PENDAHULUAN
Vertigo adalah suatu istilah latin (vertere) yang artinya memutar. Vertigo merupakan
kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit. Bersama-sama dengan
mabuk gerakan (dizziness), merupakan derajat yang lebih ringan, vertigo kelainan dasarnya
adalah gangguan fungsi alat keseimbangan tubuh. Vertigo merupakan keluhan ketiga yang
paling sering dikemukakan oleh pasien ke dokter bisa menyulitkan dokter yang
bersangkutan manakala penyebabnya tidak diketahui dan vertigonya kebal terhadap obat
simtomatis.
TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti modul ini peserta didik dipersiapkan untuk mampu mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas
DEFINISI
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan
sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan
oleh gangguan alat keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Klasifikasi:
1. Vestibulogenik:
a. Primer: motion sickness, benign paroxysmal positional vertigo, Meniere disease,
neuronitis vestibuler, drug-induced
b. Sekunder: migren vertebrobasiler, insufisiensi vertebrobasiler, neuroma akustik.
2. Nonvestibuler: Gangguan serebellar, hiperventilasi, psikogenik, dll.
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu jenis vertigo vestibular
tipe perifer yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, ditandai dengan
serangan-serangan yang menghilang spontan.
BPPV bukan suatu penyakit, melainkan suatu sindroma sebagai gejala sisa dari penyakit
pada telinga dalam.
Penelitian Baloh mendapatkan usia rerata penderita BPPV adalah 54 tahun, dengan rentang
usia 11-84 tahun. Wanita : Pria = 1,6 : 1, sedangkan yang idiopatik 2:1.
ETIOLOGI
Berbagai macam proses patologik dapat terjadi pada ketiga sistem somatosensori, vestibuler,
maupun visual. Baik pada tingkat resepsi, integrasi, maupun persepsi.
PATOFISIOLOGI
Terdapat 2 hipotesis yang menerangkan tentang patofisiologi BPPV yaitu kupulolitiasis dan
kanalitiasis.
Hipotesis kupulolitiasis yaitu adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari
fragmen otokonia yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi, menempel pada
permukaan kupula kanalis semisirkularis posterior yang letaknya langsung di bawah makula
utrikulus. Debris ini menyebabkan menjadi lebih berat daripada endolimfe sekitarnya,
dengan demikian menjadi lebih sensitif terhadap perubahan arah gravitasi. Bila pasien
berubah posisi dari duduk ke berbaring dengan kepala tergantung, seperti pada tes Dix
Hallpike, kanalis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara
utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluahn vertigo. Pergeseran massa
otokonia tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten
sebelum timbulnya nistagmus dan keluahn vertigo. Gerakan posisi kepala yang berulang
akan menyebabkan otokonia terlepas dan masuk ke dalam endolimfe, hal ini yang
menyebabkan timbulnya fatigue, yaitu berkurangnya atau menghilangnya
nistagmus/vertigo, di samping adanya mekanisme kompensasi sentral. Nistagmus tersebut
timbul secara paroksismal pada bidang kanalis posterior telinga yang berada pada posisi di
bawah, dengan arah komponen cepat ke atas.
Hipotesis kanalitiasis menduga bahwa debris otokonia tidak melekat pada kupula,
melainakn mengambang di dalam endolimfe kanalis posterior. Pada perubahan posisi kepala
debris tersebut akan bergerak ke posisi paling bawah, endolimfe bergerak menjauhi ampula
dan merangsang nervus ampularis. Bila kepala digerakkan tertentu debris akan ke luar dari
kanalis posterior ke dalam krus komunis, lalu masuk ke dalam vestibulum dan
vertigo/nistagmus menghilang.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
1. Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya : melayang, goyang berputar, tujuh keliling,
rasa naik perahu, dsb.
2. Keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo : perubahan posisi kepala dan tubuh,
keletihan, dan ketegangan.
3. Profil waktu : apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal,
kronik, progesif atau membaik.
4. Adanya gangguan pendengaran yang menyertai. Pada lesi di alat Vestibuler atau
Nonvestibuler, biasanya disertai oleh gangguan pendengaran.
5. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, dll.
6. Adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi.
Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke satu sisi pada waktu
berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk atau waktu menegakkan kembali badan,
menunduk atau menengadah. Serangan berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang
dari 30 detik. Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual, kadang-kadang
muntah. Setelah rasa berputar menghilang pasien bisa merasa melayang. Umumnya BPPV
menghilang sendiri dalam beberapa hari samapi minggu dan kadang-kadang bisa kambuh
lagi.
PEMERIKSAAN FISIK
Diperiksa keadaan umum, tekanan darah berbaring dan tegak, nadi, jantung, paru-paru,
abdomen.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada :
1. Fungsi Vestibuler / serebeler
a. Tes Romberg :
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirpatkan, mula-mula dengan kedua mata
terbukakemudian tertutup. Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan
penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata
terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata
terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem Gait :
Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri atau kanan diletakan pada ujung jari
kaki kanan atau kiri ganti berganti.
Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan
serebeler penderita akan cenderung jatuh.
c. Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan. Pada kelainan vestibuler
posisi penderita akan menyimpang ke arah lesi dengan gerakan seperti orang
melempar cakram, kepala dan badan berputar kearah lesi, kedua tangan bergerak
kearah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik.
Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat kearah lesi.
d. Past - pointing Test :
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus kedepan, penderita disuruh mengangkat
lengannya keatas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan
pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada
kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita kearah lesi.
e. Fukuda Test :
Dengan mata tertutup pasien berjalan ditempat sebanyak 50 langkah. Setelah itu
diukur sudut penyimpangan kedua kaki. Normal sudut penyimpangan tidak lebih dari
30 derjat.
Masih ada beberapa tes lain yang dapat dibaca di dalam buku teks Neurologi atau
THT.
2. Fungsi Pendengaran
a. Tes Garpu Tala
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes
Rinne, Weber, dan Schwabach.
Pada tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang tuli, dan
Schwabach memendek.
Pada tuli perseptif tes Rinne positif, Weber lateraslisasi ke arah yang sehat, dan
Schwabach memendek.
b. Audiometri
Beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Loudness Balance Test, SISI,
Bekesy Audiometry, Tone Decay.
ALGORITMA VERTIGO
bukan
Konfirmasi Vertigo ? Pusing, Bingng, Dll
ya
Cari Kausanya
5. Pilih Terapi
- Kausal
- Simtomatik
- Rehabilitasi
VERTIGO VESTIBULER
PERIFER SENTRAL
- Bangkitan Vertigo Mendadak Lebih lambat
- Intensitas Berat Ringan
- Pengaruh gerakan kepala (+) (-)
- Gejala Otonom (++) ±
- Gangguan pendengaran (+) (-)
- Tanda Fokal Otak (-) (+)
Perbedaan Nistagmus Posisional Perifer Dengan Nistagmus Posisional Sentral
NISTAGMUS POSISIONAL
PERIFER SENTRAL
- Latensi (+) 2-20 detik (-)
- Vertigo (+) (+)/(-)
- Fatigue (+) (-)
- Arah ke telinga bawah ke telinga atas/bervariasi
- Lamanya < 1 menit > 1 menit
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai dengan
indikasi.
2. Foto Rontgen tengkorak, leher, stenvers (pada acoustic neurinoma).
3. Neurofisologi : Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem
Auditory Evoked Potential (BAEP).
Neuro-imaging : CT Scan, Pneumoensefalografi, Arteriografi, Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Untuk keluhan yang sama-sama vertigo pengobatannya bisa berbeda, tergantung pada jenis
vertigo dan letak lesinya.Terapi vertigo terdiri dari :
1. Terapi Kausal
Walaupun kebanyakan kasus vertigo tidak diketahui penyebabnya, akan tetapi bilamana
penyebab tersebut ditemukan, maka terapi kausal merupakan pilihan utama.
2. Terapi Simtomatik
Keluhan vertigo yang paling berta adalah pada jenis Vertigo Vestibuler tipe perifer. Pada
kasus demikian terapi simtomatik sangat dibutuhkan segera oleh penderita, terutama
untuk menghilangkan gejala vegetatif seperti mual, muntah, dan lemas, serta gejala rasa
berputar waktu bergerak, ataksia, dan osilopsia, yang menimbulkan rasa takut dan
cemas. Keadaan ini biasanya timbul pada fase akut, dan akan menghilang sendiri dalam
beberapa hari, berkat adanya mekanisme kompensasi sentral, sehingga justru akan
memperlambat penyembuhan alami. Strateginya adalah memberikan obat secukupnya
untuk mengurangu gejala agar penderita dapat segera dimobilisasi untuk latihan
rehabilitasi.
Pada fase akut dapat diberikan obat golongan antihistamin dicampur diasepam untuk
menghilangkan rasa cemas dan vertigo, dan untuk mual dan muntahnya dapat diberikan
antimetik seperti proklorperasin. Pemilihan obat tergantung pada efek obat
bersangkutan, beratnya vertigo dan fasenya.
Obat-obat untuk Vertigo :
a. Ca-entry blocker (mengurangi aktivitas eksitatori SSP dengan menekan pelepasan
glutamat, menekan aktivitas NMDA spesial channel, bekerja langsung sebagai
depresor labirin):
b. Flunarisin (Sibelium) 3x 5–10 mg/hr
c. Antihistamin (efek antikolinergik dan merangsang inhibitory-monoaminergik dengan
akibat inhibisi n. vestibualris):
d. Cinnarizine 3x25 mg/hr, Dimenhidrinat (Dramamine) 3x50 mg/hr.
e. Histaminik (inhibisi neuron polisinaptik pada n. vestibularis lateralis): Betahistine
(Merislon) 3 x 8 mg.
f. Fenotiazine (pada kemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di M. oblongata):
Chlorpromazine (largaktil): 3 x 25 mg/hr
g. Benzodiazepine (Diazepam menurunkan resting activity neuron pada
h. n. vestibularis) 3x 2–5 mg/hr
i. Antiepileptik: Carbamazepine (Tegretol) 3 x 200 mg/hr, Fenitoin (Dilantin) 3 x 100
mg (bila ada tanda kelainan epilepsi dan kelainan EEG)
j. Campuran obat-obat di atas.
3. Terapi Rehabilitatif
Penderita dengan vertigo Vestibuler akut akan mengalami perbaikan alami dalam waktu
sekitar satu minggu, dengan menghilangnya vertigo, mual, muntah, dampai bisa berdiri
kemabali. Dan dalam 2-3 minggu dapat bergerak dengan stabil, sampai akhirnya dapat
bekerja kembali seperti semula. Sebagian penderita mengalami penyembuhan lebih cepat
dan sebaliknya ada yang lebih lama dari biasanya. Untuk mempercepat penyembuhan
program rehabilitasi, yang berupa Vestibular Exercise (latihan visual-vestibular, Metode
Brandt-Daroff, Gait exercise), harus segera diberikan begitu keluhan-keluhannya
berkurang.
Tujuan latihan tersebut adalah untuk melatih mata dan otot tubuh, dengan kooridnasi
dari sentral, untuk menggunakan rangsang visual dan proprioseptif mengkompensasi
rangang vestibuler yang hilang.
Gambar 2. Prosedur reposisi kanalith Epley (Dikutip dari kepustakaan Hornibrook, 2011)
4. Terapi Bedah
Pada sebagian kecil penderita BPPV yang berkepanjangan dan tidak sembuh dengan
terapi konservatif bisa dilakukan operasi neurektomi atau canal plugging. Tindakan
operatif tersebut bisa menimbulkan komplikasi berupa tuli sensorineural pada 10% kasus.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Kolegium Neurologi Indonesia. Modul Neurootologi. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia. 2008.
2. N. Bhattacharyya, R. F. Baugh, L. Orvidas et al., Clinical practice guideline: benign
paroxysmal positional vertigo, Otolaryngology-Head and Neck Surgery, vol. 139, no. 5,
pp. S47–S81, 2008.
3. H. S. Cohen and K. T. Kimball, Effectiveness of treatments for benign paroxysmal
positional vertigo of the posterior canal, Otology and Neurotology, vol. 26, no. 5, pp.
1034–1040, 2005.
4. Joesoef AA, Kusumastuti K. Neuro-otologi Klinis Vertigo. Kelompok Studi Vertigo
Perdossi Pusat. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 177-82. 2002.
5. S. Iwasaki, Y. Chihara, M. Ushio, A. Ochi, T. Murofishi, and T. Yamasoba, “Effect of
the canalith respostioning procedure on subjective visual horizontal in patients with
posterior canal benign paraoxysmal postional vertigo,” Acta Otolaryngol, vol.131, pp.
41–45, 2011.
6. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tata Laksana Vertigo. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (Perdossi). 2012.