Anda di halaman 1dari 246

Daftar Isi

SECTION 6 : NEUROLOGIC DISORDERS


Halaman
52. Evaluasi Penyakit neurologis

53. Multiple Sklerosis

54. Epilepsi

38

55. Status Epileptikus

97

56. Manajemen dari Pasien Cedera Otak Akut

123

57. Penyakit Parkinson

150

58. Manajemen Nyeri

180

59. Gangguan Sakit Kepala

213

Lampiran
52. Evaluation of Neurologic illness
53. Multiple sclerosis
54. Epilepsy
55. Status epilepticus
56. Acute Management of the Brain Injury Patient
57. Parkinsons Disesase
58. Pain Management
59. Headache Disorders

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

BAGIAN 6 GANGGUAN NEUROLOGIS

52
EVALUASI PENYAKIT NEUROLOGIS
Susan C. Fagan dan Fenwick T. Nichols
Tujuan Pembelajaran dan sumber-sumber lain dapat ditemukan di
www.pharmacotheraphyonline.com

KONSEP KUNCI

1. Riwayat dan pemeriksaan neurologis adalah dasar dari diagnosis dan


manjemen neurologi.
2. Melalui riwayat neurologis seseorang, dapat ditentukan gejala-gejala utama,
mode onset/awal penyakit (bertahap atau tiba-tiba), peningkatan penyakit
(maksimal pada awal atau perlahan-lahan semakin parah), dan penyakitpenyakit/faktor resiko yang terkait.
3. Pemeriksaan neurologis diarahkan pada lokalisasi proses penyakit sehingga
evaluasi dan manajemen dapat direncanakan dengan tepat.
4. Pemeriksaan neurologis seorang pasien tertentu dapat disesuaikan dengan
gangguan spesifik yang dialami pasien. Sebagai contoh, pasien yang
mengalami penglihatan ganda mungkin membutuhkan pemeriksaan saraf
kepala yang menyeluruh dan pemeriksaan kekuatan jari yang tidak terlalu
mendalam
Untuk mendapatkan hasil yang paling efektif pada penanganan pasien
dengan gangguan neurologis, kita harus memahami alat-alat yang digunakan
dalam diagnosis dan manajemen pasien. Sebagai tambahan, seorang praktisi
klinis harus mampu mengumpulkan sendiri data mereka melalui pemeriksaan
neurologi tepat sasaran dan riwayat medis pasien untuk memastikan tercapainya
farmakoterapi yang optimal. Walaupun kemajuan teknologi telah mengarah pada
perkembangan uji diagnostik yang sensitif dalam ilmu kedokteran saraf, riwayat
klinis dan pemeriksaan neurologis masih tetap merupakan dasar dari penegakan
diagnosis dan manajemen gangguan neurologis.
TANDA DAN GEJALA
Seperti semua cabang ilmu kedokteran lain, pengumpulan riwayat medis
pasien yang lengkap dan akurat merupakan hal yang terpenting dalam evaluasi
gangguan neurologis/penyakit saraf. Dalam banyak hal, diagnosis dapat
ditegakkan atas dasar riwayat tersebut, dan pemeriksaan yang dilakukan dapat
diatur untuk mengevaluasi pasien dan memastikan diagnosis secara optimal.
Praktisi klinis bergantung kepada pasien atau keluarga untuk mendapatkan detail
dari penyakit. Perlu berhati-hati agar praktisi tidak mengarahkan pasien.
Mendapatkan riwayat yang akurat mungkin saja sulit karena beberapa penyakit
neurologis dapat mempengaruhi ingatan dan kemampuan pasien berbicara.
Melalui riwayat medis, kita dapat menentukan gejala-gejala utama, mode
onset/awal penyakit (bertahap atau tiba-tiba), peningkatan penyakit (maksimal
pada awal atau perlahan-lahan semakin parah), dan penyakit-penyakit/faktor

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

resiko yang terkait (misalnya cedera kepala akibat kecelakaan kendaraan


bermotor).
Pemeriksaan fisik penting dalam menemukan bukti adanya penyakit
sistemik yang mungkin mempengaruhi sistem saraf secara sekunder (misalnya.,
kejang pada pasien dengan suhu tinggi dan leher kaku dapat merupakan tanda
adanya meningitis). Pemeriksaan neurologis hanyalah merupakan komponen
dari suatu pemeriksaan fisik umum yang lengkap.
Pemeriksaan Neurologis
Suatu pemeriksaan kemampuan pasien perlu dilakukan untung
memahami hasil dari pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi adanya ketidaknormalan, terutama asimetri fungsi, dan
membantu melokalisasi lesi/cedera di dalam sistem saraf (apakah di pusat atau
tepi, dan lokasi spesifiknya dalam sistem saraf pusat ataupun tepi). Pemeriksaan
neurologis terdiri dari enam komponen utama : fungsi korteks tinggi (status
mental), saraf kepala, fungsi motorik, refleks, fungsi sensorik, dan cara berjalan.
Tabel 521 menjelaskan pendekatan-pendekatan yang umum dilakukan untuk
memeriksa setiap masing-masing komponen dan contoh penyakit yang umum
memberikan hasil abnormal. Suatu pemeriksaan neurologis dengan sasaran
spesifik dapat dilakukan jika dicurigai adanya gangguan yang spesifik. Tabel 52
2 mendeskripsikan pemeriksaan saraf kepala dengan lebih mendetail. Pembaca
disarankan untuk mencari referensi-referensi lain untuk lebih memahami
rumitnya pemeriksaan neurologis. Seorang praktisi klinis mesti menggabungkan
hasil pemeriksaan fisik dan riwayat medis untuk sampai pada lokalisasi anatomik
lesi saraf dan menegakkan diagnosis yang tepat.
Tabel 521 Pemeriksaan Neurologis
Komponen
Status mental

Saraf kepala

Fungsi
motorik

Tes yang dilakukan


Saat memeriksa riwayat medis : status
mental dan emosional umum, kemampuan
berbicara,
memori,
kewaspadaan,
kemampuan berpikir abstrak, kemampuan
mengikuti perintah (integrasi motorik),
kemampuan berkomunikasi
Ketajaman penglihatan, luas lapangan
penglihatan, pergerakan mata, kekuatan
rahang, refleks kornea, simetri wajah,
ketajaman pendengaran, refleks muntah,
kekuatan bahu dan leher

Penyakit
Dementia,
stroke,
ensefalopati
metabolik

Myasthenia
gravis,
Parkinson,
stroke,
ALS
(amyotrophic
lateral sclerosis)
Kekuatan pergerakan dengan atau tanpa Stroke,
penahanan, kordinasi (pergerakan cepat myasthenia
berganti-ganti, jari memegang hidung), gravis,
tremor, atrofi, fasikulasi
Parkinson, ALS

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

Refleks

Fungsi
sensorik

Cara berjalan

Refleks bisep, trisep, tendon, respon


plantar (tanda Babinski menunjukkan jari
kaki bergerak ke atas, abnormal), refleks
superfisial kulit (abdominal)

Stroke,
lesi
tulang belakang,
gangguan
endokrin (misal :
diabetes,
hipotiroidisme),
neuropati perifer
Asimetri pada uji tusuk, getaran, dan suhu Stroke, neuropati
perifer, migraine
aura, diabetes,
lesi
tulang
belakang
Berjalan, berdiri (uji Romberg = jika mata Stroke,
ditutup akan mempertegas adanya parkinson,
lesi
ketidakseimbangan)
tulang belakang

Tabel 522 Fungsi Saraf Kepala dan Contoh Pemeriksaan


I.

Saraf olfaktori. Penciuman : Mengidentifikasi bau (kopi, kayu manis,


lemon; lakukan tes pada setiap lubang hidung secara terpisah).
II.
Saraf optik. Ketajaman penglihatan : Kartu baca; Lapangan penglihatan;
Penglihatan perifer dan titik buta; Pemeriksaan funduskopik; Ukuran dan
reaksi pupil; Buta warna (jarang dilakukan).
III. Okulomotor. (Saraf kranial III, IV, dan VI memiliki fungsi yang serupa dan
dites sebagai satu unit.) Pergerakan mata : Pasien diminta
memperhatikan sumber cahaya yang digerakkan ke atas, bawah, kiri dan
kanan, dan diperhatikan gerakan mata pasien.
IV. Trochlear. Lihat III.
V.
Saraf trigeminal. Motorik : Tes kemampuan pembukaan rahang dan
kemampuan menahan pergerakan dari samping melawan tangan yang
memegang rahang. Sensorik : Uji refleks kornea dengan menyentuh
kornea mata (juga mukosa hidung) dengan secuil kapas.
VI. Abducens. Lihat III.
VII. Saraf facial. Periksa asimetri wajah saat beristirahat, berbicara, meringis,
menaikkan alis, atau mengerutkan kening. Uji refleks menutup mata
terhadap gerakan yang mengancam. Ketukan glabellar : Ketuk berulangulang batang hidung kedipan mata normalnya berhenti setelah
beberapa ketukan pertama.
VIII. Saraf auditori. Pembagian vestibular : Periksa adanya nystagmus, uji
posisi. Pembagian auditori : Uji ketajaman pendengaran dengan suara
halus : detik jarum jam, bisikan, atau gosokan dua jari di dekat telinga.
IX. Saraf glossoffaringeal. Uji refleks muntah dengan cara menyentuh
tenggorokan dengan penekan lidah; uji kemampuan menelan dan batuk,
perhatikan ada tidaknya mengiler atau ludah. Uji simetri pergerakan mulut
dengan mengucapkan ah.
X.
Saraf vagus. Uji refleks muntah seperti pada IX.
XI. Saraf asesor spinal. Otot trapezius dan sternomastoid : Uji kemampuan
mengangkat bahu dan menggerakkan kepala ke satu sisi dengan atau
tanpa halangan.
XII. Saraf hipoglossal. Fungsi motorik lidah. Periksa adanya gerakan
berlebihan atau tidak normal.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

Prosedur yang digunakan dalam diagnosis


Sebagai tambahan terhadap pemeriksaan neurologis, beberapa prosedur
dan teknik penggambaran penting digunakan dalam diagnosis gangguan
neurologis. Beberapa prosedur yang umum digunakan akan dijelaskan sebagai
berikut :
Punksi lumbar (LP = lumbar puncture) digunakan untuk memperoleh is
cairan serebrospinal (CSF = cerebrospinal fluid). Teknik ini paling sering
digunakan sebagai evaluasi infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis dan
encephalitis, tetapi tes ini juga berguna pada perdarahan subarachnoid, multiple
sclerosis, dan dementia. Tekanan pembukaan, hitungan sel dan jenis sel,
konsentrasi glukosa, konsentrasi total protein serta kultur dan sensitivitas rutin
dilihat melalui LP. Adanya lesi yang luas pada otak dengan efek massa
merupakan kontraindikasi relatif dilakukannya LP karena dapat terjadi herniasi.
Sebelum melakukan LP, pasien harus diperiksa akan adanya papilledema, yang
dapat menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial (ICP = intracranial
pressure).
Tekanan pembukaan cairan serebrospinal biasanya kurang dari 180 mm
H2O. Cairan serebrospinal yang normal jernih dan tidak berwarna dan tidak boleh
mengandung sel darah merah atau sel polimorfonuklear. Adanya sel
mononuklear hingga 5 buah dianggap normal. Kadar protein total biasanya 45
mg/dL atau kurang. Kadar protein dapat meningkat karena adanya infeksi,
rusaknya blood-brain barrier (misal pada tumor, stroke, dan trauma), dan
diabetes.
Elektroensefalografi (EEG = electroencephalography) merekam aktivitas
listrik orak. Rekaman ini diinterpretasikan dengan cara memeriksa irama dasar
dan bentuk gelombang, simetri rekaman, dan adanya pelepasan muatan listrik
yang tidak normal. Teknik ini juga dapat digunakan untuk memeriksa respons
terhadap rangsangan pada cahaya atau hiperventilasi. EEG terutama digunakan
pada diagnosis kejang dan dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada
pasien dengan perubahan kondisi mental. EEG juga dapat digunakan untuk
mengukur evoked potentials (EP). EP adalah respons EEG terhadap rangsangan
berulang (visual, pendengaran, atau kecapan) dan memberikan informasi ada
tidaknya ketidaknormalan dan gangguan (tetapi bukan penyebabnya) pada jalur
yang diperiksa secara spesifik.
Elektromiografi (EMG = electromyography) dan uji kecepatan konduksi
saraf (NCV = nerve conduction velocities) digunakan untuk memeriksa fungsi
saraf perifer, sambungan neuromuskuler, dan otot. NCV diukur dengan cara
merangsang saraf dan mencatat kecepatan konduksi impuls rangsang tersebut.
NCV dapat digunakan untuk memeriksa adanya kerusakan saraf perifer lokal
(carpal tunnel, dll.) atau neuropati simetrik tersebar (baik keturunan ataupun
didapat). EMG dapat memeriksa gangguan otot karena penyakit otot primer atau
penyakit sekunder disebabkan kerusakan saraf. Tes ini digunakan untuk
mendiagnosa neuropati perifer (keturunan ataupun didapat), sindrom GuillainBarre, myasthenia gravis, amyotrophic lateral sclerosis, radikulopati, dan
penyakit otot.
Sistem peredaran darah otak dapat digambarkan atau dievaluasi dalam
berbagai cara yang berbeda tergantung kepada tipe dan lokasi ketidaknormalan
yang dicurigai. Teknik penggambaran dapat digunakan untuk mengidentifikasi

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

local arterial stenosis, aneurisme, atau ketidaknormalan arteri dan vena.


Atherosklerosis arteri ekstrakranial, suatu penyebab umum stroke, dapat
dievaluasi menggunakan USG (dikenal dengan duplex sonography, carotid
Doppler, atau color-flow Doppler), magnetic resonance angiography (MRA),
spiral computed tomographic angiography (CTA), atau angiografi intrarterial.
Sirkulasi arterial intrakranial dapat dievaluasi dengan transcranial Doppler (TCD),
MRA, CTA, atau angiografi intraarterial. Setiap teknik memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing.
Intraarterial angiography menghasilkan penggambaran arteri kecil
sirkulasi serebal yang terbaik tetapi lebih invasif jika dibandingkan dengan
metode yang lain.
Computed tomography (CT) menggunakan sinar x untuk menghasilkan
gambaran potongan otak dengan ketebalan 1-10 mm. CT merevolusi praktek
neurologi dengan memungkinkan penggambaran langsung anatomi otak. Saat ini
CT tersedia di hampir keseluruhan masyarakat dan digunakan untuk
mengevaluasi pasien dengan penyakit intrakranial. CT scan digunakan untuk
mengidentifikasi tumor, perdarahan, infark, hydrocephalus, dan atrofi. Agen
kontras IV dapat diberikan untuk memperjelas gambaran pembuluh darah dan
area kerusakan blood-brain barrier yang dapat disebabkan oleh abses, kondisi
peradangan lainnya, tumor, atau stroke.
Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan sifat magnetis inti atom
dan proton hidrogen untuk menghasilkan gambaran komputerisasi dengan detail
anatomis yang lebih baik dibandingkan dengan CT scan. MRI memiliki
keuntungan dalam kelebihan membedakan materi putih dan abu-abu otak dan
menggariskan lesi yang terletak dekat dengan tulang (batang otak da otak kecil)
dan tidak memiliki resiko radiasi; namun MRI tidak tersedia seluas CT dan lebih
mahal biayanya. MRI terbukti memiliki keuntungan dibandingkan dengan CT
dalam mengevaluasi lesi di fossa posterior dan dalam mendeteksi lesi di materi
putih seperti plak pada multiple sclerosis. MRI juga berguna dalam mendiagnosa
tumor dan stroke iskhemik tahap awal (diffusion-weighted imaging, atau DWI).
Penggambaran saluran tulang belakang dan isinya dapat dilakukan baik dengan
myelografi MRI atau myelografi CT.
Teknik-teknik penggambaran lain seperti positron-emission tomography
(PET) dan single-photon-emission computed tomography (SPECT) dianggap
sebagai tes fungsi otak. Tes-tes ini dipelajari secara mendalam dalam epilepsi
serta pada gangguan pembuluh darah otak, tumor otak, gangguan pergerakan,
dan demensia. PET scan menggunakan isotop yang memancarkan proton untuk
menampilkan aktivitas kimiawi dan laju proses biologis di dalam otak. Metode ini
dapat memeriksa perubahan metabolik regional di dalam otak. Biaya yang
malah, kerumitan teknik (membutuhkan siklotron), dan terbatasnya ketersediaan
teknik ini membatasi kegunaan klinisnya.
SPECT scan menghitung ambilan pelacak radio oleh jaringan dan
menghasilkan gambaran cross-sectional (lintas bagian) dari otak. Teknik ini
digunakan secara luas untuk memeriksa aliran darah otak. Walaupun resolusi tes
SPECT tidak sebesar PET, ketersediaan yang lebih luas menyebabkan
penggunaan yang lebih luas dari teknik ini dalam pemeriksaan penyakit seperti
stroke, demensia, dan epilepsi.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

KESIMPULAN
Pemeriksaan pasien dengan gangguan neurologis sangat menantang.
Pasien, dikarenakan gangguan neurologisnya, bisa saja tidak dapat memberikan
informasi yang dapat diandalkan mengenai riwayat medis atau tingkat keparahan
penyakit. Praktisi klinis harus mampu mengembangkan strategi alternatif untuk
mendapatkan suatu set data yang lengkap dan merancang rencana
farmakoterapi yang tepat. Kemampuan menginterpretasikan dan mensintesis
hasil pemeriksaan neurologis dan ui diagnostik lain akan sangat membantu
dalam pencapaian tujuan ini.
SINGKATAN-SINGKATAN
CSF : cerebrospinal fluid
CT
: computed tomography
CTA : computed tomography angiography
DWI : diffusion-weighted imaging
EEG : electroencephalogram
EMG : electromyography
EP
: evoked potentials
LP
: lumbar puncture
MRA : magnetic resonance angiography
MRI : magnetic resonance imaging
NCV : nerve conduction velocities
PET : positron-emission tomography
RBC : red blood cells
SPECT: single-photon-emission computed tomography
TCD : transcranial Doppler
Pertanyaan review dan lainnya dapat dilihat di www.pharmacotherapyonline.com.
REFERENSI
1. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP. Clinical Neurology, 5th ed. New
York, McGraw-Hill, 2002:355366.
2. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP. Clinical Neurology, 5th ed., New
York, McGraw-Hill, 2002:337354.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

53
MULTIPLE SCLEROSIS
Jacquelyn L. Bainbridge and John R. Corboy
KONSEP UTAMA
1. Etiologi ofmultiple sclerosis (MS) tidak diketahui, dan saat ini
tidak ada obat
2. MS tampaknya menjadi gangguan imunologi yang ditandai
oleh sistem demielinasi saraf pusat dan kerusakan aksonal
3. Diagnosis MS dibuat terutama atas dasar pemeriksaan klinis
dan temuan magnetic resonance imaging (MRI).
4. Eksaserbasi akut atau kambuh biasanya diperlakukan dengan
glukokortikoid dosis tinggi, seperti metilprednisolon.
5. Pasien paling banyak menderita eksaserbasi akut froman, klinis
respon terhadap pengobatan steroid dapat diharapkan dalam waktu 3
sampai 5 hari.
6. Pengobatan dengan interferon- atau glatiramer asetat (Avonex,
Betaseron, Copaxone, dan Rebif, atau ABC-R, terapi) dapat
mengurangi tingkat relaps tahunan, memperlambat perkembangan,
memperlambat penurunan kognitif, dan perubahan keterlambatan
otak terlihat di MRI.
7. Pengobatan dengan interferon- imunomodulasi atau glatiramer
asetat
(terapi
ABC-R)
harus
dimulai
segera
setelah
diagnosis kekambuhan MS dibuat dan setelah serangan tunggal
jika MRI dapat menandakan risiko tinggi serangan lebih lanjut.
Terapi setelah interferon- atau glatiramer asetat (terapi ABC-R)
"Kegagalan pengobatan" dan pada pasien dengan sekunder
progresif MS dan MS progresif primer tidak jelas.
8. Satu-satunya pengobatan yang disetujui untuk progressive MS
sekunder
adalah mitoxantrone dan interferon--1b.
9. Pasien
yang
menderita
MS
sering
memiliki
gejala
seperti spastisitas, disfungsi kandung kemih, kelelahan, sakit, dan
depresi yang mungkin memerlukan pengobatan. Pasien harus
membertitahu bahwa terapi seperti interferon- dan glatiramer
asetat tidak akan meringankan gejala ini.
10. Depresi umum pada MS dan dapat menimbulkan risiko
bunuh diri.

Multiple
sclerosis
(MS)
adalah
penyakit
inflamasi
dari
pusat
sistem saraf (CNS) yang mempengaruhi antara 250.000 dan 350.000 orang
diAmerika Serikat. Ini adalah salah satu penyebab utama neurologis
kecacatan pada orang dewasa , muda dan setengah baya. Istilah multiple
sclerosis
mengacu
pada
dua
karakteristik
penyakit:
banyak
terpengaruh
area otak dan sumsum tulang belakang memproduksi beberapa gejala
neurologis

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

yang diperoleh dari waktu ke waktu dan karakteristik plak atau sclerosed
daerah yang merupakan ciri khas dari penyakit ini.
1. MSwas pertama kali dijelaskan hampir 130 tahun yang lalu, penyebabnya
tetap menjadi misteri, dan obat masih tersedia. Namun demikian, banyak
kemajuan telah dibuat dalam merawat dan mengelola komplikasi penyakit
dan meningkatkan kualitas hidup individu dipengaruhi oleh MS.
EPIDEMIOLOGI
MS
biasanya
didiagnosis
pada
pasien
antara
usia
20
dan
45 tahun (meskipun kasus pada anak-anak telah dilaporkan), dengan
Insiden puncak terjadi pada dekade keempat kehidupan. Dilaporkan onset
dapat terjadi sejak usia 10 dan hingga akhir dekade kedelapan, dan
salah satu penulis (Corboy) telah melihat seorang anak dengan gejala pertama
umur 4 tahun. Wanita menderita lebih banyak dari laki-laki dengan rasio sekitar
2:1. Pria biasanya mengembangkan tanda-tanda pertama dari MS dan kemudian
wanita juga lebih mungkin untuk mengembangkan progresif penyakit ini . Faktor
yang paling penting dalam penentuan dari individu yang berisiko untuk
mengembangkan penyakit ini adalah geografi, usia, pengaruh lingkungan, dan
genetika.
Secara umum, semakin besar jarak dari ekuator, prevalensi penyakit ini
semakin tinggi. Di Amerika Serikat, prevalensi MS lebih tinggi di negara-negara
di atas umur tiga puluh tujuh. MS lebih sering terjadi pada orang kulit putih
keturunan Skandinavia daripada dalam kelompok-kelompok etnis lain.
Diperkirakan bahwa agen lingkungan penting yang dapat mempengaruhi
salah satu untuk mengembangkan MS dihubungi oleh individu yang rentan
antara usia 10 dan 15 tahun yang biasanya telah tinggal di sebuah daerah
beresiko tinggi untuk minimal 2 tahun. Menariknya, seorang individu yang
bermigrasi
dari daerah beresiko rendah ke daerah berisiko tinggi sebelum usia 15 tahun
memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan MS sebagai
mereka yang tinggal di daerah berisiko tinggi sepanjang hidup mereka. Jika
langkah ini dilakukan dalam arah yang berlawanan, dari tinggi ke daerah berisiko
rendah, individu mempertahankan berisiko tinggi jika langkah tersebut dilakukan
setelah usia 15 tahun, tetapi memperoleh resiko yang lebih rendah jika langkah
ini dilakukan sebelum usia ini.
Tingkat kekambuhan keluarga dari MS adalah sekitar 5%, dengan
saudara menjadi hubungan yang paling sering dilaporkan. konkordansi
data menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dari MS antara monozigot
dibandingkan antara kembar dizigot, dan sebuah studi baru-baru ini telah
mengkonfirmasi konkordansi keseluruhan antara kembar monozigot sekitar 25%,
dengan risiko antara perempuan dan laki-laki dari 34% perempuan dan laki-laki
hanya 5%, mirip dengan yang terlihat pada kembar dizigotik. Penelitian genetik
juga telah menentukan asosiasi antara MS dan major histocompatibility complex
(MHC) dan, khususnya, dengan antigen leukosit manusia (HLA) wilayah pada
kromosom keenam yang berhubungan dengan kontrol genetik mekanisme
kekebalan tubuh. Asosiasi ini antara HLA haplotype dan MS kerentanan dapat
bervariasi antara kelompok etnis. Pada kulit putih, yang asosiasi terkuat
tampaknya dengan MHC kelas II alel DR2 haplotype. Risiko relatif
mengembangkan MS adalah sekitar empat kali lebih besar di DR2 + DR2 vsindividu. Asosiasi ini tidak cukup spesifik untuk digunakan untuk tujuan diagnostik

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

diberikan 30% - 50% tingkat false-negatif dan bahwa DR2 + haplotype ditemukan
setidaknya di dalam 20% dari populasi putih yang sehat. Meskipun signifikansi
dari hubungan antara MS dan daerah HLA masih belum jelas, fakta bahwa
antigen HLA tertentu tidak perlu dan tidak cukup untuk mengarah pada
pengembangan dari MS menunjukkan bahwa warisan yang paling
memungmungkinkan poligenik di alam dan bahwa mungkin hanya kerentanan
genetik untuk mengembangkan penyakit ini menyusul yang belum diketahui
tantangan etiologi. Selain itu, sejumlah gen telah diidentifikasi yang dapat
mengubah kecepatan perkembangan penyakit, seperti apolipoprotein E 4
homozigositas.
ETIOLOGI
TEORI AUTOIMUN
Dalam teori autoimun (Gambar 53-1), MS hasil dari suatu autoimun serangan
terhadap diri-myelin atau self-antigen oligodendrocyte. Mediator itu sebenarnya
kerusakan myelin belum ditetapkan, namun kegiatan ini telah dikaitkan dengan
aksi makrofag, pembunuh T sel, limfokin, antibodi, atau kombinasi dari unsurunsur tersebut. Sel T-helper (CD4 +) tampaknya penggagas utama kerusakan
myelin di MS. CD4 + autoreaktif Sel-sel ini diaktifkan di pinggiran, mungkin
setelah infeksi virus, dan molekul adhesi express pada permukaan mereka yang
memungkinkan mereka untuk melampirkan dan roll sepanjang endotel Sel-sel
yang merupakan penghalang darah-otak (BBB). Sel T aktif juga memproduksi
metaloproteinase matriks yang membantu untuk membuat bukaan di BBB, yang
memungkinkan masuknya sel-sel T yang diaktifkan lalu BBB dan ke SSP.
Setelah masuk SSP, sel T menghasilkan sitokin, yang selanjutnya membuat
bukaan di BBB, yang memungkinkan masuknya sel B, melengkapi, makrofag,
dan antibodi. Sel-sel T juga berinteraksi dalam SSP dengan mikroglia penduduk,
astrosit,
dan makrofag, lebih meningkatkan produksi proinflamasi sitokin dan mediator
potensial lainnya dari kerusakan SSP, termasuk intermediet oksigen reaktif dan
oksida nitrat. Pemicu yang tepat untuk aktivasi sel T di perifer masih belum jelas,
tetapi Sel T mengenali myelin protein dasar (MBP), protein proteolipid,
myelin oligodendrocyte glikoprotein, dan mielin terkait glikoprotein dalam darah
pasien dengan MS. Penurunan T-supresor sel, atau kegiatan penekan, telah
dilaporkan selama aktif dan MS pada pasien dengan penyakit progresif, namun
kenaikan relatif dalam rasio T-helper/suppressor tidak ditemukan secara
konsisten dan tidak selalu berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
PERAN SITOKIN
Sitokin adalah molekul yang banyak berperan dalam fungsi fisiologis dan
termasuk modulasi inflamasi dan anti-inflamasi tanggapan dalam sistem
kekebalan tubuh. Sitokin seperti tumor necrosis faktor alpha (TNF-), interleukin2 (IL-2), dan interferon- (INF-) telah diduga sebagai kontributor pada
patogenesis MS. TNF- dapat menyebabkan demielinasi oleh upregulation MHC
kelas I ekspresi, cedera langsung oligodendrocytes, dan / atau promosi BBB
breakdown. INF- diproduksi terutama oleh sel-sel CD4 + dan terlibat dalam
respon antiviral. Karena itu, INF- pada satu waktu dievaluasi sebagai potensi
MS penyakit-memodifikasi agen. Uji klinis, Namun, jelas menunjukkan bahwa
pengobatan dengan senyawa ini mengakibatkan eksaserbasi penyakit. INF-
upregulates MHC kelas II ekspresi makrofag, mikroglia, dan astrosit, yang
menyebabkan respon inflamasi. INF- juga meregulasi molekul adhesi, yang

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10

sangat penting dalam tahap awal peradangan dengan memfasilitasi migrasi sel T
di seluruh sel-sel endotel dari BBB.

GAMBAR 53-1. Teori autoimun dari patogenesis MS. Respon imun dimulai pada
kompartemen kekebalan tubuh perifer ketika antigen diproses dan disajikan ke
sel inducer oleh makrofag atau antigenpresenting sel. Sel inducer menjadi
diaktifkan dan melepaskan sejumlah faktor larut, termasuk interleukin dan
interferon, tindakan yang pada kedua B dan sel T untuk menambah kekebalan
respon tubuh . Sel T-supresor bertindak untuk meredam respon imun. Activated
sel T lalu lintas menjadi sistem saraf pusat, di mana mereka lagi melepaskan
faktor, mungkin setelah antigen disajikan kepada mereka. Dalam hal ini, astrosit
mampu menyajikan antigen ke Sel T. Elemen seluler lain juga memasukkan CNS
(makrofag, sel B), di mana potensi untuk respon imun lokal terjadi. Sel B dikenal
untuk menghasilkan imunoglobulin lokal dalam fungsi SSP, dan makrofag dalam
SSP untuk phagocytose myelin, selain antigen-presenting sifat mereka. (Dicetak
ulang dengan izin dari Ann Neurol 1988; 23: 214).
Sebaliknya, peran modulasi, atau downregulating, sitokin juga telah dijelaskan.
Pada pasien dengan penyakit stabil atau ringan, meningkat jumlah sel yang
menemukan bahwa mengekspresikan mRNA untuk mengubah faktor
pertumbuhan beta (TGF-) dan IL-10 dibandingkan dengan pasien dengan
penyakit parah.

ETIOLOGI MIKROBA DIPERTANYAKAN

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11

Meskipun tidak ada hubungan yang jelas dengan agen mikroba telah
diidentifikasi, ada beberapa cara di mana virus atau bakteri bisa bermain
peran dalam patogenesis MS. Ini mungkin termasuk baik langsung serangan
terhadap myelin dan / atau oligodendrocyte atau stimulasi respon autoimun yang
menyebabkan demielinasi. Bukti mendukung etiologi virus termasuk peningkatan
imunoglobulin G (IgG) sintesis dalam SSP, peningkatan titer antibodi terhadap
virus tertentu, dan studi epidemiologi menunjukkan masa kecil faktor eksposur
dan menyatakan bahwa "virus" infeksi dapat memicu eksaserbasi. Pola
immunoglobulin dalam cairan cerebrospinal (CSF) adalah sama di subacute
sclerosing panencephalitis (SSPE) dan MS. SSPE adalah infeksi campak kronis
SSP diketahui terkait dengan produksi pita oligoklonal dalam CSF. Selain itu,
virus telah terbukti menyebabkan penyakit dengan masa inkubasi yang
lama,kerusakan myelin, dan tentu saja kambuh / timbul pada manusia dan model
hewan percobaan.
Bukti yang paling kuat terhadap etiologi mikroba adalah fakta bahwa tidak
ada agen infeksi tunggal telah diidentifikasi sebagai penyebab MS. Banyak agen
yang mungkin telah terlibat, termasuk Mycoplasma, spirochetes, virus rabies,
herpes simpleks, distemper virus, coronavirus, sel-T manusia tipe virus leukemia
I (HTLV-I), Retrovirus MS-terkait, campak, dan yang terbaru, herpes manusia
virus tipe 6 (HHV-6) dan Chlamydia pneumoniae. Namun, untuk tanggal, tidak
ada hubungan kausal telah ditetapkan.
PATOFISIOLOGI
2. kekacauan fisiologis dasar dalam MS adalah pengupasan dari selubung
myelin yang mengelilingi neuron di SSP. demielinasi, ditambah dengan
respon inflamasi, menyebabkan pembentukan lesi karakteristik MS, atau
plak, yang ditemukan terutama di otak, sumsum tulang belakang, dan
saraf optik. Awalnya, akson saraf, meskipun dilucuti telanjang selubung
myelin mereka, biasanya juga preserved. Penelitian terbaru,
bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa kerusakan akson dapat
signifikan, bahkan di awal perjalanan dari kerusakan aksonal illness.
mungkin dilihat sebagai lesi hypointense, lubang orT1, resonansi
magnetik imaging (MRI), dan hal ini berhubungan dengan kecacatan.
Demielinasi aksonal dan transeksi penyebab gangguan dalam transmisi
impuls saraf, yang menyebabkan gejala neurologis mencerminkan area otak atau
sumsum tulang belakang yang terpengaruh. Demyelinated serabut saraf telah
lama periode refraktori yang merusak konduksi tembakan impuls listrik. Impuls
listrik maksimal frekuensi dapat dikurangi secara substansial sebelum konduksi
impuls
terganggu sama sekali. Sebuah plakat tunggal dapat memperpanjang di
beberapa jalur saraf, menghasilkan gejala yang melibatkan beberapa sistem
saraf fungsi. Plak yang lebih kecil dapat menyebabkan gangguan terisolasi,
namun, biasanya beberapa plak berkembang pada saat yang sama,
menyebabkan beberapa tapi masalah terkait seperti terganggu visi dan
penurunan sensasi.
Patologi lesi MS berbeda dalam tahap awal penyakit, selama MS kronis,
dan selama eksaserbasi akut. Aktif dan lesi tidak aktif dapat ditemukan
berdampingan di otak. Kedua jenis lesi menampilkan beberapa derajat
peradangan perivaskular, tapi peradangan jauh lebih jelas dan biasanya

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12

berhubungan
dengan kerusakan BBB pada lesi aktif.
Penurunan jumlah oligodendrocytes (yang memproduksi myelin sel)
diamati dalam plak MS, menyebabkan spekulasi apakah myelin atau
oligodendrocyte
adalah target dari sebuah imunologi kehancuran
attack.Oligodendrocyte tampaknya terjadi di secara spesifik pada awal atau akut
MS, sedangkan kerusakan selektif myelin dan oligodendrocytes terjadi pada
tahap kronis MS. Kajian yang lebih mutakhir telah mengidentifikasi empat
Immunopatologi subtipe demielinasi lesi, dengan jumlah variabel sel T atau
imunoglobulin hadir dalam plak. Semua pasien tipe IV yang diteliti sejauh ini
primer progresif multiple sclerosis (ppms), tetapi jika tidak, tidak ada hubungan
yang jelas dan immunopathology tipe klinis.
PRESENTASI KLINIS
Gambaran klinis dari MS sangat bervariasi antara pasien dan biasanya bervariasi
dari waktu ke waktu pada pasien yang diberikan (Tabel 53-1). Itu tanda dan
gejala MS biasanya dibagi menjadi tiga kategori. Gejala utama adalah akibat
langsung dari gangguan konduksi diproduksi oleh demielinasi dan kerusakan
aksonal dan mencerminkan area otak atau sumsum tulang belakang yang rusak.
gejala sekunder komplikasi akibat gejala utama. Sebagai contoh, retensi urin,
gejala primer, dapat menyebabkan sering kencing Infeksi saluran, dianggap
sebagai gejala sekunder. gejala tersier berhubungan dengan efek dari penyakit
pada kehidupan sehari-hari pasien. Yang paling banyak digunakan skala
penilaian klinis inMSis Expanded Skala Status Cacat (EDSS), di mana nilai
numerik mulai dari 0 (tidak ada cacat) sampai 10 (kematian akibat MS) diberikan
berdasarkan evaluasi beberapa neurologis functions. Keterbatasan skala ini
adalah ketidakpekaan relatif terhadap perubahan klinis tidak melibatkan
gangguan gait dan ambulation, seperti perubahan kognisi, kelelahan, dan
mempengaruhi. Alat-alat lain, seperti Multiple Sclerosis Fungsional Composite
(MSFC), sedang dievaluasi untuk kemungkinan meningkat kepekaan dan utilitas
dalam menggambarkan perubahan kecacatan MS terkait dari waktu ke waktu.
Semakin, MRI digunakan sebagai indeks dari kedua aktivitas penyakit dan
kemajuan. Secara khusus, penampilan lesi baru atau perubahan jumlah lesi,
ukuran, dan volume (beban penyakit) yang digunakan sebagai ukuran hasil. Hal
ini penting untuk dicatat, Namun, bahwa korelasi antara MRI beban lesi dan klinis
kecacatan sederhana di terbaik.
Sifat tak terduga MS tidak memungkinkan untuk mengantisipasi ketika
eksaserbasi akan terjadi. Namun, faktor-faktor tertentu memiliki dilaporkan
memperburuk gejala atau bahkan menyebabkan serangan akut (episode baru
demielinasi). Faktor-faktor yang terlibat termasuk infeksi, hiperventilasi, panas
(termasuk demam), kurang tidur, stres, kurang gizi, anemia, disfungsi organ
bersamaan, tenaga, dan melahirkan. Menariknya, banyak pasien mengalami
signifikan pengurangan kambuh akut selama trimester ketiga kehamilan, diikuti
oleh peningkatan postpartum relatif. Tidak ada data epidemiologi yang signifikan
yang mendukung hubungan antara trauma fisik dan pembangunan atau
memburuknya MS, tapi ini mungkin mencerminkan kekurangan dari studi yang
dilaporkan sampai saat ini.
Kursus klinis dari MS diklasifikasikan menjadi empat kategori (Gambar
53-2). Sekitar 85% dari pasien mengalami serangan-baru gejala yang
berlangsung setidaknya 24 jam dan dipisahkan dari gejala baru lainnya oleh
setidaknya 30 hari-diikuti oleh remisi (lengkap atau tidak lengkap) pada awal

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13

penyakit. Serangan sering disebut sebagai kambuh atau eksaserbasi, an


serangan pertama disebut klinis terisolasi

TABEL 53-1. Penyajian Multiple Sclerosis

Tes laboratorium
Multiple sclerosis adalah diagnosis eksklusi. Magnetic resonance imaging, studi
cairan serebrospinal, dan kadang-kadang membangkitkan potensi yang berguna
dalam mengkonfirmasikan diagnosis. Magnetic resonance imaging mungkin
positif untuk lesi materi putih periventricular. Meningkatkan T1 lesi gadolinium
mungkin menunjukkan tanda-tanda penyakit aktif. Sintesis cairan serebrospinal
imunoglobulin G meningkat, adanya dua atau lebih pita oligoklonal, dan
peningkatan protein.
Syndrome (CIS). Kursus ini disebut hilang-timbul MS (RRMS). Pada pasien
RRMS, frekuensi serangan cenderung menurun lebih waktu dan menjadi
independen dari perkembangan progresif cacat. Pemulihan neurologis setelah
eksaserbasi akut biasanya cukup baik pada awal perjalanan penyakit, namun
berikut kambuh berulang, pemulihan cenderung kurang lengkap. Mengingat fitur
ini, interpretasi dan evaluasi intervensi terapi yang potensial harus dilakukan
cukup hati-hati, dan kelompok kontrol sangat penting dalam desain studi klinis.
Sampai dengan 10% sampai 20% dari pasien RRMS memiliki program
jinak, ditandai dengan beberapa kambuh, sering sensorik, dengan cacat minimal
yang diperoleh dari waktu ke waktu. Kebanyakan pasien RRMS, bagaimanapun,
tidak memiliki kursus jinak dan akhirnya memasuki fase progresif di mana

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14

GAMBAR 53-2. Klinis dan pengobatan multiple sclerosis. Horizontal axis


mewakili waktu, dan sumbu vertikal mewakili tingkat kecacatan. Itu garis putusputus vertikal merupakan awal fase penyakit progresif. Itu fase progresif dapat
berkembang setelah sejumlah kambuh atau, dalam subkategori pasien, mungkin
perjalanan klinis penyakit sejak awal. (Dicetak ulang dengan izin dari Ann Neurol
1988; 23:212).
Serangan dan remisi umumnya sulit untuk mengidentifikasi. Hal ini disebut
sebagai sekunder-progresif MS (SPMS). Cacat cenderung mengumpulkan lebih
banyak secara signifikan selama fase ini penyakit. Baru lesi MRI otak, terutama
yang terlihat hanya setelah injeksi kontras material, kurang umum, dan atrofi otak
meningkat.
Sekitar 15% pasien pernah mengalami serangan akut dan remisi namun
memiliki penyakit yang progresif dari awal. pasien-pasien ini dengan ppms
memiliki gejala, terutama paraparesis spastik, yang mungkin memburuk dengan
cepat atau relatif lambat dari waktu ke waktu, dan mereka bertambah semakin
lebih cacat. Secara umum, pasien ppms cenderung memiliki prognosis yang
lebih buruk daripada mereka yang hadir awalnya dengan RRMS. akhirnya,
sebagian kecil pasien mungkin memiliki campuran keduanya perkembangan dan
kambuh, disebut sebagai progresif-kambuh MS (PRMS).
MS biasanya tidak langsung mengurangi harapan hidup. Pengembangan
komplikasi sekunder seperti pneumonia atau septicemia (sekunder aspirasi isi
mulut dengan menelan kesulitan, ulkus dekubitus, atau infeksi saluran kemih)
atau perkembangan yang cepat lesi utama yang mempengaruhi fungsi
pernafasan dapat menyebabkan lebih pendek dari yang diharapkan rentang
hidup. Sebagian besar penurunan ini dalam rentang kehidupan terlihat pada
pasien dengan penyakit progresif cepat. Tingkat bunuh diri sebagai setinggi tujuh
kali yang diharapkan pada populasi umum telah Faktor-faktor klinis dan laporan
demografi. Yang telah digunakan untuk memprediksi prognosis MS tercantum
dalam Tabel 53-2. beberapa MRI

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15

TABEL 53-2. Indikator prognosis Dalam Multiple Sclerosis

fitur juga telah terbukti berkorelasi dengan perkembangan penyakit (lihat di


bawah). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) statistik menunjukkan bahwa
kematian dari MS telah menurun hingga 25% selama 30 tahun terakhir,
kemungkinan besar mencerminkan perbaikan dalam perawatan keseluruhan.
DIAGNOSA
Gejala MS sering dapat dikaitkan dengan penyakit neurologis lainnya, sama
seperti banyak sindrom dapat meniru MS. Beberapa pasien mungkin memiliki
gejala khas konsisten dengan CIS klasik, sedangkan banyak orang lain mungkin
memiliki gejala yang lebih jelas. Di masa lalu, yang tak terduga sifat MS dan
kurangnya tes laboratorium dan pencitraan teknik-teknik khusus untuk penyakit
ini menyebabkan kesulitan dalam membuat ini diagnosis, terutama pada tahap
awal penyakit. Diagnosis utamanya tetap satu klinis yang memerlukan
demonstrasi "Lesi dipisahkan dalam ruang dan waktu," mengacu pada terjadinya
pada setidaknya dua episode gangguan neurologis yang mencerminkan situs
yang berbeda kerusakan pada SSP yang tidak dapat dijelaskan oleh mekanisme
lain. Kriteria diagnostik yang lebih tua menggunakan sistem yang rumit dari hasil
klinis dan jenis dukungan laboratorium yang mungkin mendefinisikan MS.
Sebuah panel pakar internasional MS diadakan pada tahun 2000 untuk
mengevaluasi kembali kriteria diagnostik dan untuk menggabungkan
pengetahuan MRI. Hasilnya kerja panel ini adalah kriteria McDonald, 56 yang
memungkinkan otak lesi MRI untuk menggantikan lesi klinis dalam
mendefinisikan "dipisahkan dalam ruang dan waktu. "Dalam skema baru,
kategori diagnostik adalah MS, mungkin MS (untuk orang-orang yang berisiko
tinggi mengembangkan MS), dan tidak MS. Dibandingkan dengan kriteria yang
lebih tua, kriteria McDonald memungkinkan untuk diagnosis dini. Memang,
sebuah panel konsensus baru American Association of Neurology mendukung
utilitas dari MRI untuk tujuan ini, dan Food and Drug Administration (FDA) telah
sekarang disetujui salah satu immunotherapies untuk digunakan setelah satu
serangan demielinasi dalam konteks tepat normal MRI otak. Dengan demikian
definisi MS itu sendiri telah diubah oleh pengenalan teknologi MRI.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16

STUDI LABORATORIUM
3. Sampai saat ini, tidak ada tes khusus untuk MS. Tes yang digunakan
sering termasuk MRI otak dan tulang belakang, evaluasi CSF, dan
membangkitkan potensi. Bukti yang disediakan oleh studi ini, digunakan
dalam beriringan dengan sejarah klinis, membantu dalam menegakkan
diagnosis MS.
STUDI PENCITRAAN
MRI mampu menghasilkan gambar otak dan tulang belakang yang
mencerminkan kerusakan pada SSP yang merupakan karakteristik dari MS plak
dalam beberapa bentuk, serta kelainan yang lebih umum seperti atrofi otak.
Gambar dapat disebut sebagai T1 atau T2 (termasuk proton-density dan cairan
dilemahkan inversi pemulihan [FLAIR] gambar) dan mungkin divisualisasikan
sebelum dan / atau setelah injeksi bahan kontras. MRI, terutama setelah injeksi
bahan kontras, jauh lebih sensitif daripada dihitung tomografi (CT) scan dalam
deteksi MS lesi dan saat ini dianggap sebagai teknik pencitraan yang lebih
disukai. Hal ini sangat membantu untuk diagnosis tetapi juga, sebagian, berguna
untuk prognosis. Pasien dengan tunggal, serangan khas demielinasi (mungkin
MS atau CIS, misalnya, neuritis optik) dan tiga atau lebih lesi T2-tertimbang pada
MRI otak memiliki kemungkinan hampir 90% dari mengembangkan kedua
Serangan (klinis pasti MS) lebih dari 15 tahun. Sebaliknya, mirip individu dengan
MRI otak normal hanya memiliki kemungkinan 19% dari mengembangkan MS
lebih dari 15 tahun. Total volume lesi T2-tertimbang (disebut T2 beban penyakit)
pada awal CIS juga tampaknya berkorelasi dengan perkembangan kecacatan.
Lesi yang meningkatkan setelah injeksi bahan kontras gadolinium menunjukkan
lesi baru dan gangguan BBB dan berkaitan dengan konversi awal MS di CIS /
mungkin pasien MS tetapi tidak berkorelasi lebih waktu dengan perkembangan
cacat. Otak atrofi, bahkan di awal perjalanan penyakit, mungkin lebih baik
berkorelasi dengan perkembangan cacat.

EVALUASI CSF
Pada pasien MS, CNS sintesis IgG meningkat, sedangkan serum tingkat IgG
normal. Studi elektroforesis menunjukkan CSF yang IgG memisahkan ke dalam
sejumlah kecil dari band diskrit, yang, ketika band yang sama tidak terlihat pada
sampel serum yang diambil pada saat yang sama, disebut pita oligoklonal
(OCBs). Banding oligoklonal IgG adalah hadir di 90% sampai 95% dari pasien
dengan klinis yang pasti, didirikan MS tetapi juga dapat dilihat dalam persentase
yang lebih rendah dari penyakit yang meniru MS atau sangat berbeda klinis.
Setelah CIS (misalnya, setelah awal gejala), CSF mungkin positif hanya 30%
sampai 50% dari pasien. Semakin, dengan kemajuan di MRI, analisis CSF
hanya diperuntukkan bagi pasien dengan skenario klinis atipikal atau individu
dengan kemungkinan MS di antaranya sebuah CSF positif bagi OCBs dapat
membantu untuk menentukan lebih diagnosis pasti dari MS. Myelin protein dasar
terdeteksi dalam CSF dari 90% dari pasien lama setelah serangan akut tetapi
tidak spesifik dan biasanya tidak diperoleh. Kelainan CSF spesifik tambahan
mungkin termasuk peningkatan konsentrasi protein CSF pada sekitar 25%
pasien dan mildCSFleukocytosis. Kehadiran lebih besar dari 50 106 sel
mononuklear dalam CSF biasanya menunjukkan diagnosis selain MS.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17

POTENSI MEMBANGKITKAN
Potensi membangkitkan dapat membantu dalam membangun bidang
demylination yang secara klinis diam. Konduksi melambat dari visual, batang
otak, dan potensi somatosensori dapat diidentifikasi, meskipun sensitivitas dan
spesifisitas tes ini tampaknya agak kurang dari itu terlihat dengan MRI atau
evaluasi CSF.
STUDI DARAH
Sebuah laporan baru-baru ini telah mendokumentasikan bahwa pada pasien
dengan CIS yang abnormal MRI otak dan CSF yang abnormal konsisten dengan
MS, ada tidaknya dari antimyelin antibodi dalam serum sangat membantu dalam
mendefinisikan prognosis untuk acara selanjutnya sesuai dengan klinis yang
pasti MS.
DIAGNOSA BERBEDA
Gangguan bisa meniru MS. Jadi kebanyakan pasien disaring dengan tes darah
untuk rematologi, kolagen-vaskular, infeksi, dan kadang-kadang mewarisi
penyakit metabolik. MRI dapat menyingkirkan tumor dan spondylosis serviks.
Ada banyak penyebab T2 spesifik dan Lesi FLAIR terlihat dalam materi putih
subkortikal pada MRI otak, Namun, dan penggunaan kriteria yang ditetapkan
untuk membedakan lesi MS dari etiologi lainnya (misalnya, migrain, hipertensi,
usia di atas 50 tahun, dan lain-lain) meningkatkan akurasi diagnostik.
Elektromiografi dapat membantu dalam mendiagnosis amyotrophic lateral
sclerosis. Magnetic angiografi resonansi (MRA) dan angiografi lebih tradisional
mungkin berguna dalam mengidentifikasi CNS vasculitis dan pembuluh darah
malformasi.
PENGOBATAN : Multiple Sclerosis
Pengobatan MS jatuh ke dalam tiga kategori besar: terapi simtomatik,
pengobatan serangan akut, dan terapi penyakit-memodifikasi untuk mengubah
perjalanan alami penyakit. Manajemen gejala penyakit ini sangat penting untuk
menjaga kualitas pasien hidup. Pengobatan serangan akut akan mempersingkat
durasi dan mungkin mengurangi keparahan serangan. Terapi penyakitmemodifikasi yang mengubah perjalanan penyakit yang paling penting untuk
mengurangi progresif cacat dari waktu ke waktu. Dalam penggunaan ini, terapi
kedua serangan dan penyakit-memodifikasi terapi didasarkan pada prinsipprinsip manipulasi dari sistem kekebalan tubuh dan dapat diklasifikasikan
sebagai immunotherapies. Tujuan dasar dari imunoterapi adalah untuk
mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi, mengurangi perkembangan
lesi terlihat pada otak dan tulang belakang MRI, dan memperlambat kemajuan
cacat dari waktu kewaktu. Terapi saat ini adalah variabel berhasil dalam
mencapai tujuan-tujuan ini, dan tidak ada yang mampu mengembalikan fungsi
neurologis di rusak saraf sistem.
Sejumlah modalitas pengobatan yang berbeda telah dipelajari dalam 30
tahun terakhir, tapi banyak cobaan yang lebih tua telah cacat desain. Di sana
yang tidak diterima secara universal algoritma pengobatan, dan perawatan
bervariasi antara dokter dan pusat. Mungkin yang lebih penting, pengobatan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18

keputusan sering didasarkan pada keinginan dan tujuan individu pasien. Salah
satu algoritma yang potensial untuk imunoterapi dari MS ditunjukkan pada
Gambar. 53-3.
KONTROVERSI KLINIS
Ketika pasien awalnya menunjukkan tanda-tanda MS, banyak praktisi mulai
pengobatan
dengan
interferon-
atau
glatiramer
asetat
(ABCR
obat). Namun, untuk yang kontroversial obat untuk memulai. Kebanyakan praktisi
membantu pasien dalam membuat keputusan yang terbaik obat sesuai dengan
gaya hidup dan menawarkan mereka khasiat yang maksimal. Pada pasien dengan
depresi berat, terapi interferon merupakan kontraindikasi, dan pasien didorong
untuk menggunakan asetat glatiramer. Tak satu pun dari terapi harus digunakan
selama kehamilan, ketika mencoba untuk hamil, atau saat menyusui.
PENGOBATAN EKSASERBASI AKUT
4. Eksaserbasi akut ringan yang tidak menghasilkan penurunan fungsional
mungkin tidak memerlukan pengobatan. Ketika kemampuan fungsional
adalah terpengaruh, meskipun saran pengobatan dapat bervariasi antara
dokter, intervensi standar injeksi intravena kortikosteroid dosis tinggi
selama 3 sampai 5 harI.
Hasil dari uji coba besar neuritis optik menyarankan dan American Academy of
Neurology merekomendasikan bahwa jika pengobatan dengan steroid
dibenarkan, yang terbaik adalah menggunakan intravena metilprednisolon.
Mekanisme aksi untuk kortikosteroid dalam MS tidak diketahui, tetapi
berspekulasi bahwa steroid meningkatkan pemulihan dengan mengurangi edema
di daerah demielinasi.
Dosis tinggi metilprednisolon telah terbukti memperpendek durasi
eksaserbasi akut, dan mungkin menunda serangan berulang setelah neuritis
optik, meskipun belum terbukti secara definitif untuk mempengaruhi
perkembangan penyakit.
Uji komparatif dari prekursor steroid adrenocorticoid hormone (ACTH) dan
dosis tinggi steroid intravena menunjukkan bahwa steroid menghasilkan
peningkatan lebih cepat dan lebih dapat diprediksi secara akut eksaserbasi.
Meskipun alasan untuk ini tidak sepenuhnya jelas, perbedaan antara agen
mungkin karena variabel sekresi adrenal endogen glukokortikoid setelah
stimulasi ACTH. Penggunaan ACTH, oleh karena itu, sebagian besar telah
digantikan oleh metilprednisolon.
5. Dosis Methylprednisolone dapat berkisar 500-1000 mg / hari, diberikan
intraveneously. Durasi terapi adalah variabel dan bisa berkisar dari 3
sampai (jarang) 10 hari tergantung pada respon klinis. Waktu standar
adalah 3 sampai 5 hari. Beberapa dokter menawarkan prednisone atau
kemiringan mulut lainnya kepada pasien setelah suntikan intravena, tetapi
yang lain tidak, dalam upaya untuk membatasi paparan seumur hidup
untuk steroid dan menghasilkan efek samping. Jika perbaikan terjadi,
biasanya terlihat pada 3 sampai 5 hari.
Sebuah jumlah yang sangat kecil pasien memiliki serangan yang sangat berat,
yang diwujudkan oleh hemiplegia, paraplegia, atau quadriplegia. Jika pasien

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19

gagal untuk meningkatkan dengan terapi steroid agresif, penelitian terbaru


menunjukkan bahwa pengobatan dengan pertukaran plasma setiap hari selama
tujuh perawatan mungkin bermanfaat untuk sekitar 40% dari pasien.
KONTROVERSI KLINIS
Jika seorang pasien mengambil decompensates interferon dan telah
menetralkan antibodi dalam darah, sebagian besar praktisi akan berhenti
obat. Dalam situasi ini kontroversial apakah untuk rechallenge pasien di
kemudian hari dengan terapi interferon.
Banyak dokter hanya akan
rechallenge dengan terapi interferon jika pasien tidak melakukannya dengan
baik pada terapi lain.

PENYAKIT-MEMODIFIKASI TERAPI: PENGURANGAN KAMBUH DAN


KEMAJUAN (ABC-R TERAPI DENGAN
AVONEX, BETASERON,
COPAXONE, DAN REBIF)

INTERFERON--1b DAN INTERFERON--1a

6. Interferon--1b (Betaseron) adalah agen pertama terbukti mengubah


sejarah alami penyakit. Interferon--1b adalah nonglycosylated analog
sintetis rekombinan interferon- dan diproduksi sintetis di Escherichia coli.
Meskipun mekanisme yang tepat dari tindakan tidak diketahui, efeknya di
MS mungkin karena imunomodulasi nya properti, termasuk kemampuan
untuk menambah sel penekan fungsi dan mengurangi sekresi interferon-
oleh
limfosit
diaktifkan,
macrophage-activating
efeknya,
dan
kemampuannya untuk downregulate ekspresi interferon--diinduksi kelas
II produk gen MHC pada sel glial antigen-presenting. Interferon--1b juga
menekan Proliferasi sel-T dan dapat menurunkan permeabilitas BBB.

Interferon--1b diberikan setiap hari subkutan dengan dosis 8 juta IU. Uji
klinis telah menunjukkan bahwa pada dosis ini, interferon--1b secara signifikan
mengurangi tingkat kekambuhan tahunan dan MRI beban penyakit dibandingkan
dengan plasebo. dengan hormat kecacatan klinis, bagaimanapun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara interferon dan plasebo yang diobati groups.
Betaseron adalah dikemas dalam jarum suntik premixed dengan formulasi baru
yang tidak memerlukan pendinginan. Betaseron biaya sekitar $ 15.283 per tahun.
Interferon--1a (Avonex dan Rebif) adalah alam-urutan
interferon
glycosolated diproduksi di rekombinan hamster Cina sel ovarium. Avonex
diberikan sebagai 30 mcg (6 juta IU) intramuskuler (IM) sekali seminggu. Jarum
suntik prefilled harus didinginkan tetapi dapat disimpan pada suhu kamar selama
30 hari. Avonex biaya sekitar $ 12.915 per tahun. Rebif diberikan sebagai 44
mcg subkutan tiga kali seminggu. Hal ini disediakan dalam jarum suntik prefilled
0,5 mL dengan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20

autoinjector dan biaya sekitar $ 16.730 per tahun. Rebif juga harus disimpan
dalam lemari es, tetapi stabil pada suhu kamar selama 30 hari.
Ketika diberikan 30 mcg intramuskular sekali seminggu selama 2 tahun,
pasien yang menerima interferon--1a (Avonex) menunjukkan, dibandingkan
dengan pasien yang menerima plasebo, secara statistik penurunan yang
signifikan pada tingkat relaps tahunan (sekitar sepertiga) serta penyakit
perkembangan, yang didefinisikan sebagai peningkatan dikonfirmasi dari 1 titik
pada the EDSS. Penyakit alsowas perkembangan dinilai dengan studi MRI, dan
pasien yang menerima obat aktif memiliki enhancing baru secara signifikan lebih
sedikit lesi dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan plasebo. Hasil yang
sama terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (44 mcg), lebih sering administrasi
(tiga kali seminggu), dan subkutan injeksi interferon--1a (Rebif). Memang, efek
onMRIburden penyakit yang lebih mendalam dengan Rebif dibandingkan dengan
Avonex dalam studi yang dilakukan secara terpisah. Lebih studi terbaru
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21

menunjukkan efek yang signifikan pada perlambatan atrophy otak dan


perkembangan penurunan kognitif pada pasien yang diobati dengan Avonex.
Secara bersama-sama, pengamatan ini menunjukkan bahwa interferon-
memiliki aktivitas penyakit-memodifikasi signifikan.
Efek samping mirip dengan semua interferon. dasar lengkap jumlah
darah, penentuan platelet, dan tes fungsi hati harus didokumentasikan sebelum
terapi dimulai, setiap 3 bulan untuk 1 tahun, dan setiap 6 bulan setelahnya. Yang
paling umum yang merugikan Efek meliputi injeksi-situs kemerahan,
pembengkakan, dan mungkin nekrosis, serta gejala-gejala seperti flu (misalnya,
demam, menggigil, mialgia). Ini Gejala dapat ringan atau berat dan terlihat pada
kebanyakan pasien. Seperti flu tersebut Efek samping biasanya terjadi sampai
24 jam setelah injeksi dan terlihat selama 1 sampai 3 bulan setelah memulai
suntikan. Injeksi-situs reaksi mungkin lebih buruk dengan interferon--1b, dapat
terjadi setiap waktu, dan dapat dikurangi dengan menggunakan teknik injeksi
yang tepat, termasuk rotasi situs (paha dan bokong) dan krim hidrokortison. Ice
diterapkan sebelum dan / atau setelah injeksi juga dapat menurunkan rasa sakit
dan kemerahan, seperti mungkin penggunaan autoinjector untuk subkutan yang
suntikan. Membiarkan obat berada pada suhu tubuh (tempat di bawah lengan
lubang) akan mengurangi nyeri injeksi-situs. antiinflamasi nonsteroid agen
(NSAID) atau acetaminophen diambil sebelum dan secara berkala selama 24
jam setelah pemberian dapat meringankan gejala seperti flu. Inisiasi seperempat
atau setengah standar dosis dan kemudian meningkat menjadi dosis penuh
selama 1 sampai 2 bulan mungkin juga bermanfaat dalam mengurangi effects.
sisi seperti flu Beberapa penulis menyarankan bahwa karena aktivasi kekebalan
transien yang mungkin terjadi berikut pengenalan interferon-, ledakan singkat
prednison oral mungkin meringankan beberapa efek samping.
Efek samping yang kurang sering dilaporkan mencakup sesak napas,
takikardia, dan depresi. Dokter harus memantau pasien dengan hati-hati tandatanda depresi dan mengobati sesuai. meskipun depresiadalah in MSpatients
temuan umum, semua interferon, terutama interferon--1b, dapat menghasilkan
gejala depresi. Pasien yang mengalami depresi harus dipantau ketat karena
mungkin ada risiko untuk bunuh diri. Efek samping lain biasanya bersifat
sementara. Paling pasien tidak akan merasa lebih baik atau memiliki perbaikan
gejala saat mengkonsumsi obat ini, dan banyak orang akan mengalami efek
samping, sehingga kepatuhan mungkin menjadi isu utama. Akhirnya, data
keamanan pada interferon- dalam kehamilan dan menyusui yang kurang.
Kegiatan aborsi pada primata telah dicatat, bagaimanapun. Sampai data
keamanan yang memadai yang tersedia, perempuan harus diberi konseling
untuk kontrasepsi saat yang tepat menggunakan produk ini.
Meskipun profil yang merugikan-efek menyerupai interferon--1a bahwa
interferon--1b, intramuskular interferon--1a (Avonex) mungkin memegang
beberapa keuntungan, termasuk nyata sedikit lokal injeksi-situs reaksi dan
administrasi seminggu sekali dibandingkan injeksi subkutan setiap hari (atau tiga
hari per minggu dengan Rebif).
ASETAT GLATIRAMER (COPAXONE)
Glatiramer asetat (Copaxone, sebelumnya dikenal sebagai kopolimer-1) adalah
polipeptida sintetik yang terdiri dari L-alanin, asam L-glutamat, L-lisin, dan Ltirosin. Meskipun mekanisme yang tepat tindakan senyawa ini tidak diketahui,
glatiramer asetat muncul untuk meniru sifat antigenik dari MBP. Agen ini juga
dapat bertindak dengan langsung mengikat reseptor toMHCclass II dan
menghambat of MBP peptides mengikat untuk kompleks reseptor T-sel. Baru-

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22

baru ini, glatiramer asetat memiliki menunjukkan bahwa itu menginduksi Th2
(anti-inflamasi) limfosit di encephalomyelitis alergi eksperimental (EAE). Hal ini
diduga berkontribusi untuk "pengamat" penindasan di lokasi lesi MS dan
dengan demikian mengurangi peradangan, demielinasi, dan kerusakan aksonal.
Glatiramer asetat juga dapat menekan aktivasi sel-T.
Hal ini diberikan sebagai dosis subkutan setiap hari 20 mcg. glatiramer asetat
tampaknya memiliki profil efek samping yang relatif ringan. nyeri ringan dan
pruritus di tempat suntikan adalah keluhan pasien yang paling sering. Sekitar
10% pasien akan mengalami transien Reaksi yang terdiri dari dada sesak,
pembilasan, dan dyspnea mulai beberapa menit setelah injeksi dan berlangsung
biasanya tidak lebih dari 20 menit. Jika pasien tidak memiliki riwayat atau bukti
arteri koroner penyakit, mereka mungkin yakin bahwa reaksi-reaksi ini hampir
selalu diri terbatas dan jinak. Beberapa efek samping yang telah dikaitkan
dengan interferon, termasuk gejala seperti flu dan depresi, tampaknya tidak
terprovokasi oleh glatiramer asetat. percobaan multicenter dengan glatiramer
asetat telah menunjukkan signifikan secara statistik penurunan tingkat kambuh
rata-rata tahunan (~ 25%) yang sebanding dengan interferon. Sebuah percobaan
ekstensi, selesai setelah aslinya, studi 2-tahun yang sangat penting,
menunjukkan bahwa glatiramer asetat dapat memperlambat perkembangan
kecacatan pada pasien dengan RRMS. glatiramer asetat juga memperlambat
pengembangan T1 lubang di MRI otak, dan jangka panjang Data yang tidak
terkendali menunjukkan bahwa hal itu tetap aman dan efektif untuk individu yang
terus mengambil lebih dari 8 tahun.
SISA PERTANYAAN UNTUK ABC-R TERAPI
Meskipun hasil yang menggembirakan dari sumur-uji klinis yang dilakukan,
beberapa isu yang relevan tetap. Pertanyaan yang paling penting dalam
penggunaan obat ABC-R adalah kapan mulai terapi. Penasehat Medis Dewan
National Multiple Sclerosis Society telah mengadopsi rekomendasi mengenai
penggunaan arus MS penyakit-memodifikasi agen, dan ini diringkas dalam Tabel
53-3.
Keputusan tentang penggunaan setiap sisa obat pada penentuan dari
tingkat keparahan penyakit, khasiat obat, dan efek samping dan biaya yang
berkaitan dengan terapi. Jelas, obat ini lambat perjalanan penyakit tetapi tidak
menekan sama sekali, dan dalam beberapa individu, tidak ada manfaat yang
jelas. Obat ini juga memerlukan suntikan dan memiliki efek samping dan biaya
yang membatasi penggunaannya. Ada sekarang, bagaimanapun, bukti bahwa
sebagian besar tidak diobati pasien akan memiliki penyakit yang progresif dari
waktu ke waktu. Patologis Data jelas menunjukkan bahwa bahkan pada lesi akut
ada aksonal signifikan kerusakan yang pada dasarnya tidak dapat diubah. Data
MRI menunjukkan bahwa 80% sampai 90% dari semua lesi meningkatkan baru
tidak menunjukkan gejala, menunjukkan bahwa "tenang" perjalanan klinis tidak
berarti bahwa tidak ada aktivitas penyakit berkelanjutan yang pada akhirnya akan
tercermin dalam kognitif masalah dan gangguan mood.

TABEL 53-3. Pernyataan Manajemen Penyakit Konsensus (Ringkas)

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23

7. Selain itu, nowknown bahwa terapi yang sangat dini sangat efektif. Pada
pasien dengan CIS dan dua atau lebih lesi T2 pada MRI otak (yaitu,
beresiko tinggi untuk mengembangkan klinis pasti MS), pengobatan
dengan Avonex diproduksi, dibandingkan dengan pasien yang menerima
plasebo, Pengurangan 44% dalam kemungkinan pasien terjadi untuk
memiliki kedua serangan klinis selama periode 2-tahun studi. Beberapa
langkah MRI juga secara signifikan lebih baik dalam memperlakukan
patients.Similar re Hasil pengujian terlihat dengan dosis rendah Rebif.84
mingguan Jadi tidak hanya sangat awal Terapi dibenarkan, tetapi juga
efektif dan sekarang disetujui oleh FDA. Memang, NationalMSSociety
merekomendasikan bahwa pasien dengan penyakit kambuhan harus
ditempatkan pada terapi ABC-R segera setelah diagnosis.
Masalah utama adalah obat yang akan digunakan di mana pasien. Di sana
belum menjadi, studi acak tunggal membandingkan semua empat obat dengan
satu sama lain dalam populasi pasien yang sama pada waktu yang sama. Itu
penting uji coba terkontrol plasebo hasil yang lebih mirip diproduksi
dari yang berbeda ketika membandingkan di persidangan, termasuk hampir
identik pengurangan sepertiga di tingkat kekambuhan untuk semua empat obat
selama 2 tahun. Ada spekulasi selama beberapa waktu, bagaimanapun, bahwa
dosis yang lebih tinggi dan / atau lebih sering pemberian interferon (Rebif
atau Betaseron) mungkin lebih menguntungkan daripada dosis yang lebih rendah
onceweekly penggunaan interferon (Avonex). Untuk mengatasi masalah ini, dua
komparatif uji coba Avonex dibandingkan Betaseron86 dan Avonex vs Rebif kini
telah selesai. Dalam kedua kasus, Avonex digunakan dalam standar 30 mcg per
minggu injeksi intramuskular, dan lainnya Interferon digunakan pada dosis yang
lebih tinggi dari biasanya, subkutan lebih sering administrasi, seperti dalam

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24

praktek klinis yang khas. dalam kedua studi, ada yang kecil tapi perbedaan
signifikan secara statistik mendukung Betaseron atau Rebif dalam berbagai
ukuran klinis dan MRI efikasi, dan itu ini jangka pendek (6 bulan) komparatif
percobaan yang mengakibatkan persetujuan FDA Rebif di Amerika Serikat pada
2002.
Ada banyak keberatan ilmiah untuk percobaan ini, yang paling penting
yang adalah kurangnya kontrol dari dosis terhadap frekuensi administrasi,
adanya menyilaukan dari hasil klinis, dan penggunaan novel ukuran hasil primer
dengan biologis tidak jelas atau klinis signifikansi. Selain itu, diterbitkan sekitar
waktu yang sama adalah sidang membandingkan 60 mcg dengan standar 30
mcg Avonex dalam mingguan injeksi menunjukkan tidak ada perbedaan selama
studi 2 tahun. Jadi signifikansi studi pemasaran-driven IV Tahap ini tetap menjadi
ditentukan.
Perhatian dengan ketiga produk interferon yang Muddies lebih lanjut
pemahaman kita tentang perbedaan klinis antara interferon yang produk adalah
pengembangan antibodi. dalam klinis percobaan, 38% dari pasien yang
menerima interferon--1b antibodi yang dikembangkan diarahkan terhadap obat.
Pada pasien ini, eksaserbasi yang Tingkat mirip dengan yang pada pasien yang
diobati dengan plasebo. Dengan interferon- -1a, antibodi yang ditemukan pada
22% dari uji coba awal Avonex, tetapi kemudian penelitian melaporkan bahwa
hanya sekitar 2% sampai 5% dari diobati pasien mengembangkan antibodi.
Persentase untuk Rebif yang menengah, sekitar 22%. Signifikansi klinis jangka
panjang ini Temuan, bagaimanapun, masih belum jelas, meskipun data yang
paling mirip data Betaseron dijelaskan sebelumnya, yaitu, menunjukkan
penurunan kemanjuran klinis dengan produksi antibodi. Apakah antibodi ini yang
benar-benar cross-reaktif antara produk tidak diketahui, seperti durasi selama
antibodi dapat dideteksi. The klinis relevansi antibodi harus dievaluasi secara
prospektif.
Antibodi penetral signifikan belum terlihat dengan glatiramer asetat.
Menariknya in vitro data menunjukkan sinergisme potensial antara
glatiramer asetat dan interferon-. Mengingat biaya terapi ini, serta potensi aditif
efek samping, terapi ini Kombinasi tidak dapat direkomendasikan sampai bukti
klinis yang menunjukkan Manfaat tersedia. Sebuah studi yang akan
membandingkan glatiramer asetat sendirian dengan interferon--1a (Avonex)
saja versus kombinasi dari dua baru saja didanai oleh NIH dan sedang
berlangsung, dengan hasil yang diharapkan dalam beberapa tahun.
Keempat obat ABC-R disetujui oleh FDA untuk kambuh bentuk penyakit.
Uji klinis dari Betaseron, Avonex, dan Rebif inSPMShave memiliki hasil yang
beragam. Terutama didasarkan pada besar Trial Eropa Betaseron, ada saran
bahwa pasien dengan SPMS dan serangan yang sedang berlangsung atau
meningkatkan lesi MRI dapat mengambil manfaat menggunakan interferon,
sedangkan mereka yang tidak memiliki temuan tersebut tidak akan. Memang,
FDA telah sekarang disetujui interferon--1b untuk digunakan dalam SPMS
ketika pasien terus mengalami kambuh tindih, tetapi produk tidak interferon--1a
disetujui oleh FDA untuk SPMS. Sebuah uji coba yang direncanakan 3 tahun
glatiramer asetat di ppms dihentikan setelah 2 tahun saat dipastikan ada sedikit
kemungkinan kelanjutan sidang akan menghasilkan perbedaan yang signifikan
antara
diperlakukan dan kelompok plasebo. Rute pengiriman alternatif, termasuk hidung
dan mulut, sedang diteliti tetapi belum terbukti efektif. Akhirnya, penentuan
"kegagalan pengobatan" atau ketidakmampuan dan pilihan pengobatan dalam
hal perkembangan penyakit saat Terapi ABC-R tetap menjadi pertanyaan yang
sulit.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

25

TERAPI LAIN
Jangka pendek, intensif dosis pulsa kortikosteroid, mirip dengan yang digunakan
dalam eksaserbasi akut, awalnya dapat menurunkan cacat, namun
berkepanjangan terapi steroid memiliki efek yang didirikan pada perkembangan
penyakit. Jika perkembangan terus sementara pasien berada di sebuah
diseasemodifying agen, agen imunosupresif dapat dicoba.
8. Mitoxantrone (Novantrone), anggota dari anthracenediene yang keluarga,
kini telah disetujui oleh FDA untuk mengurangi neurologis kecacatan dan
/ atau frekuensi relaps klinis pada pasien dengan SPMS (kronis), PRMS,
orworsening RRMS. Mitoxantrone adalah diberikan sebagai singkat (5 15 menit) infus intravena dosis pada 12 mg/m2 setiap 3 bulan. Evaluasi
ejeksi ventrikel kiri fraksi diperlukan sebelum pemberian dosis awal,
sebelum dosis masing-masing, setelah dosis akumulasi dari 100 mg/m2
telah tercapai, dan jika tanda-tanda atau gejala gagal jantung kongestif
berkembang. Seumur hidup yang diijinkan Dosis kumulatif maksimal
mitoxantrone adalah
TABEL 53-4. Pengobatan Dipilih Gejala Primer MS

140 mg/m2. Efek samping potensial lainnya dicatat dengan agen ini mual,
alopecia, gangguan menstruasi, amenore, saluran pernapasan atas infeksi
saluran, infeksi saluran kemih, dan leukopenia. Peran mitoxantrone akan
bermain dalam pengobatan MS masih belum jelas karena toksisitas jantung
potensial muncul untuk membatasi penggunaan jangka panjang. saat ini, tidak
ada terapi yang terbukti untuk pengobatan ppms, dan baru-baru ini percobaan
Copaxone di ppms dihentikan setelah 2 tahun dari yang direncanakan 3 tahun
percobaan karena kurangnya kemanjuran
Sejumlah agen lainnya telah dipelajari selama terakhir 30 tahun tetapi
telah baik gagal untuk memberikan manfaat definitif, atau data masih
berkembang. Cyclophosphamide telah dipelajari sendirian dan dalam kombinasi
dengan terapi lainnya dalam upaya untuk memperlambat perkembangan MS.
Terapi pemeliharaan dengan intermiten (bulanan) dosis pulsa siklofosfamid dapat
slowthe perkembangan penyakit pada pasien yang lebih muda dengan penyakit
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

26

progresif cepat, tapi studi lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi manfaat
pada pasien ini. Terapi berkepanjangan dengan siklofosfamid biasanya tak
tertahankan, tapi tampaknya bahwa beberapa bentuk pemeliharaan diperlukan.
Siklosporin muncul untuk menghasilkan hanya penundaan sederhana dalam
perkembangan kecacatan progresif kronis MS. Sejumlah besar pasien dapat
mengembangkan efek samping berat, khususnya nefrotoksisitas dan hipertensi,
yang dapat membatasi kegunaan siklosporin.
Hasil yang bertentangan telah terlihat ketika azathioprine digunakan
sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi lain. Penurunan eksaserbasi yang
Tingkat dan memperlambat perkembangan penyakit hanya sederhana. sekarang
biasanya diberikan dalam dosis 2 sampai 3 mg / kg sampai jumlah sel darah
putih
turun menjadi kurang dari 4000/mm3. Hal ini kemudian diikuti dengan
kortikosteroid terapi. Meskipun tidak tanpa efek samping yang serius,
azathioprine dapat kurang beracun dari siklofosfamid dan dapat ditoleransi untuk
tinggal lebih lama periode waktu. Methotrexate diberikan sebagai 7,5 mg oral
setiap minggu juga telah menunjukkan manfaat sederhana dalam memperlambat
perkembangan penyakit.
Modalitas eksperimental lainnya termasuk iradiasi total limfoid (TLI),
interferon-, antibodi monoklonal, cladribine, dan globulin imun intraveneous
(IVIG). IVIG dapat merangsang remyelination neuron di didirikan lesi MS. Studi
lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi pengamatan mengurangi
eksaserbasi dan meningkatkan fungsi neurologis. Dua antibodi monoklonal,
one98 diarahkan terhadap molekul adhesi selular (natalizumab, Antegren)
dan other99 terhadap CD52 penanda sel limfosit (alemtuzumab, Campath), telah
menunjukkan aktivitas yang signifikan di awal penelitian, terutama dengan efek
pada gadolinium-meningkatkan lesi di kambuh pasien, dan keduanya dalam studi
Tahap III sekarang. Dosis tinggi Terapi immunoablation diikuti dengan
penyelamatan sel induk telah digunakan dalam sejumlah kecil pasien di seluruh
dunia dengan awal yang menjanjikan hasil, namun pendekatan ini memiliki
toksisitas potensi signifikan yang kemungkinan akan membatasi penggunaannya
untuk penderita penyakit parah. rituximab diarahkan terhadap sel CD20 mungkin
terbukti bermanfaat dalam pengobatan.
MANAJEMEN GEJALA
9. Banyak dari gejala MS tidak memerlukan farmakologis manajemen atau
tidak menanggapinya. Bagian ini mencakup gejala utama di mana
manajemen farmakologis mungkin Manfaat (Tabel 53-4). Lihat bagian
sebelumnya pada pengobatan eksaserbasi akut untuk diskusi tentang
optik neuritis.
KESULITAN KIPRAH DAN SPASTISITAS
Masalah dengan kiprah mungkin karena kejang-kejang, kelemahan, ataksia,
cacat proprioception, atau kombinasi dari faktor-faktor ini. Spastisitas setuju
untuk intervensi farmakologis, sedangkan terapi fisik mungkin diperlukan dalam
mengobati gangguan gait karena salah satu lainnya faktor. Spastisitas ditemui
umum dan cenderung mempengaruhi kaki lebih nyata daripada lengan.
Spastisitas dapat menyebabkan jatuh, namun, pada tahap akhir dari penyakit,
tonus otot meningkat dari anggota tubuh kejang sering meminjamkan kekuatan
untuk pasien dengan kelemahan mendasar. Karena itu, ketika menggunakan
relaksan otot, kita harus berhati-hati tidak mengurangi nada ke mana mana

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

27

ambulasi sebenarnya terhalang. Baclofen (Lioresal), asam -aminobutyric


(GABA) analog, adalah agen disukai dan biasanya dimulai pada dosis 10mg tiga
kali sehari dan dititrasi ke atas untuk mencapai respon yang diinginkan.
Kebanyakan pasien akan mencapai respon yang memuaskan dengan dosis
antara 40 dan 80 mg / hari, namun, takaran lebih tinggi dari yang
direkomendasikan maksimum harian 80 mg yang dibutuhkan oleh beberapa
pasien. Administrasi intratekal baclofen terus menerus dapat menjadi pilihan
untuk pasien yang tidak dapat mentolerir atau tidak responsif terhadap terapi
oral. Baclofen tidak boleh dihentikan tiba-tiba untuk menghindari kemungkinan
kejang. Dosis kecil diazepam (misalnya, 0,5-1 mg) sering ditambahkan ke
baclofen pada pasien yang respon optimal belum dicapai.
Seorang agen baru, tizanidine (Zanaflex), adalah short-acting, terpusat
bertindak -adrenergik agonis yang dapat mengurangi spastisitas dengan
meningkatkan penghambatan presynaptic neuron motor. Tampaknya memiliki
khasiat sebanding dengan baclofen. Dosis harus dititrasi perlahan-lahan
lebih dari 2 sampai 4 minggu, dimulai dengan 4 mg pada waktu tidur dengan
penyesuaian berdasarkan respon klinis. Dosis ditoleransi efektif telah berkisar
2-36 mg / hari. Sedasi, pusing, dan mulut kering adalah yang paling efek
samping sering dilaporkan, tetapi hipotensi juga dapat terjadi, serta
hepatotoksisitas jarang namun parah. peningkatan aminotransferase aktivitas
tercatat pada 5% pasien selama uji klinis. pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi baclofen atau tizanidine, diazepam (Valium), clonazepam
(Klonopin), atau natrium Dantrium (Dantrolene) mungkin dianggap sebagai
alternatif, tetapi mereka umumnya kurang efektif daripada baik baclofen atau
tizanidine. Spastisitas ringan juga dapat menanggapi dosis cukup tinggi
gabapentin (Neurontin). Tiagabin (Gabitril) mungkin berguna pada beberapa
pasien dengan spastisitas, namun efek samping.
TREMOR
Gejala cerebellar seperti tremor bisa mengganggu dan sulit untuk control. Obatobatan yang dapat membantu meliputi propranolol, primidone, dan isoniazid.
GEJALA USUS DAN KANDUNG KEMIH
Pasien biasanya mengeluh inkontinensia, urgensi, frekuensi, dan nokturia, yang
merupakan indikasi dari kandung kemih hyperreflexic (yaitu, ketidakmampuan
untuk menyimpan urine). anumber agen antikolinergik, termasuk oxybutynin
klorida (Ditropan, 10-20 mg / hari), tolterodine (Detrol, 2-4 mg / hari),
propantheline bromide (Probanthine, 45-90 mg / hari), dan dicyclomine
hydrochloride (Bentyl, 30-80 mg / hari) digunakan untuk mengobati masalah ini
jika gejalanya ringan. Ditropan sekarang juga tersedia dalam formulasi extendedrelease (5 dan 10 mg). Selain itu, antidepresan trisiklik, seperti imipramine
(Tofranil) dan amitriptyline (Elavil), juga telah digunakan untuk sifat antikolinergik
mereka. Dengan semua agen antikolinergik, perhatian besar harus digunakan
untuk menghindari masalah sembelit, yang diperburuk oleh pasien alami naluri
untuk membatasi asupan cairan (karena meningkatnya dorongan untuk buang air
kecil).
Sebagai
alternatif,
persiapan
hormon
antidiuretik
sintetis
desmopressin (DDAVP) telah dilaporkan efektif dalam pengobatan urgensi dan
inkontinensia. Penggunaan DDAVP mungkin paling terbatas pada waktu tidur
sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur karena ada mungkin masalah yang
signifikan dengan hiponatremia dan mungkin kejang jika sering digunakan.
Pasien dengan aktivitas sfingter signifikan dapat mengambil manfaat dari

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

28

penggunaan oral -adrenergic blockers seperti prazosin (Minipress) atau


penggunaan intramuskular toksin botulinum tipe A (Botox).
Intermiten diri kateterisasi dengan atau tanpa bersamaan dengan agen
antikolinergik dianjurkan pada pasien dengan postvoid besar urine volume
residual (> 100 ml) atau ketika masalah kemih hyporeflexic di alam (kegagalan
untuk mengosongkan). Pasien dengan postvoid besar volume residual berada
pada risiko untuk mengembangkan infeksi saluran kemih dan sering diresepkan
acidifier kemih seperti vitamin C atau antiseptik seperti methenamine mandelate
untuk mencegah infeksi.
Sembelit merupakan keluhan yang paling umum usus. peningkatan
serat makanan dan hidrasi dapat mengatasi masalah ini, tetapi dalam beberapa
contoh obat pencahar atau enema mungkin diperlukan.
KONTROVERSI KLINIS
Pada pasien depresi dengan diagnosis baru MS, adalah kontroversial apakah
akan memulai terapi interferon karena depresi adalah efek samping dari terapi
interferon, dan kejadian bunuh diri lebih tinggi pada populasi ini. praktisi
umumnya akan mulai pasien pada antidepresan bersama dengan interfero
dan menonton mereka dengan ketat. Tidak boleh menjadi interferon dimulai
pada pasien mengalami depresi berat.
DEPRESI MAYOR
Depresi adalah umum pada pasien dengan MS, dan risiko bunuh diri mungkin
meningkat tajam dibandingkan dengan yang sehat subyek. Pasien harus
dimonitor untuk pengembangan simtomatologi depresi dan diperlakukan sesuai
(lihat
Chap. 67). Produk interferon harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan depresi yang signifikan.
GEJALA SENSORIS
Mati rasa dan parestesia sering keluhan sensorik tetapi biasanya tidak
memerlukan pengobatan. Beberapa pasien MS dapat mengembangkan akut
atau sindrom nyeri kronis, seperti trigeminal neuralgia dan menyakitkan
dysasthesias, yang pengobatan yang diperlukan. Karbamazepin (Tegretol)
adalah agen disukai untuk pengobatan neuralgia trigeminal dan digunakan dalam
dosis yang sama yang digunakan untuk pengobatan gangguan kejang.
Dysasthesias menyakitkan (yaitu, sensasi terbakar yang terjadi umumnya pada
ekstremitas) sering merespon pengobatan dengan antidepresan trisiklik,
karbamazepin, gabapentin, atau antikonvulsan lain obat-obatan seperti lamotrigin
(Lamictal).

DISFUNGSI SEKSUAL
Disfungsi seksual pada pria dan wanita juga sering terjadi pada MS, dan
konseling harus ditawarkan kepada kedua pasangan. sildenafil sitrat (Viagra),
tadalafil (Cialis), dan vardenafil (Levitra) sangat efektif untuk pria dengan MS

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

29

yang memiliki disfungsi ereksi. Viagra saat ini sedang dipelajari dalam populasi
wanita dengan MS dan disfungsi seksual.
KELELAHAN
Kelelahan, salah satu keluhan paling umum pada pasien MS, dapat sangat
mematikan. Biasanya hadir dalam terlambat untuk sore tengah, mungkin
meningkat dengan paparan panas, tenaga, infeksi penyerta, spastisitas,
kelemahan, dan depresi. hydrocholoride amantadine (100 mg dua kali sehari)
sering digunakan dan mungkin menawarkan bantuan yang signifikan. Pemoline
(Cylert) juga telah digunakan dalam dosis mulai pukul 18.75 sampai 37,5 mg /
hari, namun penggunaannya dibatasi oleh penasehat FDA menyarankan
monitoring sangat sering tes fungsi hati karena potensi toksisitas.
Methylphenidate (Ritalin) dan dextroamphetamine (Dexedrine) juga digunakan
umumnya untuk kelelahan di MS. Modafanil (Provigil), di 100 mg dua kali sehari,
juga berguna untuk kelelahan MS-terkait. Antidepresan mungkin membantu,
tetapi hanya jika pasien menunjukkan gejala depresi. Jika tidak, efek penenang
dapat memperburuk kelelahan.
Aminopiridin, 4-aminopyridine dan 3,4-Diaminopyridine, adalah saluran
kalium blocker yang saat ini sedang investigasi dalam pengobatan gejala MS.
agen ini dapat meningkatkan konduksi dalam akson demyelinated dan dapat
meningkatkan kekuatan dan sensitivitas panas menurun.
Setiap gejala harus dinilai secara individual, dan terapi dengan agen yang
tersedia harus dicoba dan dimodifikasi bila diperlukan. Tambahan untuk
konseling pasien mengenai efek samping yang berkaitan dengan obat-obatan,
apoteker juga harus secara aktif mendorong pasien untuk mematuhi regimen
yang diresepkan mereka.

TERAPI PELENGKAP DAN ALTERNATIF UNTUK MS


Sebagian besar pasien dengan MS menggunakan komplementer atau alternatif
obat (CAM) bukan atau di samping penyakit-memodifikasi dan terapi simtomatik.
CommonCAMtherapies termasuk diet dan suplemen diet, seperti vitamin,
mineral, dan herbal. Sampai saat ini, tidak ada satu diet atau suplemen diet telah
terbukti untuk memodifikasi kursus MS. Hasil Agak menguntungkan telah terlihat
dalam uji klinis dengan diet yang meningkatkan asupan asam lemak tak jenuh
ganda (PUFA). Asam lemak Omega-3 adalah contoh dari asam lemak tak jenuh
ganda dan dapat diperoleh melalui lemak ikan, seperti salmon atau tuna.
bernada
hasil yang telah diperoleh dari in vitro dan studi hewan dengan vitamin D, ginkgo
biloba, cannabinoids, dan obat herbal yang dikenal sebagai Padma 28.
Antioksidan suplemen vitamin A, C, E, asam -lipoic (ALA), CoQ10, biji anggur,
dan pinus kulit ekstrak juga memiliki sugestif bukti dalam manfaat pasien MS.
Namun, untuk pasien dengan MS, ada risiko teoritis terlibat dengan
mengkonsumsi suplemen antioksidan karena kemampuan mereka untuk
merangsang sistem kekebalan tubuh (sel T dan makrofag). Merangsang sistem
kekebalan tubuh pada pasien dengan MS bisa menjadi kontraproduktif, mungkin
memburuk atau memperburuk penyakit mereka, dan dapat melawan efek
imunomodulator. Suplemen kekebalan-merangsang lain yang harus digunakan
dengan hati-hati adalah bawang putih, ginseng, echinacea, kucing cakar (Asia
dan Siberia), astragulus, alfalfa, dan jelatang menyengat. Beberapa agen yang

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

30

dapat menimbulkan masalah di MS tetapi juga mungkin memiliki manfaat yang


seng, melatonin (untuk insomnia), dan dehydroepiandrosterone (DHEA).
Meskipun ada bukti sugestif untuk beberapa theseCAM terapi, ada uji
klinis cukup mendukung penggunaan dan keselamatan sebagai terapi penyakitmemodifikasi untuk MS. Namun, untuk pasien withMSwho bersedia untuk
mencoba newapproaches dengan bukti yang terbatas, CAM mungkin menjadi
pertimbangan. Penyedia layanan kesehatan dapat menjadi sumber dari informasi
yang obyektif mengenai penggunaan CAM untuk MS dan dapat membantu
pasien mereka dalam membuat keputusan yang terbaik bagi mereka.
PERTIMBANGAN PHARMACOECONOMIC
Seperti keputusan terapi banyak, biaya ekonomi baik bagi individu dan
masyarakat harus dipertimbangkan. Saat ini, biaya tahunan terapi berpotensi
penyakit-memodifikasi baru cukup besar. Biaya untuk apoteker dari glatiramer
dan keduanya saat ini tersedia Interferon adalah antara $ 10.000 dan $ 17.000
per pasien per tahun. Mengingat beban ini, harus diingat bahwa terapi ini tidak
kuratif dan bahwa setiap pasien mungkin mengalami hasil variabel. Investigasi
Masa Depan mengevaluasi modalitas terapi jelas akan perlu untuk mengatasi
tidak hanya klinis tetapi juga ekonomi dan hasil humanistik.
EVALUASI HASIL TERAPEUTIK
Respon terhadap pengobatan eksaserbasi akut ofMSis dilihat umum dalam
beberapa hari. Sehubungan dengan pengobatan penyakit-memodifikasi, penting
bagi dokter untuk mengakui bahwa dalam jangka pendek (hari ke minggu),
sedikit atau tidak ada manfaat nyata dapat dicatat oleh salah satu pasien atau
dokter. Evaluasi hasil terapi, seperti penurunan MS eksaserbasi dan rawat inap
atau perkembangan penyakit mungkin melambat dan cacat (yang diukur
menggunakan skala seperti EDSS), harus dilakukan selama periode bulan
sampai tahun. Pasien harus disediakan dengan tujuan yang realistis dan
harapan pilihan pengobatan ini dan didorong untuk berpartisipasi dalam evaluasi
terapi respon. Awalnya, mungkin penting untuk mengevaluasi kembali pasien
yang relatif interval waktu yang singkat untuk memantau efek samping.
Pemantauan keamanan pasien pada interferon meliputi laboratorium rutin
monitoring, observasi pasien dan pertanyaan untuk merugikan efek atau
mengubah cacat, dan pemeriksaan neurologis biasa. Pemantauan laboratorium
khusus harus mencakup darah lengkap menghitung, jumlah trombosit, dan tes
fungsi hati. Ini harus diselesaikan pada awal, setiap 3 bulan selama 1 tahun, dan
setiap 6 bulan tahunan setelahnya. Copaxone tidak memerlukan pemantauan
laboratorium.
KESIMPULAN
MS adalah penyakit radang theCNS muncul untuk menyerang muda, individu
yang rentan secara genetik yang tinggal di wilayah geografis berisiko tinggi.
Meskipun etiologi pasti dari MS tidak diketahui, ada kemungkinan bahwa MS
adalah penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi virus. di sana adalah tidak ada
obatnya, tapi kualitas hidup dapat ditingkatkan melalui gejala manajemen.
Karena sifat hilang-timbul MS, itu adalah seringkali sulit untuk menilai apakah
perbaikan adalah akibat pengobatan atau untuk perjalanan alami penyakit.
Kurangnya bukti konklusif untuk banyak perawatan dijelaskan dan kurangnya
spesifik pedoman membuat pilihan perawatan yang sulit.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

31

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami ingin mengakui keduanya Jennifer Stone, Pharm.D., Dan Ruth C. Taggart,
MSN, ANP-C, atas kontribusi mereka dengan bab ini.
SINGKATAN
ABBREVIATIONS
ABC-R: Avonex, Betaseron, Copaxone, and Rebif
ACTH: adrenocorticotropic hormone
ALA: -lipoic acid
BBB: blood-brain barrier
CAM: complementary or alternative medicine
CD4+: T-helper cells
CIS: clinically isolated syndrome
CNS: central nervous system
CSF: cerebrospinal fluid
CT scan: computed tomographic scan
DHEA: dehydroepiandrosterone
EAE: experimental allergic encephalomyelitis
EDSS: expanded disability status scale
GABA: -aminobutyric acid
HHV-6: human herpes virus type 6
HLA: human leukocyte antigen
HTLV: human T-cell leukemia virus
IgG: immunoglobulin G
IL-2: interleukin-2
IL-10: interleukin-10
INF- : interferon-
IVIG: intravenous immunoglobulin
MBP: myelin basic protein
MHC: major histocompatibility complex
MRA: magnetic resonance angiography
MRI: magnetic resonance imaging
MS: multiple sclerosis
MSFC: Multiple Sclerosis Functional Composite
NSAID: nonsteroidal anti-inflammatory drug
OCBs: oligoclonal bands
PPMS: primary-progressive multiple sclerosis
PRMS: primary-relapsing multiple sclerosis
PUFAs: polyunsaturated fatty acids
RRMS: relapsing-emitting multiple sclerosis
SPMS: secondary-progressive multiple sclerosis
SSPE: subacute sclerosing panencephalitis
TGF-: transforming growth factor
TLI: total lymphoid irradiation
TNF-: tumor necrosis factor alpha
WHO: World Health Organization
Review Questions and other resources can be found at
www.pharmacotherapyonline.com.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

32

REFERENCES

Daftar Pustaka

1. AndersonDW, Ellenberg JH, LeventhalCM,et al. Revised estimate of the


prevalence of multiple sclerosis in the United States. Ann Neurol 1992;31:333
336.
2. Wynn DR, Rodriguez M, OFallon WM, et al. Update on the epidemiology of
multiple sclerosis. Mayo Clin Proc 1989;64:808817.
3. Sadovnick AD, Ebers GC. Epidemiology of multiple sclerosis: A critical
overview. Can J Neurol Sci 1993;20:1729.
4. Ebers GC, Bulman D. The geography of MS reflects genetic susceptibility.
Neurology 1986;36(suppl 1):108.
5. Compston A. Risk factors for multiple sclerosis: Race or place? (Editorial). J
Neurol Neurosurg Psychiatry 1990;53:821823.
6. Kurtzke JF. Epidemiologic contributions to multiple sclerosis: An overview.
Neurology 1980;30(suppl 2):6179.
7. Ebers GC. Genetics and multiple sclerosis: An overview. Ann Neurol
1994;36:S12S14.
8. Compston A. The epidemiology of multiple sclerosis: Principles, achievements,
and recommendations. Ann Neurol 1994;36:S211S217.
9. Wolfson C, Wolfson EB, Zielinski JM. On the estimation of the distribution of
the latent period of multiple sclerosis. Neuroepidemiology 1989;8:239248.
10. Detels R, Visscher BR, Haile RW, et al. Multiple sclerosis and age at
migration. Am J Epidemiol 1978;108:386393.
11. Willer CJ, Dyment DA, Risch, et al. Twin concordance and sibling recurrence
rates in multiple sclerosis. Proc Natl Acad Scs USA 2003; 100:1287712882.
12. Hillert J. Human leukocyte antigen studies in multiple sclerosis. Ann Neurol
1994;36:S15S17.
13. Genetics and immunology. In: Kesselring J, ed. Multiple Sclerosis.
Cambridge, England, Cambridge, University Press, 1997:3048.
14. Chapman J, Vinokurov S, Achiron A, et al. APOE genotype is a major
predictor of long-term progression of disability in MS. Neurology 2001;56: 2148
2149.
15. Schmidt S, Barcellos LF, DeSombre K, et al. Association of polymorphisms in
the apolipoprotein E region with susceptibility to and progression of multiple
sclerosis. Am J Hum Genet 2002;70:708717.
16. Lucchinetti CF, Rodriguez M. The controversy surrounding the pathogenesis
of the multiple sclerosis lesion. Mayo Clin Proc 1997;72:665 678.
17. De Keyser J. Autoimmunity in multiple sclerosis. Neurology 1988;38: 371
374.
18. McDonald WI. The mystery of the origin of multiple sclerosis. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 1989;49:113323.
19. Poser CM. Pathogenesis of multiple sclerosis:Acritical reappraisal. Acta
Neuropathol 1986;71:110.
20. Sharief MK, Thompson EJ. In vivo relationship of tumor necrosis factor alpha
to blood-brain barrier damage in patients with active multiple sclerosis. J
Neuroimmunol 1992;38:2733.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

33

21. Panitch HS, Hirsch RL, Schindler J, Johnson KP. Treatment of multiple
sclerosis with gamma interferon: Exacerbation associated with activation of the
immune system. Neurology 1987;37:10971102.
22. Hartung HP, Archelos JJ, Zievasek J, et al. Circulating adhesion molecules
and inflammatory mediators in demyelination: A review. Neurology 1995;45(suppl
6):2232.
23. Link J, Soderstrom M, Olsson T. Increased TGF-, IL-4, and INF- in multiple
sclerosis. Ann Neurol 1994;36:379386.
24. Rieckman P, Albrecht M, Kitze B, et al. Cytokine mRNA levels in
mononuclear blood cells from patients with multiple sclerosis. Neurology
1994;44:15231526.
25. Sobel RA. The pathology of multiple sclerosis. Neurol Clin 1995;13: 116.
26. Smith-Jensen T, Burgoon M, Anthony J, et al. Comparison of immunoglobulin
G heavy-chain sequences in MS and SSPE brains reveals an antigen-driven
response. Neurology 2000;54:12271232.
27. Johnson RT. The virology of demyelinating diseases. Ann Neurol 1994;
36:S54S60.
28. Berti R, Soldan SS, Akhyani N, et al. Extended observations on the
association of HHV-6 and multiple sclerosis. J Neurovirol 2000;6(suppl 2): S85
S87.
29. Sriram S, Stratton CW, Yao S, et al. Chlamydia pneumoniae infection of the
central nervous system in multiple sclerosis. Ann Neurol 1999; 46(1):614.
30. Swanborg RH, Whittum-Hudson JA, Hudson AP. Infectious agents and
multiple sclerosis: Are Chlamydia pneumoniae and human herpes virus six
involved? J Neuroimmunol 2003;136:18.
31. Trapp BD, Peterson J, Ransohoff RM, et al. Axonal transection in the lesions
of multiple sclerosis. N Engl J Med 1998;338:278285.
32. Truyen L, van Wuesberghe JHTM, Barkof F, et al. Accumulation of
hypointense lesions (blackholes) on T1 spin echo MRI correlates with disease
progression in multiple sclerosis. Neurology 1996;47: 14691476.
33. Lassman H, Suchanek G, Ozawa K. Histopathology and the blood
cerebrospinal fluid barrier in multiple sclerosis. Ann Neurol 1994;36: S42S46.
34. Rodriguez M. Multiple sclerosis: Basic concepts and hypothesis. Mayo Clin
Proc 1989;64:570576.
35. Lucchinetti C, Bruck W, Parisi J, et al. Heterogeneity of multiple sclerosis
lesions: Implications for the pathogenesis of demyelination. Ann Neurology
2000;47:707717.
36. Schapiro RT. Symptom management in multiple sclerosis. Ann Neurol
1994;36:S123S129.
37. Kurtzke JF. Rating neurologic impairment in multiple sclerosis: An expanded
disability status scale (EDSS). Neurology 1983;33:14441452.
38. Rudick RA, Cutter G, Reingold S. The multiple sclerosis functional composite:
A new clinical outcome measure for multiple sclerosis trials. Mult Scler
2002;8:359365.
39. Noseworthy JH. Clinical scoring methods for multiple sclerosis. Ann Neurol
1994;36:S80S85.
40. Miller DH. Magnetic resonance imaging in monitoring the treatment of
multiple sclerosis. Ann Neurol 1994;36:S91S94.
41. Filippi M, Paty DW, Kappos L, et al. Correlations between changes in
disability and T2-weighted brain activity in multiple sclerosis: A followup study.
Neurology 1995;45:255260.
42. Abramsky O. Pregnancy and multiple sclerosis. Ann Neurol 1994;36: S38
S41.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

34

43. Goodin DS, Ebers GC, Johnson KP, et al. The relationship of MS to physical
trauma and psychological stress: Report of the Therapeutics and Technology
Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology
1999;52:17371745.
44. Goodin DS, Ebers GC, Johnson KP, et al. The relationship of MS to physical
trauma and psychological stress: Report of the Therapeutics and Technology
Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology
1999;52:17371745.
45. Weinshenker BG. Natural history of multiple sclerosis. Ann Neurol 1994;
36:S6S11.
46. Confavreux C, Vukusic S, Moreau T, et al. Relapses and progression of
disability in multiple sclerosis. N Engl J Med 2000;343:14301438.
47. Zivadinov R, Zorzon M. Is gadolinium enhancement predictive of the
development of brain atrophy in multiple sclerosis? A review of the literature. J
Neuroimag 2002;12:302309.
48. Sadovnick AD, Eisen K, Ebers GC, Paty DW. Cause of death in patients
attending multiple sclerosis clinics. Neurology 1991;41:11931196.
49. Swanson JW. Multiple sclerosis: Update in diagnosis and reviewof prognostic
factors. Mayo Clin Proc 1989;64:577586.
50. Williams ES, Jones DR, McKeran RO. Mortality rates from multiple sclerosis:
Geographical and temporal variations revisited. J Neurol Neurosurg Psychiatry
1991;54:104109.
51. Brex PA, Ciccarelli O, Riordan J, et al. A longitudinal study of abnormalities
on MRI and disability from multiple sclerosis. N Engl J Med 2002;346:158164.
52. Truyen L, vanWaesberghe JH, vanWalderveen MA, et al. Accumulation of
hypointense lesions (black holes) on T1 spin-echo MRI correlates with disease
progression in multiple sclerosis. Neurology 1996;47:1469 1476.
53. Fisher E, Rudick R, Simon J, et al. Eight-year follow-up study of brain atrophy
in patients with MS. Neurology 2002;59:14121420. 54. McDonald W, Compston
A, Edan G, et al. Recommended diagnostic criteria for multiple sclerosis:
Guidelines from the international panel on diagnosis of multiple sclerosis. Ann
Neurol 2001;50: 121127.
55. Poser C, Paty D, Scheinberg L, et al. New diagnostic criteria for multiple
sclerosis: Guidelines for research protocols. Ann Neurol 1983;13:227 231.
56. Tintore M, Rovira A, Rio J, et al. New diagnostic criteria for multiple sclerosis:
Application in first demyelinating episode. Neurology 2003;60:2730.
57. Dalton C, Brex P, Miszkiel K, et al. New T2 lesions enable an earlier
diagnosis of multiple sclerosis in clinically isolated syndromes. Ann Neurol
2003;53:673676.
58. Frohman EM, Goodin DS, Calabresi PA, et al. The utility of MRI in suspected
MS: Report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of
the American Academy of Neurology. Neurology 2003; 61:13321338.
59. McFarland H, Frank JA, Albert PS, et al. Using gadolinium-enhanced
magnetic resonance imaging lesions to monitor disease activity in multiple
sclerosis. Ann Neurol 1992;32:758766.
60. ORiordan JI, Thompson AJ, Kingsley DP, et al. The prognostic value of brain
MRI in clinically isolated syndromes of the CNS: A 10-year follow-up. Brain
1998;121:495503.
61. CHAMPS Study Group. MRI predictors of early conversion to clinically
definite MS in the CHAMPS placebo group. Neurology 2002;59:998 1005.
62. Fisher E, Rudick RA, Simon JH, et al. Eight-year follow-up study of brain
atrophy in patients with MS. Neurology 2002;59:14121420.
63. Olsson T. Cerebrospinal fluid. Ann Neurol 1994;36:S100S102.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

35

64. Berger T, Rubner P, Schautzer F, et al. Antimyelin antibodies as a predictor


of clinically definite multiple sclerosis after a first demyelinating event. N Engl J
Med 2003;349:139145.
65. Goodin DS, Frohman EM, Garmany GP, et al. Disease-modifying therapies in
multiple sclerosis: Report of the therapeutics and technology assessment
subcommittee of the American Academy of neurology and the MS Council for
Clinical Practice Guidelines. Neurology 2002;58: 169178.
66. Myers LW, Ellison GW. The peculiar difficulties of therapeutic trials for
multiple sclerosis. Neurol Clin 1990;8:119141.
67. Hunter SF,Weinshenker BG, Carter JL, Noseworthy JH. Rational clinical
immunotherapy for multiple sclerosis. Mayo Clin Proc 1997;72:765 780.
68. Kaufman DI, Trobe JD, Eggenberger ER, Whitaker JN. Practice parameter:
The role of corticosteroids in the management of acute monosymptomatic optic
neuritis. Report of the quality standards subcommittee of the American Acad
Neurol. Neurol 2000;54:20392044.
69. Zivadinov R, Rudick RA, De Masi R, et al. Effects of IV methylprednisolone
on brain atrophy in relapsing-remitting MS. Neurology 2001; 57:12391247.
70. Kappos L. Therapy. In: Kesselring J, ed. Multiple Sclerosis. Cambridge,
England, Cambridge University Press, 1997:148167.
71. Weinshenker BG, OBrian PC, Petterson TM, et al. A randomized trial of
plasma exchange in acute central nervous system inflammatory demyelinating
disease. Ann Neurol 1999;46:878886.
72. Weinshenker BG. Therapeutic plasma exchange for acute inflammatory
demyelinating syndromes of the central nervous system. J Clin Apheresis
1999;14:144148.
73. PRISMS Study Group and the University of British Columbia MS/MRI
Analysis Group. PRISMS-4: Long-term efficacy of interferon--1a in relapsing
MS. Neurology 2001;56:16281636.
74. Simon JH, Jacobs L, Campion M, et al. A longitudinal study of brain atrophy
in relapsing MS. Neurology 1999;58:139145.
75. Fischer JS, Priore RL, Jacobs LD, et al. Neuropsychological effects of
interferon--la in relapsing multiple sclerosis. Ann Neurol 2000;48: 885892.
76. Frohman E, Phillips T, Kokel K, et al. Disease-modifying therapy in multiple
sclerosis: Strategies for optimizing management. Neurology 2002;8:227236.
77. Patten SB, Metz LM. Interferon--1a and depression in relapsingremitting
multiple sclerosis: An analysis of depression data from the PRISMS clinical trial.n
Mult Scler 2001;7:243248.
78. Aharoni R, Teitelbaum D, Sela M, et al. Copolymer 1 induces T cells of the T
helper type 2 that cross-react with myelin basic protein and suppress
experimental autoimmune encephalomyelitis. Proc Natl Acad Sci USA
1997;94:1082110826.
79. Johnson KP, Brooks BR, Cohen JA, et al. Extended use of glatiramir acetate
(Copaxone) is well tolerated and maintains its clinical effect on multiple sclerosis
relapse rate and degree of disability. Neurology 1998; 50:701708.
80. Fillippi M, Rovaris M, Rocca MA, et al. Glatiramer acetate reduces the
proportion of new MS lesions evolving into black holes. Neurology
2001;57:731733.
81. Johnson KP, Brooks BB, Ford CC, et al. Results of the long-term (eight year)
prospective, open-label trial of glatiramer acetate for relapsing multiple sclerosis.
Neurol Suppl 2002;58:PO6.079.
82. van den Noort S, Eidelman B, Rammohan K, et al. for the National Multiple
Sclerosis Society (NMSS). Disease Management Consensus Statement: Clinical
Bulletin. New York, National MS Society, 1998: 18.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

36

83. Jacobs LD, Beck RW, Simon JH, et al. Intramuscular interferon--1a therapy
initiated during a first demyelinating event in multiple sclerosis. N Engl J Med
2000;343:898904.
84. Comi G, Filippi M, Barkhof F, et al. Effect of early interferon treatment on
conversion to definite multiple sclerosis: A randomised study. Lancet
2001;357:15761582.
85. Vartanian T. An examination of the results of the EVIDENCE, INCOMIN, and
phase III studies of interferon beta products in the treatment of multiple sclerosis.
Clin Ther 2003;1:105118.
86. Durelli L, Verdun E, Bergui M, et al. Every-other-day interferon--1b versus
once-weekly interferon--1a for multiple sclerosis: Results of a 2-year
prospective randomized multicentre study (INCOMIN). Lancet 2002;359:1453
1460.
87. Panitch H, Goodin D, Francis G, et al. Randomized, comparative study of
interferon--1a treatment regimens in MS: The EVIDENCE Trial. Neurology
2002;59:14961506.
88. Clanet M, Radue E, Kappos L, et al. A randomized, double-blind,
dosecomparison study of weekly interferon--1a in relapsing MS. Neurology
2002;59:15071517.
89. Bertolotto A. Neutralizing antibodies to interferon beta: Implications for the
management of multiple sclerosis. Curr Opin Neurol 2004;17:241 246.
90. Kappos L, Polman C, Pozzilli C, et al. Final analysis of the European
multicenter trial on IFN-1b in secondary-progressive MS. Neurology 2001;
57:19691975.
91. Secondary Progressing Efficacy Clinical Trial of Recombinant Interferon--1a
in MS (SPECTRIMS) Study Group. Randomized controlled trial of interferon--1a
in secondary progressive MS: Clinical results. Neurology 2001;56:14961504.
92. Cohen J, Cutter G, Fischer J, et al. Benefit of interferon--1a on MSFC
progression in secondary progressive MS. Neurology 2002;59:679687.
93. Immunex Corporation. Novantrone (mitoxantrone concentrate for injection)
package insert. Seattle, WA, October, 2000. CHAPTER 53 MULTIPLE
SCLEROSIS 1021
94. Noseworthy JH, Lucchinetti C, Rodriguez M,Weinshenker BG. Multiple
sclerosis. N Engl J Med 2000;343:938952.
95. La Mantia L, Milanese C, Mascoli N, et al. Cyclophosphamide for multiple
sclerosis. Cochrane Database Syst Rev 2002;4:CD002819.
96. The Multiple Sclerosis Study Group. Efficacy and toxicity of cyclosporine in
chronic progressive multiple sclerosis: A randomized, double-blinded, placebocontrolled clinical trial. Ann Neurol 1990;27: 591605.
97. Corboy JR, Goodin DS, Frohman EM. Disease-modifying therapies for
multiple sclerosis. Curr Treat Options Neur 2003;5:3554.
98. Miller DH, Khan OA, Sheremata WA, et al. A controlled trial of natalizumab
for relapsing multiple sclerosis. N Engl J Med 2003;348:1523.
99. Paolillo A, Coles AJ, Molyneux PD, et al. Quantitative MRI in patients with
secondary progressive MS treated with monoclonal antibody Campath 1H.
Neurology 1999;53:751757.
100. Nash RA, Bowen JD, McSweeney PA, et al. High-dose immunosuppressive
therapy and autologous peripheral blood stem cell transplantation in severe
multiple sclerosis. Blood 2003;102:23642372.
101. Cohen Y, Polliack A, Nagler A. Treatment of refractory autoimmune
diseases with ablative immunotherapy using monoclonal antibodies and/or
high dose chemotherapy with hematopoietic stem cell support. Curr Pharm Des
2003;9:279288.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

37

102. Schapiro RT. Symptom management in multiple sclerosis. Ann Neurol


1994;36:S123S129.
103. Mitchell G. Update on multiple sclerosis therapy. Med Clin North Am
1993;77:231249.
104. Kinn AC, Larsson PO. Desmopressin: A new principle for symptomatic
treatment of urgency and incontinence in patients with multiple sclerosis. Scand J
Urol Nephrol 1990;24:109112.
105. Stenager EN, Stenager E, Koch Henriksen N, et al. Suicide and multiple
sclerosis: An epidemiological investigation. J Neurol Neurosurg Psychiatry
1992;55:542545.
106. Beaver CT Jr. The current status of studies of aminopyridine in patients with
multiple sclerosis. Ann Neurol 1994;36:S118S121.
107. Bowling AC, Stewart TM. Current complementary and alternative therapies
for multiple sclerosis. Curr Treat Options Neurol 2003;5:5568.

54
EPILEPSI
Barry E. Gidal and William R. Garnett
KONSEP UTAMA

1. Diagnosis yang tepat dan klasifikasi dari kejang / sindrom jenis sangat
penting untuk seleksi pharmacotherapy yang sesuai.
2. Pengobatan patient-specific goal ( s ) harus diidentifikasi. Pengobatan gol
yang dapat mengubah dari waktu ke waktu. Secara umum, tujuan
pengobatan harus penyitaan kebebasan dan tidak merugikan efek.
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

38

3. Karakteristik pasien seperti usia, kondisi medis, kemampuan untuk


mematuhi rejimen, ditentukan dan cakupan asuransi juga dapat
mempengaruhi pilihan antiepileptic narkoba.
4. Pharmacotherapy epilepsi sangat individual dan membutuhkan titrasi dari
dosis untuk mengoptimalkan antiepileptic terapi obat ( maksimal atau
tidak ada penyitaan kendali dengan minimal efek samping ). Sekitar 70
persen pasien bisa terjaga pada satu antiepileptic obat.
5. Jika tujuan terapi ( penyitaan kebebasan dan tidak tertahankan efek )
tidak dicapai dengan maksimal monotherapy, kedua obat dapat
ditambahkan atau saklar untuk alternatif antiepileptic tunggal obat dapat
made.the antiepileptic kedua obat harus memiliki mekanisme tindakan
yang berbeda dari yang pertama.
6. Beberapa pasien akhirnya dapat menghentikan antiepilelptic terapi obat.
Beberapa faktor memprediksi sukses penarikan antiepileptic narkoba.
7. Penggunaan yang tepat antiepileptic obat membutuhkankan klinis
menyeluruh pemahaman mereka farmakologi, misalnya, mekanisme
tindakan, pharmacokinetics, reaksi yang merugikan, dosis bentuk, dan
interaksi obat.
Epilepsi adalah suatu kelainan yang terbaik melihat sebagai gejala terganggu
aktivitas listrik di dalam otak yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi yang
berlainan. Ini adalah kumpulan dari berbagai jenis kejang yang bervariasi dalam
keparahan, penampilan, penyebab, konsekuensi, dan manajemen. Epilepsi
menyiratkan sebuah kambuh dari periodik kejang-kejang dengan atau tanpa
kejang-kejang. Kejang yang berkepanjangan atau berulang dapat mengancam
jiwa. Efek epilepsi yang ada pada hidup pasien bisa sangat frustrasi. Memang,
penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan epilepsi yang tidak
mengalami kejang lengkap kontrol memiliki nilai kehidupan qualityof dilaporkan
sendiri lebih rendah daripada pasien yang kejang-bebas. Hal ini juga penting
untuk mengenali yang kejang mungkin hanya satu ( meskipun yang paling jelas )
gejala dari suatu epileptic gangguan. Tidak jarang, pasien memiliki gangguan
komorbiditas lainnya, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan berpotensi
neuroendokrin. Pasien dengan epilepsi juga dapat menampilkan keterlambatan
perkembangan saraf, masalah memori, dan kerusakan kognitif. Sementara itu,
oleh Konvensi, fokus terapi obat adalah penghapusan kejang, dokter juga perlu
memperhatikan mengatasi comorbidities ini umum.

EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun, 120 per 100.000 orang di Amerika Serikat datang ke perhatian
medis karena kejang baru diakui. Setidaknya 8% dari populasi umum akan
memiliki setidaknya satu kejang dalam seumur hidup Namun, mungkin untuk
memiliki kejang dan tidak memiliki epilepsi Tingkat kekambuhan kejang
dipancing-pancing pertama dalam 5 tahun berkisar antara 23% dan 80%. Anakanak dengan kejang pertama idiopatik dan electroencephalogram normal (EEG)
memiliki prognosis yang terutama menguntungkan. Beberapa kejang dapat
terjadi karena peristiwa tunggal yang dihasilkan dari penarikan dari sistem saraf
pusat (SSP) depresi (misalnya, alkohol, obat tidur dan obat lain) atau selama
penyakit akut (misalnya meningitis atau ensefalitis) atau kondisi beracun
(misalnya, uremia atau pre-eclampsia). Beberapa pasien akan memiliki kejang
hanya terkait dengan demam. Kejang demam ini tidak merupakan epilepsi.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

39

Epilepsi adalah gangguan kronis yang ditandai dengan kejang berulang.


Usia disesuaikan insiden epilepsi adalah 44 per 100.000 orang tahun. Setiap
tahun, kasus epilepsi baru sekitar 125.000 terjadi; ini, 30% di orang-orang yang
lebih muda dari usia 18 pada saat diagnosis. Ada sebuah bimodal distribusi
dalam terjadinya kejang pertama, dengan satu puncak terjadi pada bayi dan
anak-anak muda dan kedua puncak terjadi pada pasien lebih tua dari usia 6.
Setiap tahun, kasus epilepsi baru sekitar 125.000 terjadi; ini, 30% di orang-orang
yang lebih muda dari usia 18 pada saat diagnosis. Yang relatif tinggi frekuensi
epilepsi pada orang tua saat ini sedang diakui Sedikitnya 10 persen dari pasien
di fasilitas perawatan jangka panjang mengambil setidaknya satu antiepileptic
obat ( aed ).
ETIOLOGI
Serangan terjadi karena sejumlah kecil neuron debit abnormal. Apa pun yang
mengganggu homeostasis normal neuron dan mengganggu stabilitas dapat
memicu kegiatan normal dan kejang. Kecenderungan genetik untuk kejang telah
diusulkan. Pasien dengan keterbelakangan mental dan cerebral palsy berada
pada peningkatan risiko untuk kejang. Semakin mendalam tingkat
keterbelakangan mental yang diukur dengan kecerdasan quotient (IQ), semakin
besar adalah kejadian epilepsi. Namun, keterbelakangan mental itu tidak sinonim
dengan epilepsi. Orang tua, kejang terutama parsial di awal. Penyebab serangan
dalam tetua. dapat multifactorial dan termasuk serebrovaskular ( kedua ischemic
dan hemorrhagic stroke ), neurodegenerativedisorders, tumor, kepala trauma,
gangguan metabolik, dan infeksi cns. Dalam beberapa kasus, jika seorang
etiologi dapat ditemukan dan meralatku, pasien tidak akan memerlukan aed
kronis pengobatan. Dalam banyak kasus, pasien akan hadir dengan kejang yang
tidak memiliki sebuah diidentifikasi menyebabkan dan dengan demikian telah
idiopatik epilepsi. Insiden idiopatik epilepsi lebih tinggi pada anak-anak.
Banyak faktor telah ditunjukkan untuk memicu kejang pada individu yang
rentan. Hiperventilasi dapat memicu ketiadaan kejang. Tidur, kurang tidur, stimuli
indrawi, dan stres emosional dapat memulai kejang. Perubahan hormon yang
terjadi sekitar waktu haid, pubertas, kehamilan, atau telah dikaitkan dengan
onset atau peningkatan frekuensi kejang. Sejarah yang hati-hati harus diperoleh
dari pasien menyajikan dengan kejang karena teofilina, alkohol, phenothiazines
dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotiline atau buproprion), dan
penggunaan obat-obatan jalan telah dikaitkan dengan merangsang pemikiran
kejang. Juga, AED dalam konsentrasi racun dapat menyebabkan kejang pada
pasien atertentu. Faktor-faktor Perinatal dan semua peristiwa sesudah telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk perkembangan epilepsi. Anak-anak yang
kecil untuk usia kehamilan atau dengan neonatal kejang ada juga peningkatan
risiko untuk mengembangkan epilepsi. Yang paling jelas didirikan faktor risiko
untuk epilepsi pada semua kelompok umur adalah trauma kepala (terutama pada
pasien yang dura mater telah dilanggar dan yang ada bukti kehilangan
kesadaran), infeksi CNS, dan stroke. Imunisasi tidak telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko epilepsi.
PATOFISIOLOGI
Aktivitas kejang dicirikan oleh paroxysmal discharge terjadi serempak di populasi
besar kortikal neurons. ini ditandai pada EEG sebagai gelombang tajam atau
lonjakan. Fisiologi dasar episode penyitaan dilacak membran sel yang tidak stabil
atau sel mendukung sekitarnya. Penyitaan berasal dari materi abu-abu kortikal

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

40

atau mungkin subkortikal area. Pada awalnya, sejumlah kecil neuron api normal.
Normal membran conductances dan arus sinaptik penghambatan memecah, dan
kelebihan Involuntary spread, baik secara lokal untuk menghasilkan kejang fokal
atau lebih luas untuk menghasilkan kejang umum. Onset ini menjalar oleh
fisiologis jalur untuk melibatkan daerah-daerah yang berdekatan atau remote.
Manifestasi klinis tergantung pada situs fokus, tingkat iritabilitas sekitarnya otak,
dan intensitas dorongan.
Kelainan kalium konduktansi, kerusakan di dalam saluran ion voltagesensitive, atau kekurangan dalam membran atpases terkait dengan ion
transportasi dapat mengakibatkan neuronal membran ketidakstabilan dan
pembeslahan. Dipilih neurotransmitter ( misalnya, glutamat, aspartate, asetilkolin,
norepinefrin, histamin, corticotropinreleasing faktor, purina, peptid, sitokin, dan
hormon steroid ) meningkatkan rangsangan dan menyebarkan neuronal aktivitas,
sedangkan -aminobutyric asam ( gaba ) dan dopamin menghambat aktivitas
neuronal dan propagasi. Relatif kekurangan penghambatan neurotransmitter
seperti gaba atau peningkatan excitatory neurotransmitter seperti glutamat akan
mempromosikan abnormal neuronal aktivitas. Kegiatan neuronal normal juga
tergantung pada pasokan glukosa, oksigen, natrium, kalium, klorida, kalsium, dan
asam amino. Ph sistemik juga merupakan faktor yang menimbulkan kekejangan.
Jenis epilepsies mungkin timbul dari neurophysiolog yang berbeda.
Kontrol normal kegiatan neuronal dengan aeds ini dilakukan dengan
mengangkat ambang batas dari neuron untuk listrik atau rangsangan kimia atau
dengan membatasi penyebaran dari penyitaan keluar dari asal-usulnya.
Meningkatkan ambang batas yang paling mungkin melibatkan pemantapan
neuronal membran, sedangkan membatasi penyebaran melibatkan depresi
synaptic saraf transmisi dan pengurangan dari konduksi.
Selama kejang, ada peningkatan besar dalam permintaan untuk aliran
darah ke otak untuk membawa CO2 dan membawa substrat untuk aktivitas
metabolisme saraf. Semakin lama penyitaan, semakin besar kemungkinan otak
yang mengalami iskemia yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan
kerusakan otak. Juga, paparan terus glutamat, neurotransmiter rangsang,
mungkin contirubte untuk kerusakan saraf. Meskipun kejang individu seperti itu
menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kecerdasan, telah diusulkan
bahwa pasien yang menderita sejumlah besar (& gt; 100) dari generalized tonikklonik (GTC) kejang yang memiliki beberapa episode dari status epilepticus
mungkin beresiko untuk akhirnya penurunan kognitif.
Selain itu, tampaknya ada korelasi positif antara inisiasi awal sesuai AED
terapi dan kemampuan untuk mengendalikan aktivitas kejang. Kegagalan untuk
mengontrol kejang tampaknya menyebabkan peningkatan aktivitas kejang dan
juga untuk terjadinya kejang jenis lain. Oleh karena itu, terapi yang tepat harus
dimulai awal setelah diagnosis epilepsi.
PRESENTASI KLINIS
Internasional Liga terhadap epilepsi (ILAE) telah mengusulkan dua skema utama
untuk klasifikasi kejang-kejang dan epilepsi terlokalisasi: klasifikasi internasional
serangan epilepsi dan klasifikasi internasional dari epilepsi terlokalisasi dan
sindrom epilepsi.
International klasifikasi dari kejang epilepsi ( table 54-1 ) menggabungkan
deskripsi klinis dengan tertentu temuan electrophysiologic dalam rangka untuk
mengklasifikasikan kejang epilepsi. Kejang-kejang dibagi menjadi dua kelompok

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

41

pathophysiologic utama - kejang dan parsial umum - kejang oleh rekaman eeg
dan symptomatology klinis
Kejang (fokus) parsial mulai dalam satu belahan otak dan - kecuali
mereka menjadi kedua - umum hasil dalam sebuah motor asimetrik manifestasi.
Kekejangan parsial mewujudkan seperti perubahan fungsi bermotor, atau
somatosensori sensorik gejala, atau automatisms. Kekejangan parsial dengan
tidak ada kehilangan kesadaran yang diklasifikasikan sesederhana parsial.
Dalam beberapa kasus, pasien akan menjabarkan gejala somatosensori sebagai
sebuah - sebelum peringatan - untuk pengembangan sebuah gtc penyitaan

Tabel 54-1. Klasifikasi internasional dari kejang epileptic

I. parsial kejang (kejang dimulai secara lokal)


A. Sederhana ( tanpa gangguan kesadaran
1. Dengan gejala motor
2. Dengan sensor khusus atau gejala somatosensori
3. Dengan gejala psikis
B. Kompleks ( dengan gangguan kesadaran )
1. Sederhana onset parsial diikuti oleh penurunan kesadaran
dengan atau tanpa automatisms
2. Gangguan kesadaran di onset - dengan atau tanpa automatisms
C. Umum kedua ( parsial onset berkembang untuk umum kekejangan
tonic-clonic )
II. Kekejangan umum ( bilateria simetris bilateral dan tanpa onset lokal

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

42

A. Absence
B. Hyperkinesia
C. klonik
D. tonik
E. tonik-klonik
F. Atonic
G. infantil kejang
III. Unclassified kejang
IV. Status epilepticus

Peringatan ini sebenarnya adalah kejang-kejang parsial yang sederhana dan


sering disebut Aura.
Parsial kejang dengan perubahan kesadaran digambarkan sebagai
kompleks parsial. Dengan kompleks kejang parsial, pasien mungkin memiliki
automatisms, periode kehilangan memori, atau penyimpangan dari behavior.1
beberapa pasien dengan epilepsi parsial kompleks telah keliru didiagnosis
sebagai memiliki psikotik episode. Kompleks parsial kejang juga dapat maju ke
GTC kejang. Pasien dengan kompleks kejang parsial biasanya amnestic ke aca
Kekejangan umum memiliki manifestasi klinis yang menunjukkan
keterlibatan kedua belahan otak. Manifestasi bermotor apakah bilateral, dan ada
satu kehilangan kesadaran. Kekejangan umum dapat dibagi lagi eeg oleh dan
manifestasi klinis. Sebuah penyitaan parsial yang menjadi umum adalah
dimaksud sebagai sebuah kedua penyitaan umum
Pada umumunya
ketiadaan kejang dimanifestasikan oleh onset
mendadak, gangguan kegiatan yang sedang berjalan, tatapan kosong, dan
mungkin rotasi singkat ke atas mata. Mereka umumnya terjadi pada anak-anak
melalui masa remaja. Hal ini penting untuk membedakan kejang absen dari
kompleks parsial kejang.
GTC kejang adalah apa yang banyak orang pikirkan seperti epilepsi.
Penyitaan mengakibatkan tiba-tiba tajam tonik kontraksi otot diikuti oleh periode
kekakuan dan clonic gerakan. Selama kejang, pasien dapat menangis atau
mengerang, kehilangan kontrol, sfingter menggigit lidah, atau mengembangkan
sianosis. Setelah kejang, pasien mungkin telah diubah conciousness,
mengantuk, atau kebingungan untuk variabel periode waktu ( postictal periode )
dan sering pergi ke dalam tidur. Tonik dan clonic serangan dapat terjadi secara
terpisah.
Shocklike singkat kontraksi otot wajah, batang, dan ekstremitas adalah
knownas jerks myoclonic. Mereka mungkin menjadi terisolasi peristiwa atau
cepat berulang. Tiba-tiba hilangnya otot ini dikenal sebagai atonic kejang. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai kepala setetes, the menjatuhkan dari tungkai, atau
sebuah sambil melorot dalam kursinya ke tanah. Para pasien ini sering memakai
protective headware untuk mencegah trauma.
Klasifikasi internasional epilepsies dan epilepsi sindrom menambahkan
komponen seperti usia awal, pengembangan intelektual, penemuan pada

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

43

neorologis pemeriksaan, dan hasil dari neuroimaging mempelajari untuk


mendefinisikan epilepsi sindrom lebih sepenuhnya. Sindrom bisa memasukkan
satu atau banyak berbeda kejang jenis ( misalnya, lennox gastaut sindrom ).
Pendekatan sindromik baru termasuk jenis kejang dan klasifikasi etiologi yang
mungkin (misalnya, idiopatik, gejala, atau tidak diketahui). Idiopatik menjelaskan
sindrom yang agaknya genetik tetapi juga orang-orang di mana tidak ada etiologi
yang mendasari didokumentasikan atau dicurigai. Riwayat Keluarga kejang
sering hadir, dan fungsi neurologis dasarnya normal kecuali terjadinya kejang.
Gejala kasus melibatkan bukti kerusakan otak atau diketahui penyebab yang
mendasari. Sindrom cryptogenic dianggap menjadi gejala dari kondisi yang
mendasarinya yang tidak didokumentasikan. Tidak diketahui atau belum
ditentukan digunakan ketika tidak ada penyebab dapat diidentifikasi. Klasifikasi
sindromik baru ini lebih penting untuk penentuan-penentuan prognostik daripada
untuk klasifikasi hanya berdasarkan jenis kejang. Skema klasifikasi sindrom
memerlukan informasi lebih lanjut dan, sebagai imbalannya, menyediakan alat
yang lebih kuat untuk manajemen klinis yang komprehensif. Pasien % u2019s
epilepsi diklasifikasikan berdasarkan jenis kejang (yaitu, generalized versus
parsial) dan jenis sindromik baru (yaitu, idiopatik, gejala, atau cryptogenic).

PRESENTASI KLINIS EPILEPSI


UMUM
Dalam kebanyakan kasus, penyedia layanan kesehatan tidak akan dalam
posisi untuk menyaksikan kejang. Banyak pasien (khususnya dengan
kompleks parsial atau generalized kejang tonik-klonik) amnestic acara
kejang sebenarnya. Memperoleh cukup sejarah dan gambaran peristiwa
ictal (termasuk waktu) dari pihak ketiga (misalnya, penting lainnya, anggota
keluarga, atau saksi) sangat penting.
GEJALA
Gejala kejang-kejang tertentu akan tergantung pada jenis kejang.
Sementara kejang dapat bervariasi antara pasien, mereka cenderung
menjadi stereotip dalam individu.
Kompleks parsial kejang dapat mencakup fitur motor somatosensori
atau
fokus. MANDELA
TRANSLATOR
: RANGGA
Kompleks parsial kejang berhubungan dengan kesadaran yang
berubah.
Ketiadaan kejang mungkin muncul relatif hambar, dengan hanya
sangat singkat (detik) periode kesadaran berubah.

44

PENGOBATAN : EPILEPSI
HASIL YANG DIINGINKAN
Tujuan akhir dari pengobatan untuk epilepsi adalah tidak kejang dan tidak ada
efek samping yang optimal dengan sebuah kualitas kehidupan. Kualitas terbaik
dari kehidupan adalah terkait dengan sebuah seizure-free negara. Sering kali,
namun, keseimbangan antara efikasi dan efek samping yang harus dicapai
karena dengan AED remaja yang digunakan sebagai monoterapi, kurang dari
50% pasien menjadi kejang-bebas.
Karena terapi terus selama bertahun-tahun ( sering seumur hidup ), efek
samping yang kronis harus diperhatikan. Jika pasien yang terlalu tenang atau
berkembang lain signifikan efek samping, beberapa penyitaan kontrol mungkin
harus menjadi korban untuk meningkatkan fungsi. Pasien harus erlibat dalam
menentukan apa keseimbangan antara frekuensi kejang dan terjadinya efek
samping paling tepat. AED terbaru soffer alternatif untuk menyeimbangkan
kejang frekuensi dan efek samping obat

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

45

Memberikan kualitas hidup optimal melampaui menyeimbangkan kejang


dan efek samping. Itu melibatkan menilai semua perusahaan pasien dengan
epilepsi. Misalnya, para penderita epilepsi cemas mengemudi, masa depan
mereka, membentuk hubungan keselematan, isolasi sosial, stigma, sosial dan
seterusnya. Hal ini juga penting untuk mengenali bahwa pasien dengan epilepsi
mungkin telah lain neuropsychiatric penyakit penyerta seperti depresi,
kecemasan, dan gangguan tidur. Pasien harus mewaspadai potensi masalah ini
dan mempertimbangkan terapi di mana yang tepat efek samping.
PENDEKATAN UMUM UNTUK PENGOBATAN
1. Pendekatan umum untuk pengobatan melibatkan identifikasi gol,
mengenai kejang jenis dan frekuensi, pembangunan peduli rencana, dan
tindak lanjut hasil evaluasi. Selama penilaian fase, itu sangat penting
untuk mendirikan sebuah diagnosis yang tepat dari kejang jenis dan
klasifikasi.
2. Ini langkah diagnostik akan membantu untuk menentukan 2 sesuai aeds
awal. Pengobatan patient-specific gol yang harus diidentifikasi, dan ini
dapat mengubah dari waktu ke waktu. Dalam semua pasien, tujuannya
harus tidak kejang-kejang, tidak ada efek samping, yang optimal dan
sebuah kualitas kehidupan. Itu harus diakui bahwa ini mungkin tidak
menjadi mungkin dalam sebuah minoritas yang signifikan dari pasien.
Sesuai aed meski pengobatan, sekitar 30 sampai 35 % pasien akan
tahan api untuk pengobatan. Dalam hal ini pengaturan, penyitaan
kebebasan tidak dapat diperoleh, hasil dan lebih didapat harus didirikan (
misalnya, penurunan jumlah kejang-kejang dan obat diminimumkan efek
samping ). Identifikasi dari gol spesifik akan membantu dalam
pengembangan the pendek - dan pengobatan jangka panjang rencana.
3. Rencana. Karakteristik pasien seperti usia, kondisi medis, kemampuan
untuk mematuhi rejimen, yang ditentukan dan cakupan asuransi juga
harus menjelajahi karena ini dapat mempengaruhi aed pilihan atau
bantuan untuk menjelaskan kurangnya respon atau efek samping yang
tidak diinginkan.
Ketika penilaian ini lengkap, keunggulan dan kelemahan dari
sesuai aeds yang dibandingkan. Bagi pasien dengan new-onset kejang,
pilihannya adalah apakah untuk menggunakan terapi obat dan, jika jadi,
yang satu. Untuk pasien dengan long-standing epilepsi, kecukupan dari
arus obat rejimen harus dievaluasi. Sebuah aed tidak boleh dianggap
tidak efektif kecuali pasien telah mengalami tidak dapat diterima efek
dengan berlanjutnya kejang.
4. Jika keputusan ini dibuat untuk memulai aed terapi, monotherapy lebih
disukai, dan sekitar 50 persen sampai 70 persen dari seluruh penderita
epilepsi bisa terjaga pada satu obat. Namun, banyak dari pasien ini tidak
bebas dari kejang. Persentase pasien yang seizure-free di satu obat yang
bervariasi oleh jenis kejang . Untuk 12 bulan masing-masing yang
prognosis kejang kebebasan adalah terbaik untuk mereka yang hanya
memiliki gtc kejang ( 48 persen menjadi 55 % ), terburuk bagi mereka
yang hanya memiliki kompleks sebagian kejang ( 23 % untuk 26 % ), dan
menengah bagi mereka dengan dicampur kejang jenis ( 25 % untuk 32 %
) .12 obat mungkin digabungkan dalam upaya untuk membantu pasien
menjadi bebas dari kejang. Menggabungkan aeds dengan mekanisme
yang berbeda dari tindakan dapat menguntungkan, meski pendekatan ini

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

46

adalah seperti belum terbukti.Sekitar 65 persen pasien bisa diharapkan


untuk tetap terjaga di satu aed dan dianggap baik dikendalikan, meskipun
tidak sepenuhnya bebas dari kejang.
5. Dari 35 persen pasien dengan tidak memuaskan kontrol, 10 % akan
membaik dikendalikan dengan two-drug pengobatan. Yang masih tersisa
25 %, 20 % akan terus memiliki kontrol memuaskan meskipun beberapa
obat pengobatan. Telah menyarankan baru-baru ini bahwa mungkin ada
kecenderungan untuk genetik epilepsi yang refraktori untuk terapi obat.
Beberapa pasien bedah ini akan menjadi kandidat. Untuk beberapa
pasien, sebuah implantable perangkat seperti vagal stimulator saraf dapat
tambahan nonpharmacologic pilihan.
Sekali perawatan rencana ini ditetapkan, resep yang dihasilkan
untuk spesifik aed. Biasanya ini termasuk sebuah dose-titration jadwal.
Pada saat ini pasien pendidikan dan jaminan dari pasien pemahaman dari
rencana sangat penting. Arah rinci mengenai titrasi, apa yang harus
dilakukan di acara sebuah treatment-emergent efek samping, dan apa
yang harus dilakukan jika pembeslahan terjadi harus disediakan untuk
pasien. Dokumentasi dari penilaian, perawatan rencana, dan proses
pendidikan yang penting. Menyediakan pasien dengan pembeslahan dan
samping harian akan membantu dalam followup dan evaluasi fase. Pada
kesempatan berikutnya tahap perawatan ( yang dapat dilakukan di rumah
sakit, klinik, atau farmasi atau melalui telepon ), pengobatan gol yang
harus ditinjau. Jika tujuan telah mencapai, tujuan baru harus ditemukan.
Misalnya, jika gtc kejang kini dikendalikan, tujuan mungkin untuk
mengendalikan kejang parsial. Jika pasien gagal untuk menanggapi
pertama aeds, dengan lain untukdiuji-cobakan aeds harus dicoba.
Penyelesaian evaluasi sering memerlukan reassessment dari pasien dan
pengembangan yang baru peduli rencana. Penilaian pada titik ini harus
mengevaluasi kepatuhan, khasiat, dan keselamatan dari awal
pengobatan.
Obat noncompliance mungkin hal yang paling umum alasan untuk
pengobatan kegagalan. Diperkirakan hingga 60 persen pasien penderita
epilepsi yang noncompliant.14 tingkat noncompliance meningkat dengan
kompleksitas obat rejimen dan dengan dosis yang diambil tiga dan empat
kali sehari. Noncompliance tidak terpengaruh oleh usia, seks,
pembangunan psikomotor, kejang jenis, atau kejang frekuensi.
KONTROVERSI KLINIS
Epilepsi adalah diagnosis klinis yang didefinisikan oleh
kejang berulang. Kontroversi mengelilingi waktu yang paling tepat
untuk memulai terapi AED. Banyak dokter tidak memulai
pengobatan sampai kejang dipancing-pancing kedua telah terjadi.
Beberapa dokter mulai AED perawatan setelah penyitaan pertama,
sedangkan orang lain mungkin memulai pengobatan profilaksis
berikut penghinaan CNS pikir cenderung menyebabkan epilepsi
akhirnya (misalnya stroke atau trauma kepala). Keputusan
pengobatan yang tepat dapat bervariasi tergantung pada
karakteristik klinis pasien individu dan keadaan.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

47

Pengobatan obat tidak dapat ditunjukkan pada pasien yang kejang-kejang


memiliki dampak minimal pada hidup mereka atau orang-orang yang telah hanya
memiliki satu kejang. Jika seorang pasien menyajikan setelah satu terisolasi
penyitaan, salah satu dari tiga keputusan pengobatan dapat dibuat: mengobati,
mungkin mengobati, atau tidak mengobati. Keputusan tersebut berdasarkan
kemungkinan pasien memiliki kejang kedua ( Tabel 54 - 2 ). Untuk pasien
dengan tidak ada risiko faktor, kemungkinan penyitaan kedua kurang dari 10
persen pada tahun pertama dan sekitar 24 % pada akhir 2 tahun. Jika faktor
risiko yang hadir, angka ini bisa kambuh meningkat pesat dan dapat setinggi 80
% setelah 5 tahun. Apakah harga ini cukup tinggi untuk menjamin AED terapi?
Keputusan ini sering tergantung pada faktor-faktor pasien-spesifik sindrom
epilepsi, kejang etiologi, kehadiran Cacat neuroanatomic, dan EEG. Jelas, gaya
hidup pasien % u2019s dan preferensi adalah sangat penting. Pasien yang
memiliki dua atau lebih kejang umumnya harus dimulai pada AED
KAPAN HARUS BERHENTI MEMAKAI OBAT ANTIEPILEPSI
6. AED digunakan awalnya untuk mengontrol kejang mungkin tidak perlu
diberikan untuk seumur hidup. Polifarmasi dapat dikurangi, dan beberapa
pasien dapat menghentikan AED sama sekali. Dalam mengurangi
Polifarmasi

TABEL 54-2. Risiko kekambuhan untuk Pasien Mengalami Satu Seizure tak
beralasan
Type of Patie Type of Patient nt

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

Ist-Yr
Risk (%)

5th-Yr
Risk (%)

48

Adults with single unproved seizure 34

34

No CNS insult 10 29

10

29

Inuence of family history


Sibling with seizure 29 46
No sibling with seizures 7 27

29
7

46
27

15
9
10

58
26
39

26
41
37
80
10

48
75
56
80
29

EEG patterns
GSW on EEG 15 58
Normal EEG 9 26
Occurrence of previous seizure
Due to an illness or childhood
febrile seizure
Remote symptomatic with Todds
paresis
Status epilepticus at onset
Prior acute seizure
Idiopathic

CNS = central nervous system; EEG = electroencephalogram; GSW =


generalized spikes and waves
obat dianggap kurang tepat untuk tipe kejang (atau agen yang dianggap paling
bertanggung jawab untuk efek samping) harus dihentikan pertama. Dalam
beberapa kasus, penurunan jumlah pasien yang menerima AED dapat
mengurangi efek samping dan meningkatkan kognitif abilities.
Ini perbaikan dalam kognisi mungkin kecil, terutama jika pasien pada obat yang
terutama mempengaruhi psikomotor kecepatan dengan sedikit efek pada tingkat
tinggi fungsi kognitif.
6. Faktor yang mendukung sukses penarikan aeds termasuk sebuah
seizure-free periode 2 sampai 4 tahun lengkap penyitaan kendali dalam 1
tahun dari awal, terjadinya kejang setelah usia 2 tapi sebelum usia 35,
dan sebuah normal pemeriksaan dan eeg neorologis. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan prognosis buruk dalam menghentikan AED,
meskipun seizurefree interval, termasuk sejarah frekuensi tinggi kejang
berulang episode status epilepticus, kombinasi jenis kejang, dan
pengembangan fungsi mental yang abnormal. Anak-anak yang memiliki
aktivitas spike dan gelombang tidak teratur yang umum dalam rekaman
EEG sebelum penghentian pengobatan mungkin memiliki angka
kekambuhan lebih tinggi (67%) dibandingkan dengan anak-anak tanpa
aktivitas epileptiform (33%) atau anak-anak dengan jenis lain dari aktivitas
epileptiform (33%) dalam rekaman EEG terakhir sebelum penghentian.
Periode 2-tahun kejang-bebas disarankan untuk ketidakhadiran dan
epilepsi rolandic, sedangkan jangka waktu 4 tahun seizurefree disarankan
untuk sederhana parsial, parsial kompleks, dan tidak adanya yang terkait
dengan kejang-kejang tonik-klonik.AEDwithdrawal umumnya tidak
dianjurkan untuk pasien dengan epilepsi Hyperkinesia remaja, ketiadaan
dengan klonik-tonik-klonik kejang atau kejang klonik-tonik-klonik.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

49

American academy of neurologi telah mengeluarkan panduan untuk


menghentikan aeds di seizure-free pasien ( Tabel 54- 3 ). Ketika faktor itu
mungkin terkait dengan sukses penarikan hadir, yang relapse rate
diperkirakan akan menjadi kurang dari 32 % untuk anak-anak dan 39 %
untuk orang dewasa.
Jika keputusan dibuat untuk mencoba penarikan AED, ini harus dilakukan
secara bertahap. Ini mungkin terutama berlaku untuk pasien dengan mendalam
Cacat perkembangan. Beberapa pasien akan memiliki kambuhnya kejang ketika
AED ditarik. Tiba-tiba penarikan dikaitkan dengan presipitasi status epilepticus.
Penarikan kejang merupakan perhatian khusus untuk agen seperti
benzodiazepin dan barbiturat. Penyitaan kambuh telah dilaporkan untuk menjadi
lebih umum jika AED ditarik lebih dari 1 sampai 3 bulan dari lebih dari 6 bulan,
Tabel 54 - 3. American Academy of Neurology pedoman untuk
menghentikan AED pada pasien kejang-bebas
Setelah menilai risiko dan manfaat bagi pasien dan masyarakat dari kejang
berulang, penghentian pemberian obat antiepilepsi dapat dianggap oleh dokter
dan pasien informasi atau orang tua/wali jika pasien memenuhi profil berikut:
kejang-bebas 2 sampai 5 tahun pada AED (berarti, 3.5 tahun).
jenis kejang parsial (sederhana parsial, kompleks parsial, atau
sekunder generalized kejang tonik-klonik) atau satu jenis utama kejang
tonik-klonik umum.
Normal neurologis pemeriksaan/normal IQ EEG dinormalisasi dengan
pengobatan

Setelah menilai risiko dan manfaat bagi pasien dan masyarakat dari
kejang berulang, penghentian pemberian obat antiepilepsi dapat dianggap oleh
dokter dan pasien informasi atau orang tua/wali jika pasien memenuhi profil
berikut: kejang-bebas 2 sampai 5 tahun pada AED (berarti, 3.5 tahun) tunggal
jenis parsial kejang (sederhana parsial, kompleks parsial, atau sekunder
generalized kejang tonik-klonik) atau satu jenis utama kejang tonik-klonik umum
Normal neurologis pemeriksaan/normal IQ EEG dinormalisasi dengan
pengobatan.
Risiko kambuh kejang telah diperkirakan pada 10% sampai 70%. Metaanalisis ditentukan bahwa angka kekambuhan ulkus adalah 25% setelah 1 tahun
dan 29% setelah 2 tahun. Penarikan ganda risiko kekambuhan penyitaan untuk 1
sampai 2 tahun pertama tapi tidak memodifikasi prognosis jangka panjang orang
% u2019s epilepsi. Jika kejang kambuh setelah penarikan AED, AED harus
direstart. 90% Pasien akan mendapatkan kembali setidaknya 2 tahun
pengampunan. Selain kambuh kejang, penarikan AED telah dikaitkan dengan
munculnya kecemasan dan depresi.

KONTROVERSI KLINIS
memang tidak sepenuhnya jelas di mana pasien dengan epilepsi akan
membutuhkan perawatan seumur hidup. Sementara banyak dokter merasa
bahwa terapi AED seumur hidup, orang lain berpendapat bahwa beberapa
pasien dengan epilepsi idiopatik dan pemeriksaan neurologis normal dan
TRANSLATOR
: RANGGA
MANDELA
EEG mungkin
kandidat
untuk penarikan AED mengikuti jangka perampasan
kebebasan (misalnya : 2 sampai 3 tahun). Sebagian besar data yang
mendukung menghentikan AED telah diperoleh dari anak-anak. Beberapa
orang dewasa akan segan untuk menghentikan AED terapi bahkan jika klinisi

50

Mungkin ada manfaat psikososial yang signifikan kepada pasien dari AED
penarikan. Penarikan mungkin perlu dijadwalkan di kenyamanan pasien. Tindak
lanjut dari 5 tahun dianjurkan untuk setiap pasien yang ditarik dari AED terapi.

TERAPI NONPHARMACOLOGIC
Nonpharmacologic terapi untuk epilepsi mencakup diet, operasi, dan stimulasi
vagal saraf (VNS), yang merupakan implantasi stimulator saraf vagal. Stimulator
saraf vagal adalah perangkat medis implan yang disetujui untuk digunakan pada
epilepsi. TheNCPsystem (NeuroCybernetic prostesis) diindikasikan untuk
digunakan sebagai terapi dalam mengurangi frekuensi serangan pada orang
dewasa dan remaja yang lebih tua dari usia 12 tahun dengan kejang parsialonset yang refrakter terhadap AED. Perangkat yang terdiri dari sebuah generator
implan, diprogram pulsa yang terhubung ke sebuah memimpin heliks. Generator
yang ditanamkan dalam saku infraclavicular subkutan dan diaktifkan oleh baterai
lithium. Memimpin melekat pada saraf vagus kiri dan memberikan arus ke
biphasic saraf yang dapat diprogram untuk berbagai parameter oleh dokter
melalui kulit. Selain itu, pasien dapat menggunakan magnet ditempatkan di atas
generator untuk mengaktifkan generator selama kejang atau aura.
TABEL 54-4. Obat Pilihan untuk Gangguan Tertentu-kejang
Seizure Type
Partial seizures

Generalized seizures
Absence ethosuximide
Myoclonic, ,

First-Line Drugs
Carbamazepine
Phenytoin
Lamotrigine
Valproic acid
Oxcarbazepine

Valproic acid,
Valproic
clonazepam

Tonic-clonic,
Phenytoin,
carbamazepine,
valproic acid

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

Alternative Drugs
Gabapentin
Topiramate
Levetiracetam
Zonisamide
Tiagabine
Primidone, phenobarbital
Felbamate
Lamotrigine,
acid, levetiracetam
Lamotrigine, topiramate,
felbamate
zonisamide,
levetiracetam
Lamotrigine, topiramate,
phenobarbital, primidone,

51

oxcarbazepine,
levetiracetam

Mekanisme antiseizure tindakan vns, belum diketahui tapi studi baru-baru


ini telah menunjukkan bahwa vns akut menyebabkan luas kortikal subkortikal
bilateral dan perubahan dalam aliran darah, menunjukkan bahwa hal itu
mempengaruhi kegiatan synaptic pada manusia.
Perangkat VNS ini relatif aman. Efek samping yang paling umum yang
terkait dengan stimulasi adalah suara serak, perubahan suara, peningkatan
batuk, faringitis, dyspnea, dispepsia, dan mual. Serius efek samping yang
dilaporkan termasuk infeksi, kelumpuhan saraf, hyesthesia, paresis wajah, chord
vokal kiri kelumpuhan, kelumpuhan wajah kiri, cedera saraf laring rekuren kiri,
retensi urin, dan demam ringan. Atas semua VNS studi, persentase pasien yang
mencapai 50% atau lebih besar pengurangan frekuensi mereka kejang
(responder) berkisar antara 23%-50%.
Operasi yang paling luas dan paling berguna nonpharmacologic therapy.
penggunaan operasi untuk epilepsi terselesaikan yang signifikan mengganggu
kehidupan pasien dan berfungsi meningkat pada pasien dewasa dan anak-anak.
Tingkat keberhasilan dilaporkan antara 80%-90% pada pasien yang dipilih.
National Institutes of Health Konsensus Konferensi mengidentifikasi tiga
persyaratan mutlak untuk operasi. Mereka adalah diagnosis yang mutlak dari
epilepsi, kegagalan pada pengadilan yang memadai terhadap terapi obat, dan
definisi dari sindrom electroclinical. Afocus di lobus temporal memiliki
kesempatan terbaik untuk hasil yang positif; Namun, extratemporal foci dapat
dipotong berhasil di lebih dari 75% pasien. Prosedur bukanlah tanpa risiko.
Pembelajaran dan memori yang paling rentan terhadap gangguan pascaoperasi,
dan kemampuan intelektual yang umum juga dipengaruhi dalam sejumlah kecil
pasien. Operasi mungkin menjadi sangat berguna pada anak-anak dengan
epilepsi terselesaikan. Pasien mungkin masih perlu menerima terapi AED untuk
periode waktu berikut bedah epilepsi sukses untuk mencegah terulangnya
kejang.
Dietwas ketogenic yang disusun di 1920s. Itu tinggi lemak dan lowin
karbohidrat dan protein dan dengan demikian menyebabkan asidosis dan
ketosis. Asupan protein dan kalori yang ditetapkan pada tingkat yang akan
memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan. Sebagian besar kalori yang
disediakan dalam bentuk krim kental dan mentega. Gula tidak diperbolehkan.
Vitamin dan mineral yang dilengkapi. Trigliserida rantai menengah dapat
digantikan untuk diet lemak. Cairan juga dikendalikan. Hal ini membutuhkan
kepatuhan ketat kontrol dan orangtua. Walaupun beberapa pusat menemukan ini
berguna untuk pasien yang refrakter, orang lain telah menemukan bahwa buruk
ditoleransi oleh pasien. Efek jangka panjang tidak diketahui.
TERAPI FARMAKOLOGI
manajemen optimal epilepsi karena itu mengharuskan aed pengobatan menjadi
individual. Khusus, pasien kelompok ( misalnya, yang berbeda anak-anak, wanita
child-bearing potensi, dan orang tua ) mungkin lebih cocok untuk satu aed
dibandingkan dengan seorang berdasarkan tidak hanya kejang jenis tetapi juga

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

52

dari succeptability atau relatif risiko untuk beberapa efek. Masalah ini akan
ditegaskan lebih lanjut di bawah.
7. Seleksi dan optimasi AED terapi membutuhkan tidak hanya pemahaman
tentang obat mechanism(s) Aksi dan spektrum klinis aktivitas tetapi juga
penghargaan pharmacokinetic variabilitas serta pola terkait obat efek
samping. AED harus menunjukkan kemanjuran untuk tipe penyitaan
tertentu sedang dirawat. Pengobatan obat pilihan pertama tergantung
pada jenis epilepsi, dan juga pada antarmuka antara efek samping obat
spesifik dan preferensi pasien (Tabel 54 - 4). Akhirnya, efektivitas AED
adalah hasil dari interaksi masing-masing faktor-faktor ini. Algoritma yang
diusulkan untuk pendekatan umum untuk pengobatan epilepsi ditampilkan
dalam Fig. 54-1.
Mekanisme kerja dari kebanyakan AED dapat dikategorikan sebagai baik
mempengaruhi saluran ion, peningkatan penghambatan menindas, atau
modulasi rangsang menindas. Saluran ion yang terpengaruh meliputi saluran
sodium dan kalsium. Pembesaran dalam penghambatan menindas termasuk
meningkatkan konsentrasi CNS GABA, sedangkan upaya penurunan menindas
rangsang terutama berfokus pada penurunan (atau antagonizing) glutatmate dan
menindas Aspartat. AED yang efektif terhadap GTC dan parsial penyitaan
mungkin mengurangi tembak berulang-ulang terus-menerus potensi tindakan
menunda pemulihan natrium saluran dari aktivasi. Obat-obatan yang mengurangi
corticothalmic T-jenis kalsium arus efektif terhadap ketiadaan generalized kejang.
Kejang Hyperkinesia menanggapi obat-obatan yang meningkatkan GABAA
reseptor inhibition. Selain mekanisme aksi, kesadaran merugikan
pharmacokinetic properti (Tabel -5), efek (Tabel 5-6), dan interaksi obat-obat
(Tabel 54-7 dan 54-8) dapat membantu dalam optimasi AED terapi. Interaksi
pharmacokinetic adalah faktor rumit umum dalam pemilihan AED. Interaksi ini
dapat terjadi dalam salah satu proses pharmacokinetic: penyerapan, distribusi,
atau penghapusan. Hati-hati harus digunakan ketika AED ditambahkan ke atau
ditarik dari rejimen obat.
Efek samping dari AED dapat dibagi menjadi akut dan kronis (Lihat tabel
54-6). Efek akut bisa dosis serum konsentras penyelamat terkait atau istimewa.
Tergantung pada konsentrasi efek Umum dan menyusahkan tetapi biasanya
tidak mengancam jiwa. Sebagai neurotoksik

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

53

GAMBAR 54-1. Algoritma untuk pengobatan epilepsi

efek samping sering ditemui dan dapat menyertakan sedasi, pusing,


kabur atau penglihatan ganda, kesulitan dengan konsentrasi, dan ataksia.
Dalam banyak kasus efek ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosis obat.
Paling istimewa reaksi karena reaksi alergi ringan, tetapi mereka dapat lebih
serius jika hipersensitivitas melibatkan satu atau lebih sistem organ. Efek
samping istimewa lainnya termasuk hepatitis atau darah dyscrasias serius tapi
langka.
Gagal organ akut, jika itu akan terjadi, biasanya terjadi dalam 6 bulan
pertama AED terapi. Sayangnya, pemeriksaan laboratorium evaluasi dari darah
dan urin biasanya tidak membantu dalam memprediksi atau mendeteksi tahap
awal reaksi parah dan umumnya tidak direkomendasikan pada pasien
asimptomatik. Laboratorium penilaian termasuk tes fungsi hati dan jumlah sel
darah putih mungkin wajar jika pasien melaporkan penyakit dijelaskan (misalnya,
kelesuan, muntah, demam atau ruam). Itu penting untuk mengenali bahwa efek
dapat terjadi meskipun konsentrasi serum berada dalam kisaran terapeutik yang
diusulkan.
Efek samping lain jangka panjang potensi pengobatan AED adalah
osteomalasia dan osteoporosis.
Gangguan tulang yang terkait dengan
penggunaan AED terdiri dari sekelompok heterogen gangguan. Ini mencakup
temuan mulai dari asimtomatik tinggi-omset penyakit dengan temuan kepadatan
mineral tulang normal, untuk kepadatan mineral tulang penurunan tajam cukup
untuk menjamin diagnosis osteoporosis. Sementara etiologi dari osteopathies ini
masih belum pasti, itu telah ada hipotesa bahwa obat-obatan tertentu, termasuk
fenitoin, fenobarbital, dan mungkin carbamazepine dan valproik asam, dapat
mengganggu metabolisme vitamin D. Apakah AED baru terkait dengan efek ini

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

54

tidak belum diketahui. Temuan laboratorium umum pada pasien ini termasuk
ditinggikan tulang-spesifik alkali fosfatase konsentrasi dan kadar kalsium serum
penurunan dan 25-OH vitamin D konsentrasi. Pasien yang menerima obat ini
paling tidak harus menerima suplemen vitamin D dan kalsium.
Efek komparatif kognisi ofAEDson sudah sulit untuk mengevaluasi karena
perbedaan atau ketidakkonsistenan dalam studi Desain, termasuk penyitaan
jenis, kontrol untuk konsentrasi obat serum, dan tes neuropsychological yang
digunakan. Secara umum, tidak ada perbedaan besar antara obat-obatan
remaja, meskipun barbiturat fenobarbital dan primidone muncul untuk
menyebabkan kerusakan kognitif yang lebih daripada yang lain digunakan AED.
Fenitoin, terutama ketika konsentrasi serum di atas kisaran terapeutik yang
umumnya diterima, mungkin memiliki efek yang besar pada fungsi motorik dan
kecepatan. Antara AED remaja, asam valproik dapat menyebabkan lebih sedikit
gangguan kognisi.

TABEL 54-5. Data farmakokinetik Obat Antiepilepsi

aA = adult; C = child; M = monotherapy; Co = combination therapy.


bThe bioavailability of gabapentin is dose dependent.
cPB = phenobarbital; PEMA = phenylethylmalonamide.
dHalf-life depends on renal function
Peningkatan kognisi telah disampaikan pada pasien beralih dari
phenytoin atau phenobarbital kepada para agen. Namun, efek-efek yang halus
dan tidak dapat diucapkan jika pasien berada di kawasan relatif sama terapi
jangkauan. Pasien berkurang dari polytherapy untuk monotherapy juga dapat
menunjukkan perbaikan dalam kognisi. Beberapa agen yang baru yang diyakini
menyebabkan lebih sedikit neurobehavioral atau efek kognisi. Di antara aeds,
yang lebih baru gabapentin dan lamotrigine telah menunjukkan di beberapa
mempelajari menyebabkan gangguan kognitif lebih sedikit dibandingkan dengan
agen tua seperti carbamazepine. Sebaliknya, topiramate dapat menyebabkan
gangguan kognitif, besar terutama ketika digunakan pada dosis tinggi atau
selama cepat escalation.28 akhirnya, dosis dalam beberapa kasus, aed
pengobatan sendiri telah disarankan untuk menyebabkan memburuknya dari

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

55

kejang. Ini mungkin hasil dari seleksi baik tidak tepat dari sebuah tertentu aed
untuk kejang jenis atau sindrom atau dapat mewakili sebuah paradoks beracun
efek dari obat tersebut.

KONTROVERSI KLINIS
peran dan kebutuhan dari serum aed pemantau konsentrasi yang
kontroversial. Beberapa clinicians merasa bahwa terapi pemantau tingkat
darah sangat penting untuk penggunaan yang tepat dari aeds, padahal lain
merasa darah itu tingkat melakukan pemantauan digunakan secara
berlebihan adalah dan, dalam banyak kasus, tidak beralasan. Aed pemantau
tingkat darah harus dilihat sebagai alat untuk digunakan sebagai bagian dari
keseluruhan aed optimalisasi pengobatan. Acheivement dari sebuah
spesifik terapeutik tingkat tidak harus sebuah tujuan mutlak dalam dan dari
dirinya sendiri
.
Karena kebanyakan pasien dewasa memiliki localization-related (
sebagian awal ) kejang, yang paling banyak digunakan aeds tradisional telah
carbamazepine, phenobarbital, phenytoin, dan valproic asam. Untuk kejang
parsial, kompleks ini mirip aeds memiliki khasiat. ini, carbamazepine dan
phenytoin yang paling umum diresepkan aeds untuk digunakan dalam sebagian
kejang di amerika serikat. Sebagian besar, ini preferensi is based on data berasal
dari dua uji landmark dilakukan melalui administrasi para veteran ( va ) epilepsi
koperasi kelompok studi. Pada putaran pertama dari percobaan ini, pasien
dengan new-onset parsial atau umum epilepsi adalah acak untuk menerima baik
carbamazepine, phenobarbital, phenytoin, atau primidone. Pada akhir tiga tahun
ini pasien yang menerima baik carbamazepine atau phenytoin sama-sama
mungkin dan para pasien di phenobarbital atau primidone yang paling tidak
mungkin untuk tetap tinggal pada mereka awalnya ditugaskan pengobatan.
Dengan demikian carbamazepine dan phenytoin dinilai sudah obat-obatan dari
pilihan pertama pada pasien dengan new-onset parsial atau umum kejang.
Carbamazepinewas terkait dengan lebih sedikit sisi effects. Afollow-up belajar
menggunakan metode hampir identik dibandingkan carbamazepine dan valproic
acid. Carbamazepine- dan asam valproic diperlakukan kelompok telah sama
retensi tonic-clonic tarif untuk kejang. Carbamazepine itu unggul valproic untuk
parsial asam asam seizures.valproic disebabkan sedikit lebih efek.
Berbasis di bagian besar di awal uji, VA koperasi carbamazepine
tradisional telah diakui secara luas sebagai AED dari pilihan pertama untuk
kejang parsial. Beberapa newer-generation AEDs bisa membuktikan masuk akal
alternatif. Yang pertama antiepileptic yang baru obat bius itu disetujui sebagai
terapi tambahan bagi pasien dengan refrakter kejang parsial. Uji monotherapy
dengan beberapa agen yang baru ini termasuk lamotrigine, gabapentin,
topiramate, dan oxcarbazepine telah completed. Perbandingan antara
lamotrigine dan lebih tua dan agen termasuk carbamazepine phenytoin sebagai
monotherapy di awal parsial kejang telah dilakukan di eropa, dan hasilnya akan
menyarankan sebanding efektivitas dan mungkin lebih baik tolerability,
khususnya di orang tua pasien. Pengamatan awal dari baru saja menyelesaikan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

56

TABLE 546. Efek Samping Obat Antiepilepsi

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

57

TABEL 54-7. Interaksi Antara Obat antiepilepsi

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

58

TABEL 54-8. Interaksi Dengan Obat Lain

VA koperasi sidang dirancang untuk membandingkan gabapentin,


lamotrigine, dan carbamazepine di baru didiagnosis pasien usia lanjut
menunjukkan keberhasilan gabapentin sebanding dengan lamotrigine dan
carbamazepine dan bahkan mungkin lebih daripada carbamazepine pada
populasi (E. R. Ramsay et al., unpublished data, 2003). Data klinikal
menyarankan bahwa pada pasien yang baru didiagnosa, oxcarbazepine sebagai
efektif sebagai fenitoin, asam valproik, dan segera carbamazepine, dengan
mungkin lebih sedikit efek samping. Menariknya, menutup pemeriksaan konversi
monoterapi uji menyarankan bahwa oxcarbazepine mungkin menunjukkan
kemanjuran bahkan pada pasien yang sebelumnya telah memiliki respon yang
memadai terhadap carbamazepine meskipun kemiripan struktural.
Selain itu, beberapa monoterapi percobaan menggunakan desain kontrol
atau psuedoplacebo yang aktif juga telah dilakukan. Sementara desain studi
tertentu ini menyediakan bukti keampuhan obat-obatan baru, kaperbandingan
antara obat aktif dan plasebo pada pasien yang terus memiliki kejang meskipun
saat ini pengobatan dengan AED standar, sangat sulit untuk membandingkan
efektivitas yang lebih baru secara langsung dengan AED remaja. Meta-analisis
yang dirancang untuk membandingkan beberapa AEDs baru tidak langsung
menemukan bahwa karena lebar dan bertumpuk confidence interval untuk kedua
dan tolerabilitas hasil tindakan, tidak ada perbedaan signifikan secara statistik
antara agen dapat ditemukan. Pada umumnya, AED lebih baru tampaknya
memiliki khasiat sebanding kepada agen remaja dan mungkin lebih baik
ditoleransi.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

59

Sampai saat ini, antara agen baru-generasi, hanya lamotrigine dan


oxcarbazepine telah menerima persetujuan Food and Drug Administration (FDA)
untuk digunakan sebagai monoterapi pada pasien dengan kejang parsial.
Fenobarbital dan primidone ini juga berguna dalam serangan parsial, tetapi obat
penenang dan kognitif efek batas utilitas mereka. Felbamate, yang memiliki
persetujuan monoterapi, efektif tetapi telah dikaitkan dengan beberapa efek
samping yang signifikan. Interpretasi monoterapi percobaan dengan AED baru
bisa menakutkan karena desain studi unik dan populasi pasien tertentu yang
digunakan. Sementara diskusi lengkap mengenai topik ini adalah di luar lingkup
dari bab ini, beberapa ulasan dan analisis telah diterbitkan baru saja.
Terutama generalized kejang seperti ketiadaan kejang dapat merespon
berbeda suatu obat dibandingkan jenis kejang lainnya. Fenitoin, fenobarbital, dan
carbamazepine, meskipun efektif dalam GTC dan parsial kejang, tidak efektif
dalam mengobati ketiadaan kejang dan dalam beberapa kasus dapat memicu
peningkatan aktivitas kejang. Ketiadaan kejang terbaik diperlakukan dengan
ethosuximide, asam valproik, dan mungkin lamotrigine. Levetiracetam,
topiramate, atau zonisamide juga mungkin efektif, meskipun lebih lanjut klinis
data yang diperlukan untuk mengkonfirmasi hal ini. Gabapentin dan tiagabine
tidak muncul untuk menjadi efektif dalam mengobati ketiadaan kejang. Jika
pasien memiliki kombinasi ketidakhadiran dan kejang lain umum atau parsial,
asam valproik adalah pilihan pertama karena AED hanya efektif terhadap
ketiadaan dan jenis kejang. Jika asam valproik tidak efektif dalam mengobati
gangguan kejang campuran yang mencakup ketiadaan, ethosuximide harus
digunakan dalam kombinasi dengan AED lain.
Pengobatan tradisional kejang tonik-klonik adalah fenitoin atau
fenobarbital; Namun, penggunaan asam valproik dan carbamazepine meningkat
karena AED ini memiliki insiden rendah efek samping dan kemanjuran sama.
Asam valproik umumnya dianggap obat pilihan pertama untuk atonic kejang dan
epilepsi Hyperkinesia remaja. Lamotrigine dan mungkin topiramate dan
zonisamide mungkin alternatif agen untuk jenis kejang.
Apa yang telah menjadi jelas adalah bahwa individu dapat bereaksi
berbeda terhadap AED masing-masing dan bahwa pemahaman dari masingmasing dari agen-agen baru ini diperlukan untuk mengoptimalkan terapi untuk
setiap pasien. Dalam kebanyakan kasus, pilihan dari AED tertentu akan
tergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis kejang, karakteristik pasien
yang unik dan profil samping-efek/pharmacokinetic diharapkan AED masingmasing. Sebuah pertanyaan klinis yang penting tetap seperti peran tepat obat
baru-generasi. Sementara beberapa penelitian menyarankan bahwa setidaknya
beberapa dari lebih baru agen mungkin memiliki khasiat sebanding, serta
meningkatkan tolerabilitas, obat remaja, studi banding definitif dengan semua
agen kurang. Dalam ketiadaan uji klinis acak, double-buta dengan semua AED,
panel konsensus kemarin menerbitkan serangkaian pilihan AED pilihan
pengobatan untuk berbagai skenario pasien.
Pertanyaan lain yang sering dihadapi dokter mengelilingi peran terapeutik
obat pemantauan. Meskipun sebagian besar AED remaja telah diterbitkan
kisaran terapeutik, konsentrasi serum harus dipandang sebagai alat yang
digunakan untuk mengoptimalkan terapi untuk pasien individu, bukan sebagai
titik akhir terapeutik dalam dan dari dirinya sendiri. Konsentrasi serum adalah
sasaran yang harus berkorelasi dengan hasil klinis. Respon yang diinginkan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

60

adalah penghentian kejang tanpa efek samping. Kontrol kejang dapat terjadi
sebelum % u201Cminimum % u201D rentang diterbitkan dicapai, dan efek
samping mungkin muncul sebelum % u201Cmaximum % u201D rentang dicapai.
Beberapa pasien mungkin perlu dan mentolerir konsentrasi melebihi maksimum.
Kisaran terapeutik untuk AED mungkin berbeda untuk jenis berbeda kejang.
Konsentrasi serum mungkin perlu lebih tinggi untuk mengontrol kejang parsial
kompleks daripada untuk mengontrol kejang tonik-klonik. Klinisi harus
menentukan berbagai terapi untuk pasien individu diatas yang ada efek samping
dan di bawah ini yang pasien mengalami kejang. Sfat menanggapi AED dapat
berubah sebagai pasien usia karena pasien usia lanjut mungkin lebih sensitif
terhadap berbagai neurokognitif efek samping obat ini. Seiring dengan ini, pasien
usia lanjut mungkin menunjukkan kemanjuran (misalnya, kontrol kejang) pada
konsentrasi serum yang relatif lebih rendah serta. Sampai saat ini, rentang
konsentrasi terapeutik tidak telah didirikan secara meyakinkan untuk obat-obatan
baru-generasi.

PERTIMBANGAN TERAPETIK PADA WANITA


Banyak hormon pengaruh otak rangsangan listrik, dan hormon steroid estrogen
dan progesteron dapat berinteraksi dengan cara yang kompleks untuk mengubah
Involuntary saraf dan protein synthesis. Estrogen memiliki efek yang
mengaktifkan
kejang,
sedangkan
progesteron
diberikannya
efek
seizureprotective. Estrogen memiliki efek penghambatan pada reseptor GABA,
mempotensiasi rangsang glutaminergic aktivitas, dan mungkin mempromosikan
perkembangan kayu bakar. Progesteron memiliki efek sebaliknya dan tampaknya
aktivitas potentiateGABAreceptor dan mengurangi tingkat debit yang saraf. AED,
terutama hepatik metabolisme inducers enzim, juga mempengaruhi hormon
dengan meningkatkan metabolisme hormon steroid dan merangsang produksi
hormon seks binding globulin. Ini dapat mengakibatkan penurunan fraksi
unbound hormon. Enzim-merangsang AED, termasuk topiramate dan
oxcarbazepine pada dosis yang lebih tinggi, dapat menyebabkan kegagalan
pengobatan pada wanita menggunakan kontrasepsi oral karena induksi kedua
estradiol etinil estradiol dan progestin metabolisme. Bentuk tambahan
pengendalian kelahiran selain kontrasepsi oral disarankan jika terobosan
perdarahan terjadi. Asam valproik, benzodiazepin dan sebagian besar AED baru
seperti lamotrigine, gabapentin, levetiracetam, tiagabine, dan zonisamide tidak
inducers enzim dan tidak telah dikaitkan dengan efek ini.
Pada beberapa wanita, kerentanan terhadap kejang tertinggi sebelum
dan selama aliran menstruasi (catamenial kejang) dan pada waktu ovulasi. Risiko
catamenial epilepsi diperkirakan 12.5%, tetapi hal ini dapat terjadi dalam
sebanyak 50% perempuan dengan epilepsi. Pola exacerbation penyitaan
mungkin berhubungan dengan progesteron penarikan dan perubahan dalam
rasio estrogen-untuk-progesteron. AED konvensional harus mencoba pertama
dalam perempuan. Intermiten acetazolamide juga telah digunakan, tetapi dengan
keberhasilan variabel dan terbatas. Terapi hormon dengan agen progestational,
terapi progesteron alami terutama siklik, juga mungkin efektif. Gangguan
endokrin reproduksi umum pada wanita dengan epilepsi dan termasuk
ketidakteraturan menstruasi, infertilitas, disfungsi seksual, dan kemungkinan
peningkatan risiko sindrom ovarium polikistik. Potensi mekanisme untuk
gangguan ini termasuk gangguan hipotalamus-pituitaryadrenal (HPA) AXIS

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

61

melalui pelepasan kejang dalam struktur limbik dan/atau AEDs. AED, khususnya
enzim-merangsang agen (misalnya, carbamazepine, phenytoin, dan
fenobarbital), juga dapat mempengaruhi fungsi HPA dengan mengubah
metabolisme hormon seks neuroactive, termasuk testosteron. Meskipun
hubungan sebab-akibat definitif belum didirikan, peningkatan jelas terjadinya
sindrom ovarium polikistik telah diusulkan untuk wanita dengan epilepsi yang
menerima asam valproik.
Kehamilan
menimbulkan
keprihatinan,
termasuk
kemungkinan
peningkatan ibu kejang, komplikasi kehamilan, dan outcome. janin merugikan
sekitar 25% untuk 30% dari perempuan telah meningkat kejang selama
kehamilan, sedangkan kejang penurunan jumlah yang sama. Meningkatnya
penyitaan activitymayresult dari efek langsung pada ambang kejang atau
pengurangan AED konsentrasi. Peningkatan cukai telah dilaporkan untuk
fenitoin, carbamazepine, fenobarbital, ethosuximide, lamotrigine, dan
clorazepate. Protein yang mengikat juga dapat berubah. Disposisi berubah AED
mungkin mulai sedini 10 minggu pertama kehamilan dan dapat mengambil
hingga 4 minggu pasca melahirkan kembali normal. Kembali ke nonpregnant
metabolisme dan mengikat membutuhkan lagi untuk carbamazepine dan
fenobarbital daripada yang dilakukannya untuk fenitoin. Ada insiden yang lebih
tinggi dari hasil buruk kehamilan pada wanita dengan epilepsi. Meskipun risiko
malformasi kongenital 4%- 6% (dua kali sebagai tinggi seperti perempuan
nonepileptic), lebih dari 90% kehamilan pada ibu epilepsi memiliki hasil yang
memuaskan. Barbiturat dan fenitoin yang berhubungan dengan malformasi
jantung bawaan, liang-liang orofacial dan malformasi lainnya. Asam valproik dan
carbamazepine yang berhubungan dengan spina bifida (neural tube Cacat) dan
Hipospadia. Risiko neural tube Cacat dengan asam valproik, carbamazepine
telah diperkirakan menjadi 0,5% sampai 1%, masing-masing, dan tampaknya
terkait dengan paparan obat selama kehamilan hari 0-28. Hasil kehamilan yang
merugikan lainnya terkait dengan ibu kejang tetapi tidak selalu disebabkan oleh
AED pertumbuhan, psikomotorik, dan keterbelakangan mental. Wanita dengan
epilepsi juga lebih mungkin untuk memiliki keguguran, dan 10% sampai 20% dari
bayi yang lahir dengan berat lahir rendah. Pedoman telah dikembangkan untuk
konseling dan mengelola hamil dengan epilepsi.
Banyak efek teratogenic ini dapat dicegah dengan asupan folat yang
memadai, oleh sebab itu vitamin dengan asam folat pralahir ( 0.4 - 5 mg per hari
) harus diberikan kepada setiap wanita child-bearing potensi yang mengambil
aeds.39 folat lebih tinggi dosis harus digunakan pada wanita dengan sejarah dari
sebelumnya kehamilan dengan sebuah tabung saraf cacat. Dosis yang lebih
tinggi dan serum aed konsentrasi, polytherapy, dan keluarga sejarah cacat lahir
muncul untuk meningkatkan risiko teratogenic. Karena itu, memutuskan pada
pengobatan sebelum single-drug yang paling efektif untuk konsepsi ini sangat
penting. Baru AED dilaporkan kurang teratogenik, dan studi hewan Toksikologi
reproduksi muncul untuk menjadi menguntungkan. Saat ini, data klinis sangat
terbatas, dan lebih banyak pengalaman diperlukan sebelum risiko benar (atau
ketiadaan) dapat ditentukan. AED juga dapat mengakibatkan gangguan
hemoragik neonatal. Vitamin K 10 mg lisan diberikan kepada ibu setiap hari
selama satu bulan terakhir kehamilan harus mencegah koagulopati ini.
Meskipun AED lulus ke ASI, konsentrasi sangat rendah, dan bayi
menerima dosis kantong. Secara umum, pengetahuan tentang tingkat protein
yang mengikat AED diberikan memungkinkan untuk prediksi akumulasi susu

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

62

payudara, dengan obat-obatan dengan kurang protein yang mengikat partisi


lebih. Pengobatan dengan AED ini tidak perlu alasan untuk mengendurkan
semangat pemberian ASI. Disarankan bahwa perempuan yang mengambil
anyAED (terutama barbiturat atau benzodiazepin) erat mengamati bayi untuk
tanda-tanda sedasi kelebihan, lekas marah, atau miskin makan.
Sedikit yang diketahui mengenai efek menopause pada epilepsi. Periode
perimenopausal dapat dikaitkan dengan memburuknya kejang, mungkin karena
fluktuasi dalam hormon seks. Pada menopause, kejang benar-benar dapat
meningkatkan, terutama pada wanita yang sebelumnya diajukan dengan pola
catamenial. Efek terapi penggantian hormon pada kontrol penyitaan masih belum
jelas, tetapi dokter harus memantau untuk kejang exacerbation pada wanita
menerima tambahan estrogen.
PERTIMBANGAN KLINIS DENGAN OBAT-OBATAN TERTENTU
Tabel 54-5 sampai daftar 54 - daftar 9 pharmacokinetic tertentu dan khas untuk
setiap dosing data umum digunakan aeds. Di bawah kita meringkas sifat relatif,
keuntungan dan kelemahan, dan perspektif untuk tempat dalam terapi setiap
agen ini

CARBAMAZEPINE
Farmakologi dan tindakan dari mekanisme. Mekanisme yang tepat dengan
mana carbamazepine penyitaan menekan menyebar yang tidak jelas, meskipun
hal ini diyakini untuk bertindak terutama melalui inhibisi dari voltagegated
channels.
Farmakokinetik. Penyerapan carbamazepine dari segera-rilis tablet lambat dan
tidak menentu karena kelarutan dalam air rendah. Ada juga variabilitas yang
besar di puncak di-palung konsentrasi hingga 40%. Ada tidak ada pertama-pass
metabolisme. Makanan dapat meningkatkan ketersediaanhayati carbamazepine.
Bentuk sediaan suspensi diserap lebih cepat daripada tablets.41 dikendalikanrelease (Tegretol-XR) dan berkelanjutan-release (Carbatrol) persiapan juga
tersedia. Bentuk-bentuk dosis yang bioekuivalen dalam dua kali sehari (setiap 12
jam) untuk dosis empat kali sehari (setiap 6 jam) dengan segera carbamazepine.
Dibandingkan dengan immediaterelease carbamazepine, kedua formulasi
tersebut memiliki puncak yang lebih rendah dan palung lebih tinggi, yang dapat
mengurangi efek samping dan meningkatkan kontrol kejang. Pasien harus diberi
tahu untuk mengambil tegretol-xr dengan makanan dan bahwa casing akan
diekskresikan dalam kotoran. Tegretol-xr tidak dapat rusak atau hancur.
Tegrtetol-xr dan carbatrol tampaknya bioequivalent; namun, ada kurang
variabilitas dalam penyerapan carbatrol.
Carbamazepine adalah netral dan sangat lipofilik obat yang
mengakibatkan mengikat jaringan tubuh yang tinggi. Ini mengikat untuk 1 - asam
glikoprotein dan albumin. Kebanyakan (98% untuk 99%) dosis diberikan
carbamazepine dimetabolisme oleh hati, terutama oleh menghambat CYP3A4.
Metabolite utama adalah carbamazepine-10,11-epoxide, 41 yang memiliki
kegiatan antikonvulsan pada hewan dan manusia. Pembentukan dari 10,11epoxide sangat dipengaruhi oleh bersamaan menggunakan enzymeinducing lain

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

63

atau enzyme-inhibiting obat-obatan; dengan demikian konsentrasi 10,11-epoxide


dapat mengubah dengan administrasi obat lain ( misalnya, valproate dan
felbamate ) dengan tidak adanya perubahan pada carbamazepine konsentrasi.
Carbamazepine memiliki kemampuan unik untuk merangsang
metabolisme sendiri (autoinduction). Paruh setelah dosis tunggal lebih lama
daripada waktu paruh setelah terapi kronis. Kehadiran enzim-merangsang obat
mengurangi half-life bahkan lebih. Efek enzymeinduction dimulai dalam waktu 3
sampai 5 hari inisiasi terapi dan mengambil 21-28 hari untuk menyelesaikan.
Oleh karena itu, mungkin untuk mencapai konsentrasi awal yang berada dalam
kisaran terapeutik, tetapi memiliki konsentrasi jatuh meskipun terapi terus dengan
baik kepatuhan. Beberapa pasien yang merespon dengan baik untuk terapi awal
diberi label refrakter atau noncompliant jika fenomena autoinduction tidak
dianggap. Yang autoinduction membalikkan dengan cepat jika terapi dengan
carbamazepine adalah dihentikan sementara. Ini akan menjadi sangat penting
dalam epilepsi memantau unit di mana semua obat yang berhenti dalam upaya
untuk precipitate kejang pada pasien yang dievaluasi untuk kejang operasi.

Efek yang merugikan. Efek samping (Lihat tabel 54 - 6) dari carbamazepine


dapat berfluktuasi setiap harinya, mengikuti hambatan sebagaimana kenaikan
dan penurunan konsentrasi serum. Profil efek samping juga dapat mengikuti
ritme sirkadian. Neurosensory efek samping (misalnya, diplopia, penglihatan
kabur, nistagmus, ataksia, getaran, pusing, dan sakit kepala) yang paling umum,
terjadi di 35% - 50% dari pasien. Efek samping lebih umum saat perpeloncoan
terapi dan dapat menghilang dengan pengobatan terus menerus. Pasien memiliki
konsentrasi ambang variabel untuk terjadinya efek samping CNS. Jika
konsentrasi serum carbamazepine disimpan di bawah ambang individu, efek
samping CNS dapat diminimalkan. Dosis manipulasi, termasuk penggunaan
persiapan dikendalikan - atau berkelanjutan-release, harus diadili sebelum
pasien dianggap tidak toleran terhadap carbamazepine. Carbamazepine dapat
menyebabkan kondisi hyposmolar cairan yang mirip dengan sindrom sekresi
hormon antidiuretik. Kejadian dapat meningkatkan dengan usia. Penentuanpenentuan periodik natrium serum yang disarankan, terutama pada orang tua.
Trombositopenia dan anemia yang relatif jarang peristiwa yang biasanya
menanggapi obat menyinggung. Leukopenia adalah efek samping yang paling
umum Hematologi. Insiden setinggi 10% telah dilaporkan. Leukopenia biasanya
bersifat sementara, bahkan ketika obat dilanjutkan, dan mungkin karena
redistribusi sel darah putih (WBCs) daripada penurunan dalam produksi mereka.
Di sekitar 2% pasien, leukopenia terus-menerus, tetapi bahkan pasien dengan
jumlah WBC 3000 mm3 atau kurang tampaknya tidak memiliki peningkatan
insiden infeksi. Panduan klinis adalah untuk melanjutkan terapi carbamazepine
kecuali WBC menghitung tetes untuk kurang dari 2500/mm3 dan tetes neutrofil
mutlak untuk kurang dari 1000/mm3.
Ruam yang paling sering respon hipersensitivitas. Sebuah insiden sekitar
10 % telah dilaporkan. Pudding ini agak eczematous tapi mungkin kemajuan
untuk stevens-johnson sindrom. Efek samping yang langka lainnya dilaporkan
dengan carbamazepine termasuk hepatitis, osteomalacia, cacat, konduksi
jantung dan reaksi seperti lupus.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

64

TABEL 54-9. Dosis dan Target Ranges Konsentrasi Serum AED

Interaksi obat. Karena bergantung pada konsentrasi efikasi dan efek samping,
interaksi obat dengan carbamazepine sering sangat signifikan klinis. Asam
valproik meningkatkan metabolit 10,11-epoxide konsentrasi tanpa mempengaruhi
konsentrasi carbamazepine melalui penghambatan epoxide hydrolase. Obat
yang menghambat menghambat CYP3A4 berpotensi dapat meningkatkan
konsentrasi serum carbamazepine. Carbamazepine dapat berinteraksi dengan
obat lain dengan merangsang metabolisme mereka.

Dosis dan administrasi. Kontribusi variabel metabolit 10,11-epoxide dan


carbamazepine gratis konsentrasi telah membatasi definisi yang tepat kisaran
terapeutik. Dosis pemuatan carbamazepine ditunjukkan hanya untuk pasien sakit
kritis. Selama dosis titrasi, harus diingat bahwa carbamazepine clearance
meningkatkan dengan waktu. Dosis dapat dimulai pada seperempat sepertiga
dosis pemeliharaan diantisipasi dan meningkat setiap 2 sampai 3 minggu.
Karena auto - dan heteroinduction carbamazepine metabolisme, diperlukan
untuk mengelola obat dua sampai empat kali sehari. Dikontrol - dan
berkelanjutan rilis formulasi menyediakan lebih sedikit puncak di-palung fluktuasi,
yang dapat meningkatkan kepatuhan, mengurangi efek samping, dan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

65

meningkatkan kontrol kejang. Carbamazepine tablet tidak akan disimpan di


tempat mana mereka akan terkena panas tinggi dan kelembaban yang tinggi.

Keuntungan. Carbamazepine disetujui sebagai AED pada tahun 1974 dan telah
diteliti dengan baik. Bentuk padat dan cair sediaan oral segera - dan
diperpanjang-rilis tersedia. Bentuk sediaan oral yang padat tersedia sebagai
segera-rilis tablet dan kapsul berkelanjutan rilis dan dikendalikan-release tablet.
Bentuk sediaan berkelanjutan - dan controlledrelease memungkinkan untuk dua
kali sehari-dosing untuk mengurangi puncak-ke-palung fluktuasi. Dibandingkan
dengan AED generasi pertama lainnya, carbamazepine menyebabkan kerusakan
kognitif minimal.

Kerugian. Carbamazepine memiliki metabolit aktif yang dapat berkontribusi


terhadap efektivitas dan toksisitas. Obat lain dapat mengubah konsentrasi
metabolit ini tanpa mengubah konsentrasi carbamazepine orangtua. Ini
menyebabkan metabolisme sendiri, yang memerlukan hati-hati dosis titrasi. Ini
juga menyebabkan metabolisme obat lain, dan obat lain dapat berinteraksi
dengan itu dan/atau metabolit aktif. Ada tidak formulasi parenteral. Ada secara
bermakna CNS efek samping termasuk sedasi. Mungkin ada lebih sedikit efek
samping dengan formulasi berkelanjutan - atau dikendalikan-rilis, tapi ini belum
dievaluasi prospektif. Carbamazepine telah dikaitkan dengan risiko 1% spina
bifida. Penggunaan carbamazepine kronis juga telah dikaitkan dengan
perubahan dalam kepadatan mineral tulang pada beberapa studi. Formulasi
generik segera-rilis tablet telah dikaitkan dengan terobosan kejang ketika merek
telah beralih.

Tempat terapi. Carbamazepine harus dipertimbangkan firstline terapi untuk


pasien dengan kejang parsial yang baru didiagnosa dan untuk pasien dengan
utama generalized menggoncangkan kejang yang tidak berada dalam situasi
yang muncul.

ETHOSUXIMIDE

Farmakologi dan mekanisme kerja. Mekanisme yang tepat dari tindakan


ethosuximide tetap sulit dipahami. Usulan mekanisme meliputi penghambatan
Aldehida
terkait
NADPH-reduktase,
penghambatan
sistem
natriumpotassiumATPase, penurunan noninactivating Na arus, pemblokiran Ca2tergantung K saluran, dan inhibisi Ca2 T-jenis saluran arus.

Pharmacokinetics. Metabolisme terjadi dalam hati oleh hydroxylation, dan dari


miseliumnya diyakini tidak aktif. Ada beberapa bukti dari proses metabolisme
nonlinear konsentrasi lebih tinggi.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

66

Efek yang merugikan. Yang paling sering dilaporkan efek samping mual dan
muntah (sampai dengan 40%), dan gejala-gejala dapat diminimalkan dengan
pemberian dosis yang lebih kecil dan lebih sering dosing. Efek samping yang
umum lainnya meliputi kantuk, kelelahan, kelesuan, pusing, cegukan, dan sakit
kepala. Jarang, istimewa reaksi seperti ruam, lupus dan darah dyscrasias telah
dilaporkan.

Interaksi obat. Karena ethosuximide tidak terikat protein, perpindahan interaksi


tidak dapat terjadi. Metabolisme ethosuximide dapat disebabkan oleh
carbamazepine. Interaksi yang kompleks antara asam valproik dan ethosuximide
telah dilaporkan. Asam valproik dapat menghambat metabolisme ethosuximide,
tetapi hanya jika metabolisme ethosuximide dekat saturasi.

Dosis dan administrasi. Dosis loading ethosuximide tidak diperlukan. Titrasi


selama 1-2 minggu untuk dosis pemeliharaan 20 mg/kg per hari biasanya hasil
dalam konsentrasi kurang lebih 50 mcg/ml. Data menunjukkan bahwa pasien
dapat dikelola berhasil pada terapi sekali sehari; Namun, kesulitan pencernaan
tampaknya terkait dosis, dan dosis harian total biasanya dibagi menjadi dua
dosis yang sama.

Keuntungan. Obat ini sangat efektif dalam pengobatan kejang ketiadaan. Ini
adalah umum ditoleransi dengan baik dan memiliki beberapa pharmacokinetic
interaksi.

Kerugian. Ethosuximide ini memiliki spektrum aktivitas yang sangat sempit.


Tempatkan dalam terapi. Ethosuximide masih merupakan pengobatan lini
pertama untuk ketiadaan kejang.

FELBAMET

Farmakologi dan mekanisme kerja. Felbamate muncul untuk bertindak sebagai


antagonis dari reseptor glisina situs di n-methyl- d-aspartate ( nmda ) reseptor.
Aksi ini menghambat inisiasi dan menyebarkan seizures.20 itu juga dapat
menghambat peningkatan nmda / glycinestimulated intraselular ca2 +.

Farmakokinetik. Felbamate yang cepat dan baik diserap. Penyerapan tidak


terpengaruh oleh makanan atau antasid Heartburn. Sekitar 40% untuk 50% dosis
felbamate dimetabolisme oleh hidroksilasi dan berubah konjugasi jalur di dalam
hati, dengan sisanya yang diekskresikan dalam urin. Felbamate menampilkan
linier farmakokinetik.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

67

Efek yang merugikan. Efek samping yang paling sering dilaporkan dengan
felbamate sebelum pemasaran yang anorexia, penurunan berat badan,
insomnia, mual, dan sakit kepala. Anorexia dan berat badan mungkin terutama
bermasalah pada anak-anak dan pada pasien dengan berkurang asupan kalori.
Selain itu, sakit kepala sesekali dapat parah. Setelah sekitar 1 tahun
penggunaan umum dan 100.000 pasien, kata penggunaan felbamate ditemukan
terkait dengan anemia aplastik dan gagal hati akut. Serangan itu antara 68 dan
354 hari terapi. Perkiraan tingkat terjadinya aplastic anemia adalah 1 dalam
3.000 dan hepatitis adalah 1 dalam 10.000. Awalnya, tidak ada hubungan
dengan dosis dan tidak predictors dari yang lebih mungkin untuk
mengembangkan ini reaksi yang mengancam keselamatan jiwanya itu jelas. Data
yang sekarang muncul menunjukkan peningkatan risiko bagi aplastic anemia
pada pasien, khususnya kaum wanita, dengan sejarah cytopenia, aed racun,
alergi atau signifikan infeksi virus, dan / atau immunologic masalah.

Interaksi obat. Felbamate menghambat yang clearance dan meningkatkan


konsentrasi phenytoin, serum valproic asam, dan phenobarbital. Konsentrasi
carbamazepine menurun pada pasien di bersamaan dengan sekunder untuk
terapi felbamate enzim induksi; namun, konsentrasi dari 10,11-epoxide
metabolite meningkat. Hal ini merekomendasikan bahwa dosis phenytoin,
carbamazepine, dan asam valproic menjadi berkurang sekitar 30 % ketika
felbamate ditambahkan. Felbamate tidak muncul untuk berinteraksi dengan baik
gabapentin atau lamotrigine. Phenytoin dan carbamazepine yang enzim inducers
dan telah terbukti meningkatkan clearance dari felbamate. Interaksi dengan
warfarin juga telah dilaporkan.

Dosis dan administrasi. Berbagai terapi untuk felbamate belum ditetapkan.


Obat tertutup untuk respon klinis. Jika felbamate digunakan sebagai monoterapi,
dosis dimulai 1200 mg/hari (15 mg/kg pada anak-anak) dan kemudian meningkat
sebesar 600 mg setiap 2 minggu sampai dengan dosis maksimum 3600 mg (45
mg/kg pada anak-anak).

Keuntungan. Felbamate memiliki mekanisme unik dari tindakan. Hal ini disetujui
untuk mengobati lemah kejang pada pasien dengan lennox Gastaut sindrom dan
efektif dalam mengobati pasien dengan sebagian kejang.

Kelemahan. Penggunaan felbamate dibatasi oleh asosiasi dengan anemia


aplastik dan hepatotoxicity, serta beberapa interaksi obat.

Tempat terapi. Agen ini harus disediakan untuk pasien tidak menanggapi aeds
lain.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

68

GABAPENTIN
Farmakologi dan mekanisme kerja. Gabapentin dirancang untuk menjadi
agonis GABA tetapi tidak bereaksi pada reseptor GABA, mengubah GABA
penyerapan atau mengganggu GABA transaminase. Gabapentin muncul untuk
mengikat asam amino pembawa protein dan muncul untuk bertindak pada
reseptor unik. Gabapentin juga dapat memodulasi channels.20 Ca2 sensitif
tegangan tertentu itu mengangkat tingkat GABA otak manusia, mungkin melalui
perubahan GABA sintesis atau pembalikan transporter GABA saraf,
mengakibatkan nonvesicular pelepasan GABA.

Pharmacokinetics. Gabapentin adalah substrat dari asam l-amino protein


pengangkut dalam usus sistem ( l ), seperti yah seperti dalam cns. Asam amino
protein pengangkut mengangkut obat tersebut di seberang usus oleh aktif
membran sebuah proses. Pengikatan dari gabapentin untuk sistem ini adalah
saturable, dan gabapentin karena itu menampilkan dose-dependent
bioavailability yang muncul untuk bervariasi jauh antara individuals. Makanan,
termasuk makanan yang kaya kaya protein, tidak muncul untuk mengganggu oral
konsentrasi gabapentin absorption. Dalam manusia csf apakah 5 % untuk 35 %
dari tingkat, plasma konsentrasi yang dan tisu apakah sekitar 80 % dari tingkat.
plasma Karena gabapentin dihilangkan secara eksklusif oleh ginjal, penyesuaian
dosis akan akan diperlukan pada pasien dengan ginjal secara signifikan
gangguan fungsi. Dalam anuric pasien, 35 % dari gabapentin dihapus oleh
dialisis.

Efek yang merugikan. Kelelahan, somnolence, pusing, dan ataksia yang paling
sering dilaporkan efek samping. Ruam adalah jarang dengan ini agen. Efek
samping lainnya dilaporkan termasuk nistagmus, getaran, dan diplopia. Perilaku
agresif telah disampaikan dalam children.52 cns efek dari gabapentin yang
umumnya kurang dari mereka aeds tradisional. Beberapa clinicians telah
mencatat bahwa pasien mungkin mendapatkan berat sedangkan pada
gabapentin.

Interaksi obat. Gabapentin tidak mendorong atau menghambat enzim hati, oleh
sebab itu interaksi obat kemungkinan tidak akan terjadi dengan gabapentin. Ada
10 persen pengurangan di clearance dari gabapentin pada pasien mengambil
cimetidine dan 20 % pengurangan di bioavailability jika aluminium antacids yang
diambil secara bersamaan dengan gabapentin. Interaksi ini yang tidak mungkin
klinis.

Dosis dan administrasi. Khas dosis awal dari gabapentin apakah 300 mg pada
waktu tidur di hari pertama, meningkatkan untuk 900 mg / hari selama 3 hari.
Lebih cepat titrasi tarif ( misalnya, mulai pukul 300 untuk 900 mg tiga kali setiap
hari ) telah yah tolerated.53 produsen merekomendasikan dosis pemeliharaan
1800 untuk 2400 / mg hari, tapi dosis yang lebih tinggi ( 5000 untuk 10.000 mg /

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

69

hari ) telah digunakan dengan aman. Hal ini penting bahwa clinicians titrate obat
ini untuk efek agak yang satu set mutlak dosis yang terbentuk sebelumnya
narkoba. Namun, hal ini tidak jelas jika dosis yang lebih tinggi dari gabapentin
harus yang diberikan lebih sering dari tiga kali per hari karena saturable
absorption.54 gabapentin tidak muncul untuk diserap rectally. Tahap akhir yang
pasien dengan penyakit ginjal dipertahankan pada hemodialysis harus menerima
sebuah 300- awal untuk 400-mg dengan 200 dosis untuk 300 mg gabapentin
yang diberikan setelah setiap 4 jam dari hemodialysis.

Keuntungan. Gabapentin memiliki mekanisme ganda dari tindakan dan adalah


mechanistically yang berbeda dari generasi pertama aeds. Hal ini tidak
mengalami dan diekskresikan tidak berubah oleh ginjal. Gabapentin yang punya
keuntungan tambahan dari yang luas indeks terapeutik dengan minimal efek
samping cns dan tidak ada interaksi narkoba. Bisa dosis menjadi meningkat
dengan cepat.

Kekurangan. Gabapentin diserap oleh sebuah proses yang aktif saturates pada
dosis yang lebih tinggi. Mungkin memerlukan ini lebih sering dosing harian untuk
pasien yang membutuhkan lebih besar daripada dosis 3600 mg / hari. Melebihi
dosis 3600 mg / hari yang terdaftar pada maksimum paket tersebut memasukkan
mungkin diperlukan pada beberapa pasien untuk mencapai penyitaan
pengampunan. Tidak ada perumusan parenteral.

Tempat di terapi. Gabapentin adalah sebuah agen second-line bagi pasien


dengan sebagian kejang yang telah gagal awal pengobatan. Selain itu, meskipun
monotherapy pengadilan tidak membuktikan khasiat dalam sebelumnya
didiagnosa refraktori pasien, mungkin ada peran untuk obat ini pada pasien
dengan gangguan penyitaan, kurang parah seperti new-onset epilepsi, parsial
terutama pada orang tua pasien. Gabapentin juga telah terbukti dapat berguna
dalam pengobatan nyeri kronis dan kondisi nonepilepsy lain.

LAMOTRIGINE

Farmakologi dan mekanisme kerja . Sebuah mekanisme utama tindakan untuk


lamotrigine muncul untuk menjadi blokade dari akses saluran natrium yang
kedua voltage- dan use-dependent. Lamotrigine menghasilkan dose-dependent
inhibisi dari aktivasi tegangan tinggi + ca2 arus, mungkin melalui inhibisi dari
presynaptic ca2 tipe-n + saluran, dan blok rilis excitatory neurotransmitter asam
amino seperti glutamat dan aspartate.
Pharmacokinetic. Lamotrigine benar-benar dan cepat diserap, dengan
bioavailability dari 98 %. Makanan tidak mempengaruhi secara signifikan
penyerapan obat. Lamotrigine juga diserap setelah p4b, dubur meski daerah di
bawah rata-rata kurva ( auc ) adalah sekitar 50 persen dari yang dicapai dengan
administrasi. lisan Lamotrigine adalah approximately 55 % terikat dengan plasma

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

70

protein. Lamotrigine secara luas hepatically mengalami oleh udp-glucuronosyl


tranferase ( UGT 1A4 ), yang tidak aktif. Penghapusan ginjal tidak berubah obat
menyumbang kecil dikelola dosis kecil (<10 % ). Ketika diberikan sebagai
monotherapy pada orang dewasa, penghapusan lamotrigine umur adalah sekitar
24 hingga 29 jam. Lamotrigine clearance lebih tinggi pada anak-anak dan lebih
rendah di tetua. dibandingkan dengan dewasa muda. Hanya ada perbedaan
sederhana di pharmacokinetics dari lamotrigine pada orang tua dan muda mata
pelajaran. Penyakit hati, tergantung pada tingkat keparahan, dapat
mempengaruhi lamotrigine pharmacokinetics. Sekitar 17 persen dari sebuah
lamotrigine dosis dapat dihapus oleh hemodialysis, dengan umur menjadi
berkurang sekitar 13 jam. Untuk para pasien di cuci darah umur yang jauh lebih
berkepanjangan antara dialyses ( 57.4 jam ) tetapi lebih pendek selama dialisis (
13 jam ).
Terdefinisi dengan baik - berbagai serum konsentrasi efek belum
didirikan. Umur yang berkepanjangan pada pasien dengan gagal ginjal.

Efek yang merugikan. Yang paling sering dilaporkan efek samping dari
lamotrigine meliputi diplopia, kantuk, ataksia, dan efek headache.55 lebih umum
ketika lamotrigine diberikan dalam kombinasi dengan AED lainnya (misalnya,
diplopia ketika diberikan bersamaan dengan carbamazepine atau getaran
dengan asam valproik) dibandingkan dengan monoterapi dan dengan demikian
dapat sfat di alam. Lamotrigine dapat menyebabkan ruam, yang biasanya muncul
dalam 3 sampai 4 minggu pertama terapi. Ruam biasanya umum, erythematous,
dan morbilliform dan umumnya ringan sampai sedang dalam tingkat keparahan.
Namun, reaksi Stevens-Johnson juga telah dilaporkan. Beberapa ruam,
khususnya yang mengembangkan lebih awal, mungkin memerlukan penarikan
lamotrigine. Faktor risiko untuk munculnya lebih serius ruam muncul untuk
menjadi seiring penggunaan asam valproik dan situasi di mana dosis awal yang
tinggi atau dosis cepat eskalasi digunakan. Data dari beberapa uji Eropa
monoterapi menyarankan bahwa ketika tertutup dengan tepat, insiden ruam dari
lamotrigine mirip dengan remaja agen seperti carbamazepine dan fenitoin.
Insiden juga mungkin lebih tinggi pada anak dibandingkan pada orang dewasa.
Lamotrigine tampaknya tidak menyebabkan perubahan signifikan dalam berat
badan.

Interaksi obat. Lamotrigine tidak menghambat atau menginduksi enzim hati dan
memiliki lowpotential untuk pharmacokinetic interaksi dengan obat lain.
Lamotrigine tidak mengganggu kontrasepsi oral. Metabolisme lamotrigine,
namun, menampilkan variabilitas interpatient yang besar, dan plasma clearance
dapat berubah dengan terapi bersamaan dengan obat lain. Lamotrigine
penghapusan paruh dikurangi dengan sekitar 50% di hadapan merangsang obatobatan, seperti carbamazepine, fenobarbital, primidone, dan phenytoin. Seiring
pengobatan dengan kontrasepsi oral dapat mengakibatkan penurunan
konsentrasi serum lamotrigine. Sementara interaksi ini tidak didefinisikan dengan
jelas, hal ini dapat berspekulasi untuk hasil dari induksi lamotrigine
glucuronidation oleh komponen estradiol etinil pil. Namun, lamotrigine tidak
muncul untuk mempengaruhi pharmacokinetics dari estrogen atau progestin
komponen persiapan ini.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

71

Asam valproik menghambat kliring lamotrigine. Penghambatan


metabolisme lamotrigine oleh asam valproik substansial dan tampaknya terjadi
bahkan pada konsentrasi serum sangat rendah. Maksimal penghambatan
lamotrigine oleh asam valproik tampaknya terjadi pada konsentrasi dosis/serum
asam valproik 500 mg/hari dan 40% - mcg/mL, masing-masing. Secara klinis, ini
berarti bahwa untuk mencapai konsentrasi plasma diberikan setiap, dosis
pemeliharaan yang lebih besar dari lamotrigine mungkin diperlukan dalam
kehadiran inducer dibandingkan dengan monoterapi, sedangkan dosis yang lebih
rendah mungkin diperlukan ketika diberikan dengan asam valproik. Interaksi sfat
yang dapat terjadi dengan terapi serentak carbamazepine, mengarah ke
peningkatan CNS efek samping.

Dosis dan administrasi. Pada pasien yang mengambil obat-obatan


enzymeinducing, lamotrigine dapat dimulai lebih cepat dibandingkan pada pasien
yang menerima asam valproik. Dosis pemeliharaan juga berbeda (Lihat tabel 549). Dosis berbeda ini sangat penting karena hubungan antara asam valproik
ruam, seiring, dan tingkat eskalasi dosis. Penghapusan inducers dari rejimen
lamotrigine mungkin memerlukan penurunan dosis lamotrigine, sedangkan
penghapusan asam valproik mungkin memerlukan peningkatan dosis
lamotrigine. Dispersable tablet tersedia untuk pasien yang tidak dapat menelan
solid lisan.
Keuntungan. Lamotrigine adalah berpotensi AED spektrum luas, memiliki
khasiat dalam serangan parsial serta beberapa jenis umum kejang. Tersedia
bentuk sediaan pediatrik. Itu tidak mendorong atau menghambat metabolisme
AED lainnya. Lamotrigine linear farmakokinetik dan tidak sangat terikat protein.
Lamotrigine tampaknya menjadi umum ditoleransi dengan baik pada pasien
dewasa anak-anak dan orang tua dan tidak menyebabkan penambahan berat
badan.

Kerugian. Lamotrigine ini terkait dengan ruam, terutama pada pasien yang mulai
dengan dosis tinggi, memiliki eskalasi dosis cepat, dan mengambil asam valproik
bersamaan. Oleh karena itu, dosis awal harus rendah (menurunkan jika pasien
pada asam valproik) dan meluas perlahan-lahan untuk memaksimalkan
keselamatan pasien. Ada tidak ada bentuk parenteral dosis.

Tempat terapi. Lamotrigine berguna sebagai pengobatan adjunctive kedua


pada pasien dengan kejang parsial dan sebagai monoterapi. Lamotrigine
tampaknya memiliki efektivitas sebanding dengan AED lebih tradisional seperti
carbamazepine dan fenitoin pada pasien ini bila digunakan sebagai monoterapi.
Selain itu, lamotrigine mungkin berguna terapi alternatif pada pasien dengan
jenis utama kejang umum seperti ketiadaan.
LEVETIRACETAM

Farmakologi dan mekanisme kerja. Levetiracetam, S-enantiomer pyrolidone


derivitive, kimiawi berkaitan dengan AED lainnya tersedia. Sedangkan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

72

mekanisme yang tepat tindakan levetiracetam belum digambarkan, diketahui


bahwa obat ini sudah tidak aktif menjalankan model klasik yang digunakan untuk
menguji obat antiepilepsi. Agen ini mungkin memiliki mekanisme yang unik dari
tindakan, termasuk pengurangan dalam highvoltage diaktifkan Ca2 arus dan
tertunda-rectifer K arus, serta tindakan yang unik pada arus GABA.
Levetiracetam juga muncul untuk mengikat ke situs spesifik mengikat presinaps
yang dapat memodulasi pembebasan neurotransmiter. Ada beberapa bukti
terbatas levetiracetam itu mungkin memiliki efek antiepileptogenic, berarti bahwa
senyawa ini mungkin dapat mencegah perkembangan epilepsi di bawah tertentu
circumstances. Klinis konfirmasi penelitian hewan ini masih diperlukan, namun.

Farmakokinetik. Levetiracetam dengan cepat dan benar-benar diserap setelah


pemberian oral dan menampilkan diabaikan protein yang mengikat (< 10%).
Penghapusan ginjal obat orangtua tidak berubah account untuk sebagian obat
clearance (66%), dengan sisanya menjadi dimetabolisme dalam darah melalui
nonhepatic enzimatik hidrolisis dari grup acetamide untuk tidak aktif metabolites.
60 jalur metabolik ini tidak melibatkan CYP450 atau UGT 1a2 sistem. Half-life
plasma obat ini adalah sekitar 7 jam. Karena obat ini dihilangkan renally, dokter
harus mengantisipasi berkaitan dengan usia penurunan clearance pada pasien
usia lanjut. Sebaliknya, levetiracetam clearance tampaknya menjadi sekitar 40%
lebih tinggi pada anak dibandingkan pada orang dewasa. Saat ini, data yang
sparce mengenai serum konsentrasi penyelamat efek hubungan, jadi peran
terapeutik obat monitoring tingkat tetap tidak jelas.

Efek yang merugikan. Efek tampaknya sederhana, dengan sedasi, kelelahan,


dan koordinasi kesulitan yang paling umum efek CNS. Gangguan perilaku,
agitasi, lekas marah dan kadang-kadang depresi, telah dilaporkan. Mekanisme
yang mendasari efek ini tidak diketahui. Menggunakan tingkat yang lebih lambat
dari dosis eskalasi dapat membantu dalam meminimalkan efek samping ini. Studi
formal yang mengevaluasi efek kognitif obat ini belum belum dilakukan.

Interaksi obat. Levetiracetam menghambat maupun menginduksi CYP450,


UGT, atau sistem enzim epoxide hydrolase, dan data secara in vitro memprediksi
potensi rendah pharmacokinetic interaksi. Levetiracetam tampaknya tidak
berinteraksi dengan lain AED, warfarin, digoksin atau kontrasepsi oral drugs.

Dosis dan administrasi. Dosis awal yang khas agen ini adalah 500 mg lisan
dua kali sehari, titrating di 1000-mg/hari bertahap setiap 2 minggu untuk
direkomendasikan dosis maksimum 3000 mg/hari (1500 mg dua kali sehari).
Untuk meminimalkan efek samping CNS, dokter dapat mempertimbangkan
memulai obat pada satu setengah tingkat ini.
Keuntungan. Levetiracetam memiliki sebuah novel, meski tidak diketahui,
mekanisme tindakan. Ini memiliki linear pharmacokinetics dan tidak mengalami
oleh sitokrom p450 sistem. Tidak terjadi interaksi obat, termasuk kontrasepsi
oral, telah dilaporkan. Dosis awal mungkin efektif. Obat tersebut tampaknya baik

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

73

ditoleransi, dengan sementara sedation yang paling mengganggu efek buruk


dalam kebanyakan individu.
Kerugian. Dosis penyesuaian yang diperlukan untuk pasien dengan penurunan
fungsi ginjal, dan lambat dosis eskalasi mungkin diperlukan untuk menghindari
efek samping CNS. Perilaku masalah mungkin membatasi terapi pada beberapa
pasien. Saat ini, ada formulasi parenteral tidak, tetapi satu dalam
pengembangan.
Tempat terapi. Saat ini, levetiracetam diindikasikan untuk pasien dengan kejang
parsial yang gagal terapi awal. Perannya sebagai monoterapi untuk kejang
parsial dan sebagai pengobatan adjunctive untuk generalized kejang masih
diklarifikasi.

OXCARBAZEPINE
Farmakologi dan mekanisme kerja. Oxcarbazepine, yang secara struktural
terkait dengan carbamazepine, adalah prodrug yang dengan cepat dikonversi ke
turunan 10-monohydrate (MHD), yang merupakan komponen aktif. Mekanisme
kerja dari oxcarbazepine ini mirip dengan carbamazepine dan mungkin
lamotrigine. Oxcarbazepine dan MHD memblokir saluran tegangan-sensitif
natrium, memodulasi arus tegangan-diaktifkan kalsium, dan meningkatkan aliran
kalium. Menariknya, namun, oxcarbazepine mungkin menampilkan berbeda
afinitas untuk natrium saluran dan saluran Ca2 dibandingkan dengan obatobatan yang lebih tua seperti carbamazepine. Sedangkan carbamazepine dapat
memodulasi Ca2 L-jenis saluran, oxcarbazepine muncul untuk memodulasi Ca2
tipe-N dan P channels.63 Apakah perbedaan-perbedaan reseptor ini
menyebabkan pola-pola berbeda efektivitas klinis masih tidak pasti. Ini memiliki
signifikan interaksi dengan otak neurotransmitter atau modulasi reseptor situs.

Farmakokinetik. Oxcarbazepine sepenuhnya diserap dan dimetabolisme secara


ekstensif oleh noninducable denganrasio ketoreductases untuk MHD.64
konsentrasi MHD puncak 4-6 jam setelah dosis oxcarbazepine. MHD diinaktivasi
dengan konjugasi glukuronida dan dihapuskan oleh ginjal. Paruh plasma MHD
9.3 1,8 jam, dan tidak mengubah dengan dosis berulang-ulang karena ada
autoinduction tidak ada. Half-life MHD lebih pendek pada pasien yang memakai
obat-obatan yang enzim-merangsang. Hubungan antara konsentrasi dosis dan
serum linier. Oxcarbazepine adalah 67% protein terikat, dan MHD adalah 35%
sampai 40% protein terikat. Pharmacokinetics dari MHD pada anak-anak dan
remaja mirip dengan mereka pada orang dewasa. Anak-anak usia 2 sampai 6
tahun memerlukan dosis yang lebih besar untuk mencapai konsentrasi serum
sama, menyarankan clearance lebih cepat. Cmax dan ketersediaanhayati dari
MHD dalam tua relawan yang lebih tinggi dibandingkan tahun lebih muda
sukarelawan, dan laju penghapusan, mungkin mencerminkan penurunan
penghapusan ginjal. Pasien dengan gangguan ginjal signifikan mungkin
memerlukan pengurangan dosis. Kisaran konsentrasi serum target disarankan
untuk MHD adalah 20-200 mcmol/L.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

74

Efek yang merugikan. Oxcarbazepine telah klinis digunakan di seluruh dunia


sejak tahun 1990 dan dipasarkan di lebih dari 50 negara sebelum persetujuan di
Amerika Serikat. Dalam uji klinis US yang paling sering dilaporkan efek samping
pusing, mual, sakit kepala, diare, muntah, infeksi saluran pernafasan atas,
sembelit, dispepsia, ataksia, dan gugup. Dalam uji banding, oxcarbazepine
umumnya menyebabkan lebih sedikit efek samping daripada fenitoin, asam
valproik, carbamazepine, atau. Pusing mungkin lebih umum pada pasien usia
lanjut. Secara keseluruhan, efek CNS tampaknya jauh lebih umum pada dosis
yang lebih besar dari 1200 mg/hari. Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar
natrium plasma kurang dari 125 mmol/L, telah dilaporkan di hingga 25% pasien
yang mengambil oxcarbazepine. Seperti dengan carbamazepine, hiponatremia
tampaknya terjadi lebih sering pada pasien usia lanjut. Sementara insiden
hiponatremia dengan oxcarbazepine lebih tinggi dibandingkan dengan
carbamazepine, data menunjukkan bahwa banyak pasien yang asymptomat dan
sekitar 80% mengambil obat-obatan yang semakin menipis natrium. Klinisi harus
sangat waspada pada pasien yang mendapat seiring semakin menipis natrium
obat-obatan seperti diuretik. Hiponatremia tampaknya kurang sering terjadi pada
anak-anak. Namun demikian, dokter harus pertimbangkan pemantauan kadar
natrium serum mengikuti inisiasi oxcarbazepine dan memerintahkan pasien
tentang gejala hiponatremia. Sekitar 25% untuk 30% dari pasien yang
mengembangkan ruam dengan carbamazepine akan mengalami reaksi serupa
dengan oxcarbazepine. Tolerabilitas oxcarbazepine tidak dibandingkan dengan
yang diperpanjang-rilis formulasi carbamazepine yang memiliki puncak yang
lebih rendah dan berpotensi lebih sedikit efek samping daripada carbamazepine
segera-rilis formulasi.

Interaksi obat. Oxcarbazepine menurun the bioavailability dari ethinyl estradiol


dan levonorgestrel. Perempuan secara bersamaan mengambil kontrasepsi oral
harus menasihati tentang potensi untuk kegagalan. kontrasepsi Tidak ada
cimetidine interaksi antara, erythromycin, atau warfarin dan oxcarbazepine.
Administrasi oxcarbazepine dalam dosis yang lebih besar daripada 1200 mg
dengan phenytoin telah mengakibatkan 40 % peningkatan konsentrasi phenytoin,
konsisten dengan inhibisi dari cyp450 2c19. Pengobatan oxcarbazepine juga
dapat menyebabkan sederhana penurunan di konsentrasi yang serum
lamotrigine, menyarankan induksi dari ugt isozymes.
Obat-obatan yang enzim-merangsang meningkatkan kliring MHD aktif.
Penggantian carbamazepine dengan oxcarbazepine dapat mengakibatkan
interaksi obat karena enzim-merangsang obat yang dihapus.

Dosis dan administrasi. Pada orang dewasa, dosis awal oxcarbazepine


sebagai monoterapi adalah 300 mg sekali atau dua kali sehari. Dosis dititrasi ke
atas pada tingkat 600 mg/hari per minggu untuk dosis maksimum 2400 mg/hari.
Efek samping sering dosis-membatasi pada dosis melebihi 1200 mg/hari.
Kebanyakan pasien memerlukan tingkat titrasi yang lebih lambat. Untuk anak
usia 4 sampai 16 tahun, dosis awal adalah 8-10 mg/kg diberikan dua kali sehari,
bukan untuk melebihi 600 mg/hari. Dosis dititrasi untuk dosis target selama 2
minggu. Dosis harian yang direkomendasikan menurut berat adalah 20-29 kg,
900 mg/hari; 29-39 kg, 1200 mg/hari; lebih dari 39 kg, 1800 mg/hari. Pada pasien

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

75

yang sedang dikonversi dari carbamazepine, dosis pemeliharaan khas dari


oxcarbazepine adalah 1,5 kali dosis carbamazepine.

Keuntungan. Kemanjuran oxcarbazepine dapat dibandingkan dengan asam


valproik, fenitoin dan carbamazepine. Telah disetujui di 50 negara, dan dengan
demikian pengalaman internasional yang luas telah memperoleh.

Kerugian. Sekitar 30% dari pasien yang mengalami ruam dengan


carbamazepine memiliki cross-reaction dengan oxcarbazepine. Ada lebih banyak
laporan hiponatremia dengan oxcarbazepine, terutama pada pasien berisiko,
termasuk orang tua dan pasien yang menerima obat-obatan yang semakin
menipis natrium seperti diuretik. Mengganti carbamazepine dengan
oxcarbazepine dapat mengakibatkan interaksi dengan penghapusan
carbamazepine. Obat-obatan yang enzim-merangsang dapat meningkatkan
kliring MHD. Obat ini tidak mungkin untuk menjadi efektif dalam kejang jenis
mana carbamazepine tidak efektif, seperti ketiadaan atau Hyperkinesia kejang.

Tempat terapi. Oxcarbazepine diindikasikan untuk digunakan sebagai


monoterapi atau terapi dalam pengobatan kejang-kejang parsial pada orang
dewasa dan sebagai monoterapi dan terapi dalam pengobatan parsial kejang
pada pasien semuda 4 tahun dengan epilepsi. Hal ini juga potensi lini pertama
obat untuk pasien dengan kejang menggoncangkan umum utama.
Oxcarbazepine mungkin efektif pada pasien yang tidak menunjukkan respon
terhadap carbamazepine.

FENOBARBITAL
Farmakologi dan mekanisme kerja . Fenobarbital dapat meningkatkan ambang
kejang oleh menurunnya eksitasi postsynaptic, mungkin dengan merangsang
postsynaptic GABAergic inhibitor responses.20 farmakokinetik. Fenobarbital
diserap dengan cepat dan benar-benar terlepas dari apakah itu diberikan secara
lisan, otot, atau rectally. Phenobarbital menembus otak pada tingkat yang
sebanding dengan fenitoin, dan puncak konsentrasi yang dicapai 3-20 menit
setelah dosis intravena. Fenobarbital sekitar 50% terikat protein plasma, dan
memiliki waktu paruh yang sangat panjang.
Obat-obatan yang mempengaruhi hati enzim dapat mengubah
metabolisme fenobarbital, tetapi fenobarbital izin tidak terpengaruh oleh aliran
darah hati. Penghapusan fenobarbital linier. Karena tubular reabsorpsi
fenobarbital pH tergantung, jumlah yang dikeluarkan renally dapat ditingkatkan
dengan memberikan diuretik dan alkalinizers saluran kemih.
Efek yang merugikan . Efek samping CNS adalah faktor utama yang membatasi
penggunaan fenobarbital. Toleransi biasanya berkembang menjadi keluhan awal
kelelahan, mengantuk, obat penenang dan depresi. Pada anak-anak, paradoks,
efek samping utama adalah hiperaktif. Fenobarbital mengganggu fungsi kortikal
yang lebih tinggi dan menekan kinerja kognitif. Fenobarbital juga dapat

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

76

menyebabkan porfiria dan ruam, termasuk serius ruam seperti Stevens-Johnson


(Lihat tabel 54-6).

Interaksi obat. Fenobarbital adalah inducer enzim yang ampuh dan dapat
meningkatkan penghapusan obat dimetabolisme oleh metabolisme CYP450 atau
UGT-dimediasi. Asam valproik, fenitoin, felbamate, simetidin dan kloramfenikol
menghambat metabolisme fenobarbital, penurunan dosis yang memerlukan.
Etanol meningkatkan metabolisme fenobarbital.
Dosis dan administrasi. Dalam situasi nonacute, fenobarbital harus dimulai
pada dosis rendah dan dititrasi ke atas. Hubungan doseconcentration linier.
Karena half-life fenobarbital panjang, dosis dapat diberikan sekali sehari. Tidur
dosing dapat meminimalkan CNS depresi. Karena paruhnya panjang,
fenobarbital dibutuhkan waktu 3 sampai 4 minggu untuk mencapai kondisi
mapan. Oleh karena itu, dosis cepat penyesuaian harus dihindari dalam situasi
nonacute.

Keuntungan. Fenobarbital memiliki farmakokinetik linear dan dapat diprediksi.


Jika dosis adalah dua kali lipat, konsentrasi serum dihasilkan ganda. Beberapa
bentuk sediaan (misalnya, lisan padat, lisan cair, intramuskular dan intravena)
tersedia, jadi rute administrasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasien,
termasuk kondisi muncul. Hal ini paling murah AED.

Kerugian. Fenobarbital ini terkait dengan efek samping yang signifikan. Ini
termasuk pengembangan intelektual yang tertunda dan hiperaktif pada anak dan
kerusakan kognitif yang signifikan pada orang dewasa. Ini adalah inducer enzim
dan berinteraksi dengan obat lain dimetabolisme oleh sitokrom P450 sistem.
Fenobarbital memiliki waktu paruh yang sangat panjang, dan dengan demikian
pencapaian mapan tertunda. Penyesuaian dosis tidak boleh dibuat lebih sering
daripada setiap 2 sampai 3 minggu.

Tempat terapi. Fenobarbital adalah obat pilihan untuk kejang neonatal tetapi
dalam situtations lainnya disediakan untuk pasien yang gagal AED lainnya.
Mungkin berguna mengingat intravena dalam refrakter status epilepticus.
FENITOIN

Farmakologi dan mekanisme kerja. Mekanisme yang diusulkan meliputi


perubahan fluks ion yang dikaitkan dengan depolarization, repolarisasinya, dan
stabilitas membran; perubahan penyerapan kalsium di terminal presinaps;
pengaruh bergantung pada kalsium sinaptik protein fosforilasi dan pemancar
dibebaskan; perubahan pompa ion membran sodiumpotassium bergantung pada
ATP; dan pencegahan siklik nukleotida penumpukan dan stimulasi cerebellar.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

77

Farmakokinetik. Pharmacokinetics dari fenitoin kompleks dan menarik. Ruang


tidak mengizinkan mendalam review fenitoin farmakokinetik dalam bab ini. Untuk
pemahaman yang lebih mendalam, pembaca disebut review.68 lebih luas
penyerapan lisan fenitoin hampir selesai. Pembubaran adalah langkah
membatasi tingkat, dan penyerapan mungkin saturable pada dosis yang lebih
tinggi, seperti yang digunakan untuk memuat dosis oral. Penyerapan mengikuti
intramuskular administrasi fenitoin tidak menentu dan tertunda, dan suntikan
intraotot menyakitkan. Penyerapan intramuskular mengikuti fosphenytoin cepat
dan ditoleransi dengan baik. Fenitoin memasuki otak cepat dan disebarluaskan
ke jaringan tubuh lain, termasuk ASI dan plasenta. Sangat tinggi (> 90%) terikat
protein.
Fenitoin bersaing untuk albumin situs dengan obat lain sangat terikat
protein. Hal ini penting untuk mengetahui kadar serum albumin pasien % u2019s
dalam menafsirkan konsentrasi serum phenytoin. Pasien dengan disfungsi ginjal
signifikan akan mengubah fenitoin protein yang mengikat. Obesitas
meningkatkan volume distribusi fenitoin.
Fenitoin dimetabolisme di hati oleh parahydroxylation. Isoforms utama
yang bertanggung jawab untuk metabolisme fenitoin adalah CYP2C9 dan
CYP2C19. Fenitoin menampilkan Michaelis-Menton farmakokinetik, yang berarti
bahwa metabolisme fenitoin lemak jenuh pada dosis yang digunakan di klinis.
Klinik ini adalah penting bahwa perubahan kecil dalam dosis dapat
mengakibatkan peningkatan sangat secara tidak proporsional besar dalam
konsentrasi serum yang mengarah ke racun potensial. Metabolisme fenitoin
mungkin menjenuhkan bahkan pada konsentrasi rendah serum gangguan
NEUROLOGIS dalam kisaran terapeutik. Metabolisme fenitoin telah ditunjukkan
untuk mengurangi dengan usia.

Efek yang merugikan. yang merugikan Ketika phenytoin diinisiasi, ssp efek
depressant dapat mengakibatkan lesu, kelelahan, , koordinasi kabur penglihatan,
lebih tinggi disfungsi kortikal, dan mengantuk ( lihat tabel 54-6 ). Efek ini biasanya
ada dan transien dapat diminimalisir dengan dosis lambat titrasi. Nistagmus,
ataksia, dan diubah status mental yang berhubungan dengan konsentrasi yang
lebih tinggi. Pada konsentrasi yang sangat tinggi (>50 mcg gt / ml ), phenytoin
mei kekejangan menambah parah.
Sulit untuk menentukan apakah kronis tersebut adalah efek samping dari
phenytoin concentration- atau duration-dependent. Salah satu efek samping
yang lebih umum kronis adalah gingival hiperplasia. Baik lisan hygeine dapat
meminimalisir ginginval hyperplasia dan harus mendorong. Termasuk hirsutisme,
efek kronis lain jerawat, coarsening fitur wajah, kekurangan vitamin D
osteomalacia, kekurangan asam folat, karbohidrat non-toleransi, gangguan
immunologic, hypothyroidism, dan peripheral neuropati. Phenytoin berhubungan
dengan langka atau hipersensitivitas reaksi istimewa mengakibatkan ruam,
stevens-johnson syndrome, pseudolymphoma, sumsum tulang penindasan,
reaksi lupus-like, dan hepatitis.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

78

Interaksi obat. Fenitoin ini dikaitkan dengan berbagai obat interaksi melibatkan
mengubah penyerapan, metabolisme dan protein yang mengikat (Lihat tabel 547 dan 54-8) yang dapat meningkatkan atau mengurangi dampaknya. Fenitoin
adalah inducer isozymes CYP450 dan UGT. Penyerapan fenitoin dapat
meningkat atau menurun dengan administrasi makanan tergantung pada
komposisi jamuan. Ketersediaanhayati fenitoin suspensi menurun pada pasien
yang mendapat terus-menerus tabung nutrisi enteral disusui. Dosis tunggal studi
administrasi simultan pemberian nutrisi enteral menemukan tidak ada perbedaan
dalam ketersediaanhayati fenitoin, menyarankan bahwa mekanisme adalah
sesuatu selain kontak fisik.
Interaksi yang kompleks fenitoin dengan asam folat juga telah
digambarkan, membuat konsumsi vitamin merupakan bagian penting dari sejarah
obat. Fenitoin dilaporkan mengurangi penyerapan asam folat, tetapi
meningkatkan asam folat kliring fenitoin. Penggantian asam folat dapat
mengurangi konsentrasi fenitoin dan mengakibatkan hilangnya kemanjuran.

Dosis dan administrasi . Empat dosis bentuk yang digunakan untuk


administrasi lisan fenitoin (Tabel 54-10). Garam konten harus dipertimbangkan
ketika mengubah dari satu dosis bentuk lain. Perubahan antara bentuk sediaan
dapat menyebabkan perubahan dalam fenitoin konsentrasi. Fenitoin kapsul yang
ditunjuk sebagai-segera atau diperpanjang-release. Hanya diperpanjang-release
kapsul harus digunakan dalam dosis sekali sehari. Ukuran partikel daripada
formulasi dapat menentukan tingkat penyerapan. Baru-baru ini, Phenytek telah
dipasarkan di Amerika Serikat sebagai bentuk diperpanjang rilis dosis fenitoin.
Jika pemberian oral tidak layak, pemberian cairan intravena fenitoin lebih
disukai atas intramuskular administrasi. Fosphenytoin prodrug untuk fenitoin dan
tersedia sebagai bentuk dosis parenteral. Ini verywater-larut dan adalah menjadi
pesat fenitoin sistemik. Fosphenytoin dapat diberikan cepat intravena dan otot
dengan handal penyerapan dan rasa sakit minimal. Secara signifikan lebih baik
ditoleransi daripada fenitoin.
Dosing oral dari phenytoin harus mulai di sekitar 5 mg / kg per hari untuk
orang dewasa. Oral jika menggunakan loading dosis, 20 mg / kg adalah khas,
dan total dosis harus dibagi dengan empat dan yang diberikan di 6-hour interval.
Penyesuaian dosisnya berikutnya harus dilakukan hati-hati karena untuk
nonlinear nya eliminasi. Satu penulis telah menyarankan bahwa jika serum
adalah konsentrasi kurang dari 7 / mcg ml, dosis harus ditingkatkan oleh 100 mg
/ hari; jika serum adalah konsentrasi antara 7 dan 12 / mcg ml, dosis dapat
ditingkatkan oleh 50 mg / hari; dan jika serum konsentrasi yang lebih besar
daripada 12 / mcg ml, dosis dapat ditingkatkan oleh 30 mg / hari atau kurang.
Kenaikan ini apakah yang diusulkan untuk hasil dalam waktu kurang dari 10 %
pasien mencapai sebuah konsentrasi serum phenytoin yang lebih besar dari 25
mcg ml /.

Keuntungan. Phenytoin telah digunakan selama lebih dari 60 tahun, dan rasio
risk-to-benefit yang berkembang dengan baik. Hal ini tersedia dalam lisan padat,
cairan, lisan oral, extended-release padat dan ( phenytoin parenteral dan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

79

fosphenytoin ) dosis bentuk, yang memungkinkan fleksibilitas dalam dosing dan


digunakan dalam kondisi emergent.

Kelemahan. Phenytoin menampilkan michales-menton pharmacokinetics, berarti


metabolisme saturates di diberikan secara klinis. dosis Hal ini membuat
phenytoin obat yang sulit untuk dosis. Juga, phenytoin adalah sebuah inducer
dari sitokrom p450 isozymes, adalah mengalami oleh enzim sitokrom p450, dan
sangat protein terikat. Karena itu, banyak interaksi obat yang berhubungan
dengan agen. ini Phenytoin juga memiliki beberapa efek, termasuk gangguan
gait, memperlambat konsentrasi, kognitif lebih tinggi hiperplasia gingival,
perubahan kosmetik, osteomalacia, ruam, dan teratogenicity.

Tempat terapi. Fenitoin telah lama AED lini pertama untuk kejang utama
generalized menggoncangkan dan parsial. Penggunaannya dalam terapi
mungkin reevaluated seperti lebih banyak pengalaman didapat dengan AED
baru. Fenitoin atau fosphenytoin adalah lini pertama obat untuk pengobatan
status epilepticus.

TIAGABINE

Farmakologi dan mekanisme kerja. Tiagabine adalah kuat dan spesifik inhibitor
dari gaba penyerapan ke neuronal glial dan elemen lainnya . Dengan demikian
tiagabine meningkatkan aksi GABA dengan mengurangi yang penghapusan dari
synaptic ruang.
TABEL 54-10. Dosis dan sediaan Fenitoin

Farmakokinetik. Tiagabine yang diserap dengan cepat dan hampir sepenuhnya


setelah pemberian oral. Ada sebuah hubungan linear antara dosis harian dan
konsentrasi serum. Ini teroksidasi di hati oleh CYP450 3A4 enzim dan enzim
inducers meningkatkan izin yang. Anak-anak menghilangkan tiagabine sedikit
lebih cepat daripada orang dewasa. Subyek dengan gangguan hati memiliki
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan lebih berkepanjangan obat total dan
terikat. Disfungsi ginjal tidak mengubah farmakokinetik nya.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

80

Efek yang merugikan. Yang paling sering dilaporkan efek tiagabine adalah
pusing, asthenia, gugup, getaran, diare, dan depresi. Ruam ini biasa dengan
tiagabine. Efek samping biasanya ringan sampai sedang dalam keparahan dan
transien, dan sebagian dikaitkan dengan dosis efek samping titration. CNS
mungkin berkurang dengan mengambil tiagabine dengan makanan, sehingga
memperlambat tingkat penyerapan. Peristiwa-peristiwa buruk yang serius yang
jarang, dan tidak ada acara istimewa, termasuk bidang visual Cacat, dilaporkan.

Interaksi obat. Enzim inducers, seperti carbamazepine dan phenytoin,


meningkatkan tiagabine clearance dan umur penurunan. Makanan menurun
tingkat tetapi tidak tingkat penyerapan. Tiagabine dipindahkan dari protein oleh
naproxen, salisilat, dan valproate. Namun, tiagabine tidak menggantikan
phenytoin, valproic asam, amitryptyline, tolbutamide, atau warfarin.

Dosis dan administrasi . Dosis-respon yang jelas telah menunjukkan, dan


tingkat dosis dewasa minimal yang efektif adalah 30 mg/hari. Dosis awal, 4
mg/hari, dapat dititrasi hingga 56 mg/hari dengan menambahkan 4-8 mg dosis
harian setiap minggu. Kisaran dosis yang biasanya digunakan adalah 32-56 mg
sehari, dan variabilitas dapat dijelaskan dalam bagian oleh kehadiran seiring
enzim-merangsang AED. Lambat dosis titrasi penting untuk mengurangi efek
CNS.

Keuntungan. Tiagabine memiliki mekanisme aksi tertentu, dikenal. Ini adalah


obat pertama dipasarkan di Amerika Serikat yang bertindak hanya pada GABA
reuptake. Obat ini memiliki linier farmakokinetik dan tidak dilaporkan untuk
berinteraksi dengan obat lain.

Kerugian. Awalnya tinggi dan cepat dosis eskalasi ini dikaitkan dengan
peningkatan CNS efek samping. Oleh karena itu, obat harus dimulai pada dosis
rendah dan dititrasi secara bertahap untuk pasien respon. Dosis yang lebih
rendah mungkin diperlukan pada pasien dengan penyakit hati. Tiagabine
dimetabolisme oleh CYP450 3A4 enzim, dan obat lain mungkin mengubah izin
yang. Ada tidak formulasi parenteral.

Tempat terapi. Tiagabine dianggap sebagai terapi lini kedua untuk pasien
dengan kejang parsial yang telah gagal terapi awal. Itu tampaknya tidak memiliki
peran dalam jenis utama generalized kejang.
TOPIRAMATE
Farmakologi dan mekanisme kerja. Topiramate adalah monosakarida diganti
sulfamate yang memiliki beberapa mode tindakan yang melibatkan bergantung
pada tegangan natrium saluran, reseptor GABA, dan permusuhan dari & asam
propionat -amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole-4-(AMPA) Subtipe reseptor
glutamat.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

81

Farmakokinetik. Sementara umumnya dianggap memiliki linier penyerapan dan


penghapusan farmakokinetik, yang lebih besar dari peningkatan proporsional
dalam konsentrasi maksimal puncak dan area di bawah kurva konsentrasi-waktu
telah diamati dan mungkin dijelaskan oleh saturable mengikat obat untuk
erythrocytes. Topiramate tidak menampilkan signifikan protein yang mengikat.
Sekitar 50% dari dosis adalah excreated yang tidak berubah renally; Namun,
metabolisme meningkat oleh sekitar 50% ketika topiramate diberikan dengan
enzim-merangsang AED. Ginjal tubular reabsorpsi mungkin melibatkan menonjol
dalam penanganan ginjal topiramate.

Efek yang merugikan. Peristiwa-peristiwa buruk utama topiramate ataksia,


gangguan konsentrasi, memori kesulitan, defisit attentional, kebingungan,
pusing, kelelahan, parestesia, mengantuk dan thinking abnormal yang jarang
memiliki termasuk psikosis.Kesulitan menemukan-kata yang agak unik dan
spesifik masalah dengan topiramate dan mungkin terjadi dalam sejumlah besar
pasien. Sebagian besar terjadi selama cepat titrasi dan di dosis. Lebih tinggi
mungkin ada peningkatan terjadinya penyelewengan fungsi kognitif pada pasien
yang mendapat terapi seiring dengan topiramate dan valproik asam. Selama
pengobatan jangka panjang, berat badan dapat terjadi, sebuah fenomena yang
mungkin bergantung pada dosis. Nephrolithiasis telah terjadi di 1,5% pasien
yang menerima topiramate, yang merupakan dua sampai empat kali kejadian di
populasi umum. Pasien harus didorong untuk menjaga asupan cairan untuk
meminimalkan masalah ini. Baru-baru ini, penggunaan topiramate adalah
dikaitkan dengan glaukoma sudut sempit akut, oligohydrosis dan asidosis
metabolik. Asidosis metabolik sebagian mungkin menjelaskan anoreksia dan
berat badan dilihat dengan obat ini.

Interaksi obat. Topiramate mengubah kadar plasma carbamazepine,


carbamazepine-epoxide atau lamotrigine. Lisan clearance digoksin sedikit
meningkat ketika topiramate ditambahkan. Topiramate coadministration dapat
mengakibatkan peningkatan fenitoin konsentrasi serum pada beberapa pasien,
efek yang konsisten dengan penelitian secara in vitro yang menunjukkan efek
penghambatan topiramate di CYP2C19 isoform. Respon variabel dilihat dengan
interaksi topiramate dan fenitoin dapat dijelaskan oleh variabilitas intersubject
dalam proporsi fenitoin clearance dikaitkan dengan CYP2C19 metabolisme dan
apakah pasien adalah homozygous atau heterozygous pembawa alel mutan
yang bertanggung jawab untuk CYP2C9 dan/atau CYP2C19 poor metabolilzer
fenotipe. Topiramate dapat meningkatkan kliring oral asam valproik sopan dan
meningkatkan pembentukan 4-ene-VPAmetabolite. Signifikansi klinis interaksi ini
tidak jelas. Topiramate meningkatkan clearance estradiol etinil secara tergantung
dosis.Dosis topiramate kurang dari 200 mg/hari tidak mungkin untuk mengubah
farmakokinetik kontrasepsi oral. Carbamazepine dan fenitoin meningkatkan
topiramate clearance.

Dosis dan administrasi : Topiramate harus dititrasi perlahan-lahan untuk


menghindari buruk events.74 mulai dosis yang 12,5-50 mg/hari, meningkat 12.5-

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

82

50 mg/hari setiap minggu atau setiap minggu. Dosis minimal efektif topiramate
adalah sekitar 200 mg/day.79 untuk pasien pada AED lainnya, dosis yang lebih
besar daripada 600 mg/hari tidak muncul untuk menyebabkan peningkatan
efektivitas dan dapat menyebabkan efek samping lebih; Namun, dosis tinggi
dapat membuktikan bermanfaat bagi pasien individu yang mentolerir them.80
monoterapi dosis setinggi 1000 mg/hari telah ditoleransi dengan baik dan efektif
pada beberapa pasien.

Keuntungan : Topiramate memiliki beberapa mekanisme aksi dan mungkin AED


spektrum luas. Ginjal terutama menghilangkan itu, meskipun beberapa
metabolisme hati terjadi. Memiliki kapal farmakokinetik dan beberapa interaksi
obat.

Kerugian : Dengan dosis cepat eskalasi, topiramate dapat mengganggu fungsi


kognitif, termasuk gangguan kata menemukan dan memori jangka pendek. Oleh
karena itu, dosis awal yang rendah harus digunakan, dan dosis harus dititrasi
perlahan-lahan. Batu ginjal dan berat badan juga telah dikaitkan dengan
penggunaan topiramate. Dosis harus menurun pada pasien dengan gagal ginjal.
Ada tidak formulasi parenteral.

Tempat terapi : Topiramate adalah lini kedua AED untuk pasien dengan kejang
parsial yang telah gagal terapi awal. Perannya sebagai AED utama dan dalam
jenis kejang lain sedang dievaluasi.

ASAM VALPROIK / NATRIUM DIVALPROEX

Farmakologi dan mekanisme kerja : Awalnya ia percaya bahwa increased


GABAby asam valproik menghambat degradasi atau dengan mengaktifkan
sintesis nya. Meskipun ini mungkin menjelaskan sebagian efek asam valproik,
waktu kursus untuk meningkatkan inGABAcompared dengan onset efek
antikonvulsan menunjukkan bahwa perubahan sintesis dan degradasi GABA
tidak sepenuhnya menjelaskan aktivitas antiseizure asam valproik. Telah
diusulkan bahwa asam valproik dapat memperkuat postsynaptic GABA
tanggapan, mungkin memiliki efek langsung menstabilkan membran, dan dapat
mempengaruhi kalium saluran.

Farmakokinetik : Asam valproik tampaknya benar-benar diserap dari bentukbentuk sediaan oral tersedia bila diberikan pada stomach.81 kosong Namun,
tingkat penyerapan berbeda antara persiapan. Puncak konsentrasi terjadi dalam
0,5-1 jam dengan sirup, 1 sampai 3 jam dengan kapsul, dan 2-6 jam dengan
entericcoated tablet. Diperpanjang rilis formulasi (Depakote-ER) adalah disetujui
FDA untuk digunakan pada pasien dengan sakit kepala migrain dan epilepsi.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

83

Harus dicatat, bagaimanapun, bahwa ketersediaanhayati rumusan ini adalah


sekitar 15% kurang dari yang dilapisi enterik divalproex natrium (Depakote).
Asam valproik secara ekstensif terikat albumin, dan mengikat ini
saturable. Dengan demikian, fraksi gratis asam valproik akan meningkat sebagai
peningkatan konsentrasi total serum. Karena ini mengikat saturable, pengukuran
konsentrasi serum terikat mungkin parameter pemantauan lebih baik daripada
konsentrasi serum asam valproik total, terutama pada konsentrasi yang lebih
tinggi atau di pasien dengan hypoalbuminemia.
Rute utama metabolisme asam valproik - oksidasi, meskipun hingga
40% dosis mungkin dikeluarkan sebagai glukuronida. Setidaknya 10 metabolit
asam valproik telah diidentifikasi. Beberapa di antaranya mungkin memiliki
kegiatan antikonvulsan lemah, dan setidaknya satu metabolit mungkin
bertanggung jawab untuk hepatotoksisitas dilaporkan dengan asam valproik.
Satu oksidatif metabolit kecil, 4-en-valproik asam, menyebabkan signifikan
hepatotoksisitas pada tikus. Pembentukan metabolit ini meningkat ketika asam
valproik diberikan dengan obat-obatan enzymeinducing.

Efek yang merugikan : Yang paling sering dilaporkan efek samping keluhan
pencernaan (hingga 20%), termasuk mual, muntah, anoreksia, dan penambahan
berat badan. Pankreatitis sangat jarang. Keluhan pencernaan dapat
diminimalkan tetapi tidak benar-benar dikurangi dengan formulasi enterik dilapisi
atau dengan memberikan obat dengan makanan. Efek samping sering
dilaporkan lain (misalnya, kantuk, ataksia, dan getaran postural) mungkin
menanggapi modifikasi dosis (Lihat tabel 54-36). Alopecia dan rambut perubahan
bersifat sementara, dan pertumbuhan rambut kembali bahkan dengan dosis
terus. Berat badan dapat menjadi penting bagi banyak pasien dan mungkin
melibatkan perangsangan nafsu makan dan/atau penghambatan asam lemak oksidasi yang menyebabkan penurunan metabolik rate. Asam valproik
menyebabkan kerusakan kognitif yang minimal.
Efek samping yang paling serius yang dilaporkan dengan asam valproik
adalah hepatotoksisitas. Hiperamonemia Umum (50%) tetapi tidak selalu
menyiratkan kerusakan hati; Namun, setidaknya 67 kematian telah dikaitkan
dengan asam valproik hepatotoksisitas. Sebagian besar kematian telah terjadi
pada pasien yang lebih muda dari usia, keterbelakangan mental, dan menerima
beberapa AED 2 tahun. Hepatotoksisitas terjadi awal dalam terapi. Pasien yang
mengeluh mual, muntah, kelesuan, anoreksia dan edema dalam 6 sampai 12
bulan pertama dari terapi seharusnya dilakukan tes fungsi hati. Beberapa AED
terapi dapat mengubah metabolisme asam valproik, menyebabkan peningkatan
pembentukan asam 4-en-valproik berpotensi beracun hati. Asam valproik telah
ditunjukkan untuk mengubah metabolisme karnitin, dan telah mendalilkan bahwa
kekurangan karnitin mengubah oksidasi asam lemak yang dapat menyebabkan
toksisitas hati dan hiperamonemia. Namun, asam valproik hepatotoksisitas telah
terjadi pada pasien mengambil tambahan karnitin, dan sebuah penelitian
prospektif dibuktikan tidak berpengaruh pada kesejahteraan ketika karnitin
ditambahkan. Sementara karnitin akan memperbaiki hiperamonemia sebagian,
mahal, dan ada hanya terbatas pada data untuk mendukung rutin tambahan
menggunakan pada pasien yang memakai acid valproik. T Trombositopenia dan
perubahan Agregasi trombosit terjadi pada pasien yang mendapat asam valproik,
dan fenomena ini berkaitan dengan konsentrasi serum. Toksisitas Hematologi

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

84

lainnya telah dilaporkan, termasuk leukopenia dengan neutropenia sementara,


sementara erythroblastopenia dan perubahan sumsum tulang. Sindrom ovarium
polikistik dan penyimpangan siklus menstruasi juga telah dikaitkan dengan asam
valproik.

Interaksi obat : Obat-obatan yang mempengaruhi hati enzim dapat mengubah


kinetika asam valproik oleh meningkatkan atau menurunkan Cukai; sebagai
contoh, fenitoin, fenobarbital, primidone, dan carbamazepine semua
meningkatkan pembersihan asam valproik. Topiramate dapat mengurangi
konsentrasi serum asam valproik sederhana. Karena itu sangat terikat protein,
obat sangat terikat protein lain dapat menggantikan asam valproik. Asam lemak
bebas dan aspirin dapat mengubah mengikat asam valproik oleh perpindahan.
Felbamate dapat mengganggu valproik clearance melalui penghambatan dari oksidasi.
Asam valproik adalah inhibitor enzim yang dapat menghambat spesifik
sitokrom P450 isozymes, epoxide hydrolase dan UGT isozymes. Penambahan
asam valproik hasil fenobarbital di 30% sampai 50% penurunan kliring
fenobarbital dan potensi toksisitas jika dosis fenobarbital tidak berkurang. Asam
valproik dapat meningkatkan konsentrasi epoxide 10,11-carbamazepine tanpa
mempengaruhi konsentrasi obat induk melalui penghambatan epoxide hydrolase.
Asam valproik juga inhibitor poten pada lamotrigine, melalui inhibisi enzim UGT,
dan dapat mengakibatkan penggandaan halflife lamotrigine.

Dosis dan administrasi : Meskipun beberapa pasien mungkin memiliki umur


paruh cukup panjang untuk mengizinkan dosis sekali sehari dengan
entericcoated divalproex, lebih sering dosing adalah norma. Berdasarkan half-life
data, dua kali sehari-dosis layak dengan bentuk dosis asam valproik; Namun,
anak-anak dan pasien lain mengambil enzim inducers mungkin memerlukan
dosis tiga sampai empat kali daily.40 u2013dose % konsentrasi serum hubungan
lengkung (yaitu, rasio concentrationdose menurun dengan peningkatan dosis)
mungkin karena peningkatan konsentrasi gratis dan peningkatan dihasilkan
clearance.
Asam valproik tersedia sebagai kapsul lembut gelatin, tablet
entericcoated, sirup,Csprinkle, diperpanjang rilis formulasi dirancang untuk
dosis sekali sehari, dan parenteral formulasi (intravena) untuk penggantian terapi
oral atau dalam situasi di mana cepat pemuatan asam valproik dianggap
necessary.81 rumusan ini parenteral harus tidak diberikan otot karena dapat
menyebabkan nekrosis jaringan. Taburi, dirancang untuk dibuka dan dicampur
dengan makanan, memiliki tingkat yang lebih lambat penyerapan, yang
menghasilkan lebih sedikit fluktuasi dalam rasio puncak di-palung. Sirup yang
diserap lebih cepat daripada bentuk padat dosis. Tablet salut enterik dilapisi tidak
berkelanjutan-rilis; terdiri dari divalproex natrium, yang harus dapat
dimetabolisme dalam usus untuk asam valproik. Ianya enterik dilapisi untuk
mengurangi timbulnya kesulitan pencernaan. Lapisan enterik menyebabkan
penyerapan tertunda, meskipun setelah lapisan enterik larut, natrium divalproex
memiliki tingkat penyerapan, metabolisme dan penghapusan mirip dengan
kapsul gelatin. Klinisi harus memantau konsentrasi obat serum jika mengubah
pasien dari divalproex (Depakote) untuk perumusan diperpanjang-release

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

85

(Depakote-ER). Jika seorang pasien beralih dari Depakote ke Depakote-ER,


dosis harus ditingkatkan oleh 14% sampai 20%. Depakote-ER dapat diberikan
sekali sehari.
Meskipun 100% - 120 mcg/mL secara luas dikutip sebagai ujung atas
kisaran terapeutik, pengalaman menunjukkan bahwa sejumlah besar pasien
telah meningkatkan kontrol kejang ketika konsentrasi di atas tingkat ini. Meskipun
beberapa laporan telah terkait tremor, kantuk, pingsan, dan penurunan fibrinogen
dengan konsentrasi yang lebih besar dari 80-100 mcg/mL, ada sangat sedikit
efek samping concentrationdependent jelas dari asam valproik. Pada pasien
yang refrakter atau sebagian menanggapi, konsentrasi asam valproik mungkin
menjadi dititrasi ke atas hati-hati, asalkan pasien erat dipantau. Konsentrasi
meningkat, protein yang mengikat menjadi jenuh, dan pemantauan konsentrasi
serum gratis obat mungkin dapat membantu.

Keuntungan : Asam valproic tersedia di beberapa dosis formulasi. Terapi ini


memiliki indeks lebar dan dapat dianggap sebagai broad-spectrum aed. Itu juga
dapat berguna dalam neorologis lain atau gangguan kejiwaan, termasuk migrain
sakit kepala dan bipolar-affective gangguan.

Kelemahan : Beberapa pasien melaporkan berat badan yang signifikan dengan


valproic asam, dan ini mungkin membatasi kepatuhan. Asam valproic juga terkait
dengan efek samping, lain seperti alopecia, getaran, pancreatitis, polycystic
ovarium penyakit, dan trombositopenia. Obat ini telah dikaitkan dengan hati
nekrosis pada anak-anak. Asam valproic inhibitor adalah sebuah enzim dan
terlibat dalam beberapa interaksi drug-drug.

Tempat terapi : Asam valproik adalah lini pertama terapi untuk kejang umum
utama seperti Hyperkinesia, atonic, dan ketiadaan kejang. Dapat digunakan
sebagai monoterapi dan terapi untuk kejang parsial, dan dapat menjadi sangat
berguna pada pasien dengan gangguan kejang campuran.

ZONISAMIDE

Farmakologi dan mekanisme kerja : Zonisamide, 1,2-benzisoxazole sintetis


turunan diklasifikasikan sebagai sulfonamida, adalah kimiawi berbeda dari aeds
lain. Pada hewan pengujian itu menunjukkan untuk menjadi seorang broadspectrum aed. Hal ini diyakini untuk mengerahkan antiepileptic yang berulangulang efek dengan mengurangi neuronal menembak melalui blokade dari
voltage-sensitive natrium saluran, dengan mengurangi voltage-dependent t-type
ca2 + saluran, dengan memfasilitasi dopaminergic dan serotonergic
neurotransmission, oleh lemah menghambat karbonik anhydrase, dan dengan
menghalangi k + ditimbulkan glutamat melepaskan. Hal ini juga menduga bahwa
zonisamide mungkin melindungi otak dari kerusakan radikal bebas.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

86

Farmakokinetik : Zonisamide diserap sepenuhnya, mencapai konsentrasi


puncak maksimum 2-6 jam. Hal ini hanya sekitar 40% protein terikat dan memiliki
umur paruh sangat panjang sekitar 63-69 jam dalam mata pelajaran yang
uninduced. Zonisamide dimetabolisme oleh kedua menghambat CYP3A4 (50%)
dan N-acetylation (20%). Delapan metabolit aktif telah diidentifikasi. Sekitar 30%
adalah dikeluarkan tidak berubah. Ditandai gangguan ginjal (CrCl < 20 mL/min)
adalah dikaitkan dengan peningkatan AUC zonisamide sebesar 35%.
Zonisamide didistribusikan untuk kebanyakan jaringan, tetapi konsentrasi dalam
sel darah merah, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal dua kali sebagai tinggi.
Zonisamide melintasi plasenta. Konsentrasi dalam ASI serupa dengan yang
dalam plasma. Meskipun tidak secara tegas ditetapkan, berbagai konsentrasi
target 10-40 mcg/mL telah diusulkan.

Efek yang merugikan : Efek samping yang paling umum dari zonisamide
termasuk mengantuk, pusing, anoreksia, sakit kepala, mual, agitasi, dan lekas
marah. Efek mungkin lebih umum selama eskalasi dosis cepat. Karena
zonisamide structually berkaitan dengan Sulfonamida, reaksi hipersensitivitas
dapat terjadi (0.02% pasien), dan zonisamide harus digunakan dengan hati-hati
(jika ada) pada pasien dengan riwayat dikonfirmasi Alergi senyawa sulfonamide.
2,6% Timbulnya gejala ginjal, batu telah dilaporkan pada pasien yang diobati di
Inggris States.88 karena dari laporan sederhana, reversibel penurunan fungsi
ginjal pada beberapa pasien, pemantauan fungsi ginjal mungkin dianjurkan untuk
pasien tertentu. Oligohydrosis telah dilaporkan. Selain itu, penurunan berat
badan yang sederhana telah dilaporkan dengan agen ini.

Interaksi obat : Zonisamide tidak menghambat atau menginduksi the sitokrom


p450 sistem. Enzim inducers inhibitor dan cyp3a4 dapat mempengaruhi
konsentrasi zonisamide. Enzim yang inducers pengobatan dengan dapat
mengurangi zonisamide hingga 27 half-life untuk 36 jam.

Dosis dan administrasi : Pada orang dewasa, direkomendasikan awal dosis


zonisamide adalah 100 mg / hari. Harus dititrasi dosis oleh 100 mg setiap hari
setiap 2 minggu respon. untuk pasien Dosis berkisar pada orang dewasa adalah
100 untuk 600 mg / hari. Pada anak-anak, zonisamide dapat dimulai pada dosis
2 - 4 mg / kg per hari dan dititrasu dari 4 - 8 mg / kg per hari hingga maksimal mg
12 / kg per hari. Zonisamide adalah stabil selama 48 jam ketika dicampur dengan
air, jus apel, atau puding untuk pasien yang mengalami kesulitan menelan lisan
dosis padat bentuk.

Keuntungan : Zonisamide memiliki mekanisme beberapa tindakan dan mungkin


sebuah broad-spectrum aed. Telah digunakan di negara-negara lain, dan ada
pengalaman internasional yang luas dengan ini obat. Ini memiliki umur yang
panjang, yang cocok untuk once- atau twice-daily dosing. Oncedaily dosing

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

87

berhubungan dengan fluktuasi lebih sekitar mean konsentrasi dan mungkin lebih
efek samping. Pasien dapat mengalami sederhana penurunan berat badan
dengan ini obat.

Kelemahan : Dosis dari zonisamide harus dititrasi perlahan-lahan untuk pasien


respon. Batu ginjal dan oligohydrosis juga talah diasosiasikan dengan
zonisamide. Selain itu, gangguan kognitif dapat terjadi, terutama jika dosis
adalah meningkat dengan cepat.

Tempat terapi : Zonisamide saat ini disetujui untuk perawatan tambahan parsial
kejang. Sejauh ini, cukup data ada untuk mendukung penggunaannya sebagai
monotherapy awal. Zonisamide yang berpotensi efektif dalam berbagai utama
umum parsial dan kejang jenis.
PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMI

Kontroversi klinis
Diberikan biaya antara older-generation dan diferensial newer-generation
aeds, tempat dalam terapi obat yang baru ini adalah controversial. Biaya
yang baru aeds umumnya lebih tinggi bahwa yang lebih tua narkoba.
Mengingat bahwa secara umum, efektivitas obat dari yang baru adalah
sebanding dengan itu yang lebih tua agen, banyak clinicians ( dan pasien
) telah lambat untuk mengadopsi generasi narkoba. yang baru ini Hal ini
penting untuk menyadari bahwa secara keseluruhan efektivitas meliputi
kedua khasiat dan tolerability kajian. Umumnya berbicara, para generasi
yang baru aeds memiliki lebih sedikit efek dan tampaknya akan lebih baik
ditoleransi dari tua, agen jauh lebih murah seperti barbiturates. Apakah
ini kadang-kadang subjektif perbedaan membenarkan perbedaan dalam
biaya harus ditentukan pada sklala yg lebih pribadi.

Biaya langsung epilepsi termasuk biaya obat, perlakuan terhadap efek


samping, kunjungan ruang gawat darurat, tingkat obat, tes laboratorium,
kunjungan dokter, rehabilitasi dan transportasi. Biaya tidak langsung termasuk
biaya yang berkaitan dengan waktu yang hilang dari pekerjaan, ketidakmampuan
untuk mendapatkan pekerjaan, penurunan produktivitas dan kematian.
Hal ini sulit untuk menilai seluruh biaya epilepsi untuk masyarakat.
Pashko dan kerjaku, 90 menggunakan sebuah cohort pennsylvania bawah
medicaid pasien, diperkirakan bahwa total biaya langsung epilepsi adalah di
kelebihan $ 10 milyar tiap tahunnya, dengan mayoritas biaya per-patient yang
dikeluarkan untuk rawat inap inap ( tidak terkendali atau treatmentrelated kejang
racun ). Penelitian lain yang menyarankan bahwa biaya langsung epilepsi yang
dibuat up sekitar 37 % dari total biaya, dengan tidak langsung akuntansi biaya

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

88

untuk remainder.91 studi ini juga menunjukkan bahwa biaya yang banyak kurang
untuk seorang pasien yang adalah yah dikendalikan daripada untuk seorang
pasien yang adalah buruk dikontrol. Biaya obat dalam studi Pashko
menyumbang sekitar 10% dari total biaya epilepsi. Dalam studi lain,
costeffectiveness dari beberapa obat yang lebih baru (lamotrigine, vigabatrin,
dan gabapentin) diperkirakan untuk tahun pertama terapi obat. Therewas sedikit
perbedaan dalam biaya awal, tetapi gabapentin, dengan efek samping yang lebih
sedikit, yang mengakibatkan biaya savings. Metodologi yang digunakan dalam
penelitian ini telah dikritik. Telah ada penelitian pharmacoeconomic yang
membandingkan AED lebih tua, lebih murah dengan obat yang lebih baru, lebih
mahal.
Memberikan yang terbaik kualitas kehidupan mungkin adalah tujuan
pengobatan bagi pasien dengan epilepsi. Konsep ini memerlukan lebih dari
keseimbangan antara efek samping dan jumlah kejang. Memperhatikan kualitas
hidup pasien dengan semua keprihatinan epilepsi, termasuk kekhawatiran.
ekonomi dan sosial mereka Dapat terbaik ini dinilai oleh pasien. Lengkap
penyitaan kebebasan mengarah ke kualitas terbaik dari life.13 dalam satu studi,
mengemudi adalah yang paling penting terdaftar sebagai perhatian oleh 28 %
pasien, diikuti oleh pekerjaan ( 21 % ), kemerdekaan ( 9 % ), keselamatan ( 6 %
), aed efek samping (5 %), penyitaan unpredictability (5 %), dan penyitaan
menghindari (5 %) . Penilaian kualitas hidup sebagai sebuah terapi hasil akhirnya
mungkin lebih bermakna dari mengukur tingkat darah dari aeds. Beberapa
instrumen quality-of-life telah digunakan, meskipun terutama sebagai penelitian
tools. Satu penyitaan dapat menghancurkan kepada pasien yang diberikan.
Hal ini jelas bahwa obat yang termurah di epilepsi (misalnya, fenobarbital)
adalah bukan yang terbaik karena jumlah efek samping. Lebih lanjut terapi obat
yang akan mengontrol kejang, mengurangi efek samping, meningkatkan kualitas
hidup dan mengurangi penggunaan sumber daya lain perawatan kesehatan akan
efektif. Karena pengobatan epilepsi terus menjadi sangat pasien-spesifik, obat
atau kombinasi dari obat-obatan yang mengontrol kejang paling jumlah efek
samping akan obat pilihan untuk bahwa pasien tidak peduli seberapa mahal
akuisisi obat biaya.
Karena banyak pasien dengan minimal epilepsi memerlukan variasi
dalam konsentrasi yang darah untuk mencegah kejang dan menghindari efek
samping, peresepan generik untuk epilepsi tetap kontroversial. Satu studi
menyarankan bahwa uang yang diselamatkan oleh peresepan generik adalah
outweighed oleh kesehatan negatif mendapatkan bagi orang dengan epilepsi,
peningkatan bekerja secara umum praktek, sosial dan peningkatan biaya.
EVALUASI HASIL TERAPI
Sebuah berbagai terapi harus didirikan untuk setiap pasien. Kisaran ini harus
menentukan konsentrasi yang mengakibatkan efek samping yang minimal dan
maksimal penyitaan kendali. Terapi berbagai konsentrasi plasma ini harus
digunakan untuk mengidentifikasi patient-specific dosis. yang tepat Pasien harus
dimonitor kronis untuk kejang kontrol, comorbid kondisi, penyesuaian sosial (
termasuk quality-of-life kajian ), interaksi obat, kepatuhan, dan efek. Skrining
untuk periodik comorbid neuropsychiatric kelainan seperti depresi dan
kecemasan ini juga penting. Respon klinis lebih penting daripada serum obat
konsentrasi.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

89

Hasil dapat dinilai oleh calon pemantauan klinis, obat pemanfaatan


Tinjauan dan penilaian kualitas-of-hidup. Pemantauan klinis melibatkan
mengidentifikasi jumlah dan jenis kejang. Pasien harus diberi buku harian kejang,
dan tingkat keparahan serta frekuensi kejang harus dipantau. Harus ada
penurunan jumlah dan/atau tingkat keparahan kejang. Pasien harus
dipertanyakan secara teratur untuk menentukan apakah mereka kejang-bebas.
Hal ini penting untuk mengingat bahwa mungkin sebanyak 30% pasien akan
terselesaikan untuk saat perawatan farmakologis. Pada pasien, jika dokter telah
menetapkan bahwa dosis AED telah dimaksimalkan, salah satu harus
mempertimbangkan AED kombinasi terapi atau, berpotensi, evaluasi untuk
bedah epilepsi atau stimulator saraf vagal.
Pengobatan epilepsi dimulai dengan hati-hati identifikasi penyitaan jenis
dan seleksi yang paling sesuai aed. Terapi harus dimulai perlahan, kecuali dalam
situasi yang mengancam keselamatan jiwanya, untuk menghindari toksisitas
akut. Meskipun sebagian besar pasien dapat dikelola dengan sukses di
monotherapy, beberapa pasien kejang tetap tidak terkendali meskipun
penggunaan beberapa aeds. Beberapa pasien dapat genetically refraktori untuk
aed terapi. Yang aeds, yang lebih baru sebagai terapi tambahan atau
monotherapy, menawarkan tambahan kesempatan untuk menyelesaikan
penyitaan kendali. Ada terus kebutuhan aeds baru dan penambahan penelitian di
daerah ini.
Meninjau pertanyaan dan
www.pharmacotherapy.com.

sumber

daya

lainnya

dapat

ditemukan

di

REFERENSI
CES
1. Leppik IE. Contemporary Diagnosis and Management of the Patient with
Epilepsy, 2d ed. Newtown, PA, Handbooks in Health Care, 1996.
2. Sander JW. The epidemiology of epilepsy revisted. Curr Opin Neurol
2003;16:165170.
3. Annegers JF. The epidemiology of epilepsy. In: Wylie E, ed. The Treatment of
Epilepsy, 3d ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins; 2001:131138.
4. Najm IM, Janigro D, Babb TL. Mechamisms of epileptogenesis a experimenta
models of seizures. In:Wylie E, ed. The Treatment of Epilepsy, 3d ed.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins; 2001:3344.
5. Commission on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981;22: 489501.
6. Commission on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic
syndromes. Epilepsia 1989;30:389399.
7. Vickrey BG, Hays RD, Rausch R, et al. Quality of life of epilepsy surgery
patients as compared with outpatients with hypertension, diabetes,heart disease,
and/or depressive symptoms. Epilepsia 1994;35:597607.
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

90

8. Hecimovic H, Goldstein J, Shelie Y, Gilliam FG. Mechanisms of depression in


epilepsy from a clinical perspective. Epilepsy Behav 2003;4: S2530.
9. Plioplys S. Depression in children and adolescents with epilepsy. Epilepsy
Behav 2003;4:S3945.
10. Wiegartz P, SeidenbergM,Woodard A, et al. Co-morbid psychiatric disorder in
chronic epilepsy: recognition and etiology of depression. Neurology
1999;53(suppl 2):S38.
11. Brodie MJ, French JA. Management of epilepsy in adolescents and adults.
Lancet 2000;356:323328.
12. Mattson RH. Antiepileptic drug monotherapy in adults: selection and use in
new-onset epilepsy. In: Levy RH, Mattson RH, Meldrum BS, Perucca E, eds.
Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2002:72
95.
13. Perucca E, Levy RH. Combination therapy and drug interactions. In: Levy
RH, Mattson RH, Meldrum BS, Perucca E, eds. Antiepileptic Drugs, 5th ed.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins; 2002:96102.
14.

GarnettWR.Antiepileptic drug treatment: Outcomes and adherence


Pharmacotherapy 2000;20:191S199S.
15. Shinnar S, Gross-Tsur V. Discontinuing antiepileptic drug therapy. In: Wyllie
E, ed. The Treatment of Epilepsy, 3d ed. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins, 2001:811819.
16. Wheless J. Vagus nerve stimulation. In: Wyllie E, ed. The Treatment of
Epilepsy, 3d ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2001: 10071015.
17. Benbadis S, Chelune GJ, Stanford LD, et al. Outcome and complications of
epilepsy sugery. In: Wyllie E, ed. The Treatment of Epilepsy, 3d ed. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2001:11971211.
18. Schiller Y, Casino GD, So EL, Marsh R. Discontinuation of antiepileptic drugs
after successful epilepsy surgery. Neurology 2000;54:346349.
19. Nordli DRJ, De Vivo DC. The ketogenic diet revisited: Back to the future.
Epilepsia 1997;38:743749.
20. Rho JM, Sankar R. The pharmacological basis of antiepileptic drug action.
Epilepsia 1999;40:14711483.
21. Harden CL. Therapeutic safety monitoring: What to look for and when to look
for it. Epilepsia 2000;41(suppl 8):S3744.
22. Perucca E. Is there a role of therapeutic drug monitoring of n anticonvulsants.
Clin Pharmacokinet 2000;38:191204.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

91

23. Pack AM, Olarte LS, Morrell MJ, et al. Bone mineral density in an outpatient
population receiving enzyme-inducing antiepileptic drugs. Epilepsy Behav
2003;4:169174.
24. Meador KJ, Gilliam FG, Kanner AM, Pellock JM. Cognitive and behavioral
effects of antiepileptic drugs. Epilepsy Behav 2001;2:S117.
25. Vermeulen J, Aldenkamp AP. Cognitive side-effects of chronic antiepileptic
drug treatment: A review of 25 years of research. Epilepsy Res 1995; 22:6595.
26. Meador KJ, Loring DW, Ray PG, et al. Differential cognitive effects of
carbamazepine and gabapentin. Epilepsia 1999;40:12791285.
27. Meador KJ, Loring DW, Ray PG. Differential cognitive effects o
carbamazepine and lamotrigine (abstact). Neurology 2000;54:A84.
28. Martin R, Kuzniecky R, Ho S, et al. Cognitive effects of topiramate,
gabapentin and lamotrigine in healthy young adults. Neurology 1999;52: 321
327.
29. Elger CE, Bauer J, Scherrmann J,Widman G. Aggrevation of focal epileptic
seizures by antiepileptic drugs. Epilepsia 1998;39:S1518.
30. Mattson RH, Cramer JA, Collins JF, et al. Comparison of carbamazepine,
phenobarbital, phenytoin, and primidone in partial and secondarily generalized
tonic-clonic seizures. New Engl J Med 1985;313:145151.
31. Mattson RH, Cramer JA, Collins JF, et al. A comparison of valproate with
carbamazepine for the treatment of complex partial seizures and secondarily
generalized tonic-clonic seizures in adults. New Engl J Med 1992;327:765771.
32. Beydoun A, Kutluay E. Conversion to monotherapy: Clinical trials in patients
with refractory partial seizures. Neurology 2003;60(suppl 4): S1325.
33. French JA, Kanner AM, Bautista J, et al. Efficacy and tolerability of the new
antiepileptic drugs: I. Treatment of new-onset epilepsy. Epilepsia 2004:45;401
409.
34. French JA, Kanner AM, Bautista J, et al. Efficacy and tolerability of the New
antiepileptic drugs: II. Treatment of refractory epilepsy. Epilepsia 2004:45;410
423.
35. Marson AG, Kadir ZA, Chadwick DW. New antiepileptic drugs: A systematic
review of their efficacy and tolerability. Br Med J 1996;313: 11691174.
36. Karceski S, Morrell M, Carpenter D. The expert consensus guideline series:
Treatment of epilepsy. Epilepsy Behav 2001;2:A1A50.
37. Smith S, Wolley CS. Cellular and molecular effects of steroid hormones and
CNS excitability. Cleve Clin J Med 2004;71:S510.
38. Morrell MJ, Montouris GD. Reproductive disturbances in patients with
epilepsy. Cleve Clin J Med 2004;71:S1924.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

92

39. Yerby MS, Kaplan P, Tran T. Risks and management of pregnancy in women
with epilepsy. Cleve Clin J Med 2004;71:S2537.
40. Garnett WR. Antiepileptics. In: Schumacher GE, ed. Therapeutic Drug
Monitoring. Norwalk, CT, Appleton and Lange, 1995:345395.
41. Garnett WR. Carbamazepine. In: Murphy J, ed. Clinical Pharmacokinetics, 2d
ed.Washington, American Society of Health-Systems Pharmacists, 2004.
42. Garnett WR. Ethosuximide. In: Murphy J, ed. Clinical Pharmacokinetics.
Washington, American Society of Health-Systems Pharmacists, 2004.
43. Pellock JM, Perhach JL, Sofia RD. Felbamate. In: Levy RH, Mkattson RH,
Meldrum BS, et al, eds. Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2002:301318.
44. LaRoche SM, Helmers SL. The new antiepileptic drugs: Scientific review.
JAMA 2004;291:605614.
45. French JA, Kanner AM, Bautista J, et al. Efficacy and tolerability of the new
antiepileptic drugs: I. Treatment of new onset epilepsy. Neurology 2004;62:1252
1260.
46. French JA, Kanner AM, Bautista J, et al. Efficacy and tolerability of the new
antiepileptic drugs: II. Treatment of refractory epilepsy. Neurology 2004;62:1261
1273.
47. Taylor CP, Gee NS, Su TZ, et al. A summary of mechanistic hypothesis of
gabapentin pharmacology. Epilepsy Res 1998;29:233249.
48. Luer MS, Hamani C, Dujovny M, et al. Saturable transport of gabapentin at
the bloodbrain barrier. Neurol Res 1999;21:559562.
49. Gidal BE, Radulovic LL, Kruger S, et al. Inter- and intrasubject variability in
gabapentin (GBP) absorption and absolute bioavailability. Epilepsy Res
2000;40:123127.
50. Gidal BE, Maly MM, Kowalski J, et al. Gabapentin absorption: Effect of mixing
with foods of varying macronutrient content. Ann Pharmacother 1998;32:405
408.
51. Wong MO, Eldon MA, Keane WF, et al. Disposition of gabapentin in anuric
subjects on hemodialysis. J Clin Pharmacol 1995;35:622626.
52. Lee DO, Steingard RJ, Cesena M, et al. Behavioral side effects of gabapentin
in children. Epilepsia 1996;37:8790.
53. McLean MJ, Gidal BE. Gabapentin in the treatment of epilepsy: A dosing
review. Clin Ther 2003;25:13821406.
54. Gidal BE, DeCerce J, Bockbrader HR, et al. Gabapentin bioavailability: Effect
of dose and frequency of administration in adult patients with epilepsy. Epilepsy
Res 1998;31:9199.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

93

55. Gilman JT. Lamotrigine: An antiepileptic agent for the treatment of partial
seizures. Ann Pharmacother 1995;29:144151.
56. Dickins M, Chen C. Lamotrigine: Chemistry, biotransformation, and
pharmacokinetics. In: Levy RH, Mattson RH, Meldrum BS, et al, eds., Antiepiletic
Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 002:369379.
57. Messenheimer JA. Rash in adult and pediatric patients treated wit
lamotrigine. Can J Neurol Sci 1998;25:S1418.
58. Holdrich T, Whiteman P, Orme M, et al. Effect of lamotrigine o pharmacolog
of the combined oral contraceptive pill (abstract). Epilepsia 1992;32(suppl 1):96.
59. LoscherW, Honack D, Rundfeldt C. Antiepileptogenic effects of the novel
anticonvulsant levetiracetam (ucb LO59) in the kindling model of temporal lobe
epilepsy. J Pharm Exp Ther 1998;284:474479.
60. Welty TE, Gidal BE, Ficker DM, Privitera MD. Levetiracetam: A different
approach to the pharmacotherapy of epilepsy. Ann Pharmacother 2002;36:296
304.
61. Perucca E, Gidal BE. Effects of antiepileptic comedication on levetiracetam
pharmacokinetics: A pooled analysis of data. from randomized adjunctive therapy
trials. Epilepsy Res 2003;53:4756.

62. Ambrosio AF, Soares-Da-Silva P, Carvalho CM, Carvalho AP. Mechanisms of


action of carbamazepine and its derivatives, oxcarbazepine, BIA 2-093 and BIA
2-024. Neurochem Res 2002;27:121130.
63. Ambrosio AF, Silva AP, Malva JO, et al. Carbamazepine inhibits L-type Ca2+
channels in coctrinal RAT hippocampal neurons stimulated with glutamate
receptor agonists. Neuropharmacology 1999;38:13491359.
64. Lloyd P, Flesch G, Dieterle W. Clinical pharmacology and pharmacokinetics
of oxcarbazepine. Epilepsia 1994;35:1013.
65. Kalis MM, Huff NA. Oxcarbazepine, an antiepileptic agent. Clin Therapeut
2001;23:680700.
66. May TW, Ramback B, Jurgens U. Influence of oxcarbazepine and
methsuximide on lamotrigine concentrations in epileptic patients with and without
valproic acid co-medication: results of a retrospective study. Ther Drug Monit
1999;21:175181.
67. Baulac M, Cramer JA, Mattson RH. Phenobarbital and other barbiturates:
Adverse effects. In: Levy RH, Mattson RH, Meldrum BS, et al, eds. Antiepileptic
Drugs, 5th ed. Philadelphia, LippincottWilliams&Wilkins, 2002, 528540.
68. Tozer TN,Winter ME. Phenytoin. In: Evans WE, Schentag JJ, Jusko WJ, eds.
Applied Pharmacokinetics, 3d ed. Spokane,WA, Applied Therapeutics 1992:25125-44.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

94

69. Anderson GD, Pak C, Doane KW, et al. Revised Winter-Tozer equation for
normalized phenytoin concentrations in trauma and elderly patients with
hypoalbuminemia. Ann Pharmacother 1997;31:279284.
70. Bruni J. Phenytoin and other hydantoins: Adverse effects. In: Levy RH,
Mattson RH, Meldrum BS, et al, (eds). Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2002:605610.
71. Privitera MD. Clinical rules for phenytoin dosing. Ann Pharmacother
1993;27:11691173.
72. Schachter SC. Tiagabine: Current status and potential clinical applications.
Exp Opin Invest Drugs 1996;5:13771387.
73. Leppik IE. Tiagabine: The safety landscape. Epilepsia 1995;36:S1013.
74. Walker MC, Sander JW. Topiramate: A new antiepileptic drug for refractory
epilepsy. Seizure 1996;5:199203.
75. Gidal BE, Lensmeyer GL. Therapeutic drug monitoring of topiramate:
Evaluation of the saturable distribution between erythrocytes and plasma in
whole blood using an optimized HPLC Method. Ther Drug Monit 1999;21:567
576.
76. Langtry HD, Gillis JC, Davis R. Topiramate: A review of its pharmacodynamic
and pharmacokinetic properties and clinical efficacy in the management of
epilepsy. Drugs 1997;54:752773.
77. Shorvon SD. Safety of topiramate: adverse events and relationship to dosing.
Epilepsia 1996;37(suppl 2):S1822.
78. Gidal BE. Topiramate: Drug interactions. In: Levy RH, Mattson RH, Meldrum
BS, et al, eds. Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins, 2002:735739.
79. Faught E, Wilder BJ, Ramsay RE, et al. Topiramate placebo-controlled doseranging trial in refractory partial epilepsy using 200-, 400-, and 600-mg daily
dosages. Neurology 1996;46:16841690.
80. Privitera M, Fincham R, Penry J, et al. Topiramate placebo-controlled doseranging trial in refractory partial epilepsy using 600-, 800-, and 1,000-mg daily
dosages. Neurology 1996;46:16781683.
81. Davis R, Peters DH, McTavish D. Valproic acid: A reappraisal of its
pharmacological properties and clinical efficacy in epilepsy. Drugs 1994;47:332
372.
82. Gidal BE, Anderson GD, Spencer NW, et al. Valproate-associated weight
gain in patients with epilepsy: potential relationship to energy expenditure and
metabolism. J Epilepsy 1996;9:234241.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

95

83. Genton P, Gelissse P. Valproic acid: Adverse effects. In: Levy RH, Mattson
RH, Meldrum BS, et al, Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2002:837851.
84. Gidal BE, Inglese CM, Meyer JM, et al. Diet and valproate mediated transient
hyperammonemia: Effect of l-carnitine supplementation in children with epilepsy.
Pediatr Neurol 1997;16:301305.
85. Scheyer RD. Valproic acid: Drug interactions. In: Levy RH, Mattson RH,
Meldrum BS, et al, eds. Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2002:801807.
86. Macdonald RL. Zonisamide: Mechanisms of action. In: Levy RH, Mattson RH,
Meldrum BS, et al, eds. Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2002:867872.
87.
Shah
J,
Shellenberger
K,
Canafax
DM.
Zonisamide:
Chemistrybiotransformation, and pharmacokinetics. In Levy RH, Mattson RH,
Meldrum BS, et al, ed. Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams &Wilkins, 2002:873879.
88. Lee BI. Zonisamide: Adverse effects. In: Levy RH, Mattson RH, Meldrum BS,
et al. (ed)., Antiepileptic Drugs. Philadelphia, LippincottWilliams & Wilkins, 2002;
892898.

89. Mather GG, Shah J. Zonisamide: Drug interactions. In: Levy RH, Mattson RH,
Meldrum BS, et al, eds: Antiepileptic Drugs, 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2002:880884.
90. Pashko S, McCord A, Sena MM. The cost of epilepsy and seizures in a
cohort of Pennsylvania Medicaid patients. Med Interface 1993 (November):84.
91. Begley CE, Annegers JF, Lairson DR, et al. Cost of epilepsy in the United
States:Amodel based on incidence and prognosis. Epilepsia 1994; 35:1230
1243.
92. Hughes D, Cockerell OC. A cost minimization study comparing vigabatrin,
lamotrigine, and gabapentin for the treatment of intractable partial epilepsy.
Seizure 1996;5:8995.
93. Gilliam F, Kuzniecky R, Faught E, et al. Patient-validated content of epilepsy
specific quality-of-life measurement. Epilepsia 1997;38:233 236.
94.
Jacoby
A.
Assessing
quality
of
epilepsyPharmaoeconomics 1996;9:399416.

life

in

patients

with

95. Crawford P, HallWW, Chappell B, et al. Generic prescribing for epilepsy: Is it


safe? Seizure 1996;5:15.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

96

55
Status Epileptikus
Stephanie J. Phelps, Collin A. Hovinga, dan Bradley A.Boucher
Konsep kunci

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

97

1 Status epileptikus ( SE ) adalah keadaan darurat neurologis yang mungkin


dihubungkan dengan morbiditas yang signifikan (yaitu , kerusakan otak ) dan
kematian .
2 Generalized Convulsive Status Epileptikus ( GCSE ) didefinisikan sebagai
setiap aktivitas kejang berulang atau terus-menerus berlangsung lebih lama dari
30 menit di mana pasien tidak kembali ke status mental dasar. Setiap kejang
tonik klonik yang tidak berhenti secara otomatis dalam waktu 10 menit harus
dirawat.
3 Ada dua jenis status epileptikus , Generalized Convulsive Status Epileptikus (
GCSE ) dan Nonconvulsive Status Epileptikus ( NCSE ) . GCSE adalah jenis
yang paling umum .
4 Kebanyakan GCSE berkembang pada pasien yang tidak memiliki riwayat
epilepsi. Namun, pasien dengan epilepsi yang sudah ada sebelumnya mungkin
mengalami GCSE sebagai akibat dari penarikan obat antikonvulsan akut,
gangguan metabolisme atau penyakit bersamaan , atau perkembangan penyakit
neurologis.
5 Meskipun patofisiologi GCSE tidak diketahui, model eksperimental telah
menunjukkan bahwa ada penurunan dramatis dalam asam - aminobutirat (
GABA ) - dimediasi hambat sinaptik transmisi dan glutamatergic rangsang
sinaptik transmisi menopang kejang.
6 Perlakuan Umum meliputi stabilisasi pasien, oksigenasi yang memadai,
pelestarian fungsi kardiorespirasi, pengelolaan komplikasi sistemik , dan
penilaian agresif penyebab yang mendasar.
7 Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan otak dengan mengakhiri semua aktivitas klinis dan listrik kejang
sesegera mungkin. Risiko kerusakan meningkat setelah 1 sampai 2 jam kejang
terus menerus.
8 Lorazepam adalah benzodiazepine yang disukai dalam pengobatan GCSE
karena durasi tindakan yang panjang.
9 Saat ini, hydantoin ( fenitoin dan fosphenytoin ) adalah antikonvulsan longacting yang paling sering digunakan. salah satu fenitoin atau fosphenytoin harus
diberikan bersamaan dengan benzodiazepin.
10 Tingkat maksimum infus untuk fenitoin dan fosphenytoin pada orang dewasa
adalah masing-masing 50 mg / menit dan 150 mg PE / menit.
11 Jika GCSE tidak dikontrol oleh benzodiazepin, hydantoin, atau fenobarbital ,
GCSE dianggap sulit disembuhkan, dan terapi lain harus dipertimbangkan.
Status epileptikus ( SE ) adalah keadaan darurat neurologis umum yang mungkin
terkait dengan kerusakan otak dan kematian. Meskipun tidak ada konsensus

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

98

tentang definisi , International Classification of Epileptic Seizures mendefinisikan


SE sebagai ( 1 ) kejang apapun berlangsung lebih lama dari 30 menit atau
tidaknya kesadaran terganggu atau ( 2 ) kejang berulang tanpa periode
intervensi kesadaran. SE dapat dilihat dalam beberapa bentuk ( Tabel 55-1 ) ,
termasuk Status epileptikus nonconvulsive ( NCSE ) dan Status Epileptikus
Konvulsif Umum ( GCSE ) . Adanya atipikal , mioklonik , dan kompleks parsial
NCSE terjadi pada sekitar 25 % dari mereka dengan SE . Hal ini ditandai oleh
fluktuasi atau " twilight " yg terus-menerus pada tempat yang memproduksi
kesadaran dan / atau perilaku ( misalnya , lesu , penurunan fungsi mental) .
Sebuah electroencephalogram ( EEG ) adalah alat diagnostik dan alat
manajemen yang paling penting. Dalam kebanyakan kasus , benzodiazepine dan
/ atau valproate tetap menjadi obat pilihan untuk ketidakhadiran dan NCSE
parsial kompleks Meskipun intravena ( IV ) fenitoin/fosphenytoin atau fenobarbital
dapat dicoba pada pasien yang refrakter terhadap terapi sebelumnya, anestesi
umum atau barbiturate tidak cocok. Pembaca disebut beberapa ulasan untuk
diskusi yang lebih komprehensif dan manajemen farmakologis NCSE nya. GCSE
adalah bentuk paling umum dan status epileptikus yang parah yang ditandai
dengan kejang primer atau sekunder yang berulang yang melibatkan kedua
belahan otak dan berhubungan dengan kondisi postictal persisten . Bab ini akan
fokus pada epidemiologi , patofisiologi , presentasi , dan manajemen GCSE .
Epidemiologi
Sulit untuk menentukan kejadian GCSE karena kebanyakan studi gagal untuk
mempertimbangkan usia pasien, etiologi kejang, dan jenis atau durasi dari
kejang. Insiden global GCSE diperkirakan berkisar antara 1,2 dan 5 juta kasus
per tahun, dengan kejadian tahunan dari sekitar 100.000 sampai 152.000 kasus
setiap tahun di Amerika States. GCSE tidak memiliki perbedaan untuk jenis
kelamin atau status sosial ekonomi tetapi tidak terjadi lebih sering pada non-kulit
putih di semua umur. Kebanyakan episode GCSE terjadi pada individu tanpa
riwayat epilepsy dan sekitar 5% orang dewasa dan 10% sampai 25% anak-anak
dengan epilepsi diperkirakan akan memiliki sebuah episode GCSE.

TABEL 55-1 Klasifikasi Internasional dari Status Epileptikus


Konvulsif
Non konvulsif
Terminologi
Terminologi
Internasional
Internasional
Tradisional
Tradisional
SE Primer umum Grand
mal, Absencec
Petit mal, spikeTonik-klonika,b
Konvulsif
and-wave stupor,
a,c
Tonik
epileptitikus
spike-and-slowKlonikc
wave or 3/s spikeMioklonikb
and-wave,
Erraticd
epileptic fugue,
epilepsia minora

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

99

SE
sekunder
umum
Tonika,b
Kejang
parsial
dengan
generalisasi
sekunder

SE Parsiala,b

Simple partial
Somatomotor
Disphasyc
Tipe
lain
dari
parsial kompleks

continua,
epileptic
twilight,
minor SE
Motorik
fokal,
sensorik
fokal,
partialis epilepsia
continuans,
adversive SE
Elementer

Lobus
temporal,
psikomotor,
keadaan
epilepsi
fugue,
epilepsi
dengan
pingsan
berkepanjangan,
epilepsy dengan
keadaan bingung
berkepanjangan,
epilepsi
terus
menerus
Keadaan twilight
a

Paling Sering terjadi pada anak yang lebih tua


Paling Sering terjadi pada remaja dan orang dewasa.
c
Paling sering terjadi pada bayi dan anak yang kecil
d
Paling sering terjadi pada neonatus
b

Etiologi
Pencetus GCSE bervariasi antara studi dan umumnya mencerminkan populasi
yang berbeda serta pola rujukan. Episode yang kebanyakan terjadi pada epilepsi
diketahui terjadi karena penarikan antikonvulsan akut, gangguan metabolisme
atau penyakit bersamaan, atau perkembangan penyakit neurologis yang sudah
ada. Etiologi umum dan tingkat kematian populasi pediatrik dan dewasa
ditunjukkan dalam tabel 55-2.
Kejadian pemicu untuk GCSE dibagi menjadi etiologi tipe I dan tipe II. etiologi
Tipe I yang tidak terkait dengan struktur baru lesi tetapi mencakup pasien
dengan riwayat epilepsi . konsentrasi serum antikonvulsan tinggi atau penarikan
mereka dapat memicu GCSE . Sejumlah resep , over-the counter ( OTC ) , dan
obat-obatan rekreasi harus dipertimbangkan dalam setiap pasien dengan onset
baru GCSE . etiologi tipe II berhubungan dengan lesi struktural dan memiliki
prognosis buruk .
Ada perbedaan besar dalam etiologi untuk anak dan pasien dewasa ( lihat Tabel
55-2 ) . Selama beberapa minggu pertama kehidupan, bayi yang lahir dari ibu
yang kecanduan dapat mengembangkan kejang karena putus obat. Subset dari
populasi neonatal dapat mengembangkan GCSE karena kekurangan piridoksin .

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
0

EEG harus normal dalam hitungan jam setelah pengobatan dengan piridoksin
intravena ( 100 mg ) . Ensefalopati akut dan gangguan metabolisme ( kesalahan
bawaan metabolisme ) adalah penyebab utama GCSE pada pasien muda dari
usia 1 tahun. Pada anak-anak, penyebabnya adalah idiopatik tetapi mungkin
berhubungan dengan gejala seperti demam dan / atau virus penyakit. Kecuali
disertai kelainan neurologis yang mendasarinya, demam -induced GCSE kurang
disukai jika dihubungkan dengan gejala sisa .
Peristiwa pencetus paling sering pada orang dewasa adalah penyakit
serebrovaskular, penarikan antikonvulsan dan konsentrasi serum antikonvulsan
yang rendah. Menariknya, infeksi bukanlah penyebab utama GCSE pada orang
dewasa , namun telah terjadi peningkatan laporan asosiasi dengan infeksi virus
HIV. penyakit cerebrovascular adalah penyebab utama dari GCSE pada mereka
yang memiliki kejang pertama setelah usia 60 .
TABEL 55-2 Etiologi dan Mortalitas untuk kasus Status Epileptikus pada anakanak dan orang dewasa
Etiologi

Pediatrik (n 200) %
kasus SE (%mortalitas)

DEwasa ( n 512) %
KAsus SE (% mortalitas)

55 (5)
11 (0)
20 (5)
16 (0)
0 (0)
6 (0)

6(35)
2(20)
12(36)
24(7)
13(8)
13(18)

Tipe 1 (tidak ada lesi


structural)
Infeksi
Infeksi CNS
Metabolik
Level AED rendah
Alkohol
Idiopatik

Tipe 2 ( terdapat lesi


structural)
27(13)
14(65)
Anoxia/hipoksia
3(50)
5(22)
Tumor CNS
5(0)
26(27)
CVA
5(0)
3(23)
Overdosis obat
5(11)
4(35)
Hemorrhage
13(0)
3(23)
Trauma
33(5)
7(13)
Remote causesa
Persentase tidak mencapai 1005 karena beberapa pasien memeiliki etiologi yang
banyak. (AED=Anti Epileptic Drug; CVA=Cerebrovascular Accident)
a

Lebih dari setengah Remote Causes adalah cacat bawaan dan CVA pada
pasien anak dan dewasa.

Morbiditas
Tidak ada yang akan membantah bahwa GCSE berbahaya bagi otak dan
dikaitkan dengan morbiditas. Namun, apakah morbiditas terjadi dari etiologi yang
mendasari atau sebagai akibat dari GCSE sendiri tetap akan ditentukan .
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
1

kebanyakan orang berpendapat bahwa itu adalah GCSE yang bertanggung


jawab untuk morbiditas. GCSE merusak saraf pada hewan model jelas setelah
30 sampai 60 menit tanpa merangsang para stimulus, dan kebanyakan hewan
megalami kemajuan perkembangan epilepsy setelah kejang berkepanjangan.
Menariknya, menghambat kerusakan saraf yang berhubungan dengan kejang
tidak mencegah perkembangan epilepsi pada hewan-hewan ini, menunjukkan
bahwa kejang sendiri mungkin berbahaya. Sulit untuk membangun hubungan
antara hasil jangka panjang pada manusia dengan GCSE. Hal ini terutama
karena sulit untuk mempertimbangkan efek dari jenis kejang, etiologi, durasi,
bersamaan peristiwa fisiologis, dan terapi atau ketiadaan. Namun, telah banyak
yang menunjukkan bahwa manusia dengan riwayat demam dengan kejang
berkepanjangan yang kemudian dikembangkan menjadi epilepsi berbagi
perubahan histopatologi yang sama (misalnya , sclerosis hippocampal ) yang
ditemukan pada hewan model GCSE.
Dalam kasus ini periode antara kejang berkepanjangan awal dan yang epilepsi
kejang pertama dapat terjadi dalam hitungan bulan sampai dekade. Hal ini
menunjukkan bahwa mungkin ada hubungan antara GCSE dan perkembangan
epilepsy selanjutnya. Yang penting , penelitian pada hewan dan manusia
menunjukkan bahwa antikonvulsan tersedia saat ini tidak mencegah
pengembangan epilepsi diikuti kejang berkepanjangan, Pasien yang
mengembangkan epilepsi mengikuti GCSE berkepanjangan yang kurang
mungkin untuk mengalami pengampunan kejang mereka dan mungkin memiliki
penurunan fungsi kognitif dan memori, keterbelakangan mental , atau defisit
neurologis. Kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa anak-anak muda
dan orang-orang yang sebelumnya telah epilepsi memiliki kecenderungan yang
lebih tinggi untuk gejala sisa .
Mortalitas
Angka kematian diperkirakan di Amerika Serikat mengikuti GCSE berkisar antara
22.000 dan 42.000 orang per year. Perkiraan terbaru menyebutkan tingkat
kematian hingga 10 % pada anak-anak, 11 % di orang dewasa, dan 38 % di
orang tua. Ketika dibandingkan dengan populasi lain , neonatus dengan kejang
memiliki angka kematian lebih tinggi dan lebih neurologis gejala sisa ( misalnya
retardasi mental, cerebral palsy , epilepsi dan ) . Tabel 55-2 meringkas etiologi
untuk GCSE dan berhubungan tingkat kematian. Menariknya, kematian terkait
dengan banyak etiologi secara signifikan lebih besar pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak .
Pasien tidak responsif mungkin meninggal karena GCSE , tetapi lebih sering
mereka meninggal sebagai akibat dari penyakit akut yang diendapkan GCSE.
Sebagai contoh, pasien dengan perubahan struktur sistem saraf pusat serius (
misalnya , perdarahan , stroke ) memiliki prognosis buruk , sedangkan mayoritas
( yaitu , 80-90 % ) pasien dengan tidak ada lesi struktural umumnya menanggapi
dengan fenitoin intravena. Dua variabel yang mempengaruhi hasil adalah waktu
antara onset GCSE dan inisiasi pengobatan dan durasi kejang . GCSE yang

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
2

berlangsung lebih lama dari 60 menit memiliki angka kematian yang tinggi ( 32 %
) daripada kejang berlangsung kurang dari 60 menit ( 2,5 % ). Meskipun satu
mungkin mengharapkan hasil yang lebih baik bagi pasien dikelola medis utama
pusat, tidak ada perbedaan dalam mortalitas antara rumah sakit komunitas dan
pusat medis. Untungnya, kemungkinan kematian menurun selama dekade
terakhir dan mungkin mencerminkan perubahan dalam definisi GCSE ( 60-30
menit ) , pengakuan akan kebutuhan untuk memulai Terapi presequenced
segera, dan pemahaman yang lebih besar tentang patogenesis GCSE .
Patogenesis
Homeostasis otak yang diawetkan dengan kemampuan jaringan saraf lokal untuk
mengakhiri impuls rangsang berlebihan sebelum mereka menyebar ke jaringan
lain. Kejang terjadi ketika neurotransmisi rangsang mengatasi impuls
penghambatan dalam satu atau lebih daerah otak ( misalnya , saraf jaringan ).
Kebanyakan kejang singkat ( 5 menit ) terutama karena mekanisme
penghambatan
otak
yang
mengembalikan
keseimbangan
normal
neurotransmission. Saat ini, ada sedikit diketahui tentang mengapa mekanisme
yang mengontrol homeostasis otak normal gagal. Namun , ketika kejang
berulang terjadi dalam suksesi dekat atau besarnya yang proconvulsant (yaitu ,
kejang - inducing ) stimulus cukup parah, mekanisme kompensasi bisa
kewalahan dan menyebabkan GCSE. Meskipun mekanisme seluler yang tepat
yang bertanggung jawab untuk produksi impuls saraf yang abnormal tidak
diketahui, tampaknya bahwa inisiasi kejang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara rangsang ( misalnya, glutamat, kalsium, natrium, substansi P, dan
neurokinin B ) dan penghambatan neurotransmisi ( misalnya, asam aminobutyric [ GABA ], adenosin, kalium, neuropeptide Y [ NPY ], peptida opioid,
dan galanin ). Pemeliharaan kejang terkait dengan GCSE ini terutama
disebabkan untuk neurotransmitter rangsang glutamat yang bekerja pada
postsynaptic N - metil - d - aspartat ( NMDA ) dan - amino - 3 - hidroksi - 5 metil - 4 isoxazolepropionate ( AMPA ) / reseptor kainate. Sebagian besar dari
apa yang diketahui tentang GCSE telah difokuskan pada saluran ion ( reseptor gated atau tegangan - dependent), dengan kurang diketahui tentang utusan
system reseptor detik ( misalnya , reseptor glutamat metabotropic ). Selama
GCSE , aktivasi reseptor glutamat NMDA dan AMPA menyebabkan pembukaan
pinntu kalsium dan saluran natrium. Masuknya ion menyebabkan depolarisasi
saraf . Depolarisasi berkelanjutan tidak hanya dapat mempertahankan GCSE
tetapi juga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian neuronal melalui
kalsium, radikal bebas, dan kinase - dimediasi events. Meskipun obat yang
bekerja sebagai NMDA dan AMPA antagonis reseptor tampaknya menjadi pilihan
menarik untuk pengobatan GCSE, ada kemungkinan bahwa glutamat tidak satusatunya mekanisme untuk GCSE dan bahwa mekanisme lain menjadi semakin
penting sebagai durasi kejang meningkat. Reseptor GABAA reseptor
postsynaptic yang mengontrol saluran klorida untuk menghasilkan
hyperpolarization ( penghambatan ) dari membran sel postsynaptic . Reseptor ini
memiliki bagian mengikat GABA , serta untuk antikonvulsan ( misalnya, agonis

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
3

GABA fenobarbital dan benzodiazepin ) dan meningkatkan GABAA dimediasi


hambat arus klorida. Hal ini pernah terjadi bahwa ada penurunan dalam rilis
GABA presynaptic yang menyebabkan kejang berkepanjangan selama GCSE.
Data saat ini , bagaimanapun, menunjukkan bahwa konsentrasi GABA meningkat
selama fase awal GCSE dan terus diangkat selama akhir GCSE. Kejang
berkepanjangan menyebabkan penurunan desitas hambat reseptor GABAA
karena reseptor postsynaptic endositosis , dan reseptor GABAA dapat diubah
selama SE sehingga ada penurunan respon untuk kedua GABA endogen dan
GABA agonists. klinis , hal ini dapat memiliki efek yang dramatis terhadap
respon baik untuk benzodiazepin dan fenobarbital, potensi mereka dapat
dikurangi hingga sepuluh kali lipat jika kejang bertahan selama 30 menit atau
lebih lama. Fenomena serupa terjadi dengan kanal antagonis natrium ( fenitoin ) ,
namun besarnya resistensi diyakini akan berkurang.
Patofisiologi
Sebagai lanjutan GCSE, ada ditemukan perubahan sistemik, perkembangan
fenomena motorik, dan pengembangan spesifik EEG. Dua tahap yang berbeda
dan dapat diprediksi telah diidentifikasi. Tahap I terjadi selama 30 menit pertama
aktivitas kejang, dan tahap II dimulai 60 menit kemudian. Meskipun adanya
komplikasi sistemik mempengaruhi prognosis GCSE, orang harus ingat bahwa
kejang berkepanjangan dapat merusak neuron independen ini. Bahkan , efek
sistemik dari eksperimen diinduksi kejang pada hewan dapat diblokir, tetapi
kerusakan neokorteks, otak kecil, dan hipokampus berlanjut. Selama fase I,
masing-masing menghasilkan kejang yang
ditandai peningkatan plasma
epinefrin, norepinefrin, dan konsentrasi steroid yang dapat menyebabkan
hipertensi, takikardia, dan aritmia jantung. Dalam beberapa menit, tekanan
sistolik arteri akan naik menjadi di atas 200 mm Hg , dan denyut jantung dapat
meningkat menjadi 83 denyut per menit. Meskipun tekanan darah kembali normal
dalam waktu 60 menit, berarti tekanan arteri tidak jatuh di bawah 60 mm Hg,
maka tekanan perfusi otak tidak terganggu. Pada hewan , aliran darah otak juga
meningkat 200 % menjadi 600 % , sehingga melindungi neuron dari hipoksia.
Induksi Kejang peningkatan stimulasi simpatis dan parasimpatis jantung, dengan
adanya hipoksia miokardium, dapat menyebabkan aritmia ventrikel. Stimulasi
neuron Otonom juga dapat menyebabkan pelepasan insulin dan glukagon
bersamaan, beredar katekolamin menyebabkan tingginya siklik adenosine
monofosfat, memproduksi glikogenolisis. Meskipun pasien mungkin menjadi
hiperglikemia, awalnya, kadar serum glukosa mulai turun. Kejang yang
disebabkan kontraksi otot dan hipoksia menyebabkan pelepasan asam laktat
yang dapat menghasilkan asidosis berat yang bisa disertai oleh hipotensi dan
shock. Kontraksi otot dapat mejadi sangat parah sehingga rhabdomyolysis
dengan hiperkalemia sekunder dan nekrosis tubular akut dapat terjadi. Napas
mungkin akan terhalangi, dan pasien mungkin menjadi cyanotic atau hipoksia
setiap saat. Selain itu, peningkatan air liur dan sekresi trakea dan paru dapat
menyebabkan aspirasi pneumonia. Meskipun pleocytosis transien (yaitu , sel
darah putih menghitung hingga 20.000 / mm3 ) dapat dikembangkan, tidak harus

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
4

dikaitkan dengan GCSE sampai penyebab infeksi telah dieliminasi antara kejang
, EEG melambat , dan tekanan darah menjadi normal. Meskipun kebutuhan
metabolik meningkat, otak mampu mengkompensasi ini. Jika aktivitas kejang
melebihi 60 menit ( tahap II ), debit iktal EEG dan klonik aktivitas motorik menjadi
terus menerus, dan pasien mulai dekompensasi. Meskipun peningkatan kadar
katekolamin, tekanan darah tidak lagi meningkat, dan pasien mungkin menjadi
hipotensi. Selama tahap akhir, autoregulasi dari aliran darah otak menjadi
tergantung pada tekanan arteri rata-rata dan mulai gagal. ada terus menjadi
konsumsi berlebihan oksigen dan glukosa, namun, mekanisme kompensasi tidak
lagi mampu bersaing dengan tuntutan. Selama tahap II, konsentrasi serum
glukosa mungkin normal atau menurun. Hipoglikemia yang mendalam,
hiperinsulinemia dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi hati atau pada
mereka dengan glikogen berkurang ( misalnya , orang tua , neonatus ).
hipertermia dan kerusakan pernafasan dengan gagal hipoksia dan ventilasi dapat
berkembang. Ada juga mungkin komplikasi metabolik dan biokimia, termasuk
pernapasan dan asidosis metabolik, hiperkalemia ,hiponatremia, dan azotemia.
Ada peningkatan keringat dan air liur. Ditandai peningkatan prolaktin dalam
plasma, glukagon , hormon pertumbuhan , dan konsentrasi hormon
adrenokortikotropik juga telah diidentifikasi. Yang penting, selama kejang
berkepanjangan, aktivitas motorik dapat berhenti, namun kejang listrik dapat
bertahan. Fakta ini telah memiliki konsekuensi klinis, dalam kejang pasien
mungkin tampak telah telah dihentikan tanpa pengobatan atau ketika terapi
efektif adalah diberikan.
KONTROVERSI KLINIS
Antikonvulsan long-acting yang mana yang harus diberikan setelah pengobatan
awal GCSE dengan benzodiazepin dianggap kontroversial. Menurut
rekomendasi 1993 dari Yayasan Epilepsi dari America'sWorking Grup pada
status epileptikus, fenitoin harus digunakan dalam kejang yang kambuh setelah
pengobatan berhasil dengan benzodiazepine. Meskipun ini telah dilakukan
selama beberapa dekade, belum ada penelitian telah mendokumentasikan
keunggulan hydantoin di atas pengobatan lainnya.
Presentasi klinis dan Diagnosis
Diagnosis yang akurat memerlukan pengamatan, pemeriksaan fisik, penelitian
laboratorium, EEG, dan pencitraan neurologis. Sebuah anamnesa mengenai sifat
dan durasi kejang harus diperoleh, dan diagnosis GCSE tidak boleh dilakukan
sampai seorang dokter telah mengamati setidaknya satu kejang pada pasien
dengan riwayat kejang berulang dan gangguan kesadaran. Kebanyakan pasien
memiliki perubahan kesadaran yang berkisar ditandai dengan kelesuan dan
mengantuk dengan diucapkan secara tidak rsponsif dengan mata terbuka dan
kekakuan lilin motor fitur mungkin termasuk kontraksi otot, ekstensor atau fleksor
sikap, dan kejang. Seiring waktu, manifestasi klinis menjadi kurang jelas, dan
diagnosis membutuhkan penilaian hati-hati. Selain penilaian bahasa dan
kemampuan kognitif, pemeriksaan fisik juga harus menilai motorik, sensorik, dan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
5

reflex kelainan dan respon pupil, asimetri, dan sikap pada pemeriksaan
neurologis. Karena kejang umumnya dapat menyebabkan cedera fisik, pasien
harus diperiksa untuk cedera sekunder ( misalnya, laserasi lidah, dislokasi bahu,
trauma kepala, dan trauma wajah ). Tes laboratorium sangat penting untuk
diagnosis berbagai etiologi. Hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia,
hypomagnesemia, hipokalsemia, dan gagal ginjal semua dapat menyebabkan
kejang. urin A Layar obat dapat membantu untuk menyingkirkan kemungkinan
penggunaan narkoba atau overdosis obat. Serum penentuan konsentrasi obat ( s
) pada mereka pada antikonvulsan kronis harus diperoleh karena konsentrasi
tinggi obat tertentu dapat menyebabkan kejang , dan rendah atau konsentrasi
yang tidak tereteksi mungkin mencerminkan ketidakpatuhan atau penaikan obat
yang cepat. Konsentrasi serum dasar diperlukan untuk menentukan apakah
dosis loading dari antikonvulsan tertentu mungkin atau mungkin tidak diperlukan.
Penilaian parameter laboratorium lainnya (misalnya, albumin, fungsi ginjal, dan
fungsi hati ) yang mempengaruhi dosis antikonvulsan mungkin juga berguna.
EEG adalah alat diagnostik yang berharga, tetapi pengobatan tidak harus
ditunda sambil menunggu pengujian atau hasil. Fase kedua dalam diagnosis
terjadi setelah kejang berhenti dan pasien stabil. Hal ini penting untuk
menentukan apakah pasien demam atau memiliki infeksi sistem saraf sistemik
atau pusat (SSP ). Banyak konsekuensi fisiologis GCSE ( misalnya , leukositosis
, pleositosis , dan hipertermia ) menghasilkan gejala yang mungkin bingung
dengan kondisi lain. Jika diduga infeksi SSP, empiris antibiotik harus dimulai, dan
ketukan tulang belakang harus dilakukan. diperintahkan untuk menyingkirkan
vaskuler, neoplastik, atau infeksi etiologi, computed tomography ( CT ) atau
magnetic resonance imaging ( MRI ) harus akan diperoleh.
PRESENTASI KLINIS GCSE
UMUM
Status epileptikus ( SE ) adalah keadaan darurat medis yang mungkin
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
GEJALA
-

Gangguan kesadaran (misalnya , Lesu, koma )


Disorientasi sekali GCSE dikendalikan
Nyeri berhubungan dengan cedera ( misalnya , laserasi lidah , dislokasi
bahu , trauma kepala , trauma wajah )

TANDA AWAL
-

Cedera akut yang menyebabkan ekstensor atau fleksor


Demam atau kambuhan penyakit ( tanda-tanda sepsis atau meningitis )
Sakit kepala atau cedera SSP lainnya ( bradikardia , takipnea , dan
hipertensi , respon pupil yang buruk; asimetri pada pemeriksaan
neurologis , sikap yang abnormal )
kejang

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
6

Hipotermia atau demam sugestif karena penyakit kambuh


sifat tdk bertarak
Kontraksi otot , kejang
Tekanan darah normal atau hipotensi
Pernapasan yang membahayakan

TANDA SELANJUTNYA
-

Edema paru dengan kegagalan pernafasan


Gagal jantung ( disaritmia , penangkapan , syok kardiogenik )
Hipotensi / hipertensi
Disseminated intravascular coagulation , kegagalan multi-organ
rhabdomyolysis
Hyperpyremia

TES LABORATORIUM AWAL


-

Hitung darah lengkap ( CBC ) dengan diferensial


Profil kimia serum ( misalnya , elektrolit , kalsium , magnesium , glukosa ,
kreatinin serum , ALT , AST )
Kadar obat dalam urin / kadar alcohol
kultur darah
Gas darah untuk menilai metabolisme dan Asidosis pernafasan
Konsentrasi serum obat antikonvulsan jika sebelumnya dicurigai atau
diketahui

TES DIAGNOSTIK LAINNYA


-

Fungsi lumbal jika infeksi SSP dicurigai


EEG - harus diperoleh pada presentasi dan sekali klinis kejang
dikendalikan
CT dengan dan tanpa kontras ( untuk menilai perdarahan , infeksi,
malformasi arteri , neoplasma )
MRI
X ray jika diindikasikan untuk mendiagnosis patah tulang
EKG, terutama jika dikonfirmasi ALT , SGPT , SGOT , aspartat
aminotransferase ; CBC , hitung darah lengkap , SSP , saraf pusat
sistem, CT , computed tomography , EKG , elektrokardiogram ; EEG ,
electroencephalograph , GCSE , kejang umum Status epileptikus , MRI ,
magnetic
resonance
imaging
,
SE
,
status
epileptikus

PENGOBATAN : STATUS EPILEPTIKUS KEJANG UMUM


Non farmakologi

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

10
7

Bersamaan dengan inisiasi antikonvulsan, tanda-tanda vital harus dinilai, saluran


udara yang memadai dan dilindungi harus ditetapkan, ventilasi harus dijaga, dan
oksigen harus diberikan. Pasien untuk periode berkepanjangan akan
membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik. Penentuan gas darah arteri harus
sering dilakukan untuk menilai metabolisme dan / atau asidosis pernapasan.
Asidosis metabolik menyelesaikan pemutusan cepat dari GCSE, namun , natrium
bikarbonat harus diberikan jika pH kurang dari 7,2. Jika pasien mengalami
asidosis respiratorik, dibantu ventilasi untuk memperbaiki ketidakseimbangan.
Pasien yang telah mengalami perubahan kesadaran setelah control klinis harus
dilakukan EEG. Beberapa pasien, termasuk mereka yang telah diberikan
neuromuskuler blocker untuk manajemen jalan nafas, mungkin tidak memiliki
manifestasi klinis motorik tetapi mungkin terus memiliki SE listrik. EEG penting
untuk mendeteksi dan mendiagnosa listrik GCSE. meskipun hipoglikemia adalah
penyebab yang jarang dari GCSE, semua pasien harus menerima glukosa.
Ensefalopati karena Wernicke dapat berkembang pada pecandu alkohol, dewasa
harus menerima tiamin ( 100 mg ) sebelum glukosa. Awalnya , dewasa harus
diberikan 50ml larutan dekstrosa 50 % , dan anak-anak harus diberikan 1 mL /kg
dari 25 % larutan dekstrosa.konsentrasi serum glukosa harus ditentukan untuk
menilai kebutuhan suplemen glukosa selanjutnya.
Farmakologi
Meskipun diagnosis GCSE secara teknis tidak dapat dilakukan sampai kejang
telah berlangsung selama lebih dari 30 menit , terapi tidak boleh ditahan selama
waktu ini . Ketika kejang tonik klonik tidak berhenti secara otomatis , atau ketika
ada keraguan tentang diagnosis , pasien harus diperlakukan seolah-olah mereka
memiliki GCSE . sebuah algoritma dari pilihan antikonvulsan , waktu , dan dosis
untuk pengobatan GCSE pada pasien rawat inap yang diberikan adalah dalam
Gambar . 55-1 .7
Sangat penting bahwa yang jelas , rencana pengelolaan presequenced akan
dimulai dengan cepat . Untuk memastikan bahwa hal ini terjadi , banyak lembaga
telah mengembangkan dan menggunakan protokol kejang . Ada empat langsung
tujuan dalam pengelolaan GCSE : ( 1 ) pasien stabilisasi , termasuk oksigenasi
yang adekuat , pelestarian fungsi kardiorespirasi , dan pengelolaan komplikasi
sistemik , ( 2 ) diagnosis yang akurat dari subtipe GCSE dan identifikasi faktor
pencetus , ( 3 ) penghentian kejang klinis dan listrik sedini mungkin , dan ( 4 )
pencegahan kekambuhan kejang
Perawatan Prehospital
Memantau tanda-tanda vital (HR,
RR)
Pertimbangkan PR diazepam (0,5
mg / kg / dosis
hingga 10-20 mg) atau IM midazolam
(0,1-0,2 mg / kg)
pindahkan ke rumah sakit jika
kejang bertahan
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA
Perawatan awal di Rumah Sakit
Menilai dan mengendalikan napas
dan fungsi jantung

Uji Laboratorium
CBC dengan diferensial
Profil kimia Serum (mis., elektrolit,
glukosa, fungsi ginjal / hati, kalsium,
magnesium)
Gas darah arteri
Kultur darah
Konsentrasi serum antikonvulsan
obat / alkohol layar Urine

10
8

Status Awal
0-10 menit
Lorazepam (4 mg untuk orang dewasa, 0,03-0,1 mg / kg pada 2 mg / menit) dapat diulang jika
tidak ada respon dalam 10 sampai 15 menit
Terapi tambahan mungkin tidak diperlukan jika kejang berhenti dan kasus diidentifikasi
10-30 menit
Phenytoin atau fosphenytoin dewasa PEa: 10 sampai 20 mg / kg pada tingkat 50 mg / menit
atau 150 mg / min PE;
bayi / anak-anak: 15 sampai 20 mg / kg pada tingkat 1 sampai 3 mg / kg / min

TAHAP STATUS SELANJUTNYA (30-60 menit)


Jika kejang berlanjut:
Tambahan dosis kecil baik fenitoin atau fosphenytoin PEa dapat diberikan pada pasienb tidak
responsif
Phenobarbitala 20 mg / kg pada tingkat 100 mg / menit pada orang dewasa dan 30 mg / menit
pada bayi / anakb
Tahap status yang sukar disembuhkan (lebih dari 60 menit
Klinis atau serangan listrik berlanjut:
Phenobarbitala tambahan 10 mg / kg; 10 mg / kg dapat diberikan setiap jam sampai serangan
berhenti atau
Valproate 20 mg / kg diikuti dengan 1 sampai 4 mg / kg / hb atau
Anestesi umum dengan salah satu dari
Midazolam 2 mg / kg bolus diikuti dengan 50 sampai 500 mcg / kg / jam
Pentobarbital 15 sampai 20 mg / kg bolus selama 1 jam kemudian 1 sampai 3 mg / kg / jam untuk
memperkuat
pada
EEG. Jika terjadi hipotensi laju infus yang lambat atau mulai dopamin
TRANSLATOR tekanan
: RANGGA
MANDELA
atau Propofol 1 sampai 2 mg / kg bolus diikuti oleh 2 sampai 10 mg / kg / jam
Setelah serangan dikendalikan, midazolam, pentobarbital, propofol lebih dari 12 jam. Jika
serangan terjadi lagi, berikan infus berulang ulang dan titrasi dengan dosis efektif lebih dari 12
jam

10
9

Karena variabilitas ada dalam dosis, memonitor konsentrasi serum.


Jika kejang dikendalikan, mulai pemeliharaan dosis dan mengoptimalkan
menggunakan pemantauan konsentrasi serum.
b

Gambar 55-1. Algoritma untuk pengobatan GCSE pada pasien di rumah sakit
Tiga kelas yang paling umum digunakan untuk antikonvulsan pada pengobatan
awal GCSE adalah benzodiazepin, hydantoins, dan barbiturat. Lima prospektif,
studi acak telah membandingkan terapi ini untuk pengobatan GCSE.dua studi
pertama adalah perbandingan buta dari lorazepam vs diazepam pada orang
dewasa dan anak- anak. Penelitian ketiga adalah perbandingan acak dari
fenobarbital dengan fenitoin ditambah diazepam. Penelitian keempat
membandingkan lorazepam dengan phenytoin. Penelitian kelima adalah
multicenter, prospektif, acak, perbandingan double-blind fenitoin dan diazepam
dan fenitoin, lorazepam, atau phenobarbital. Tidak ada konsensus mengenai
antikonvulsan pilihan, urutan terapi, atau pengobatan refraktori GCSE.
Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah terapi awal yang efektif pada kebanyakan pasien dengan
GCSE dan harus diberikan sesegera mungkin. Umumnya , satu atau dua dosis
intravena akan menghentikan kejang dalam waktu 2 sampai 3 menit. Diazepam ,
lorazepam , midazolam adalah satu-satunya benzodiazepine yang tersedia di
Amerika Serikat dalam formulasi parenteral. benzodiazepine disukai karena ini
sama-sama efektif dalam GCSE , adalah ditentukan oleh perbedaan dalam
farmakokinetik dan pharmacoeconomic profil agen yang tersedia .
Diazepam adalah bagian yang sangat lipofilik dengan distribusi volume besar ( 1
sampai 2 L / kg ). Meskipun fase awal distribusi dalam otak terjadi dalam
hitungan detik , dengan cepat mendistribusikan menjadi lemak , menyebabkan
paruh di otak menjadi kurang dari 1 jam dan durasi efek menjadi kurang dari 30
minutes. Jika diazepam adalah satunya antikonvulsan , penurunan cepat dalam
konsentrasi otak dapat menyebabkan kekambuhan kejang , karena long acting
antikonvulsan (misalnya , phenytoin atau fenobarbital ) harus diberikan segera
setelah diazepam . Dosis awal diazepam ( Tabel 55-3 ) dapat diulang jika pasien
tidak merespon dalam waktu 5 menit. total dosis maksimum adalah 5 mg pada
anak-anak kurang dari 5 tahun, 10 mg pada anak-anak 5 tahun atau lebih , dan
40 mg pada orang dewasa . Meskipun konsentrasi serum tertentu telah dikaitkan
dengan kontrol kejang , tes untuk benzodiazepin tidak tersedia, maka
pemantauan terapetik obat tidak praktis .
Meskipun lorazepam tidak disetujui oleh Food and Drug Administration ( FDA )
untuk GCSE , saat ini dianggap benzodiazepin sebagai pilihan. Lorazepam
kurang larut dalam lemak dibandingkan diazepam dan membutuhkan waktu lebih

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
0

lama untuk mencapai konsentrasi puncak dalam otak ; Namun , ia memiliki


redistribusi minimal yang menghasilkan durasi tindakan yang lebih lama ( > 12
sampai 24 jam ). Ia juga memiliki afinitas pengikatan yang tinggi dengan reseptor
benzodiazepine dibandingkan diazepam. Untuk alasan ini , secara signifikan
lebih sedikit pasien yang diobati dengan lorazepam memerlukan tambahan
antikonvulsan untuk penghentian kejang .
Dosis awal lorazepam dapat ditemukan pada Tabel 55-3. data menunjukkan
bahwa dosis tunggal menghasilkan konsentrasi serum yang memadai dan
memberikan perlindungan kejang selama 24 jam . Dosis kedua mungkin
diberikan setelah 5 menit , dan jika perlu , dosis ketiga dan terakhir mungkin
diberikan setelah 5 minutes berikutnya. Penting untuk diingat bahwa pasien
kronis pada benzodiazepin ( misalnya , clonazepam ) mungkin memiliki
pengembangan toleransi dan bisa memerlukan dosis besar sebelum respon.
Diazepam dan lorazepam menyebabkan iritasi vena dan harus diencerkan
dengan volume yang sama dari pengencer yang kompatibel sebelum
administrasi. Bentuk intravena diazepam dan lorazepam mengandung propylene
glycol , yang dapat menyebabkan disritmia dan hipotensi jika diberikan terlalu
cepat. Karenapeyerpan lambat dan tertentu, agen ini tidak boleh diberikan
intramuskuler. Jika perlu , kedua obat dapat diberikan melalui rektal.
Midazolam adalah benzodiazepin yang larut dalam air yang berdifusi cepat ke
otak. Sayangnya , ia memiliki halflife sangat pendek yang memerlukan itu harus
diberikan dengan infus kontinu. Berbagai rute administrasi ( misalnya , bukal ,
intranasal , dan intramuskular ) berhasil digunakan untuk mengakhiri kejang
cepat ketika intravena tidak dapat digunakan. Hasil konsentrasi puncak serum
terjadi dalam beberapa menit dan melebihi yang diperlukan untuk sedasi pada
orang dewasa. Sayangnya , napas berat dan peningkatan nasal discharge
mungkin membatasi atau menunda penyerapan intranasal pada pasien merebut.
Administrasi bukal dilakukan dengan mudah dengan menyusun volume yang
diinginkan injeksi midazolam atau sirup, memisahkan bibir pasien , dan
menyemprotkannya ke dalam mulut . Volume cairan cukup kecil ( misalnya , 2
sampai 5 mL ) ke ditempatkan dalam rongga antara pipi dan gusi tanpa
kepedulian terhadap aspirasi . Karena peningkatan kelarutan , midazolam
intramuscular memiliki daya serap lebih yang dapat diandalkan daripada
diazepam atau lorazepam . Bahkan , beberapa praktisi telah merekomendasikan
bahwa midazolam intramuscular diberikan oleh teknisi medis darurat sebagai
pengobatan lini pertama dalam pengaturan diluar rumah sakit. Midazolam
ditahan dengan baik dengan semua rute tersebut dengan sedikit perubahan
tekanan darah atau respirasi .
Semua benzodiazepin dapat merusak kesadaran dan mengganggu penilaian
neurologis. Meskipun jarang , singkat ( < 1 menit ) depresi depresi
kardiorespirasi dapat terjadi dan memerlukan ventilasi
atau memerlukan
intubasi. Hal ini terutama berlaku jika benzodiazepine digunakan bersamaan
dengan barbiturat. Hipotensi sekunder untuk menurunkan bunyi vasomotor dapat
terjadi setelah dosis besar dari benzodiazepine.
Fenitoin
Fenitoin adalah agen lini kedua di GCSE yang tidak responsif dengan
benzodiazepin atau kejang yang kambuh setelah pengobatan berhasil dengan
benzodiazepine. Sementara itu efektif dalam mengakhiri kejang pada 40%

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
1

sampai 91% dari pasien, Satu studi melaporkan bahwa fenitoin saja sudah kalah
dengan lorazepam, fenobarbital, diazepam atau ditambah fenitoin untuk
menghentikan GCSE dalam waktu 20 menit dari infusion. Fenitoin memiliki
waktu paruh yang relatif lama (20-36 jam) dan menyebabkan berkurangya
depresi pernapasan dan sedasi daripada benzodiazepin atau phenobarbital,
namun tidak dapat disampaikan cukup untuk menjadi cepat dianggap sebagai
agen
tunggal
lini
pertama.
Injeksi Fenitoin harus diencerkan menjadi sama dengan atau kurang dari 5 mg /
mL dalam larutan normal saline. Mikrokristal akan mengendap jika dicampur
dalam larutan yang mengandung glukosa. Pembawa (40% propilen glikol) dapat
menyebabkan hipotensi terkait administrasi dan aritmia jantung. Efek ini lebih
mungkin
terjadi
jika
beban
dosis
besar
yang diberikan kepada orang tua dengan riwayat penyakit jantung atau pada
pasien kritis dengan tekanan darah marjinal. Tanda-tanda vital dan
elektrokardiogram (EKG) harus diperoleh selama administrasi. Laju infus harus
diperlambat jika interval QT melebar atau jika hipotensi atau aritmia.Infus
maksimum adalah 50 mg / menit pada orang dewasa dan 1 mg / kg per menit
pada anak-anak dengan berat badan kurang dari 50 kg. Laju tidak boleh
melebihi
25 mg / menit pada orang tua atau pada mereka dengan penyakit aterosklerotik
kardiovaskular. Laju harus dikurangi setelah kejang berhenti.
TABEL 55-3. Obat yang digunakan pada pengobatan GCSE
Loading Dose
(Dosis Maksimum)
Dewas
Anaka
anak
Diazepam 0.25
0.25-0.5
(IV bolus)
mg/kga mg/kga,c
,b,c
(40 (0.75mg/
Fosfenitoi
mg)
kg)
n IV
15-20
15-20
mg
mg
Lorazepa
PE/kg
PE/kg
m
(IV 4
0.1mg/kg
bolus)
mga,b,c a,c (4 mg)
Midazolam (8 mg) 150
IV
200
mcg/kga,d
mcg/kg 15-20
Fenobarbit a,d
mg/kge
al IV
10-20
15-20
Fenitoinn
mg/kge mg/kgf
IV
15-20
mg/kgf
Antikonvul
san (
Jalur)

Laju Infus
Dewasa
<5
mg/menit
150 mg
PE/menit
2mg/meni
t
0.5-1
mg/menit
100mg/m
enit
50
mg/menit

Anakanak
<5
mg/menit

Dosis Pemeliharaan
Dewasa
Tidak
digunaka
n

Anakanak
Tidak
digunaka
n

3 mg
PE/menit
Lebih dari
2-3 menit
2-3menit

4-5 mg 5-10 mg
PE/kg/ha PE/kg/ha
ri
ri
Tidak
Tidak
digunaka digunaka
n
n
30
50-500
60-120
mg/menit
mcg/kg/ja mcg/kg/ja
me
me
1mg/kg/m 1-4
3-5
enit
mg/kg/ha mg/kg/ha
rie
rie
4-5
5-10
mg/kg/ha mg/kg/ha
rie
rie
15 menit hingga diperoleh dosis

Dosis dapat diulang setiap 10 sampai


maksimum
b
Dosis awal pada orang tua adalah 2 5 mg
c
Dosis terbesar dapat diberikan jika pasien kronis oleh benzodiazepine (contoh:
Clonazepam)
d
dapat diberikan secara intramuscular, rectal, atau buccal
a

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
2

e
f

dibutuhkan dosis titrasi


Berikan dosis tambahan berdasarkan konsentrasi serum

Dosis pemuatan intravena fenitoin yang disarankan telah disediakan pada Tabel
55-3, Jika pasien telah diberikan fenitoin sebelum masuk dan konsentrasi fenitoin
diketahui,
ini
harus dipertimbangkan
dalam
menentukan
dosis
muatan. Penurunan dosis direkomendasikan untuk pasien usia lanjut, dan dosis
muatan yang lebih besar diperlukan pada pasien obesitas. Jika kejang terus
berlanjut setelah awal memuat dosis, beberapa menganjurkan penambahan 5
mg / kg dosis. Tidak ada bukti bahwa pemuatan dosis total di atas 20 mg / kg
akan bermanfaat dalam GCSE yg tidak responsif. Praktek ini dapat
menyebabkan konsentrasi melebihi kisaran referensi dan menghasilkan
toksisitas. Konsentrasi serum dalam kisaran referensi umumnya tidak bertahan
lebih dari 24 jam pada pasien diberikan dosis loading kurang dari 18 mg /
kg. Untuk alasan ini, dosis pemeliharaan (lihat Tabel 55-3) harus dimulai dalam
waktu 12 sampai 24 jam setelah loading dose. Karena fenitoin memiliki kelarutan
yg sedikit dalam lemak dan memasuki otak perlahan-lahan, mungkin diperlukan
waktu hingga 60 menit sebelum efek farmakodinamik terlihat jelas. Penundaan
dalam menanggapi penting ketika mempertimbangkan pemberian dosis mini
pemuatan kedua. Untuk review farmakokinetik distribusi dan eliminasi fenitoin,
lihat Chap. 54. Fenitoin memiliki pH basa, yang berhubungan dengan rasa sakit
dan terbakar selama infus, flebitis mungkin terjadi dengan infus kronis, dan
nekrosis jaringan kemungkinan pada infiltrasi. Intramuskular administrasi tidak
dianjurkan karena penyerapan tertunda dan tidak menentu, dan fenitoin dapat
mengkristal dalam jaringan. Meskipun loading dose oral telah digunakan pada
pasien yang tidak aktif merebut, mungkin memakan waktu 4 sampai 12 jam
sebelum konsentrasi serum yang memadai diperoleh, karena itu, praktik ini tidak
dianjurkan
Fosfenitoin
Fosphenytoin adalah fosfat tester yang larut dalam air yang tidak diketahui
aktivitas farmakologisnya. Karena tidak mengandung propylene glycol, ia
kompatibel dengan kebanyakan cairan intravena. Seharusnya diencerkan
sebelum pemberian intravena dalam dekstrosa 5% atau garam dengan
konsentrasi 1,5 sampai 25 mg PE/mL. Hal ini diubah cepat (7 sampai 15 menit)
dan benar-benar (100%) untuk fenitoin oleh darah dan jaringan fosfatase setelah
dosis intravena dan intramuskular. Penundaan
dalam konversi menjadi
perhatian awalnya; Namun, penundaan konversi diimbangi dengan pengikatan
protein yang tinggi, mengikat saturuable pada konsentrasi tinggi, dan pesatnya
laju infus, yang menghasilkan konsentrasi terikat melebihi yang terlihat
berikut fenitoin pada tingkat infus 50 mg / menit atau kurang. Nystagmus, pusing,
dan ataksia yang paling sering merugikan dengan fosphenytoin dan dikaitkan
dengan fenitoin. Frekuensi EKG atau perubahan tekanan darah kurang dari yang
dilaporkan untuk fenitoin. Paresthesia dan pruritus berhubungan dengan dosis
dan laju infus dan terjadi lebih sering dengan fosphenytoin dibandingkan dengan
fenitoin. Efek samping ini biasanya memiliki distribusi ke wajah dan daerah
pangkal paha dan mereda dalam waktu 5 sampai 10 menit setelah
pemberian. Mereka bukan reaksi alergi dan jarang memerlukan penghentian dari
fosphenytoin. Untuk meminimalkan kesalahan dosis, fosphenytoin harus
diberikan menggunakan fenitoin yg setara (PE), Sehingga menghindari
kebutuhan untuk interkonversi antara phenytoin dan fosphenytoin. Dosis
muatan dari fosphenytoin dapat ditemukan pada Tabel 55-3. Karena

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
3

keterlambatan mencapai konsentrasi serum fenitoin yang memadai, dosis


muatan fosphenytoin tidak boleh diberikan intramuskuler kecuali intravena 10
karena aksesnya mustahil. Laju administrasinya 100 hingga 150 mg PE / menit
dan 1 sampai 3mg PE / kg per menit pada pasien dewasa dan anak. Selanjutnya
pemantauan EKG, tekanan darah, dan status pernafasan direkomendasikan
untuk semua dosis loading fosphenytoin. Tes untuk konsentrasi serum
fosphenytoin tidak tersedia secara komersial dan tidak ada nilai
klinis. Konsentrasi serum fenitoin adalah titik akhir untuk pemantauan terapeutik
obat, dan diinginkan rentang konsentrasi serum adalah sama seperti ketika
fenitoin diberikan (10 sampai 20 mg / L). Karena fosphenytoin mempunyai reaksisilang dengan beberapa immunoassays untuk fenitoin menyebabkan 1,2 hingga
6 kali lipat terlalu tinggi konsentrasi fenitoin, darah tidak boleh
diperoleh setidaknya 2 jam setelah intravena dan 4 jam setelah administrasi
intramuskular. Dalam rangka meminimalkan konversi vitro ke fenitoin, darah
harus dikumpulkan dalam tabung yang berisi EDTA, dan sampel harus
didinginkan secepat mungkin
Kontroversi Klinis
Perdebatan berlanjut untuk yang hydantoin (yaitu, fenitoin atau fosphenytoin)
adalah agen disukai di GCSE. Meskipun fenitoin telah digunakan selama
beberapa dekade, hal ini terkait dengan berbagai masalah yang berkaitan
dengan perumusan. Sebaliknya, fosphenytoin dikaitkan dengan nyeri infus
kurang dan komplikasi intavenous-situs dan sedikit hemodinamik efek samping
dari fenitoin. Sementara sebagian besar praktisi percaya fosphenytoin jelas
merupakan formulasi yang baik, banyak praktisi dan administrator berjuang
dengan manfaat fosphenytoin bila dibandingkan dengan pemberian fenitoin .
Fenobarbital
Ada tiga pendapat yang berbeda mengenai penggunaan fenobarbital di
GCSE. Yang paling banyak dipegang pertentangan adalah bahwa karena
barbiturat menyebabkan SSP dan depresi pernafasan, serta hipotensi,
fenobarbital harus menjadi agen lini ketiga ketika benzodiazepine fenitoin gagal.
Pendapat kedua menunjukkan bahwa barbiturat aman dan efektif sebagai
antikonvulsan lain dan harus menjadi obat pilihan setelah benzodiazepin telah
diberikan. Keyakinan
ini
terutama
dilembaga-lembaga
anak
dengan departemen. Pendapat yang muncul ketiga adalah bahwa penggunaan
midazolam harus antikonvulsan baris ketiga sebelum yang barbiturat. Dua
penelitian telah membandingkan efektivitas fenobarbital dengan antikonvulsan
lainnya di GCSE. Penelitian pertama dibandingkan fenobarbital sendirian dengan
diazepam ditambah fenitoin pada pasien dewasa dengan GCSE. Fenobarbital
bertindak lebih cepat, aman dan efektif dibandingkan kombinasi diazepam
ditambah phenytoin.
TABEL 55-4. Obat yang digunakan untuk mengobati Refractory GCSE
Anti
konvulsa
n (Jalur)
Lidokain

Loading Dose
AnakDewasa
anak
50-100
1mg/kg
mg
(dosis
maksimu
m=3-

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

Laju infus
AnakDewasa
anak
< 2 menit

Dosis Pemeliharaan
AnakDewasa
anak
1.5-3.5
1.2-3
mg/kg/ja mg/kg/ja
m
m

11
4

Midazola
m IV

200mcg/
kga

5mg/kg
pada 1jam
pertama)
0,5-1
150
mg/menit
mcg/kga
1-2 jam

2-3 menit
50-500
mcg/kg/j
amb
1-5
mg/kg/hb
2-18
mg/kg/ja
mb
1-4
mg/kg/ja
mb

60-120
mcg/kg/j
Pentobar
1-2 jam
amb
bital (IV)
10-20
1-5
Propofol
mg/kg
15-20
10 detik
20-30
mg/kg/ja
IV
1mg/kg
mg/kg
detik
mb
3mg/kg/m
2-18
Valproate 15-20
3mg/kg
enit
3mg/kg/m
mg/kg/ja
mg/kg
enit
mb
201-4
25mg/kg
mg/kg/ja
mb
Sebuah percobaan multicenter kedua melaporkan bahwa fenobarbital sama
efektifnya dengan lorazepam sendiri atau diazepam ditambah fenitoin di GCSE
dan tidak berhubungan dengan efek merugikan yang serius . Meskipun secara
teknis tidak ada jawaban pasti, Kelompok Kerja status epileptikus
merekomendasikan bahwa fenobarbital diberikan setelah benzodiazepin
ditambah fenitoin gagal.11 Saat ini, sebagian besar praktisi setuju bahwa
fenobarbital adalah antikonvulsan kerja lama pilihan pada pasien dengan
hipersensitivitas terhadap yang hydantoins atau pada mereka dengan kelainan
konduksi jantung.
Setelah pemberian intravena, fenobarbital memiliki dua fase distribusi ke dalam
organ tubuh. Selama fase pertama, obat mendistribusikan ke organ-organ yang
sangat vaskular, tetapi tidak mendistribusikan ke otak. Dengan pengecualian
lemak, fenobarbital terdistribusike seluruh tubuh selama fase kedua, maka
lemak tubuh harus dipertimbangkan ketika pemberian dosis. Untuk menghindari
overdosis, diperkirakan massa tubuh tanpa lemak harus digunakan pada pasien
obesitas. Meskipun fenobarbital menembus ke otak secara perlahan, konsentrasi
otak tertinggi terjadi 12-60 menit setelah pemberian dosis. Intravena. Rata-rata,
kejang dikendalikan dalam beberapa menit dari dosis muatan.
Dosis pemeliharaan untuk fenobarbital diberikan pada Tabel 55-3. Bila perlu,
dosis pemuatan yang lebih besar (30 mg / kg) telah digunakan pada neonatus
tanpa efek samping. Jika dosis awal tidak menghentikan kejang dalam waktu 20
sampai 30 menit, tambahan 10 sampai 20 mg / kg dosis dapat diberikan. Jika
kejang terus berlanjut, yang ketiga 10 mg / kg mungkin diberikan. Setelah GCSE
dikendalikan, pemeliharaan dosis harus dimulai dalam waktu 12 sampai 24
jam. Meskipun injeksi fenobarbital mengandung propilen glikol, itu dapat
diberikan lebih cepat dari fenitoin (lihat Tabel 55-3). Fenobarbital dapat diberikan
intramuskuler, namun laju penyerapan terlalu lambat untuk menjadi efektif di
GCSE. Fenobarbital
dapat
menyebabkan
depresi
kesadaran
dan
respirasi. Risiko apnea dan hypopnea mungkin lebih mendalam pada pasien
yang diobati awalnya dengan benzodiazepines. Personel medis harus siap untuk
memberikan bantuan pernapasan setiap kali dua agen yang digunakan secara
bersamaan. Jika hipotensi signifikan berkembang, infus harus diperlambat
atau dihentikan.
Pengobatan GCSE Refraktori

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
5

Ketika dosis yang adekuat dari benzodiazepin, hydantoin, atau barbiturate


gagal, kondisi ini disebut refractori. Sekitar 10% sampai 15% pasien akan
mengalai refraktori GCSE. Sekitar 30% dari pasien yang kejang "klinis"
dikendalikan akan memiliki manifestasi listrik persisten (yaitu, masih dalam
status) dan akan tetap administrasi In GCSE setelah anticonvulsan.
Ketika seorang pasien mengembangkan refraktori GCSE, seorang ahli saraf
dengan keahlian dalam epilepsi harus berkonsultasi, dan pencarian intens harus
dilakukan untuk masalah ini. akut atau progresif
Perlu diingat bahwa semakin lama GCSE berlangsung, semakin sulit untuk
diobati dan bahwa kegagalan untuk mengobati di awal perjalanan GCSE
meningkatkan kemungkinan terapi non response yang optimal. Pendekatan
untuk pasien dengan refraktori GCSE belum ditentukan. Pendekatan yang
digunakan meliputi infus kontinu dari benzodiazepin, induksi medis koma,
valproate, propofol, Paraldehid, atau lidokain. Dosis untuk agen ini dapat dilihat
pada Tabel 55-4. Terlepas dari terapi yang dipilih, tujuannya adalah untuk
menghentikan kegiatan epileptiform listrik.
Benzodiazepin
Meskipun refraktori GCSE telah diobati dengan berbagai agen, beberapa praktisi
telah menganjurkan tidak hanya midazolam yang harus menjadi agen lini
pertama pada refraktori GCSE tetapi juga bahwa seharusnya menjadi agen lini
ketiga pada pasien tidak responsif terhadap lorazepam ditambah phenytoin.
Tabel 55-4 berisi pemuatan dan pemeliharaan dosis untuk pasien dewasa dan
anak. laju infuse kontinu harus ditingkatkan setiap 15 menit sampai kejang
dikontrol. Kebanyakan pasien merespon dalam waktu 65 menit.
Karena tachyphylaxis dapat mengembangkan, peningkatan yang sering terjadi
dalam Kecepatan infus mungkin diperlukan, dan dosis harus dipandu oleh
respon EEG. Setelah GCSE dihentikan, dosis dapat dikurangi sebanyak 1 mcg /
kg per menit setiap 2 jam. Penghentian sukses ditingkatkan dengan menjaga
pasien fenitoin serum Konsentrasi dekat 20 mg / L dan konsentrasi fenobarbital
atas 40 mg/L. Karena midazolam yang memiliki waktu paruh yang pendek,
pasien dapat kembali ke kesadaran yang lebih cepat daripada mereka yang
menerima dosis yang lebih besar dari antikonvulsan penenang (misalnya
fenitoin,fenobarbital). Umumnya, infus kontinu midazolam telah ditoleransi
dengan baik, dengan beberapa kasus hipotensi dan depresi pernafasan
terlihat. Hipotensi dan poikilothermia dapat terjadi dan mungkin memerlukan
terapi
pendukung.
Besar dosis infus kontinu lorazepam dan diazepam juga telah berhasil digunakan
pada pasien tidak responsif terhadap fenitoin atau phenobarbital. Lorazepam
mengandung propylene glycol, yang dapat terakumulasi pada pasien yang
menerima infus kontinu.Telah dicatat menyebabkan kesenjangan osmolar,
asidosis metabolik, dan toksisitas ginjal, yang disebabkan oleh infus
propilena glycol.
Kontroversi klinis
Posisi midazolam sebagai obat yang digunakan untuk mengobati GSCE adalah
kontroversial. Tidak ada pedoman atau praktek konsensus untuk mengatasi
kontroversi ini. Beberapa peneliti telah merekomendasikan bahwa midazolam
antikonvulsan pilihan dan, karena itu, harus digunakan sebagai pengganti
lorazepam, yang lain berpendapat bahwa itu harus digunakan setelah hydantoin

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
6

sebab telah gagal untuk menghentikan kejang, yang lain merekomendasikan hal
ini hanya untuk refraktori GCSE
Jika ada respon yang memadai untuk dosis besar midazolam, direkomendasikan
anestesi pasien untuk menekan debit iktal serebral. Meskipun ada kemungkinan
bahwa pasien sudah sedang ventilasi mekanik, intubasi dan dukungan
pernapasan wajib selama koma barbiturat. Karena hipotensi adalah keprihatinan,
penting bahwa tanda-tanda vital dipantau secara kontinyu. Sebuah barbiturat
kerja pendek (biasanya baik pentobarbital atau thiopental) umumnya lebih
disukai karena memungkinkan pembalikan lebih cepat dari koma.
Beberapa sumber mencatat bahwa awal dosis muatan pentobarbital adalah 5
mg/kg. Namun, dosis ini tidak memadai untuk menghasilkan serum konsentrasi
(30 sampai 40 mg / L) yang diperlukan untuk menginduksi
isoelektrik EEG. Pentobarbital harus dimulai dengan dosis loading setidaknya 10
sampai 20 mg / kg selama 40 sampai 60 minutes27 (lihat Tabel 55-4). Jika
hipotensi terjadi selama dosis muatan, tingkat administrasi harus diperlambat,
atau dopamin harus diberikan. The dosis muatan harus segera diikuti dengan
terus menerus infusion.11 Tarif biasanya dimulai pada 1 mg / kg / jam dan
dititrasi sesuai kebutuhan hingga dosis 5 mg / kg / jam. Perhatian terhadap infus
perlu ditingkatkan secara bertahap sampai ada bukti penekanan meledak pada
EEG (yaitu, datar EEG) atau efek samping penghalang terjadi. Meskipun durasi
barbiturat koma dalam kebanyakan studi 2 sampai 3 hari, koma pentobarbitali
telah digunakan dengan aman selama 53 hari pada seorang pasien 18 tahun.
Untuk menghindari komplikasi (misalnya, pneumonia, edema paru), yang
pentobarbital harus dihentikan sesegera mungkin. Dua belas jam setelah pola
ledakan-penekanan diperoleh, laju infuse pentobarbital harus dititrasi setiap 2
sampai 4 jam untuk mengaktifkan dokter untuk menentukan apakah GCSE
pasien dalam remisi.
Valproate
Data manusia terbatas ada mengenai penggunaan valproate dalam
refraktori GCSE. Meskipun bentuk sediaan intravena telah disetujui oleh FDA, itu
tidak disetujui untuk GCSE. Sejumlah pemuatan dan dosis infuse kontinu (lihat
Tabel 55-4) telah digunakan untuk mengobati GCSE pada orang dewasa dan
pediatrik. Satu studi menyarankan kebutuhan untuk mempertimbangkan efek
antikonvulsan
enzim-inducing ketika
dosis
valproate.
Kelompok
ini
merekomendasikan bahwa laju infus kontinu ditentukan oleh kehadiran
bersamaan antikonvulsan (tidak ada induser, 1 mg / kg per jam, satu atau lebih
induser [misalnya, fenitoin, fenobarbital], 2 mg / kg per jam, dan induser dan
koma pentobarbital, 4 mg / kg per jam). Meskipun produsen awalnya
merekomendasikan intravena valproate diberikan tidak lebih cepat dari 20 mg /
menit, tarif jauh lebih cepat telah diteliti (2 sampai 6 mg / kg per menit) dan
digunakan untuk administrasi dari dosis loading. Saat ini, produsen
merekomendasikan bahwa valproate intravena diberikan pada laju 3 mg / kg per
menit. Secara umum, valproate intravena telah ditoleransi dengan baik, dengan
tidak ada kasus depresi pernapasan. Ketidakstabilan hemodinamik sangat
langka, tapi tanda-tanda vital pasien harus dipantau secara ketat selama
pemberian dosis.
Propofol

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
7

Propofol sangat larut dalam lemak dan memiliki volume distribusi yang besar. Ia
memiliki onset yang sangat cepat t dan waktu paruh pendek (2 sampai 4 menit),
yang mempromosikan kebangkitan cepat pada penghentian obat . Meskipun
data yang luas tidak tersedia, tampaknya untuk lebih efektif dalam. Dosis dapat
ditemukan pada Tabel 55-4.Ini mungkin menyebabkan depresi pernapasan dan
otak
dan bradikardia. Meskipun asidosis metabolik telah dilaporkan,
terjadinya asidosis metabolik adalah controversial. Akhirnya, dosis normal
dewasa dapat memberikan lebih dari 1000 kalori per hari sebagai lipid dengan
biaya kepada pasien yang mungkin melebihi $ 1000 per hari.
Agen lain
Secara historis, rektum atau intravena Paraldehid telah digunakan untuk
refraktori GCSE. Meskipun efektif, sangat sulit untuk mengelola, dikaitkan
dengan efek samping yang serius (misalnya, hipotensi, takikardia, edema paru,
dan emboli polietilen), dan tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat. Satu-satunya
formulasi yang tersedia berlisensi saat ini merupakan produk enteral yang sulit
untuk mendapatkan pada waktu yang tepat. Jika dosis rektal diberikan, harus
diencerkan 1:01 dalam minyak sayur dan diberikan setiap 20 menit yang
dibutuhkan melalui karet catheter.11
Lidocaine telah digunakan dalam refraktori GCSE, namun penggunaannya tidak
dianjurkan kecuali agen lain telah gagal .Hal ini diberikan secara intravena dan
memiliki onset tindakan yang cepat. Tabel 55-4 memberikan rekomendasi dosis
awal dan dosis kontinu infus. Meskipun referensi rentang konsentrasi serum
untuk efek antiarrhythmia lidokain adalah 2 sampai 6 mg / L, kisaran referensi
untuk GCSE belum ditetapkan. Konsentrasi serum lidokain harus dipantau untuk
menghindari akumulasi obat dan toksisitas. Toksisitas SSP (mis.,fasiculations,
gangguan penglihatan, dan tinnitus) dapat terjadi pada konsentrasi antara 6 dan
8 mg / L, kejang dan obtundation dapat mengembangkan ketika konsentrasi
melebihi 8 mg / L. Halotan, isofluran, ketamin, dan lainnya anestesi inhalasi telah
terbukti menghasilkan penekanan EEG, namun, gas-gas sulit untuk memberikan
luar ruang operasi dan membutuhkan kehadiran dari ahli anestesi. Tidak ada
keuntungan telah terbukti lebih antikonvulsan tradisional (misalnya, koma
barbiturat atau continuousinfusion) benzodiazepine, dan gas-gas ini dapat
meningkatkan intrakranial tekanan. Jika digunakan, dosis dititrasi untuk
mendapatkan meledak penekanan EEG. Ini juga mungkin bijaksana untuk
memvalidasi bahwa pasien tidak memiliki rendah konsentrasi serum magnesium
karena kekurangan magnesium dapat menurunkan ambang kejang.

Pertimbangan Farmakoekonomi
Meskipun tidak ada penelitian farmakoekonomi prospektif telah dilakukan pada
pasien dengan GCSE, sejumlah isu ekonomi dapat berdampak pada
pertimbangan formularium. Jelas, ada perbedaan intra dan antar kelas dalam
biaya pengobatan dan tambahan tes atau teknologi yang terkait dengan
pemilihan terapi. Sebagai contoh, jika kita menganggap lima pilihan pengobatan
dan hipotetis memulai Terapi antikonvulsan pada pasien dengan berat 70 kg,
berikut ini perbedaan harga grosir rata-rata dicatat:
- Diazepam (20 mg) ditambah generik fenitoin (1 g): $ 15,01
- Lorazepam saja (8 mg): $ 15,62
- Midazolam saja (0,25 mg / kg beban, 0,1 mg / kg / jam): $ 31,10

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
8

Generic fenitoin (1 g) saja: $ 13,33


Diazepam (20 mg) ditambah fosphenytoin PE (1 g): $ 181,68
Fenobarbital (20 mg / kg) saja: $ 28,22
Intravena valproate (15 mg / kg beban, 1 mg / kg per jam): $ 88,20

Meskipun
banyak
praktisi
telah
digembar-gemborkan
kedatangan
fosphenytoin sebagai kemajuan terapi yang penting, ini telah menciptakan dilema
fiskal dan etika bagi banyak institusi. Fosphenytoin dikaitkan dengan nyeri infus
kurang dan lebih sedikit komplikasi intravena dan efek samping hemodinamik
dibandingkan fenitoin, namun biaya agen ini ($ 180 / g PE dibandingkan $ 13,33 /
g fenitoin) telah menyebabkan banyak praktisi dan administrator berjuang
dengan praktis dan etika pentingnya peningkatan profil keamanan relatif
terhadap biaya
produk
untuk
sebuah
institusi. Ketika
mengevaluasi
perbedaan biaya dari kedua agen, penting untuk diingat bahwa
fenitoin membutuhkan penempatan kateter intravena dua karena ketidakcocokan
yang dengan banyak solusi dan obat yang diberikan bersamaan. Selain itu,
beberapa praktisi memberikan fosphenytoin intramuskuler di ruang gawat darurat
untuk non-SE indikasi dan dengan demikian menghindari penempatan kateter
dan
penggunaan perangkat
infus. Banyak
lembaga
gagal
untuk
mempertimbangkan
biaya
yang
terkait dengan
infiltrasi
jaringan
fenitoin. Haruskah infiltrasi fenitoin menyebabkan nekrosis jaringan yang
mengharuskan operasi plastik atau amputasi, biaya gugatan bernilai jutaan dolar
tunggal kemungkinan akan mengimbangi perbedaan antara fenitoin dan
fosphenytoin biaya beberapa lembaga.
Ada sedikit perbedaan dalam biaya jika salah satu pendukung fenobarbital lebih
midazolam sebagai terapi lini ketiga, tapi mungkin dikatakan bahwa seorang
pasien yang mengalami fenobarbital-induced respirasi depresi pada akhirnya
mungkin lebih mahal untuk sistem kesehatan. Akhirnya, infus 24 jam propofol
kepada pasien yang sama akan memakan biaya lebih dari $ 1000.
EVALUASI HASIL TERAPEUTIK
Keberhasilan awal didefinisikan sebagai penghentian semua klinis dan aktivitas
listrik, tetapi keberhasilan utama diukur dengan kualitas pasien hidup. Morbiditas
dan mortalitas yang terkait dengan GCSE dipengaruhi dengan etiologi yang
mendasari, namun, ini dapat diminimalkan dengan implementasi yang cepat dari
rencana terapi yang rasional. EEG adalah alat yang sangat penting yang tidak
hanya memungkinkan praktisi untuk menentukan ketika aktivitas listrik abnormal
telah dibatalkan, tetapi juga dapat membantu dalam menentukan antikonvulsan
efektif. Karena banyak antikonvulsan mempengaruhi sistem kardiorespirasi,
sangat penting bahwa tanda-tanda vital (misalnya denyut jantung, laju
pernapasan, dan tekanan darah) dimonitor selama infus obat. Ini juga mungkin
diperlukan untuk memantau ECG pada beberapa pasien. Akhirnya, sangat
penting bahwa infus dapat dinilai untuk bukti infiltrasi sebelum dan
selama administrasi fenitoin. Informasi mengenai masa lalu pasien, riwayat
medis dan obat dan studi pencitraan (misalnya MRI) juga dapat membantu untuk
menentukan apakah ada etiologi yang ditetapkan untuk episode asli dari
GCSE. Informasi ini kemudian dapat digunakan untuk memandu pengobatan
masa depan terapi, serta bantuan dalam menentukan apakah pasien
beresiko untuk hasil yang buruk.
KESIMPULAN

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

11
9

Pemahaman kita tentang sel dasar, fisiologi, dan neuropatologi dari GCSE terus
berkembang. Selama dekade terakhir, penelitian kaskade diaktifkan perubahan
patofisiologis dalam neurotransmisi, Penghambatan GABAergic, dan reseptor
NMDA saluran-dimediasi peristiwa telah meningkatkan pemahaman kita tentang
gangguan ini. Meskipun antikonvulsan akan terus menjadi andalan terapi dalam
mengakhiri kejang, agen khusus termasuk antagonis rangsang neurotransmiter
asam amino (misalnya, glutamat dan calcium channel blocker) dan agonis
neurotransmitter penghambatan (GABA) mungkin membantu untuk memblokir
kerusakan lebih lanjut saraf melampaui focus epileptogenik. Demikian juga, uji
coba tambahan menyelidiki peran antikonvulsan baru di GCSE dijamin.
SINGKATAN
AMPA: -amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoxazolepropionate
EKG: elektrokardiogram
EEG: electroencephalogram, electroencephalography
FDA: Food and Drug Administration
GABA: asam -aminobutyric
GCSE: umum kejang Status epileptikus
MRI: Magnetic Resonance Imaging
NCSE: Status epileptikus nonconvulsive
NMDA: N-methyl-D-aspartate
NPY: neuropeptida Y
PE: fenitoin setara
Review pertanyaan dan sumber informasi lainnya dapat ditemukan di
www.pharmacotherapy.com.
Referensi
1. Commission on Classification of Terminology, International League Against
Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification
of epileptic seizures. Epilepsia 1981;22:489501.
2. Walker MC. Diagnosis and treatment of nonconvulsive status epilepticus. CNS
Drugs 2001;15:931939.
3. Shorvon S. The management of status epilepticus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2001;70(suppl 2):II227.
4. Lowenstein DH, Alldredge BK. Status epilepticus. N Engl J Med 1998;
338:970976.
5. DeLorenzo RJ, Pellock JM, Towne AR, Boggs J. Epidemology of status
epilepticus. J Clin Neurophysiol 1995;12:316325.
6. DeLorenzo RJ, Towne AR, Pellock JM, Ko D. Status epilepticus in children,
adults, and the elderly. Epilepsia 1992;33:S1525.
7. Herman ST, Kapur J, MacDonald RL. Rapid seizure-induced reduction of
benzodiazepine and sensitivity of hippocampal dentate granule cells. J Neurosci
1997;17:75327540.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
0

8. Pitkanen A. Efficacy of current antiepileptics to prevent neurodegeneration in


epilepsy models. Epilepsy Res 2002;50:141160.
9. Temkin NR. Antiepileptogenesis and seizure prevention trials with antiepileptic
drugs: Meta-analysis of controlled trials. Epilepsia 2001;42:515524.
10. Treiman DM. Generalized convulsive status epilepticus in the adult. Epilepsia
1993;34(suppl 1):S211.
11. Working Group on Status Epilepticus. Treatment of convulsive status
epilepticus: Recommendations of the Epilepsy Foundation of Americas Working
Group on Status Epilepticus. JAMA 1993;270:854859.
12. Wasterlain CG, Mazarati AM, Naylor D, et al. Short-term plasticity of
hippocampal neuropeptides and neuronal circuitry in experimental status
epilepticus. Epilepsia 2002;45(suppl 5):2029.
13. Mazarati AM, Liu H, Wasterlain CG. Opioid peptide pharmacology and
immunocytochemistry in an animal model of self-sustaining status epilepticus.
Neuroscience 1999;89:167173.
14. Lothman E. The biochemical basis and pathophysiology of status epilepticus.
Neurology 1990;40:1323.
15. Leppik IE, DerivanAT,HomanRW, et al. Double-blind study of lorazepam and
diazepam in status epilepticus. JAMA 1983;249:14521454.
16. Treiman DM, De Giorgio CM, Ben-Menachem E, et al. Lorazepam versus
phenytoin in the treatment of generalized convulsive status epilepticus: Report of
an ongoing study. Neurology 1985;35:284.
17. Appleton R, Sweeney A, Choonara I, et al. Lorazepam versus diazepam in
the acute treatment of epileptic seizures and status epilepticus. Dev Med Child
Neurol 1995;37:682688.
18. Shaner DM, McCurdy SA, Herring MO, Gabor AJ. Treatment of status
epilepticus: A prospective comparison of diazepam and phenytoin versus
phenobarbital and optional phenytoin. Neurology 1988;38:202207.
19. Treiman DM, Meyers PD, Walton NY, et al. A comparison of four treatments
for generalized convulsive status epilepticus. Veterans Affairs Status Epilepticus
Cooperative Study Group. N Engl J Med 1998;339:792798.
20. LeDuc TJ, Goellner WE, Sanadi NE. Out-of-hospital midazolam for status
epilepticus. Ann Emerg Med 1996;28:377.
21. Fischer JH, Patel TV, Fischer PA. Fosphenytoin: Clinical pharmacokinetics
and comparative advantages in the acute treatment of seizures. Clin
Pharmacokinet 2003;42:3358.
22. Abernethy DR, Greenblatt DJ. Phenytoin disposition in obesity: Determination
of loading dose. Arch Neurol 1985;42:468471.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
1

23. Bleck TP. Advances in the management of refractory status epilepticus. Crit
Care Med 1993;21:955957.
24. Dodson WE, Rust RS. Phenobarbital: Absorption, distribution, and excretions
In: Levy R, Mattson R, Meldrum B, eds. Antiepileptic Drugs, 4th ed. New York,
Raven Press, 1995:379387.
25. Crawford TO, Mitchell WG, Fishman LS, Snodgrass SR. Very-highdose
phenobarbital for refractory status epilepticus in children. Neurology
1988;38:10351040.
26. Lowenstein DH, Alldredge BK. Status epilepticus at an urban public hospital
in the 1980s. Neurology 1993;43:483488.
27. Claassen J, Hirsch LJ, Emerson RG, Mayer SA. Treatment of refractory
status epilepticus with pentobarbital, propofol, or midazolam: A systematic
review. Epilepsia 2002;43:146153.
28. Holmes GL, Riviello JJ. Midazolam and pentobarbital for refractory status
epilepticus. Pediatr Neurol 1999;20:259264.
29. Koul RL, Aithala GR, Chacko A, et al. Continuous midazolam infusion as
treatment of status epilepticus. Arch Dis Child 1997;76:445448.
30. Labar DR, Ali A, Root J. High-dose intravenous lorazepam for the treatment
of refractory status epilepticus. Neurology 1994;44:14001403.
31. Bell HE, Bertino JS Jr. Constant diazepam infusion in the treatment of
continuous seizure activity. Drug Intell Clin Pharm 1984;18:965970.
32. Chicella M, Jansen P, Parthiban A, et al. Propylene glycol accumulation
associated with continuous infusion of lorazepam in pediatric intensive care
patients. Crit Care Med 2002;30:27522756.
33. Hayman M, Seidl EC, Ali M, Malik K. Acute tubular necrosis associated with
propylene glycol from concomitant administration of intravenous lorazepam and
trimethoprim-sulfamethoxazole. Pharmacotherapy 2003;23:11901194.
34. Yaucher NE, Fish JT, Smith HW, Wells JA. Propylene glycolassociated
renal toxicity from lorazepam infusion. Pharmacotherapy 2003;23:10941099.
35. Mirski MA,Williams MA, Hanlet DF. Prolonged pentobarbital and
Phenobarbital coma for refractory generalized status epilepticus. Crit Care Med
1995;23:400404.
36. Giroud M, Gras D, Escousse A, et al. Use of injectable valproic acid in status
epilepticus. Drug Invest 1993;5:154159.
37. Price DJ. Intravenous valproate: Experience in neurosurgery. In: Fourth
International Symposium on Sodium Valproate in Epilepsy. London, Royal
Society of Medicine International Congress Symposium Series, 1989:197203.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
2

38. Chez MG, Hammer MS, Loeffel M, et al. Clinical experience of three pediatric
patients and one adult case of spike and wave status epilepticus treated with
injectable valproic acid. J Child Neurol 1999;14:
239242.
39. Hovinga CA, Chicella MF, Rose DF, et al. Use of intravenous valproate in
three pediatric patients with nonconvulsive or convulsive status epilepticus. Ann
Pharmacother 1999;33:579584.
40. Venkataraman V, Wheless JW. Safety of rapid intravenous infusion of
valproate loading doses in epilepsy patients. Epilepsy Res 1999;35:147153.
41. Brown LA, Levin GM. Role of propofol in refractory status epilepticus. Ann
Pharmacother 1998;32:10531059.
42. Susla GM. Propofol toxicity in critically ill pediatric patients: Show us the
proof. Crit Care Med 1998;26:19591960.
43. Aggarwal P,Wali JP. Lidocaine in refractory status epilepticus:Aforgotten drug
in the emergency department. Am J Emerg Med 1993;2:243244

56
MANAJEMEN AKUT DARI CEDERA OTAK
PASIEN
Bradley A. Boucher, Stephanie J. Phelps, and Shelly D. Timmons

KONSEP UTAMA
1. Iskemia otak adalah acara patofisiologis kunci memicu cedera saraf sekunder
menyusul cedera otak traumatik yang parah (TBI). Akumulasi intraselular kalsium
mendalilkan menjadi proses patofisiologis sentral dalam memperkuat dan
mengabadikan cedera saraf sekunder melalui penghambatan respirasi selular
dan aktivasi enzim.
2. Pedoman tatakelola Parah Cedera Otak, diterbitkan oleh Brain Trauma
Yayasan / American Association of Surgeons saraf, berfungsi sebagai fondasi
dimana keputusan klinis dalam mengelola pasien dewasa Neurotrauma yang

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
3

berbasis, pedoman sebanding untuk bayi, anak, dan remaja juga telah diterbitkan
baru-baru ini.
3. Mengoreksi dan mencegah hipotensi awal (sistolik tekanan darah <90 mm Hg)
dan hipoksemia (PaO2 <60 mm Hg) adalah tujuan utama selama perawatan
resusitasi dan intensif awal pasien TBI parah
4. Parameter pemantauan utama untuk pasien TBI berat dalam lingkungan
perawatan intensif adalah tekanan intrakranial (ICP). Tekanan perfusi serebral
(CPP) juga merupakan parameter pemantauan kritis dan harus dipertahankan
pada lebih dari 60 mm Hg (> 40 mm Hg pada pasien anak) melalui penggunaan
cairan, vasopressor, dan / atau terapi normalisasi ICP
5. Pengobatan farmakologis spesifik dalam pengelolaan hipertensi intrakranial
harus mencakup analgesik, sedatif, antipiretik, dan lumpuh dalam keadaan
terpilih
6. Pengobatan farmakologis tertentu dalam pengelolaan hipertensi intrakranial
meliputi manitol, furosemid, dan dosis tinggi pentobarbital. Baik penggunaan rutin
kortikosteroid atau hiperventilasi agresif (yaitu, PaCO2 <25 mmHg) harus
digunakan dalam pengelolaan hipertensi intrakranial
7. Penggunaan fenitoin untuk profilaksis kejang pasca trauma biasanya harus
dihentikan setelah 7 hari jika tidak ada kejang yang diamati
8. Banyak strategi diteliti (misalnya, antagonis kalsium, antagonis glutamat,
antioksidan, dan pemulung radikal bebas) ditargetkan mengganggu kaskade
patofisiologis peristiwa yang terjadi berikut TBI parah telah digunakan.
Cedera otak traumatis (TBI) telah disebut sebagai Amerika "tak terlihat epidemi"
dan saat ini penyebab utama kematian dan cacat di antara anak-anak dan orang
dewasa muda di industri dunia. Berdasarkan pemahaman yang semakin
patofisiologi TBI, dokter dan ilmuwan berbagi optimisme bahwa hasil pasien
dapat ditingkatkan melalui penggunaan pedoman manajemen berbasis bukti saat
ini dan administrasi agen saraf di masa depan. Bab ini merangkum epidemiologi
TBI dan pedoman patofisiologi dan highlight dan tinjauan sistematis dari literatur
yang berkaitan dengan pengelolaan pasien TBI parah.
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa sekitar 1,5 juta orang menderita luka otak fatal setiap tahun
di Amerika Serikat, mengakibatkan 230.000 rumah sakit dan 50.000 kematian
setiap tahunnya berdasarkan data 1989-1.998, lebih dari 5 juta orang Amerika
saat ini hidup dengan cacat sebagai akibat dari mereka TBI, menyoroti tol fisik
dan emosional yang besar dari masalah perawatan kesehatan di Amerika States.
efek ekonomi Neurotrauma akut juga sangat besar, dengan perkiraan
pengeluaran untuk pasien TBI memerlukan rawat inap melebihi $ 56000000000
per tahun di Amerika Serikat. Sementara frekuensi TBI tetap tinggi, angka
kematian setelah cedera otak traumatis telah menurun dari hampir 25 per
100.000 menjadi 19,4 per 100.000 penduduk per tahun sejak 1.979 kendaraan
bermotor akun kecelakaan sekitar 50 % dari semua kasus dewasa, sedangkan
jatuh , penyerangan , luka tembak , olahraga dan rekreasi kecelakaan, dan lain
lain-lain akun penyebab sisanya cases. Bermotor TBI yang berhubungan dengan
kendaraan adalah penyebab utama kematian pada individu usia 0 sampai 19

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
4

tahun. Pada pasien TBI 20-74 tahun, luka tembak bertanggung jawab untuk
jumlah kematian tertinggi TBI, sedangkan TBI jatuh terkait lainnya yang
disebabkan jumlah terbesar kematian pada pasien 75 tahun atau lama.
Selanjutnya, TBI kematian terkait pada laki-laki melebihi pada wanita tiga kali
lipat.
PATOFISIOLOGI
CEDERA OTAK UTAMA
Para gejala sisa neurologis dari trauma otak dapat terjadi secara instan sebagai
akibat dari cedera primer atau dapat hasil dari cedera sekunder yang mengikuti
dalam hitungan menit, jam, atau hari.5 cedera Primer melibatkan transfer
eksternal energi kinetik ke berbagai komponen struktural otak (misalnya, neuron,
sinapsis saraf, sel-sel glial, akson, dan pembuluh darah otak). Pasukan
biomekanik bertanggung jawab untuk cedera otak primer dapat diklasifikasikan
sebagai concussive / tekan (misalnya, tumpul-obyek pukulan, luka tembus-rudal)
dan akselerasi / deselerasi (misalnya, gerakan Otak sesaat setelah kecelakaan
kendaraan bermotor). Cedera primer dikategorikan lebih lanjut sebagai fokal
(misalnya, memar, lebab) atau diffuse. terakhir ini biasanya berhubungan dengan
geser atau peregangan kekuatan, yang terutama mempengaruhi akson dalam
otak (misalnya, cedera aksonal) .
CEDERA OTAK SEKUNDER
Sebuah urutan kompleks kejadian patofisiologis dipicu oleh cedera otak primer
serius dapat mengganggu sistem saraf pusat normal (CNS) keseimbangan
antara pasokan oksigen dan permintaan. Hipotensi selama periode pasca trauma
dini adalah kontributor utama ketidak seimbangan ini dan penentu utama hasil.
hasil akhir dari ketidak seimbangan ini mungkin iskemia serebral, acara
patofisiologis kunci memicu cedera sekunder. Gambar 56-1 adalah skema
sederhana dari proses yang merupakan cedera otak sekunder dan berbagai
antar hubungan mereka. Otak sangat rentan terhadap iskemia karena kebutuhan
energi istirahat biasanya tinggi dan kapasitas yang terbatas untuk menyimpan
senyawa fosfat oksigen, glukosa, dan berenergi tinggi (misalnya, adenosin
trifosfat [ATP]).
Iskemia berikut cedera otak biasanya terjadi pada 6 sampai 24 jam setelah insult.
Setelah itu, pasien dapat memiliki hiperemia dari hari 1-3,Vasospasme juga
dapat terjadi. Fenomena dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dalam
pengiriman oksigen otak (CDo2) dan konsumsi (CMRo2), proses yang erat
autoregulasi kondisi keadaan normal.5 Faktor-faktor yang dapat mengurangi
pasokan oksigen otak setelah cedera otak meliputi edema serebral, memperluas
lesi massa (misalnya, epidural, subdural, dan hematoma intraserebral),
vasospasme otak, dan kehilangan dari vasoregulatory control. Hipoksemia dapat
semakin memperburuk penurunan lokal dalam pasokan oksigen otak menyusul
kegagalan pernafasan akut dan hipotensi sistemik. Kebutuhan metabolik juga
dapat meningkatkan mengikuti Neurotrauma sekunder untuk kejang, agitasi, dan
suhu elevation. Ada bukti bahwa TBI sendiri dapat meningkatkan kebutuhan
metabolik juga.
Jaringan otak dipengaruhi oleh iskemia fokal dapat memiliki inti padat
dikelilingi oleh wilayah kecil yang layak . Sel di daerah ini elektrik bisu dan tidak
dapat melakukan fungsi neurologis normal. Jika aliran darah otak yang memadai
( CBF ) dipulihkan , jaringan yang terkena dapat pulih , namun , iskemia

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
5

berkelanjutan dapat mengakibatkan kerugian lebih lanjut integritas selular dan


akhirnya kematian sel . Hilangnya homeostasis ion ini mendalilkan menjadi
peristiwa penting dalam membina cedera otak sekunder di kawasan ini iskemik.
Masuknya seluler natrium, klorida, dan air (yaitu , edema sitotoksik ) dengan
penghabisan sesuai kalium dan magnesium terjadi dengan Na + , K + - ATPase
pompa penyelewengan fungsi. Sebuah masuknya kalsium ke terminal ujung
presynaptic neuron rusak dimediasi oleh N ketika saluran kalsium tegangan
sensitif. Hal ini, pada gilirannya, adalah dipostulatkan untuk merangsang
pelepasan berlebihan dari rangsang amina glutamat dan aspartat dari terkena
neurons. Hasilnya adalah stimulasi berkelanjutan sel postsynaptic, yang dapat
mengakibatkan perpanjangan neurotoksisitas dan kematian sel. Masuknya
kalsium dan natrium tambahan dirangsang oleh aktivasi N - methyl - D aspartate ( NMDA ) receptor. Kalsium masuknya dan intraseluler nya .

Cedera otak parah

iskemia
Metabolisme erobic

Mitokondria
difusi

Ion pompa
kegagalan

Presinap Ca
seluler
Amina rangsang

Ssp asidosis

seluler K, Mg
seluler Na, Cl

Presinap Ca seluler

vasodilatasi
Edema selebral

Simulasi fosfolipase
A2
Asam arakidonat
leokotrien

PGH2, PGG2

PMN
masuknya

Bebas radikal

TRANSLATOR : RANGGATromboksan
MANDELA A2

PGI2 (prostasiklin)

vasodilatasi

12
6

Lipip peroksidase

GAMBAR 56-1. Skema ilustrasi dari kaskade peristiwa biokimia diusulkan untuk
terjadi setelah Neurotrauma berat (cedera otak sekunder). Ca, kalsium, CNS,
sistem saraf pusat, K, kalium, Mg, magnesium, Na, natrium, Cl, klorida, PMN,
polymorphonucleocyte, PG, prostaglandin
TABEL 56-1. Presentasi klinis Cedera Otak Akut
Tingkat
kesadaran umum tentang penerimaan
berkisar terjaga dan waspada untuk benarbenar tidak responsif (misalnya, GCS 15-3,
masing-masing).
Gejala
Amnesia pasca trauma (misalnya, lebih dari
1 jam), peningkatan pusing, sakit kepala
sedang sampai
parah,
kelemahan
tungkai,
atau
paresthesia
mungkin
menunjukkan cedera yang lebih parah.
Tanda
CSF otorrhea atau rhinorrhea dan kejang
mungkin menunjukkan cedera yang lebih
parah. Sebuah kemerosotan cepat dalam
status mental sangat menunjukkan adanya
anexpanding lesi di dalam
tengkorak. TBI
parah bisa disertai dengan perubahan
signifikan atau ketidakstabilan dalam tandatanda
vital,
termasuk
pola
normal
pernapasan (misalnya, apnea, respirasi
Cheyne-Stokes, takipnea), hipotensi, atau
bradikardia
tes laboratorium
GDA
menunjukkan
hipoksia
(yaitu,
penurunan PaO2) atau hypercapnia (yaitu,
peningkatan PaCO2) mungkin menunjukkan
ventilasi dikompromikan. Konsentrasi darah
positif etanol dan / atau layar urin obat positif
bahwa
keracunan
obat
dapat
mempengaruhi status mental pasien di
samping TBI.
Tes diagnostik lainnya

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

CT kepala adalah alat diagnostik yang


penting untuk mendeteksi
adanya
lesi
massa.

12
7

GCS, Glasgow Coma Scale, CSF, cairan serebrospinal, TBI, cedera otak
traumatis, ABG, gas darah arteri, PaO2, tekanan parsial oksigen darah arteri,
PaCO2, tekanan parsial karbon dioksida arteri darah, CT, computed tomography
akumulasi memulai sejumlah peristiwa yang memperkuat dan
melestarikan cedera saraf sekunder . Konsentrasi intraseluler tinggi hasil kalsium
dalam disfungsi mitokondria, yang selanjutnya menghambat respirasi sel, sebuah
proses yang sudah dipengaruhi oleh iskemik dan / atau hipoksia insults.12
Sebuah efek merusak utama kedua dari kalsium adalah untuk merangsang
aktivasi enzim autodestructive, termasuk fosfatase, kinase, lipase, dan protease,
seperti calpain, caspase - 1, dan caspase - 3.7,13,14 pengaruh stimulasi A2
fosfolipase termasuk pembentukan beberapa metabolit arakidonat asam yang
berasal dari lipid membran : tromboksan A2, prostaglandin, dan leukotrienes.
Efek berikutnya metabolit ini peroksidasi lipid dan pembentukan oksigen radikal
bebas species. Lipid peroksidasi adalah suatu peristiwa sangat merusak karena
pembentukan radikal bebas oksigen dapat merambat, mengakibatkan kerusakan
membran sel lebih lanjut, kecuali dipadamkan oleh antioksidan endogen (
misalnya, vitamin E, asam askorbat, superoksida dismutase ). Data terakhir
menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi sangat awal setelah cedera ( misalnya ,
sebelum rawat inap ), yang dapat membatasi efektivitas eksogen diberikan
antioxidants. Sebuah titik akhir yang sama dengan rilis amina rangsang,
peningkatan kalsium intraseluler, dan oksigen generasi radikal bebas adalah
apoptosis atau kematian sel yang terprogram dan terprogram selular necrosis.
Sel dengan struktur dendritik lebih rumit ( misalnya, neuron kortikal, sel
hippocampal ) mungkin lebih rentan terhadap efek dari cedera apoptosis.
Dimediasi melibatkan mediator inflamasi (sitokin, platelet-activating factor, dll ),
oksida nitrat, dan molekul adhesi sel belum mekanisme yang mungkin lain yang
terlibat dalam cedera. saraf sekunder antara garis sel terlibat adalah neutrofil
polimorfonuklear, trombosit, sel-sel endotel, dan makrofag. Stimulasi agregasi
platelet, vasodilatasi, dan vasokonstriksi, intravascularly, juga dapat terjadi.
Edema serebral vasogenic dapat berkembang sebagai akibat dari kerusakan
otak. Endotel kapiler dengan edema sitotoksik dan vasogenic datang perluasan
ruang cairan intraseluler dan ekstraseluler, masing-masing. Peningkatan tekanan
intrakranial ( ICP ) merupakan konsekuensi yang paling merugikan pembentukan
edema serebral dan terjadi karena volume jaringan otak meningkat di dalam
tengkorak nondistensible. Sebuah peningkatan yang signifikan dalam ICP lanjut
dapat mengganggu aliran darah otak ( CBF ) dan memperluas edema sitotoksik.
Oleh karena itu peningkatan ICP dapat selfperpetuating kecuali siklus ini dibalik.
Terakhir, data awal menunjukkan bahwa mungkin ada kerentanan genetik
terhadap efek TBI. khusus, hubungan antara gen yang mengkodekan untuk
apolipoprotein E4 dan hasil telah postulated.20, 21 perlu diperhatikan adalah
bahwa ini adalah protein yang sama yang memiliki dikaitkan dengan efek buruk
dari berbagai jenis penyakit Alzheimer.
PRESENTASI KLINIS
Presentasi klinis cedera otak akut pada Tabel 56-1. Glasgow Coma Scale (GCS)
adalah sistem yang paling banyak digunakan untuk menilai gairah dan kapasitas
fungsional dari otak cortex.6 GCS mendefinisikan tingkat kesadaran menurut
membuka mata, respon motorik, dan respon verbal (Tabel 56-2). Sebuah skor
GCS dari 15 dapat disamakan dengan pemeriksaan neurologis normal. Sebuah
skor GCS 3-8, 9-12, dan 13-15 konsisten dengan berat, moderat.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
8

TABEL 56-2. Glasgow Skala Koma


Tanggapan
mata
Buka spontan
Untuk perintah lisan
Untuk nyeri
Tidak ada respon
ResponmotorTerbaik
Untuk perintah lisan
mematuhi
Untukmenyakitkanstimulus(tekananuntuknailbeds)
Melokalisasi nyeri
Fleksi, penarikan
Fleksi, normal (kekakuan mengulit)
Extension (kekakuan decerebrate)
Tidak ada respon
Terbaik Verbal Response (membangkitkan pasien dengan
stimulus yang menyakitkan jika perlu) Berorientasi dan
converses
Bingung dan converses
Kata yang tidak pantas
Dimengerti suara
Tidak ada respon
Jumlah

Skor
4
3
2
1

6
5
4
3
2
1

5
4
3
2
1
3-15

dan cedera otak ringan, masing-masing kemungkinan etanol atau keracunan


obat, hipotensi, hipoksia, negara postictal, atau hipotermia mengubah
pemeriksaan neurologis selalu harus dipertimbangkan. Karena narkotika dan
relaksan otot mempengaruhi pemeriksaan neurologis, mereka tidak boleh
diberikan sampai pemeriksaan awal selesai jika mungkin. Sederhana variabel
klinis, cepat dicapai yang prediksi kelangsungan hidup termasuk usia pasien,
skor GCS (terutama skor bermotor), reaktivitas pupil, dan kehadiran atau tidak
adanya hematoma dan tangki ventrikel ditemukan pada computed tomografi (CT)
scan kepala.
PENGOBATAN TRAUMA CEDERA OTAK
Pada bulan Juli 1995, Brain Trauma Foundation ( BTF ) menerbitkan
sebuah dokumen yang luas berjudul Pedoman Pengelolaan Parah Cedera Otak
sebagai inisiatif bersama dengan Komite Pedoman dari American Association of
Surgeons Neurologis ( AANS ) dan Joint Seksi pada Neurotrauma dan Kritis
perawatan AANS dan Kongres Ahli Bedah Neurologi, dengan revisi berikutnya di
2000. landmark publikasi ini didirikan untuk pertama kalinya serangkaian
komprehensif standar berbasis bukti, pedoman, dan pilihan untuk perawatan
pasien TBI parah. Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa perubahan
signifikan konsisten dengan BTF / AANS pedoman dalam pengelolaan akut
pasien TBI telah terjadi sejak tahun 1991, memberikan bukti langsung untuk
dampak keseluruhan terhadap pasien peduli. Sejak itu, Eropa Cedera Otak
Konsorsium telah menerbitkan pedoman untuk pengelolaan TBI parah pada
orang dewasa, manajemen pra-rumah sakit TBI, manajemen operasi, dan
manajemen dari cedera otak penetrasi . Selanjutnya , pedoman manajemen TBI

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

12
9

bagi bayi, anak, dan remaja telah maju.28 Selain itu, serangkaian tinjauan
sistematis menangani manajemen TBI berasal dari Cochrane Library telah
published. 29 - 36 ini review telah dievaluasi secara mendalam literatur untuk
dasarnya semua strategi pengobatan TBI konvensional utama. Rekomendasi
yang berasal dari pedoman yang diterbitkan pada manajemen TBI dan tinjauan
sistematis dipublikasikan akan disorot seluruh bagian sisa bab ini. Sampai
penelitian klinis lebih lanjut menjadi tersedia, rekomendasi dari pedoman yang
diterbitkan harus menjadi dasar di mana semua keputusan klinis dalam
mengelola TBI parah. Rekomendasi yang diberikan dalam bab ini berkaitan
dengan orang dewasa dan anak-anak kecuali secara khusus mencatat
sebaliknya .

HASIL YANG DIINGINKAN


Tujuan keseluruhan dalam manajemen TBI tidak hanya pengurangan morbiditas
dan mortalitas, tetapi juga optimalisasi hasil fungsional jangka panjang bagi
pasien ini. Hal ini memerlukan perhatian yang cermat untuk tujuan terapi jangka
pendek berikut: (1) pembentukan saluran udara yang memadai dan
pemeliharaan ventilasi dan sirkulasi selama periode awal resusitasi dan evaluasi,
(2) pemeliharaan keseimbangan antara CDo2 dan CMRo2, (3) pencegahan atau
atenuasi cedera saraf sekunder, dan (4) pencegahan dan / atau pengobatan
komplikasi medis yang terkait.
RESUSITASI AWAL
Prioritas pertama pada pasien tidak sadar adalah pembentukan saluran napas,
yang menjamin oksigenasi yang adekuat dan mencegah aspiration. Setelah itu,
pemulihan volume sirkulasi darah dan pemeliharaan tekanan arteri sistolik (SBP)
lebih besar dari 90 mm Hg adalah yang paling pentingnya. pada pasien anak,
tujuan SBP harus masuk.
3 lebih dari 70 mm Hg + (2 umur dalam tahun). Mengoreksi dan
mencegah hipotensi awal (SBP <90 mm Hg) dan hipoksia (PaO2 <60 mm Hg)
sangat penting karena kedua faktor adalah salah satu prediktor yang paling kuat
outcome.8, 37 saline isotonik (0,9% saline normal) dan solusi Ringer Laktat
adalah cairan resusitasi yang paling umum digunakan. Namun, beberapa dokter
percaya bahwa saline hipertonik (misalnya 3% atau 7,5% saline) harus menjadi
cairan pilihan dalam resusitasi TBI patients. Pada anak-anak, laju infus yang
direkomendasikan untuk 3% saline adalah 0,1-1 mL / kg per jam. Studi klinis
telah menghasilkan hasil yang samar-samar relatif terhadap keunggulan atas
isotonik solutions. 38-40 Vasopressors dan agen inotropik mungkin diperlukan
untuk mempertahankan rata-rata tekanan arteri memadai (MAP) jika hipotensi
berlanjut setelah restorasi memadai volume intravaskular. Gambar 56-2
merupakan algoritma meringkas prioritas pengobatan dalam pengelolaan awal
TBI akut.
PERAWATAN POSTRESUSCITATIVE
Setelah sukses resusitasi, prioritas bergeser ke arah evaluasi diagnostik cedera
intrakranial dan ekstrakranial dan intervensi bedah muncul sesuai kebutuhan.
Evakuasi hematoma intrakranial (yaitu , epidural, subdural, dan hematoma
intraserebral ) sangat penting untuk mengontrol ICP dan meningkatkan hasil.
Peningkatan patah tulang tengkorak depresi dan d' ebridement traktat luka

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
0

penetrasi prosedur bedah muncul penting lainnya pada pasien TBI. Pemantauan
ICP terus menerus ( misalnya, kateter intraventrikular, kateter serat optik
intraparenchymal ) diindikasikan pada pasien dengan skor GCS kurang dari atau
sama dengan 8 dengan pengakuan normal CT scan atau pada pasien TBI berat
berisiko tinggi dengan CT scan normal (yaitu, usia > 40 tahun, sikap motorik,
SBP < 90 mm Hg ). 23,24 kateter Intraventricular memiliki keuntungan terapi atas
alternatif lain tetapi berhubungan dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi dan
bisa sulit untuk menempatkan dalam pengaturan otak bengkak. Secara khusus,
cairan cerebrospinal ( CSF ) dapat dikeringkan dengan menggunakan perangkat
ini sebagai sarana untuk menurunkan ICP. Terus-menerus pemantauan ICP
adalah satu-satunya cara untuk objektif mengevaluasi keberhasilan terapi yang
digunakan untuk mengurangi ICP. Setelah ICP melebihi 20 sampai 25 mm Hg,
terapi harus dimulai untuk mengurangi ICP di bawah 20 mm Hg.23 , 24,28
penggunaan agresif monitor ICP di pusat-pusat akademik trauma di seluruh
Amerika Serikat dikaitkan dengan penurunan risiko kematian serta sebagai
panjang lebih pendek tinggal di antara survivors. Jugularis saturasi oksigen vena
( Sjvo2 ) pemantauan sangat dianjurkan oleh beberapa praktisi untuk mendeteksi
hipoksia serebral dunia ( yaitu , kecukupan CBF relatif terhadap CMRo2 ) ,
meskipun saat ini tidak dibahas dalam BTF / AANS guidelines.42 Oleh karena
perannya masih belum jelas sekarang. Teknik microdialysis cerebral telah
berhasil digunakan sebagai alat penelitian untuk mengukur kimia ekstraseluler
serebral pasien. TBI Sementara penyebaran metodologi ini untuk praktek klinis
umum telah dianggap tidak mungkin , penggunaan pemantauan oksigen jaringan
otak pada pasien TBI adalah promisi. Baru-baru ini, peran beberapa penanda
biokimia TBI ( misalnya , S - 100 protein

1
Cedera otak parah pasien
( GCS 8 )

2
Melumpuhkan tulang
belakang intubasi
oksigen,kepala tempat tidur
30 evaluasi BP
mendapatkan GDA, CBC,
kimia, layar toksilogi

Ya

3
ABP 90 mm Hg

4
Berikan 0,9% NS
(PRBC jika Ht? 30%)
Periksa kembali BP

Pergi ke
3

Tidak
5
PaCO2<35 mm Hg?

Ya

6
Tingkat pernapasan
periksa kembali ABG

Pergi ke
5

Tidak
7
Masukkan ICP Monitor
atau ventriculostomy
TRANSLATOR
: RANGGA MANDELA

8
ICP >20 mm Hg?

9
Pergi ke
ICP
algoritma

13
1

Ya

Tidak

10

CT sca

Pergi ke
11

11
Bedah ditunjukkan?

Ya

12
Transportasi ke OR

Pergi ke
13

Tidak
13
Transportasi ke ICU
Menjaga CPP? 60 mm Hg
dengan vasopressors
menjaga oksigen
kejenuhan? 90 mm Hg
CSF drainase (jika
ventriculostomy) untuk
menurunkan ICP? 20 mm Hg
ventilasi mekanis
Memulai terapi fenitoin
jika diindikasikan
Menjaga cairan,
elektrolit homeostasis
Stres ulkus profilaksis
mencegah
tromboemboli
nagement dari patient.GCS
TBI, Glasgow Skala Koma, BP, tekanan darah; ABG,
peristiwa
gas darah
arteri, CBC, hitung darah lengkap, EtOH Cp, konsentrasi plasma
menjaga normothermia

etanol;
SBP,tanda-tanda
darah sistolik
NS, normal saline, PRC, dikemas sel darah
Pantau
vitaltekanan,
dan
merah, hematokrit, hematokrit, PaCO2, tekanan parsial arteri karbon dioksida
status neurologis
darah, ICP, tekanan intrakranial, CT, computed tomography, OR, ruang operasi,
ICU, intensif unit perawatan, CPP, tekanan perfusi serebral, CSF, cairan
serebrospinal. (Diadaptasi dengan ijin dari Boucher BA. Neurotrauma:
Farmakoterapi Program Self Assessment, 3d ed, Modul 2:. Critical Care.
enolase spesifik neuron) juga adalah reviewed.45 Pemanfaatan protein ini atau
lainnya untuk mendeteksi terjadinya luka pada TBI dan / atau sebagai parameter
pengobatan pemantauan tidak pasti saat ini.
Parameter lain pemantauan penting bagi pasien TBI berat dalam
lingkungan perawatan intensif dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi
tekanan perfusi serebral ( CPP ), yang merupakan perbedaan antara MAP dan
ICP (yaitu, CPP = MAP- ICP ). Pemeliharaan suatu CPP diterima telah didalilkan
untuk bersikap kritis dalam mengurangi iskemia otak dan cedera sekunder.
Tujuan CPP dapat dicapai dengan meningkatkan MAP melalui penggunaan
cairan dan / atau vasopressor atau dengan menurunkan ICP. The BTF / AANS
pedoman awalnya merekomendasikan agar CPP dipertahankan lebih besar dari
70 mm Hg berdasarkan sejumlah studi yang menunjukkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien yang CPP secara aktif dipertahankan di atas 70 sampai
80 mm Hg. Namun menurun, pada tahun 2003, BTF / AANS mengeluarkan
rekomendasi terbaru yang CPP dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih. pada
anak-anak, tujuan CPP disarankan lebih besar dari 40 mm Hg. Selanjutnya,

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
2

rekomendasi diperbarui adalah bahwa upaya agresif untuk mempertahankan


CPP lebih besar dari 70 mm Hg pada orang dewasa harus dihindari dengan tidak
adanya iskemia otak karena risiko dari gangguan pernapasan akut syndrome.
satu studi baru-baru ini menantang kepentingan relatif dari CPP pada pasien TBI,
menunjukkan bahwa fokus utama harus pada penurunan ICP kurang dari 20 mm
Hg. pada intinya, hasil investigasi klinis ini adalah bahwa ICP 20 mm Hg atau
lebih adalah prediktor yang paling kuat dari kerusakan neurologis selama CPP
dipertahankan di atas 60 mm Hg.
KONTROVERSI KLINIS
Tujuan utama pada pasien TBI berat harus normalisasi ICP. Namun, selama
lebih dari satu dekade, banyak perhatian telah dibayarkan kepada pemeliharaan
CPP (MAP - ICP) tanpa bukti seperti apa tujuan ideal untuk CPP seharusnya.
Dalam kedua kasus, tujuannya harus untuk menurunkan ICP di bawah20mmHg.
Meskipun tidak ada perbaikan yang signifikan dalam hasil dalam
penyelidikan paling luas sampai saat ini, meta-analisis terbaru dari 12 percobaan
hipotermia dalam pengobatan pasien TBI berat yang membedakan potensi
manfaat ini manuver otak-pelindung. Saat ini, kebanyakan dokter akan
mempertimbangkan hipotermia menjadi pengobatan diteliti sampai data
tambahan menjadi tersedia.
MAP dapat ditingkatkan melalui normalisasi volume intravaskular
dikombinasikan dengan farmakologi menginduksi hipertensi sistemik yang
diperlukan. Tujuan dari ekspansi volume harus euvolemia serta menghindari dari
hypoosmolar negara dan negatif cairan balance. Jika hematokrit di bawah 30 %,
transfusi sel darah merah ( PRC ) diindikasikan. Status volume harus ditargetkan
untuk arteri tekanan pulmonal antara 10 dan 14 mm Hg jika pemantauan invasif
adalah employed. Setelah pencapaian euvolemia, kepala pasien harus
ditinggikan pada 30 derajat untuk mempromosikan drainase vena dan penurunan
ICP. Jika pemulihan volume intravaskular tidak memadai dalam mengangkat
MAP untuk tingkat yang dapat diterima, hipertensi harus diinduksi menggunakan
vasopressor atau dukungan inotropik. Obat-obatan yang digunakan paling umum
untuk menginduksi hipertensi adalah amina simpatomimetik, dopamin,
norepinefrin, dan fenilefrin. Sementara tak satu pun dari agen ini telah
menunjukkan keunggulan, norepinefrin adalah pilihan yang wajar dengan dosis
awal 0,02 mcg / kg per menit berdasarkan yang dominan vasokonstriksi
properties. Pasien harus dipantau untuk disfungsi ginjal, asidosis laktat, dan
tanda-tanda iskemia perifer ketika agen ini digunakan, terutama pada dosis
besar .
PENGOBATAN HIPERTENSI INTRAKRANIAL
Strategi Farmakologi Umum
Penggunaan analgesik, sedatif, dan lumpuh memiliki peran utama yang
penting dalam pengelolaan hipertensi intrakranial (Gambar 56-3 ). Hal ini terkait
langsung dengan asosiasi nyeri, agitasi, gerakan otot yang berlebihan, dan
menolak ventilasi mekanis dengan peningkatan sementara di ICP. Meskipun
demikian, belum ada studi tentang efek sedasi pada hasil pada pasien dengan
berat sulfat TBI. Morfin adalah analgesik yang paling sering digunakan dan obat
penenang dalam setting. ini, Propofol telah menjadi obat penenang pilihan pada
pasien TBI antara banyak dokter karena kemudahan dari titrasi, efek cepat
reversibel pada penghentian, dan kemungkinan effects. saraf, Meskipun

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
3

digunakan untuk sedasi pada bayi dan anak-anak yang ventilasi mekanik dalam
pengaturan ICU, Administrasi Makanan dan Obat ( FDA ) diperlukan bahwa label
produsen berisi informasi spesifik yang propofol tidak disetujui untuk sedasi
pasien anak dirawat ICU. Hal ini disebabkan sebagian untuk publikasi 10 laporan
kasus asidosis metabolik yang fatal pada anak-anak yang sakit kritis yang
menerima propofol. Sementara hubungan langsung antara propofol dan asidosis
metabolik masih belum jelas, gejala cenderung terjadi dengan dosis besar ( >
4,8-30 mg / kg per jam ) dan infus berkepanjangan ( > 48-72 jam ). Demikian
juga, infus jangka panjang lebih dari 5 mg / kg per jam harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien TBI didasarkan pada kasus baru-baru ini menerbitkan
laporan seri menunjukkan hubungan antara propofol dan konsentrasi trigliserida
failure. Jantung juga harus dipantau pada pasien yang menerima
berkepanjangan infus propofol dan / atau dosis tinggi propofol
mempertimbangkan formulasi emulsi lipid dan potensi untuk menginduksi
HYPERVENTILATION
Praktek hiperventilasi agresif berkepanjangan ( PaCO2 < 25mmHg ) untuk
mengurangi ICP tidak lagi recommended. Hiperventilasi akut menurunkan
PaCO2 sistemik dan serebral. Hipokapnia yang dihasilkan, pada gilirannya,
menyebabkan vasokonstriksi serebral, sehingga mengurangi CBF dan volume
darah otak ( CBV ). Selama beberapa dekade, itu adalah kepercayaan bahwa
pengurangan CBV dan setiap penurunan menyertai di ICP yang menguntungkan.
Meskipun demikian, tinjauan sistematis literatur menyimpulkan bahwa data tidak
memadai untuk memastikan potensi manfaat atau bahaya dari hyperventilation.
Penelitian lain telah menentukan bahwa pasien TBI berat dengan normocapnia
dibandingkan dengan mereka yang menerima hiperventilasi agresif memiliki hasil
yang lebih baik pada 3 dan 6 bulan. Selanjutnya, bukti terbaru menggunakan
microdialysis dan teknik CBF lokal menunjukkan bahwa hiperventilasi agresif
dapat meningkatkan glutamat ekstraseluler, mediator cedera sekunder, pasir
laktat konsentrasi. Meskipun penurunan CBF selama hiperventilasi, tidak ada
penurunan merugikan di CMRo2 diamati dalam studi terbaru. Meskipun
demikian, potensi penurunan CBF untuk meningkatkan kemungkinan untuk
iskemia otak harus ditimbang. Dalam pertimbangan data relatif samar-samar
untuk manfaat terapeutik

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
4

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
5

GAMBAR 56-3. Algoritma untuk TATAkelola peningkatan ICP. Cp, konsentrasi


plasma, CT, computed tomography; OR, ruang operasi, ICP, tekanan
intrakranial, ICU, unit perawatan intensif, T, suhu, CSF, cairan serebrospinal,
EEG, electroencephalogram, RR, laju pernapasan, PaCO2, tekanan parsial
karbon dioksida daraharteri.(Diadaptasidengan izin Boucher BA. Neurotrauma:
Program Self Assessment Farmakoterapi, 3d ed, Modul 2.: Perawatan Kritis.
Chicago, American College Farmasi Klinis, 1999; 215-238).
hiperventilasi pada pasien TBI, pedoman BTF / AANS menyarankan
PaCO2 dipertahankan dekat 35 mm Hg, terutama selama 24 jam. Setelah itu,
PaCO2 di kisaran 30 sampai 35mmHg dapat digunakan jika kontrol ICP adalah
inadequate. hiperventilasi agresif (25-30 mm Hg) untuk periode singkat dapat
dianggap sebagai terapi lapis kedua dalam pengaturan hypertension. Intrakranial
refrakter.
HIPOTERMIA
Hipertermia juga harus dihindari pada pasien TBI karena pasien dengan suhu
tinggi memiliki hasil yang lebih buruk daripada patients. Normothermic,
pemeliharaan oleh karena itu agresif suhu inti kurang dari 37,5 C menggunakan
acetaminophen, obat nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID), dan selimut
pendingin diindikasikan untuk pasien setelah TBI.50 Beberapa teknik pendingin
eksperimental yang parah, termasuk pendinginan intravaskular untuk digunakan
pada pasien TBI refrakter terhadap strategi manajemen konvensional, dibahas
dalam sebuah tinjauan terbaru dari topik ini.
Sementara hipotermia telah dibahas selama hampir 50 tahun sebagai
manuver pelindung otak pada pasien TBI, kebangkitan baru-baru ini menarik
telah dipicu oleh hasil beberapa studi pendahuluan di awal 1990-an
menunjukkan kecenderungan peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien
TBI parah acak menerima hipotermia ringan sampai sedang. Namun, dalam
penyelidikan yang paling luas sampai saat ini , pasien TBI acak menerima
hipotermia ( n = 199 ) dalam waktu 6 jam dari cedera ( suhu target tubuh 33 C )
dan dipelihara selama 48 jam tidak memiliki hasil yang signifikan meningkat
dibandingkan dengan kelompok normothermia pasien TBI ( n = 196 ) pada 6
bulan. Dua meta - analisis mengkonfirmasi hasil ini, menyimpulkan hipotermia
yang tidak menguntungkan dalam pengelolaan patients TBI, Apapun, tinjauan
sistematis literatur memang melihat potensi keuntungan dalam mengurangi hasil
mortalitas dan neurologis miskin berdasarkan data gabungan dari 12 trials.
Kedalaman dan durasi hipotermia, serta tingkat rewarming setelah penghentian
hipotermia, merupakan faktor tambahan yang dapat mempengaruhi hasil dengan
manuver terapi ini dalam patients TBI, mekanisme yang mendasari efek
perlindungan dari hipotermia mungkin multifaktorial, meskipun penurunan
CMRo2 ditawarkan paling sering sebagai dasar dari manfaat terapeutik. Potensi
efek samping dari hipotermia meliputi gangguan koagulasi, komplikasi infeksi,
dan arrhythmias. Jantung, Peningkatan ICP juga dapat terjadi sekunder terhadap
hipotermia terkait menggigil yang dapat dicegah dengan agen neuromuscular
blocking. Sayangnya, obat ini juga terkait dengan potensi efek samping, seperti
yang dibahas sebelumnya. Mengingat risiko ini yang terakhir dan data samarsamar dari uji klinis untuk saat ini, hipotermia harus terus dipertimbangkan
pengobatan yang diteliti.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
6

DIURETIK
Meskipun sejumlah diuretik osmotik ( misalnya urea, gliserol ) dapat
digunakan untuk mengurangi ICP, manitol tidak diragukan bekerja lagi. paling
banyak meskipun praktek umum administrasi manitol untuk pasien yang diduga
atau sebenarnya peningkatan ICP setelah cedera otak, tidak ada uji klinis
membandingkan efeknya terhadap plasebo telah dilakukan. Mekanisme yang
bertanggung jawab untuk efek menguntungkan manitol yang mungkin
berhubungan dengan ( 1 ) efek plasma berkembang cepat yang mengurangi
kekentalan darah dan meningkatkan CBF dan ( 2 ) pembentukan gradien
konsentrasi osmotik melintasi penghalang darah-otak utuh yang menurunkan ICP
air berdifusi dari otak ke compartment. Intravaskular, Jika penghalang darah-otak
terganggu sebagai akibat dari cedera, peningkatan ICP rebound dapat terjadi
dengan penggunaan jangka panjang dari zat osmotik karena manitol
terakumulasi dalam jaringan otak, yang mengakibatkan peningkatan volume.
Otak intraseluler dosis yang direkomendasikan manitol typially berkisar 0,251 g /
kg intravena setiap 4 jam. Namun, dua studi terbaru menggunakan dosis bolus
yang lebih besar manitol ( yaitu, sekitar 1,4 g / kg ) mengungkapkan hasil klinis
yang lebih baik dibandingkan dengan pasien TBI dengan perdarahan lobus
temporal dan hematoma subdural diobati dengan dosis. konvensional, kedua
penelitian tidak hanya membahas pentingnya dosis manitol untuk indikasi ini,
tetapi mereka juga mewakili fewdata substantiating manfaat manitol meskipun
penggunaannya dalam mengelola TBI selama lebih dari 50 yahun.
Peningkatan ICP berkurang dalam beberapa menit setelah pemberian
manitol, dan durasi kerja berkisar antara 90 menit sampai 6 jam tergantung pada
dosis dan kondisi klinis yang sekarang. Dalam rangka untuk memaksimalkan
keuntungan dan meminimalkan efek samping, umumnya merekomendasikan
bahwa manitol diberikan sebagai bolus dan bukan sebagai infus kontinu dalam
pengaturan ini. Namun, tidak ada uji klinis secara langsung membandingkan dua
pemerintahan yang berbeda teknik ini. furosemide intravena (0,5-1 mg / kg)
dapat digunakan dalam hubungannya dengan manitol dalam kasus-kasus
refrakter. Selama 24 sampai 48 jam setelah cedera, anak-anak cenderung untuk
mengembangkan hiperemia otak umum. Karena manitol dapat meningkatkan
CBF dan memperburuk ICP, beberapa praktisi menganjurkan penggunaan
furosemide lebih manitol pada anak-anak.
Beberapa efek samping yang berhubungan dengan mannitol. Selain
hipotensi akibat efek diuretik, disfungsi ginjal akut reversibel dapat terjadi pada
pasien dengan fungsi ginjal yang sebelumnya normal setelah jangka panjang,
administrasi yang besar dosis, terutama jika osmolalitas serum melebihi 320
mOsm/kg. Oleh karena itu pemantauan dan mempertahankan osmolalitas serum
kurang dari 310-320 mOsm /kg penting untuk meminimalkan efek samping.
Manitol harus dihindari pada pasien dengan kegagalan. Ginjal, eksaserbasi akut
yang mendasari gagal jantung kongestif dan edema paru juga dapat terjadi
setelah ekspansi volume intravaskular yang cepat. Furosemide dianjurkan
sebagai diuretik alternatif untuk menurunkan ICP dalam kelompok pasien kedua
ini.
BARBITURAT
Dosis tinggi terapi barbiturat (yaitu, koma barbiturat ) telah digunakan selama
beberapa dekade dalam pengelolaan peningkatan ICP meskipun kurangnya
bukti yang mendokumentasikan efek menguntungkan pada morbiditas pasien

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
7

dan mortality. Meskipun demikian, sebagian besar didasarkan pada hasil yang
menguntungkan diamati dalam uji coba klinis secara acak diterbitkan pada tahun
1988, BTF / AANS dan pedoman pediatrik merekomendasikan bahwa terapi
barbiturat dosis tinggi dianggap pasien TBI parah pada hemodinamik stabil
refrakter terhadap terapi maksimal ICP penurun medis dan operasi.
Decompressive, penggunaan profilaksis barbiturat tidak dianjurkan dalam cahaya
tidak cukup bukti yang mendukung praktek ini dan potensi efek samping (
misalnya, hipotensi ). Beberapa mekanisme yang bertanggung jawab untuk efek
protektif otak barbiturat telah diusulkan. Ini termasuk ( 1 ) menurunkan CMRo2
regional dengan pengurangan digabungkan di CBF ke daerah-daerah, ( 2 )
penghambatan peroksidasi lipid, dan ( 3 ) perubahan nada. Pembuluh darah otak
.
Sebelum menginduksi koma barbiturat, pasien TBI parah mustbe ventilasi
mekanik dengan pemantauan terus menerus dari tekanan darah arteri,
elektrokardiogram ( EKG ), dan ICP . Pentobarbital adalah barbiturat yang paling
umum digunakan untuk indikasi ini, meskipun thiopental juga telah digunakan.
Pentobarbital harus diberikan sebagai infus intravena memuat sebanyak 25 mg /
kg (yaitu, 10 mg / kg selama 30 menit dan kemudian 5 mg / kg per jam selama 3
jam ), diikuti dengan infus pemeliharaan awal 1 mg / kg per jam. Infus
pemeliharaan dapat dititrasi ke atas jika diperlukan untuk maksimal 2-3 mg / kg
per jam. Jika tekanan darah sistolik turun selama infus pemuatan atau
pemeliharaan, tingkat harus diperlambat sementara dan dukungan tekanan
darah dimulai. Tujuan dari koma barbiturat adalah untuk mempertahankan ICP
dan CPP di ambang target yang telah dibahas sebelumnya selain untuk
mencapai konsentrasi steady-state pentobarbital antara 30 dan 40 mg / L dan
EEG meledak penindasan. Inisiasi penarikan terapi barbiturat dapat terjadi jika
ICP telah dikendalikan secara memuaskan selama 24 hingga 48 jam. Barbiturat
harus meruncing lebih dari 24 ke 72 jam untuk mencegah lonjakan ICP .
Efek samping yang berhubungan dengan terapi barbiturat dosis tinggi
terutama melibatkan sistem kardiovaskular. Hipotensi disebabkan oleh
vasodilatasi perifer dapat terjadi, yang memerlukan penurunan dosis barbiturat
atau pemberian cairan dan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah.
Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini literatur menunjukkan bahwa satu dari
setiap empat pasien yang menerima terapi barbiturat akan mengembangkan
hypotension. Gastrointestinal ( GI ) efek barbiturat termasuk nada otot menurun
GI dan penurunan amplitudo kontraksi. Pada munculnya dari koma, mungkin ada
periode GI Hipermotilitas. Perawatan harus diambil untuk menghindari
ekstravasasi solusi pentobarbital dan thiopental karena kerusakan jaringan yang
parah dapat terjadi. Barbiturat harus diberikan dengan infus kontinu melalui jalur
sentral yang didedikasikan untuk tujuan ini. Potensi barbiturat untuk menginduksi
metabolisme obat hati obat bersamaan harus juga dipertimbangkan. Terakhir,
potensi gangguan berkepanjangan dengan proklamasi kematian otak pada
pasien TBI memenuhi kriteria neurologis kematian otak diterima secara lokal
harus diperhatikan sebelum memulai terapi barbiturat dosis tinggi .
KORTIKOSTEROID
Meskipun kortikosteroid efektif dalam mencegah atau mengurangi edema
serebral pada pasien dengan kondisi nontraumatic memproduksi edema
vasogenik, kebanyakan studi pada pasien TBI belum menunjukkan bahwa
mereka menurunkan ICP atau meningkatkan hasil. Selain itu, penggunaan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
8

kortikosteroid berikut TBI telah dikaitkan dengan peningkatan komplikasi,


termasuk perdarahan GI, intoleransi glukosa, gangguan elektrolit, dan infeksi.
Berdasarkan beberapa percobaan acak utama, BTF / AANS dewasa dan
pedoman pediatrik merekomendasikan bahwa kortikosteroid tidak d.24 gunakan,
ulasan sistematis terbaru tetap menyimpulkan bahwa baik manfaat moderat
maupun efek berbahaya moderat kortikosteroid pada pasien TBI dapat
dikecualikan
setelah meninjau semua data percobaan klinis dikumpulkan untuk data. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa penyelidikan internasional yang dikenal sebagai
CRASH ( Kortikosteroid Randomisasi Setelah Signifikan Cedera Kepala ) studi
dimulai dalam upaya untuk menentukan manfaat dari terapi kortikosteroid pada
pasien dengan TBI. Dalam penelitian ini 10.008 pasien dengan skor GCS 14
secara acak menerima infus kontinu 48 jam methylprednisolone atau plasebo .
Hasil awal dari studi ini menunjukkan risiko kematian yang lebih tinggi dalam
waktu 2 minggu dari pendaftaran (risiko relatif 1,18 ) pada pasien yang menerima
kortikosteroid dibandingkan dengan pasien yang menerima plasebo ( p < 0,001 ).
Dengan demikian, kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk mengobati pasien
TBI terlepas dari kekerasan.
PENGOBATAN DAN PROFILAKSIS PASCA TRAUMA SERANGAN
Hal ini umumnya sepakat bahwa pasien yang mengalami satu atau lebih kejang
setelah sedang sampai berat TBI harus menerima terapi antikonvulsan untuk
menghindari peningkatan CMRo2 yang terjadi dengan onset kejang berikutnya.
Terapi awal pada orang-orang ini harus terdiri dari dosis tambahan intravena
diazepam ( 5-40 mg dewasa, 0,1-0,5 mg / kg bayi dan anak-anak ) atau
lorazepam ( 2-8 mg dewasa, 0,03-0,1 mg / kg bayi dan anak-anak ) untuk
menghentikan setiap aktivitas kejang aktif diikuti oleh fenitoin intravena untuk
mencegah kejang kekambuhan. Rejimen dosis fenitoin untuk orang dewasa dan
pasien anak termasuk dosis muatan intravena 15-20 dan 10-15 mg / kg, masingmasing, diikuti dengan dosis pemeliharaan 5 mg / kg per hari . Atau,
fosphenytoin, ester fosfat yang larut dalam air fenitoin, dapat diberikan secara
intravena atau intramuskular menggunakan dosis yang sama, ditetapkan sebagai
setara fenitoin ( PE ). Manfaat terapi antikonvulsan preventif pada pasien yang
belum mengalami kejang postinjury historis telah lebih kontroversial. Faktor risiko
kejang pasca trauma awal ( < 7 hari setelah cedera ) meliputi skor GCS kurang
dari 10, memar kortikal, patah tulang tengkorak depresi, hematoma subdural,
hematoma epidural, hematoma intraserebral, kepala luka tembus, atau kejang
dalam 24 jam pertama cedera. dalam tengara acak, studi plasebo-terkontrol,
kejadian kejang pasca trauma awal pada pasien yang menerima plasebo 14,2 %
dibandingkan dengan 3,6 % pada pasien yang menerima fenitoin ( p < 0,05 )
tanpa peningkatan yang signifikan dalam obat - terkait sisi effects. Sebuah
tinjauan sistematis baru-baru ini literatur membenarkan temuan ini ,
memperkirakan risiko peningkatan pooled relative untuk pencegahan kejang
awal dari 0,34 ( 95 % confidence interval : 0,21-0,54 ) pada pasien yang
menerima.
Antikonvulsan demikian dianjurkan bahwa fenitoin (atau alternatif
carbamazepine) harus digunakan untuk mencegah kejang pada pasien TBI
berisiko tinggi selama 7 hari pertama setelah cedera. Terapi valproate tidak
dianjurkan berdasarkan tren untuk lebih tinggi kematian dalam studi yang
membandingkan pasien valproate-diobati dengan mereka yang menerima
fenitoin jangka pendek terapi. Manfaat antikonvulsan profilaksis melampaui 7 hari

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

13
9

belum dibuktikan, dan dengan demikian penggunaannya untuk indikasi ini tidak
rekomendasi. Sayangnya, meskipun mengurangi kejadian kejang awal setelah
cedera otak, tidak ada efek menguntungkan telah didokumentasikan untuk
antikonvulsan pada kematian pasien atau disability jangka panjang.
PERAWATAN YANG MENDUKUNG
Sementara normalisasi ICP dan mempertahankan adequateCPPare prioritas
tertinggi dalam mencegah cedera sekunder berikut TBI parah, perhatian juga
harus diberikan untuk mencegah dan / atau mengobati komplikasi sistemik dan
ekstrakranial. Ini termasuk cairan dan elektrolit management. Hati gangguan
elektrolit umum berlangsung pada pasien TBI yang harus dipantau dan diobati
secara agresif termasuk hiponatremia, hipomagnesemia, hipokalemia, dan
hypophosphatemia. Dukungan nutrisi yang agresif dari pasien TBI adalah satu
pertimbangan lagi. Terapeutik penting, bukti menunjukkan bahwa menyusui dini
pasien TBI dapat dikaitkan dengan kecenderungan hasil yang lebih baik dalam
hal kelangsungan hidup dan disability. komplikasi Infeksi sering ditemui pada
pasien TBI parah termasuk pneumonia nosokomial, sepsis, infeksi saluran
kemih, dan meningitis. Pengobatan infeksi tersebut berpotensi merugikan harus
agresif, dengan perhatian dibayar untuk penetrasi penghalang darah-otak
antibiotik untuk infeksi intrakranial. Administrasi ajuvan granulosit colonystimulating factor juga telah menerima perhatian yang terbatas relatif terhadap
pencegahan infeksi nosokomial di patients ini, intervensi terapeutik penting
lainnya termasuk koreksi dari setiap koagulopati didokumentasikan, profilaksis
gastritis aku, pencegahan kejadian tromboemboli kontrol demam dan
pencegahan decubi dan kontraktur .
JALUR KLINIS / PEDOMAN PELAKSANAAN
Penggunaan jalur klinis dan pedoman pengelolaan TBI resmi telah ditunjukkan
untuk meningkatkan hasil pasien TBI dan mengurangi pemanfaatan sumber daya
kelembagaan. Sebagai contoh, pelaksanaan jalur klinis TBI parah
mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam lama tinggal, ICU tinggal, dan
hari ventilator antara korban di salah satu Pelaksanaan institution. Pedoman TBI
diterbitkan juga telah terbukti memiliki dampak signifikan pada hasil pasien
dibandingkan dengan kontrol sejarah dalam dua institutions. Lainnya, meskipun
demikian, tantangan menggunakan kontrol historis dalam mengevaluasi dampak
dari perubahan standar praktek dibesarkan sebagai keprihatinan dalam salah
satu dari dua investigations. Ini apapun, beberapa praktisi akan membantah
pentingnya keseluruhan mengintegrasikan pedoman manajemen berbasis bukti
saat ini ke dalam praktek klinis sebagai sarana untuk mengoptimalkan perawatan
dan meningkatkan hasil fungsional patients TBI.
TERAPI YANG DITELITI
Penurunan stabil dalam morbiditas dan mortalitas berikut Neurotrauma parah
selama 30 tahun terakhir dapat disebabkan sebagian besar manajemen cepat
dan agresif peristiwa yang mengakibatkan cedera sekunder (misalnya, iskemia,
hipoksia, peningkatan ICP) menggunakan strategies. Pengobatan konvensional
banyak agen saraf penargetan proses patofisiologis spesifik yang berteori terjadi
setelah TBI parah telah diselidiki selama dekade terakhir dalam upaya untuk
lebih meningkatkan prospek untuk pemulihan yang berarti. Sebuah tinjauan
penyelidikan ini disajikan di bawah ini. Sayangnya, tak satu pun dari agen ini
sampai saat ini telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam morbiditas

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
0

atau kematian setelah TBI parah dalam uji klinis tahap III dengan pengecualian
nimodipin dalam subset dari pasien
Banyak penjelasan telah ditawarkan untuk varians antara manfaat yang
diamati pada hewan model cedera otak menggunakan berbagai obat saraf dan
kurangnya efektivitas pada pasien. Ini termasuk perbedaan mekanistik cedera
otak sekunder antara model hewan dan pasien, pasien heterogenicity relatif
terhadap intrakranial dan ekstrakranial patologi, ukuran sampel yang tidak
memadai, penetrasi obat miskin ke dalam otak, ukuran hasil sensitif,
ketidakseimbangan pendaftaran pasien, dan realistis perbaikan expectations.
Isu-isu lain yang memerlukan perhatian dalam uji klinis masa depan untuk
memaksimalkan utilitas dari agen ini adalah dosis, waktu, dan urutan pemberian
obat, durasi terapi relatif terhadap peristiwa traumatik, dan mungkin kombinasi
terapi. Proses untuk mendapatkan informed consent secara cepat juga
merupakan tantangan berat dalam subset pasien ini, seperti halnya penundaan
Inherent pasien sakit kritis lainnya subsets. Dalam memperoleh informed consent
terlebih dahulu untuk diteliti pemberian obat dapat membahayakan potensi
manfaat yang diperoleh dari agen dan menghilangkan kemungkinan pengobatan
pra-rumah sakit dari pasien TBI kecuali dalam contoh langka di mana
pembebasan informed consent telah diberikan. Meskipun kegagalan studi diteliti
sampai saat ini, pencarian kemungkinan akan berlanjut untuk agen saraf yang
akhirnya dapat meningkatkan hasil jangka panjang pada pasien TBI berat
dengan menghindari beberapa perangkap dalam desain penelitian ini dalam
penyelidikan negatif sebelumnya.
MODULASI MASUKNYA KALSIUM
Antagonis kalsium
Antagonis kalsium adalah kandidat yang jelas untuk berpotensi pelemahan efek
buruk dari masuknya kalsium pada pasien Neurotrauma akut. Nimodipine,
dihidropiridina, telah dipelajari paling luas di antara antagonis kalsium yang
menghambat L -type calcium channel post- synaptic. Sayangnya, dua percobaan
utama nimodipin pada pasien TBI dewasa tidak menunjukkan peningkatan yang
signifikan secara statistik pada hasil dibandingkan dengan placebo. Manfaat
asignificant diamati dalam subkelompok pasien dengan pasca trauma
perdarahan subarachnoid ( Tsah ) menerima nimodipin yang dikuatkan dalam
tindak lanjut investigation. Dosis nimodipin digunakan dalam penyelidikan yang
terakhir adalah 2 mg / jam intravena selama 7 sampai 10 hari, diikuti oleh 360 mg
sehari diberikan secara oral sampai hari ke 21 dari treatment. Sebuah tinjauan
baru-baru ini sytematic literatur menyimpulkan nimodipin yang mungkin
bermanfaat pada pasien Tsah, meskipun ada bukti yang cukup untuk
mendukung penggunaan antagonis kalsium dalam hipotensi sistemik yang tidak
dipilih TBI patients. adalah keterbatasan relatif dengan penggunaan antagonis L type calcium channel lain untuk indikasi ini .
Target lain untuk modulasi kalsium adalah presynaptic Ntype tegangansensitif saluran kalsium. Conotoxin Omega (SNX-111, Ziconotide) adalah salah
satu antagonis seperti yang telah dievaluasi pada pasien TBI. Sayangnya,
percobaan fase III besar dari conotoxinwas omega dihentikan prematur setelah
analisis sementara dianggap kemungkinan untuk hasil yang menguntungkan
untuk menjadi sangat kecil dibandingkan dengan placebo.85 hipotensi sistemik

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
1

yang sangat besar memerlukan dukungan vasopressor adalah perhatian utama


dengan penggunaan agen ini.
GLUTAMAT ANTAGONIS
Sebuah jumlah yang signifikan bukti eksperimental telah terakumulasi
mengkonfirmasikan kemanjuran antagonis reseptor NMDA dalam pelemahan
peristiwa cedera sekunder setelah trauma otak Model. Berdasarkan hasil ini,
antagonis reseptor NMDA baik kompetitif dan nonkompetitif telah dikembangkan
sebagai agen saraf. D - CPP - ena dan CGS 19755 ( Selfotel ) adalah
investigationa lNMDA antagonis bersaing dengan glutamat pada situs reseptor
(yaitu,antagoniskompetitif).
Hasil dari dua tahap III Selfotel uji klinis yang melibatkan 693 pasien tidak
menunjukkan peningkatan kemanjuran dibandingkan dengan plasebo dan
kemungkinan peningkatan mortalitas dan acara - otak yang berhubungan dengan
efek samping yang serius pada kelompok perlakuan selama analisis interim data.
Dengan demikian, pengadilan dihentikan prematur. Antagonis NMDA tidak
kompetitif atau saluran reseptor blocker mengikat reseptor NMDA terbuka,
sehingga menghalangi arus ion. Senyawa dalam kelompok ini termasuk ketamin,
phencyclidine, dekstrometorfan, dextrorphan, dan agen diteliti dizocilpine ( MK 801 ), dexanabinol ( yang juga memiliki sifat pemulungan radikal bebas), dan
aptiganel ( Cerestat ). Sebuah uji coba fase III dari aptiganel juga dihentikan
sebelum waktunya didasarkan pada manfaat yang terbatas ( 1,1 % ) dalam
mendukung pengobatan atas plasebo pada 340 pasien pertama studied.
Antagonis reseptor NMDA lain yang selektif blok situs peraturan NR2B pada
reseptor postsynaptic dan memiliki penyelidikan klinis mengalami adalah CP 101, 606. Sebuah studi fase III yang melibatkan 600 pasien TBI parah diacak
untuk menerima baik CP - 101, 606 atau plasebo selesai baru-baru ini. Hasil dari
penelitian ini diharapkan di masa depan. Sebuah uji coba tahap II dari
dexanabinol di 67 pasien TBI parah selesai baru-baru ini dan menunjukkan untuk
menjadi aman dan ditoleransi dengan baik , sebuah kecenderungan yang lebih
cepat dan hasil neurologis juga unggul adalah observed.
ANTIOKSIDAN / PEMBERSIH RADIKAL
Peran potensial oksigen radikal bebas dalam patofisiologi TBI telah
mendorong minat dalam penggunaan antioksidan untuk mengganggu siklus
mengabadikan diri dari kehancuran membran pada pasien ini. Tirilazad ( Freedox
), 21- aminosteroid, adalah salah satu antioksidan seperti yang telah mengalami
pengujian tahap III di TBI, stroke, dan perdarahan subarachnoid ( SAH ) pasien.
Sebuah fitur menarik analog steroid ini adalah bahwa meskipun itu adalah
inhibitor poten dari peroksidasi lipid, pada dasarnya tanpa aktivitas
glukokortikoid. Sayangnya, dua percobaan utama tirilazad pada pasien TBI tidak
dapat menunjukkan keberhasilan dibandingkan dengan placebo. An scavenger
radikal bebas enzimatik yang telah mengalami uji klinis pada pasien TBI parah
superoksida dismutase konjugasi polimer polietilen glikol ( PEG - SOD,
pegorgotein, Dismutec ). Sementara hasil awal uji coba fase II yang menjanjikan,
peningkatan tidak signifikan secara statistik pada hasil atau mortalitas diamati
dalam fase yang lebih besar percobaan pada pasien TBI berat yang menerima
dua dosis pegorgotein dibandingkan dengan placebo.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
2

STRATEGI PERAWATAN LAIN


Pembentukan mediator inflamasi termasuk metabolit asam arakidonat telah
terlibat dalam tahap terakhir dari cedera tersier berikut Neurotrauma. Dengan
demikian, baik siklooksigenase inhibitor ( misalnya, NSAID ) 99100 dan
campuran inhibitor siklooksigenase - lipooxygenase ( misalnya, BW7544C ) telah
dipelajari dalam model Neurotrauma eksperimental dengan keberhasilan yang
terbatas . Selanjutnya, immunosuppressant cyclosporin A telah menerima
beberapa perhatian relatif terhadap redaman kerusakan kortikal pada hewan
model TBI. Inhibitor mediator inflamasi juga sedang dipertimbangkan sebagai
agen saraf. Ini termasuk antagonis untuk bradikinin, plateletactivating faktor,
sitokin, leukotrien LT4, dan Capase - 1,103 Terakhir, berbagai faktor
pertumbuhan, termasuk faktor neurotropik yang diturunkan dari otak, faktor
pertumbuhan saraf, neurotrophin - 3, dan erythropoietin, dan kofaktor seperti
insulin - seperti faktor pertumbuhan 1105 dan GM1 ganglioside mungkin memiliki
peran masa depan dalam pengelolaan TBI dengan mempromosikan regenerasi
sel saraf dan differentiation. Strategi neurorestorative tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai struktural atau functional. Penting, strategi tersebut
mungkin menjadi target yang paling subur bagi genetik manipulasi di masa
depan dan mungkin memiliki implikasi signifikan bagi rehabilitation pasca TBI.
EVALUASI HASIL TERAPI
Proses untuk evaluasi hasil terapi diringkas dalam Tabel 56-3. Pasien dengan
TBI parah memerlukan pemantauan ICU awalnya dengan tujuan
mempertahankan atau membangun kembali neurologis dan homeostasis
sistemik serta mudah mendeteksi neurologis setiap deterioration. Ini sering
memerlukan evaluasi atas status neurologis pasien (misalnya, GCS) dan
pengukuran tanda-tanda vital, urine output, dan saturasi oksigen arteri (serta ICP
pada pasien dengan monitor ICP di tempat). Selain itu, perhatian harus
dibayarkan kepada potensi untuk berbagai elektrolit, mineral, dan asam-basa
gangguan, koagulopati, dan infeksi dengan mendapatkan berbagai tes
laboratorium setiap hari pada awalnya. Intensitas monitoring akan menjadi fungsi
dari tingkat relatif neurologis dan hemodinamik
TABEL 56-3. Evaluasi Hasil Terapi
Umum

Arteri

Laboratorium tes

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

GCS:
Rekam
per
jam
awalnya,
menurunkan frekuensi status neurologis
menstabilkan tanda-tanda Vital (BP, HR,
RR, suhu): Rekam per jam awalnya,
menurunkan frekuensi status neurologis
menstabilkan keluaran Urine: Rekam per
jam awalnya, menurunkan frekuensi
sebagai tabilizes
Saturasi oksigen Terus berada di unit
perawatan intensif Risiko peningkatan
ICP ICP: Rekam per jam,
menurunkan
frekuensi sebagai ICP menstabilkan kurang
dari 20 mm Hg CPP: Rekam per jam,
menurunkan frekuensi sebagai CPP stabil
lebih dari 60 mm HGA
konsentrasi etanol dan layar urin obat:
Pada GDA masuk: Harian minimal

14
3

Prosedur radiologis

sementara diintubasi, diulang sesuai


kebutuhan berdasarkan ketidakstabilan
paru memerlukan pengaturan ventilator
perubahan CBC: Harian sementara dalam
perawatan intensif Unit Serum elektrolit
(Na, K, Cl): Harian sementara dalam
perawatan intensif Unit Mineral (Mg, Ca,
P): Harian awalnya sampai konsentrasi
yang stabil
CT scan: Postresuscitation awalnya
dengan ulangi scan (s) sesuai kebutuhan
berdasarkan
tingkat
ketidakstabilan
neurologis (misalnya, penurunan GCS)

GCS, Glasgow Coma Scale, BP, tekanan darah, HR, denyut jantung, RR, laju
pernapasan, CSF, cairan serebrospinal, TBI, cedera otak traumatis, ICP, tekanan
intrakranial, CPP, tekanan perfusi serebral, ABG, gas darah arteri; CBC , hitung
darah lengkap, Na, natrium, K, kalium, Cl, klorida, Mg, magnesium, Ca, kalsium,
P, fosfor, CT, computed tomography. monitoring aContinuous diamanatkan
awalnya jika teknologi layak.
stabilitas pasien di jam-jam dan hari-hari berikutnya penghinaan neurologis.
Terakhir, tes radiologis (misalnya, CT scan) sangat penting tidak hanya untuk
evaluasi diagnostik awal pasien TBI tetapi juga sebagai sarana untuk
mengevaluasi etiologi untuk setiap kerusakan neurologis berikutnya juga.

Singkatan
AANS : American Association of Neurological Surgeons
ABG : gasdaraharteri
ATP : adenosintrifosfat
BTF : BrainTraumaYayasan
CBF : aliran darah otak
CBV : volume darah otak
CDo2 : pengiriman oksigen serebral
CMRo2: konsumsi oksigen serebral
SSP : sistem saraf pusat
CPP : tekanan perfusi serebral
CSF : cairan serebro spinal
CT
: computed tomography
EKG : elektrokardiogram
GCS : Glasgow Coma Scale
GI
: gastrointestinal
ICP
: tekanan intrakranial
MAP : berarti tekanan arteri
NMDA : N-methyl-D-aspartate
NSAID : nonsteroid alobatanti-inflamasi
PBRCs: dikemas sel darah merah
SBP : tekanan darah sistolik
Sjvo2 : jugularis saturasi oksigen ve
Referensi

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
4

1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Traumatic Brain Injury in
the United States:AReport to Congress. Atlanta, CDC, National Center for
Injury and Prevention and Control, 1999.
2. Adekoya N, Thurman DJ, White DD,Webb KW. Surveillance for traumatic brain
injury deathsUnited States, 19891998. MMWR Surveill Summ 2002;51:1
14.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Injury Fact Book 2001
2002. Atlanta, CDC, National Center for Injury Prevention and Control, 2001.
4. Kraus JF, McArthur DL, Silverman TA, Jayaraman M. Epidemiology of brain
injury. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New
York, McGraw-Hill, 1996:1330.
5. Veremakis C, Lindner DH. Central nervous system injury: Essential physiologic
and therapeutic concerns. In: Civetta JM, Taylor RW, Kirby RR, eds. Critical
Care. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1997:273289.
6. Marik PE, Varon J, Trask T. Management of head trauma. Chest 2002;
122:699711.
7. Marshall LF. Head injury: Recent past, present, and future. Neurosurgery
2000;47:546561.
8. Chesnut RM. Avoidance of hypotension: Conditio sine qua non of successful
severe head-injury management. J Trauma 1997;42:S49.
9. Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi SC, et al. Cerebral circulation and metabolism
after severe traumatic brain injury: The elusive role of ischemia. J Neurosurg
1991;75:685693.
10. Martin NA, Patwardhan RV, Alexander MJ, et al. Characterization of cerebral
hemodynamic phases following severe head trauma: Hypoperfusion,
hyperemia, and vasospasm. J Neurosurg 1997;87:919.
11. Woodman T, Robertson CS. Jugular venous oxygen saturation monitoring. In:
Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New York,
McGraw-Hill, 1996.
12. Young W. Death by calcium: A way of life. In: Narayan RK, Wilberger JEJ,
Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New York, McGraw-Hill, 1996: 1421
1431.
13. Ray SK, Dixon CE, Banik NL. Molecular mechanisms in the pathogenesis of
traumatic brain injury. Histol Histopathol 2002;17:11371152.
14. Kampfl A, Posmantur RM, Zhao X, et al. Mechanisms of calpain proteolysis
following traumatic brain injury: Implications for pathology and therapya
review and update. J Neurotrauma 1997;14:121134.
15. Hall ED. Free radicals and lipid peroxidation. In: Narayan RK,Wilberger JE,
Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New York, McGraw-Hill, 1996: 1405
1419.
16. Cristofori L, Tavazzi B, Gambin R, et al. Early onset of lipid peroxidation after
human traumatic brain injury: A fatal limitation for the free radical scavenger
pharmacological therapy? J Investig Med 2001;49:450458.
17. Raghupathi R, Graham DI, McIntosh TK. Apoptosis after traumatic brain
injury. J Neurotrauma 2000;17:927938.
18. Huang PP, Esquenazi S, Le Roux PD. Cerebral cortical neuron apoptosis
after mild excitotoxic injury in vitro: Different roles of mesencephalic and
cortical astrocytes. Neurosurgery 1999;45:14131422.
19. Hsu CY, Hu ZY, Doster SK. Cell-mediated injury. In: Narayan RK, Wilberger
JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New York, McGraw- Hill, 1996:1433
1444.
20. Teasdale GM, Nicoll JA, Murray G, Fiddes M. Association of apolipoprotein E
polymorphism with outcome after head injury. Lancet 1997;350:10691071.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
5

21. Graham DI, Horsburgh K, Nicoll JA,TeasdaleGM.ApolipoproteinEand the


response of the brain to injury. Acta Neurochir Suppl (Wien) 1999; 73:8992.
22. Signorini DF, Andrews PJ, Jones PA, et al. Predicting survival using simple
clinical variables: A case study in traumatic brain injury. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 1999;66:2025.
23. Bullock R, Chesnut RM, Clifton GL, et al. Guidelines for the management of
severe head injury. Brain Trauma Foundation, American Association of
Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. J
Neurotrauma 1996;13:641734.
24. Bullock R, Chesnut RM, Clifton GL, et al. Guidelines for the management of
severe head injury. Brain Trauma Foundation, American Association of
Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. J
Neurotrauma 2000;17:449627.
25. Marion DW, Spiegel TP. Changes in the management of severe traumatic
brain injury: 19911997. Crit Care Med 2000;28:1618.
26. Maas AI, Dearden M, Teasdale GM, et al. EBIC guidelines for management
of severe head injury in adults. European Brain Injury Consortium. Acta
Neurochir 1997;139:286294.
27. Gabriel EJ, Ghajar J, Jagoda A, et al. Guidelines for prehospital management
of traumatic brain injury. J Neurotrauma 2002;19:111174.
28. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, et al. Guidelines for the acute medical
management of severe traumatic brain injury in infants, children, and
adolescents. Crit Care Med 2003;31:S417491.
29. Roberts I, Schierhout G, Wakai A. Mannitol for acute traumatic brain injury.
Cochrane Database Syst Rev 2003.
30. Yanagawa T, Bunn F, Roberts I, et al. Nutritional support for head-injured
patients. Cochrane Database Syst Rev 2003.
31. Gadkary CS, Alderson P, Signorini DF. Therapeutic hypothermia for head
injury. Cochrane Database Syst Rev 2003.
32. Roberts I, Schierhout G. Hyperventilation therapy for acute traumatic brain
injury. Cochrane Database Syst Rev 2003.
33. Roberts I. Barbiturates for acute traumatic brain injury. Cochrane Database
Syst Rev 2003.
34. Alderson P, Roberts I. Corticosteroids for acute traumatic brain injury.
Cochrane Database Syst Rev 2003.
35. Langham J, Goldfrad C, Teasdale G, et al. Calcium channel blockers for
acute traumatic brain injury. Cochrane Database Syst Rev 2003.
36. Schierhout G, Roberts I. Antiepileptic drugs for preventing seizures following
acute traumatic brain injury. Cochrane Database Syst Rev 2003.
37. Teasdale GM, Graham DI. Craniocerebral trauma: Protection and retrieval of
the neuronal population after injury. Neurosurgery 1998;43: 723737.
38. Simma B, Burger R, Falk M, et al. A prospective, randomized, and controlled
study of fluid management in children with severe head injury: Lactated
Ringers solution versus hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26:1265
1270.
39. Shackford SR, Bourguignon PR,Wald SL, et al. Hypertonic saline
resuscitation of patients with head injury: A prospective, randomized clinical
trial. J Trauma 1998;44:5058.
40. Qureshi AI, Suarez JI, Castro A, Bhardwaj A. Use of hypertonic saline/acetate
infusion in treatment of cerebral edema in patients with head trauma:
Experience at a single center. J Trauma 1999;47:659665.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
6

41. Bulger EM, Nathens AB, Rivara FP, et al. Management of severe head injury:
Institutional variations in care and effect on outcome. Crit Care Med
2002;30:18701876.
42. Cruz J. The first decade of continuous monitoring of jugular bulb
oxyhemoglobin saturation: Management strategies and clinical outcome. Crit
Care Med 1998;26:344351.
43. Latronico N, Beindorf AE, Rasulo FA, et al. Limits of intermittent jugular bulb
oxygen saturation monitoring in the management of severe head trauma
patients. Neurosurgery 2000;46:11311138.
44. Hutchinson PJ, OConnell MT, Al-Rawi PG, et al. Clinical cerebral
microdialysis: A methodological study. J Neurosurg 2000;93:3743.
45. IngebrigtsenT, Romner B. Biochemical serum markers of traumatic brain
injury. J Trauma 2002;52:798808.
46. Brain Trauma Foundation. Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury: Cerebral Perfusion Pressure. January 5, 2003
update, http://www2.braintrauma.org.
47. Contant CF, Valadka AB, Gopinath SP, et al. Adult respiratory distress
syndrome: A complication of induced hypertension after severe head injury. J
Neurosurg 2001;95:560568.
48. Juul N, Morris GF, Marshall SB, Marshall LF. Intracranial hypertension and
cerebral perfusion pressure: Influence on neurological deterioration and
outcome in severe head injury. The Executive Committee of the International
Selfotel Trial. J Neurosurg 2000;92:16.
49. Clifton GL, Miller ER, Choi SC, Levin HS. Fluid thresholds and outcome from
severe brain injury. Crit Care Med 2002;30:739745.
50. Kelly DF, Doberstein C, Becker DP. General principles of head injury
management. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds.
Neurotrauma. New York, McGraw-Hill, 1996:71101.
51. Duhaime AC. Conventional drug therapies for head injury. In: Narayan RK,
Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New York, McGraw-Hill,
1996:365374.
52. Chesnut RM. Treating raised intracranial pressure in head injury. In: Narayan
RK,Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. NewYork, McGraw-Hill,
1996:445469.
53. Bao YP, Williamson G, Tew D, et al. Antioxidant effects of propofol in human
hepatic microsomes: Concentration effects and clinical relevance. Br J
Anaesth 1998;81:584589.
54. Kelly DF, Goodale DB, Williams J, et al. Propofol in the treatment of moderate
and severe head injury: A randomized, prospective doubleblinded pilot trial. J
Neurosurg 1999;90:10421052.
55. Susla G. Propofol toxicity in critically ill pediatric patients. Show us the proof.
Crit Care Med 1998;26:19591960.
56. Cremer OL, Moons KG, Bouman EA, et al. Long-term propofol infusion and
cardiac failure in adult head-injured patients. Lancet 2001;357:117118.
57. Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al. Effect of hyperventilation on regional
cerebral blood flow in head-injured children. Crit Care Med 1997; 25:1402
1409.
58. Diringer MN, Yundt K, Videen TO, et al. No reduction in cerebral metabolism
as a result of early moderate hyperventilation following severe traumatic
brain injury. J Neurosurg 2000;92:713.
59. Marion DW, Puccio A, Wisniewski SR, et al. Effect of hyperventilation on
extracellular concentrations of glutamate, lactate, pyruvate, and local

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
7

cerebral blood flow in patients with severe traumatic brain injury. Crit Care
Med 2002;30:26192625.
60. Thompson HJ, Tkacs NC, Saatman KE, et al. Hyperthermia following
traumatic brain injury:Acritical evaluation. Neurobiol Dis 2003;12:163173.
61. Clifton GL, Miller ER, Choi SC, et al. Lack of effect of induction of
hypothermia after acute brain injury. N Engl J Med 2001;344:556563.
62. Harris OA, Colford JM Jr, Good MC, Matz PG. The role of hypothermia in the
management of severe brain injury: A meta-analysis. Arch Neurol
2002;59:10771083.
63. McIntyre LA, Fergusson DA, Hebert PC, et al. Prolonged therapeutic
hypothermia after traumatic brain injury in adults: A systematic review. JAMA
2003;289:29922999.
64. Tokutomi T, Morimoto K, Miyagi T, et al. Optimal temperature for the
management of severe traumatic brain injury: Effect of hypothermia on
intracranial pressure, systemic and intracranial hemodynamics, and
metabolism. Neurosurgery 2003;52:102111.
65. Cruz J, Minoja G, Okuchi K. Improving clinical outcomes from acute subdural
hematomas with the emergency preoperative administration of high doses of
mannitol: A randomized trial. Neurosurgery 2001;49:864871.
66. Cruz J, Minoja G, Okuchi K. Major clinical and physiological benefits of early
high doses of mannitol for intraparenchymal temporal lobe hemorrhages
with abnormal pupillary widening: A randomized trial. Neurosurgery
2002;51:628637.
67. Schrot RJ, Muizelaar JP. Mannitol in acute traumatic brain injury. Lancet
2002;359:16331634.
68. CRASH Trial Collaborators. Effect of intravenous corticosteroids on death
within 14 days in 10,008 adults with clinically significant head
injury(MRCCRASHtrial): Randomised placebo-controlled trial. Lancet
2004;364:13211328.
69. Temkin NR, Dikmen SS,Wilensky AJ, et al.Arandomized, double-blind study
of phenytoin for the prevention of post-traumatic seizures. N Engl J Med
1990;323:497502.
70. Haltiner AM, Newell DW, Temkin NR, et al. Side effects and mortality
associated with use of phenytoin for early posttraumatic seizure prophylaxis.
J Neurosurg 1999;91:588592.
71. Chang BS, Lowenstein DH. Practice parameter: Antiepileptic drug
prophylaxis in severe traumatic brain injury: Report of the Quality
StandardsSubcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology
2003;60:1016.
72. Temkin NR, Dikmen SS, Anderson GD, et al. Valproate therapy for preventio
of posttraumatic seizures: A randomized trial. J Neurosurg 1999; 91:593
600.
73. Andrews BT. Fluid and electrolyte management in the head-injured patient.
In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New York,
McGraw-Hill, 1996:331344.
74. Girou E, Stephan F, Novara A, et al. Risk factors and outcome of nosocomial
infections: Results of a matched case-control study of ICU patients. Am J
Respir Crit Care Med 1998;157:11511158.
75. Greenberg SB, Atmar RL. Infectious complications after head injury. In:
Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. New York,
McGraw-Hill, 1996:703722.
76. Heard SO, Fink MP, Gamelli RL, et al. Effect of prophylactic administration of
recombinant human granulocyte colony-stimulating factor (filgrastim) on the

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
8

frequency of nosocomial infections in patients with acute traumatic brain


injury or cerebral hemorrhage. The Filgrastim Study Group. Crit Care Med
1998;26:748754.
77. Ishikawa K, Tanaka H, Takaoka M, et al. Granulocyte colony-stimulating
factor ameliorates life-threatening infections after combined therapy with
barbiturates and mild hypothermia in patients with severe head injuries. J
Trauma 1999;46:9991007.
78. Lazio BE, Simard JM. Anticoagulation in neurosurgical patients.
Neurosurgery 1999;45:838847.
79. Kim J, Gearhart MM, Zurick A, et al. Preliminary report on the safety of
heparin for deep venous thrombosis prophylaxis after severe head injury. J
Trauma 2002;53:3842.
80. Bruder N, Raynal M, Pellissier D, et al. Influence of body temperature, with or
without sedation, on energy expenditure in severe head-injured patients. Crit
Care Med 1998;26:568572.

57
PENYAKIT PARKINSON
Merlin V. Nelson, Richard C. Berchou, and Peter A. LeWitt
Tujuan Pembelajaran dan sumber informasi lainnya dapat ditemukan di
www.pharmacotherapyonline.com .

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

14
9

KONSEP UTAMA
1. Amantadine dan antikolinergik adalah obat yang berguna untuk
menghilangkan gambaran ringan penyakit Parkinson idiopatik (IPD).
2. Waktu yang optimal untuk memulai carbidopa/L-dopa masih kontroversial,
tetapi secara umum, pengobatan harus dimulai ketika penyakit
mengganggu pekerjaan pasien, kegiatan kehidupan sehari-hari, atau
kualitas hidup.
3. Antikolinergik obat harus digunakan dengan hati-hati kepada orang tua
atau orang-orang dengan kesulitan kognitif yang sudah ada .
4. Carbidopa/L -dopa adalah obat yang paling efektif untuk gejala
pengobatan IPD .
5. L-Dopa fluktuasi respon dapat dijelaskan terutama oleh sifat
farmakokinetik dan farmakodinamik nya.
6. Sebagian carbidopa/L-dopa pasien yang diobati pada akhirnya akan
mengembangkan
fluktuasi respon.
7. Selegiline, katekol-O-metil-transferase (COMT) inhibitor, dan dikendalikan
pelepasan carbidopa/L-dopa mengalami penurunan fluktuasi respon
melalui mekanisme farmakokinetik .
8. Agonis Dopamin adalah L-dopa yang hemat dan mengurangi respon
fluktuasi tetapi lebih cenderung menyebabkan timbulnya gejala seperti
halusinasi.
9. Manajemen obat dosis dan administrasi kali ini diperlukan untuk
mengoptimalkan hasil terapi dan menghindari efek samping.

Sementara manifestasi klinis sebelumnya luput dari perhatian, agitans


kelumpuhan memperoleh keberadaan jelas setelah 1817 dipublikasi oleh
seorang dokter Inggris, James Parkinson. Parkinson memberikan deskripsi yang
jelas tentang ciri-ciri seperti "gerakan gemetar tak sadar," "tangan gagal untuk
member respon dengan ketepatan seperti perintah, "dan kecenderungan untuk"
lulus dari kaki ke kecepatan berjalan. "Kemudian pengamat menambahkan
berbagai tanda dan gejala, di antaranya kekakuan dan ketidakstabilan
keseimbangan, untuk menentukan penyakit Parkinson idiopatik (IPD) seperti
yang kita kenal sekarang.
EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan IPD meningkat pada usia sekitar 20 per 100.000 orang pada
dekade kelima kehidupan untuk sekitar 90 per 100.000 orang pada dekade
ketujuh
dari
kehidupan,
dengan
usia
onset
biasa
pada
usia 60. Penelitian epidemiologi IPD menunjukkan bahwa faktor lingkungan
seperti kehidupan pedesaan, minum air sumur, dan logam berat dan paparan
hidrokarbon memiliki factor kecil tapi dibuktikan pada kontribusi terhadap risiko
IPD. Menariknya, merokok, konsumsi kafein, dan penggunaan obat anti inflamasi
nonsteroid
berhubungan
dengan
perlindungan
terhadap
penyakit.
Terjadinya IPD di kemudian hari menunjukkan bahwa paparan kumulatif
diduga oleh racun, faktor yang terkait dengan sistem saraf pusat (SSP) penuaan,
atau mekanisme kematian sel yang belum terkarakterisasi mungkin bisa
bertanggung jawab untuk onset dan perkembangan penyakit. Sementara IPD
sporadis dalam kebanyakan kasus, faktor genetik mungkin memiliki peran dalam

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
0

etiologi, terutama jika penyakit ini dimulai sebelum usia 50. Sembilan genetik
memiliki hubungan dan empat gen telah diidentifikasi pada parkinsonisme.
Ini termasuk mutasi -synuclein (yang mentranskripsi presinaptica protein) dan
gen parkin. Gen-gen ini telah dikaitkan dengan autosomal yang dominan dan
autosomal yang resesif di awal-awal Parkinson pada kaum, masing-masing.
Temuan patologis dan beberapa aspek dari fenotip berbeda dengan di IPD,
namun, Parkin mutasi gen mungkin predisposisi kedua bentuk awal dan akhironset IPD.
ETIOLOGI
Patogenesis IPD tidak diketahui. Neurotoksin yang sangat selektif untuk tingkat
yang sama compacta substantia nigra (SNC) neuron dopaminergik adalah
instruktif karena model hewan parkinson dapat dibuat dengan 6 hydroxydopamine dan dengan 1-metil-4-fenil-1,2,3,6- tetrahydropyridine (MPTP).
Senyawa yang terakhir diubah oleh monoamine oxidase ( MAO ) tipe B ke racun
1-metil-4ion phenylpyridinium (MPP +) MAO-B dan menjadi penghambat oleh
eliminasi selegiline toksisitas MPTP. MPP + adalah racun bagi neuron dengan
mengganggu metabolisme mitokondria. Mekanisme lain toksisitas yang telah
menerima pertimbangan untuk patogenesis IPD adalah seluler kerusakan dari
oxyradicals. Dopamin menghasilkan radikal bebas dari autooxidation dan dari
MAO metabolisme (Gambar 57-1 ). Beberapa mekanisme antioksidan hadir
dalam dan di luar neuron untuk membatasi kerusakan yang mungkin dihasilkan
oleh serangan radikal bebas, tetapi salah satu kemungkinan adalah bahwa
perlindungan tersebut mungkin kewalahan atau mengganggu IPD. Excitotoxicity,
sel mati terprogram aktivasi, dan infeksi kronis juga sedang dipertimbangkan
untuk IPD etiologi.

GAMBAR 57-1. Hasil metabolisme dopamin dalam hidrogen peroksida (H2O2)


formasi. Jika sistem glutathione kekurangan atau kelebihan hidrogen peroksida
ini, hidrogen peroksida menerima elektron dari besi ferrous (Fe2 +), membentuk
besi besi (Fe3 +) dan hidroksil radikal bebas (OH *). Hidroksil radikal bebas
dapat menyebabkan peroksidasi lipid, sehingga merusak membran sel saraf.
MAO-B, monoamine oxidase B; dopac, asam 3,4-dihydroxyphenylacetic, H2O,
air, GSH, glutation, GSSG, glutathione disulfida, OH-, ion hidroksida.
PATOFISIOLOGI

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
1

Proyeksi dopaminergik dari SNC ke striatum (putamen dan berekor) sinaps pada
dua populasi neuron eferen (Gambar 57-2). Jalur langsung melibatkan aktivasi
striatal D1 reseptor dopamin yang merangsang penghambatan - aminobutyric
acid (GABA) / substansi P efferents ke internasional globus pallidus ( GPI ) dan
substantia nigra persamaan reticulata (SNR). Jalur tidak langsung melibatkan
aktivasi striatal reseptor dopamin D2 yang menghambat penghambatan GABA /
enkephalin efferents ke globus pallidus eksterna (GPE). Proyek-proyek GPE
penghambatan Neuron GABA ke inti subthalamic (STN). Di sini, neuron
merangsang glutaminergic proyek ke GPI. Output GPI adalah penghambatan
pada ventroanterior dan proyeksi thalamic ventrolateral ke korteks frontal. Jadi
hilangnya neuron dopamin nigrostriatal pada hasill IPD dalam pengurangan
aktivasi kortikal (lihat Gambar.57-2). Sebenarnya semua defisit motor IPD dapat
diatribusikan pada kerugian ditandai dalam
neuron dopaminergik
memproyeksikan ke putamen.
Pada kenyataannya, jalur dan interaksi yang terlibat memiliki kompleksitas lebih
besar dari yang diuraikan dalam model ini. kompleksitas dari yang dijelaskan
dalam model. Organisasi sinaptik ganglia basal melibatkan berbagai
neurotransmiter dan neuromodulators, termasuk asetilkolin, dopamin, GABA,
glutamate, enkephalins, substansi P, adenosin, dan serotonin. masing-masing
adalah target untuk intervensi di IPD. Obat meningkatkan dopaminergik atau
menghambat asetilkolin atau neurotransmisi glutamat telah sukses dalam IPD
terapi. Peran untuk modulasi obat lainnya neurotransmiter aktif dalam ganglia
basal belum dieksplorasi sepenuhnya, tapi hasil terakhir dengan antagonis
reseptor adenosin A2A sudah menjanjikan.
Model penurunan dopaminergik atau blokade dalam memproduksi fitur
parkinson memberikan banyak dorongan untuk pengembangan terapi yang
meningkatkan stimulasi reseptor dopamin striatal. Stimulasi reseptor dopamin D1
mengaktifkan adenilat siklase. D2 reseptor dopamin yang digabungkan ke
trifosfat guanosin (GTP) - binding protein yang membuka saluran kalium untuk
hyperpolarize neuron, sehingga mengurangi rangsangan cells. Striatal dalam
IPD, aktivasi dari reseptor D2 tampaknya penting untuk mediasi baik perbaikan
klinis dan beberapa efek samping (seperti halusinasi). Diskinesia lebih mungkin
terjadi dengan L-dopa terapi (D1 dan D2 agonism) dibandingkan dengan terapi
dopamin agonis

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
2

GAMBAR 57-2. A. keseimbangan normal dari rangkaian ganglia basaltalamokortikal. GPE, globus pallidus eksterna, GPI, globus pallidus interna, SNR,
substantia nigra pars reticulata, SNC, pars compacta substantia nigra, VA,
ventroanterior inti thalamus, VL, inti ventrolateral thalamus, STN, subthalamic inti.
B. Dengan degenerasi nigrostriatal (garis putus-putus), hilangnya inhibisi dari
GPI dengan jalur langsung dan aktivasi GPI tidak langsung, mengakibatkan
aktivasi menurun dari korteks. Lihat teks untuk rincian.
(terutama D2 agonism), menunjukkan keterlibatan reseptor D1 dalam
memproduksi
dyskinesia. Temuan patologis mengungkapkan sejumlah penurun dari
nigrostriatal
neuron dan korelasi antara tingkat nigrostriatal hilangnya dopamin dan tingkat
keparahan gejala klinis. Ambang batas untuk timbulnya parkinson tampaknya
kehilangan 70 % menjadi 80 % dari neurons. Fluorodopa positron- emission
tomography ( PET ) mengukur aktivitas dekarboksilase asam amino aromatik,
sedangkan ligan PET lain dan 2 - carbomethoxy - 3 - ( 4 - iodophenyl ) tropane
( - CIT ) single- photon emisi computed tomography mengukur transporter
dopamin (DAT ) aktivitas . Dalam IPD ,studi ini sebuah pencitraan fungsional
menunjukkan respon kompensasi seperti peningkatan regulasi sintesis dopamin
dan penurunan regulasi sinaptik reuptake dopamin . Respon ini dapat membantu
untuk menjelaskan bagaimana suatu kerugian yang signifikan dari neuron dapat
relatif asymptomatic.Progressive palsy supranuclear ( PSP ) dan lainnya "
Parkinson plus" gangguan tidak responsif terhadap penggantian dopamin atau
dopamin agonis terapi, mungkin reseptor dopamin menurun karena kerusakan
postsynaptic luar perubahan neuropathologic di IPD .

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
3

GAMBAR 57-3. Metabolisme dopamin dalam presynaptic neuron dopamin (lihat


teks untuk rincian lengkap). 3OMD, 3-O-metildopa, AC, adenilat siklase, AD,
aldehyde dehydrogenase, COMT, katekol-O-metil transferase, D1-D3, reseptor
dopamin, DA, dopamin, DAT, transporter dopamin, dopac, 3,4 - asam
dihydroxyphenylacetic, HVA, asam homovanillic, L-AAD, L-romatik amina
dekarboksilase, MAO-B, monoamine oxidase B, TH, tyrosine hydroxylase.
Dopamin metabolisme ditunjukkan pada Gambar . 57-3 , dan intervensi
terapi untuk IPD diringkas dalam Tabel 57-1 . L - Tyrosine , prekursor metabolik
dopamin , diubah oleh tyrosine hydroxylase ( TH ) ke L - dihydroxyphenylalanine
( L - dopa ) di proses sintetis sangat diatur. L - Dopa dekarboksilasi untuk
dopamin oleh dekarboksilase enzim asam L - amino ( L - AAD ). L- AAD hadir di
luar SSP dan dalam beberapa neuron nonaminergic , sedangkan TH ditemukan
secara eksklusif di neuron aminergic. sekeliling dekarboksilasi dapat diblokir oleh
antagonis dari L - AAD ( carbidopa atau benserazide ) yang tidak melewati
penghalang darah - otak. Penggunaan obat ini dengan L - dopa meningkatkan
penetrasi SSP eksogen diberikan L - dopa dan mengurangi efek samping dari
metabolisme perifer untuk dopamin . Dopamin disimpan dalam sinaptik vesikel
sampai dirangsang untuk dilepaskan ke sinaps oleh calciumdependent
mekanisme . Aktivitas dopamin diakhiri terutama oleh reuptake ke neuron
presynaptic dengan cara dopamin tertentu transporter. Pengasingan ke dalam
butiran penyimpanan presynaptic neuron atau tindakan jalur katabolik yang
melibatkan MAO atau katekol - O - metil - transferase ( COMT ) menyebabkan
inaktivasi dopamin.
Ketika dopamin tonically menghambat neuron asetilkolin dalam striatum,
degenerasi neuron dopamin nigrostriatal menghasilkan peningkatan yang relatif
aktivitas interneuron kolinergik striatal. Peningkatan aktivitas kolinergik ini
memberikan kontribusi terutama untuk tremor dari IPD, sebagaimana dibuktikan
oleh peningkatan dengan penggunaan antikolinergik gejala dan memburuknya
dengan agen kolinergik.
IPD
memiliki
gambaran
neuropathologic
karakteristik
yang
memungkinkan sama dari sindrom klinis yang serupa. Dalam SNC, hilangnya
neuron dan badan Lewy ( inklusi tubuh saraf terdiri dari neurofilaments amiloid )
selalu ditemukan. Badan Lewy muncul pada neuron dalam hubungan dengan
gliosis yang berdekatan. Hilangnya pars compacta neuron merupakan dasar
untuk kehilangan proyeksi dopamin untuk striatum. Sejumlah kecil dari badan
Lewy dapat ditemukan di neurologis lainnya dan adanya gangguan dan penuaan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
4

normal. Terjadinya SNC Lewy tubuh pada pasien tanpa parkinson menunjukkan
bahwa penyakit ini ada sebagai entitas patologis dengan keterlibatan kurang dari
yang diperlukan untuk
TABEL 57-1. Mekanisme Potensi Pengobatan IPD
Meningkatkan Dopamin endogen
L-Dopa
Menghambat metabolisme perifer oleh dopa dekarboksilase
Carbidopa
Benserazide
Produk yang di lepaskan berkelanjutan
Infus
Melalui pembuluh darah
Duodenum / jejunum
Menghambat katekol-O-metil-transferase
Entakapon (perifer saja)
Tolcapone (perifer dan sentral)
Menghambat metabolisme pusat dan perifer oleh monoamine oxidase B
Selegiline (deprenyl)
Rasagiline
Agonis Dopamin
D2-spesifik
Bromokriptin
Dihydroergocryptine
Lisuride
Rotigotine
Sumanirole
D2- dan D3 spesifik
Pramipexole
Ropinirole
D1- dan D2 spesifik
Pergolide
Apomorphine
Intravena
Infus subkutan
Intranasal
Sublingual
Agonis parsial
Terguride
Adenosine A2a
Istradefylline (KW-6002)
Antikolinergik
Benztropine
Trihexyphenidyl
menyebabkan tanda-tanda dan gejala klinis (insidental penyakit Parkinson).
Bahkan pasien yang gambaran klinis sangat menyarankan IPD kurang khas
patologinya.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
5

PRESENTASI KLINIS
Sementara gangguan yang jelas dalam bentuk yang canggih, membedakan IPD
ringan dari perubahan yang terlihat dengan normal dapat menantang. Kriteria
diagnostik menentukan bahwa setidaknya dua dari berikut harus mengalami
kekakuan otot ekstremitas, tremor istirahat (3-6 Hz dan dihapuskan: adanya
gerakan), bradikinesia, atau instability.Perubahan tubuh Untuk diagnosis IPD,
kondisi lain harus dikeluarkan (Tabel 57-2). Obat-induced parkinson dapat
meniru gangguan idiopatik, sehingga sangat penting untuk menentukan apakah
obat tersebut telah digunakan (misalnya, antipsikotik, antiemetik, atau
metoclopramide). Beberapa kondisi neurodegenerative menyerupai gambaran
klinis dari IPD,termasuk PSP, degenerasi striatonigral, degenerasi
olivopontocerebellar, dan jarang, Huntington atau penyakit Wilson. Agar
membedakan IPD dari parkinsonism sekunder, kriteria diagnostik lainnya
termasuk kurangnya gangguan neurologis lainnya dan responsif untuk L-dopa.

TABEL 57-2. Diferensial Diagnosis Parkinsonisme


Parkinsonisme idiopatik (penyakit Parkinson, Lewy body parkinson)
parkinson sekunder
Obat-induced
Antipsikotik (fenotiazin, butyrophenones, risperidone, lain-lain)
Antiemetik (metoclopramide, proklorperazin)
Obat lain (reserpin, alpha-metildopa)
Racun
Keracunan karbon monoksida
hidrogen sulfida
Mangan
Methanol
MPTP (1-metil-4-fenil-1-2-5-6-tetrahydropyridine)
Petrokimia
Neoplasma atau stroke di daerah jalur nigrostriatal
Lesi Trauma mengganggu proyeksi substantia nigra
Hidrosefalus tekanan normal
Parkinsonisme dengan degenerasi sistem saraf lainnya
Penyakit Wilson (deposisi tembaga di otak)
Supranuclear palsy progresif
Degenerasi Pallidonigral
Degenerasi Corticobasalganglionic
Penyakit Alzheimer
Beberapa sistem atrofi
Degenerasi Striatonigral
Sindrom Shy-Drager
Atropi olivopontocerebellar
IPD berkembang diam-diam dan berlangsung perlahan-lahan pada
sebagian besar pasien, meskipun kadang-kadang perkembangannya terlihat.
Keluhan awal mungkin termasuk Gejala sensorik, tetapi sebagai penyakit
berlangsung, pasien menggambarkan satu atau lebih klasik gambaran klinis:
tremor istirahat, kekakuan, bradikinesia, atau perubahan postur. Karakteristik
masalah, bahkan dalam pasien sedikit terpengaruh, termasuk tulisan tangan kecil

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
6

(Micrographia), animasi wajah (hypomimia) dan tingkat berkedip, berkurang


menurun lengan ayun sambil berjalan, kiprah shuffling, pidato lembut atau tidak
jelas (hypophonia), dan penurunan ketangkasan dalam kegiatan sehari-hari.
Gejala dapat berkembang menjadi gangguan fungsional berat, pada saat pasien
mungkin memerlukan perawatan penempatan rumah dan mungkin terbatas
tempat tidur atau kursi roda. Karakteristik klinis lain dari IPD tercantum dalam

Gerakan di IPD sering lambat seluruh tindakan yang dimaksudkan, tetapi


inisiasi gerakan mungkin menampilkan ragu-ragu keluar dari proporsi kelambatan
mempengaruhi penyelesaian gerakan. Sebuah perlambatan dan penurunan
progresif ketangkasan dengan pengulangan dapat mengganggu tugas-tugas
seperti jari penyadapan. Imobilitas intermiten (pembekuan) adalah karakteristik
umum lainnya. Pembekuan sangat mungkin terjadi dalam situasi seperti saat
berjalan di tengah orang banyak atau ketika berjalan melalui pintu sempit. Pasien
juga mungkin akan mengalami kiprah menyeret lambat dengan kesulitan
menghentikan mereka langkah-langkah sementara dalam gerakan.
Tremor terjadi saat istirahat sangat khas pada IPD dan sering satu-satunya
keluhan utama, namun hanya dua-pertiga dari parkinson pasien mengalami
tremor pada diagnosis, dan beberapa tidak akan pernah berkembang ini
menandatangani. Tremor di IPD hadir paling sering di tangan, kadang-kadang
dengan karakteristik pil-rolling. Hal ini juga dapat melibatkan rahang atau kaki.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
7

Kadang-kadang setara indrawi dianggap sebagai "internal" sensasi getaran


tanpa manifestasi lahiriah. Seperti lainnya gejala IPD, tremor istirahat sering
dimulai secara sepihak dan mungkin bertahan dalam distribusi ini. Situasi stres
atau penggunaan anggota badan dalam lainnya dapat meningkatkan tremor
amplitudo di anggota tubuh saat istirahat. Biasanya
TABEL 57-3. Gambaran Klinis
Fitur kardinal
Bradikinesia
Instabilitas postural
Tremor istirahat (mungkin memiliki postural dan komponen tindakan)
Kekakuan
Gejala motorik
penurunan ketangkasan
disartria
disfagia
Festinating kiprah
postur tertekuk
"Pembekuan" di inisiasi gerakan
Hypomimia
Hypophonia
Micrographia
balik lambat
Gejala otonom
Kandung kemih dan sfingter anal gangguan
sembelit
diaforesis
Perubahan tekanan darah ortostatik
flushing paroksismal
gangguan Seksual
Perubahan Status Mental
Bradyphrenia
Keadaan bingung
Singkat akal
Psikosis (paranoia, halusinasi)
Gangguan tidur
Lain
Fatigability
Kulit berminyak
Pedal edema
Seborrhea
Berat badan
Gerakan kemauan akan menghapuskan tremor istirahat, dan itu tidak ada
selama
tidur.
Kekakuan otot resistensi meningkat menjadi kisaran pasif gerak dan sering
memiliki kualitas tremor. Karena dapat menyebabkan jatuh, instabilitas postural
merupakan salah satu masalah yang paling penonaktifan parkinsonisme.
Gangguan tanggapan yang tepat untuk perturbasi keseimbangan umum dalam
lanjutan IPD. Pengujian untuk gangguan respon postural dengan cara uji tarik (di

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
8

mana seorang pasien tidak dapat memulihkan keseimbangan setelah


perpindahan tiba-tiba mundur di bahu) dapat membantu mengidentifikasi risiko
untuk jatuh. Banyak pasien dengan gangguan respon postural juga memiliki
kecenderungan untuk kiprah pendorong (festination) dan sikap ke depan tertekuk
struktur aksial mereka bersama dengan fleksi parsial ekstremitas IPD umumnya
merupakan gangguan kemampuan motorik, namun, kelainan neuropsikologi
dapat dideteksi bahkan pada pasien dengan bentuk awal atau ringan dari
gangguan dan tanpa kognitif jelas gangguan. Meskipun kerusakan intelektual
tidak terelakkan di IPD, beberapa pasien memburuk dibedakan dari Penyakit
Alzheimer dan kondisi demensia lainnya. Sulit untuk memperkirakan jumlah
pasien beresiko karena obat-obatan dan bersamaan penyakit dapat
mengacaukan analisis untuk tingkat kognitif menurun karena khusus untuk IPD.
Pasien IPD juga pada peningkatan risiko untuk depresi. Sementara cacat dari
IPD dapat menimbulkan depresi dalam beberapa kasus, perubahan biokimia di
otak akibat untuk IPD juga dapat mempengaruhi untuk depresi endogen.
PENGOBATAN: Penyakit Parkinson
TERAPI PEMBEDAHAN
Teknik bedah yang paling efektif adalah stimulasi otak dalam (DBS) dari STN,
yang menurunkan outflowfrom wilayah ini (sebagai shownin Gambar. 57-2B) dan
dengan demikian mengurangi masukan ke thalamus.STN DBS terutama berguna
untuk tremor, dyskinesias, gangguan gaya berjalan, dan mulai ragu-ragu.
Thalamic DBS dan thalamotomy (lesi destruktif fokus thalamus) dapat
mengurangi menonaktifkan tremor. Pallidotomy (a focal merusak lesi dari GPI)
dan GPI DBS dapat membantu dengan dyskinesias berat dan on / off fluktuasi
tetapi tidak membantu untuk bradikinesia. Merusak lesi yang segera dan
permanen, sedangkan DBS membutuhkan pemeliharaan seumur hidup.
Transplantasi autologous jaringan medula adrenal tidak berhasil, seperti yang
telah banyak pengalaman baru dalam kebanyakan kasus transplantasi jaringan
janin.
TERAPI FARMAKOLOGI

Algoritma Pengobatan untuk awal dan lanjutan IPD ditunjukkan dalam Gambar.
57-4 dan 57-5. Informasi pengobatan lebih rinci yang dimemiliki telah diterbitkan,
seperti halnya penilaian berbasis bukti pengobatan intervensi.
Terapi
farmakologis untuk IPD adalah obat yang secara sementara dapat membalikkan
tanda-tanda dan gejala. Pasien dengan fitur ringan IPD dan tidak ada cacat tidak
perlu gejala medikasi. dengan menunjukkan kecacatan , namun, gejala Terapi
sangat penting untuk menjaga independensi.
.

Pengobatan yang paling manjur untuk IPD adalah penggantian


neurotransmitter dopamin alami dengan menggunakan nya langsung pre- 1
kursor L -dopa. Sebagaimana ditunjukkan dalam algoritma pengobatan
ditampilkan pada Gambar.57-4, obat antikolinergik atau amantadine dapat
digunakan untuk mengobati tremor istirahat sebagai alternatif untuk L- dopa.
Meskipun tidak sangat efektif terhadap bradikinesia, gangguan cara berjalan,
atau fitur lain dari parkinsonisme canggih, obat-obat ini dapat berguna untuk
menghilangkan cacat ringan yang dialami oleh pasien dalam beberapa tahun
pertama 2 setelah timbulnya parkinson. Keputusan untuk memasukkan L-dopa

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

15
9

atau dopamin terapi agonis berasal dari maju cacat dan tidak efektifnya obat
alternatif untuk memberikan yang memadai kontrol gejala. Tergantung pada
profesi dan gaya hidup , fitur parkinsonian dasar dapat mengakibatkan derajat
yang berbeda dari kecacatan, dan tujuan terapi obat mungkin perlu disesuaikan.
Ringkasan obat antiparkinson tersedia tercantum dalam Tabel 57-4.
Selegiline dan inhibitor MAO-B lainnya (lazabemide dan rasagiline) telah
dipelajari tidak hanya untuk efek gejala tetapi juga untuk pelindung saraf. Barubaru ini, National Institute of Neurological Gangguan dan Stroke membentuk
sebuah komite untuk mengidentifikasi dan melaksanakan studi terapi potensial
terhadap perkembangan Agen IPD. Dua puluh satu menjanjikan diidentifikasi dari
awal.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
0

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
1

zat yang diusulkan. Satu agen diidentifikasi sebagai calon tahap II atau III studi
pelindung saraf yang tercantum dalam Tabel 57-5. Sebuah koenzim baru-baru ini
Studi Q10 di IPD menemukan bahwa 16 bulan terapi dengan 1200 mg / hari
memberi efek kecil tapi statististically menguntungkan pada penurunan di
aktivitas hidup sehari-hari. Para peneliti menyimpulkan bahwa akanterlalu dini
untuk merekomendasikan penggunaan koenzim Q10 sebagai saraf pengobatan
IPD sampai studi konfirmasi yang komplit. Vitamin E (2000 IU / hari) belum
terbukti berguna dalam mencegah penyakit perkembangan. Pramipexole dan
ropinirole berhubungan dengan lambat penurunan penanda pencitraan fungsi
dopaminergik dibandingkan dengan L-dopa monoterapi, menunjukkan
neuroprotection. Hasil ini yang marah oleh penjelasan alternatif untuk temuan ini.
L-Dopa dan agonis dopaminergik tidak hanya bertindak atas nigrostriatal
yang sistem tetapi juga memfasilitasi proyeksi dopaminergik mesolimbic. Hal ini
dapat mengakibatkan gejala kejiwaan, termasuk perilaku kompulsif, delirium,
agitasi, paranoia, delusi, dan halusinasi. Efek ini cenderung lebih sering terjadi
pada pasien yang lebih tua dan mereka dengan kebingungan yang mendasari
atau demensia dan berkaitan dengan miskin outcome.27 Masalah-masalah ini
dapat dikelola dengan menggunakan pedoman dan obat antipsikotik diringkas
dalam Tabel 57-6. Kebanyakan obat antipsikotik lainnya, termasuk olanzapine
dan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
2

risperidone, dapat meningkatkan gejala psikotik , tetapi cenderung sering


memburuk fitur parkinsonian.
Keputusan untuk memulai L-dopa awal (segera setelah diagnosis IPD
dibuat ) atau terlambat (hanya bila gejala kompromi sosial, pekerjaan, atau
kesejahteraan psikologis) telah menghasilkan controversy. Para pendukung
untuk menunda titik pengobatan untuk bukti yang menunjukkan bahwa terapi Ldopa jangka panjang dikaitkan dengan peningkatan risiko fluktuasi respon,
peningkatan risiko demensia, dan hilangnya L-dopa efficacy. Terapi L-Dopa
hipotetis dapat meningkatkan stres oksidatif dalam neuron dopaminergik dan
dengan demikian meningkatkan dopaminergik hilangnya neuron, namun tidak
ada bukti kuat bahwa mekanisme ini benar-benar mempengaruhi jalannya IPD.
Argumen ini bahwa fluktuasi respon sekunder untuk perkembangan penyakit,
tidak L-dopa.
Sebuah studi multicenter menemukan bahwa pemotongan terapi L dopa
selama lebih dari 3 tahun setelah diagnosis menghasilkan dua kali lipat dari
Angka kematian kelebihan dibandingkan dengan treatment. Awal A40 minggu
acak, double-blind, uji klinis terkontrol plasebo membandingkan sebelumnya
dibandingkan pengobatan L-dopa kemudian (ELLDOPA ) sekarang berlangsung
dapat mengatasi issue.35 ini Untungnya , obat-obatan selain carbidopa/L -dopa
dapat dimulai pada baru didiagnosis muda dan kognitif pasien utuh ( lihat
Gambar . 57-4 ) jika gejala secara fungsional menonaktifkan.

Obat-obat antikolinergik
Obat-obatan antikolinergik dapat efektif terhadap tremor tapi jarang menunjukkan
banyak manfaat bagi bradikinesia atau cacat lainnya dari IPD. tidak semua
pasien dengan tremor merespon obat-obat ini. kadang-kadang dystonic fitur yang
berhubungan dengan IPD juga akan meningkatkan. efek samping obat ini
termasuk mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi, dan kencing retensi.
Reaksi yang lebih serius termasuk pelupa, sedasi,

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
3

3 depresi, dan kecemasan. Sebuah negara encephalopathic dapat berkembang


secara bertahap pada beberapa pasien. Peningkatan penyakit Alzheimer
patologi (plak amiloid dan kusut neurofibrillary) terkait dengan penggunaan agenagen di IPD. Pasien dengan defisit kognitif yang sudah ada sebelumnya dan usia
lanjut berada pada risiko lebih besar untuk efek antikolinergik sentral . obat
antikolinergik sedikit berbeda efek yang merugikan mereka dan memiliki
dasarnya potensi terapi yang sama. Obat antikolinergik dapat digunakan sendiri
atau bersama dengan L-dopa dan antiparkinson lainnya agen .
Amantadine

Amantadine ( Symmetrel, Endo, berbagai merek generik ) sering efektif untuk


menghilangkan sebagian tanda-tanda dan gejala pada pasien dengan ringan
IPD. Baru-baru ini, telah dilaporkan untuk menekan L-dopainduced dyskinesia
(pada dosis sampai 400 mg/hari). Terapi dengan mantadine juga dianggap
sebagai prediktor independen dari kelangsungan hidup di IPD. Seperti
antikolinergik, itu bisa sangat efektif terhadap tremor. Obat ini biasanya
digunakan pada 200-300 mg/hari. Orang tua sangat rentan terhadap
kebingungan pada dosis yang lebih tinggi. Efek samping yang mungkin terjadi
saat onset obat (misalnya, obat penenang dan mimpi hidup) mungkin hilang
dengan waktu. Mulut kering adalah efek samping yang umum mengingatkan obat
antikolinergik, meskipun amantadine tidak memblokir reseptor kolinergik.
Dampak merugikan lainnya sentral terlihat luar biasa termasuk depresi,
halusinasi, kecemasan, pusing, psikosis, dan kebingungan. Umumnya (dan
reversibel)
dampak
buruk
dari
amantadine
adalah reticularis livedo, sebuah bintik menyebar dari kulit.
Amantadine dihilangkan renally, dan dosis menurun harus diberikan
ketika disfungsi ginjal hadir (100 mg/hari dengan clearance kreatinin 30-50
mL/menit,
100
mg
setiap
hari
selama
izin kreatinin 15-29 mL / menit, dan 200 mg setiap 7 hari untuk jarak kreatinin
kurang dari 15 mL/menit dan pasien hemodialisis). Tidak seperti obat lain untuk
IPD, mekanisme yang tepat dari aksi amantadine tidak diketahui, tetapi mungkin
melibatkan baik dopaminergik atau mekanisme nondopaminergic seperti
penghambatan NMDA reseptor.
L-Dopa dan Carbidopa / L-Dopa

L-Dopa (Larodopa, Roche) pertama kali dipelajari untuk parkinson pada


tahun 1960, dan pengakuan manfaat tegas nya adalah dilaporkan dalam 1967,40
Ini masih merupakan obat yang paling efektif dalam manajemen IPD. L-Dopa
adalah prekursor langsung dari dopamin. Melintasi penghalang darah-otak,
sedangkan dopamin tidak. Dalam striatum dan di tempat lain, L-dopa diubah oleh
L-asam amino dekarboksilase (L-AAD) untuk dopamin. Perifer membentuk
dopamine bertanggung jawab untuk efek samping seperti mual, muntah, aritmia
jantung,
dan hipotensi postural. Dengan menggabungkan L-dopa dengan periferal yang
bertindak L-AAD inhibitor carbidopa (Sinemet, Bristol-Myers Squibb; berbagai
merek generik) atau benserazide (Madopar, tidak tersedia di Amerika Serikat),
konversi perifer dari L-dopa menjadi dopamin adalah diblokir. Akibatnya,
peningkatan jumlah L-dopa diangkut ke otak, dan efek samping perifer dopamin
berkurang.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
4

Hari ini , L - dopa digunakan hampir secara eksklusif sebagai produk


kombinasi dengan inhibitor dekarboksilase . Mulai dosis L - dopa 200-300 mg /
hari sering memadai untuk menghilangkan cacat . Beberapa pasien memerlukan
jumlah yang lebih besar setiap hari , namun maksimal biasa dosis L - dopa
dibutuhkan oleh pasien bahkan dengan parkinson parah 800 mg / hari .
Penumpukan lambat dari dosis ( misalnya , penambahan sebesar 100 mg L
dopa per minggu ) dapat membantu untuk menilai dosis efektif terendah dan
meminimalkan risiko efek samping , seperti hipotensi postural, mual, muntah ,
sedasi , dan impian hidup. Umumnya, sekitar 75 mg carbidopa diperlukan untuk
mencegah perifer efek samping , tetapi beberapa pasien dapat mengambil
manfaat dari sebanyak 150 mg / hari . Carbidopa / L - dopa digunakan paling
banyak di 25-mg/100- a bentuk tablet mg, meskipun bentuk 25-mg/250-mg dan
10-mg/100-mg juga tersedia . Persiapan Terkendali - rilis carbidopa/L - dopa
tersedia dalam bentuk 50-mg/200-mg dan 25-mg/100-mg. Jika efek samping
perifer yang menonjol, 25-mg carbidopa (Lodosyn, Bristol - Myers Squibb ) tablet
yang tersedia.
5
Farmakokinetik dan farmakodinamik . Farmakokinetik dan sifat
farmakodinamik L - Dopa menjelaskan banyak efek klinis, termasuk fluktuasi
respon. Ada ditandai variabilitas intra - dan intersubyek waktu untuk puncak
konsentrasi plasma setelah lisan L - dopa . Seringkali mungkin ada lebih dari
satu puncak konsentrasi plasma setelah dosis tunggal , yang dikaitkan dengan
tidak menentu pengosongan lambung . Makanan menunda pengosongan
lambung , sedangkan antasida (yang menurunkan keasaman lambung)
mempromosikan pengosongan lambung. L-Dopa diserap terutama di duodenum
proksimal oleh saturable besar Asam amino netral sistem ( LNAA ) transportasi .
Persaingan untuk ini situs oleh LNAAs diet atau suplemen dapat mengurangi L dopa plasma konsentrasi . Dinding usus juga berisi dekarboksilase saturable
yang membatasi bioavailabilitas L - dopa kecuali dikombinasikan dengan perifer
dekarboksilase inhibitor seperti carbidopa .
L - Dopa tidak terikat pada protein plasma. Melintasi penghalang darahotak penghalang oleh saturable stereospesifik memfasilitasi difusi dan bersaing
dengan LNAA untuk transportasi ke otak . Infus dosis tinggi dari fenilalanin dan
leusin mengurangi respons klinis terhadap L dopa tanpa mengubah
konsentrasi plasma L - dopa. Hal ini telah menyebabkan rekomendasi
pembatasan protein dan diet khusus untuk meningkatkan Respon L-dopa,
meskipun secara umum pengurangan protein tidak diperlukan untuk
mempertahankan efek L-dopa baik. Sebuah metabolit L-dopa, 3-O-metildopa
(3OMD), juga bersaing untuk transportasi, tapi tidak jelas bagaimana ini
mempengaruhi respon klinis L-dopa.
L-Dopa eliminasi terutama oleh dekarboksilasi menjadi dopamin. Jalur
tambahan sebesar 3-O-metilasi dan transaminasi. Dengan penghambatan
dekarboksilase yang memadai, jumlah L-dopa meningkat dimetabolisme oleh
jalur lain. Penghapusan paruh L-dopa adalah sekitar 1 jam, dan ini meluas ke
sekitar 11/2 jam dengan penambahan carbidopa. 3OMD memiliki waktu paruh
sekitar 15 jam dan terakumulasi dengan dosis kronis.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
5

6 Komplikasi motor L-Dopa. Antara 5% dan 10% pasien IPD akan


mengembangkan gerakan tak terkendali atau fluktuasi motorik dengan masingmasing tahun L-dopa treatment.42 Gerakan komplikasi terkait dengan
pengobatan jangka panjang dengan carbidopa / L-dopa dan mereka
Perawatan yang disarankan tercantum dalam Tabel 57-7 dan telah ditinjau
recently. Memulai terapi dengan bentuk dikendalikan-release carbidopa / L-dopa
tidak mengurangi komplikasi motorik dibandingkan dengan standar-release
carbidopa / L-dopa dalam percobaan 5 tahun.
KONTROVERSI KLINIK
Beberapa dokter prihatin dengan risiko jangka panjang yang mungkin (fluktuasi
motorik) dari L-dopa dan akan menunda atau menghindari penggunaannya
meskipun lebih efektif daripada obat lain yang saat ini tersedia. Lain percaya
bahwa fluktuasi motorik adalah konsekuensi dari keparahan penyakit dan
kemajuan daripada karena L-dopa sendiri. Pertimbangan individual pasien
kecacatan harus memandu semua intervensi untuk IPD.
Pemberhentian pemakaian
kerusakan ( efek memakai - off ) telah terkait dengan peningkatan
hilangnya kemampuan penyimpanan saraf untuk dopamin. Awalnya, eksogen L dopa diambil oleh sisa neuron presynaptic, diubah menjadi dopamin, dan
disimpan dalam sinaptik vesikel. Dengan hilangnya progresif neuron presynaptic,
kapasitas penyimpanan menurun, dan pasien menjadi lebih tergantung pada
tingkat Pengiriman L-dopa ke otak untuk generasi dopamin. Oleh karena itu
farmakokinetik sifat perifer L - dopa semakin menjadi penentu sintesis dopamin
sentral.
Dengan kemajuan dari IPD, dosis carbidopa/L- dopa tunggal mungkin
menghasilkan manfaat untuk sesedikit 1,5 sampai 2 jam . Akibatnya, carbidopa /
L - dopa perlu diberikan lebih sering untuk mencegah 7 memakai off dari
manfaatnya . Atau, pelepasan terkontrol produk tersedia (Sinemet CR, BristolMyers Squibb; berbagai merek generik) yang dapat memperpanjang durasi efek
L-dopa, sehingga ada lebih bertahap memakai off efek L-dopa dan kebutuhan
untuk dosis harian. Beberapa pasien akan memerlukan peningkatan Ldopa
ketika beralih ke bentuk pelepasan karena sifatnya menurunkan bioavailabilitas.
Pasien dipertahankan pada-release berkelanjutan dan produk juga mungkin
memerlukan dosis carbidopa/L-dopa konvensional pada pagi hari untuk
penyerapan dan respon yang lebih cepat .
Agonis dopamin juga dapat ditambahkan ke carbidopa / rejimen L-dopa
dalam upaya untuk mengobati mengenakan off. Selain itu, baik intravena atau
duodenum infus L-dopa akan menghasilkan konsentrasi L-dopa serum konstan
(dan mungkin konsentrasi dopamin striatal) dan dengan demikian mengurangi
fluctuations.47 respon, 48 Meskipun beberapa pasien memiliki dipertahankan
pada infus intravena duodenum dan untuk waktu yang lama waktu, metode ini
invasif administrasi memerlukan hati-hati perencanaan dan umumnya tidak
digunakan di luar pengaturan penelitian. Menghirup sejumlah kecil carbidopa / Ldopa solusi adalah cara yang lebih mudah untuk

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
6

Secara noninvasif titrasi konsumsi obat untuk optimal effect.49 Solusi yang stabil
selama 24 jam dapat dibuat dengan menambahkan 10 tablet carbidopa / L-dopa
dan 2 g kristal asam askorbat untuk 1 L air keran. 7. Akhirnya, inhibitor MAO-B
seperti selegiline dan COMT yang menjadi inhibitor tolcapone (Tasmar, Roche)
dan entacapone (Comtan, Novartis) memperpanjang aksi L-dopa. Entakapon
sekarang tersedia dalam kombinasi dosis tetap dengan carbidopa / L-dopa juga
(Stalevo, Novartis).
Obat-Resistant Off Periode. Resistan terhadap obat off periode atau tertunda
menanggapi carbidopa / L-dopa dapat disebabkan oleh perut tertunda
pengosongan atau penurunan penyerapan di saluran pencernaan bagian atas.
Mengunyah tablet atau menghancurkan dan kemudian minum segelas penuh air
dapat menurunkan waktu hancur dan memfasilitasi pengosongan lambung.
Fluktuasi yang cepat. Fluktuasi yang cepat dari on ke off motorik (yo-yoing) dapat
berkembang pada pasien yang menerima L - dopa kronis. Transisi cepat dari
normal atau dyskinetic pada aktivitas motorik untuk bradykinetic atau off negara
mungkin hanya menjadi perpanjangan dari memakai off . Gejala Nonmotor juga
dapat berfluktuasi . konsentrasi terhadap Data efek mengungkapkan nonlinier
(Model Emax sigmoid ) hubungan tersebut bahwa perubahan kecil dalam
konsentrasi L - dopa serum dapat menyebabkan besar respon efek, bahkan jika
produk berkelanjutan -release adalah Perbedaan pemakaian di farmakodinamik
parameter EC50
(konsentrasi pada setengah-maksimal efek), Ke 0 (laju eliminasi konstan dari
efek kompartemen), dan N (konstanta sigmoidicity) telah ditemukan antara
pasien IPD stabil dan berfluktuasi dengan tidak mengubah farmakokinetik
parameters.51 Parameter ini farmakodinamik yang sama telah ditemukan untuk
berubah secara signifikan pada pasien individu diikuti longitudinal lebih dari 4
years. Dengan perkembangan IPD, motorik unjuk kebolehan menurun sehingga
akan ada perbedaan besar antara kemampuan awal dan efek terapi yang
maksimal, maka akan ada lereng curam bahkan di EC50 dan lebih klinis terlihat
dosis-dosis dengan efek. Keadaan ini berkontribusi fluktuasi yang cepat dalam

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
7

respon motorik. Simulasi dari jumlah kali pasien bergantian bisa memanfaatkan
dua tuas 25 cm menggunaka nilai farmakodinamik dan kinetik untuk stabil dan
berfluktuasi pasien ditunjukkan pada Gambar. 57-6 untuk menggambarkan lebih
jauh perbedaan dramatis antara kelompok-kelompok ini. Mekanisme
farmakodinamik telah ditinjau secara rinci oleh Nutt dan Holford.
Infus L-dopa atau long-acting agonis dopaminergik cenderung untuk
meringankan fluktuasi ini. Agonis dopaminergik dapat ditambahkan.

GAMBAR 57-6. Pengaruh perubahan carbidopa / bentuk sediaan L-dopa pada


penekanan efek stabil di(garis merah) dan berfluktuasi (garis hitam) pasien. A.
Carbidopa / L-dopa 25 mg/100 mg (Ke1 dari 1.242 h-1, Ka dari 3,384 h-1, dan V /
f 35,4 L) diberikan pada waktu administrasi khas 07:00, 12 siang, dan 05:00 B.
Carbidopa / L-dopa 50 mg/200 mg (parameter farmakokinetik yang sama seperti
pada A) diberikan pada waktu yang sama. C. Carbidopa / L-dopa 50 mg/200 mg
dengan panjang paruh penyerapan 1,4 h (Ka = 0,5) simulasi bentuk dikendalikan
pelepasan.
untuk L - dopa untuk mengobati on / off fluktuasi . Strategi lain termasuk MAO
inhibitor COMT inhibitor dan yang menurunkan clearance L - dopa . Sebuah
periode bebas narkoba ( " liburan obat " ) telah diteliti dalam upaya untuk
memodifikasi reseptor dopamin postsynaptic dan dengan demikian mengurangi
tak terduga off negara . Karena ketidaknyamanan dan risiko, serta keuntungan
yang terbatas untuk sebagian besar pasien, liburan obat jarang
direkomendasikan .

Dyskinesias . Komplikasi lain dari terapi L-dopa adalah dyskinesi (choreiform


gerakan tak terkendali yang abnormal melibatkan biasanya leher, batang, dan
ekstremitas atas). Gerakan tak terkendali ini biasanya berhubungan dengan
manfaat antiparkinson puncak (peakefek tardive atau improvementdyskinesia/dystonia-improvement), meskipun mereka juga dapat berkembang
selama naik turunnya efek LDopa (pola tardive-perbaikan-tardive atau diphasic
respon). Dalam kasus puncak-efek dyskinesias atau dystonias, lebih kecil, dosis

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
8

lebih sering L- dopa , penggunaan persiapan berkelanjutan -release, atau


penambahan agonis dopamin kadang-kadang dapat bermanfaat. Perlakuan yang
optimal untuk perbaikan tardive - - tardive Pola tidak diketahui dan benar-benar
dapat memperburuk dengan strategi yang berguna untuk memperpanjang efek L
- dopa.
Simplistically , diskinesia dapat dianggap sebagai terlalu banyak gerakan
sekunder untuk perpanjangan efek farmakologis atau terlalu banyak Stimulasi
reseptor dopamin striatal . Namun, fenomenologi yang jauh lebih kompleks,
seperti yang ditunjukkan oleh pasien sesekali sekaligus menunjukkan fitur
parkinsonian dan dyskinesias. Interaksi antara kelas yang berbeda dari reseptor
dopamin mungkin terlibat. Sebuah agonis dopamin parsial, terguride, telah
ditemukan untuk menekan dyskinesias tanpa memburuknya gejala parkinsonian,
menunjukkan bahwa beberapa pendekatan farmakologis dapat membedakan
efek stimulasi dopaminergik berbagai aspek motorik aktivasi sistem . Propranolol,
dekstrometorfan, idazoxan (2-antagonis) dan sarizotan ( 5HT1Aagonist a)
nondopaminergic agen yang telah dipelajari untuk L-dopa-induced dyskinesia.
Dystonias , Mioklonus , akathisia . Dystonias ( otot berkelanjutan kontraksi atau
postur abnormal) yang especiallycommonin distal ekstremitas bawah.
Mengepalkan jari-jari kaki atau balik paksa dari kaki dapat mendahului
perkembangan IPD . Dystonias sering terjadi pada pagi hari atau pada
kebangkitan dan meningkatkan dengan yang pertama L - dopa dosis hari . Obat
untuk masalah ini termasuk tidur yang berkelanjutan -pelepasan L - dopa ,
agonis dopaminergik, baclofen , atau denervasi selektif dengan toksin botulinum.
Masalah lain yang dapat terjadi selama tidur adalah myoclonus,
menyentak terkadang berulang anggota badan ( juga dikenal sebagai tersentak
tidur. Menurunkan dosis L - dopa malam hari atau penggunaan clonazepam
dapat bermanfaat. Pada malam hari atau dengan memakai off obat
dopaminergik. Akibatnya, masalah lain terkait dapat perasaan gelisah di kaki
yang mungkin akan meminta kebutuhan untuk memindahkan mereka dengan
berjalan kaki penyadapan atau mondar-mandir. Dalam pengertian ini , gerakan
bersifat sukarela dalam menanggapi sensasi tidak nyaman untuk membuat
gerakan-gerakan tersebut. Sindrom kaki gelisah, atau akatisia, dapat
dikendalikan oleh gejalanya malam hari obat dopaminergik atau dengan berbagai
obat lain, di antaranya clonazepam , propranolol , gabapentin , dan kodein.
Inhibitor Monoamine oksidase B

Selegiline (Eldepryl, Somerset, berbagai merek generik) , yang ireversibel MAO B inhibitor , juga dikenal sebagai deprenyl , dipasarkan untuk memperpanjang
efek L - dopa. Dengan tindakan yang berada di pusat , itu sederhana meluas
durasi kerja dari masing-masing dosis
L - dopa. Hal ini dapat memberikan hingga 1 jam diperpanjang pada waktu untuk
pasien dengan memakai off dari Ldopa tindakan. Selegiline juga meningkatkan
efek puncak L-dopa dan dapat memperburuk yang sudah ada sebelumnya
dyskinesias atau kejiwaan gejala seperti delusi dan halusinasi. Sering
menggunakan pengurangan izin selegiline dari Asupan L - dopa untuk sesedikit
satu setengah dosis optimal sebelumnya.
Selegiline telah digunakan secara luas dengan dosis 10 mg / hari,

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

16
9

meskipun penghambatan ireversibel ofMAO - B dapat dicapai pada dosis rendah.


Selain itu, pembaharuan enzim hasil di slowrate , sehingga efeknya obat tetap
hidup selama berminggu-minggu . Selegiline adalah lipofilik dan menembus
penghalang darah - otak dengan cepat. Jalur metabolisme selegiline lead untuk
mengakhiri produk L- shabu dan L-amfetamin. merugikan efek selegiline minimal
tapi dapat termasuk insomnia (terutama jika diberikan pada waktu tidur ) dan
jitteriness. hipertensi "efek cocok," yang terjadi dari menelan tyramine dengan
penggunaan MAOA inhibitor, tidak terjadi dengan selegiline. Jarang, bersamaan
selective serotonin reuptake inhibitor dapat menyebabkan sindrom serotonin,
ditandai dengan hipertensi, diaphoresis, dan menggigil. Reaksi serupa telah
dilaporkan dengan selegiline bersamaan dan meperidine.
Selegiline dan inhibitor MAO-B lainnya telah diselidiki untuk sifat saraf.
Mereka menghambat deaminasi oksidatif dopamin, yang menghasilkan hidrogen
peroksida dan akhirnya Oxyradicals mampu neuron nigrostriatal merusak (lihat
Gambar. 57-1).Sejak inhibisi MAO-B mengalihkan dopamin katabolisme untuk
alternatif rute tidak menghasilkan peroksida, terapi selegiline dapat cadangan
neuron ini dari stres oksidatif. Satu studi mengevaluasi saraf nya sifat
menunjukkan bahwa menunda kebutuhan L-dopa di baru didiagnosa IPD pasien
sekitar 9 bulan. Namun, penelitian ini adalah tidak meyakinkan karena efek
gejala obat dan kerugian tindakan perlindungan yang jelas setelah sekitar 12
months.
Rasagiline, penghambat MAO-B mirip dengan selegiline tapi tanpa metabolit
amphetamine, memiliki efek yang sama seperti selegiline pada peningkatan Efek
L-Dopa, serta efek menguntungkan sederhana dalam monoterapi.
Inhibitor COMT
Dua inhibitor COMT , tolcapone ( Tasmar , Roche ) dan entacapone (Comtan,
Novartis), telah dikembangkan untuk memperpanjang efek dari setiap dosis L
dopa. Mereka tidak berpengaruh pada gejala IPD. Keduanya mencegah konversi
perifer levodopa untuk 3OMD , sehingga memperpanjang efek dopaminergik dari
L-dopa. untuk pasien dengan mengenakan off , agen ini dapat mengurangi
secara signifikan dari waktu dengan meningkatkan luas L-dopa di bawah kurva
sekitar 35 % tanpa meningkatkan Cmax atau Tmax. Dalam praktek klinis,
penghambatan COMT lebih efektif daripada dikendalikan -release carbidopa/L
dopa dalam memberikan penyuluhan konsisten efek dan menghindari
keterlambatan dalam waktu untuk maksimal efek yang mempengaruhi pasien
dengan terkontrol release Persiapan L-dopa. Baru-baru ini diperkenalkan triplekombinasi carbidopa produk / levodopa / entacapone ( Stalevo , Novartis )
penawaran isi variabel carbidopa / levodopa ( 12,5 mg/50 mg , 25 mg/100 mg ,
dan 37,5 mg/150 mg ) dengan kandungan entacapone tetap 200 - mg . seiring
penggunaan inhibitor MAO nonselektif harus dihindari untuk mencegah
penghambatan sebagian besar jalur untuk katekolamin yang normal
metabolismenya. Ini masih harus dilihat apakah penggunaan ini adjunctive agen
akan lebih bermanfaat dan hemat biaya daripada memaksimalkan terapi dengan
carbidopa / L - dopa saja.
Tolcapone memiliki efek pada kedua COMT perifer dan sentral, tetapi
tidak jelas apa peran penghambatan COMT pusat memiliki . Penggunaannya
terbatas oleh laporan dari tiga kasus hepatotoksisitas fatal seperti yang ketat
pemantauan fungsi hati diperlukan, seperti diuraikan dalam paket insert .
Tolcapone harus dihentikan jika ada elevasi di tes fungsi hati di atas batas atas

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
0

normal atau jika ada tanda-tanda atau gejala berkembang menunjukkan


kegagalan hati ( misalnya, mual persisten, kelelahan, kelesuan, anoreksia,
penyakit kuning, urin gelap, pruritus, atau kanan kuadran atas nyeri perut).
Sebuah informed consent untuk digunakan disertakan dalam paket insert untuk
memastikan bahwa pasien diinformasikan dari risiko efek samping. Awal dan
dosis yang dianjurkan adalah 100 mg tiga kali per hari sebagai tambahan untuk
carbidopa / L - dopa. onset diare ( minggu ke bulan kemudian ) dapat terjadi
pada sampai 5 % dari pasien. Karena obat yang sama tapi lebih aman alternatif
tersedia , peran untuk tolcapone tidak jelas.

Entakapon memiliki pendek paruh dari tolcapone, dan 200 mg perlu diberikan
dengan dosis masing-masing carbidopa / L-dopa hingga 8 kali per hari. Dalam uji
klinis, baik tolcapone dan entacapone meningkat waktu sekitar 1 jam dan
diijinkan pengurangan dosis L-dopa jika dyskinesia dibutuhkan efek samping
dopaminergik dapat terjadi dan umumnya dikelola oleh pengurangan carbidopa /
L-dopa dosis. Perubahan warna urin kecoklatan-oranye dapat terjadi dengan
entacapone, seperti tolcapone, tetapi tidak ada laporan hepatotoksisitas dari
entacapone.

Agonis Dopamine
Ini menggunakan ergot dopamin agonis pergolid (Permax, Amarin; berbagai
merek generik) dan bromocriptine (Parlodel, Novartis; berbagai merek generik)
dan nonergots pramipexole (Mirapex, Pfizer) dan ropinirole (Requip,
GlaxoSmithKline) yang bermanfaat sebagai tambahan untuk Terapi L-dopa pada
pasien dengan memburuk respon terhadap L-dopa, di pasien yang mengalami
fluktuasi dalam menanggapi L-Dopa, dan pada pasien dengan respon klinis
terbatas pada L-dopa karena ketidakmampuan mentolerir dosis yang lebih tinggi.
Agonis dopamin menurunkan frekuensi off periode dan memberikan L-dopasparing efek. Penyeberangan studi menunjukkan bahwa pergolide dengan Ldopa mirip atau mungkin lebih mujarab dengan efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan bromocriptine L-dopa. Pergolide dapat meningkatkan
status fungsional pada pasien dengan memburuk respon terhadap bromocriptine,
64 sedangkan bromocriptine tidak tidak muncul untuk meningkatkan fungsi pada
pasien dengan respon yang memburuk untuk Pergolide.
Bromokriptin monoterapi pada pasien yang sebelumnya tidak diobati IPD
dibatasi oleh tingginya insiden efek samping dan pengobatan kegagalan yang
memerlukan baik menurunkan dosis atau penambahan L-dopa.66 Pergolide,
pramipexole, dan ropinirole tampaknya lebih efektif sebagai alternatif monoterapi
untuk L - dopa, tetapi hanya pramipexole dan ropinirole disetujui untuk
monoterapi. investigasi membandingkan terapi awal dengan L - dopa dengan
terapi awal dengan dopamin agonis ( yang L - dopa dapat ditambahkan )
mengungkapkan penurunan risiko mengembangkan fluktuasi respon dengan
biaya kontrol motorik kurang dalam agonis group.67 - 69 ini telah menghasilkan
kontroversi apakah pengobatan awal IPD harus dengan dopamin agonis
monotherapy. American Academy of Neurology praktek menyatakan parameter
yang baik dapat digunakan tergantung pada dampak meningkatkan fungsi.
Pasien yang lebih muda lebih mungkin untuk mengembangkan fluktuasi motorik ,

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
1

dan karena itu, agonis dopamin mungkin disukai. Pasien yang lebih tua lebih
mungkin menderita psikosis dari agonis dopamin, dan dengan demikian
carbidopa / L - dopa mungkin yang terbaik mulai obat-obatan, terutama jika
masalah kognitif atau demensia. Tidak ada alasan saat ini untuk memilih salah
satu dopamin agonis atas yang lain berdasarkan spesifisitas reseptor.
Dosis awal yang dianjurkan bromocriptine adalah 1,25 mg sekali atau dua
kali sehari. Dosis bromocriptine harus meningkat perlahan-lahan oleh 1,25-2,5
mg / hari setiap minggu dan dipertahankan pada jumlah minimum diperlukan
untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. rata-rata harian dosis kurang dari 30
mg mungkin efektif untuk beberapa tahun di banyak pasien , namun beberapa
pasien mungkin memerlukan dosis hingga 120 mg / hari.
Dosis awal yang dianjurkan pergolide ( yaitu sekitar 13 kali lebih kuat dari
bromocriptine ) adalah 0,05 mg / hari selama 2 hari, secara bertahap
meningkatkan dosis sekitar 0,1-0,15 mg / hari setiap 3 hari selama periode 12 hari . Haruskah obat yang lebih diperlukan , yang dosis kemudian dapat
ditingkatkan dengan 0,25 mg setiap 3 hari sampai gejala dieliminasi atau efek
samping terjadi. Dosis terapi rata-rata di sebagian besar uji klinis adalah sekitar
3mg/ hari.
Pramipexole dimulai dengan dosis 0,125 mg tiga kali hari dan meningkat
setiap 5 sampai 7 hari sebagai ditoleransi . Dalam dosis tetap studi , dosis harian
3 , 4,5 , dan 6 mg tidak lebih efektif daripada 1,5 mg /hari , dan dosis yang lebih
tinggi dikaitkan dengan frekuensi yang lebih tinggidari efek merugikan Ketika
beralih dari bromocriptine atau pergolide untuk pramipexole , dosis substitusi
10:01 dan 01:01 dianjurkan. Ropinirole dimulai pada 0,25 mg tiga kalisehari dan
meningkat sebesar 0,25 mg tiga kali sehari setiap minggu sampai maksimal 24
mg / hari . Dosis agonis dopaminergik adalah terbaik ditentukan oleh titrasi
lambat untuk meningkatkan toleransi dan menemukan dosis setidaknya itu
memberikan manfaat yang optimal.
Efek samping yang sering menjadi faktor pembatas dalam dopamin
agonis terapi. Ini sering terjadi di awal dan lebih cenderung pada dosis yang lebih
tinggi atau dengan eskalasi cepat dosis . Mual adalah yang paling umum , diikuti
dengan sedasi , pusing , dan impian hidup. Hipotensi postural asimtomatik umum
terjadi, tetapi tidak selalu 8 memerlukan penyesuaian pengobatan . Di antara
efek psikis , kebingungan, halusinasi, dan siang hari sedasi ( termasuk serangan
tidur ) sering membatasi dosis . Upaya untuk mengurangi rasa kantuk yang
berlebihan di siang hari dan serangan tidur pada pasien pada terapi agonis harus
mencakup pendidikan pasien , menghilangkan obat penenang lain , mengurangi
atau mengubah obat , dan mengatasi hidup bersama tidur. Penambahan agonis
dopamin untuk terapi L - dopa dapat meningkatkan frekuensi dan tingkat
keparahan dyskinesias selama periode yang baik fungsional status, tetapi juga
dapat meningkatkan motorik berfungsi bahkan dengan pengurangan di carbidopa
/ dosis L - dopa . Di antara efek istimewa lainnya terjadi dengan agonis
dopaminergik adalah pedal edema. Dalam sebuah studi dari pramipexole , 6 %
dari pasien mengembangkan masalah ini, yang doserelated, nonresponsive
untuk diuretik, dan diselesaikan dengan menghentikan medikasi. Agonis
dopamin ergot berhubungan jarang dengan fibrosis pleuropulmonary, dan barubaru ini, kasus valvulopathy jantung telah dilaporkan dengan pergolide.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
2

Bromokriptin cukup cepat diserap, menunjukkan pertama tinggi pass


metabolisme , sangat terikat protein , dan memiliki beberapa metabolit
diekskresikan terutama melalui bile. Paruh eliminasi sekitar 3 jam . Sebuah
produk bromocriptine slow - release telah diteliti tetapi tidak tersedia . Sebuah
peningkatan yang signifikan dalam bromocriptine plasma konsentrasi telah
didokumentasikan dengan eritromisin . pergolide memiliki sifat yang sama seperti
bromocriptine kecuali bahwa ia memiliki lagi paruh eliminasi (sekitar 24 jam).
Pramipexole terutama diekskresikan renally dengan 8-12 jam paruh . Awal dosis
harus disesuaikan dalam insufisiensi ginjal ( 0,125 mg dua kali sehari selama
kreatinin jarak dari 35-59 mL / menit, 0,125 mg sekali sehari selama kreatinin
jarak dari 15-34 mL / menit ) . Ropinirole memiliki 6 jam paruh dan dimetabolisme
oleh sitokrom P450 1A2 . Bentuk berkelanjutan - release adalah dalam
pengembangan. Inhibitor poten ( fluoroquinolones ) dan induser ( merokok )
enzim ini kemungkinan akan menyebabkan perubahan dalam ropinirole
clearance.
Apomorphine adalah agonis dopamin akan segera dirilis di Amerika
Serikat . Ini akan dipasarkan untuk injeksi subkutan dan sudah telah menjanjikan
untuk menyelamatkan pembekuan episode. Cabergoline adalah selektif D2
menggunakan ergot agonis dengan waktu paruh panjang (70 jam) yang seefektif
bromocriptine tetapi dosis hingga 4 mg sekali sehari. Ini tersedia di Amerika
Serikat hanya sebagai 0,5 mg tablet (Dostinex, Pharmacia) untuk. pengobatan
hiperprolaktinemia. Suatu bentuk pengiriman transdermal dari dopaminergik
agonis poten rotigotine sedang diselidiki. Agonis reseptor spesifik D1 tidak
tampaknya memiliki banyak efek antiparkinson. Domperidone adalah perifer
blocker reseptor dopamin (tidak tersedia di Amerika Serikat) yang dapat
digunakan untuk memblokir beberapa efek merugikan dari dopamin agonis

PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMI
Penilaian Fewpharmacoeconomic telah dilaporkan dalam pengobatan IPD.
Pengobatan dengan obat antikolinergik , amantadine , dan carbidopa / L - dopa
murah. Untuk efektivitas biaya , terendah dosis memberikan hasil yang memadai
harus digunakan , dan optimalisasi rejimen carbidopa / L - dopa harus dicoba
sebelum menambahkan lebih obat mahal . Pada awal IPD , respon lama-lama
bisa melihat seperti bahwa dosis carbidopa / L - dopa setiap 3 hari mungkin
semua yang Terapi awal required.83 dengan berkelanjutan -release lebih mahal
produk ( Sinemet CR ) atau kombinasi produk ( Stalevo ) dalam ketiadaan
fluktuasi respon tidak diindikasikan . Sebagai gejala kemajuan, penambahan
atau terus menggunakan agonis dopamin , selegiline , atau COMT inhibitor dapat
menambah biaya yang cukup besar , kadang-kadang dengan sedikit atau ada
trial benefit.Alarge berlangsung di Inggris untuk menentukan yang kelas obat
memberikan kontrol yang paling efektif dengan Efek samping paling sedikit untuk
kedua awal dan kemudian IPD mudah-mudahan juga akan memberikan
informasi tentang efektivitas biaya.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
3

EVALUASI HASIL TERAPEUTIK

Daftar parameter monitoring diberikan pada Tabel 57-8. Hal ini penting untuk
mendidik pasien dan perawat yang IPD adalah sebuah neurodegenerative
penyakit yang sering berkembang dengan waktu dan bahwa tidak semua gejala
setuju untuk pengobatan. Mereka dapat berpartisipasi dalam pengobatan dengan
merekam kali pemberian obat serta durasi dan mematikan kali yang dapat
ditinjau pada setiap kunjungan kantor. Jika gejala mengganggu seperti dystonia
hanya terjadi jarang, dapat direkam oleh keluarga ditinjau dengan dokter.
TABEL 57-8 . Pemantauan Terapi Penyakit Parkinson
1 . Tentukan obat , kali pemberian obat ,hubungan dengan makanan , dan waktu
dosis terakhir . mendidik pasien yang carbidopa / L - dopa diserap terbaik pada
waktu perut kosong.
2 . Menilai kesan umum pasien fungsi motorik , dan mengatasi setiap masalah
spesifik pasien mungkin memiliki.
3 . Permintaan khusus tentang dosis - dosis dengan efek obat , memakai off obat
, respon yang memadai terhadap dosis tunggal obat, "pembekuan," gerakan
involunter abnormal, kram atau kejang , halusinasi ( halusinasi visual yang
terutama ), dan mual, muntah, atau pusing . Menawarkan saran untuk membantu
meringankan tersebut.
4 . Menanyakan tentang gejala sebelumnya dari pengasuh, dan mengatasi
segala keprihatinan mereka mungkin dengan perhatian khusus untuk tidur
gangguan, depresi, ciri-ciri psikotik, dan dyskinesias yang mungkin tidak jelas
bagi pasien .
5 . Amati pasien dan menentukan apakah gerakan yang dyskinetic hadir dan jika
pasien sadar mereka . Jika ada, mendidik pasien tentang dyskinesias dan
merekomendasikan intervensi yang tepat .
6 . Pastikan bahwa pasien dan / atau pengasuh memahami direkomendasikan
rejimen pengobatan.
9.Sejarah selalu harus mencakup riwayat obat rinci karena pasien sering dapat
berimprovisasi dan menyesuaikan pengobatan mereka sendiri jadwal . Hal ini
penting untuk menentukan waktu hari itu mungkin yang paling sulit bagi mereka
untuk berfungsi . Penilaian tingkat umum fungsi termasuk aktivitas hidup seharihari akan membantu untuk menentukan ketika L - dopa atau dopamin agonis
harus ditambahkan. Sejarah jatuh harus diselidiki lebih lanjut mengenai keadaan
di sekitar mereka untuk menentukan apakah jatuh sekunder untuk
ketidakseimbangan ( seperti retropulsion ) , pembekuan atau tersandung ,
hipotensi ortostatik ,atau etiologi lainnya . Pasien harus ditanya tentang umum
efek samping dari obat antiparkinson , termasuk mual , hipotensi , pedal edema ,
gangguan tidur , dan psikiatris kesulitan . Pasien juga harus diamati untuk
dyskinesias dan , jika ada , dididik tentang mereka . Rekomendasi harus selalu
dibuat dalam pandangan persepsi pasien tentang keparahan gejala

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
4

KESIMPULAN
Meskipun penyebab IPD tetap tidak diketahui, terapi simtomatis telah
dikembangkan untuk melibatkan sejumlah pilihan untuk awal dan kemudian
tahap penyakit. Beberapa arah terapi saraf yang diselidiki. Terapi farmakologis
melalui manipulasi sistem dopaminergik dapat meningkatkan kenyamanan
pasien dan fungsionalStatus signifikan. Meskipun masalah yang dapat dikaitkan
dengan L-dopa, ia tetap menjadi standar terapi untuk kebanyakan pasien dengan
IPD. Tujuan dari manajemen tetap mempertahankan diterima fungsional kontrol
dengan jumlah minimum obat antiparkinson yang diperlukan.
SINGKATAN
3OMD : 3-O-metildopa
COMT : katekol-O-metil-transferase
DAT : transporter dopamin
DBS : stimulasi otak dalam
GABA : asam -aminobutyric
GPE : globus pallidus eksterna
GPI
: globus pallidus interna
GTP : guanosin trifosfat
Penyakit Parkinson idiopatik: IPD
L-AAD : L-asam amino dekarboksilase
LNAA : asam amino besar netral
MAO : monoamine oxidase
MPP + : 1-metil-4-phenylpyridinium
MPTP : 1-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahydropyridine
PET : positron-emission tomography
PSP : progresif supranuclear palsy
SNC : substania nigra pars compacta
SNR : substantia nigra pars reticulata
STN : inti subthalamic
TH
: tyrosine hydroxylase
Ulasan Pertanyaan dan sumber informasi lainnya dapat ditemukan di
www.pharmacotherapyonline.co
RRRE

JOIDAFTAR PUSTAKA
1. Factor SA, Weiner WJ. James Parkinson: The man and the essay. In: Factor SA,
Weiner WJ, eds. Parkinsons Disease: Diagnosis and Clinical Management.
New York, Demos, 2002:118.
2. Bower JH, Maraganore DM, McDonnell SK, Rocca WA. Incidence and distribution
of parkinsonism in Olmsted County, Minnesota, 19761990. Neurology
1999;52:12141220.
3. LeWitt PA. Tobacco smoking, nicotine, and neuroprotection. In: Factor SA,
Weiner WJ, eds. Parkinsons Disease: Diagnosis and Clinical Management.
New York, Demos, 2002:519529.
4. Di Monte DA. The environment and Parkinsons disease: Is the nigrostriatal
system preferentially targeted by neurotoxins? Lancet Neurol 2003;2:531533.
5. Chen H, Zhang SM, Hernan MA, et al. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and
the risk of Parkinson disease. Arch Neurol 2003;60:10591064.
6. Hardy J, Cookson MR, Singleton A. Genes and parkinsonism. Lancet Neurol
2003;2:221228.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
5

7. Oliveira SA, Scott WK, Martin ER, et al. Parkin mutations and susceptibility alleles
in late onset Parkinsons disease. Ann Neurol 2003;53:624629.
8. Alam ZI, Daniel SE, Lees AJ, et al. A generalised increase in protein carbonyls in
the brain in Parkinsons but not incidental Lewy body disease. J Neurochem
1997:69;13261329.
9. LeWitt PA. Parkinsons disease: Etiologic considerations. In: Ahlskog JE, Adler
CA, eds. Parkinsons Disease and Movement Disorders: Diagnosis and
Treatment Guidelines for the Practicing Physician. New York, Humana Press,
2000:91100.
10. Smith Y, Bevan MD, Shink E, Bolam JP. Microcircuitry of the direct and indirect
pathways of the basal ganglia. Neuroscience 1998;86:353387.
11. Bara-Jimenez W, Sherzai A, Dimitrova T, et al. Adenosine A2A receptor
antagonist treatment of Parkinsons disease. Neurology 2003;61:293296.
12. Hauser RA, Hubble JP, Truong DD, and the Istradefylline US-001 Study Group.
Randomized trial of the adenosine A2A receptor antagonist Istradefylline in
advanced PD. Neurology 2003;61:297303.
13. Mercuri NB, Calabresi P, Bernardi G. Physiology and pharmacology of
dopamineD2 receptors: Their implications in dopamine-substitute therapy for
Parkinsons disease. Neurology 1989;39:11061108.
14. Bernheimer H, BirkmayerW, Hornykiewicz O, et al. Brain dopamine and the
syndrome of Parkinsons and Huntington: Clinical, morphological, and
neurochemical correlations. J Neurol Sci 1973;20:415455.
15. Tatsch K. Can SPET imaging of dopamine uptake sites replace PET imaging in
Parkinsons disease? For. Eur J Nucl Med 2002;5:711714.
16. Frey KA. Can SPET imaging of dopamine uptake sites replace PET imaging in
Parkinsons disease? Against. Eur J Nucl Med 2002;5:715717.
17. Gelb DJ, Oliver E, Gilman S. Diagnostic criteria for Parkinson disease. Arch
Neurol 1999;56:3339.
18. Emre M. Dementia associated with Parkinsons disease. Lancet Neurol
2003;2:229237.
19. Hallett M, Litvan I, Task Force on Surgery for Parkinsons Disease. Evaluation of
surgery for Parkinsons disease: A report of the therapeutics and technology
assessment subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology
1999;53:19101921.
20. Olanow CW, Koller WC. An algorithm (decision tree) for the management of
Parkinsons disease: Treatment guidelines. Neurology 1998;50 (suppl 3):S157.
21. Rascol O, Goetz C,KollerW, et al.Treatment interventions for Parkinsons
disease: An evidence-based assessment. Lancet 2002;359:15891598.
22. Neuroprotective agents for clinical trials in Parkinsons disease. Neurology
2003;60:12341240.
23. Effects of coenzyme Q10 in early Parkinson disease: Evidence of slowing of the
functional decline. Arch Neurol 2002;59:15411550.
24. Parkinson Study Group. Dopamine transporter brain imaging to assess the
effects of pramipexole vs levodopa on Parkinson disease progression. JAMA
2002;287:16531661.
25. Whone AL,Watts RL, Stoessl AJ. Slower progression in early Parkinsons
disease treated with ropinirole vs levodopa: The REAL-PET study. Ann Neurol
2003;54:93101.
26. Ahlskog JE. Slowing Parkinsons disease progression: Recent dopamine agonist
trials. Neurology 2003;60:381389.
27. Factor SA, Feustel PJ, Friedman JH, et al. Longitudinal outcome of Parkinsons
disease patients with psychosis. Neurology 2003;60:17561761.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
6

28. Juncos JL. Management of psychotic aspects of Parkinsons disease. J Clin


Psychiatry 1999;60(suppl 8):4253.
29. Friedman JH, Factor SA. Atypical antipsychotics in the treatment of drug
induced psychosis in Parkinsons disease. Mov Disord 2000;15:201211.
30. Fahn S, Bressman SB. Should levodopa therapy for parkinsonism be started
early or late? Evidence against early treatment. Can J Neurol Sci 1984;11:200
206.
31. Muenter MD. Should levodopa therapy be started early or late? Can J Neurol
Sci 1984;11:195199.
32. Rajput AH, SternW, Laverty WH. Chronic low-dose levodopa therapy in
Parkinsons disease: An argument for delaying levodopa therapy. Neurology
1984;34:991996.
33. Agid Y. Levodopa: Is toxicity a myth? Neurology 1998;50:858863.
34. Diamond SG, Markham CH, Hoehn MM, et al. Multicenter study of Parkinson
mortality with early versus later dopa treatment. Ann Neurol 1987;22:812.
35. Fahn S. Parkinson disease, the effect of levodopa, and the ELLDOPAtrial. Arch
Neurol 1999;56:529535.
36. Perry EK, Kilford L, Lees AJ, et al. Increased Alzheimers pathology in
Parkinsons disease related to antimuscarinic drugs. Ann Neurol 2003;54:235
238.
37. Fahn S, Isgreen W. Long-term evaluation of amantadine and levodopa
combination in parkinsonism by double-blind crossover analysis. Neurology
1975;25:695700.
38. Metman LV, Del Dotto P, LePoole K, et al. Amantadine for levodopainduced
dyskinesias: A 1-year follow-up study. Arch Neurol 1999;56: 13831386.
39. Uitti RJ, Rajput AH, Ahlskog JE, et al. Amantadine treatment is an independent
predictor of improved survival in Parkinsons disease. Neurology 1996;46:1551
1556.
40. Cotzias CG, Van Woert MH, Schiffer LM. Aromatic amino acids and modification
of parkinsonism. N Engl J Med 1967;276:374379.
41. Papavasilou PS, Cotzias GC, Duby SE, et al. Levodopa in parkinsonism:
Potentiation of central effects with a peripheral inhibitor. N Engl J Med
1972;285:814.
42. Poewe WH, Wenning GK. The natural history of Parkinsons disease. Neurology
1996;47(suppl 3): S146152.
43. Ahlskog JE. Medical treatment of later stage motor problems of Parkinson
disease. Mayo Clin Proc 1999;74:12391254.
44. Van Laar T. Levodopa-induced response fluctuations in patients with
Parkinsons disease: Strategies for management. CNS Drugs 2003;17: 475
489.
45. Koller WC, Hutton JT, Tolosa E, et al. Immediate-release and controlled release
carbidopa/levodopa in PD: A five-year randomized multicenter study. Neurology
1999;53:10121019.
46. LeWitt PA, Nelson MV, Berchou RC, et al. Controlled-release carbidopa/
levodopa (Sinemet 50/200 CR4): Clinical and pharmacokinetic studies.
Neurology 1989;39(suppl 2):4553.
47. Quinn N, Parkes JD, Marsden CD. Control of on/off phenomenon by continuous
intravenous infusion of levodopa. Neurology 1984;34:1131 1136.
48. Nilsson D, Nyholm D, Aquilonius S-M. Duodenal levodopa infusion in
Parkinsons disease: Long-term experience. Acta Neurol Scand 2001; 104:343
348.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
7

49. Kurth MC, Tetrud JW, Irwin I, et al. Oral levodopa/carbidopa solution versus
tablets in Parkinsons patients with severe fluctuations: A pilot study. Neurology
1993;43:10361039.
50. Nelson MV, Berchou RC, LeWitt PA, et al. Pharmacodynamic modeling
of concentration-effect relationships after controlled release carbidopa/levodopa
(Sinemet CR4) in Parkinsons disease. Neurology 1990;40: 7074.
51. Contin M, Riva R, Martinelli P, et al. Pharmacodynamic modeling of oral
levodopa: Clinical application in Parkinsons disease. Neurology 1993;43:367
371. 1088 SECTION 6 NEUROLOGIC DISORDERS
52. Contin M, Riva R, Martinelli P, et al. Longitudinal monitoring of the levodopa
concentration-effect
relationship in Parkinsons disease.
Neurology
1994;44:12871292.
53. Nutt JG, Holford NHG. The response to levodopa in Parkinsons disease:
Imposing pharmacological law and order. Ann Neurol 1996;39:561573.
54. LeWitt PA.Newand experimental drug treatments for Parkinsons disease. In:
Pahwa R, Lyons K, Koller WC, eds. Therapy of Parkinsons Disease. New York,
Marcel Dekker, 2004:491505.
55. Mahmood I. Is 10 milligrams selegiline essential as an adjunct therapy for the
symptomatic treatment of Parkinsons disease? Ther Drug Monit 1998;20:717
721.
56. Elsworth JD, Glover V, Reynolds GP, et al. Deprenyl administration in man: A
selective MAO-B inhibitor without cheese-effect. Psychopharmacology
1987;57:3338.
57. Shoulson I, Parkinson Study Group. DATATOP: A decade of neuroprotective
inquiry. Ann Neurol 1998;44(suppl 1):S160166.
58. Rabey JM, Sagi I, Huberman M, et al. Rasagiline mesylate, a new MAOB
inhibitor for the treatment of Parkinsons disease: A double-blind study as
adjunctive therapy to levodopa. Clin Neuropharmacol 2000;23: 324330.
59. Parkinson Study Group. A controlled trial of rasagiline in early Parkinson
disease. Arch Neurol 2002;59:19371943.
60. Ruottinen HM, Rinne UK. COMT inhibition in the treatment of Parkinsons
disease. J Neurol 1998;245(suppl 3):2534.
61. Rinne UK, Larsen JP, Siden A, Worm-Peterson J. Entacapone enhances the
response to levodopa in parkinsonian patients with motor fluctuations.
NOMECOMT Study Group. Neurology 1998;51:13091314.
62. The Parkinson Study Group. Entacapone improves motor fluctuations in
levodopa-treated Parkinsons disease patients. Ann Neurol 1997;42:747755.
63. Pezzoli G, Martinoni E, Pacchetti C, et al. A crossover, controlled study
comparing pergolide with bromocriptine as an adjunct to levodopa for the
treatment of Parkinsons disease. Neurology 1995;45(suppl 3):S2227.
64. Lieberman A, Neophytides A, Liebowitz M, et al. Comparative efficacy of
pergolide and bromocriptine in patients with advanced Parkinsons disease. Adv
Neurol 1983;37:95108.
65. Olanow CW. Pergolide, parlodel crossover study. Neurology 1988;38: 314316.
66. Hely MA, Morris JGL, Reid WGJ, et al. The Sidney multicentre study of
Parkinsons disease: A randomised, prospective five-year study comparing lowdose bromocriptine with low-dose levodopa-carbidopa. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 1994;57:903910.
67. Przuntek H,Welzel D, Gerlach M, et al. Early institution of bromocriptine in
Parkinsons disease inhibits the emergence of levodopa-associated motor side
effects: Long term results of the PRADO study. J Neurol Transm 1996;103:699
715.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
8

68. Rascol O, Brooks DJ,Korczyn AD, et al.Afive-year study of the incidence of


dyskinesia in patients with early Parkinsons disease who were treated with
ropinirole or levodopa. N Engl J Med 2000;342:1491.
69. Parkinson Study Group. A randomized, controlled trial comparing pramipexole
with levodopa in early Parkinsons disease: Design and methods of the CALMPD study. Clin Neuropharmacol 2000;23:3443.
70. Weiner WJ. The intial treatment of Parkinsons disease should begin with
levodopa. Mov Disord 1999;14:716724.
71. Montastruc JL, Rascol O, Senard JM. Treatment of Parkinsons disease should
begin with a dopamine agonist. Mov Disord 1999;14:725730.
72. Albin RL, Frey KA. Initial agonist treatment of Parkinson disease: A critique.
Neurology 2003;60:390394.
73. Mijasaki JM, Martin W, Suchowersky O, et al. Practice parameter: Initiation of
treatment for Parkinsons disease: An evidence based review. Report of the
quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology 2002:58;1117.
74. Parkinson Study Group. Safety and efficacy of pramipexole in early Parkinson
disease: A randomized dose-ranging study. JAMA 1997;278: 125130.
75. Goetz CG, Blasucci L, Stebbins GT. Switching dopamine agonists in advanced
Parkinsons disease: Is rapid titration preferable to slow? Neurology
1999;52:12271229.
76. OSuilleabhain PE, Dewey RB. Contributions of dopaminergic drugs and disease
severity to daytime sleepiness in Parkinsons disease. Arch Neurol
2002;59:986989.
77. TanE, OndoW. Clinical characteristics of pramipexole-induced peripheral
edema. Arch Neurol 2000 ;57:729732.
78. Ling LH, Ahlskog JE, Munger TM, et al. Constrictive pericarditis and
pleuropulmonary disease linked to ergot dopamine agonist therapy (cabergoline)
for Parkinsons disease. Mayo Clin Proc 1999;74:371375
79. Pritchett AM, Morrison JF, Edwards WD, et al. Valvular heart disease in patients
taking pergolide. Mayo Clin Proc 2002;77:12801286.
80. Clinical pharmacokinetic and pharmacodynamic properties of drugs used in the
treatment of Parkinsons disease. Clin Pharmacokinet 2002;41: 261309.
81. Dewey RB Jr, Hutton JT, LeWitt PA, Factor SA. A randomized doubleblind
placebo-controlled trial of subcutaneously injected apomorphine for
Parkinsonian off states. Arch Neurol 2001;58:13851392.
82. Barone JA. Domperidone: A peripherally acting dopamine-2-receptor antagonist.
Ann Pharmacother 1999;33:429440.
83. Quattrone A, Zappia M. Oral pulse levodopa therapy in mild Parkinsons
disease. Neurology 1993; 43:11611166.
84. PDMED:Alarge randomised assessment of the relative cost-effectiveness of
classes of drugs for Parkinsons Disease. Available at the University of
Birmingham Web site, www.pdmed.bham.ac.uk; accessed October 31,

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

17
9

58
MANAJEMEN NYERI
Terry J. Baumann
Tujuan pembelajaran dan sumber informasi lainnya dapat ditemukan di
www.pharmacotherapyonline.com .
KONSEP UTAMA
1. Hal ini penting, bila memungkinkan, untuk menanyakan pasien jika
mereka memiliki rasa sakit, untuk mengidentifikasi sumber rasa sakit, dan
untuk menilai karakteristik rasa sakit .
2. Pasien yang memakai analgesik harus melihat respon dan efek samping,
terutama sedasi dan sembelit terkait dengan opioid .
3. Analgesik oral lebih disukai, tetapi penting untuk menyesuaikan rute
pemberian terhadap kebutuhan pasien .
4. Dosis equianalgesic berguna sebagai panduan saat mengubah dari obat
lain, tetapi dosis titrasi lanjut biasanya diperlukan untuk mencapai tujuan
pengobatan
5. Dosis harus individual untuk setiap pasien dan dikelola untuk durasi
waktu yang cukup. Waktu rejimen harus dipertimbangkan untuk nyeri
akut dan kronis. Rejimen yang dibutuhkan harus digunakan untuk
terobosan nyeri atau bila nyeri akut memperlihatkan variabilitas luas dan
/ atau telah mereda .
6. Bila memungkinkan, pendekatan multidisiplin dan nonpharmacologic
strategi harus digunakan .
7. Untuk nyeri neuropatik, capsaicins, antidepresan trisiklik, antikonvulsan ,
dan metadon harus dipertimbangkan .
8. Terapi Placebo tidak boleh digunakan sebagai upaya untuk mendiagnosis
nyeri psikogenik .
Manusia telah mengetahui penyakit nyeri. Tindakan menghilangkan rasa sakit
mungkin adalah tugas profesi medis. hari ini, Dampak nyeri pada masyarakat
masih besar, dan memang, keluhan nyeri tetap menjadi alasan utama pasien
mencari pengobatan medis.
Sayangnya, banyak penyedia layanan kesehatan tidak menerima
pelatihan yang memadai di bidang ini, dan informasi baru tidak disebarluaskan
dan / atau dipahami. Jelas, manajemen nyeri ditingkatkan bila pendekatan
multidisiplin diterapkan. Dengan demikian, pemahaman patofisiologi terapi rasa
sakit dan mempertahankan pengetahuan kerja rejimen nyeri individu yang
penting bagi dokter dan merupakan faktor utama dalam menangani kontrol rasa
nyeri yang tidak memadai .
DEFINISI
Definisi nyeri tetap menjadi teka-teki . Pernah dianggap menjadi hukuman
dari para dewa, kata ini berasal dari bahasa Latin Peone dan poine Yunani, yang
berarti " hukuman " atau " hukuman. " Aristotle menganggap nyeri perasaan dan
diklasifikasikan sebagai gairah jiwa, dimana heartwas sumber atau pengolahan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
0

pusat nyeri. Konsep Aristoteles ini mendominasi selama 2000 tahun ke depan,
meskipun Descartes, Galen, dan Vesalius mendalilkan bahwa nyeri adalah
sensasi di otak yang memainkan peranan penting. Pada abad kesembilan belas
,Mueller, Van Frey, dan Goldscheider hipotesis konsep neuroreceptors,
nociceptors, dan input sensorik ini teori yang dikembangkan ke dalam definisi
saat sakit : "perasaan sensorik menyenangkan dan pengalaman emosional yang
terkait dengan jaringan aktual atau potensial kerusakan atau dijelaskan dalam
hal kerusakan tersebut . "Nyeri sering begitu subyektif, bagaimanapun, bahwa
banyak dokter mendefinisikan nyeri sebagai apapun yang dikatakan pasien.
Perawatan yang terbaik dicapai bila ( 1 ) pasien datang pertama dan ( 2 ) bila
ragu mengingat nomor.
EPIDEMIOLOGI
Lima puluh juta orang Amerika sebagian atau seluruhnya dinonaktifkan
karena nyeri. Biaya tahunan sakit untuk masyarakat Amerika dapat diperkirakan
berada di miliaran dollars. Angka-angka ini diperkirakan akan meningkat semakin
banyak orang Amerika bekerja melebihi umur 60 tahun dan bertahan ke 80 umur
mereka.
Sayangnya, nyeri sering tetap undertreated dan terus menjadi masalah di
rumah sakit, fasilitas perawatan jangka panjang, dan masyarakat. Pasien sakit
parah di rumah sakit telah melaporkan insiden 50 % rasa sakit , 15 % telah
sangat atau cukup sakit parah terjadi pada sedikitnya 50 % dari waktu ke waktu,
dan 15 % tidak puas dengan keseluruhan keluhan kontrol nyeri. Dalam laporan
tindak lanjut, para penulis menyatakan bahwa kontrol nyeri berlanjut sebagai
masalah utama pada pasien rawat inap, dan beberapa di antaranya pasien
masih sakit berbulan-bulan setelah rawat inap dan berpengalamannyeri bahkan
pada kematian di tempat tidur. Selain itu, masalah dengan penggunaan
analgesik yang tidak memadai telah dilaporkan pada pasien kanker yang berada
dalam keperawatan rumah. Dalam studi nyeri Michigan, 70 % dari pasien sakit
kronis mengaku memiliki rasa sakit meskipun telah menjalani pengobatan,
dengan 22 % percaya bahwa pengobatan nyeri semakin memburuk.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
1

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi nyeri melibatkan array kompleks jaringan saraf di otak
yangbertindak
dengan
rangsangan
aferen
untuk
menghasilkan

pengalaman yang kita kenal sebagai rasa sakit. Mekanisme perifer dan sentral
bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi kerusakan jaringan
sekunder . Pada nyeri akut , modulasi ini berumur pendek , tetapi dalam
beberapa situasi , perubahan dapat bertahan, dan nyeri kronis berkembang
Klasifikasi patologi disimpulkan dalam hal nociceptive dan jalur neuropatik
memberikan satu pemahaman yang lebih baik dari kedua akut dan nyeri. Nyeri
nociceptive kronis terbaik menguraikan patofisiologi nyeri akut , sedangkan
patofisiologi neuropatik adalah mengapa beberapa nyeri kronis berkembang .
NYERI NOCICEPTIVE
Nyeri nociceptive biasanya diklasifikasikan sebagai somatik ( yang timbul
dari kulit , tulang , sendi , otot atau jaringan ikat ) atau viseral ( timbul dari organ
internal seperti usus besar atau pankreas ) . Sementara nyeri somatik paling
sering muncul sebagai berdenyut dan baik lokal , nyeri viseral dapat
bermanifestasi sebagai nyeri merasa seolah-olah itu datang dari struktur lain (
disebut ) atau sebagai phenomenon Baik - lokal Kita bisamemikirkan nosisepsi
dalam hal stimulasi , transmisi, persepsi , dan modulation11 ( Tabel 58-1 ) .

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
2

STIMULASI
Langkah pertama menuju sensasi rasa sakit adalah stimulasi gratis ujung
saraf yang dikenal sebagai nociceptors. Reseptor ini ditemukan di baik somatik
dan struktur viseral, membedakan antara berbahaya dan rangsangan berbahaya,
dan diaktifkan dan peka oleh mekanik, dan kimia impulses. Termal Mekanisme
yang mendasari ini rangsangan berbahaya ( yang dalam dan dari diri mereka
sendiri dapat menyadarkan atau merangsang reseptor ) mungkin pelepasan
bradikinin , K +, prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin, dan substansi P (
antara lain) yang peka dan atau mengaktifkan nociceptors. Aktivasi Receptor
mengarah ke potensial aksi yang ditransmisikan sepanjang saraf aferen serat ke
cord tulang belakang (Gambar 58-1 ) .
TRANSMISI
Transmisi nociceptive berlangsung di A dan saraf aferen C - fibers.
Stimulasi berdiameter besar, jarang mielin A serat membangkitkan tajam , nyeri
baik lokal, sedangkan stimulasi unmyelinated, serat C berdiameter kecil
menghasilkan kusam, sakit, dan
nyeri kurang terlokalisasi. Aferen ini,
nociceptive sakit serat sinaps di berbagai lapisan ( lamina ) tanduk dorsal
sumsum tulang belakang itu, berbagai neurotransmiter , termasuk glutamat,
substansi P, dan kalsitonin gen - terkait peptide. Array kompleks peristiwa yang
nyeri pengaruh dapat dijelaskan sebagian interaksi antara neuroreceptors dan
neurotransmiter yang terjadi di sinaps ini.

Misalnya , dengan merangsang serat besar


myelinated sensorik
(misalnya , AA) yang saling terhubung dalam tanduk dorsal dengan serat nyeri,
baik rangsangan berbahaya dan nonnoxious dapat memiliki efek penghambatan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
3

pada nyeri transmission15 (lihat Gambar . 58-1). Secara fungsional, pentingnya


interaksi antara serat yang berbeda dan berbagai neurotransmiter dan
neuroreceptors jelas dalam respon analgesik dihasilkan oleh iritasi topikal atau
stimulasi saraf transkutan listrik. Ini proses nyeri yang diprakarsai mencapai otak
melalui array kompleks di sedikit lima naik jalur sumsum tulang belakang, yang
meliputi spinotalamikus yang tract (lihat Tabel 58-1) . Informasi selain nyeri juga
dilakukan di sepanjang jalur tersebut. Jadi rasa nyeri dipengaruhi oleh banyak
faktor tambahan untuk nosisepsi dan menghalangi representasi skema
sederhana.
Hal ini mendalilkan bahwa talamus bertindak sebagai stasiun relay
sebagai jalur ini naik dan melewati impuls ke struktur pusat di mana rasa sakit
dapat diproses lebih lanjut.
PERSEPSI NYERI
Pada titik dalam transmisi ini, nyeri diduga menjadi pengalaman sadar
dialami yang terjadi dalam struktur kortikal yang lebih tinggi. Otak mungkin
menampung hanya sejumlah sinyal rasa sakit, sehingga kognitif dan fungsi
perilaku dapat memodifikasi rasa sakit. Relaksasi, gangguan, meditasi, dan
imajinasi mental yang terpandu dapat menurunkan rasa sakit dengan membatasi
jumlah diproses signals nyeri.
MODULASI
Tubuh memodulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks . Satu ,
dikenal sebagai sistem opiat endogen , terdiri dari neurotransmitter ( misalnya ,
enkephalins , dynorphins , dan - endorfin ) dan reseptor ( misalnya , mu , delta ,
dan kappa ) yang ditemukan di seluruh sistem saraf pusat ( SSP ) . Seperti opioid
eksogen , endogen opioid mengikat reseptor opioid dan memodulasi transmisi
nyeri impulses. Jenis reseptor lainnya juga dapat mempengaruhi sistem ini .
Aktivasi N - methyl - D - aspartate ( NMDA ) reseptor , ditemukan di dorsal horn ,
dapat menurunkan respon reseptor mu 'untuk opiates.
SSP juga berisi sistem sangat terorganisir untuk mengontrol penurunan
transmisi nyeri. Sistem ini dapat menghambat nyeri sinaptik transmisi pada
tanduk dorsal dan berasal dari otak. Neurotransmiter penting di sini termasuk
opioid endogen, serotonin, norepinefrin, asam - aminobutyric ( GABA ) , dan
neurotensin.
NYERI NEUROPATIK
Nyeri neuropatik jelas berbeda dari nyeri nosiseptif. Sekarang nyeri
ditopang oleh pengolahan abnormal masukan sensorik oleh perifer atau SSP .
Sejumlah besar sindrom nyeri neuropatik ada (Gambar 58-2 ), dan mereka sering
sulit untuk mengobati. Selain itu, rasa sakit dilaporkan sering tidak jelas dengan
memeriksa temuan fisik.
Mekanisme yang bertanggung jawab adalah endogen sistem saraf sifat
dinamis. Kerusakan saraf atau stimulasi terus-menerus dapat menyebabkan
nyeri sirkuit untuk rewire diri baik secara anatomis dan biochemically. Stimulasi
ini
menghasilkan saraf spontan, otonom rangsangan nyeri saraf, dan
peningkatan progresif dalam pembuangan dorsal horn neurons.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
4

Secara klinis, pasien datang dengan transmisi nyeri spontan (sering


digambarkan sebagai terbakar, kesemutan, shocklike, atau menembak), respon
berlebihan terhadap rangsangan yang menyakitkan biasanya berbahaya
(hiperalgesia), atau respon menyakitkan untuk rangsangan normal nonnoxious
(allodynia ). Perubahan dari waktu ke waktu dapat membantu menjelaskan
mengapa jenis ini sering memanifestasikan sakit setelah lama cedera saraf yang
berhubungan dengan aktual.
PRESENTASI KLINIS
Presentasi klinis nyeri paling baik ditangani dengan nyeri yang tepat
penilaian. Pendekatan berorientasi pasien sangat penting, dan evaluasi metode
tidak harus berbeda dari yang digunakan dalam kondisi medis lainnya. Oleh
karena itu, sejarah komprehensif dan ujian fisik yang penting untuk mengevaluasi
penyakit

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
5

yang mendasari dan memungkinkan faktor menyeluruh . Ini termasuk


mengidentifikasi sumber nyeri ketika karakterisasi dasar possible. Nyeri dapat
diperoleh dengan menilai PQRST characteristics18 ( Tabel 58-2 ) . Perhatian
juga harus diberikan kepada faktor mental yang mengubah rasa sakit ambang
batas . Kecemasan , depresi, kelelahan , marah , dan takut pada khususnya
dicatat untuk menurunkan batas ini , sedangkan sisanya , elevasi mood , simpati
, pengalihan , dan pemahaman menaikkan ambang nyeri.
PRESENTASI KLINIS NYERI
UMUM

Pasien mungkin dalam distres akut yang jelas ( nyeri trauma ) atau
tampaknya tidak memiliki penderitaan nyata (kronis / persisten ) .

GEJALA

Nyeri dapat digambarkan sebagai tajam, kusam, pembakaran, shocklike,


kesemutan, menembak, radiasi, berfluktuasi dalam intensitas, dan
bervariasi dalam lokasi .
Seiring waktu, stimulus nyeri yang sama dapat menyebabkan gejala yang
benar-benar berubah (misalnya, tajam untu kusam, jelas untuk samarsamar).
Gejala tidak spesifik termasuk kecemasan, depresi , kelelahan , insomnia
, marah, dan takut .

TANDA

Nyeri akut dapat menyebabkan hipertensi , takikardia , diaphoresis ,


mydriasis , dan pucat , namun tanda-tanda ini tidak diagnostik.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
6

Dalam beberapa kasus akut dan sakit kronis yang paling / persisten ,
mungkin tidak ada tanda-tanda jelas .

TES LABORATORIUM

Nyeri selalu subyektif


Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis nyeri .
Jadi nyeri paling didiagnosis berdasarkan deskripsi pasien dan sejarah

Sumber : Disusun dari ref . 18 dan 22 .


Dokter harus mengevaluasi semua komponen yang mengalami rasa sakit,
misalnya, perilaku (bagian dari reaksi kita terhadap rasa sakit yang dipelajari),
kognitif (proses berpikir mengubah pengalaman nyeri), (ekspresi nyeri sosial
berbeda sesuai dengan lingkungan sosial), dan budaya (latar belakang budaya
dapat mempengaruhi toleransi sakit). Selain itu, memisahkan nyeri neuropatik
dengan patofisiologi (lihat Gambar . 58-2) yang disebabkan oleh patofisiologi
nociceptive dikenal (misalnya, posttrauma nyeri) memungkinkan untuk rejimen
pengobatan ditingkatkan. Nociceptive gangguan neurologis nyeri sering akut,
lokal, baik dijelaskan, dan lega dengan terapi analgesik konvensional ( misalnya ,
opioid, acetaminophen, nonsteroidal obat anti - inflamasi), sedangkan nyeri
neuropatik sering kronis, kurang dikenali, dan tidak mudah diobati dengan
konvensional analgesik. Penilaian pasien yang tepat juga harus mencakup
evaluasi manajemen nyeri. Intensitas nyeri, nyeri, dan efek samping obat-obatan
(misalnya, sedasi opioid -induced atau sembelit) harus dikaji dan dinilai ulang
secara teratur. itu waktu dan keteraturan penilaian ini akan tergantung pada jenis
rasa sakit dan obat-obatan diberikan. Dan nyeri pasca operasi eksaserbasi akut
nyeri kanker mungkin perlu dikaji setiap jam, sedangkan nyeri nonmalignant
kronis mungkin hanya perlu penilaian sehari-hari. Kualitas hidup juga harus
dinilai secara teratur dalam semua pasien .
Klinisi harus ingat, bagaimanapun, bahwa nyeri selalu subjektif.
Pengamatan Tujuan meringis, pincang, atau tachycardia dapat membantu dalam
menilai pasien, tetapi tanda-tanda ini sering absen pada pasien dengan nyeri
kronis yang disebabkan oleh lesi struktural. Tidak neurofisiologis atau tes kimia
dapat mengukur rasa sakit. Dokter harus menerima laporan pasien nyeri.
PENGOBATAN : NYERI AKUT DAN KRONIS
Nyeri akut mungkin peringatan prosesindivid fisiologis yang berguna di
daerah penyakit dan situasi yang berpotensi membahayakan. Sayangnya,
parah, tidak henti-hentinya, undertreated, nyeri akut, ketika outlives biologisnya
kegunaan, dapat menghasilkan banyak efek buruk (misalnya, psikologis
masalah). Ketika nyeri akut tidak diobati secara efektif, stres dan reaksi refleks
bersamaan sering menimbulkan hipoksia, hiperkapnia, hipertensi, aktivitas
jantung yang berlebihan, dan kesulitan emosional.
Dalam kondisi normal, nyeri akut cepat mereda. Proses penyembuhan
mengurangi produksi rangsangan nyeri, namun dalam beberapa kasus, nyeri
berlangsung selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, yang mengarah ke
bagian nyeri kronis dengan fitur cukup berbeda dengan nyeri akut (Tabel 58-3).
Nyeri kronis dapat dibagi menjadi empat subtipe: rasa sakit yang berlangsung di
luar waktu penyembuhan normal untuk cedera akut, nyeri berhubungan untuk
penyakit kronis, nyeri tanpa sebab identifikasi organik, dan rasa sakit yang

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
7

melibatkan kedua rasa sakit kronis dan akut berhubungan dengan kanker.
Pasien sakit kronis dapat menambah parah masalah psikologis yang disebabkan
oleh rasa takut dan memori rasa sakit masa lalu. Selain itu, pasien sakit kronis
dapat menambah ketergantungan dan toleransi terhadap analgesik, mengalami
kesulitan tidur, dan bereaksi lebih mudah ke lingkungan perubahan yang dapat
meningkatkan respon nyeri. Bagian kusus antara sakit kronis dan akut sangat
penting karena teknik manajemen yang berbeda. Cara yang jelas untuk
menghilangkan rasa sakit adalah dengan menghilangkan penyebab yang dasar.
Hal ini sering tidak mungkin, namun, dan biasanya mengurangi gejala-gejala

diindikasikan. Intervensi terapi termasuk pengobatan farmakologis, terapi


stimulasi, dan terapi psikologis.
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Terapi Stimulasi
Stimulasi saraf transkutan listrik (TENS) telah menunjukkan moderat
Keberhasilan dalam mengelola bedah, trauma, dan oral-wajah pain. Meskipun
efek samping opioid tentu bisa dicegah, teknik ini belum diterima luas untuk nyeri
akut.
Intervensi Psikologis
Meskipun kognitif, aspek perilaku, dan sosial nyeri mapan, teknik
psikologis untuk pengobatan akut nyeri tidak dipekerjakan secara luas. Intervensi
sederhana (misalnya, pengantar informasi tentang sensasi yang akan terjadi
setelah prosedur tertentu) mengurangi tekanan pasien dan sangat mengurangi
pascaprosedur suffering. Teknik psikologis sukses lainnya termasuk pelatihan
relaksasi, citra, dan hypnosis.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
8

PENGOBATAN FARMAKOLOGI
Agen Nonopioid
Analgesia harus dimulai dengan agen analgesik yang paling efektif
memiliki efek samping paling sedikit . Acetaminophen , asam asetilsalisilat (
aspirin ) , dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs ( NSAID ) sering lebih disukai
daripada opiat dalam pengobatan akut ringan sampai sedang nyeri (Tabel 58-4
dan 58-5 ) . Obat-obatan (dengan pengecualian acetaminophen) mencegah
pembentukan prostaglandin yang diproduksi di respon terhadap rangsangan
berbahaya , sehingga mengurangi jumlah sakit impuls yang diterima oleh CNS.
Hasil Terapi juga kurang dari yang diinginkan pada mereka yang tidak
mengharapkan analgesik " ringan " untuk meringankan nyeri . Studi
membandingkan kemanjuran agen ini telah tidak konsisten .
Oleh karena itu , pilihan agen tertentu sering tergantung pada ketersediaan,
biaya , farmakokinetik , farmakologis karakteristik ( lihat Tabel 58-4 dan 58-5 ),
dan profil efek samping (Tabel 58-6) . Perlu dicatat bahwa semua NSAID
memiliki efek analgesik , namun hanya mereka yang disetujui oleh Food and
Drug Administration ( FDA ) untuk pengobatan rasa sakit atau dismenore primer
dibandingkan dalam tabel . Tampaknya ada banyak interpatient variabilitas
dalam respon terapi terhadap NSAID . setelah percobaan obat yang memadai
dari setiap agen , itu dianggap terapi rasional untuk beralih ke anggota lain dari
kelompok
obat
ini
untuk
tambahan
masa
percobaan
.

Agen Opioid
Kebanyakan dokter mempertimbangkan penggunaan opioid menjadi
langkah logis berikutnya dalam pengelolaan nyeri akut . Klasifikasi agen ini ,
dosis equianalgesic mereka, dan pedoman dosis diuraikan dalam Tabel 58-7 dan
58-8 .
Kegiatan farmakologis opioid tergantung pada afinitas mereka untuk opiat
receptors. Kegiatan Terapi dan efek samping berbagai dari yang dipamerkan
oleh agonis opiat (misalnya, morfin) kepada mereka dilihat dengan antagonis

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

18
9

opiat (misalnya, nalokson) . Agonis parsial dan antagonis (misalnya ,


pentazocine) bersaing dengan agonis untuk reseptor opiat situs dan , tergantung
pada agonis melekat dan antagonis properti, pameran campuran aktivitas agonis
- antagonis. Campuran agonistantagonist agen dengan aktivitas analgesik
muncul untuk menunjukkan selektivitas untuk analgesik reseptor sites. Ini dapat
menyebabkan analgesia dengan lebih sedikit
Efek samping yang tidak diinginkan. Efek dari analgesik opioid relatif
selektif , dan pada konsentrasi terapi normal, agen ini tidak mempengaruhi
lainnya modalitas sensorik, seperti sensitivitas terhadap sentuhan, penglihatan,
pendengaran atau ; Namun , dengan meningkatnya dosis, begitu juga efek
samping yang tidak diinginkan ( lihat Tabel 58-9 ) . Pasien dalam sakit parah
mungkin menerima dosis yang sangat tinggi opioid tanpa efek samping yang
tidak diinginkan , tetapi sebagai nyeri mereda , mereka mungkin tidak mentolerir
doses. Bahkan sangat rendah Sering , ketika opioid diberikan , nyeri tidak
dihilangkan , tapi ketidaknyamanan adalah decreased. Pasien melaporkan
bahwa meskipun rasa sakit mereka masih hadir, tidak lagi mengganggu mereka .
Opioid berbagi terkait atribut farmakologis dan mengerahkan mendalam
efek pada SSP dan gastrointestinal tract.27 Perubahan mood , sedasi, depresi
pernafasan , mual , muntah, penurunan gastrointestinal motilitas ,
ketergantungan, dan toleransi yang jelas dalam berbagai derajat dengan semua
agen . Pertimbangan efikasi dan profil efek samping membantu dalam pemilihan
agen yang paling sesuai.
Rute pemberian tergantung pada kebutuhan masing-masing pasien .
Dengan analgesik oral, onset biasanya memakan waktu sekitar 45 menit ,
sedangkan efek puncak biasanya terjadi 1 sampai 2 jam setelah
administration. Keterlambatan ini harus menjadi pertimbangan saat langsung
diperlukan . Opioid sangat berbeda dalam dosis equianalgesic , seperti yang
terlihat pada Tabel 58-7 , yang harus digunakan hanya sebagai panduan karena
sifat nyeri membuat perlu untuk individualize rejimen nyeri .
Alergi opioid Benar jarang terjadi, tetapi Tabel 58-7 juga dapat digunakan
ketika mengobati pasien yang alergi terhadap opiat . Meskipun hati-hati selalu
disarankan , penurunan potensial sensitivitas silang ada ketika bergerak dari satu
kelas opioid yang lain . Kelas-kelas yang morfin -seperti agonis , meperidine
seperti agonis , dan metadon seperti agonis . ketika mempertimbangkan
sensitivitas silang , campuran agonis - antagonis kelas bertindak mirip dengan
morfin seperti agonists.
Pada tahap awal nyeri akut , analgesik harus diberikan sekitar jam . Ini
harus dimulai setelah pemberian khas dosis awal dan titrasi naik atau turun
tergantung pada pasien tingkat rasa sakit dan efek samping menunjukkan
(misalnya , obat penenang ) . Jadwal sebagai dibutuhkan sering menghasilkan
ayunan lebar dalam plasma analgesik konsentrasi yang menciptakan perubahan
luas dalam rasa sakit dan obat penenang . ini dapat memulai lingkaran setan di
mana peningkatan jumlah obat sakit diperlukan untuk bantuan . Sebagai reda
negara menyakitkan dan jadwal kebutuhan obat menurun , namun, sebagai
dibutuhkan dapat digunakan . Metode intravena dan subkutan terus menerus dari
opioidinfus yang efektif dalam beberapa nyeri pasca operasi , namun probabilitas
efek samping yang tidak diinginkan adalah high. Sebuah metode alternatif yang
menonjol telah memperoleh adalah analgesia yang dikontrol oleh pasien ( PCA )

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
0

. dengan teknik ini , pasien dapat menghitung sendiri mengelola jumlah preset
intravena opioid melalui pompa suntik elektronik dihubungkan dengan alat
pengatur waktu . Menggunakan prosedur ini , pasien keseimbangan kontrol nyeri
dengan sedasi .
Administrasi opiat langsung ke theCNS (yaitu, epidural dan intratekal /
subarachnoid rute) telah menjanjikan cukup besar dalam

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
1

kontrol nyeri akut ( lihat Tabel 58-10 ) dan umum di kedua lembaga-lembaga
besar dan kecil di seluruh Amerika Serikat . karena laporan sedasi ditandai,
depresi pernafasan, pruritus, mual, muntah, retensi urin, dan hipotensi, metodemetode analgesia membutuhkan pemantauan hati-hati dan sebaiknya digunakan
oleh berpengalaman praktisi. Depresi pernafasan menjadi perhatian dan dapat
terjadi dalam setengah jam pertama atau bermanifestasi sebagai akhir 12 jam
setelah dosis tunggal epidural morphine. Nalokson digunakan untuk memusuhi
efek ini, tetapi terus-menerus infus mungkin required. Analgesia dan efek
samping yang jelas pada dosis yang lebih rendah ketika opioid diberikan
intrathecally bukan epidural. Intrathecally, morfin tunggal dosis 0.1 sampai 0.3
mg yang umum, sedangkan epidural, dosis 1 sampai 6 mg adalah normal. ini
opioid intratekal dan epidural sering diberikan pada terus - infus dan / atau
pasien sepengendali dasar , dan ketika diberikan bersamaan dengan intratekal
atau epidural lokal anestesi seperti bupivakain , mereka telah terbukti aman dan
effective. Semua agen diberikan langsung ke SSP harus bebas pengawet .
Morfin dan congeners . Meskipun ketersediaan beberapa agen baru ,
morfin masih prototipe candu analgesik . sebagai senyawa opioid dan nonopioid
baru dikembangkan , keberhasilan mereka dan profil efek samping dibandingkan
terhadap morfin sebagai standar .
Banyak dokter menganggap morfin agen lini pertama saat mengobati
nyeri sedang sampai berat . Morfin dapat diberikan secara parenteral , secara
lisan , atau melalui dubur.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
2

SSP efek morfin banyak . Melalui stimulasi langsung dari zona pemicu
kemoreseptor , morfin menyebabkan mual dan vomiting. Opioid -induced mual
paling sering diamati setelah dosis awal dan sering reda dengan berikutnya
doses. Meskipun euforia dan dysphoria telah dilaporkan , morfin menyenangkan
efek yang lebih menonjol ketika diberikan kepada mereka yang tidak mengalami
pain. Sebagai dosis morfin meningkat , pernapasan pusat menjadi kurang
responsif terhadap karbon dioksida , sehingga progresif depresi pernafasan .
Efek ini kurang diucapkan pada mereka dirawat karena sakit parah.
Depresi pernapasan sering bermanifestasi sebagai penurunan laju pernapasan (
meskipun volumenya menit dan pasang surut Volume juga dipengaruhi ) dan
diperparah karena refleks batuk juga tertekan. Morfin-induced depresi
pernapasan dapat dibalik dengan antagonists.Opioid murni Pada pasien dengan
mendasari disfungsi paru , hati-hati harus digunakan ketika menggunakan morfin
atau opioid terkait . Meskipun pasien ini mungkin akan berfungsi normal, mereka
sudah menggunakan pernapasan kompensasi mekanisme dan beresiko untuk
pernapasan lanjut compromise. Perhatian juga mendesak bila menggunakan
analgesik opiat dengan alkohol atau SSP lainnya depresan. Kombinasi ini
memperkuat depresi SSP dan berpotensi berbahaya dan mungkin mematikan .

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
3

Dosis terapi morfin memiliki efek minimal terhadap darah tekanan, laju
jantung, atau irama jantung ketika pasien terlentang ; Namun , morfin tidak
menghasilkan vena dan dilatasi pembuluh arteriol , dan hipotensi ortostatik dapat
menyebabkan . pasien hipovolemik lebih rentan terhadap morfin - diinduksi
perubahan kardiovaskular ( misalnya , penurunan tekanan darah ) . Karena
morfin meminta sebuah penurunan kebutuhan oksigen miokard pada pasien
jantung iskemik ,sering dianggap sebagai obat pilihan bila menggunakan opioid
untuk mengobati rasa sakit yang terkait dengan infark miokard.
Morfin mengurangi kontraksi pendorong dari gastrointestinal sekresi
saluran , dan empedu dan pankreas reduced. Hasil akhirnya , terutama ketika
morfin diberikan selama diperpanjang periode waktu , adalah sembelit . Morfin induced kejang sphincter Oddi telah observed. Namun, signifikansi klinis kejadian
seperti itu harus dinilai secara individual . Meskipun efek morfin pada kandung
kemih bervariasi , kemih retensi dapat menjadi masalah , toleransi berkembang
untuk efek ini lebih time. Morfin diinduksi pelepasan histamin sering
bermanifestasi sebagai pruritus , dan meskipun tidak terlihat sering , mungkin
memperburuk bronkospasme pada pasien dengan riwayat asthma. dosis Terapi
morfin lakukan tidak langsung mempengaruhi sirkulasi serebral , tetapi obat induced pernapasan depresi dapat meningkatkan tekanan intrakranial . Jadi hatihati disarankan pada pasien trauma kepala yang tidak berventilasi karena morfin
dapat membesar-besarkan pressure ini sementara mengaburkan pemeriksaan
neurologis hasil.
Hydromorphone lebih potensial, memiliki karakteristik penyerapan lisan
yang lebih baik,
dan lebih larut dari morfin, tetapi secara keseluruhan
farmakologis paralel profil yang morfin. Sebuah hydromorphone berkelanjutanrelease Produk baru-baru ini menjadi tersedia. Oxymorphone bisa diberikan
rektal dan melalui suntikan. Meskipun lebih kuat dari morfin, tidak menawarkan
farmakologis keuntungan nyata. Levorphanol memiliki paruh diperpanjang, tetapi
efek terapeutik keseluruhan mirip dengan morfin.
Kodein merupakan analgesik yang efektif dalam pengobatan ringan
sampai nyeri sedang. Hal ini sering dikombinasikan dengan produk lain dan
analgesik menikmati popularitas yang membuat standar untuk opioid mulut
lainnya.
Sayangnya, kodein memiliki kecenderungan yang sama untuk
menghasilkan toleransi,
ketergantungan, dan sembelit sebagai morfin.
Hydrocodone, derivatif kodein, juga terlihat paling sering pada produk kombinasi
dan memiliki farmakologis sifat mirip dengan morfin. Oksikodon memiliki potensi
yang sama dengan morfin dan analgesik lisan baik untuk nyeri sedang sampai
berat. Hal ini terutama terjadi ketika produk digunakan dalam kombinasi dengan
nonopioids, namun kecenderungan yang untuk menyebabkan toleransi dan
ketergantungan, bersama dengan opioid dasar karakteristik, menyamakan
dengan morfin. Perlu dicatat bahwa lepas lambat oksikodon juga tersedia.
Meperidin dan congeners (Phenylpiperidines). Prototipe phenylpiperidine,
meperidine, memiliki profil farmakologis yang sebanding dengan morfin, namun
tidak begitu kuat dan memiliki durasi analgesik pendek. Hal ini membutuhkan
dosis yang lebih besar yang sering
harus diberikan lebih sering untuk
menghilangkan rasa sakit yang memuaskan. Meskipun meperidin efektif secara
oral, dosis yang lebih besar harus

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
4

diberikan untuk mencapai efek yang sama seperti yang diperoleh dengan
parenteral bentuk ( Tabel 58-7 ) . Dengan dosis tinggi atau pada pasien dengan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
5

gagal ginjal , yang normeperidine metabolit terakumulasi , menyebabkan


rangsangan CNS , dimanifestasikan sebagai tremor , otot berkedut , dan
mungkin seizures. Kombinasi inhibitor monoamine oxidase dan meperidin harus
tidak digunakan karena campuran ini dapat menghasilkan depresi pernafasan
parah atau eksitasi , delirium , hiperpireksia , dan convulsions. Dalam pengaturan
yang paling klinis, meperidin tidak menawarkan keuntungan nyata atas morfin
dan sebagian besar digantikan oleh opioid lainnya .
Fentanyl adalah opioid sintetik struktural berhubungan dengan
meperidine dan sering digunakan dalam anestesiologi sebagai tambahan untuk
umum anesthesia. Agen ini lebih kuat dan akting lebih pendek dari meperidin (
lihat Tabel 58-7 dan 58-11 ) . Fentanil transdermal juga tersedia untuk
pengobatan nyeri kronis pada pasien yang membutuhkan opioid analgesik . Satu
patch bisa memberikan dukungan analgesik selama 72 jam , namun dibutuhkan
12 sampai 24 jam untuk mendapatkan efek analgesik optimal setelah patch
adalah diterapkan . Selain itu, mungkin diperlukan waktu 6 hari setelah
peningkatan dosis sebelum tingkat kondisi mapan baru tercapai . Jadi patch
seharusnya tidak digunakan pada pasien dengan pain. Akut permen fentanil
pada tongkat adalah tersedia untuk pengobatan kanker terobosan pain.
Metadon dan congeners . Metadon telah memperoleh cukup popularitas
karena keberhasilan lisan , diperpanjang durasi tindakan , dan kemampuan untuk
menekan gejala penarikan pada pecandu dengan heroin.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
6

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
7

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
8

diulang dosis , durasi analgesik tindakan berkepanjangan , dan sedasi berlebihan


juga dapat menyebabkan . Meskipun metadon efektif dalam nyeri akut , biasanya
digunakan untuk mengobati nyeri kronis . The farmakologis Profil menyerupai
morfin . Namun , sifat yang unik untuk metadon bila dibandingkan dengan opioid
lain termasuk d - isomer yang kemampuan untuk memusuhi reseptor NMDA dan
memblokir reuptake 7 serotonin dan norepinephrine.35 - 37 Properti ini dapat
membuktikan berguna dalam pengobatan nyeri neuropatik . Bertentangan
dengan sebelumnya pemikiran, equianalgesic dosis metadon bila dibandingkan
dengan opioid lain akan menurun secara progresif semakin tinggi opioid
sebelumnya penggunaan memiliki been.
KONTROVERSI KLINIS
Beberapa dokter percaya bahwa metadon harus diadili sebelum opioid
lain dalam banyak kondisi sakit kronis di mana opioid dibenarkan karena mereka
percaya bahwa neuropatik nyeri sering hadir , sedangkan yang lain percaya
bahwa sustainedreleased morfin dan oxycodone adalah pilihan pertama lebih
baik .

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

19
9

Propoxyphene biasanya digunakan dalam kombinasi dengan asetaminofen


dalam pengobatan nyeri sedang . Profil toksisitas propoxyphene mirip dengan
kodein .
Opioid Agonis Antagonis Derivatis
Agen analgesik yang merangsang bagian analgesik reseptor opioid sementara
memblokir atau tidak memiliki efek pada bagian toksisitas akan dianggap ideal.
Para derivatif agonis - antagonis dikembangkan dengan ini dalam pikiran . Kelas
analgesik menghasilkan analgesia dan memiliki efek langit-langit pada
pernapasan depression. Agen ini juga memiliki potensi penyalahgunaan rendah
daripada morfin , tetapi tanggapan psychotomimetic ( misalnya , halusinasi dan
dysphoria , seperti yang terlihat dengan pentazocine ) , langit-langit efek
analgesik , dan kecenderungan untuk memulai penarikan opioiddependent
populations telah berkurang klinis luas mereka gunakan.
Antagonis Opioid
Murni opioid antagonis nalokson mengikat kompetitif untuk opioid reseptor tetapi
tidak menghasilkan respon efek samping analgesik atau opioid . Oleh karena itu,
yang paling sering digunakan untuk membalikkan efek racun dari agonis - agonis
dan antagonis opioid yang diturunkan.
Pusat Analgesik
Tramadol memiliki dua mode dasar tindakan : mu opiat mengikat reseptor dan
penghambatan norepinefrin dan serotonin reuptake . Hal ini diindikasikan untuk
menghilangkan sedang sampai agak parah pain.
Meskipun dikaitkan dengan depresi pernapasan kurang dari morfin pada
dosis yang direkomendasikan , tramadol memiliki profil efek samping yang dalam

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
0

beberapa hal mirip dengan yang disebutkan sebelumnya opioid analgesik


(misalnya , pusing , euforia , halusinasi , disfungsi kognitif , dan sembelit ).
Tramadol saja dapat meningkatkan risiko kejang . Selain itu, seiring
dengan penggunaan serotonin reuptake inhibitor , opioid , antidepresan trisiklik ,
inhibitor monoamine oxidase , neuroleptik , atau obat lain yang dapat
mengurangi ambang kejang dan digunakan pada pasien dengan gangguan
kejang dapat meningkatkan risiko seizures.
Tramadol mungkin memiliki tempat dalam mengobati pasien dengan
kronis nyeri , terutama dari origin. Neuropatik Namun , agen ini memiliki sedikit
keuntungan atas analgesik opioid disebutkan sebelumnya ketika merawat pasien
untuk nyeri akut .
Terapi Kombinasi
Kombinasi analgesik opioid lisan dan nonopioid sering menghasilkan analgesia
unggul yang diproduksi oleh salah satu agen alone. Menyerang nyeri pada dua
front , prostaglandin dan reseptor opiat , meningkatkan nyeri dan memfasilitasi
penggunaan dosis rendah setiap agen .
Hal ini sering menghasilkan profil efek samping yang lebih
menguntungkan dan alasan ada begitu banyak aspirin dan / atau acetaminophen
opioid produk kombinasi analgesik di pasar . Pasien harus memperingatkan ,
Namun, ketika produk kombinasi digunakan untuk menyadari banyak persiapan
over-the -counter yang mengandung acetaminophen atau aspirin agar tidak
melebihi dosis yang aman dari agen-agen . penambahan dari NSAID suntik (
ketorolac ) membuat kombinasi ini mungkin juga pada pasien yang tidak dapat
mengambil obat oral . dokter seharusnya tidak dibatasi oleh ketersediaan
komersial didirikan kombinasi fixed- ratio . Misalnya, pemberian NSAID dalam
kombinasi dengan rejimen opioid dijadwalkan seringkali sangat efektif dalam
pengobatan sakit akibat metastase tulang dalam lanjutan cancer.
Agen terbukti mempotensiasi kemanjuran analgesik parenteral opioid
termasuk hydroxyzine dan dextroamphetamine.Prometazin dan klorpromazin ,
pernah dianggap memiliki potentiating ini properti , rupanya tidak memberikan
analgesik yang melekat atau potentiating karakteristik bila dikombinasikan
dengan narkotika , meskipun tidak diinginkan sedasi mungkin increased.
Methotrimeprazine , fenotiazin sebuah derivatif , tidak menginduksi analgesia
tetapi juga menghasilkan sedasi, ortostatik hipotensi , dan pusing.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
1

Daerah Analgesia
Anestesi regional dengan diadministrasikan dengan baik anestesi lokal
dapat memberikan bantuan dari pain31 akut dan kronis ( Tabel 58-12 ) . ini agen
dapat diposisikan dengan suntikan ( misalnya , di sendi , di epidural atau ruang
intratekal , bersama akar saraf , atau dalam pleksus saraf) atau topikal . Anestesi
Regional meredakan nyeri dengan memblokir transmisi nociceptive dan
mengganggu simpatik reflexes. Kelarutan lemak mereka , pKa , persentase un terionisasi obat , konsentrasi obat , vasodilator perilaku , dan jumlah
vasokonstriktor ( umumnya epinefrin ) digunakan bersamaan menentukan
mekanisme action. Tinggi konsentrasi plasma dapat menyebabkan tanda-tanda
SSP eksitasi dan depresi , termasuk pusing, tinnitus , mengantuk , disorientasi ,
otot, kejang , dan pernapasan arrest. Kardiovaskular Efek termasuk depresi
miokard , hipotensi , penurunan jantung output, blok jantung , bradikardia ,
aritmia ventrikel , dan jantung arrest. Kekurangan metode tersebut termasuk
kebutuhan untuk aplikasi teknis terampil , kebutuhan untuk administrasi sering,
dan sangat khusus prosedur tindak lanjut .

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
2

MANAJEMEN NYERI KRONIS


NYERI KANKER
Mengelola rasa sakit penyakit ganas mencakup baik akut dan teknik
manajemen kronis. Oleh karena itu pengobatan farmakologis dan terapi
psikologis sebaiknya dikombinasikan dengan bedah metode, prosedur anestesi ,
dan langkah-langkah perawatan suportif dalam pendekatan multidisiplin terhadap
rasa sakit relief. Tujuannya adalah untuk menyediakan pasiendengan cukup
ameliorasi sakit untuk mentolerir diagnostik dan terapeutik manipulasi dan
memungkinkan mereka untuk berfungsi pada tingkat yang akan memungkinkan
kebebasan bergerak dan choice. Sayangnya , nomor penderita kanker
mengalami nyeri yang signifikan needlessly. Hambatan untuk manajemen nyeri
yang efektif pada populasi ini diuraikan dalam
Tabel 58-13 . Sebuah penghalang yang secara konsisten menyebabkan
dokter untuk salah menilai dan menganiaya nyeri adalah kesalahpahaman
toleransi opioid , fisik ketergantungan , kecanduan , dan pseudoaddiction . "
Toleransi adalah berkurangnya efek obat dari waktu ke waktu sebagai
konsekuensi dari paparan obat . " Ini berkembang pada tingkat yang berbeda
dan dengan pasien yang luar biasa variasi . Namun, dengan penyakit stabil ,
penggunaan opioid seringkali menjadi stabil , dan toleransi tidak menyebabkan
addiction. " Ketergantungan fisik adalah efek farmakologis obat didefinisikan oleh
terjadinya suatu pantang sindrom setelah pemberian obat antagonis

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
3

atau pengurangan dosis atau pemberhentian mendadak . " Dokter harus


memahami bahwa ketergantungan fisik dan toleransi tidak setara kecanduan ,
dan meskipun dengan penggunaan opioid kronis, mereka cenderung
mengembangkan, risiko mengembangkan kecanduan sangat kecil dan tidak
boleh menjadi perhatian ketika merawat kanker pain. " Ketergantungan adalah
yang terbaik didefinisikan sebagai pola perilaku ditandai sebagai kehilangan
kontrol atas penggunaan narkoba , penggunaan kompulsif obat, dan terus
menggunakan obat meskipun bahaya . "Ketika opioid yang digunakan , perilaku
ini harus dievaluasi terus menerus , tapi hati-hati dianjurkan bila menggunakan
istilah kecanduan karena banyak konotasi negatif , yang dapat menyebabkan
berbahaya Hubungan dokter - pasien dan nyeri tidak efektif control. Dalam
Selain itu, dokter harus menyadari bahwa perilaku individu dapat menunjukkan
kecanduan , padahal perilaku dicatat adalah refleksi nyeri tak henti-hentinya atau
pseudoaddiction. Assessment faktor dijelaskan pada Tabel 58-2 juga berlaku
untuk pasien kanker . perhatian khusus harus diberikan penilaian ulang terusmenerus negara menyakitkan, dan individualisasi terapi selalu required.
Pengobatan Nonfarmakologis
Psikologis dan pendukung Care. Sebelumnya disebutkan psikologi teknik
(misalnya, latihan relaksasi, gambaran mental dikendalikan) sangat membantu
dalam mengurangi rasa sakit yang dialami dalam ganas disease dan terbukti
sangat berguna dalam hubungannya dengan farmakologis terapi. Perawatan
yang mendukung, di dalam dan di luar rumah sakit, menggunakan program
seperti sebagai rumah sakit adalah salah satu sekutu pasien kanker terbesar

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
4

tidak hanya di mengatasi nyeri tetapi juga dalam menerima penyakit. Dampak
positif ini pada pasien tidak dapat dilebih-lebihkan.
Pengobatan Farmakologis
Manajemen farmakologis merupakan terapi utama, dan khas
perkembangan penggunaan analgesik diuraikan pada Gambar. 58-3. Tujuan
adalah untuk mencegah pasien dari mengalami fluktuasi konstan 5 antara sakit
parah dan nyeri. Ini paling baik dilakukan oleh jadwal administrasi sekitar-theclock yang menghambat analgesik serum konsentrasi dari jatuh di bawah titik di
mana pasien mengalami penderitaan sakit. Seperti dibutuhkan (prn) jadwal
harus menjadi dipekerjakan dalam hubungannya dengan rejimen sekitar-theclock dan digunakan ketika pasien mengalami nyeri terobosan. Sekali lagi, agen
nonopioid

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
5

digunakan sebagai agen lini pertama , dengan NSAID yang sangat efektif dalam
mengobati tulang pain. Nyeri tulang juga dapat diobati dengan radiofarmasi .
Kedua strontium - dan samarium SM 153 lexidronam telah terbukti memberikan
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
6

rasa sakit relief. Pemilihan opiat harus didasarkan pada penerimaan pasien ,
efektivitas analgesik , dan farmakokinetik , farmakodinamik , dan profil efek
samping . banyak dokter telah menemukan morfin aman dan efektif bila diberikan
melalui rute oral ( berkelanjutan -release , cair , dan rilis cepat) , subkutan rute,
rektal , infus intravena terus menerus , patientcontrolled intravena rute, dan
epidural atau intratekal route.
Baru-baru ini , metadon telah kembali menonjol dalam mengobati kanker
pain. Ia memiliki mekanisme berkepanjangan tindakan , baik lisan penyerapan ,
aktivitas antagonis reseptor NMDA (d - isomer ) , dan murah. Namun , tak
terduga paruh telah membuat sulit untuk titrasi . Selain itu, ketika beralih ke
metadon dari opioid lain , dosis yang digunakan opioid awal akan sangat
mempengaruhi equianalgesic dosis yang dibutuhkan . Secara umum, semakin
tinggi dosis opioid sebelumnya , yang rendah adalah diperlukan dosis
methadone. Metadon dapat digunakan awalnya , sebagai alternatif , atau di
samping opioid lain ketika mengelola nyeri kanker . Epidural clonidine juga efektif
dengan epidural analgesik opioid diberikan untuk pengobatan refraktori pain. The
fentanyl patch yang dapat memberikan alternatif dosis lebih nyaman pada pasien
yang memakai rejimen yang stabil . Meperidine tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang karena durasi yang relatif singkat tindakan dan SSP
hyperirritability dari normeperidine , salah satu dari metabolites.
obat
antikonvulsan dan antidepresan trisiklik telah terbukti efektif dalam nyeri
neuropatik dari origin. Antihistamin , amfetamin , dan steroid digunakan sebagai
adjuvant nyeri medications. Namun , mereka telah menikmati keberhasilan yang
terbatas hanya sebagai penghilang rasa sakit . Prosedur anestesi telah terbukti
sukses dalam mengurangi rasa sakit namun memerlukan keahlian khusus dan
biasanya disediakan untuk pasien yang refrakter terhadap konvensional
analgesik routes.
NYERI KRONIS NONMALIGNANT
Berbagai etiologi yang menghasilkan kronis nonmalignant nyeri membuat
kompleks pengobatan, dan manajemen yang mengasumsikan aspek multidisiplin
. Sebagai nyeri menjadi bertahap lebih kronis, kehilangan banyak karakteristik
otonom jelas dalam tahap akut , dan gejala tambahan seperti depresi , gangguan
tidur , kecemasan , iritabilitas , masalah pekerjaan , dan keluarga ketidakstabilan
cenderung mendominasi . Pasien tidak boleh mengatakan bahwa rasa sakit yang
mereka rasakan adalah " Psikosomatik " atau di kepala mereka. Dalam
kebanyakan kasus , etiologi tidak seperti penting karena mengurangi gejalagejala.
Tujuan evaluasi mencakup penetapan diagnosis yang akurat ,
mengidentifikasi faktor iatrogenik , memperoleh penilaian kejiwaan dan
psikososial yang komprehensif , membayar perhatian khusus untuk masalah
keluarga dan sosial , dan mendapatkan deskripsi faktor yang meringankan atau
memperburuk pain. Mengingat tujuan tersebut, plasebo yang tidak boleh
digunakan untuk mendiagnosa pain. Pendekatan farmakologis untuk perawatan
pasien tidak berbeda dari yang telah dijelaskan sebelumnya , namun nyeri
neuropatik mungkin memerlukan obat biasanya tidak dianggap sebagai
analgesik . Topikal diterapkan capsaicin ( yang menghabiskannya saraf
substansi P ) , trisiklik antidepresan ( yang menghambat reuptake serotonin dan
norepinefrin , sehingga meningkatkan penghambatan nyeri ) , antikonvulsan (
misalnya , gabapentin , yang dapat menurunkan rangsangan saraf ) , dan NMDA
antagonis reseptor ( misalnya , dekstrometorfan , yang dapat meningkatkan
keefektifan opioid dan mengurangi rangsangan saraf ) semua telah efektif dalam
mengelola neuropatik pain. Selain itu , penting ingat bahwa pasien sakit kronis

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
7

sering menerima banyak farmakologis rejimen . Menambahkan analgesik


tradisional lain ( misalnya , opioid ) terhadap terapi mereka dapat
mempromosikan ketergantungan dan tidak membaik kontrol nyeri . Lainnya
terapi non farmakologis (misalnya , tulang belakang stimulasi saraf ) atau teknik
psikologis mungkin terbukti lebih sukses. Namun demikian, banyak kali
percobaan opioid dibenarkan , namun uji coba tersebut tidak harus dilakukan
tanpa penilaian lengkap dari nyeri complaint. Sejak metadon (d - isomer )
antagonizes Reseptor NMDA dan blok reuptake serotonin dan norepinefrin , itu
mungkin berguna pada pasien dengan neuropati komponen rasa sakit mereka.
Dalam semua kasus , pendekatan, sistematis terpadu sering disediakan oleh
klinik nyeri , dengan penekanan kuat pada hubungan pasien - dokter , sangat
penting . Tujuannya adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan tingkat
pasien berfungsi , menurunkan tingkat kerusakan fisik , penurunan persepsi nyeri
, meningkatkan pasien rasa kesejahteraan , meningkatkan hubungan keluarga
dan sosial , dan mengurangi ketergantungan pada obat therapy. Pasien dan
dokter harus menyadari bahwa pengobatan maksimum yang efektif dapat
mengambil bulan atau bahkan tahun .
KONTROVERSI KLINIS
Banyak dokter percaya bahwa beberapa kondisi yang menyakitkan kronis
(misalnya , osteoarthritis ) tidak boleh diobati dengan opioid , sedangkan yang
lain merasa bahwa ketika modalitas lain tidak efektif atau tampaknya
menimbulkan lebih risiko untuk pasien tertentu daripada terapi konvensional
(misalnya , NSAIDs) , maka opioid diperlukan .
Beberapa praktisi merasa bahwa rasa sakit kronis jangka seharusnya
tidak pernah digunakan karena hal ini terkait dengan citra negatif ( misalnya ,
drugseeking perilaku , berpura-pura sakit , masalah kejiwaan ) . Mereka merasa
bahwa hal ini terutama berlaku pada orang tua dan bahwa jenis nyeri harus
disebut sebagai persisten pain.
POPULASI KHUSUS
Orang tua dan muda berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
undertreatment karena kesalahpahaman mengenai patofisiologi mereka nyeri .
Meskipun harus berhati-hati dalam populasi ini untuk memastikan bahwarencana
perawatan individual yang tepat mengikuti pedoman yang diterima , konsepkonsep kunci dalam manajemen nyeri yang dituangkan dalam bab ini adalah
prinsip membimbing dalam kontrol nyeri memaksimalkan .
PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMI
Seseorang tidak dapat terlalu menekankan komponen menderita sakit .
paling dari kita tahu bagaimana rasa sakit yang menghancurkan dapat untuk
kehidupan sehari-hari . cepat bantuan dari rasa sakit akut dan kanker dan
rejimen pengobatan terencana sakit kronis nonmalignant akan memungkinkan
pasien untuk berkonsentrasi pada pemulihan dan mendapatkan kembali kendali
atas kehidupan mereka . Meskipun hanya sedikit welldesigned studi
pharmacoeconomic telah dilakukan , paling dokter nyeri percaya bahwa
pendekatan ini mengarah ke waktu menurun rumah sakit , penurunan waktu jauh
dari pekerjaan , dan peningkatan secara keseluruhan dalam kualitas hidup .
EVALUASI HASIL TERAPEUTIK
Kunci untuk mengobati nyeri secara efektif adalah untuk secara konsisten
memonitor efektivitas ( nyeri ) dibandingkan efek samping ( misalnya , obat
penenang ) dan titrasi pengobatan sesuai ( lihat Tabel 58-8 ) . Dalam nyeri

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
8

akutini sering perlu dilakukan beberapa kali sehari ( pada tahap awal , per jam) ,
sedangkan pada nyeri kronis ini dapat terjadi setiap hari atau bahkan mingguan .
Frekuensi evaluasi juga tergantung pada obat , yang administrasi rute, dan terapi
lain yang digunakan . ketika pasien tidak bisa ditanya tentang rasa sakit mereka (
misalnya , koma ) , pemantauan agitasi dan denyut jantung yang tepat .
Mengingat sifat subjektif dari rasa sakit, terapi yang paling sukses akan
melibatkan tidak hanya sering pasien penilaian tetapi juga gelar besar kontrol
pasien ( seperti dengan PCA ) . Semua opioid dapat menyebabkan sembelit .
Penanganan terbaik sembelit adalah pencegahan. Pasien harus diberi konseling
pada asupan yang tepat dari cairan dan serat. Pencahar dapat ditambahkan, jika
diperlukan. Seperti disebutkan sebelumnya, SSP depresan (misalnya, alkohol,
benzodiazepin) amplifyCNSdepression bila digunakan dengan analgesik opioid
dan harus dimonitor dan putus asa bila memungkinkan.
KESIM PULAN
Pelatihan Miskin praktisi kesehatan dalam penilaian nyeri dan
manajemen, pendidikan pasien yang tidak tepat, dan komunikasi yang tidak
memadai kalangan profesional perawatan kesehatan adalah beberapa alasan
untuk inade- quate nyeri relief. Penggunaan pendekatan terpadu,
mempekerjakan keahlian dari berbagai disiplin ilmu, mungkin menjadi yang
paling diabaikan prinsip farmakoterapi nyeri. Memang, itu adalah tanggung jawab
dari semua perawatan kesehatan profesional yang berurusan dengan rasa sakit
untuk bekerja sama untuk memastikan pengelolaan yang baik dalam upaya
untuk meringankan penderitaan diobati dan nyeri.

SINGKATAN
SSP: sistem saraf pusat
FDA: Food and Drug Administration
GABA: asam -aminobutyric
IM: intramuskular
IV: intravena
K +: ion kalium
Max: maksimum
NMDA: N-methyl-D-aspartate
NSAID: obat anti-inflamasi
PCA: analgesia pasien yang dikendalikan
PO: lisan
TENS: stimulasi saraf transkutan listrik
REFERENSI

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

20
9

EFERENCES
1. www.river.org\dHawk\keller-quotes.html. Selected quotes from Helen Keller.
David Hawkins Quote Page, 1998; accessed March 6, 2004.
2. Stimmel B. Pain, Analgesia and Addiction: The Pharmacology of Pain New
York, Raven Press, 1983:1, 2, 63, 241245, 259, 266.
3. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO). Pain
Assessment and Management an Organizational Approach. Oakbrook
Terrace, IL, JCAHO, 2000:1.
4. Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomies of pain. In: Loeser JD,Butler
SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management of Pain. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2000:1725.
5. Partners Against Pain News, Vol. 4, No. 3. Norwalk, CT, Purdue PharmaLP,
2000:1.
6. Gallagher RM. Primary care and pain medicine: A community solution to the
public health problem of chronic pain. Med Clin North Am 1999;83:555
583.
7. Desbiens NA, Wu AW, Broste SK, et al. Pain and satisfaction with pain control
in seriously ill hospitalized adults: Findings from the SUPPORT research
investi gations. Crit Care Med 1996;24:19531961.
8. Desbiens NA, Wu AW. Pain and suffering in seriously ill hospitalizedpatients. J
Am Geriatr Soc 2000;48:S183186.
9. Bernabei R, Gambassi G, Lapane K, et al. Management of pain in elderly
patients with cancer. JAMA 1998;279:18771882.
10. Loeser JD, Melzack R. Pain: An overview. Lancet 1999;353:16071609.
11. Pasero C, Paice JA, McCaffery M. Basic mechanisms underlying the causes
and effects of pain. In: McCaffery M, Pasero C, eds. Pain. St. Louis,
Mosby, 1999:1534.
12. Johnson BW. Pain mechanisms: Anatomy, physiology, and neurochemistry.
In: Raj PP, Abrams BM, Hahn MB, et al, eds. Practical Management of
Pain. St. Louis, Mosby, 2000:117143.
13. Byers MR, Bonica JJ. Peripheral pain mechanisms and nociceptor plasticity.
In: Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management
of Pain. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2000:2672.
14. Bennett GJ. Neuropathic pain: New insights, new interventions. Hosp Pract
1998;October:95114.
15. Chabal C. Trancutaneous electrical nerve stimulation. In: Loeser JD, Butler
SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management of Pain. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2000:18421847.
16. Terman GW, Bonica JJ. Spinal mechanisms and their modulation. In: Loeser
JD, Butler SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management of Pain.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2000:73152.
17. Elliott, KJ. Taxonomy and mechanisms of neuropathic pain. Semin Neurol
1994;3:195205.
18. Twycross RG. Pain and analgesics. Curr Med Res Opin 1978;5:497505.
19. Kendall NA, Psychosocial approaches to the prevention of chronic pain: The
low back paradigm. Bailliers Best Pract Res Clin Rheumatol
1999;September 13:54554.
20. Feldner MT, Hekmat H. Perceived control over anxiety-related events as a
predictor of pain behaviors in a cold pressor task. J Behav Ther Exp
Psychiatry. 2001;32:191202.
21. Craig KD. Social modelling influences on pain. In: Sternbach RA, ed. The
Psychology of Pain. New York, Raven Press, 1978:73109.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
0

22. American Pain Society. Principles of Analgesic Use in the Treatment of Acute
Pain and Chronic Cancer Pain, 5th ed. 2003:1, 3, 15, 18, 28, 39.
23. Chapman CR, Bonica JJ. Chronic Pain: Current Concepts. Kalamazoo, MI,
Scope Publications, 1985:4.
24. Clinical Practice Guideline. Acute Pain Management: Operative or Medical
Procedures and Trauma. Publication No. 92-0032, Rockville, MD,
Department of Health and Human Services, Public Health Service,
Agency for Health Care Policy and Research (now called Agency for
Healthcare Research and Quality), 1992.
25. Miyoshi HR, Leckband SG. Systemic opioids and analgesics. In: Loeser JD,
Butler SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management of Pain.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2000:16821709.
26. Gutstein HB, Akil H. Opioid analgesics. In: Hardman JG, Limbird G, eds. The
Pharmacological Basis of Therapeutics. New York, McGraw- Hill,
2001:569619.
27. Reisine T, Pasternak G. Opioid analgesics and antagonists. In: Hardman JG,
Limbird LE, Molinoff PB, et al, eds. The Pharmacological Basis of
Therapeutics. New York, McGraw-Hill, 1995:521555.
28. Baumann TJ. Analgesic selection when the patient is allergic to codeine. Clin
Pharm 1991;10:658.
29. Ready BL. Regional analgesics with intraspinal opioids. In: Loeser JD, Butler
SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management of Pain. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2000:19531966.
30. Littrell RA. Epidural analgesia. Am J Hosp Pharm 1991;48:24602474.
31. Buckley PF. Regional anesthesia with local anesthetics. In: Loeser JD, Butler
SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management of Pain. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2000:18931952.
32. Pasero C, Portenoy RK, McCaffery M. Opioid analgesics. In: McCaffery M,
Pasero C, eds. Pain. St. Louis, Mosby, 1999:161299.
33. Anonymous. American Hospital Formulary Service. In: McVoy GK, ed.Drug
Information. Bethesda, MD, American Society of Hospital Pharmacists
987, 1991, 1994, 1997, 1999, 2001, 2003.
34. Anonymous. Facts and Comparisons. Philadelphia, Lippincott, 1986, 1991,
1994, 1997, 2000, 2003, 2004.
35. Mancini I, Lossignol DA, Body JJ. Opioid switch to oral methadone in cancer
pain. Curr Opin Oncol 2000;12:308313.
36. Codd EE, Shank RP, Schupsky JJ, Raffa RB. Serotonin and norepinephrine
uptake inhibiting activity of centrally acting analgesics: Structural
determinants and role in antinociception. J Pharmacol Exp Ther
1995;274:12631270.
37. Bennett G, Seratini M, Burchiel K, et al. Evidence-based review of the
Literature on intrathecal delivery of pain medication. J Pain Symptom
Manage 2000;20:512536.
38. Package insert. Tramadol. Ortho-McNeil, Raritan, NJ, August 2001.
39. Sindrup SH, Andersen G, Madsen C, et al. Tramadol relieves pain and
allodynia in polyneuropathy:Arandomized, double-blind, controlled trial.
Pain 1999;83:8590.
40. Clinical Practice Guideline No. 9. Management of Cancer Pain. Publication
No. 94-0592, Rockville, MD, Department of Health, Public Health Service,
Agency for Health Care Policy and Research (now called Agency for
Healthcare Research and Quality), 1994.
41. Foley KM. The treatment of cancer pain. N Engl J Med 1985;313: 8495.
42. Pain. Available at cancer.gov; modified 2003:154.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
1

43. Portenoy, RK. Pain specialists and addiction medicine specialists uniteto
address critical issues. American Pain Society Bulletin 1999;March
April:9(2).
44. Sindrup SH, Jensen TS. Efficacy of pharmacologic treatments of
neurophathic pain: An update and effect related to mechanism of drug
action. Pain 1999;83:389400.
45. Nelson KA, Park KM, Robinovitz E, et al. High-dose dextromethorphan
versus placebo in painful diabetic neuropathy. Neurology 1997;48:1212
1218.
46. Semenchuk M. Adjuvant analgesics for management of neuropathic pain. In:
Beizer JL, ed. Clinical Pharmacy Newswatch, Vol. 6. Parke-Davis, 1999:1.
47. The use of opioids for the treatment of chronic pain:Aconsensus statement
from the American Academy of Pain Medicine and American Pain Society.
Approved 1996, American Pain Society Web site: www.ampainsoc.org;
modified September 2003; accessed March 6, 2004.
48. Clinical Practice Guideline, American Geriatrics Society Panel on Persistent
Pain in Older Persons. The management of persistent pain in older
ersons. J Am Geriatr Soc 2002;50:120.
49.American Academy of Pediatrics and American Pain Society.The
assessement and management of acute pain in infants, children
andadolescents. Pediatrics 2001;108:793797.
50. Thomsen AB, Sorensen J, Sjogren P, Eriksen J. Economic evaluation of
multidisciplinary pain management in chronic pain patients: A qualitative
systematic review. J Pain Symptom Manage 2001;22:688698.
51. Varrassi G, Marinageli F, Donatelli F, Beltrutti D. Pharmacoeconomics of pain
management. Curr Pain Headache Rep 1998;2:151156.
52. McCaffery M. Pain management problems and progress. In: McCaffery M,
Pasero C, eds. Pain. St. Louis, Mosby, 1999:114.
53. Bonica JJ, Loeser JD. History of pain concepts and therapies. In: Loeser JD,
Butler SH, Chapman CR, et al, eds. Bonicas Management of Pain.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2000:316.
54. Amadio P. Peripherally acting analgesics. Am J Med 1984;77:1726.
55. Hopkinson JH, Smith MT, Bare WW, et al. Acetaminophen (500 mg) versus
acetaminophen (325 mg) for relief of pain in episiotomy patients. Curr
Ther Res 1974;16:194200.
56. Levy G. Comparative pharmacokinetics of aspirin and acetaminophen. Arch
Intern Med 1981;141:279281.
57. Gaston GW, Mallow RD, Frank JE. Comparison of etodolac, aspirin, and
placebo for pain after oral surgery. Pharmacotherapy 1986;6:199205.
58. Package insert. Diclofenac potassium. Geigy Pharmaceuticals, Ardsley, NJ,
February 1996.
59. Package insert. Valecoxib. G. D. Searle LLC, Caguas, PR, October 2002.
60. Package insert. Ropivicaine. Astra, Westborough, MA, January 1999.
61. Package insert. Celecoxib. Pharmacia/Pfizer, New York, October 2001.
62. Package insert. Extended release hydromorphone capsules. Purdue Pharma
L. P. Stamford, CT, September 2004.

59
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
2

Gangguan Sakit Kepala


Deborah S. King and Katherine C. Herndon
Konsep utama
1. Terapi migrain akut harus diterapi secara konsisten, cepat dan
memungkinkan pasien untuk melanjutkan aktivitas di rumah, sekolah atau
bekerja.
2. Pendekatan perawatan berkelanjutan, di mana awal pengobatan
didasarkan pada rasa sakit kepala yang berhubungan dengan tingkat
keparahan gejala, adalah strategi pengobatan pilihan untuk penderita
migren.
3. Kepatuhan terhadap dosis penggunaan harian dan mingguan maksimum
obat antimigren sangat penting.
4. Terapi pencegahan mempertimbangkan dalam pengaturan pengobatan
migrain berulang yang menghasilkan efek negatif yang signifikan; sering
serangan yang membutuhkan obat simtomatik lebih dari dua kali per
minggu, terapi gejala yang tidak efektif, kontraindikasi , atau
menghasilkan efek samping yang serius dan jarang variasi migrain yang
menyebabkan gangguan mendalam dan / atau risiko cedera neurologis .
5. Pemilihan agen untuk profilaksis migren harus didasarkan pada respon
tiap pasien, toleransi, kenyamanan dari formulasi obat dan kondisi
komorbiditas pasien.
6. Setiap obat profilaksis harus diberikan memadai untuk
menilai
kemanjurannya terapi, biasanya 2 sampai 3 bulan.
7. Kesehatan programand dihindari dari migren umum maka rencana
pengelolaan harus dimasukkan.
8. Setelah pengobatan kurang efektif dan dosis telah diidentifikasi,
perawatan berikutnya harus dimulai dengan rejimen yang sama.
Sakit kepala adalah salah satu keluhan yang paling umum yang dihadapi
oleh praktisi kesehatan, akuntansi. Selama lebih dari 1% dari pasien ke dokter '
kantor atau darurat departments. Sebagai salah satu dari 10 presentasi keluhan
dalam perawatan medis rawat jalan, sakit kepala mungkin gejala dari proses
patologis yang berbeda atau mungkin terjadi tanpa sebab. Pada tahun 2004,
International Headache Society (IHS) memperbarui sistem klasifikasi dan kriteria
diagnostik untuk gangguan sakit kepala, neuralgia kranial dan nyeri wajah (Tabel
59-1). Dirancang untuk memfasilitasi diagnosis sakit kepala dalam praktek klinis
dan penelitian, klasifikasi IHS memberikan definisi yang lebih tepat dan tatanama standar untuk kedua primer (tipe tegang, migrain dan sakit kepala cluster)
dan sekunder (gejala organik Gangguan penyakit) sakit kepala. Bab ini berfokus
pada manajemen gangguan sakit kepala primer.
Kebanyakan sakit kepala berulang adalah hasil dari primer kronis jinak
gangguan sakit kepala. Jarang, sakit kepala adalah gejala dari kondisi serius
yang mendasari medis, seperti infeksi, pendarahan otak, atau lesi massa otak .
Prevalensi puncak tipe tegang dan migrain, yang paling umum dari gangguan
sakit kepala primer, biasa terjadi di usia produktif (20-55 tahun). Meskipun
prevalensi gangguan ini dan yang terkait kecacatan, penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar migrain dan tipe penderita sakit kepala tidak mencari
perawatan medis untuk sakit kepala. Mereka meningkatkan pemahaman tentang
diagnosis dan mekanisme patofisiologis gangguan sakit kepala primer, terutama
migrain, yang menyebabkan pengembangan obat tertentu mampu memberikan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
3

bantuan cepat dari serangan sedang sampai parah. Namun, secara menyeluruh
evaluasi dalam sejarah sakit kepala sangat penting untuk membentuk sebuah
diagnosis yang akurat dan mengidentifikasi pasien yang mungkin bermanfaat
untuk pilihan terapeutik baru.
MIGRAIN SAKIT KEPALA
EPIDEMIOLOGI
Hasil dari American Migrain Study II menunjukkan bahwa 18,2 % dari wanita dan
6,5 % pria di Amerika Serikat mengalami satu atau lebih sakit kepala migrain
setiap tahun. Prevalensi migrain bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Sebelum usia 12 tahun, migrain lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada
anak perempuan, tetapi prevalensi meningkat lebih cepat pada anak perempuan
setelah menstruasi. Setelah usia 12 tahun, perempuan dua sampai tiga kali lebih
besar daripada laki-laki menderita migrain. Perbedaan jenis kelamin prevalensi
migrain telah dikaitkan dengan menstruasi, tapi perbedaan ini bertahan samapai
menopause. Prevalensi tertinggi baik pria maupun wanita antara usia 35 dan 45
tahun. yang biasa terserang pada usia 10 sampai 29 tahun, namun timbulnya
migrain tidak pada awal masa kanak-kanak Di Amerika Migraine Study II, 92 %
perempuan dan 89 % laki-laki dengan menderita migrain beberapa
headacherelated, dan 53% yang sangat dinonaktifkan atau diperlukan istirahat di
tempat tidur selama serangan terjadi. Sejumlah gangguan neurologis dan
psikiatris, termasuk stroke, epilepsi, depresi berat dan gangguan kecemasan,
menunjukkan peningkatan komorbiditas dengan migraine. Apakah hubungan ini
bersifat kausal atau yang mewakili dari mekanisme patofisiologis umum tidak
diketahui. Beban ekonomi migrain substansial; Namun demikian, biaya medis
secara langsung berhubungan dengan pengobatan migrain.
TABEL 591. Klasifikasi masyarakat sakit kepala internasional.
Sistem : Fokus pada sakit kepala sebelah (migrein)
Migraine
Migraine tanpa gejala
Migraine dengan gejala
Aura khusus dengan migrain (gejala yang berlangsung kurang dari 1 jam)
Aura khusus dengan sakit kepala nonmigraine
Aura khusus tanpa sakit kepala
Familial migrain hemiplegic
Sporadis migrain hemiplegic
Basilar-jenis migrain
Gejala migran yg dialami anak-anak
Siklus muntah (kondisi ini terus berkelanjutan tetapi terbatas untuk diri
sendiri)
Migrain perut (garis tengah episodik serangan sakit perut berlangsung 1
sampai 72 jam)
Vertigo benign paroxysmal pada masa kanak-kanak (singkat vertigo
episodik)
Migrain retina (serangan berulang dari gangguan penglihatan monokular)
Komplikasi migren
Migrain kronis (terjadi pada 15 hari atau lebih setiap bulan untuk lebih dari
3 bulan)
Status migrainosus (melemahkan serangan yang berlangsung selama lebih
dari 72 jam)

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
4

Aura Persistent tanpa infark (gejala bertahan selama lebih dari 1 minggu)
Infark migren (gejala aura yang berhubungan dengan iskemik lesi otak)
Migrain dipicu kejang
Kemungkinan migrain
Kemungkinan migrain tanpa aura
Kemungkinan migrain dengan aura
Kemungkinan migrain kronis
Nyeri kepala tipe tegang
Sakit kepala Cluster dan cephalalgias otonom trigeminal lainnya
Sakit kepala primer lainnya
Sakit kepala dikaitkan dengan kepala dan / atau trauma leher
Sakit kepala disebabkan gangguan pembuluh darah kranial atau serviks
Sakit kepala disebabkan gangguan intrakranial non-vaskular
Sakit kepala disebabkan oleh zat atau pengunduran dirinya
Sakit kepala disebabkan oleh infeksi
Sakit kepala disebabkan gangguan homeostasis
Sakit kepala atau nyeri wajah disebabkan gangguan tengkorak, leher, mata,
telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur wajah atau kranial lainnya
Sakit kepala disebabkan gangguan kejiwaan
Neuralgia kranial dan penyebab utama nyeri wajahSakit kepala lainnya,
neuralgia kranial, nyeri wajah pusat atau primer
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi dan mekanisme patofisiologi migrain tidak sepenuhnya dipahami.
Menurut hipotesis vaskular yang diusulkan oleh Harold Wolff pada tahun 1938,
aura migrain disebabkan oleh intraserebral vasokonstriksi arteri yang diikuti oleh
ekstrakranial reaktif vasodilatasi dan sakit kepala. Meskipun studi aliran darah
regional di otak tidak mendukung hipotesis vaskular, fase aura migrain dikaitkan
dengan penurunan aliran darah otak yang dimulai di daerah oksipital dan
bergerak di korteks serebral pada tingkat 2 sampai 3 mm/min. Namun, sebagian
besar dokter sekarang percaya bahwa gejala positif dan negatif dari aura migrain
disebabkan oleh disfungsi neuronal, bukan iskemia.
Perubahan neurologis aura paralel mereka yang terjadi selama
penyebaran depresi, saraf ditandai oleh gelombang aktivitas listrik tertekan
bahwa kemajuan di korteks otak di tingkat yang konsisten dengan menyebarkan
gejala. Migrain tanpa aura adalah penyakit neurobiologik. Migrain neurobiologic
diyakini hasil dari aktivitas dalam sistem trigeminovaskular, jaringan serabut
aferen dari visceral yang timbul dari ganglia trigeminal dan peripherally untuk
innervate intrakranial nyeri-sensitif pembuluh darah ekstraserebral, dura mater,
dan vena sinus (lihat Gambar. 59-1). Serabut ini juga proyek pusat, mengakhiri
dalam inti trigeminal caudalis di batang otak dan tulang belakang leher bagian
atas kabel, dan dengan demikian menyediakan jalur untuk transmisi nociceptive
dari pembuluh darah meningeal ke pusat yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat
(SSP). Aktivasi saraf sensoris trigeminal memicu rilis neuropeptida vasoaktif,
termasuk kalsitonin-gen terkait peptida (CGRP), neurokinin A, dan substansi P,
dari perivaskular akson. Neuropeptida yang dilepaskan berinteraksi dengan
pembuluh darah dural untuk menaikkan vasodilatasi dan ekstravasasi plasma
dural, sehingga terjadi peradangan perivascular. Konduksi Orthodromic
sepanjang trigeminovaskular menyebarkan impuls nyeri ke inti trigeminal
caudalis, di mana informasi yang disampaikan lebih lanjut untuk kortikal yang
lebih tinggi ke pusat nyeri. Lanjutan masukan aferen dapat mengakibatkan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
5

sensitisasi neuron sensorik pusat, menghasilkan hyperalgesic memperpanjang


dan mengintensifkan sakit kepala sebagai serangan.
Meskipun kemajuan terbaru dalam pemahaman patofisiologi nyeri sakit
kepala, masih ada kekurangan yang cukup pengetahuan tentang mekanisme
yang terlibat dalam inisiasi serangan migren. Meskipun patofisiologi yang tepat
dari migrain kebutuhan penyuluhan lebih lanjut, mekanisme teknik gambaran
baru telah memberikan pengetahuan. Teori pembuluh darah dan saraf
sebelumnya perkembangan migrain telah bergabung menjadi sebuah teori
gabungan mekanisme neurovaskular melalui bukti yang diberikan oleh
neuroimaging. kegiatan dalam sistem trigeminovaskular dapat diatur sebagian
oleh noradrenergik dan yang paling penting, neuron serotonergik di dalam
batang otak. Dengan demikian patogenesis migrain kemungkinan berhubungan
dengan ketidakseimbangan dalam aktivitas neuron serotonin yang mengandung
dan / atau noradrenergik jalur di otak inti batang yang memodulasi tonus
pembuluh darah serebral dan nociception.10 Ketidakseimbangan ini dapat
menyebabkan vasodilatasi intrakranial pembuluh darah ekstraserebral dan
aktivasi akibat dari sistem trigeminovaskular. Penelitian di masa depan lebih
lanjut dapat menggambarkan peran batang otak sebagai "pembangkit migrain."
Faktor genetik merupakan peran penting dalam kelemahan individu
terhadap serangan migrain. Studi pada kembar monozigot menunjukkan bahwa
hingga 50 % dari kontribusi terhadap migrain umum varian berdasarkan genetik,
dengan pengaruh besar dari faktor lingkungan. Meskipun dimungkinkan untuk
setiap individu untuk mengalami serangan migrain, itu adalah terulangnya
serangan di migraineur yang abnormal. Serangan kejadian dan frekuensi diatur
oleh sensitivitas SSP pemicu spesifik migrain. Migraineurs tampaknya memiliki
ambang menurunkan respon terhadap spesifik memicu sebagai akibat dari faktor
genetik yang mengatur keseimbangan eksitasi dan inhibisi pada berbagai tingkat
di CNS.9 demikian memicu faktor dapat dilihat sebagai modulator dari set point
genetik yang predisposisi migrain. Hyperresponsiveness dari otak migren
mungkin merupakan hasil dari suatu kelainan yang diwariskan dalam P / Q - jenis
saluran kalsium yang mengatur rangsangan kortikal melalui pelepasan serotonin
dan neurotransmitters lain.4 Menurunnya tingkat magnesium atau dopamin ,
peningkatan kadar asam amino rangsang, dan perubahan dalam kadar opioid
endogen juga dapat mempengaruhi ambang migrain.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
6

GAMBAR 59-1. Patofisiologi migrain. Vasodilatasi pembuluh darah


intrakranial ekstraserebral (mungkin hasil dari ketidakseimbangan dalam
batang otak) menghasilkan aktivasi saraf trigeminal perivaskular yang
melepaskan neuropeptida vasoaktif untuk menaikkan peradangan
neurogenik. Transmisi nyeri sentral dapat mengaktifkan inti batang otak
lainnya, sehingga timbul gejala (mual, muntah, fotofobia, phonophobia). Efek
dari agonis reseptor 5-HT1B/ID yang disorot diarea 1, 2, dan 3. (Diadaptasi
dengan ijin dari Ferrari MD. Migrain. Lancet 1998; 351:1043-1051. C? oleh
The Lancet Ltd).
Serotonin (5-hydroxytryptamine, atau 5-HT) telah lama terlibat sebagai
mediator penting dari migrain. Khususnya populasi tujuh subfamilies reseptor 5HT (5-HT1 ke 5-HT7) tampaknya terlibat dalam patofisiologi dan pengobatan
obat antimigren akut migrain sakit kepala tertentu seperti alkaloid ergot dan
turunannya triptan adalah agonis dari pembuluh darah dan subtipe reseptor 5HT1 saraf, mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah meningeal dan
penghambatan neuropeptida vasoaktif release dan nyeri Obat sinyal
transmission digunakan untuk migrain profilaksis muncul untuk menstabilkan dan
meningkatkan neurotransmisi serotonergik ambang migrain dengan antagonis
atau downregulating reseptor 5-HT2 atau dengan modulasi pelepasan neuronal
serotonergik.
PRESENTASI KLINIS
Serangan migrain telah dibagi menjadi beberapa gambaran fase. Gejala
pertanda yang dialami sekitar 20% sampai 60% dari migraineurs di jam atau hari
sebelum timbulnya sakit kepala. Istilah sebelumnya populer prodrome dan
peringatan gejala harus dihindari karena ini sering disalahgunakan untuk
memasukkan aura.
Gejala pertanda bervariasi antara migren tetapi biasanya sesuai individu.
Neurologis gejala (misalnya, phonophobia, fotofobia, hyperosmia dan kesulitan
berkonsentrasi) yang paling umum, tetapi psikologis (misalnya, kecemasan,
depresi, euforia, iritabilitas, mengantuk, hiperaktif dan gelisah), otonom
(misalnya, poliuria, diare, dan sembelit) dan gejala konstitusional (misalnya, leher
kaku, menguap, haus, mengidam makanan dan anoreksia) juga dilaporkan.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
7

PERSENTASI KLINIK
MIGRAIN SAKIT KEPALA
UMUM
Migrain adalah keadaan umum, berulang, sakit kepala parah yang mengganggu
fungsi normal. Ini adalah gangguan sakit kepala primer dibagi menjadi dua
subtipe utama, migrain tanpa aura dan migren dengan aura
GEJALA
Migrain ditandai dengan peristiwa berulang dari berdenyut sakit kepala, sering
unilateral, bahwa ketika diobati bisa bertahan 4-72 jam. Sakit kepala migrain
yang parah dan ditanndai dengan mual, muntah, dan kepekaan terhadap
cahaya, suara, dan / atau gerakan. Tidak semua gejala yang hadir di setiap
serangan.
Dalam evaluasi sakit kepala, tanda diagnostik harus diidentifikasi. Ini
termasuk: serangan akut "pertama" atau "terburuk" sakit kepala yang pernah
terjadi, sakit kepala mempercepat pola serangan subakut, serangan sakit kepala
setelah usia 50, sakit kepala terkait dengan penyakit sistemik (misalnya, demam,
mual, muntah, leher kaku dan ruam), gejala sakit kepala dengan neurologis fokal
atau papilledema, dan serangan baru sakit kepala pada pasien dengan kanker
atau human immunodeficiency virus (HIV) infeksi.
TANDA
Pola yang stabil, tidak adanya sakit kepala sehari-hari, keluarga yang
tidak memiliki riwayat migrain, pemeriksaan neurologis normal, kehadiran dari
makanan pemicu, asosiasi menstruasi, lama sejarah, perbaikan dengan tidur,
dan subakut evolusi semua tanda-tanda migrain. Aura mungkin sinyal migrain
sakit kepala namun tidak diperlukan untuk diagnosis.
UJI LABORATORIUM
Dalam keadaan tertentu dan presentasi sakit kepala sekunder, kimia
serum, profil toksikologi urin, tiroid. Tes fungsi, studi lyme, dan tes darah lainnya
seperti tes darah lengkap, titer antibodi antinuclear, tingkat sedimentasi eritrosit,
dan titer antibodi antifosfolipid menjadi pertimbangan.
UJI DIAGNOSA
Lakukan pemeriksaan fisik umum medis dan neurologis. Periksa kelainan: tandatanda penting (demam, hipertensi), funduscopy (papilledema, perdarahan dan
eksudat), palpasi dan auskultasi dari kepala dan leher (sinus kelembutan,
mengeras atau tender arteri sementara, poin pemicu, temporomandibular nyeri
sendi, bruit, kaku kuduk, dan serviks tulang belakang nyeri), dan pemeriksaan
neurologis (mengidentifikasi kelainan atau kekurangan status mental, saraf
kranial, dalam refleks tendon, kekuatan motorik, koordinasi, kiprah, dan
cerebellar function). Pertimbangkan neuroimaging studi pada pasien dengan
normal temuan pemeriksaan neurologis etiologi tidak diketahui dan mereka yang
memiliki faktor risiko gambaran tambahan penjamin.
Aura migrain, kompleks fokus positif dan negatif gejala neurologis yang
mendahului atau menyertai serangan, beberapa peristiwa yg dialami sekitar 31%
dari migren. Aura biasanya berkembang selama 5 sampai 20 menit dan
berlangsung kurang dari 60 menit. Sakit kepala biasanya terjadi dalam waktu 60
menit dari akhir aura. Kadang-kadang, gejala aura dimulai pada awal sakit
kepala atau selama serangan itu. Aura ini paling sering visual dan sering
mempengaruhi setengah visual, aura Visual bervariasi dalam kompleksitasnya
dan dapat mencakup baik positif (scintillations, katung, teichopsia, atau fortifikasi
spektrum) dan negatif (scotoma, hemianopsia) fitur. Gejala sensorik dan motorik

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
8

aura, seperti parestesia atau mati rasa melibatkan lengan dan wajah, disfasia
atau afasia, kelemahan, dan hemiparesis, juga dilaporkan.
Penderita migrein pengalaman rata-rata antara satu dan lima serangan
setiap bulan. Migrain dapat terjadi setiap saat siang atau malam, tetapi paling
sering terjadi di pagi hari. Nyeri biasanya bertahap dalam serangan, memuncak
pada intensitas selama menit ke jam dan abadi antara 4 dan 72 jam pada orang
dewasa. Nyeri bisa terjadi di mana saja di wajah atau kepala tetapi paling sering
melibatkan wilayah frontotemporal. Sakit kepala ini biasanya unilateral dan
berdenyut atau berdenyut di alam, namun, rasa sakit mungkin bilateral saat onset
atau menjadi umum selama kursus dari serangan.9 gejala gastrointestinal hampir
selalu menemani sakit kepala migrai. Selama serangan, sebanyak 90 % dari
migren mengalami mual dan muntah terjadi pada sekitar sepertiga dari pasien
gejala sistemik lain yang terkait dengan fase sakit kepala termasuk anoreksia,
mengidam makanan, sembelit, diare, kram perut, hidung tersumbat, penglihatan
kabur, diaforesis, wajah pucat, dan lokal wajah, kulit kepala , atau edema
periorbital . indrawi hyperacuity, dinyatakan sebagai fotofobia, phonophobia, atau
osmophobia, sering dilaporkan. Karena sakit kepala biasanya diperburuk oleh
aktivitas fisik, sebagian besar migren mencari gelap, tenang untuk istirahat dan
lega. Gangguan konsentrasi, depresi, lekas marah, kelelahan, atau kecemasan
sering menyertai sakit kepala. Setelah rasa sakit kepala berkurang, pasien
mungkin mengalami fase resolusi ditandai dengan perasaan lelah, lelah, mudah
marah, atau lesu. Gangguan konsentrasi dapat terus, serta kulit kepala nyeri atau
perubahan mood. beberapa pasien banyak mengalami depresi dan malaise,
sedangkan yang lain mungkin merasa luar biasa segar atau euphoric. Pembaca
dirujuk ke IHS klasifikasi dan ulasan terakhir untuk deskripsi klasik varian migrain
dan subtypes3 migrain lainnya.
Meskipun sakit kepala havemany penyebab potensial, sebagian besar
disebabkan oleh gangguan sakit kepala primer. Riwayat sakit kepala yang
komprehensif adalah unsur yang paling penting dalam menegakkan diagnosis
klinis dari migrain. Riwayat sakit kepala menyeluruh selalu harus diperoleh dari
pasien. Informasi yang dikumpulkan harus mencakup usia onset, serangan
frekuensi dan waktu, durasi serangan, pencetus atau faktor yang memberatkan,
faktor ameliorating, deskripsi neurologis gejala, karakteristik sakit kepala
(kualitas, intensitas, lokasi, dan radiasi), tanda-tanda dan gejala yang terkait,
sejarah pengobatan, keluarga dan sejarah sosial, dan dampak dari sakit kepala
pada setiap hari hidup. Sakit kepala sekunder dapat diidentifikasi atau
dikecualikan berdasarkan sejarah sakit kepala, serta hasil neurologis umum
medis dan pemeriksaan. Tes diagnostik dan laboratorium juga mungkin dijamin
dalam pengaturan fitur sakit kepala yang mencurigakan atau tidak normal
pemeriksaan. Penggunaan rutin neuroimaging (dihitung tomography atau
magnetic resonance imaging) pada umumnya tidak diindikasikan pada pasien
dengan migrain dan pemeriksaan neurologis normal, tetapi harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat dijelaskan dengan normal
pemeriksaan neurologis atau sakit kepala sejarah atipikal Karena migren
biasanya dimulai pada dekade kedua atau ketiga hidup, sakit kepala dimulai
setelah usia 50 menunjukkan etiologi organik seperti lesi massa, penyakit
serebrovaskular, atau arteritis temporal. Tabel 59-2 berisi daftar kriteria
diagnostik IHS untuk migrain dengan dan tanpa aura.
TABEL 59-2. Kriteria diagnostik untuk IHS Migrain
Migrain tanpa Aura
Setidaknya lima serangan
Serangan sakit kepala berlangsung 4 sampai 72 jam (tidak diobati atau tidak
berhasil diobati)

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

21
9

Sakit kepala memiliki setidaknya dua dari karakteristik berikut: lokasi unilateral
berdenyut kualitas Intensitas sedang atau berat
Kejengkelan oleh atau menghindari aktivitas fisik rutin (yaitu, berjalan atau naik
tangga)
Selama sakit kepala setidaknya salah satu dari berikut:
-Mual, muntah, atau keduanya
-Fotofobia dan phonophobia
Tidak dikaitkan dengan gangguan lain:
Migrain dengan Gejala (Klasik Migrain)
Setidaknya dua serangan
Migraine aura memenuhi kriteria untuk aura khas, aura hemiplegic, atau basilar
jenis aura
Tidak dikaitkan dengan gangguan lain
Tipe Gejala khusus
Visual, sensorik, atau pidato gejala sepenuhnya reversibel (atau kombinasi)
tetapi tidak ada kelemahan motorik. Gejala visual homonim atau bilateral
termasuk positif fitur (misalnya, berkedip-kedip lampu, spot, lines) atau fitur
negatif (misalnya, kehilangan penglihatan) atau gejala sensoris unilateral
termasuk fitur positif (misalnya, kehilangan penglihatan, pin dan jarum) atau
negatif fitur (yaitu, mati rasa), atau kombinasi.
Setidaknya salah satu dari berikut:
-Setidakaya satu gejala yang berkembang secara bertahap selama minimal 5
menit atau gejala yang berbeda yang terjadi pada suksesi atau keduanya.
-Setiap gejala berlangsung selama setidaknya 5 menit dan tidak lebih dari 60
menit.
-Sakit kepala yang memenuhi kriteria untuk migrain tanpa aura dimulai selama
aura atau mengikuti aura dalam waktu 60 menit.
Perawatan migraine
Hasil yang diinginkan
Dokter yang merawat penderita migren harus menghargai dampak gangguan
menyakitkan dan melemahkan pada kehidupan pasien, pasien keluarga dan
majikan pasien. Strategi pengobatan harus 1 alamat baik langsung dan tujuan
jangka panjang. Migrain akut terapi harus menyediakan konsisten, bantuan yang
cepat dan memungkinkan pasien untuk melanjutkan kegiatan normal di rumah,
sekolah, atau bekerja. kambuhnya gejala dan efek samping terkait pengobatan
harus minimal. Idealnya, pasien harus mampu mengelola sakit kepala mereka
sendiri secara efektif tanpa kunjungan ke kantor dokter atau ruang gawat darurat.
Selain itu, penderita migren harus mengambil peran aktif dalam penciptaan
rencana manajemen formal jangka panjang. Pendekatan individual untuk
pengobatan dapat mengakibatkan penurunan frekuensi dan tingkat keparahan
serangan, sehingga meminimalkan sakit kepala yang berhubungan dengan
kecacatan dan tekanan emosional dan meningkatkan kualitas hidup pasien .
Tujuan jangka panjang dan pengobatan akut migrain tercantum dalam Tabel 593.
TABEL 59-3. Tujuan dari Terapi Manajemen Migrain
Tujuan Jangka Panjang Pengobatan Migrain
Mengurangi frekuensi migrain, tingkat keparahan, dan kecacatan
Mengurangi ketergantungan pada buruk ditoleransi, tidak efektif, atau tidak
diinginkan farmakoterapi akut
Meningkatkan kualitas hidup mencegah sakit kepala
Hindari eskalasi penggunaan obat sakit kepala
Mendidik dan memungkinkan pasien untuk mengelola penyakit mereka

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
0

Mengurangi sakit kepala yang berhubungan dengan kesusahan dan gejala


psikologis
Tujuan untuk Akut Pengobatan Migrain
Mengobati serangan migrain dengan cepat dan konsisten tanpa kekambuhan
Mengembalikan kemampuan pasien untuk berfungsi
Minimalkan penggunaan cadangan dan penyelamatan medicationsa
Mengoptimalkan perawatan diri untuk manajemen keseluruhan
Biaya-efektif dalam manajemen secara keseluruhan
Menyebabkan efek samping minimal atau tidak
PENDEKATAN UMUM UNTUK PENGOBATAN
Intervensi nonfarmakologis dan farmakologis tersedia untuk pengelolaan migrain,
namun, sisa-sisa terapi obat andalan pengobatan untuk sebagian besar pasien.
Pharmacotherapeutic pengelolaan migrain mungkin akut (misalnya, gejala atau
gagal) atau preventif (misalnya, profilaksis). Ketika memilih akut atau terapi
pencegahan, dokter harus mempertimbangkan pasien respon terhadap obat
tertentu dan tolerabilitas mereka, serta hidup bersama penyakit yang dapat
membatasi pilihan pengobatan. Gagal atau akut terapi dapat migrain-spesifik
(misalnya, ergots dan triptans) atau nonspesifik (misalnya, analgesik, antiemetik,
nonsteroidal anti-inflammatory obat-obatan, dan kortikosteroid) dan yang paling
efektif menghilangkan rasa sakit dan gejala yang berhubungan bila diberikan
pada awal migraine, (Tabel 59-4).
TABEL 59-4. Migrain akut Therapiesa
Pengobatan
Dosis
Komentar
Analgetik
Acetaminophen
1000 mg saat awal, ulangi Dosis harian maksimum
setiap 4-6 jam
adalah 4 g
Acetaminophen
2 tablet pada pemakaian Tersedia over-the-counter
250mg
/
aspirin awal dan setiap 6 jam
seperti Excedrin Migraine
250mg /caffeine 65
mg
Batasi dosis sampai 4
Aspirin
atau 1-2 tablet setiap dosis 4-6 tablet/hari
dan
acetaminophen
jam Limit sampai 4 tablet / penggunaan untuk 2 hari
dengan
butalbital, hari dan penggunaan untuk /minggu
kafein
2 hari /minggu
Isometheptene 65 mg/ 2 kapsul saat awal, ulangi 1 Maksimum 6 kapsul / hari
dichloralphenazone
kapsul
dan 20 kapsul /bulan
100 mg/
setiap
jam
sesuai
acetaminophen 325 kebutuhan
mg (Midrin)
Obat
Nonsteroidal
Anti-Inflammatory
Dosis maksimum 4gr
Aspirin
perhari
Ibuprofen
Dosis
maksimum
Naproxen sodium
5001000 mg setiap 46 >2.4g/perhari
jam
Dosis
maksimum
Postasium diclofenak
200800 mg setiap 6 jam .
>1.375g/hari
550825
mg
dosis
Ergotamine Tartrate awal;boleh diulang 220 mg Dosis maksimum > 150
Tablet oral (1mg) setiap 34 jam
mg/ hari
dengan caffeine 100 Dosis awal 50100 mg:
mg
boleh diulang 50 mg setiap
8jam
Dosis
maksimum

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
1

Tablet
sublingual
6mg/hari atau 10 mg/
(2mg)
Dosis
awal
2
mg; minggu.
Rectal
suppositoria dilanjutkan 1-2 mg 30 menit Pertimbangkan sebelum
(2mg)
dengan pada saat diperlukan.
pengobatan
dengan
caffeine 100mg.
antiemetic
Dosis
maksimum
4
Dosis awal Dimasukkan 1/2 mg/hari atau 10 mg/
Dihydroergotamine
sampai 1 suppositoria; minggu.
diulang setelah 1 jam pada Pertimbangkan sebelum
saat diperlukan.
pengobatan
dengan
antirmetic.
Dosis awal injeksi 1 mg/mL Dosis
maksimum
0.251 mg IM atau SQ; 3mg/hari atau 20 mg/
diulang setiap jam pada minggu
saat diperlukan
Dosis
maksimum
Dosis awal Nasal spray 3mg/hari;sebaiknya
(0.5 mg) setiap nostril pada disemprotkan
4
kali
Serotonin Agonists saat serangan; diulang 15 sebelum
digunakan;
(Triptans)
menit kemudian
jangan
memiringkan
Sumatriptan
Dosis total 2 mg atau 4 kepala belakang atau
Injeksi
seprot
tarik napas melalui hidung
Tablet oral
saat
penyemprotan;
membuang
semprot hidung
ampul terbuka setelah 8
jam
6 mg SC pada saat onset,
dapat mengulang setelah 1
jam
jika diperlukan
25, 50, atau 100 mg pada
saat onset; dapat diulang
setelah
2
jam
jika
diperlukan
5, 10, atau 20 mg pada saat
onset, dapat mengulang
setelah
2 jam jika diperlukan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

Dosis Maksimum 12mg


sehari
Dosis optimal adalah 50100
mg
Dosis maksimum harian
adalah 200 mg
Dosis optimal 20 mg,
dosis maksimum harian
40 mg; dosis tunggal 5
atau
20 mg; satu kali semprot
dalam satu lubang hidung

22
2

Pendekatan perawatan bertingkat di mana pemilihan pengobatan awal


didasarkan pada sakit kepala yang berhubungan dengan kecacatan dan gejala
keparahan adalah strategi pengobatan yang lebih disukai untuk migraineur
tersebut Karena keparahan serangan bervariasi pada individu, pasien mungkin
disarankan untuk menggunakan agen spesifik untuk ringan sampai sedang sakit
kepala sementara pemesanan obat spesifik untuk serangan migrain lebih parah.
Penyerapan dan kemanjuran obat oral dapat dikompromikan oleh stasis lambung
atau mual dan muntah yang sering menyertai migraine. Pretreatment dengan
agen antiemetik atau penggunaan nonoral pengobatan (misalnya, supositoria,
semprotan hidung, atau suntikan) mungkin dianjurkan ketika mual dan muntah
yang parah. Administrasi metoclopramide agen prokinetik meningkatkan
penyerapan lisan obat-obatan, di samping effects. antiemetik nya.
Penggunaan sering atau berlebihan obat migrain akut dapat
mengakibatkan pola peningkatan frekuensi sakit kepala dan obat Konsumsi
dikenal sebagai obat - berlebihan sakit kepala ( atau Rebound sakit kepala ).
Sindrom ini muncul untuk berkembang sebagai mandiri siklus sakit kepala
pengobatan di mana sakit kepala kembali sebagai obat efek habis , yang
mengarah ke konsumsi obat yang lebih untuk bantuan. Sejarah sakit kepala
sering mencerminkan onset bertahap dari sakit kepala harian atau hampir setiap
hari atipikal dengan melapis migrain episodik serangan. Obat berlebihan adalah
salah satu penyebab paling umum Agen sakit kepala harian kronis yang paling
sering terlibat dalam Sindrom ini termasuk sederhana dan kombinasi analgesik,
opiat, ergotamine tartrat, dan triptans. Penghentian menyinggung agent
menyebabkan penurunan bertahap dalam frekuensi sakit kepala dan keparahan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
3

dan kembali karakteristik sakit kepala yang asli. sementara detoksifikasi biasanya
dapat dicapai secara rawat jalan, rawat inap mungkin diperlukan untuk kontrol
rebound refraktori sakit kepala dan gejala penarikan lainnya (misalnya mual,
muntah, asthenia, gelisah, dan agitasi). Peraturan sistem nociceptive dan respon
terhadap terapi baru mungkin tidak terjadi selama 3 sampai 3 12 minggu setelah
pengobatan withdrawal. Kebanyakan ahli merekomendasikan membatasi
penggunaan terapi migrain akut sampai 2 hari per minggu untuk menghindari
perkembangan penyalahgunaan obat sakit kepala.
Terapi migrain pencegahan diberikan setiap hari untuk mengurangi
frekuensi, keparahan dan durasi serangan dan meningkatkan tanggap terhadap
gejala migrain therapies ( Tabel 59-5). Terapi pencegahan harus
dipertimbangkan dalam pengaturan berulang migrain yang menghasilkan cacat
yang signifikan meskipun terapi akut; serangan sering membutuhkan obat
simtomatik lebih dari dua kali per minggu dengan risiko pengembangan Rebound
sakit kepala; gejala terapi yang tidak efektif, kontraindikasi, atau menghasilkan
samping yang serius Efek ; varian migrain biasa yang menyebabkan gangguan
mendalam dan / atau risiko cedera neurologis permanen (misalnya hemiplegic
migrain, migrain basilar dan migrain dengan aura yang berkepanjangan) dan
keinginan pasien untuk membatasi jumlah seranga, terapi pencegahan mungkin
juga diberikan preemptively atau sebentar-sebentar ketika sakit kepala kambuh
dalam pola diprediksi (misalnya migrain latihan-induksi atau menstruasi migrain).
Efektivitas berbagai agen yang digunakan untuk migrain profilaksis tampaknya
serupa, tetapi kualitas data yang diterbitkan terbatas bagi banyak obat yang
biasa digunakan (hanya propranolol , timolol, dan asam valproik saat ini disetujui
oleh Food and Drug 5 Administrasi [ FDA ] untuk indikasi ). demikian seleksi dari
agen biasanya didasarkan pada nya profil efek samping dan kondisi pasien
komorbiditas. Sebuah uji coba terapi 2 sampai 3 bulan diperlukan untuk menilai
efektivitas dari setiap obat, tetapi beberapa pengurangan frekuensi serangan
mungkin terbukti dengan bulan pertama terapi. Terapi obat harus dimulai dengan
dosis rendah dan maju perlahan-lahan sampai efek terapi dicapai atau efek
samping menjadi tidak tertahankan. Dosis obat sebagai profilaksis migrain
seringkali lebih rendah daripada yang diperlukan untuk indikasi lain. Terlalu
sering menggunakan obat sakit kepala akut akan mengganggu efek terapi
pencegahan pengobatan. Pengobatan profilaksis biasanya dilanjutkan minimal 3
sampai 6 bulan setelah frekuensi dan tingkat keparahan sakit kepala mulai
berkurang dan kemudian diturunkan secara bertahap dan dihentikan. Banyak
penderita migren mengalami serangan lebih sedikit untuk jangka panjang
penghentian berikut obat profilaksis atau ke dosis yang lebih rendah. Angka 59-2
dan 59-3 mengidentifikasi pengobatan dan manajemen algoritma untuk migrain.
TERAPI NONFARMAKOLOGI
Terapi non farmakologi sakit kepala migrain akut terbatas tetapi dapat mencakup
aplikasi es ke kepala dan waktu istirahat atau tidur, biasanya di tempat yang
gelap, lingkungan yang tenang. manajemen pencegahan migrain seharusnya
dimulai dengan mengidentifikasi dan mencegah terjadinya faktor yang secara
konsisten menimbulkan serangan migrain pada rentan terhadap individu (Tabel
59-6). Perubahan kadar estrogen berhubungan dengan haid, menstruasi,
kehamilan, menopause, kontrasepsi oral digunakan, dan terapi hormon lainnya
dapat memicu, mengintensifkan, atau meringankan migrain. Serangan yang
terkait khusus untuk wanita menstruasi sekitar 14% (yaitu, benar migrain
menstruasi). Sakit kepala harian yang mencatat frekuensi, tingkat keparahan dan
lamanya serangan dapat memudahkan identifikasi pemicu migrain.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
4

Pasien juga dapat mengambil manfaat dari kepatuhan terhadap program


kesehatan yang mencakup tidur yang teratur, olahraga, dan kebiasaan makan,
berhenti merokok, dan terbatas asupan kafein. Intervensi perilaku, seperti
sebagai terapi relaksasi, biofeedback (sering digunakan dalam kombinasi
dengan terapi relaksasi), dan terapi kognitif, adalah pencegahan pengobatan
pilihan bagi pasien yang lebih memilih terapi nondrug atau bila gejala terapi yang
buruk ditoleransi, kontraindikasi, atau tidak efektif.

PENGOBATAN MIGRAIN AKUT


Tersedianya banyak obat yang dijual bebas yang sebelumnya resep obat
memungkinkan sejumlah pasien migrain mengobati diri sendiri dan menunda ke
kedokter. Beberapa dokter merasa bahwa produk yang dijual bebas produk
mengajak pasien melakukan pendekatan-langkah perawatan yang kurang efektif
bukannya ditangani sesuai dengan petunjuk dasar. Walaupun kontroversial,
beberapa dokter berpendapat bahwa khasiat dan dapat diterima pada obat yang
dijual bebas untuk migrain bantuan terbatas karena ketidakpuasan pasien
dengan cara pemberian, terjadinya reaksi, kelengkapan nyeri, dan lamanya
menderita dan berlangsung lama
.
OBAT ANALGETIK DAN NONSTEROID
OBAT ANTI-INFLAMASI(NSAIDS)
Analgesik sederhana dan NSAID adalah obat yang efektif untuk pengelolaan
banyak serangan migrain (lihat Tabel 59-4). Mereka menawarkan pilihan yang lini
pertama untuk pengobatan ringan sampai sedang serangan migrain atau
serangan yang berat yang telah yang responsif dalam terakhir untuk NSAID yang
sama atau analgesik nonopiate. Dari NSAID, aspirin, ibuprofen, naproxen
sodium, tolfenamic asam, dan kombinasi acetaminophen plus aspirin dan kafein
telah menunjukkan bukti yang paling sesuai dari efektivitas. Walaupun
Kesimpulan yang menyangkut khasiat klinis yang tidak tersedia, ketorolac
TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
5

intramuskuler adalah pilihan untuk pengaturan yang diawasi dokter. Bukti untuk
informasi lainnya NSAID adalah baik yang terbatas (hanya satu penelitian) dan
tidak konsisten (beberapa positif dan dari sejumlah penelitian negatif).
Acetaminophen sendiri umumnya tidak direkomendasikan untuk migrain karena
dukungan ilmiah tidak optimal. Perbandingan dengan kelas lainnya farmakoterapi
sangat terbatas.
NSAID tampaknya mencegah terjadinya peradangan neurogenically yang
diperantarai dalam sistem trigeminovaskular melalui penghambatan sintesis
prostaglandin. Secara umum, NSAID dengan waktu paruh panjang lebih
diutamakan. Terapi gabungan dengan metoclopramide dapat mempercepat
penyerapan analgesik dan NSAID dan meringankan migrain yang berhubungan
dengan mual dan muntah. Supositoria sediaan obatan analgesik dan ketorolac
intramuskuler juga pilihan ketika mual dan muntah sangat parah. formulasi
effervescent mungkin memberikan keuntungan dari peningkatan penyerapan.
Terapi NSAID akut dikaitkan dengan gastrointestinal (misalnya, dispepsia, mual,
muntah, dan diare) dan SSP (misalnya, mengantuk, pusing). NSAID sebaiknya
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit sebelumnya seperti
maag, penyakit ginjal, atau hipersensitivitas aspirin.
Gabungan obat yang dijual bebas acetaminophen, aspirin, dan kafein
telah mendapat persetujuan untuk pengobatan migrain di Amerika Serikat karena
terbukti efektivitasnya dalam mengurangi rasa sakit migrain dan terkait gejalanya.
Aspirin dan asetaminofen juga tersedia dalam resep produk yang yang
mengandung kombinasi shortacting a barbiturat (butalbital) atau narkotika
(kodein, propoxyphene). Pelatihan terkontrol plasebo mendukung keberhasilan
butalbital yang mengandung produk untuk pengobatan migrain. Penggunaan dari
butalbital yang mengandung analgesik atau narkotik harus dibatasi karena
kekhawatiran tentang penggunaan berlebihan, penarikan penggunaan
pengobatan- sakit kepala. Midrin, kombinasi acetaminophen. Isometheptene
mucate (amina simpatomimetik), dan dichloralphenazone (turuanan kloral hidrat),
telah menunjukkan sederhana manfaat dalam studi terkontrol plasebo dan
umumnya dipandang sebagai alternatif untuk pasien dengan ringan sampai
sedang serangan migrain. Walaupun konsumsi sering aspirin atau
acetaminophen hasil alonecan dalam pengobatan sakit kepala penggunaan
berlebihan, analgesik kombinasi tampaknya menimbulkan risiko yang lebih
besar.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
6

ANALGETIKA OPIAT
Obat analgesik narkotik (misalnya, meperidine, butorphanol, oxycodone,
dan hydromorphone) efektif tetapi umumnya harus disediakan untuk pasien
dengan sedang sampai sakit kepala yang berat jarang di antaranya konvensional
terapi kontraindikasi atau sebagai "Pengobatan penyelamatan" setelah pasien
telah gagal untuk merespon terapi konvensional. Sering penggunaan analgesik
narkotik dapat menyebabkan berkembangnya ketergantungan dan rebound sakit
kepala. Formulasi intranasal dari butorfanol, sintetis berasal opioid agonisantagonis merupakan pilihan pengobatan dan alternatif untuk kantor atau gawat
darurat sering berkunjung untuk terapi migrain suntik. Butorfanol digunakan
secara luas meskipun risiko penggunaan berlebihan dan ketergantungan. Terapi
opioid seharusnya diawasi ketat.
ANTIEMETICS
Terapi antiemetik ajuvan berguna untuk melawan mual dan muntah yang
menyertai sakit kepala migrain dan obat-obatan digunakan untuk mengobati
serangan akut (misalnya, ergotamine tartrat). Dosis tunggal antiemetik, seperti
metoclopramide, chlorpromazine, atau prochlorperazine, diberikan 15 sampai 30
menit sebelum menelan obat migrain abortif melalui mulut seringkali cukup.
Sediaan Supositoriasudah tersedia ketika mual dan muntah sangat dianjurkan.
Metoclopramide juga berguna untuk membalikkan gastroparesis dan selama
serangan berat dapat meningkatkan penyerapan dari saluran pencernaan. Selain
efek antiemetik, obat antagonis dopamin juga telah berhasil digunakan sebagai
terapi tunggal untuk pengobatan sakit kepala. Proklorperazin dikelola oleh
intravena dan rute intramuskular dan intravena diberikan metoclopramide nyeri
lebih efektif daripada plasebo. Klorpromazin juga telah memberikan relief migrain
sebanding dengan yang diberikan oleh metoclopramide intravena dan
dihydroergotamine bila diberikan secara parenteral. Domperidone mempunyai
peran yang mungkin untuk pengobatan preventif migrain. Mekanisme yang tepat
tindakan untuk zat ini belum diketahui. Antagonis dopamin memberikan suatu
alternatif dengan analgetik narkotika untuk pengobatan migrain refraktori.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
7

Mengantuk dan pusing dilaporkan kadang-kadang dengan penggunaan


antagonis dopamin pada penderita migren. Efek samping ekstrapiramidal
dilaporkan jarang terjdi dalam uji migrain.
PENGOBATAN NONSPESIFIK LAINNYA
Kortikosteroid mungkin merupakan terapi pertolongan yang efektif dengan status
migrainosus (migrain berkelanjutan yang mungkin bertahan hingga 1 minggu)
Penelitian label terbuka juga menunjukkan bahwa kursus singkat secara oral
atau parenteral diberikan prednison, deksametason, dan hidrokortison
tampaknya berguna dalam penatalaksanaan sakit kepala refraktori yang telah
berlangsung selama beberapa hari.
Penelitian yang terbatas menunjukkan peran intranasal lidocaine dapat
mengobati migrain akut. Intranasal lidocaine meredakan nyeri yang cepat dalam
waktu 15 menit setalah pemberian, tetapi sakit kepala kekambuhan Efek
samping umumnya terbatas pada daerah iritasi pada hidung atau mata, rasa
tidak menyenangkan, dan mati rasa dari tenggorokan.
Pemeriksaan awal dari droperidol intramuskular, nitrous oksida, dan propofol
intravena telah menghasilkan hasil yang positif di mengobati migrain akut.
Penelitian selanjutnya dapat membentuk peran lebih jelas untuk obat ini di
bidang manajemen migrain.
ERGOT ALKALOID DAN TURUNANNYA
Ergotamine
tartrat
dan
dihydroergotamine
berguna
dan
mungkin
dipertimbangkan untuk pengobatan sedang sampai serangan migrain yang berat.
Obat ini merupakan agonis reseptor 5-HT1 nonselektif yang menyempitkan
pembuluh darah intrakranial dan menghambat perkembangan neurogenic
peradangan pada sistem trigeminovaskular. Pusat Inhibisi sentral dari jalur
trigeminovaskular juga dilaporkan. zat ini juga dapat menunjukkan aktivitas pada
-adrenergic, -adrenergik, dan dopaminergik reseptor. Vena dan arteri
penyempitan terjadi dengan pengobatan dosis, tetapi ergotamine tartrat
diberikannya efek arteri lebih kuat dari dihydroergotamine.
Ergotamin tartrate yang tersedia untuk oral, sublingual, dan dubur
pemberian (lihat Tabel 59-4). Sediaan oral dan dubur mengandung kafein untuk
meningkatkan penyerapan dan mempotensiasi analgetik. Beberapa pasien
merespon secara khusus untuk dosis dubur. Persyaratan Dosis seharusnya
dititrasi ketat untuk menetapkan dosis efektif tetapi subnauseating untuk
serangan di masa depan. Ergotamin paling efektif bila diberikan secara di awal
serangan migren. Meskipun penggunaan klinis secara luas sejak tahun 1925,
bukti yang mendukung efektivitas ergotamine tartrat pada migrain tidak sesuai.
Dihydroergotamine yang tersedia untuk intranasal dan pemberian
parenteral oleh intramuskular, subkutan, dan pemberian intravena (lihat Tabel
59-4). Dihydroergotamine parenteral dapat dilihat sebelumnya sebagai
pengobatan rawat inap atau darurat untuk sebagian penderiata migrain yang
berat, tetapi pasien dapat dilatih untuk selfadminister dihydroergotamine
intramuskular atau subkutan. Bioavailabilitas dihydroergotamine sekitar 30%
berikut pemberian intranasal, dan konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam
30 sampai 60 menit.
Mual dan muntah (akibat stimulasi kemoreseptor yang trigger zone)
adalah salah satu efek samping yang paling umum dari derivatif ergotamine,
namun, ergotamine adalah 12 kali lebih muntah dari dihydroergotamine.
Pretreatment dengan antiemetik agen harus dipertimbangkan dengan
ergotamine dan dihydroergotamine intravena terapi. Efek samping umum lainnya
termasuk perut nyeri, kelemahan, kelelahan, parestesia, nyeri otot, diare, dan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
8

dada sesak. Kadang-kadang, gejala iskemia perifer berat (ergotism), seperti


kedinginan, mati rasa, ekstremitas menyakitkan, berkelanjutan parestesia,
berkurang denyut perifer, dan klaudikasio, mungkin hasil dari efek
vasokonstriktor dari alkaloid ergot. Ekstremitas gangren, infark miokard, nekrosis
hati, dan usus dan otak iskemia yang telah dilaporkan jarang. Dihydroergotamine
jarang dikaitkan dengan efek samping seperti. Triptans dan turunan ergot tidak
boleh digunakan dalam waktu 24 jam dari masing-masing informasi lainnya.
Baru-baru ini, laporan vasospasme parah selama secara bersamaan terapi
dengan ergotamine dan protease inhibitor telah muncul di literatur. Kasus-kasus
ini dikaitkan dengan protease inhibitor penghambatan efek pada isoenzim
CYP3A4 dan peningkatan konsekuen dalam darah ergotamine. Derivatif
ergotamine kontraindikasi pada pasien dengan gagal ginjal atau hati, koroner,
otak, atau penyakit pembuluh darah perifer, hipertensi yang tidak terkontrol, dan
sepsis dan pada wanita yang sedang hamil atau menyusui. Dihydroergotamine
tidak tampak menyebabkan Rebound sakit kepala, tapi pembatasan dosis untuk
ergotamine tartrat harus diamati secara ketat untuk mencegah komplikasi.
SERETONIN RESEPTOR AGONIS (TRIPTANS)
Pengenalan agonis reseptor serotonin, atau triptans, diwakili kemajuan yang
signifikan dalam migrain farmakoterapi. Turunan pertama obat ini, sumatriptan,
dan obat generasi kedua zolmitriptan, Naratriptan , rizatriptan, almotriptan,
frovatriptan dan eletriptan adalah agonis selektif 5- HT1B dan 5 - HT1D reseptor .
relief migrain adalah hasil dari tiga tindakan kunci : vasokonstriksi pembuluh
darah intrakranial nyeri yang memproduksi melalui stimulasi vaskular reseptor 5 HT1B, penghambatan neuropeptida vasoaktif melepaskan dari saraf trigeminal
perivaskular melalui stimulasi dari presynaptic reseptor 5 - HT1D , dan gangguan
sinyal nyeri transmisi dalam otak batang inti trigeminal melalui stimulasi reseptor
5 - HT1D (agen yang bekerja sentral). Individu afinitas untuk 5 - HT1B dan
reseptor 5 - HT1D agak berbeda tapi sebanding. Agen ini juga menampilkan
berbagai afinitas untuk 5 - HT1A, 5 - HT1E, dan reseptor 5 HT1. Para triptans
sesuai terapi lini pertama untuk pasien dengan moderat untuk migrain parah dan
digunakan untuk terapi penyelamatan ketika obat spesifik yang tidak efektif.
Sumatriptan, terapi antimigren paling ekstensif dipelajari, yang tersedia
untuk subkutan, oral, dan administrasi intranasal. Sumatriptan subkutan secara
konsisten unggul dengan plasebo dalam mengurangi migrain dan gejala yang
berhubungan, dengan bantuan dilaporkan pada 71% pasien pada 1 jam (43%
bebas dari rasa sakit) dan 79% pada 2 jam (60% bebas dari rasa sakit) dalam
meta-analisis dari Penelitian terkontrol plasebo. Selain peningkatan efektivitas,
sumatriptan subkutan memiliki onset lebih cepat dari tindakan (10 menit) bila
dibandingkan dengan formulasi oral (30 menit). Injeksi subkutan dikemas
sebagai perangkat autoinjector untuk diri-pemberian oleh pasien. Intranasal
sumatriptan memberikan onset cepat efek (15 menit) daripada formulasi oral dan
menghasilkan tingkat yang sama respon (relief di 61% dari pasien pada 2 jam)
dalam studi terkontrol plasebo. Sekitar 30% sampai 40% dari pasien yang
merespon sumatriptan mengalami sakit kepala kekambuhan dalam waktu 24
jam. Ini telah dikaitkan pendek paruh obat, tetapi kekambuhan masalah dengan
kebanyakan terapi migrain akut. Dosis kedua diberikan pada saat kekambuhan
biasanya efektif. Para triptans generasi kedua muncul untuk menawarkan
ditingkatkan farmakokinetik dan farmakodinamik profil dibandingkan dengan
sumatriptan oral. Obat ini memiliki bioavailabilitas oral yang lebih tinggi dan lagi
setengah - hidup daripada sumatriptan oral, yang secara teoritis bisa
meningkatkan konsistensi dalam-pasien pengobatan dan mengurangi sakit
kepala kekambuhan ( Tabel 59-7 ). Terlepas dari kenyataan bahwa penyerapan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

22
9

lisan mungkin tertunda selama serangan migrain, kebanyakan pasien lebih


memilih lisan formulasi, dan untuk 80 % dari semua resep triptan. Frovatriptan
memiliki terpanjang paruh dari triptans, tetapi paling lambat onset kerja.
Penetrasi dari penghalang darah ke otak, sebagai akibat dari meningkat
lipophilicity, memungkinkan untuk situs pusat aksi dalam inti trigeminal dan dapat
mempercepat timbulnya efek terapi dari agen generasi kedua. Sumatriptan tidak
menyeberangi utuh penghalang darah-otak dalam sistem eksperimental. Namun,
bukti menunjukkan bahwa penghalang darah-otak dapat terganggu selama
migrain serangan, yang memungkinkan akses pusat untuk sumatriptan juga.
Hasil dari penelitian plasebo-terkontrol dengan masing-masing generasi
kedua yang agen mengungkapkan tingkat respons 2 jam agak sebanding. Uji
klinis komparatif langsung diperlukan untuk menentukan mereka efektivitas
relatif, tapi ini tersedia untuk hanya beberapa dari triptans. Sebuah meta -analisis
ini merangkum efikasi dan tolerabilitas dari triptans oral yang berbeda di kedua
dipublikasikan dan tidak dipublikasikan. Pada semua dosis dipasarkan, triptans
oral efektif dan baik ditoleransi. Di studi untuk sumatriptan 100 mg , hasil ratarata adalah 2 jam respon sakit kepala 59 % , dengan 29 % bebas rasa sakit pada
2 jam, 20 % berkelanjutan bebas rasa sakit , dan 67 % konsistensi. Dibandingkan
dengan sumatriptan 100 mg, 10 mg rizatriptan menunjukkan efikasi yang lebih
baik dan konsistensi dan tolerabilitas serupa; eletriptan 80 mg menunjukkan
efikasi yang lebih baik, mirip konsistensi, tapi tolerabilitas yang lebih rendah,
almotriptan 12,5 mg menunjukkan kemanjuran yang serupa pada 2 jam tapi hasil
yang lebih baik lainnya; Naratriptan 2,5 mg dan eletriptan 20 mg menunjukkan
efikasi yang lebih rendah dan tolerabilitas yang lebih baik ; dan zolmitriptan 2,5
dan 5 mg, 40 mg eletriptan, dan riaztriptan 5 mg semua menunjukkan hasil yang
sama. Data yang tersedia menunjukkan efikasi yang lebih rendah untuk
frovatriptan.
Respon klinis terhadap triptans dapat bervariasi antara pasien. Respon
individu tidak dapat diprediksi, dan jika satu triptan gagal, pasien mungkin akan
beralih ke yang lain berhasil triptan. Setelah agen dan dosis efektif telah
diidentifikasi, perawatan selanjutnya harus dimulai dengan regimen yang sama.
Efek samping dengan triptans yang umum tetapi biasanya ringan sampai sedang
di alam dan durasi pendek. Efek samping dengan triptans yang umum tetapi
biasanya ringan sampai sedang di alam dan durasi pendek. Efek samping
konsisten antara kelas dan termasuk parestesia, kelelahan, pusing, kemerahan,
sensasi hangat, dan mengantuk. Efek samping lokal dilaporkan dengan subkutan
(minor reaksi injeksi -site ) dan intranasal (rasa penyimpangan,) rute
ketidaknyamanan hidung. Dosis yang memberikan rasio terbaik efikasi dan
keamanan dianggap optimal. Sampai dengan 15 % dari pasien menerima triptan
secara konsisten melaporkan " gejala dada " termasuk sesak, tekanan, berat,
atau nyeri pada dada, leher, atau tenggorokan. Mekanisme gejala ini tidak
diketahui, tetapi sumber jantung nyeri tampaknya tidak mungkin pada
kebanyakan pasien . Namun, semua yang triptans agonis parsial dari reseptor 5HT arteri koroner manusia secara in vitro, menghasilkan respon vasokonstriktor
kecil tapi signifikan. Kejadian jantung samping jarang karena reseptor 5 - HT2A
memediasi sebagian besar efek dari serotonin pada pembuluh koroner. kasus
terisolasi infark miokard dan vasospasme koroner dengan iskemia memiliki telah
dilaporkan, tetapi iskemia miokard tidak mungkin pada pasien dengan pembuluh
darah koroner yang normal. Para triptans kontraindikasi pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung iskemik ( misalnya , angina pectoris, Prinzmetal angina
itu , atau infark miokard sebelumnya), tidak terkontrol hipertensi , dan penyakit
serebrovaskular . Pasien yang beresiko penyakit arteri koroner yang belum diakui
( misalnya ,wanita menopause , pria di atas 40 tahun, dan pasien dengan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
0

beberapa faktor risiko ) harus menerima penilaian kardiovaskular sebelum


penggunaan triptan dan telah dosis awal mereka diberikan di bawah
pengawasan medis . triptans juga kontraindikasi pada pasien dengan hemiplegia
dan basilar migrain. Para triptans tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam dari
ergotamine yang derivatif . Administrasi sumatriptan, rizatriptan, dan zolmitriptan
dalam waktu 2 minggu terapi dengan inhibitor monoamine oxidase tidak
dianjurkan. Terapi bersamaan dengan selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
harus dipantau secara hati-hati karena laporan terisolasi sindrom serotonin di
sumatriptantreated pasien. Sering menggunakan triptans telah dikaitkan dengan
perkembangan penyalahgunaan obat sakit kepala.

TERAPI PENCEGAHAN
-adrenergik ANTAGONIS
- adrenergik antagonis adalah obat yang paling banyak digunakan untuk
migrain profilaksis. Propranolol, nadolol, timolol, atenolol, dan metoprolol telah
membuktikan keberhasilan dalam uji klinis terkontrol , mengurangi frekuensi
serangan sebesar 50 % pada 60 % sampai 80 % dari pasien (lihat Tabel 59-5 ).
Karena efektivitas relatif dari setiap agen belum ditetapkan, pemilihan - blocker
mungkin didasarkan pada selektivitas , kenyamanan formulasi, dan tolerabilitas.
- blocker dengan aktivitas simpatomimetik intrinsik tidak efektif untuk profilaksis
migrain. Meskipun mekanisme yang tepat mereka antimigren tindakan tidak
diketahui, mereka dapat meningkatkan ambang migrain oleh modulasi adrenergik
atau serotonergik neurotransmisi di kortikal atau jalur subkortikal. - blocker
sangat berguna pada pasien dengan komorbiditas kecemasan, hipertensi, atau
angina. Efek samping bisa termasuk mengantuk, lelah, gangguan tidur, mimpi
buruk, memori gangguan, depresi, impotensi , bradikardia, dan hipotensi. blocker harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kongestif gagal
jantung, penyakit pembuluh darah perifer, konduksi atrioventrikular gangguan,
asma, depresi, dan diabetes. Bronchoconstrictive dan efek hiperglikemik dapat
diminimalisasi dengan 1 selektif agen .
ANTIDEPRESAN
Efek menguntungkan dari antidepresan pada migrain adalah independen
aktivitas antidepresan dan mungkin berhubungan dengan downregulation dari 5 -

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
1

HT2 dan reseptor adrenergik sentral. Amitriptyline, antidepresan yang paling


banyak dipelajari untuk migrain profilaksis, telah menunjukkan keberhasilan
dalam studi plasebo-terkontrol dan komparatif. Penggunaan antidepresan lainnya
terutama didasarkan pada klinis dan anekdot.Pengalaman ( lihat Tabel 59-5 ).
Antidepresan trisiklik Lainnya (TCA) yang telah berhasil digunakan untuk
profilaksis migrain termasuk doksepin, nortriptyline, protriptyline, dan imipramine.
Antikolinergik Efek samping yang umum digunakan dan batas agen ini pada
pasien dengan benign prostatic hyperplasia dan glaukoma . dosis Evening lebih
disukai karena sedasi terkait. Peningkatan nafsu makan dan kenaikan berat
badan dapat terjadi. Hipotensi ortostatik dan toksisitas jantung (memperlambat
konduksi atrioventrikular) juga dilaporkan sesekali. Profil efek samping yang lebih
menguntungkan nortriptyline dan protriptyline bisa membuktikan menguntungkan
pada pasien yang sangat tidak toleran efek samping antikolinergik dan obat
penenang dari amitriptyline.
SSRI belum dipelajari secara ekstensif untuk pencegahan pengobatan
sakit kepala migrain, tetapi dokter telah menggunakan mereka tetap. Fluoxetine
adalah SSRI yang paling banyak dipelajari untuk pencegahan migrain, namun
manfaat definitif belum terbukti dalam ketat studi klinis. Data prospektif
mengevaluasi SSRI lain (misalnya, sertraline, paroxetine, fluvoxamine, dan
citalopram) masih kurang. Itu SSRI dianggap kurang efektif dibandingkan TCA
untuk migrain profilaksis tetapi telah mendapatkan bantuan dengan beberapa
dokter sebagai hasilnya profil yang merugikan-efek yang lebih menguntungkan
mereka. Agen ini harus tidak dianggap sebagai obat pertama atau kedua-line
untuk manajemen migrain, tetapi mereka berguna pada pasien dengan
komorbiditas depresi. Bukti awal menunjukkan manfaat mungkin dengan
venlafaxine, penghambat reuptake serotonin dan norepinefrin.
Inhibitor monoamine oxidase (MAOIs), seperti phenelzine, telah digunakan
dalam pengelolaan sakit kepala tahan api, tetapi profil merugikan efek kompleks
mereka membatasi penggunaannya untuk berpengalaman resep. Ketaatan diet
tyramine bebas diperlukan untuk menghindari potensi krisis hipertensi yang
mengancam jiwa.
ANTICONVULSANTS
Obat antikonvulsan telah muncul sebagai terapi yang penting pilihan untuk
pencegahan sakit kepala migrain. Efek menguntungkan agen ini kemungkinan
karena beberapa mekanisme aksi, termasuk peningkatan asam - aminobutyric (
GABA ) dimediasi penghambatan, modulasi neurotransmitter glutamat
rangsang dan penghambatan sodium dan calcium channel ion aktivitas.
antikonvulsan, seperti natrium divalproex dan topiramate, terutama berguna
dalam migraineurs dengan kejang komorbiditas, gangguan kecemasan, atau
gangguan bipolar. Khasiat asam valproik dan divalproex sodium (1:1 kombinasi
molar natrium valproate dan asam valproik) memiliki telah ditunjukkan dalam
beberapa studi plasebo-terkontrol. Mual dan muntah, efek samping awal yang
paling umum adalah self- terbatas dan tampaknya kurang umum dengan natrium
divalproex dan bertahap titrasi dosis. Alopecia, tremor, asth nia, mengantuk, dan
berat badan juga keluhan umum. Rumusan extended-release dari divalproex
natrium diberikan sekali sehari dan lebih baik ditoleransi daripada formulasi salut
enterik. Hepatotoksisitas adalah kebanyakan efek samping yang serius dari
terapi valproat, tetapi risiko tampaknya rendah migren ( misalnya , pasien yang
lebih tua dari 10 tahun yang menerima monoterapi dan telah ada yang
mendasari metabolisme atau neurologis gangguan). Hati awal tes fungsi harus
diperoleh, tetapi tindak lanjut studi rutin tidak diperlukan pada orang dewasa

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
2

asimtomatik pada monoterapi. Evaluasi Pasien dianjurkan setiap 1 sampai 2


bulan selama 6 sampai 9 bulan pertama terapi. Valproate merupakan
kontraindikasi pada wanita hamil (karena potensi teratogenik) dan pasien dengan
riwayat pankreatitis atau penyakit hati kronis. meskipun valproate penentuan
tingkat mungkin berguna untuk menilai kepatuhan dan toksisitas, penelitian
terbaru menunjukkan bahwa kadar serum kurang dari 50 mcg / mL (tingkat terapi
biasa adalah 50 sampai 100 mcg / mL) dapat memberikan manfaat serupa
dengan tingkat yang lebih tinggi
Topiramate saat ini sedang menjalani review FDA untuk migrain profilaksis
indikasi berdasarkan hasil acak, doubleblind studi yang menunjukkan penurunan
secara signifikan lebih besar dalam mean frekuensi migrain bulanan dengan 100
dan 200 mg sehari topiramate dibandingkan dengan plasebo. Efek samping
pengobatan- muncul terkait dengan topiramate termasuk paresthesia, kelelahan,
anoreksia, diare, penurunan berat badan, kesulitan dengan memori, dan mual.
Batu ginjal, miopia akut dan akut glaukoma sudut tertutup, dan oligohidrosis telah
dilaporkan jarang dengan penggunaan topiramate. Sebuah penelitian baru
menunjukkan bahwa gabapentin juga dapat menjadi efektif agen untuk
pencegahan migrain pada pasien mencapai dosis harian 2.400 mg. Mengantuk ,
pusing , dan asthenia adalah yang paling sering dilaporkan efek samping . Studi
awal menunjukkan sebuah peran yang mungkin untuk antikonvulsan lainnya,
termasuk tiagabine , levetiracetam dan zonisamide, namun studi klinis lebih lanjut
diperlukan untuk mengkonfirmasi utilitas mereka dalam profilaksis migrain.
CALCIUM CHANNEL BLOCKERS
Calcium channel blockers umumnya dianggap secondor Pilihan ketiga-line untuk
pengobatan pencegahan bila obat lain dengan manfaat klinis yang ditetapkan
tidak efektif atau kontraindikasi.
Verapamil adalah yang paling banyak
digunakan calcium channel blocker untuk pencegahan pengobatan, tetapi
disediakan hanya sedikit manfaat dalam menurunkan frekuensi serangan dalam
dua studi plasebo-terkontrol. Terapeutik efek verapamil mungkin tidak dicatat
sampai 8 minggu setelah inisiasi terapi. Efek samping dari verapamil mungkin
termasuk sembelit, hipotensi, bradikardia, blok atrioventrikular, dan eksaserbasi
gagal jantung kongestif. Evaluasi nifedipin, nimodipin, diltiazem, dan nicardipine
telah menghasilkan hasil yang samar-samar.
METHYSERGIDE
The semisintetik alkaloid ergot methysergide adalah reseptor 5-HT2 ampuh
antagonis yang muncul untuk menstabilkan neurotransmisi serotonergik dalam
sistem trigeminovaskular untuk memblokir pembangunan peradangan
neurogenik. Meskipun methysergide adalah efektif pengobatan preventif, utilitas
dibatasi oleh jarang (1 dalam 5000 pasien) pengembangan retroperitoneal,
endokardium, dan fibrosis paru selama pemberian jangka panjang. Akibatnya,
sebuah pengobatan bebas interval 4 minggu dianjurkan mengikuti setiap 6 bulan
masa pengobatan. Dosis harus dikurangi selama minggu 1 periode untuk
mencegah sakit kepala melambung. Pemantauan untuk komplikasi fibrosis harus
mencakup auskultasi berkala jantung, serta sebagai tahunan roentgenografi
dada, echocardiography, dan perut magnetic resonance imaging. Methysergide
paling ditoleransi ketika diambil dengan makanan. Selain intoleransi
gastrointestinal, otot sakit, kram kaki, klaudikasio, berat badan, dan halusinasi
yang juga dilaporkan dengan penggunaannya. Hal ini kontraindikasi pada
kehamilan, perifer gangguan pembuluh darah, penyakit arteri koroner, hipertensi
berat, tromboflebitis atau cellulitis dari kaki, penyakit ulkus peptikum, hati atau
disfungsi ginjal, dan penyakit jantung katup. vasospasme perifer dan klaudikasio

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
3

parah telah dilaporkan kadang-kadang dalam pasien tanpa riwayat penyakit


pembuluh darah. methysergide adalah dicadangkan untuk pasien dengan sakit
kepala tahan api yang tidak merespon terapi pencegahan lainnya.
Nonsteroidal anti-INFLAMASI (NSAIDS)
NSAID sederhana efektif untuk mengurangi frekuensi, keparahan, dan durasi
serangan migrain, namun potensi gastrointestinal dan toksisitas ginjal dapat
membatasi penggunaan sehari-hari atau berkepanjangan ini agen. Akibatnya,
NSAID telah digunakan sebentar-sebentar untuk mencegah sakit kepala yang
berulang dalam pola diprediksi, seperti menstruasi migrain. Administrasi NSAID
pada periode perimenstrual mungkin bermanfaat pada wanita dengan benar
migrain menstruasi. NSAID harus dimulai 1 sampai 2 hari sebelum onset
diharapkan sakit kepala dan dilanjutkan selama periode kerentanan. produksi
prostaglandin dapat ditingkatkan pada wanita dengan migrain menstruasi, dan
mekanisme pencegahan NSAID diduga melibatkan penghambatan sintesis
prostaglandin. Jika terapi NSAID jangka panjang dimulai, pemantauan fungsi
ginjal dan kehilangan darah okultisme diperlukan.
AGEN PROFILAKSIS LAIN-LAIN
Sebuah double-blind , placebo-controlled menunjukkan efikasiriboflavin ( vitamin B2 )
400 mg setiap hari di profilaksis migrain . riboflavindikaitkan dengan 50 % atau
peningkatan yang lebih besar dalam seranganfrekuensi pada 59 % pasien. Suntikan
Baru-baru ini , dari lokaltoksin botulinum tipe A telah mengurangi frekuensi , keparahan
, dan kecacatanterkait dengan sakit kepala migrain secara signifikan dalam tiga kecil
double-blind , plasebo - terkontrol . Angiotensin-converting The enzim inhibitor lisinopril
dan penghambat reseptor angiotensin II candesartan disediakan efektif profilaksis
migrain di doubleblind baru-baru ini, placebo-controlled , studi crossover agen ini. lebih
lanjutpenelitian diperlukan untuk menentukan keamanan dan kemanjuran herbalobat
feverfew ( Tanacetum parthenium ) karena penelitian sampai saat initelah menghasilkan
hasil yang bertentangan . Penulis double-blind terakhir, studi plasebo-terkontrol
menyimpulkan bahwa petasites , ekstrak dari tanaman Petasites hybridus, mungkin
merupakan pengobatan yang efektif untuk pencegahan migrain . Studi lebih lanjut
adalah perlu untuk menentukan utilitas klinis dan kemanjuran komparatif dari agenagen untuk pengelolaan profilaksis migrain.
PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMI
Meskipun migrain secara luas diakui sebagai penyakit yang menuntut
suatukorban yang sangat besar pada penderitanya, biaya langsung dan tidak
langsung terkaitdengan migrain memaksakan beban yang cukup besar pada
masyarakatjuga. Biaya langsung yang berkaitan dengan diagnosis migrain dan
pengobatan yang substansial. Volume pelayanan kesehatan yang digunakan
oleh migren adalah dua atau lebih kali dari nonmigraineurs, dengan 2,5 kali lebih
banyak klaim farmasi, gawat darurat lebih kunjungan, dan lebih dari 6 kali biaya
prosedur diagnostik. A sebagian besar biaya pengobatan adalah farmakoterapi,
tapi ini sebenarnya merupakan sebagian kecil dari total biaya migrain. Biaya tidak
langsung dari penyakit yang berhubungan towork absensi, menurun produktivitas,
dan penurunan sangat melebihi biaya langsung medis peduli. Perkiraan biaya
tidak langsung yang berkaitan dengan kecacatan migrain, yang penentu yang
paling penting dari dampak ekonomi dari migrain, adalah sekitar $ 13000000000

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
4

setiap tahun Menurut American Migraine Study II, hanya 48% dari mereka yang
disurvei dengan gejala yang jelas dari migrain didiagnosis oleh seorang dokter.
Meskipun 96% dari penderita migrain yang parah mengambil beberapa obat
untuk sakit kepala mereka, hanya 41% dari mereka yang moderat sampai parah
cacat-sakit kepala yang berhubungan dengan minum obat resep. Karena banyak
penderita migren yang menerima pengalaman perawatan yang tidak memadai
tingkat substansial dari rasa sakit dan cacat, peningkatan diagnosis migrain,
perawatan, dan pengobatan berpotensi mengakibatkan langsung yang lebih
rendah dan biaya tidak langsung dari penyakit. Pendidikan pasien sakit kepala
tentang perilaku yang diperlukan perubahan dan efektif menggunakan farmakoterapi
akut dan profilaksis mungkin memakan waktu , tetapi juga sangat hemat biaya. Kelalaian
dapat menyebabkan penurunan kemanjuran obat yang dihasilkan di ulangi dosis dan
polifarmasi , penurunan kepatuhan , meningkat penggunaan gawat darurat , meningkat
" Dokter belanja, " dan, mungkin, peningkatan penggunaan prosedur diagnostik mahal
dan rawat inap layanan . Penelitian terbaru menunjukkan bahwa migrain yang efektif
pengobatan dapat mengurangi kehilangan produktivitas selama serangan migrain
Perawatan kesehatan penggunaan sumber daya dan waktu yang hilang dari
produktivitas kerja dan aktivitas nonworkplace juga berkurang secara signifikan 3
sampai 6 bulan setelah memulai terapi sumatriptan dalam sebuah managedcare
penduduk. Kualitas yang berhubungan dengan kesehatan hidup juga meningkat dalam
inipasien. Studi-studi ini menunjukkan bahwa manfaat klinis efektif Terapi migrain
akhirnya dapat diterjemahkan ke dalam penurunan tidak langsung biaya yang berkaitan
dengan migrain . Penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk menunjukkan nilai
farmakoterapi migrain efektif dalam mengurangi biaya keseluruhan pengelolaan
migraineur tersebut.
RINGKASAN
Farmakoterapi akut dan preventif untuk migrain harus individual berdasarkan
individu respon pasien , tolerabilitas agen yang tersedia , dan adanya penyakit
penyerta. Migrain manajemen harus individual atas dasar pasien klinis presentasi
dan riwayat kesehatan . Analgesik dan NSAID mungkin dianggap sebagai obat
pilihan untuk jarang ringan sampai sedang serangan. Para triptans atau
dihydroergotamine dapat digunakan sebagai agen sekunder jika terapi awal
terbukti tidak efektif atau sebagai terapi lini pertama sedang sampai migrain
parah . Terapi yang gagal harus dilembagakan awal dalam perjalanan serangan
untuk mengoptimalkan efektivitas dan meminimalkan migrainerelated rasa sakit
dan cacat. Terapi pencegahan harus dipertimbangkan dalam pengaturan migrain
berulang yang menghasilkan cacat yang signifikan, serangan sering
membutuhkan obat simtomatik lebih dari dua kali per minggu, terapi simtomatik
yang tidak efektif, kontraindikasi atau menghasilkan efek samping yang serius,
dan varian migrain biasa yang menyebabkan gangguan yang mendalam dan
atau risiko cedera neurologis . Keberhasilan rejimen profilaksis yang diresepkan
harus dinilai ulang secara berkala. Sebuah berkepanjangan Interval sakit kepala
- bebas dapat memungkinkan untuk dosis bertahap pengurangan dan
penghentian terapi .
KETEGANGAN-TYPE SAKIT KEPALA EPIDEMIOLOGI
Nyeri kepala tipe tegang adalah jenis yang paling umum dari sakit kepala primer,
dengan perkiraan prevalensi 1 tahun dari 63% pada pria dan 86% pada

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
5

perempuan. Onset pertama nyeri kepala tipe tegang biasanya pagi-puncak


kehidupan (sebelum usia 20 pada 40% pasien), dan prevalensi antara usia 20
dan 50 tahun. Hal ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, dengan rasio
perempuan-ke-laki-laki. Frekuensi rata-rata serangan adalah 2,9 hari per bulan,
dengan sebagian besar penderita mengalami kurang dari satu serangan per
bulan. Prevalensi tensiontype kronis sakit kepala (didefinisikan sebagai 180
hari sakit kepala per tahun) diperkirakan sebesar 2% sampai 3%. Meskipun
diperkirakan 60% dari nyeri kepala tipe tegang penderita mengalami beberapa
tingkat gangguan fungsional selama serangan mereka, hanya 16% dari pasien
telah berkonsultasi dengan dokter umum untuk sakit kepala mereka.
PATOFISIOLOGI
Meskipun nyeri kepala tipe tegang adalah jenis yang paling umum darisakit
kepala, itu adalah yang paling dipelajari dari gangguan sakit kepala primer, dan
ada pemahaman yang terbatas dari konsep patofisiologis kunci. Beberapa
praktisi berteori bahwa sakit kepala migrain dan ketegangan jenis mungkin
merupakan kontinum keparahan sakit kepala dalam yang sama entitas. Namun,
baru-baru ini, nyeri kepala tipe tegang telah diakui sebagai gangguan yang
berbeda. Rasa sakit episodik tipe tension sakit kepala ini diduga berasal dari
jaringan myofascial, meskipun mekanisme sentral juga mungkin terlibat. Setelah
aktivasi nyeri supraspinal struktur persepsi, diri - membatasi hasil sakit kepala di
sebagian besar individu karena modulasi pusat incoming stimuli perifer . Kronis
nyeri kepala tipe tegang dapat berkembang dari episodik sakit kepala tipe tegang
pada individu yang memiliki kecenderungan karena gangguan pengolahan
nociceptive pusat dan sensitisasi berikutnya dari CNS. Sangat mungkin bahwa
mekanisme patofisiologis lainnya juga berkontribusi terhadap perkembangan
nyeri kepala tipe tegang.
PRESENTASI KLINIS
Gejala pertanda dan aura tidak hadir dengan tipe tegang sakit kepala. Nyeri
biasanya ringan sampai sedang dan sering digambarkan sebagai membosankan,
sesak nonpulsatile atau tekanan. Bilateral Nyeri paling sering terjadi, tapi lokasi
dapat bervariasi (frontal dan temporal sakit yang paling umum, oksipital dan
parietal daerah mungkin juga terpengaruh). Rasa sakit ini klasik digambarkan
sebagai memiliki "pita sekeliling topi" pola. Gejala yang berhubungan umumnya
tidak hadir, tetapi fotofobia ringan atau phonophobia dapat dilaporkan. Kecacatan
yang terkait dengan nyeri kepala tipe tegang biasanya adalah kecil dibandingkan
dengan migrain sakit kepala, dan aktivitas fisik rutin tidak mempengaruhi sakit
kepala keparahan. Palpasi otot perikranium atau leher rahim dapat
mengungkapkan spot tender atau nodul lokal pada beberapa pasien. Tensiontype sakit kepala diklasifikasikan sebagai episodik (jarang atau sering) atau
kronis berdasarkan frekuensi dan durasi serangan
PENGOBATAN: Ketegangan-Type Sakit kepala
PENDEKATAN UMUM UNTUK PENGOBATAN
Sebagian besar episodic tipe tegang pada penderita sakit kepala berobat dengan
obat-obatan yang dijual bebas dan tidak berkonsultasi pada ahlinya kesehatan.
Sementara pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis yang tersedia,
umumnya analgetika dan NSAID yang digunakan untuk terapi akut. Sebagian

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
6

besar, pengobatam yang digunakan untuk sakit kepala tipe tegang belum pernah
dipelajari dan diuji klinis.

TERAPI NONFARMAKOLOGI
Pengobatan psychophysiologic dan fisioterapi telah digunakan dalam
pengelolaan sakit kepala tipe tegang. Pengobatan psychophysiologic dapat
berupa keyakinan dan konseling, penatalaksanaan stres, latihan relaksasi, dan
biofeedback. Terapi latihan relaksasi dan biofeedback (tunggal atau kombinasi)
dapat menimbulkan aktivitas penurunan 50% sakit kepala. Bukti yang
mendukung pilihan terapi fisik, seperti panas atau dingin, ultrasonografi, saraf
rangsangan listrik, peregangan, olahraga, pijat, akupunktur, manipulasi instruksi
yang ergonomis, dan suntikan memicu titik atau oksipital blok saraf. Namun,
pasien dapat mengambil manfaat dari modalitas yang dipilih (misalnya, pijat)
selama berlangsungnya sakit kepala akut tipe tegang.
TERAPI FARMAKOLOGI
Analgetika (tunggal atau kombinasi dengan kafein) dan NSAID efektif untuk
pengobatan sakit kepala tipe tegang ringan sampai sedang. Acetaminophen,
aspirin, ibuprofen, naproxen, ketoprofen, indometasin, dan ketorolac telah
menunjukkan keberhasilan perbandingan terkontrol plasebo. Kegagalan obat
yang dijual bebas dapat menjamin terapi dengan obat yang diresepkan. Dosis
maksimum NSAID dan kombinasi aspirin atau acetaminophen dengan butalbital
atau codeine adalah pilihan yang efektif. Pemakaian butalbital dan kombinasi
kodein dengan dosis tinggi sebaiknya dihindari agar tidak terjadi ketergantungan.
Seperti dengan sakit kepala migrain, pengobatan akut harus dilakukan untuk
episodik tipe sakit kepala tegang tidak lebih dari 2 hari per minggu untuk
mencegah perkembangan ketegangan jenis sakit kepala kronis. Belum ada bukti
efektivitas relaksan otot yang mendukung (misalnya, cyclobenzaprine, baclofen,
dan methocarbamal) dalam penanganan episodik tipe tegang sakit kepala.
Pencegahan pengobatan perlu dipertimbangkan jika frekuensi sakit kepala (lebih
dari dua per minggu), lamanya (lebih dari 3 -4 jam) atau tingkat keparahan dalam
penggunaan pengobatan berlebihan atau ketidakmampuan substansial. Prinsipprinsip pencegahan pengobatan untuk tipe sakit kepala tegang sama dengan
migrain. TCA sering diresepkan sebagai profilaksis, tetapi obat lain juga dapat
dipilih setelah mempertimbangkan kondisi kesehatan pasien yang bersangkutan
profil efek samping. Injeksi toksin botulinum ke perikranium otot yang telah
menunjukkan efektivitas dalam profilaksis kronis nyeri kepala tipe tegang dalam
dua baru ini diterbitkan terkontrol plasebo.
CLUSTER SAKIT KEPALA
EPIDEMIOLOGI
Sakit kepala Cluster, yang paling berat pada gangguan sakit kepala
primer,ditandai dengan serangan yang berat, nyeri kepala unilateral yangterjadi
pada seri yang berlangsung selama beberapa minggu atau bulan (yaitu, periode
cluster) yang dipisahkanoleh periode remisi beberapa bulan biasanya jangka
atau Cluster sakit kepala episodik atau kronis Cluster sakit kepala relatif jarang
di antara gangguan sakit kepala primer, dengan perkiraan prevalensi sekitar
0,4% untuk pria dan 0,08% untuk wanita. Tidak seperti migrain, laki-laki lebih
sering terjadi dibandingkan perempuan menderita klaster sakit kepala. Onset
dapat terjadi pada segala umur tetapi paling sering terjadi pada akhir usia dua

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
7

puluhan. Bukti terkini menunjukkan bahwa kecenderungan genetik untuk sakit


kepala cluster mungkin terjadi di beberapa keluarga.
PATOFISIOLOGI
Etiologi dan mekanisme patofisiologi sakit kepala cluster tidak sepenuhnya
dipahami. Mirip dengan sakit kepala migrain, kepala nyeri serangan cluster
diperkirakan melibatkan pengaktifan trigeminovaskular saraf dengan rilis
berakibat neuropeptida vasoaktif dan berkembangnya steril, inflamasi
neurogenik. Karakteristik lokasi nyeri kepala muncul untuk melibatkan sinus
kavernosus sebagai lokasi dari proses pemicu. Inflamasi sakit kepala cluster
attacksmaycause pelepasan periodik dari sistem trigeminovaskular yang
mengakibatkan sakit kepala, namun mekanisme yang mengaktifkan sistem
trigeminovaskular ini belum dipahami. Periodisitas dan keteraturan serangan
mungkin melibatkan gangguan fungsi di hipotalamus dan mengakibatkan
perubahan dalam circadian rhythms dalam patogenesis cluster sakit kepala.
Perubahan Perubahan Hipotalamus-diinduksi kortisol, prolaktin, testosteron,
hormon pertumbuhan, -endorphin, dan melatonin telah dibuktikan selama
periode serangan sakit kepala cluster Studi neuroimaging dilakukan selama
serangan sakit kepala klaster akut telah menunjukkan aktivasi area abu-abu di
hipotalamus ipsilateral. Daerah ini dapat menjadi fundamental "driver" serangan
cluster. Karena sistem serotonergik memodulasi aktivitas di kedua hipotalamus
dan saraf trigeminovaskular, 5-HT dapat memegang peran penting dalam
patofisiologi sakit kepala cluster. Asosiasi sakit kepala cluster dengan ketinggian
tinggi hipoksia, rapid-eyemelakukan pergerakan terapi tidur, dan vasodilator,
serta efektivitas terhirup oksigen terapi batal menyerang klaster, menyatakan
bahwa hipoksemia juga memegang peran dalam patogenesis sakit kepala
cluster.
PERSENTASI KLINIS
Serangan terjadi pada periode cluster yang berlangsung 2 minggu sampai 3
bulan pada kebanyakan pasien, diikuti oleh panjang intervals bebas dari rasa
sakit. Periode remisi rata-rata 2 tahun tetapi telah dilaporkan dari 2 bulan menjadi
20 tahun lamanya. Sekitar 10% dari pasien memiliki kronis gejala tanpa periode
remisi. Serangan sakit kepala Cluster terjadi pada malam hari di lebih dari 50%
dari pasien dan menjadi terlihat pada musim semi dan musim gugur Serangan
terjadi tiba-tiba, dengan rasa sakit mencapai puncaknya cepat setelah onset dan
umumnya yang berlangsung 15-180 minutes. Aura tidak hadir dengan sakit
kepala cluster. Rasa sakit yang menyiksa dan penetrasi tetapi biasanya
nonthrobbing dan paling sering unilateral dalam orbital, supraorbital, dan lokasi
temporal. Sakit kepala terkait dengan syaraf otonom sesuai dengan saraf
simpatis dan saraf parasimpatik. Gejala ini timbul rasa nyeri dan meliputi injeksi
konjungtiva, lakrimasi, dan hidung tersumbat atau rhinorrhea. Kulit kepala
ipsilateral dan nyeri wajah, ptosis, miosis, dan pembengkakan periorbital juga
dijelaskan. Selama periode klaster, Serangan terjadi dari sekali setiap hari
sampai delapan kali setiap hari. Sedangkan pasien migrain mundur ke tenang
ruangan gelap, klaster pasien sakit kepala umumnya bergerak selama serangan
dan mungkin memukul kepala mereka terhadap benda dalam upaya untuk
meringankan nyeri. Pasien laki-laki sering memiliki riwayat merokok yang berat
dan / atau penggunaan alkohol. Kriteria diagnostik khusus untuk sakit kepala
cluster ada dalam sistem klasifikasi IHS.
PENGOBATAN: Sakit Kepala Cluster

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
8

Seperti pada migrain, terapi untuk sakit kepala cluster melibatkan kedua abortif
dan terapi profilaksis. Terapi abortif diarahkan untuk menangani serangan akut.
Terapi profilaksis ini dimaksudkan untuk mempersingkat serangan cluster
episodik, di samping untuk mengurangi frekuensi dan beratnya serangan di
kedua episodik dan kronis sakit kepala cluster. Terapi profilaksis dimulai pada
awal periode klaster dan dikelola setiap hari sampai pasien sakit kepala bebas
selama minimal 2 minggu. Pengobatan tersebut kemudian dikurangkan tetapi
dapat ulang dengan berikutnya periode klaster. Pasien dengan sakit kepala
klaster kronis mungkin memerlukan obat profilaksis selamanya.
TERAPI ABORTIF
Standar oengobatan akut sakit kepala cluster adalah menghirup 100% oksigen
dengan masker wajah pada tingkat 7-10 L / menit selama 10 sampai 15 menit.
Ulangi pemberian oksigen karena hanya sekadar menunda kekambuhan, bukan
membatalkan serangan tersebut di sejumlah pasien. Tidak ada efek samping
yang telah dilaporkan dengan pemakaian oksigen.
ERGOTAMINE DERIVATIVES
Intravena atau intramuskular dihydroergotamine memberikan efektif bantuan
untuk serangan akut sakit kepala cluster. Onset efek biasanya terjadi dalam
waktu 10 menit setelah pemberian intravena. Pemberian intramuskular efektif
dalam waktu 30 menit, dan pasien dapat dilatih mengunakan injeksi
intramuskular sendiri. Diulangi intravena dihydroergotamine selama 3 sampai 7
hari dapat memutus siklus sering klaster Serangan sakit kepala dengan efek
samping yang minimal. Ergotamin tartrat juga telah memberikan efektif bantuan
cluster Serangan sakit kepala bila diberikan sublingual atau dubur, tetapi
farmakokinetik sediaan ini sering membatasi penggunaan klinis mereka. Petunjuk
dosis adalah sama dengan yang untuk terapi migrain.
TRIPTANS
Subkutan dan intranasal sumatriptan dinilai aman dan efektif pengobatan untuk
sakit kepala cluster akut. Efek samping dilaporkan pada pasien dengan sakit
kepala klaster mirip dengan yang terjadi pada migren. Sumatriptan telah
digunakan dalam penatalaksanaan kluster sakit kepala hingga 1 tahun tidak
menunjukkan bukti atau tachyphylaxis peningkatan toksisitas. Oral sumatriptan
telah terbatasnya penggunaan dalam serangan klaster karena onset yang relatif
lama kerjanya; melalui mulut zolmitriptan, bagaimanapun, adalah berkhasiat
pada pasien dengan klaster episodik sakit kepala, dengan 60% dari pasien yang
mengalami bantuan (ringan atau tidak ada nyeri) selama 30 menit.
TERAPI PROFILAKSIS
Verapamil
Verapamil, calcium channel blocker yang diutamakan untuk pencegahan
terhadap sakit kepala cluster, efektif pada sekitar 70% pasien. Efek
menguntungkan dari verapamil sering muncul setelah 1 minggu terapi. Dosis
efektif biasanya berkisar 240-360 mg / hari untuk serangan episodik, tetapi dosis
yang lebih tinggi mungkin diperlukan untuk mengontrol klaster kronis sakit
kepala.
Lithium
Lithium karbonat efektif terhadap episodik dan kronis klaster serangan sakit
kepala, dengan efek menguntungkan sering muncul selama minggu pertama
terapi. Suatu respon positif terlihat pada sampai dengan 78% dari pasien dengan

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

23
9

sakit kepala klaster kronis dan pada sampai dengan 63% dari pasien dengan
sakit kepala cluster episodik. Dosis biasa lithium untuk cluster sakit kepala
adalah 600 hingga 900 mg / hari diberikan dalam dosis terbagi. Tachyphylaxis
untuk lithium telah dilaporkan selama terapi berkelanjutan. Tingkat lithium
plasma yang optimal untuk pencegahan cluster sakit kepala belum diketahui,
namun efektivitas telah dilaporkan pada konsentrasi serum yang relatif rendah
(0,3-0,8 mEq / L).
Efek samping awal dengan gejala sedang dan termasuk tremor, lesu,
mual, diare, dan ketidaknyamanan perut. Pengobatan lithium telah dikaitkan
dengan gejala sakit kepala digambarkan sebagai episode cukup yang berat,
nyeri berdenyut oksipital yang berlangsung 6 sampai 12 jam, tetapi ini sakit
kepala yang mudah dibedakan dari sakit kepala klaster dan menghilang ketika
lithium ditarik kembali. Lithium sebaiknya diberikan dengan peringatan kepada
pasien dengan ginjal yang signifikan atau penyakit jantung, dehidrasi, kehamilan,
atau penggunaan diuretik secara bersamaan.
ERGOTAMIN
Ergotamin dapat menjadi agen berkhasiat untuk profilaksis serta terapi abortif
sakit kepala cluster. Dosis 2-mg bermanfaat bagi pencegahan serangan sakit
kepala di malam hari. penggunaan sehari-hari 1 sampai 2 mg ergotamine tunggal
atau kombinasi dengan verapamil atau lithium dapat memberikan sakit kepala
yang efektif profilaksis pada pasien refrac ke obat lain dengan sedikit risiko
ergotism atau pantulan sakit kepala. Pada pasien yang tidak responsif terhadap
terapi lain, methysergide 4 sampai 8 mg / hari dalam dosis terbagi biasanya
efektif dalam sakit kepala cluster tentunya. Respon terhadap pengobatan
biasanya terjadi dalam 1 minggu inisiasi obat. Tingkat respons pada pasien
dengan sakit kepala klaster episodik mendekati 70%, tetapi klaster kronis sakit
kepala pasien menerima manfaat kurang. Tindakan terkait penggunaan
methysergide yang dijelaskan sebelumnya dalam bab ini.
Kortikosteroid
Kortikosteroid berguna untuk sakit kepala cluster kronis sukar disembuhkan
dengan verapamil, lithium, ergotamine, dan methysergide atau kombinasi dari
obat ini. Terapi dimulai dengan 40 sampai 60 mg / hari prednisone selama sekitar
3 minggu. kondisi terliat dalam 1 sampai 2 hari pada awal terapi. Untuk
mencegah terjadinya komplikasi steroid, penggunaan jangka panjang tidak
dianjurkan. Sakit kepala bisa kambuh ketika terapi diturunkan atau dihentikan.
Pengobatan lainnya
Terapi lain yang telah digunakan dalam penatalaksanaan akut cluster sakit
kepala termasuk lidokain intranasal, intranasal capsaicin, dan intramuskular
leuprolide. Bukti awal yang juga dapat mendukung penggunaan natrium
divalproex, gabapentin, baclofen, topiramate, dan fototerapi perawatan, tetapi
yang dirancang dengan baik, penelitian terkontrol yang dibutuhkan. Intervensi
bedah saraf mungkin diperlukan untuk pasien dengan sakit kepala klaster kronis
yang tahan terhadap semua terapi medis.
EVALUASI HASIL TERAPEUTIK
Akibat prevalensi gangguan sakit kepala, para dokter harus secara aktif terlibat
dalam isu-isu perawatan pasien. Pasien harus dipantau untuk frekuensi,
intensitas, dan lamanya sakit kepala, serta adanya perubahan dalam pola sakit
kepala. Untuk mencapai tujuan ini, penderita migren seharusnya dianjurkan
untuk menyimpan buku harian sakit kepala untuk mendokumentasikan
frekuensinya, parahnya, dan lamanya serangan migrain, serta respon terhadap
pengobatan dan faktor pemicu yang potensial. Pengawasan yang cermat

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24
0

sangatlah penting untuk mengawali terapi obat yang paling tepat, mencatat
pengobatan keberhasilan dan kegagalan, mengidentifikasi kontraindikasi
pengobatan, dan mencegah atau meminimalkan efek samping. Pasien yang
menggunakan terapi akut harus diawasi untuk frekuensi penggunaan resep dan
obat yang dijual bebas untuk mengidentifikasi penggunaan pengobatan potensial
sakit kepala. Konseling pasien diperlukan untuk memungkinkan adanya tepat
penggunaan obat (misalnya, penyuntikan sendiri dengan sumatriptan), untuk
mendukung awal penggunaan obat dalam siklus sakit kepala, dan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien. Ketaatan Petunjuk dosis harus ditekankan
untuk memperkecil potensi toksisitas. Pola penggunaan obat abortif dapat
didokumentasikan untuk menetapkan kebutuhan terapi profilaksis. Terapi
profilaksis juga harus diawasi dengan baik untuk yang merugikan reaksi,
kebutuhan abortif terapi, dosis yang cukup, dan kepatuhan. Berkonsultasi
dengan praktisi kesehatan lainnya harus didukung ketika perubahan pola sakit
kepala atau penggunaan obat yang terjadi.
KESIMPULAN
Meskipun gangguan sakit kepala seperti sakit kepala migrain dan klaster
tampaknya terjadi sebagai akibat dari gangguan fungsi saraf, etiologi yang tepat
dan sifat disfungsi belum diketahui. neurotransmisi serotonergik dan sistem
trigeminovaskular tampaknya memainkan penting peran. Suatu langkah
selanjutnya pasien hati-hati, termasuk riwayat pasien, fisik pemeriksaan, dan tes
laboratorium yang sesuai, harus mengidentifikasi sebagian sakit kepala pasien
dengan penyakit utama. Berbagai strategi yang dapat membantu untuk
mengelola
migrain,
tekanan-jenis
sakit
kepala
klaster
dan.
Manajemen gangguan sakit kepala primer diarahkan untuk menekan serangan
akut dan mencegah kambuh. Melanjutkan penelitian akan lebih baik menentukan
mekanisme patofisiologis dan membantu pencarian terhadap zat farmakologis
beracun dan yang lebih efektif.
SINGKATAN
CGRP: kalsitonin peptida-gen yang berhubungan
GABA: asam -aminobutyric
5-HT: serotonin, 5-hydroxytryptamine
IHS: International Headache Society
Inhibitor monoamine oxidase: MAOIs
NSAID: obat anti-inflamasi nonsteroid
SSRI: serotonin reuptake inhibitor
TCA: antidepresan trisiklik
R
REFERENSI
1. Silberstein SD, Lipton RB, Dalessio DJ. Overview, diagnosis, and
classification of headache. In: Silberstein SD, Lipton RB, Dalessio DJ, eds.
Wolffs Headache and Other Head Pain, 7th ed. New York, Oxford University
Press, 2001:626.
2. Mueller L. Tension-type, the forgotten headache. Postgrad Med 2002;111:
2550.
3. Headache Classification Committee of the International Headache Society.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24
1

The international classification of headache disorders, 2nd ed. Cephalalgia


2004;24(suppl 1):1151.
4. Silberstein SD, Lipton RB, Goadsby PJ. Headache in Clinical Practice.
London, Martin Dunitz, 2002:2133, 69128.
5. Lipton RB, Diamond S, Reed M, et al. Migraine diagnosis and treatment:
Results from the American Migraine Study II. Headache 2001;41:638
645.
6. Lipton RB, Stewart WF, Diamond S, et al. Prevalence and burden of
migraine in the United States: Data from the American Migraine Study II.
Headache 2001;41:646657.
7. Dahlof CGH. Current concepts of migraine and its treatment. Neurologia
1999;14:6777.
8. Hu XH, Markson LE, Lipton RB, et al. Burden of migraine in the United
States. Arch Intern Med 1999;159:813818.
9. Lance JW, Goadsby PJ. Mechanism and Management of Headache, 6th
ed. Oxford, UK, Butterworth Heinemann, 1998:916, 25157, 176205,
291298.
10. Hargreaves RJ, Shepheard SL. Pathophysiology of migraine: New insights.
Can J Neurol Sci 1999;26(suppl 3):S1219.
11. Edvinsson L. On migraine pathophysiology. In: Edvinsson L, ed. Migraine
and Headache Pathophysiology. London, Martin Dunitz, 1999:315.
12. Gardner K. The genetic basis of migraine: How much do we know? Can
J Neurol Sci 1999;26(suppl 3):S3743.
13. Hamel E. The biology of serotonin receptors: Focus on migraine
pathophysiology
and treatment. Can J Neurol Sci 1999;26(suppl 3):S26.
14. Silberstein SD. Migraine. Lancet 2004;363:381391.
15. Kaniecki RG. Diagnostic issues in migraine. Curr Pain Headache Rep
2001;5:183188.
16. Goadsby PJ, Lipton RB, Ferrari MD. Migraine: Current understanding
and treatment. N Engl J Med 2002;346:257270.
17. Dahlof CGH, Solomon GD. The burden of migraine to the individual
sufferer: A review. Eur J Neurol 1998;5:525533.
18. Solomon S. Migraine variants. Curr Pain Headache Rep 2001;5:165169.
19. Silberstein SD. Practice parameter: Evidence-based guidelines for migraine
headache (an evidence-based review). Neurology 2000;55:754
763.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24
2

20. Silberstein SD, Goadsby PJ, Lipton RB. Management of migraine: An


algorithmic approach. Neurology 2000;55(suppl 2):S4652.
21. Lipton RB, Stewart WF, Stone AM, et al. Stratified care vs step care
strategies for migraine: The disability in strategies of care study. JAMA
2000;284:25992605.
22. Ferrari MD. Migraine. Lancet 1998;351:10431051.
23. Bartleson JD. Treatment of migraine headaches. Mayo Clin Proc 1999;74:
702708.
24. Moore KL, Noble SL. Drug treatment of migraine: Acute therapy and
drug-rebound headache. Am Fam Phys 1997;56:20392048.
25. Silberstein SD, Goadsby PJ. Migraine: Preventive treatment. Cephalalgia
2002;22:491512.
26. Becker WJ. Evidence-based migraine prophylactic drug therapy. Can J
Neurol Sci 1999;26(suppl 3):S2732.
27. Ramadan NM, Silberstein SD, Freitag FG, et al. Evidence-based guidelines
for migraine headache in the primary care setting: Pharmacological
management for prevention of migraine. Accessed at www.aan.com/
professionals/practice/guidelines,2000.
28. SnowV,Weiss K,Wall EM, Mottur-Pilson C. Pharmacologic management
of acute attacks of migraine and prevention of migraine headache. Ann
Intern Med 2002;137:840849.
29. Silberstein S, Merriam G. Sex hormones and headache 1999. Neurology
1999;53(suppl 1):S313.
30. Becker WJ. Use of oral contraceptives in patients with migraine. Neurology
1999;53(suppl 1):S1925.
31. Aube M. Migraine in pregnancy. Neurology 1999;53(suppl 1):S2628.
32. Fettes I. Migraine in menopause. Neurology 1999;53(suppl 1):S2933.
33. Tonore TB, King DS, Noble SL. Do over-the-counter medications for
migraine hinder the physician? Curr Pain Headache Rep 2002,6:162167.
34. Matchar DB, Young WB, Rosenberg JA, et al. Evidence-based guidelines
for migraine headache in the primary care setting: Pharmacological management
of acute attacks. The US Headache Consortium, 2000; accessed
at www.aan.com/professionals/practice/guidelines.
35. del Rio MS, Silberstein SD. How to pick optimal acute treatment for
migraine headache. Curr Pain Headache Rep 2001;5:170178.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24
3

36. Lipton RB, Stewart WF, Ryan RE, et al. Efficacy and safety of
acetaminophen,
aspirin, and caffeine in alleviating migraine headache pain:
Three double-blind, randomized, placebo-controlled trials. Arch Neurol
1998;55:210217.
37. Richman PB, Reischel U, Ostrow A, et al. Droperidol for acute migraine
headache. Am J Emerg Med 1999;17:398400.
38. Krusz JC, Scott V, Belanger J. Intravenous propofol: Unique effectiveness
in treating intractable migraine. Headache 2000;40:224230.
39. Triner WR, Bartfield JM, Birdwell M, Robak N. Nitrous oxide for
the treatment of acute migraine headache. Am J Emerg Med 1999;17:
278281.
40. Silberstein SD. The pharmacology of ergotamine and dihydroergotamine.
Headache 1997;37(suppl 1):1525.
41. Tfelt-Hansen P, Saxena PR, Dahlof C, et al. Ergotamine in the acute
treatment
of migraine: A review and European consensus. Brain 2000;123:
918.
42. Aukerman G, Knutson D, Miser WF. Management of the acute migraine
headache. Am Fam Phys 2002;66:21232130, 21402141.
43. Logemann CD, Rankin LM. Newer intranasal migraine medications. Am
Fam Phys 2000;61:180186.
44. Lipton R. Ergotamine tartrate and dihydroergotamine mesylate: Safety
profiles. Headache 1997;37(suppl 1):S3341.
45. Rosenthal E, Sala F, Chichmanian RM, et al. Ergotism related to the
concurrent
administration of ergotamine tartrate and indinavir. JAMA 1999;
281:987.
46. Liaudet L, Buclin T, Jaccard C, Eckert P. Severe ergotism associated with
interaction between ritonavir and ergotamine. Br Med J 1999;318:771.
47. Tfelt-Hansen P, DeVries P, Saxena PR. Triptans in migraine: A comparative
review of pharmacology, pharmacokinetics, and efficacy. Drugs
2000;60:12591287.
48. Deleu D, Hanssens Y. Current and emerging second-generation triptans
in acute migraine therapy: A comparative review. J Clin Pharmacol
2000;40:687700.
49. Pringsheim T, Gawel M. Triptans: Are they all the same? Curr Pain
Headache Rep 2002;6:140146.
50. Ferrari MD, Roon KI, Lipton RB, Goadsby PJ. Oral triptans (serotonin

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24
4

5-HT1B/1D agonists) in acute migraine treatment: A meta-analysis of


53 trials. Lancet 2001;358:15581575.
51. Adelman JU, Adelman, RD. Current options for the prevention and treatment
of migraine. Clin Ther 2001;23:772788.
52. Cutrer FM. Antiepileptic drugs: How they work in headache. Headache
2001;41(suppl):S310.
53. Freitag FG. Divalproex sodium extended-release for the prophylaxis of
migraine headache. Expert Opin Pharmacother 2003;4:15731578.
54. Kinze S, Clauss M, Reuter U, et al. Valproic acid is effective in migraine
prophylaxis at lowserum levels:Aprospective open-label study. Headache
2001;41:774778.
55. Brandes JL, Saper JR, Diamond M, et al. Topiramate for migraine prevention:
A randomized controlled trial. JAMA 2004;291:965973.
56. Krymchantowski AV, Bigal ME, Moreira PF. New and emerging prophylactic
agents for migraine. CNS Drugs 2002;16:611634.
57. MathewNT, Rapoport A, Saper J, et al. Efficacy of gabapentin in migraine
prophylaxis. Headache 2001;41:119128.
58. Bigal ME, Krymchantowski AV, Rapoport AM. New developments in
migraine prophylaxis. Expert Opin Pharmacother 2003;4:433443.
59. Silberstein SD. Methysergide. Cephalalgia 1998;18:421435.
60. Boyle C. Management of menstrual migraine. Neurology 1999;53
(suppl 1):S1418.
61. Dodick DW. Botulinum neurotoxin for the treatment of migraine and
other primary headache disorders: From bench to bedside. Headache
2003;43(suppl 1):S2533.
62. Schrader H, Stovner LJ, Helde G, et al. Prophylactic treatment of migraine
with angiotensin converting enzyme inhibitor (lisinopril): Randomized,
placebo-controlled, crossover study. Br Med J 2001;322:15.
63. Tronvik E, Stovner LJ, Helde G, et al. Prophylactic treatment of migraine
with an angiotensin II receptor blocker: A randomized, controlled trial.
JAMA 2003;289:6569.
64.

Rapoport AM, Ademlan JU. Cost of


pharmacoeconomic
overview. Am J Managed Care 998;4:531545.

migraine

management:

65. Johnson K. Migraine therapy: Balancing efficacy and safety with quality
of life and cost. Formulary 2002;37:634644.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24
5

66. Cady RC, Ryan R, Jhingram P, et al. Sumatriptan injection reduces


productivity
loss during a migraine attack: Results of a double-blind, placebocontrolled
trial. Arch Intern Med 1998;158:10131018.
67. Lofland JH, Johnson NE, Batenhorst AS, Nash DB. Changes in resource
use and outcomes for patients with migraine treated with sumatriptan: A
managed-care perspective. Arch Intern Med 1999;159:857863.
68. Jensen R. Pathophysiological mechanisms of tension-type headache: A
review of epidemiological and experimental studies. Cephalalgia 1999;
19:602621.
69. Kaniecki RG. Migraine and tension-type headache: An assessment of
challenges in diagnosis. Neurology 2002;58(suppl 6):S1520.
70. Jensen R, Olesen J. Tension-type headache: An update on mechanisms
and treatment. Curr Opin Neurol 2000;13:285289.
71. Solomon S, Newman LC. Episodic tension-type headaches. In: Silberstein
SD, Lipton RB, Dalessio DJ, eds.Wolffs Headache and Other Head Pain,
7th ed. New York, Oxford University Press, 2001:238246.
72. Mendizabal JE, Umana E, Zweifler RM. Cluster headache: Hortons
cephalalgia revisited. South Med J 1998;91:606617.
73. Gobel H, LindnerV, Heinz A, et al. Acute therapy for cluster headache with
sumatriptan: Findings of a one-year long-term study. Neurology 1998;
51:430435.
74. Bahra A, Gawel MJ, Hardebo JE, et al. Oral zolmitriptan is effective
in the acute treatment of cluster headache. Neurology 2000;54:291
296.
75. Hanit-Hering R, Gadoth N. Baclofen in cluster headache. Headache
2000;40:4851.
76. Wheeler SD, Carrazana EJ. Topiramate-treated cluster headache. Neurology
1999;53:234236.

TRANSLATOR : RANGGA MANDELA

24
6

Anda mungkin juga menyukai