Anda di halaman 1dari 13

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Retardasi mental adalah keadaan defisit perkembangan, dimulai di masa kecil, yang mengakibatkan keterbatasan yang signifikan dari kecerdasan atau kognisi dan adaptasi yang sedikit untuk tuntutan hidup sehari-hari. Sebagaimana dicatat oleh Esquirol, cacat intelektual bukanlah penyakit itu sendiri, tetapi merupakan konsekuensi dari perkembangan beberapa proses patogen.1 Keterbelakangan mental mempengaruhi sekitar 1-3% dari populasi di negara maju. Sampai saat ini, proporsi yang signifikan dari individu dengan keterbelakangan mental yang dirawat di fasilitas perumahan seperti yang dikelola negara sekolah pelatihan. Kecenderungan terakhir telah bergerak individu yang cacat mental, dari pengaturan kelembagaan dan ke dalam pengaturan hidup yang lebih berbasis masyarakat gagasan seperti bahwa rumah-rumah keterbelakangan kelompok. mental Tren ini dapat

menggarisbawahi

tidak

dikategorikan sebagai penyakit mental dalam arti ketat dari istilah tersebut. Dengan demikian, individu-individu ini harus dipandang hanya sebagai suatu populasi yang membutuhkan lebih dari rata-rata membantu dalam tugas seharihari hidupnya.5 Penanganan anak dengan retardasi mental bersifat multidimensi dan sangat individual. Walaupun harus dipikirkan perlunya upaya multidisiplin yang sangat terspesialisasi, namun tidak semua anak dengan retardasi mentalditangani dengan baik dengan pelayanan professional dan kompleks.

1.2.

Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan

masyarakat tentang retardasi mental dan memberi informasi kepada masyarakat mengenai penanganan retardasi mental.

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1.

Definisi Retardasi Mental Menurut WHO,retardasi mental adalah Kemampuan mental yang tidak

mencukupi. Keterbelakangan mental adalah keadaan defisit perkembangan, dimulai di masa kecil, yang mengakibatkan keterbatasan yang signifikan dari kecerdasan atau kognisi dan adaptasi yang sulit untuk tuntutan hidup sehari-hari. Sebagaimana dicatat oleh Esquirol, cacat intelektual bukanlah penyakit itu sendiri, tetapi merupakan konsekuensi dari perkembangan beberapa proses patogen. [1] 2.2. Faktor Resiko Retardasi Mental

Penyebab pada masa Prenatal - Gangguan genetik Kelainan genetik prenatal yang ditandai dengan perubahan dalam bahan genetik, yang mungkin atau tidak mungkin telah diwariskan dari orang tua. Kelainan genetik prenatal yang ditandai dengan perubahan dalam bahan genetik, yang mungkin atau tidak mungkin telah diwariskan dari orang tua. Kemajuan terbaru dalam ilmu dan pemahaman tentang genetika telah memungkinkan hasil diagnostik yang lebih tinggi dari pengujian tersebut. 3 Penyimpangan Kromosom Down syndrome adalah contoh paling terkenal dari gangguan genetik pralahir. Dalam 95% kasus, sindrom Down ini disebabkan oleh trisomi 21, di mana kromosom tambahan 21 dalam hasil sel telur atau sperma dari nondisjunction dalam tahap meiosis. Ketika seperti gamet yang menjadi dibuahi, janin akan memiliki ekstra kromosom 21 dalam semua sel, dengan total 47 kromosom.3

Gangguan dengan autosomal dominan warisan Tuberous sclerosis adalah contoh dari gangguan dalam kelompok, yang mungkin berhubungan dengan keterbelakangan mental. Hal ini disebabkan oleh mutasi pada gen yang mempengaruhi pembentukan lapisan ectodermal embrio. Karena kulit dan SSP berkembang dari lapisan ini, kelainan yang terlihat pada keduanya. 3 Zat Beracun Yang paling penting dari zat teratogenik adalah etanol, yang merupakan penyebab sindrom alkohol janin (FAS). Prevalensi sindrom ini bervariasi di seluruh dunia, tapi kejadiannya di negara industri diperkirakan sekitar 1 dari 1000 bayi baru lahir. Ketika digunakan berat selama kehamilan, alkohol menyebabkan kelainan pada 3 kategori utama: (1) fitur dismorfik, yang berasal dari periode organogenesis, (2) prenatal dan postnatal retardasi pertumbuhan, termasuk mikrosefali, dan (3) disfungsi SSP, termasuk keterbelakangan mental yang ringansampai sedang, keterlambatan dalam perkembangan motorik, hiperaktif, dan defisit perhatian. Tingkat keparahan gejala-gejala berhubungan dengan jumlah alkohol tertelan. 3 Toksemia kehamilan dan insufisiensi plasenta Hambatan pertumbuhan dalam kandungan memiliki banyak penyebab, yang paling penting toksemia ibu bersama konsekuensinya, terhadap SSP. Prematuritas mungkin beraasal dari ibu atau janin. Ketika terhubung dengan penyimpangan perkembangan janin, prognosis tergantung pada kondisi umum bayi. Prematuritas dan retardasi pertumbuhan intrauterin terutama predisposisi komplikasi perinatal, yang dapat mengakibatkan kelainan terhadap SSP dan masalah perkembangan.3

Infeksi Herpes selama periode neonatal, infeksi yang paling penting, dari sudut pandang perkembangan gejala sisa, adalah simpleks tipe 2. Neonatus yang terinfeksi selama persalinan dan dapat mengembangkan ensefalitis dalam waktu 2 minggu. Terapi awal dengan asiklovir dapat mengurangi hasil jika tidak sulit, yaitu, mikrosefali, retardasi mental yang mendalam, dan defisit neurologis. Infeksi bakteri neonatal mungkin mengakibatkan sepsis dan meningitis, yang, pada gilirannya, dapat menyebabkan hidrosefalus. 3 Psikososial masalah Tingkat perkembangan dari individu yang tumbuh tergantung pada integritas dari SSP dan pada faktor-faktor lingkungan dan psikologis. Pentingnya stimulasi lingkungan untuk perkembangan anak telah dihargai, karena penelitian tentang anak-anak di lembaga menunjukkan perkembangan yang sangat terpengaruh dalam lingkungan, bahkan jika perawatan fisik yang memadai diberikan.3 Biasanya keterbelakangan mental muncul sejak lahir atau bahkan masih di dalam kandungan dan ketika masih kanak-kanak. Itu sebabnya retardasi mental digolongkan di dalam gangguan perkembangan. Jadi, orang dewasa yang mengalami kondisi ini setelah 18 tahun mungkin karena mengalami cedera pada otaknya atau dementia.6 Karena kondisi keterbelakangan mental mempengaruhi kemampuan kognitif, akibatnya segala macam bentuk perkembangan yang berhubungan dengan kemampuan kognitif akan mengalami hambatan, misalnya saja, kemampuan motorik dan kemampuan bahasa, terutama dalam berbicara.6 Keterbatasan dalam kemampuan kognitif tidak hanya mereka dalam area yang erat kaitannya dengan proses berpikir seperti bahasa, belajar, ingatan, serta kemampuan motorik, namun juga kaitannya erat dengan kemampuan emosi dan sosial, seperti mengontrol diri, menahan rasa marah, memecahkan masalahmasalah sosial, dan keterbatasan interpersonal lainnya.6

2.3.

Klasifikasi dan Diagnosis Kriteria penggolongan retardasi mental tidak bisa hanya menggunakan

patokan intelegensi, karena beberapa orang yang masuk dalam kelompok retardasi mental ringan tidak memiliki gangguan pada fungsi adaptif sehingga tidak bisa digolongkan dalam gangguan retardasi mental.Penggolongan berdasarkan intelegensi dapat digunakan jika penderita mengalami gangguan pada fungsi adaptif.Berikut ini merupakan ringkasan karakteristik orang-orang yang masuk dalam masing-masing level retardasi mental.2

Retardasi mental ringan Antara IQ 50-55 hingga 70.Mereka tidak selalu dapat dibedakan dengan anak-anak normal sebelum mulai bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat mempelajari keterampilan akademik yang kurang lebih sama dengan level 6. Mereka dapat bekerja ketika dewasa, pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan yang rumit dan mereka bisa mempunyai anak.2

Retardasi mental sedang Antara IQ 35-40 hingga 50-55.Orang yang mengalami retardasi mental sedang dapat memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik yang normal, seperti memegang dan mewarnai dalam garis, dan keterampilan motorik kasar, seperti berlari dan memanjat.Mereka mampu, dengan banyak bimbingan dan latihan, berpergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi mereka.Banyak yang tinggal di institusi penampungan, namun sebagian besar hidup bergantung bersama keluarga atau rumah-rumah bersama yang disupervisi.2

Retardasi mental berat Antara IQ 20-25 hingga 35-40.Umumnya mereka memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor.Sebagian besar tinggal di institusi penampungan dan membutuhkan bantuan super visi terus menerus. Orang dewasa yang mengalami retardasi mental berat dapat berperilaku

ramah, namun biasanya hanya dapat berkomunikasi secara singkat di level yang sangat konkret. Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktifitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu karena kerusakan otak mereka yang parah menjadikan mereka relatif pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit stimulasi.Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi terus-menerus.2

Retardasi mental sangat berat IQ di bawah 25. Mereka yang masuk dalam kelompok ini membutuhkan supervisi total dan sering kali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian besar mengalami abnormalitas fisik yang berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri kemanapun.Tingkat kematian di masa anak-anak pada orang yang mengalami retardasi mental sangat berat sangat tinggi.2 Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk gejala anak retardasi mental terbagi dalam tiga kelompok yaitu : Kriteria pertama, seseorang harus memiliki intelektual yang secara signifikan berada di tingkatan sub average (dibawah rata-rata), yang ditetapkan berdasarkan satu tes IQ atau lebih. Dengan cutoff score yang oleh DSM-IV-TR ditetapkan sebesar 70 atau kurang.2 Kriteria Kedua, adanya defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang muncul beragam setidaknya dua bidang yakni, komunikasi, merawat diri sendiri, mengurus rumah, keterampilan social, interpersonal, pemanfaatan sumber daya di masyarakat, keterampilan akademis, pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan.2 Kriteria Ketiga, anak dengan retardasi mental ciri intelektual dan kemampuan adaptif itu harus muncul sebelum mencapai 18 tahun.2

Gejala anak retardasi mental : 1. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus. 2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru. 3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak retardasi mental berat. 4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi mental berat mempunyai ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala. 5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti : berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar. 6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai retardasi mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak retardasi mental dalam memberikan perhatian terhadap lawan main. 7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak retardasi mental berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya : memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membenturbeturkan kepala, dan lain-lain. 5

2.5.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan anak denga retardasi mental bersifat multidimensi dan

sangat individual. Tapi peran yang paling utama yang dilakukan dokter mencakup sintesis awal dan penyajian temuan-temuan diagnostic kepada keluarga penderita. Konseling yang baik antara dokter dan keluarga penderita memberikan gambaran

yang jelas kepada kelurag mengenai penyakit yang diderita dan bagaimana keluarga turut membantu, memberikan dukungan pada anak yang mengalami retardasi mental. Pendidikan dan pelatihan penting bagi anak yang mengalami retardasi mental agar dapat hidup mandiri, dan sebaiknya dilakukan di lingkungan yang mengerti dan mendukung perkembangan anak. Sehingga anak juga mampu belajar berinteraksi kepada orang lain. Dan tidak taku untuk bersosialisasi. Yang terpenting juga mengobati komplikasi yang mungkin terjadi pada nak dengan retardasi mental karena daya tahan tubuhnya rendah. Semua anak yang retardasi mental ini juga memerlukan perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin,imunisasi,dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Anak-anak ini sering juga disertai dengan kelainan fisik yang memerlukan penanganan khusus.4 Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu diantaranya sebagai berikut : 1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori) Guru atau orang tua tidak secara langsung mengubah anak tetapi sebaliknya guru mencoba memberi peluang pada anak menyelesaikan tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang dewasa. Tujuan ini bertujuan untuk memberikan edukasi secara dini kepada pasien. 2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untu memilih kebutuhan yang sesuai dengan minatnya) Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian dari kurikulum yang diberikan. 3. Terapi perilaku Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak tersebut, misalnya tidak mau bermain games, cara pandang terhadap sesuatu dan lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku yang cenderung agresif dan menciptakan self injury. 4. Terapi bicara

Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena pada dasarnya, anak retardasi mental akan terlihat dalam mengucapkan sebuah kata-kata 5. Terapi sosialisasi Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, yaitu tetap menjalin komunikasi dengan orang lain atau individu di sekitarnya dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi secara verbal sehingga disini akan menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh lingkungan, dan motivasi pada diri pasien agar tetap survive dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. 6. Terapi bermain Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa hasil karya, atau sebuah permainan. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah kemampuan pasien di bidang kognitif yaitu dengan cara merangsang proses berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga disini pasien diajak untuk dapat merangkai sebuah konstruksi bangunan, kemudian dapat meningkatkan imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan imajinasi tentang sesuatu hal yang berada di pikirannya, selain itu dalam segi kreatifitas, yaitu dengan cara meningkatkan dan mengolah kreatifitas pasien dengan paduan warna, pola, bentuk yang berbeda-beda sehingga pasien mempunyai pengetahuan, pemahaman dan keanekaragaman tentang macammacam jenis permainan atau hasil karya yang dia temui. 7. Terapi menulis Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya terapi yaitu dengan cara pasien diajak untuk menulis di selembar kertas berupa serangkaian kata-kata. Tujuan daripada terapi ini adalah untuk melemaskan otot atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh pasien tidak kaku dan lebih fleksibel dalam menanggapi respon atau stimulus yang berada di sampingnya. 8. Terapi okupasi

10

Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf anak tersebut seperti pada bagian pergelangan tangan, kaki dan daerah tubuh lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat pasien berusia muda, karena pada masa muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat elastis dan dapat menyesuaikan dengan bentuk perlakuan yang diberikan. 9. Terapi musik Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat mendengarkan dan memaknai sebuah alunan musik. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah fungsi auditory pasien akan stimulus suara yang di dengarkannya.

2.6.

Pencegahan Dengan memberikan perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang

potensial dapat mengakibatkan retardasi mental, misalnya melalui imunisasi. Konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan yang rutin, nutrisi yang baik selama kehamilan, dan bersaling pada tenaga kesehatan yang berwenang maka dapat membantu menurunkan angka kejadian rfetardasi mental. Demikian pula dengan mengentaskan kemiskinan dengan membuka lapangan kerja, memberikan pendidikan yang baik, memperbaiki senitasi lingkungan, meningkatkan gizi keluarga, akan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Dengan adanya program BKB (Bina Keluarga dan Balita)yang merupakan stimulasi mental dini dan bisa dikembangkan dan juga deteksi dini, maka dapat mengoptimalkan perkembangan anak.4 Diagnosis ini sangat penting, dengan melakukan skrining sedini mungkin, terutama pada tahun pertama, maka dapat dilakukan intervensi yang dini pula. Misalnya diagnosis dini dan terapi dini hipotiroid, dapat memperkecil kemungkinan retardasi mnetal. Detaksi dan intervensi dini pada retardasi mental sangat membantu memperkecil retardasi yang terjadi.4 Salah satu usaha intervensi dini dapat membidik dan membantu anak-anak yang karena lingkunganya yang tidak dapat adekuat, beresiko mengembangkan

11

retardasi cultural familial. Program head start nasional adalah salah satu bentuk upaya intervensi dini. Program ini mengkombinasikan dukungan pendidikan, medis, dan sosial untuk anak-anak dan keluarganya. Salah satu proyeknya mengidentifikasi sekelompok anak tidak lama setelah mereka lahir dan memberikan program pra sekolah intensive serta dukungan nutrisi mereka. Intervensi ini berlanjut sampai mereka mulai memasuki pendidikan formal di taman kanak-kanak. 7 Meskipun tampaknya banyak anak yang mengalami kemajuan signifikan bila intervensi dimulai sejak dini, masih ada banyak pertanyaan penting terkait dengan upaya intervensi dini. Sebagai contoh, tidak semua anak mendapatkan manfaat yang signifikan dari upaya itu.7 Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi tuntunan perkembangan sebagian tergantung pada derajat keparahan dengan tipe retardasi. Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi mental dapat mencapai kemampuan setara dengan anak kelas 6 SD. Mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan vokasional yang memungkinkan mereka untuk membiayai dirinya sendiri melalui pekerjaan yang bermakna. Banyak anakanak seperti ini dapat bersekolah di sekolah regular. Sebaliknya anak-anak dengan retardasi mental berat atau parah membutuhkan penanganan institusi atau ditempatkan pada pusat pelayanan residensial. Penempatan di institusi sering kali didasarkan pada kebutuhan untuk mengontrol perilaku destruktif atau agresif, bukan karena parahnya gangguan intelektual.7

12

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.

Kesimpulan Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang

(subnormal)

sejak

masa

perkembangan (sejak

lahir

atau

sejak

masa

anak).Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.

Retardasi mental bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap intelektual dan fungsi adaptif. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.

Jadi, sebagai orangtua harus menjaga dan mengerti atas kebutuhan anaknya, serta tidak menjatuhkannya namun, membimbing ia agar menjadi anak yang memiliki potensi khusus di balik kekurangannya.

3.2.

Saran a) Disarankan kepada para ibu agar memperhatikan kesehatan dirinya

seperti memperhatikan gizi, hati-hati mengkonsumsi obat-obatan dan mengurangi kebiasaan buruk seperti merokok dan minum minuman keras terutama masa kehamilan.

b) Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan perlu melakukan langkah prepentif guna menanggulangi gangguan mental yang dapat

membahayakan kesehatan anak dan remaja caranya yaitu dengan menggalakkan penyuluhan tentang retardasi mental kepada masyarakat..

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Jacoby, D ( 2009). Pustaka Kesehatan Populer (Psikologi). PT. Buana Ilmu Populer. 2. Davison, Gerald C, Neale, John M, Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 3. Dr.Wiguna (2005). Retardasi Mental dan Klasifikasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 4. Holinger LD. Mental Retardation. In: Kliegman RM, et al, editors. Nelson Textbook of Pediatrics; 19th ed, USA.WB Saunders, 2011; 373: p. 161-162. 5. Sekar, M (2007). Gangguan Mental dan Down Syndrome. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. 6. Sugiarti,Rini (2008). Mengenal Anak Keterbelakangan Mental. Psikologia. Hal.91-95. 7. Gunarsa,S (2006). Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: PT. Gunung mulia. 8. Nefid Jerrrey (2002). Psikologi Abnormal jilid 1 dan 2. Jakarta : Erlangga. Simeun, Y (). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kanisius

Anda mungkin juga menyukai