperasaan kepada

orang lain, agresivitas rentan untuk timbul sebagai agresivitas instrumental

dengan karakteristik gangguan kepribadian antisosial. Ketika kerentanan

berhubungan dengan kelemahan kognitif atau disorganisasi proses pikir maka

agresivitas dapat bermanifestasi pada pasien psikotik atau pada perilaku

menyimpang seperti pembunuhan, pemerkosaan dan pembunuhan serial. Individu

dengan predisposisi ansietas yang kemudian terpapar dengan trauma memiliki

kerentanan untuk menjadi agresif. Agresivitas pada pasien tersebut timbul bila

dipicu oleh sinyal-sinyal yang membangkitkan trauma terdahulu, sama halnya

pada PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).

Agresivitas reaktif atau impulsif sering terjadi dalam konteks adanya

sensitivitas yang ekstrim dan disregulasi emosional seperti pada gangguan

kepribadian ambang. Kerentanan terhadap agresivitas dapat dimungkinkan oleh

adanya perubahan mood atau keadaan ansietas seperti pada gangguan bipolar,

gangguan cemas menyeluruh, atau gangguan panik. Agresivitas yang bersifat

episodik dan kekerasan sering menyertai demensia. Gangguan penyalahgunaan zat


15

merupakan komorbid yang biasanya terjadi, yang mana gangguan ini

berkontribusi terhadap distorsi kognitif maupun timbulnya disinhibisi.

Gambar 1. Kerentanan terhadap agresivitas dan Gangguan Psikiatrik

2.8 Neurobiologi Agresivitas1

Menurut konsep diatesis dari agresivitas terjadi suatu ketidakseimbangan

antara kontrol top-down atau brakes dari korteks orbito-frontal dan anterior

cingulatum yang berfungsi dalam kaliberasi perilaku terhadap norma sosial,

memodulasi atau mensupresi perilaku agresif, dengan dorongan bottom-up

yang berlebihan yang dicetuskan oleh area limbik seperti amigdala dan insula.

Pada Gambar 2, stimulus yang memprovokasi emosi yang berperan

sebagai pencetus agresivitas akan diproses oleh pusat pemroses sensori auditori,

visual dan sensori lain. Pada tahap ini defisit sensori misal gangguan pendengaran

atau penglihatan maupun distori sensori yang disebabkan oleh obat-obatan,

alkohol atau gangguan metabolik dapat mengakibatkan kesan sensori yang tidak

lengkap atau terdistorsi yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa stimulus

diartikan sebagai ancaman atau provokasi. Setelah pemrosesan sensori, penilaian


16

stimulus akan diolah di pusat pemrosesan informasi sosial dan tentunya di regio

asosiasi yang lebih tinggi, termasuk korteks prefrontal, temporal dan parietal.

Tahap awal pemrosesan informasi awal ini dapat dipengaruhi oleh budaya

dan faktor-faktor sosial yang mungkin memodulasi persepsi tentang provokasi.

Selain itu dapat juga terdistorsi oleh kelemahan kognitif sehingga mengarah pada

kecenderungan timbulnya ide paranoid atau idea of reference dan dapat

mengalami bias oleh skema negatif akibat perkembangan stres/trauma ataupun

pengalaman negatif yang berkepanjangan yang berakibat berkurangnya rasa

percaya. Akhirnya pemrosesan stimulus ini dalam kaitannya dengan conditioning

emosi di masa lalu yang diolah di amigdala dan area limbik yang terkait akan

mencetuskan dorongan untuk bertindak agresif. Sementara korteks orbitofrontal

dan girus anterior cingulatum akan memodulasi secara top-down respon-respon

emosi ini dan berperan untuk mensupresi perilaku-perilaku dengan konsekuensi

negatif.

Gambar 2. Inisiasi dan modulasi agresivitas


17

Berbagai abnormalitas spesifik lainnya pada struktur otak dan

neuromodulator yang meregulasi sistem agresivitas kemungkinan dapat berperan

dalam menyebabkan kerentanan terhadap agresivitas (Gambar 3).

Gambar 3. Sirkuit otak dan neuromodulator yang meregulasi agresivitas

Serotonin memfasilitasi inhibisi di prefrontal sehingga aktivitas

serotonorgik yang insufisien dapat meningkatkan agresivitas. Sementara aktivitas

gabaminergik di reseptor GABA dapat mengurangi reaktivitas subkortikal

sehingga aktivitas gabaminergik yang berkurang dapat meningkatkan agresivitas.

Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguan psikiatrik bervariasi

(Gambar 4), namun cenderung melibatkan ketidakseimbangan regulasi kortikal

dan subkortikal. Aplikasi dari neurobiologi agresivitas untuk pemilihan

farmakoterapi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguan psikiatrik


18

Gambar 5. Implikasi neurobiologi terhadap farmakoterapi agresivitas

2.9 Evaluasi Agresivitas5

Evaluasi pasien yang menunjukkan agresivitas dapat menjadi problematik.

Perhatian terhadap keamanan fisik dari pasien, dokter dan staf merupakan

prasyarat bagi asesmen klinis yang akurat dan obyektif. Klinisi harus mengetahui

sumber-sumber dan keterbatasan dari situasi klinis untuk manajemen perilaku

agresif.

Ketika melakukan pendekatan terhadap pasien agresif diperlukan sekali

penilaian yang baik dan pengalaman. Meski demikian beberapa pedoman umum

dapat menjadi pertimbangan. Pasien-pasien yang agresif secara verbal atau

motorik dibedakan dari pasien-pasien yang tindakan agresinya telah menjadi

kekerasan secara fisik. Indikasi bahwa pasien telah atau mungkin akan melakukan

kekerasan dapat diperoleh dari beberapa sumber. Jika sumber laporan mengenai

kekerasan tersebut berasal dari staf unit gawat darurat atau keluarga maka klinisi

sebaiknya menyelidiki bagaimana laporan tersebut disampaikan dalam upaya

mengevaluasi derajat keakuratan dan obyektivitasnya. Klinisi juga sebaiknya


19

meminta data observasional dan riwayat pasien yang mendukung dugaan bahwa

pasien mungkin akan melakukan kekerasan. Seringkali perilaku pasien yang aneh

dapat memicu fantasi-fantasi mengenai kekerasan di dalam pikiran pengamat,

meskipun faktanya tidak ada kemungkinan untuk hal itu. Kejadian seperti ini

khususnya terjadi pada orang-orang yang tidak berpengalaman dalam menangani

dan mengamati masalah-masalah psikiatri.

Secara umum bukti awal mengenai adanya kekerasan harus dianggap valid

dan perhatian untuk keselamatan pasien dan staf harus mendahului pertimbangan

tentang diagnosis. Butir selanjutnya adalah bahwa penyerangan terhadap staf

akibat kewaspadaan keamanan yang tidak adekuat, mengakibatkan kemunduran

yang berat dan ireversibel dalam kinerja unit dan moril institusi. Butir ketiga yang

tidak kalah penting adalah tak ada klinisi yang takut akan penyerangan fisik,

dapat mengevaluasi kondisi pasien dengan adekuat dan obyektif.

Riwayat kekerasan atau potensi perilaku kekerasan yang didapat di awal

harus dianggap serius dan kewaspadaan harus diterapkan untuk keselamatan

selama evaluasi. Hal ini mungkin termasuk memanggil petugas keamanan.

Penting juga untuk menyingkirkan benda-benda yang berbahaya atau dapat

dirusak oleh pasien dari area, demikian juga orang-orang yang rentan misal

pasien-pasien lain. Jika kemampuan pasien untuk mengontrol dorongan untuk

melakukan kekerasan diragukan maka satu atau lebih petugas keamanan harus

mendampingi selama evaluasi. Hal ini harus dilakukan tanpa rasa bersalah dan

penuh kesadaran diri disertai penjelasan kepada pasien bahwa prosedur ini rutin

dilakukan apabila petugas tidak yakin tentang situasi yang ada. Staf atau keluarga
20

yang ketakutan terhadap pasien dengan perilaku kekerasan mungkin memanggil

psikiater dengan asumsi bahwa psikiater secara ajaib dapat mengontrol atau kebal

terhadap kekerasan. Asumsi seperti itu harus dikoreksi oleh klinisi, baik di dalam

pikirannya maupun pikiran pasien, keluarga dan staf. Keberadaan personil yang

adekuat untuk mengontrol potensi kekerasan dapat memberikan rasa tenang pada

semua yang terlibat.

Ketika melakukan pendekatan terhadap pasien yang tidak dapat diprediksi

di ruang pemeriksaan maka biarkan pintu terbuka. Klinisi harus menjaga agar

pasien tidak menghalangi antara dirinya dan pintu. Kewaspadaan seperti itu harus

dijelaskan tanpa adanya rasa bersalah. Klinisi harus tetap tenang, penuh empati

dan hindari menampilkan postur yang bersifat otoriter atau mengontrol, kecuali

keadaan menjadikan ini sebuah keharusan. Jika pasien mengatakan keinginan

agresif maka klinisi dapat meminta pasien agar mengontrol keinginannya tersebut.

Jika pasien mengatakan ia tidak bisa melakukannya maka keberadaan personil

yang adekuat untuk mengontrol potensi kekerasan dapat memberikan efek tenang

pada semua yang terlibat.

Obat-obatan sebaiknya tidak diberikan sebelum evaluasi klinis yang

lengkap. Hal tersebut dikarenakan perilaku agresif pasien mungkin diakibatkan

oleh kondisi organik yang dapat tersamarkan atau diperburuk oleh agen-agen

psikofarmaka. Maka dari itu sangat penting dilakukan pre-evaluasi dan

kewaspadaan untuk mengontrol kekerasan.

Jika situasi sudah stabil maka klinisi dapat melanjutkan untuk evaluasi.

Anamnesis harus diperoleh dari pasien, keluarga, teman, ataupun petugas yang
21

membawa pasien. Pemeriksaan status mental dan fisik (termasuk neurologis)

harus dilakukan hingga batas yang memungkinkan dengan kondisi pasien.

Evaluasi awal harus mengarahkan pada beberapa diagnosis banding yang

mungkin. Klinisi kemudian dapat memilih apakah diperlukan rawat inap atau

tidak untuk melanjutkan evaluasi lebih jauh, mengobati ataupun merujuk.

2.10 Instrumen Penilaian Agresivitas

Berikut beberapa instrumen yang dapat dgunakan untuk menilai gejala

agresivitas.

1. Overt Aggression Scale (OAS)11

Instrumen ini termasuk skala yang bersifat obyektif (dinilai oleh

pemeriksa). Pada instrumen ini, perilaku agresif dibagi menjadi 4 kategori yaitu:

1) agresivitas verbal, 2) agresivitas fisik terhadap benda-benda, 3) agresivitas fisik

terhadap diri sendiri, dan 4) agresivitas fisik terhadap orang lain. Dalam setiap

kategori perilaku agresif dinilai berdasarkan beratnya. Contoh perilaku yang

mewakili digunakan untuk mendefinisikan skala nilai-nilai dan menuntun

pemeriksa dalam menentukan beratnya perilaku agresif. Beratnya perilaku agresif

dinilai dalam 4 tingkatan.

2. The aggression questionnaire12

Instrumen ini dikembangkan oleh Buss, A. H. dan Perry, M. P. pada tahun

1992, berisi 29 pertanyaan dan bersifat self-rating. Pertanyaan 1-9 untuk menilai

agresivitas fisik, 10-14 agresivitas verbal, 15-21 kemarahan, 22-29 menilai

permusuhan.
22

3.The Displaced Aggression Questionnaire13

Instrumen ini dikembangkan oleh Denson T. F., Pedersen W. C., dan

Miller N pada tahun 2006, berisi 31 pertanyaan dan bersifat self-rating, digunakan

untuk mengukur aspek emosional, kognitif, dan perilaku dari agresi yang

dipindah-tempatkan (displacement) kepada obyek yang tidak bersalah.

2.11 Pencegahan dan Pengendalian Agresivitas4

Pencegahan terjadinya kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh

perilaku agresivitas, kekerasan atau pembunuhan dimulai dari tingkat individual

dan meliputi rujukan psikiatrik, pemberitahuan kepada pihak yang berwenang

(bersifat wajib pada kasus seperti penganiayaan anak dan ancaman penganiayaan

terhadap seseorang), dan konseling oleh terapis yang ahli.

Berikut ini beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah dan

mengendalikan agresivitas.

a. Hukuman

Hukuman kadang-kadang merupakan pencegahan yang efektif untuk

agresivitas yang nyata, namun hukuman tidak selalu dapat mencegah agresivitas.

Penerima hukuman seringkali menginterpretasikan hukuman sebagai suatu

penyerangan terhadapnya.

b. Katarsis

Hpotesis mengenai katarsis adalah kepercayaan bahwa dengan terlibat

dalam aktivitas seperti berlari atau tinju membuat seseorang dapat menyalurkan

kemarahannya sehingga mengurangi agresivitas.


23

c. Pelatihan Keterampilan Sosial

Alasan utama mengapa banyak orang terlibat dalam agresivitas yang

berulang-ulang adalah kurangnya kemampuan sosial yang mendasar. Orang-orang

ini tidak mengetahui bagaimna cara berkomunikasi dengan efektif sehingga

mereka menggunakan cara kasar untuk mengekspresikan diri. Ketidakmampuan

yang tampak misalnya dalam menyampaikan permintaan, bernegosiasi,

mengajukan komplain, sering mengiritasi teman, kenalan ataupun orang asing.

Kekurangan dalam hal bersosialisasi yang parah menandakan bahwa mereka

mengalami frustrasi yang berulang dan kemarahan yang sering terhadap orang

yang mereka temui. Sebuah teknik untuk mengurangi frekuensi perilaku tadi

adalah memberikan mereka keterampilan sosial.

Pelatihan keterampilan sosial sudah diaplikasikan pada berbagai grup

seperti remaja, polisi dan bahkan orang tua yang menganiaya anaknya. Dalam

banyak kasus tampak suatu perubahan yang dramatis dalam perilaku (misal

komunikasi antar-personal dan kemampuan menghadapi stres dan penolakan

yang meningkat) serta berkurangnya perilaku agresivitas.

c. Induksi Respon-respon yang Berlawanan dengan Agresivitas

Hal ini mencakup paparan yang menimbulkan reaksi-reaksi misal empati,

humor, rasa bersalah, ataupun bangkitan gairah seksual yang ringan. Selain itu

dapat juga dengan melibatkan pasien dalam tugas-tugas kognitif misal

menyelesaikan soal-soal matematika.


24

2.12 Algoritma Penatalaksanaan Agresivitas

Algoritma penatalaksanaan agresivitas dapat dilihat pada Gambar 6 .

Sumber : The Expert Consensus Guideline: Treatment of Behavioral


Emergencies. Allen MH, Currier GW, Hughes DH, Reyes-Harde M, & Docherty
JP (2001). The MGraw-Hill Companies, Inc14
25

Beberapa jenis obat dapat membantu dalam penatalaksanaan pasien

agresivitas secara optimal, seperti pada Gambar 7 di bawah ini.


26

BAB III

KESIMPULAN

Agresivitas merupakan segala sesuatu yang berkenaan dengan perilaku

yang memiliki maksud untuk menyakiti orang lain atau memiliki potensi

membahayakan, di mana korban merupakan pihak yang tidak menginginkan hal

tersebut. Agresivitas dapat secara fisik maupun verbal, dapat ditujukan terhadap

diri sendiri, orang lain ataupun obyek. Selain itu juga dikenal agresivitas yang

terencana dan agresivitas impulsif. Etiologi agresivitas berasal dari faktor-faktor

psikologis, sosial, lingkungan, situasional dan biologis.

Agresivitas sering ditemukan pada berbagai gangguan psikiatrik. Evaluasi

yang obyektif dan adekuat diperlukan untuk memperoleh diagnosis yang tepat,

dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan pasien, dokter, staf, dan keluarga.

Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguan psikiatrik bervariasi, namun

cenderung melibatkan ketidakseimbangan regulasi kortikal dan subkortikal.

Berbagai usaha dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan

agresivitas sehingga tidak menimbulkan kematian maupun kerugian lainnnya.

Beberapa jenis farmakoterapi seperti antipsikotik, antidepresan, antikonvulsan,

benzodiazepin maupun stimuln dapat diberikan sesuai dengan etiologi yang

mendasari agresivitas.
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Siever LJ. Neurobiology of Aggression and Violence. American Journal

Psychiatry. 2008;165:429-42.

2. Frey REC, Weller J. Behavioral Management of Aggression Through

Teaching Interpersonal Skills. Psychiatric Services. 2000;51:607-9.

3. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional; 2008.

4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:

Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2007.

5. Cavenar JO, Brodie HKH. Sign and Symptomps in Psychiatry.

Philadelphia: J.B Lippincott Company; 1983.

6. Berkowitz, L. Aggression: Its causes, consequences, and control. New

York, NY: McGraw-Hill; 1993

7. Benjamin LT, Hopkins JR, Nation JR. Psychology. New York: Macmillan

Publishing Company; 1987.

8. Bower GH, Bootzin RR, Zajonc RB. Principles of Psychology Today. 1st

ed. New York: Random House Inc.; 1987.

9. Takahashi A, Quadros IM, Almeida RMMd, Miczek KA. Behavioral and

Pharmacogenetics of Aggressive Behavior. Curr Top Behav Neurosci.

2012;12:73138.
28

10. Huband N, Ferriter M, Nathan R, Jones H. Antiepileptics for aggression

and associated impulsivity. Cochrane Database Syst Rev. 2010.

11. Yudofsky SC, Silver JM, Jackson W, Endicott J, Williams D. The Overt

Aggression Scale for the Objective Rating of Verbal and Physical

Aggression. Am J Psychiatry 1986;143:35-9.

12. Buss, A. H., & Perry, M. P. The aggression questionnaire. Journal of

Personality and Social Psychology. 1992; 63: 452-459

13. Denson, T. F., Pedersen, W. C., & Miller, N. The Displaced Aggression

Questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology. 2006;

90: 1032-1051

14. Allen MH, Currier GW, Hughes DH, Reyes-Harde M, & Docherty JP. The

Expert Consensus Guideline: Treatment of Behavioral Emergencies. A

Postgraduate Medicine Special Report. The MGraw-Hill Companies, Inc. ;

2001. Diunduh dari

www.psychguides.com/Behavioral%20Emergencies.pdf
29

Anda mungkin juga menyukai