Anda di halaman 1dari 18

TUTORIAL II NOVEMBER, 2019

PENURUNAN KESADARAN

Disusun Oleh :
Nama : Riestantya Utami Ningrum
NIM : N 111 18 038

KEPANITERAAN KLINIK
KEGIATAN BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
1.) . Anamnesis dalam kasus gangguan kesadaran
Auto-anamnesis masih dapat dilakukan bila gangguan kesadaran masih bersifat ”ringan”,
pasien masih dapat menjawab pertanyaan (lihat pemeriksaan Glasgow Coma Scale/
GCS). Hasil auto-anamnesis ini dapat dimanfaatkan untuk menetapkan adanya gangguan
kesadaran yang bersifat psikiatrik – termasuk sindrom otak organik atau gangguan
kesadaran yang bersifat neurologik (dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif ke
dalam GCS). Namun demikian arti klinis dari anamnesis perlu dicari dari dengan hetero-
anamnesis, yaitu anamnesis terhadap pengantar dan atau keluarganya. Berbagai hal yang
perlu ditanyakan pada saat anamnesis adalah sebagai berikut:
i. Penyakit yang pernah diderita sebelum terjadinya gangguan kesadaran, misalnya
diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, epilepsi, adiksi obat tertentu
ii. Keluhan pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran, antara lain nyeri kepala yang
mendadak atau sudah lama, perasaan pusing berputar, mual dan muntah, penglihatan
ganda, kejang, kelumpuhan anggota gerak.
iii. Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat penenang, obat tidur,
antikoagulansia, obat antidiabetes (dapat dalam bentuk injeksi), antihipertensi.
iv. Apakah gangguan kesadaran terjadi secara bertahap atau mendadak, apakah disertai
gejala lain / ikutan?
v. Apakah ada inkontinensi urin dan / atau alvi?
vi. Apakah dijumpai surat tertentu (misalnya ”perpisahan”)?

1. Anamnesis identitas pasien secara lengkap (allo-anamnesis).


2. Sejak kapan tidak sadar ? sudah sekitar berapa jam ?
3. Apakah terjadinya gangguan mendadak atau perlahan-lahan ?
4. Apakah sebelum terjadi penurunan kesadaran ada keluhan (misalnya sakit kepala yang
makin bertambah berat, demam tinggi, banyak masalah/stress) ?
5. Apakah ada keluhan sesak nafas sebelum terjadi penurunan kesadaran ?
6. Apakah sebelum terjadi penurunan kesadaran pasien melakukan aktivitas atau
sementara beristirahat ?
7. Apakah ada muntah sebelumnya ?
8. Dimana pasien jatuh pingsan atau tidak sadar ? Apakah dirumah (misalnya di kamar
mandi atau di tempat tidur) ? Apakah diluar rumah (dijalan) ?
9. Apakah ada riwayat trauma kepala ? Kapan ?
10. Apakah selama ini pasien menderita penyakit (misalnya DM, hipertensi, ginjal, liver,
epilepsi) ?
11. Apakah pasien mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya atau narkoba ?
12. Apakah pasien pernah mengalami penurunan kesadaran atau pingsan sebelumnya
(misalnya karena hipertensi, epilepsi, disertai kejang) ?
13. Adakah yang melihat waktu pasien pingsan (misalnya dikamar mandi sendirian dan
tidak sadarkan diri, ada bekas obat atau minuman, disertai mendengkur atau tidak) ?
14. Apakah disertai kelumpuhan separuh badan ?
15. Apakah setelah pingsan bisa sadar lagi ?

2.) Arti klinis pemeriksaan neurologis

Setelah pemeriksaan umum, dilanjutkan dengan pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan


neurologi pada pasien koma memerlukan observasi lebih teliti dan pemberian stimulus yang
adekuat. Pemeriksa membuka selimut ataupun pakaian yang menutupi ekstremitas atas dan
bawah untuk observasi. Dilakukan inspeksi apakah ada gerakan spontan seperti gerakan
ritmik yang mungkin menandakan adanya kejang. Pemeriksaan saraf kranial bermakna
untuk menilai refl eks. Pemeriksaan fungsi batang otak meliputi pemeriksaan pupil (ukuran,
simetris, dan reaktivitasnya), refl eks kornea, pemeriksaan doll’s eyes movement/refleks
okulosefalik jika tidak ada kecurigaan terhadap trauma servikal, reflex vestibulookular/
pemeriksaan kalorik, gag reflex, serta reflex muntah dan batuk.

Observasi kedua mata untuk melihat adanya gerakan spontan atau diskonjugasi bola
mata. Pemeriksaan refl eks cahaya langsung dilakukan satu per satu pada kedua mata.
Perbedaan respons terhadap refleks cahaya langsung dan/atau diameter pupil menandakan
disfungsi pupil. Disfungsi pupil lebih sering disebabkan oleh gangguan struktural seperti
perdarahan dan infark. Dilatasi pupil unilateral menunjuk kan adanya penekanan nervus III
akibat herniasi lokal ipsilateral atau adanya lesi massa. Pupil kecil dan tidak reaktif
menunjukkan adanya gangguan batang otak. Dilatasi pupil dan tidak reaktif terjadi pada
anoksia berat atau kerusakan midbrain atau kompresi fokal nervus okulomotorius. Pinpoint
pupils menandakan kerusakan pons yang biasa nya disebabkan oleh perdarahan/infark. Pada
funduskopi, dapat ditemukan papilledema menandakan peningkatan tekanan intrakranial,
dan/atau perdarahan retina. Gerakan bola mata diperiksa menggunakan dua maneuver, yaitu
OculoCephalic Refl ex (OCR) atau Doll’s Eyes Manuever dan OculoVestibular Refl ex
(OVR) atau Cold Caloric Test. Pemeriksaan OCR dilakukan jika sudah dipastikan tidak ada
trauma servikal. Pada pemeriksaan ini kepala pasien diputar secara horizontal, cepat dan
berhenti sesaat pada posisi terjauh. Yang diobservasi adalah gerakan bola mata selama 1
menit. Pada fungsi batang otak yang masih normal bola mata akan bergerak berlawanan
dengan arah gerakan.

Roving eye movement menandakan adanya gangguan metabolik atau toxic


encephalopathy atau adanya lesi bilateral di atas batang otak. Gerakan bola mata“ping-
pong”merupakan variasi roving eye movement, berupa gerakan mata horizontal
repetitif/bolak-balik dengan pause selama beberapa detik di posisi lateral. Gerakan bola
mata ini dapat menunjukkan lesi struktural vermis serebelar. Upward or downward beating
eye movement merupakan gerakan nistagmus vertikal, sering menandakan disfungsi batang
otak bagian bawah. Retraction nystagmus menandakan adanya lesi tegmentum.

Ocular bobbing adalah gerakan menyentak bola mata yang cepat dan kuat ke arah
bawah dengan gerakan lambat saat bola mata kembali ke posisi tengah; merupakan tanda
khas lesi ponto-medullary junction.

Berikutnya adalah pemeriksaan OVR. Pastikan patensi external auditory canal.


Bersihkan lubang telinga dari serumen atau debris. Pastikan membran timpani masih dalam
keadaan intak. Kepala pasien diangka. Air dingin dialirkan ke dalam salah satu external
auditory canal selama 60 detik. Kemudian observasi pergerakan bola mata. Pada batang otak
normal, bola mata akan berdeviasi berlawanan dengan telinga yang dialiri air dingin, kadang
disertai nistagmus dengan komponen cepat ke arah berlawanan dari telinga yang dialiri air
dingin. Jika lesi terletak di batang otak bagian bawah maka tidak ada pergerakan bola mata
pada segala macam stimulus seperti pada kasus kematian batang otak. Setelah pemeriksaan
terhadap mata, selanjutnya dilakukan pemeriksaan refleks.
Pemeriksaan refleks meliputi pemeriksaan refleks kornea, refleks batuk, refleks fi
siologis, dan refleks patologis. Pada pemeriksaan refleks kornea, pemeriksa menggoreskan
ujung kapas secara lembut atau meniupkan udara ke kornea. Refleks dinyatakan positif jika
mata berkedip saat dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan refleks muntah dan batuk dilakukan
menggunakan kateter isap yang dimasukkan kedalam trakea. Refleks di nyata kan positif
jika pasien muntah dan batuk. Selanjutnya diperiksa dua refleks lagi, yaitu refleks fisiologis
dan refleks patologis anggota gerak. Pemeriksaan refleks fisiologis meliputi tendon biseps,
triseps, patella, dan Achilles. Adanya hiperrefleks menandakan adanya lesi upper motor
neuron (UMN). Kemudian pemeriksaan refleks patologis meliputi Babinski, Chaddock,
Oppenheim, Gordon, Schaeffer, dan Hoff mann-Tromner. Adanya refleks patologis
menandakan lesi UMN.
3.) Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK :

a. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepala terjadi
karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan duramater akan memberikan gejala yang
berat pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat, bersin.
b. Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.
c. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus yang
berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini merupakan indikator klinis
yang baik untuk hipertensi intrakranial.
d. Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran; gelisah,
iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi motorik.
e. Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan merupakan
gejala permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak 15%. Frekuensi kejang
akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan tumor. Pada tumor di fossa posterior
kejang hanya terlihat pada stadium yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968)
mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang letaknya dekat
korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam
dari himisfer, batang otak dan difossa posterior
f. Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan penggeseran
jaringan otak maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda umum Cushing’s
triad (hipertensi, bradikardi, respirasi ireguler) muncul. Pola nafas akan dapat
membantu melokalisasi level cedera.

Onset terjadinya juga harus diperhatikan seperti onset yang cepat biasanya karena
perdarahan, hidrosefalus akut, atau trauma, onset yang bertahap karena tumor, hidrosefalus
yang sudah lama, atau abses. Riwayat kanker sebelumnya, berkurangnya berat badan,
merokok, penggunaan obat-obatan, koagulopati, trauma, atau penyakit iskemik dapat berguna
dalam mencari etiologi.
4.) Manajemen peningkatan TIK

Hipertensi intrakranial adalah besarnya TIK >15 mmHg. Sedangkan literatur lain hipertensi
intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg dan menetap lebih dari 20 menit.
Peningkatan progresif dari batas ini atau TIK yang terus menerus >20 mmHg, disarankan untuk
melakukan pemeriksaan dan penanganan. Peningkatan progresif dari TIK dapat mengindikasikan
memburuknya hemoragik/hematom, edema, hidrosefalus, atau kombinasinya dan merupakan
indikasi dilakukannya pemeriksaan CTscan. Peningkatan terus menerus TIK akan memperparah
resiko terjadinya cedera sekunder (komplikasi) berupa iskemik dan herniasi.

Penanganan konvensional
- Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena
- Peningkatan MAP (jika perlu)
- Pa CO2 30-35 mmHg, atau 25-30 mmHG jika terdapat tanda-tanda herniasi
- Manitol 0,5 – 1,0 g/kg tiap 6 jam(jika perlu) dan furosemid 20 mg(jika perlu)
- Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan
- Pemberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/ atau propofol
- Penyesuaian kadar PEEP
- Mempertahankan normovolemia, awasi CVP

Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan konvensional )


- Induksi hipotermi pada 33-34o C
- Supresi EEG maksimal dengan induksi propofol atau barbiturate
- Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg
- Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor kadar natrium

Penanganan ekstrim
- Kraniektomi dekompressi
- Eksisi jaringan infark(lobektomi)

Tujuan terapi peningkatan TIK ini adalah menjaga agar TIK < 20 mmHg dan menjaga agar CPP
> 60 - 70 mmHg.
5.) Koma dapat dibagi dalam:
1. Koma supratentorial diensefalik
2. Koma infratentorial diensefalik
3. Koma bihemisferik difus

Koma Supratentorial Diensefalik

Semua proses supratentorial yang dapat mengakibatkan destruksi dan kompresi pada
substansia retikularis diensefalon (nuclei intralaminar) akan menimbulkan koma. Destruksi
dalam arti destruksi morfologi, dapat terjadi akibat perdarahan atau infiltrasi dan metastasis
tumor ganas. Destruksi dalam arti destruksi biokomia, dijumpai pada meningitis.
Kompresi dapat disebabkan oleh proses desak ruang, baik yang berupa hematoma atau
neoplasma. Proses desak ruang mendesak secara radial kemudian akan mendesak ke bawah
secara progresif, mengingat adanya foramen magnum sebagai satu-satunya pintu dari suatu ruang
yang tertutup. Akibat kompresi rostro-kaudal itu, secara berturut-turut mesensefalon, pons atau
medulla oblongata akan mengalami desakan. Sehingga sindrom lesi transversal setinggi
mesensefalon, pons dan medulla oblongata akan timbul secara bergiliran.
Proses desak ruang supratentorial yang bisa menimbulkan koma supratentorial dapat dibagi
dalam 3 golongan:
1) proses desak ruang yang meninggikan tekanan di dalam ruang intracranial supretentorial
secara akut
2) lesi yang menimbulkan sindrom unkus
3) lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostro-kaudal terhadap batang
otak

Tekanan intrakranial supratentorial yang mendadak menjadi tinggi


Keadaan di atas dapat dijumpai jika terdapat hemoragia serebri yang masif atau
perdarahan epdural. Kompresi supratentorial yang tiba-tiba itu, langsung mendesak bangunan
yang terletak infratentorial. Oleh karena itu secara tiba-tiba tekanan darah melonjak, nadi
menjadi lambat dan kesadaran menurun secara progresif. Trias ini dikenal sebagai sindrom
Kocher-Cushing. Pada umumnya trias tersebut merupakan ciri-ciri koma akibat proses
infratentorial.

Sindrom Unkus
Sindrom unkus dikenal juga sebagai sindrom kompresi diensefalon ke lateral. Proses
desak ruang di bagian lateral dari fosa cranii media biasanya mendesak tepi medial unkus dan
girus hipokampalis dan kolong tepi bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukannya
diensefalon yang pertama-tama mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus
occulomotorius. Maka dari itu gejala yang pertama akan dijumpai bukannya gangguan kesadaran
akan tetapi dilatasi pupil kontralateral. Pupil yang melebar itu mecerminkan penekanan terhadap
nervus occulomotorius dari bawah oleh arteria serebeli. Tahap yang segera menyusul ialah tahap
kelumpuhan nervus occulomotorius totalis. Progresi bisa cepat sekali, dan juga pedunkulus
serebri kontralateral mengalami iskemia pada tahap ini. Sehingga hemiparesis timbula pada sisi
proses desak ruang supratentorial yang bersangkutan. Pada tahap perkembangan ini juga diikuti
progresifitas penurunan kesadaran.

Sindrom kompresi rostrkaudal terhadap batang otak.


Proses desak ruang supratentorial secara berangsur-angsur dapat menimbulkan kompresi
terhadap bagian rostral batang otak. Prose tersebut meliputi:
a. herniasi girus singuli di kolong falks serebri
b. herniasi lobus temporalis di kolong tentorium
c. penjiratan diensefalon dan bagian rostral mesensefalon oleh tepi bebas daun tentorium
secara bilateral
Pada tahap dini dari kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan kita dapati (1)
respirasi yang kurang teratur, yang sering mendahului respirasi jenis Cheyne-Stokes; (2) pupil
kedua sisi sempit sekali; (3) kedua bola mata bergerak perlahan-lahan secara konjugat ke
samping kiri dan kanan bahkan dapat bergerak secara divergen; (4) gejala-gejala UMN pada
kedua sisi. Ini merupakan gejala tahap diensefalon.
Pada tahap kompresi rostro-kaudal berikutnya (1) kesadaran menurun sampai derajat
yang paling rendah; (2) suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus; (3)
respirasi menjadi cepat dan mendengkur; (4) pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur
menjadi lebar dan tidak bereaksi lagi terhadap sinar cahaya. Itulah manifestasi tahap
mesensefalon.
Tahap selanjutnya ialah tahap pontin, dimana hiperventilasi berselingan dengan apnoe
dan rigiditas deserebrasi akan dijumpai.
Tahap terminalnya dinamakan tahap medula oblongata. Pernafasan menjadi lambat
namun tidak teratur. Nadi menjadi lambat pula atau justru cepat lagi dan tekanan darah menurun
secara progresif.

Koma Infratentorial Diensefalik

Lesi vaskular di batang otak dan lesi desak ruang di fosa serebri posterior merupakan
kausa koma ini. Lesi vaskular terjadi karena penyumbatan arteria basilaris dan lesi non-vaskular
dapat berupa neoplasma primer maupun sekunder, granuloma, dan abses.
Sindroma lesi infratentorial yang dapat membangkitkan terjadinya koma dapat dibedakan
dalam:
1. Sindroma lesi infratentorial dengan kompresi difusse ascending reticular system.
Lesi fosa posterior serebri yang terletak di luar batang otak dapat menimbulkan koma
melalui 3 jalan:
a. Penekanan langsung pada tegmentum pons
b. Herniasi ke atas, dimana serebellum mendesak medio-rostral, sehingga mesesefalon
tertekan.
c. Herniasi ke bawah, sehingga medulla oblongata mengalami penekanan.
Untuk manifes ketiganya biasanya berbaruan, oleh karena manifestasinya berjalan
serempak. Gamabaran manifesnya antara lain:
- Muntah-muntah
- Kelumpuhan beberapa saraf otak
- Deviation conjugee
- Pupil sempit dan tak bereaksi terhadap cahaya
- Proptosis dapat timbul jika vena galeni tersembut
- Kesadaran menurun yang menjurus ke koma
- Hiperventilasi
2. Sindroma lesi infratentorial dengan destruksi difusse ascending reticular system
Terjadi destruksi difusse ascending reticular system langsung dapat menimbulkan koma.
Koma yang terjadi diiringi tanda-tanda pola respirasi, pupil, dan gerakan yang khas.
Tanda-tanda yang sering dijumpai:
- Paralisis N.III, yang gejalanya antara lain:
 Paralisis salah satu atau kedua otot rekstus internus
 Gerakan konvergensi masih dapat dilakukan
 Nistagmus telihat pada mata yang berdeviasi ke samping
 Kedudukan bola mata tidak sama tingginya
- Hemiparesis alternans atau tetraplegia
- Hiperventilasi (tingkat pons-medula oblongata)
- Pernapasan tak teratur (tahap medula oblongata)

Koma Bihemisferik Difus

Koma ini terjadi karena metabolism neuronal kedua belah hemisferium terganggu secar
difus. Jika otak tidak mendapat bahan enersi dari luar, maka metabolism oksidatif serebral akan
berjalan dengan enersi intirksik. Jika bahan enersi diri sendiri tidak lagi mencukupi kebutuhan,
maka otak akan tetap memakai enersi yang terkandung oleh neuron-neuronnya untuk masih bisa
berfungsi sebagaimana mestinya. Jika keadaan ini berlangsung cukup lama, neuron-neuron akan
menghancurkan diri sendiri.
Bahan yang diperlukan untuk metabolism oksidatif serebral adalah glokose dan zat asam.
Yang mengangkut glukosa dan oksigen ke otak ialah aliran darah serebral. Semua proses yang
menghalang-halangi transprtasi itu dapat mengganggu dan akhirnya memusnahkan neuron-
neuron otak. Jika neuron-neuron hemisferium tidak lagi berfungsi, maka akan terjadilah koma.
Koma akibat proses patologik itu disebabkan oleh 2 golongan penyakit, yaitu:
1) Ensefalopati metabolic primer
2) Ensefalopati sekunder

1) Ensefalopati metabolic primer


Yang tergolong dalam ensefalopati metabolic primer adalah :
a) Degenarasi di substansia grisea otak, yaitu penyakit Jacob-cruetzfeldt, penyakit pick,
penyakit Alzheimer. Korea Huntington.
b) Degenerasi di substansia alba otak, yaitu penyakit schilder, dan berbagai jenis
leukodistrofia.
2) Ensefalopati Sekunder
Sebab-sebab terjadinya ensefalopati sekunder adalah :
 Kekurangan zat asam, glukosa dan kofaktor-kofaktor yang diperlukan untuk metabolism
sel.
a. Hipoksia, yang bisa timbul karena: penyakit paru-paru, anemia, intoksikasi
karbon mono-oksida
b. Iskemia, yang bisa berkembang karena: CBF yang menurun akibat penurunan
cardiac output, seperti pada sindrom stokes-adams, aritmia, dan infark jantung.
CBF menurun akibat resistensi vascular yang meningkat, seperti pada
ensefalopati hipertensif, sindrom hiperventilasi dan sindrom hiperviskositas.
c. Hipoglikemia, yang bisa timbul karena: pemberian insulin atau pembuatan insulin
endogenik meningkat.
d. Defisiensi kofaktor thiamin, niacin, pyridoxine, dan vitamin B1
 Penyakit-penyakit organic diluar susunan saraf
a. Penyakit non-endokrinologik seperti: penyakit hepar, ginjal, jantung dan paru.
b. Penyakit endrokrinologik : M. Addison, M. Cushing, tumor pancreas miksedema,
feokromositoma dan tirotosikosis.
 Intoksikasi eksogenik
a. Sedativa, seperti barbiturate, opiate, obat antikolinergik, ethanol dan penenang.
b. Racun yang menghasilkan banyak katabolit acid, seperti paraldehyde,
methyalkohol, dan ethylene.
c. Inhibitor enzim, seperti cyanide, salicylat dan logam-logam berat.
 Gangguan balans air dan elektrolit:
a. Hipo dan hipernatremia.
b. Asidosis respiratorik dan metabolic.
c. Alkalosis respiratorik dan metabolic.
d. Hipo dan hiperkalema.
 Penyakit-penyakit yang membuat toksin atau menghambat fungsi enzim-enzim serebral,
seperti meningitis, ensefalitis dan perdarahan subaraknoidal.
 Trauma kapitis yang menimbulkan gangguan difus tanpa perubahan morfologik, seperti
pada komosio.

Gejala-Gejala Koma Bihemisferik Difus :


Prodroma koma bihemisferik difus terdiri dari gejala-gejala “organic brain syndrome”
yang tidak disertai gejala-gejala deficit neurologic apapun. Gejala “release” dan iritatif masih
bisa menyertai “organic brain syndrome” yang mendahului timbulnya koma bihemisferik difus,
misalnya: tremor, “muscular twitching” dan ataksia.

Pemeriksaan neurologis

1. Kesadaran, berdasar GCS


2. Menetapkan letak/topis urutan pemeriksaan:
a. Observasi umum
b. Pola pernapasan
c. Kelainan pupil
d. Refleks sefalik
e. Reaksi terhadap rangsang nyeri
f. Fungsi traktus piramidalis
g. Pemeriksaan laboratorium
h. Pemeriksaan dengan alat

Observasi umum non neurologik

1. Perhatikan apa penderita masih bisa menelan, mengunyah, membasahi bibir, menguap
BO masih bagus
2. Perhatikan apa ada gerakan multifokal yangg berulang (mioklonik jerk) gangguan
metabolik
3. perhatikan letak tungkai dan lengan
a. fleksi (dekortikasi)  gangguan hemisfer, BO baik
b. Ekstensi (deserebrate) gangguan BO

Pola pernapasan

1. CHEYNE-STOKES pernapasan apnea, kemudian berangsur bertambah besar


amplitudonyagangguan hemisfer & / BO bag atas
2. KUSSMAUL / BIOT  pernapasan cepat & dalam  gangguan di tegmentum (antara
mesensephalon & pons)
3. APNEUSTIK  inspirasi dalam diikuti penghentian ekspirasi selama waktu yang lama
 gangguan d pons
4. ATAKSIK  pernapasan dangkal, cepat, tak teratur  gangguan d fomartio retikularis
bag. dorsomedial & med. Oblongata

Kelainan pupil

1. Lesi di hemisfer kedua mata melihat ke samping ke arah hemisfer yang terganggu.
Besar dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya positif normal
2. lesi di talamus kedua mata melihat ke hidung (medial bawah), pupil kecil, refleks
cahaya negatif.
3. lesi di pons  kedua mata di tengah, gerakan bola mata tidak ada, pupil kecil, refleks
cahaya positif, kadang terdapat ocular bobing.
4. lesi di serebellum  kedua mata ditengah, besar, bentuk pupil normal, refleks cahaya
positif normal
5. gangguan N oculomotorius  pupil anisokor, refleks cahaya negatif pada pupil yang
lebar, ptosis

Refleks sefalik

1. refleks pupil  refles cahaya , refleks konsensual, refleks konvergensi  bila terganggu
topisnya di mesencephalon
2. doll's eye phenomenon = refleks okulosefalik  bila kepala penderita digerakkan ke
samping maka bola mata akan bergerak ke arah berlawanan
3. refleks okuloauditorik  bila dirangsang suara keras penderita akan menutup mata 
gangguan d pons
4. refleks okulovestibular  bila meatus autikus eksteernus dirangsang air hangat akan
timbul nistagmus ke arah rangsangan  gangguan di pons
5. refleks kornea  gangguan di pons
6. refleks muntah  gangguan d MO

Reaksi terhadap rangsang nyeri

1. penekanan pada supraorbita, jaringan di bawah kuku jari tangan atau sternum
2. refleks yang timbul:
a. abduksi  fungsi hemisfer masih baik
b. menghindar (fleksi & aduksi)fungsi tingkat bawah
c. fleksi  gangguan hemisfer
d. ekstensi ekstremitas  gangguan BO

Tes fungsi traktus piramidalis

1. paralisis
2. refleks tendinei  jika gangguan, sisi kolateral refleks tendon menurun
3. refleks patologi  bila terganggu, sisi kolaeral refleks patologis positif
4. tonus  fase akut tonus otot menurun, bila kronis maka tonus meningkat

6.) Komplikasi akibat cedera kepala:


1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat mengalami
ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental
(gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan telinga tengah
atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal
ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal
persisten.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (pada
minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur depresi kranium dan
hematom intrakranial.
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat menetap
bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi
labirintin).
DAFTAR PUSTAKA

1. Goysal, Y. 2010. PENURUNAN KESADARAN, Bagian/SMF Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin RS WS Makassar.http:/med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-Kesadaran-Menurun.pdf. Viewed 28 november 2019.
2. Amri I, 2017. PENGELOLAAN PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL.
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 4 No. Viewed 28 november 2019.
3. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala dalam Advanced
Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI,
2004

Anda mungkin juga menyukai