Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi
BPPV (Benign Paroxyxmal Potitional Vertigo) adalah gangguan
keseimbangan perifer yang sering dijumpai. BPPV merupakan penyakit
degeneratif yang idiopatik yang sering ditemukan, kebanyakan diderita di usia
dewasa muda dan usia lanjut.
Vertigo berasal dari bahasa latin “vertere” yaitu memutar. Vertigo termasuk ke
dalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening,
sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti berjungkir balik.
Pada umumnya BPPV timbul pada kanalis posterior dari hasil penelitian
Herdman terhadap 77 pasien BPPV. Mendapatkan 49 pasien (64%) dengan
kelainan pada kanalis posterior, 9 pasien (12%) pada kanalis anterior, dan 18
pasien (23%) tidak dapat ditentukan jenis kanal mana yang terlibat serta
didapatkan satu pasien dengan keterlibatan pada kanalis horizontal.
BPPV berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang dan biasanya akan
kembali setelah pengobatan dengan manuver- manuver berhasil.

B. Etiologi

Penyebab BPPV di bagi menjadi dua yaitu penyebab primer dan sekunder.
Primer atau idiopatik (50%-70%), dan penyebab sekunder yaitu trauma kepala
merupakan penyebab kedua terbanyak pada BPPV bilateral (7%-17%), Penyebab
lain yang lebih jarang adalah labirinitis virus (15%), penyakit meniere (5%),
migrain (<5%) dan pembedahan telinga dalam (<1%).

C. Anatomi Dan Fisiologi


Alat vestibuler (alat keseimbangan) terletak di telinga dalam (labirin),
terlindungi oleh tulang yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirirn secara
umum adalah telinga dalam , tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat
keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin membran. Labirin
membran terletak di dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut labirin
tulang. Antara labirin membran dan labirin tulang terdapat perilimfa, sedang
endolimfa terdapat pada labirin membran. Berat jenis cairan endolimfa lebih
tinggi daripada cairan perilimfa. Ujung saraf vestibuler berada dalam lebirin
membran yang terapung dalam perilimfa, yang berada dalam labirin tulang.
Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan
cairan endolimfa di labirin selanjutnya silia sel rambut akan menekuk. Tekukan
silia akan menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion
kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses
depolarisasi dan akan merangsang pelepasan neurotransmitter eksitator yagn
selanjutnya akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat
keseimbangan di otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka
terjadi hierpolarisasi.
Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi
mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis
semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi
mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau percepatan sudut.
Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh yang
sedang berlangsung.
Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga
kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh bersangkutan. Gejala
yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah . Pada jantung dapat
berupa bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berupa keringat dingin.

D. Patofisiologi
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya
dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat.
Terdapat dua hipotesa yang menerangkan patofisiologi BPPV adalah :
Hipotesis kupulotiasis
Adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari fragmen otokonia yang
terlepas dari macula utrikulus yang berdegenerasi, menempel pada permukaan
kupula semisirkularis posterior yang letaknya langsung di bawah makula
urtikulus. Debris ini menyebabkannya lebih berat daripada endolimfe sekitarnya,
dengan demikian menjadi lebih sensitif terhadap perubahan arah gravitasi.
Bilamana pasien berubah posisi dari duduk ke berbaring dengan kepala
tergantung, kanalis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula
bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan
vertigo
Hipotesis kanalitiasis
Menurut hipotesa ini debris otokonia tidak melekat pada kupula, melainkan
mengambang di dalam endolimfe kanalisis posterior. Pada perubahan posisi
kepala debris tersebut akan bergerak ke posisi paling bawah, endolimfe bergerak
menjauhi ampula dan merangsang nervus ampularis.

Patway
E. Manifestasi Klinis
Pada BPPV gejala yang paling menonjol adalah pusing berputar, Kepala
terasa ringan, rasa terapung atau terayun, kesulitan berkonsentrasi, mual, keringat
dingin, pucat, muntah, sempoyongan waktu berdiri atau berjalan dan nistagmus.
Setiap orang memiliki gejala yang bervariasi . Gejala yang timbul dihubungkan
dengan perubahan posisi kepala.
F. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi adalah kekakuan pada leher, spasme otot akibat kepala
diletakkan pada posisi tegak selama beberapa waktu setelah terapi.

G. Penatalaksanaan
Terapi pada BPPV bertujuan untuk reposisi otoconia yang terlepas kembali ke
utrikulus. Tiga macam perasat dilakukan untuk menanggulangi BPPV yaitu CRT
(Canalith Respositioning Treatment), Perasat Liberatory dan latihan Brandt-
Darroff.
CRT sebaiknnya segera dilakukan setelah perasat Dix-Hallpike menimbulkan
respon abnormal. Pemeriksa dapat mengidentifikasi adanya kanalitiasis pada
kanal anterior atau kanal posterior dari telinga yang terbawah. Pasien tidak
kembali ke posisi duduk, namun kepala pasien dirotasikan dengan tujuan untuk
mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis menuju utrikulus, tempat
dimana kanalith tidak lagi menimbulkan gejala. Bila kanalis posterior kanan yang
terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT kanan. Tindakan ini dimulai pada
posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala
ditahan pada posisi tersebut selama 1-2 menit, kemudian kepala direndahkan dan
diputar secara perlahan ke kiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah
itu badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi
menghadap ke kiri dengan sudut 45o sehingga kepala menghadap ke bawah
melihat ke lantai. akhirnya pasien kembali ke posisi duduk, dengan kepala
menghadap ke depan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi dengan menahan leher
dan disarankan untuk tidak menunduk, berbaring, membungkukkan badan selama
satu hari. Pasien harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada posisi yang
sehat selama lima hari.

Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung, lalu tutup
kedua mata dan berbaring dengan cepat ke salah satu sisi tubuh, tahan selama 30
detik, kemudian duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan tubuh dengan
cara yang sama ke sisi lain, tahan selama 30 detik, kemudian duduk tegak
kembali. Latihan ini dilakukan berulang (lima kali berturut-turut) pada pagi dan
petang hari sampai tidak timbul vertigo lagi. Latihan lain yang dapat dicoba ialah
latihan visual-vestibular, berupa gerakan mata melirik ke atas, bawah kiri dan
kanan mengikuti gerak obyek yang makin lama makin cepat, kemudian diikuti
dengan gerakan fleksi-ekstensi kepala berulang dengan mata tertutup, yang makin
lama makin cepat.
Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk BPPV tidak secara rutin
dilakukan. Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk
gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada pasien
BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk vertigo yang
disebut juga pengobatan suppresant vestibular yang digunakan adalah golongan
benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan antihistamine (meclizine,
dipenhidramin). Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi berputar namun dapat
mengganggu kompensasi sentral pada kondisi vestibular perifer. Antihistamine
mempunyai efek supresif pada pusat muntah sehingga dapat mengurangi mual dan
muntah karena motion sickness. Harus diperhatikan bahwa benzodiazepine dan
antihistamine dapat mengganggu kompensasi sentral pada kerusakan vestibular
sehingga penggunaannya diminimalkan.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi.
1. CT Scan atau MRI Brain
2. Pemeriksaan Darah lengkap
3. Pemeriksaan elektronistagmografi ( ENG )
4. Posturografi

I. Konsep Dasar Asuhan Keperawtan

1. Pengkajian Primer
a. Pengkajian Airway
tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk
memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien
yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan
airway dan ventilasi. tulang belakang leher harus dilinsungi selama
intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher
atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh
obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar. yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. apakah pasien dapat berbicara
atau bernafas dengan bebas
2. tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a. Adanya snoring atau gurgling
a. Stridor atau suara napas tidak normal
b. agitasi (hipoksia)
c. Penggunaan otot bantu pernafsan /paradoxical chest
movements
d. Sianosis
3. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
a. Muntahan
a. Perdarahan
b. Gigi lepas atau hilang
c. Gigi palsu
d. trauma wajah
4. jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
5. lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasie
n sesuai indikasi
a. Chin lift jaw thrust
b. Lakukan suction (jika tersedia)
c. Oropharyngeal airway , nasopharyngeal airway, Paryngeal
laryngeal mask Airway
d. lakukan intubasi
b. Pengkajian Breathing ( pernafasan )
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. jika pernafasan pada
pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainasetension
pneumothorax/haemothorax,closure of open chest injury dan ventilasi
buatan
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian Breathing pada pasien
antara lain:
1. Look, Listen dan feel
a. Inspeksi dari tingkat pernafasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut: cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wound, dan penggunaan otot bantu
pernafasan
b. Palpasi untuk adanya pergeseran trakea, frkatur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks
c. Auskultasi untuk adanya suara abnormal pada dada

C. Pengakjian sekunder
a. Pemeriksaan Fisik
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus
spontan, dan pada evaluasi neurologis normal. Pemeriksaan fisik
standar untuk BPPV adalah : Dix-Hallpike dan Tes kalori.
1. Dix-Hallpike.
Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah
dengan leher dan punggung. Tujuannya adalah untuk
memprovokasi serangan vertigo dan untuk melihat adanya
nistagmus. Cara melakukannya sebagai berikut :
Penderita duduk ditempat tidur periksa lalu rebahkan sampai
kepala bergantung dipinggir tempat tidur dengan sudut 30 derajat
kepala ditoleh kekiri lalu posisi kepala lurus kemudian menoleh
lagi kekanan pada keadaan abnormal akan terjadi nistagmus.
2. Tes kalori
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dick dan Hallpike. Pada cara ini
dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah
30oC, sedangkan suhu air panas adalah 44oC. volume air yang
dialirkan kedalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam
waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang
timbul. Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa
telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri
dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai
pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas)
pasien diistirahatkan selama 5 menit ( untuk menghilangkan
pusingnya).
3. Tes melangkah ditempat
Penderita disuruh berjalan ditempat dengan mata ditutup sebanyak
50 langkah, kedudukan akhir dianggap abnormal apabila penderita
beranjak lebih dari satu meter atau bdan berputar lebih dari 30
derajat. orang yang normal mampu berdiri dengan sikap yang
romberg
4. Tes Romberg yang dipertajam
Sikap kaki seperti tandem, lengan dilipat pada dada dan mata
kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dengan sikap
yang romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
5. Salah tunjuk ( post-pointing )
Penderita merentangkan lengannya, angkat lengan tinggi-tinggi
( samapi vertikal ) kemudian kembali ke semula
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Rujukan Satuan
HB L : 14-18 P : 12-16 Gr/dl
Leukosit 4.000-10.000/m3 Per mm3
Trombosit 150.000-450.000 Per mm3
Hematokrit 35-45 %
Cholesterol ≤200 Mgr/dl
Trigliserida ≤ 135 Mgr/dl
HDL-Cholesterol L: ≥ 35 P: ≥ 45 mg/dl
LDL-Cholesterol L: ≤ 172 P: ≤ 167 mg/dl
GDS ≤ 140 mg/dl
Ureum 11-55 mg/dl
Creatinin L : 0,9 – 1,3 P : 0,6 – mg/dl
1,1
SGOT L : 10-50 P : 10 - 35 U/L
SGPT L : 10-50 P : 10 - 35 U/L

c. Pemeriksaan Penunjang lainnya


1. CT Scan atau MRI Brain
2. Pemeriksaan elektronistagmografi ( ENG ): alat untuk mencatat
lama dan cepatnya nistagmus yang timbul
3. Posturografi
Yaitu tes yang dilakukan untuk mengevaluasi system visual,
vestibular dan somatosensorik

Analisa Data
N DATA ETIOLOGI MASALAH
O KEPERAWATA
N
1. DS : Klien mengeluh lemas Gangguan cerebellum Resiko Jatuh B.d
- Pusing
- Vertigo
DO :
- - kesulitan berjalan Gangguan
keseimbangan
- Kelemahan anggota
gerak Resiko Jatuh
2. DS : Klien mengeluh mual, Vertigo Nausea b.d
muntah meniere
DO : Klien tampak lemah Gangguan saraf pusat
- Klien tampak
muntah-muntah Tekanan intrakanial
meningkat

meniere

mual,Muntah

Gangguan nutrisi
3 DS: Klien mengeluh cemas Vertigo Defisit
akan penyakitnya pengetahuan b.d
DO: klien bertanya-tanya Gangguan saraf pusat kurang nya
tentang penyakitnya informasi
- Klien tampak cemas Tekanan intrakanial
meningkat

meniere

Defisit pengetahuan

2. Diagnosa Keperawatan
a. resiko jatuh berhubungan dengan pusing ketika menggerakan kepala.
b. nausea berhubungan dengan penyakit meniere, labirintitis
c. defisit pengetahuan tentang penyakit pengobatan dan perawatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bashiruddin, Jenny. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. dalam Soepardi, Efiaty


A, Iskandar,Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2015 ; hal. 104-09.
2. Akbar, Muhammad. Diagnosis Vertigo. Makassar : fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2013; hal. 1-14.
3. Parnes, Lorne. Agrawal, Sumit K. Atlas, Jason. Diagnosis and management of
benign paroxysmal positional vertigo (BPPV). Canadian Medical Association
or its licensors. 2017 ; hal. 681-92
4. Bhattacharyya, Neil. Baugh, Reginald. Orvidas, Laura dkk. Clinical practice
guideline: Benign paroxysmal positional vertigo . Otolaryngology–Head and
Neck Surgery. 2019; hal. 53-55.
5. Hain, Timothy C. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
Northwestern University Medical School, Chicago, Illinois and the Vestibular
Disorders Association. 2018; hal. 1-10.
6. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. EMS. Jakarta. 2014; hal. 36.
7. Korres, S. Balatsouras DG, Ferekidis. Prognosis of patients with benign
paroxysmal positional vertigo treated with repositioning manoeuvres. US
National Library of Medicine National Institutes of Health. 2019. Available
from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16556351 disitasi November 12th.
2015.
8. Bittar, Roseli. Mezzalira, Raquel. Furtado, Paula Lobo, dkk. Benign
paroxysmal positional vertigo: diagnosis and treatment. International Tinnitus
Journal. 2017 ; 135-45.
9. Purnamasari, Prida. Diagnosis dan Tata Laksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV). Bagian Ilmu Penyakit Saraf Universitas Udayana.
Denpasar. 2013 ; hal. 1-24.

Anda mungkin juga menyukai