Anda di halaman 1dari 18

Cephalgia Akut ec Perdarahan Subarachnoid

Kelompok A6

Felix jordan wangsa 102016049


Mas muharami binti zulkifle 102016258
Dian yulita sarapang 102013212
Gracecaella arjanti 102016024
Cynthia tambunan 102016091
Resmi suci euis kartini 102016149
Irene cicilia 102016206
Rachel putri clarissa lazuardi 102016274

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

1
Pendahuluan
Nyeri Kepala dalam bahasa kedokteran disebut sefalgia. Sefalgia diambil dari bahasa
Yunani “cephalgia” yang berarti nyeri dimana saja di wilayah kepala atau leher. Nyeri kepala
dapat merupakan gejala dari berbagai kondisi yang berbeda dari kepala dan leher. Hampir
semua orang didunia pernah mengalami sakit kepala. Menurut data yang diambil dari WHO
pada bulan oktober 2012, secara global diperkirakan prevalensi nyeri kepala diantara orang-
orang dewasa mencapai 47%. Setengah sampai tida perempat orang dewasa berusia 18-65
tahun didunia mengalami nyeri kepala. Wanita lebih sering mengalami nyeri kepala dari pada
pria.

Cephalgia akan menjadi masalah, baik bagi penderitanya maupun dokter yang
mengobatinya, apabila terjadi secara menahun atau kronik berulang. Dalam hal ini sering
sefalgia merupakan gejala tunggal atau gejala yang paling menyolok.

Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarachnoid (PSA) menyiratkan


adanya darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses patologis. Penggunaan
istilah medis umum SAH merujuk kepada tipe perdarahan non-traumatik, biasanya berasal
dari ruptur aneurisma Berry atau arteriovenous malformation (AVM)/malformasi
arteriovenosa (MAV).

insidennya 62% pendarahan subarachnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun.
Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang
usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Pada
MAV laki-laki lebih banyak daripada wanita.

Anamnesis

Wawancara yang baik seringkali dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis


penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis.

Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit
dalam keluarga, anamnesis berdasarkan sistem organ dan anamnesis pribadi (meliputi
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, dan lingkungan).

Pada kasus skenario 7, hasil anamnesanya adalah sebagai berikut:

- Keluhan utama: Nyeri kepala hebat sejak 3 jam SMRS


2
- Riwayat Penyakit Sekarang : nyeri terus menerus, nyerinya seluruh kepala dan baru
pertama kali, keluhan tiba-tiba muncul waktu pasien mengambil air, muntah-muntah
sebanyak 3X,
- Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu tetapi tidak berobat
teratur hanya minum jamu-jamuan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, didapati bahwa kesadaran pasien adalah
Delirium, yaitu

Beberapa tingkat kesadaran lainnya, yaitu:1

- Apatis, yaitu keadaan di mana pasien tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya.
- Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus
tidur bangun yangg terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi dan meronta-ronta.
- Somnolen (letargia, obtundasi, hipersomnia), yaitu keadaan mengantuk yang
masih dapat pulih penuh bila dirangsang tetapi bila rangsang berhenti, pasien
akan tertidur kembali.
- Sopor (stupor), yaitu keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi
pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal
yang baik.
- Semi-koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan
respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali,
tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri
tidak adekuat.
- Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
 Pemeriksaam Tanda Vital
Didapatkan tekanan darah 190/110 mmHg, nadi 100x/menit, respirasi 22x/menit, suhu
tubuh 37OC.
 Pemeriksaan Neurologi
 Tanda Rangsang Meningeal

3
Ω Kaku Kuduk (Nuchal rigidity)3
Bila leher ditekuk secara pasif terhadap tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada, maka dikatakan kaku kuduk positif. Tahanan juga dapat terasa
bila leher dibuat hiperekstensi, diputar atau digerakkan ke samping. Kadang-kadang
kaku kuduk disertai dengan hiperekstensi tulang belakang; keadaan ini disebut
opistotonus.
Di samping menunjukan adanya rangsang meningeal (meningitis), kaku kuduk
juga terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses peritonsilar, ensefalitis virus,
keracunan timbal, dan artritis reumatoid.
Ω Brudzinski3
Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di
dada pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien
difleksikan ke dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila tedapat rangsang meningeal
maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
Ω Kernig3
Pemeriksaan tanda Kernig ini ada bermacam-macam cara, tetapi yang biasa
dipergunakan ialah pada penderita dalam posisi telentang dilakukan fleksi tungkai
atas tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Dalam
keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135° terhadap
tungkai atas. Pada iritasi meningeal ekstensi lutut secara pasif ini akan menyebabkan
rasa sakit dan terdapat hambatan. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di bawah
umur 6 bulan.

 Pemeriksaan Saraf Kranial


1. Nervus Olfaktorius/ N ( sensorik )
Nervus olfaktorius diperiksa dengan zat – zat (bau-bauan) seperti : kopi, the dan
tembakau. Pada pemeriksaan ini yang perlu diperhatikan adalah adanya penyakit
intranasal seperti influenza karena dapat memberikan hasil negative atau hasil
pemeriksaan menjadi samar/tidak valid.
Cara pemeriksaan : tiap lubang hidung diuji terpisah. Pasien atau pemeriksaan
menutup salah satu lubang hidung pasien kemudian passion disuruh mencium salah
satu zat dan tanyakan apakah pasien mencium sesuatu dan tanyakan zat yang dicium.
Untuk hasil yang valid, lakukan dengan beberapa zat/bau-bauan yang berbeda, tidak
hanya pada 1 macam zat saja.
4
2. Nervus Optikus/ N II (sensorik)

Kelainan-kelainan pada mata perlu dicatat sebelum pemeriksaan misalnya : katarak,


infeksi konjungtifa atau infeksi lainya. Bila pasien menggunakan kaca mata tetap
diperkenankan dipakai.

a. Ketajaman penglihatan
Pasien disuruh membaca buku dengan jarak 35 cm kemudian dinilai apakah pasien
dapat melihat tulisan dengan jelas, kalau tidak bisa lanjutkan dengan jarak baca yang
dapat digunakan klien, catat jarak baca klien tersebut. Pasien disuruh melihat satu
benda, tanyakan apakah benda yang dilihat jelas/kabur, dua bentuk atau tidak sama
sekali/buta.

b. Lapangan penglihatan
Cara pemeriksaan : alat yang digunakan sebagai objek biasanya jari pemeriksaan.
Fungsi mata diperiksa bergantian. Pasien dan pemeriksa duduk atau berdiri
berhadapan, mata yang akan diperiksa berhadapan sejajar dengan mata pemeriksa.
Jarak antara pemeriksaa dan pasien berkisar 60-100 cm. mata yang lain ditutup. Objek
digerakkan oleh pemeriksa pada bidang tengah kedalam sampai pasien melihat objek,
catat beberapa derajat lapang penglihatan klien.
3. Nervus okulomotorius/N III (motorik)

Merupakan nervus yang mempersarafi otot-otot bola mata eksterna, levator palpeora
dan konstriktor pupil.

Cara pemeriksaan :Dioperasikan apakah terdapat edema kelopak mata, hipermi


konjungtiva,hipermi sklerata kelopak mata jatuh (ptosis), celah mata sempit
(endophtalamus), dan bola mata menonjol (exophtalamus).

4. Nervus Trokhlearis/ N IV (motorik)

Pemeriksaan pupil dengan menggunakan penerangan senter kecil. Yang diperiksa


adalah ukuran pupil (miosis bila ukuran pupil < 2 mm, normal dengan ukuran 4-5
mm, pin point pupil bila ukuran pupil sangat kecil dan mdiriasis dengan ukuran >5
mm), bentuk pupil, kesamaan ukuran antara kedua pupil (isokor / sama, anisokor /
tidak sama), dan reak pupil terhadap cahaya (positif bila tampak kontraksi pupil,

5
negative bila tidak ada kontraksi pupil. Dilihat juga apakah terdapat perdarahan pupil
(diperiksa dengan funduskospi).

5. Nervus trigeminus / N V (motorik dan sensorik)

Merupakan saraf yang mempersarafi sensoris wajah dan otot pengunyah. Alat yang
digunakan : kapas, jarum, botol berisi air panas, kuliper/jangka dan garpu penala.

6. Nervus abdusen / N VI (motorik)

Fungsi otot bola mata dinilai dengan keenam arah utama yaitu lateral. Latera atas,
medial atas, medial bawah, lateral bawah, keatas dan kebawah. Pasien disuruh
mengikuti arah pemeriksaan yang dilakukan pemeriksa sesuai dengan keenam arah
tersebut. Normal bila pasien dapat mengikuti arah dengan baik. Terbatas bila pasien
tidak dapat mengikuti dengan baik karrena kelemahan otot mata, ninstagmus bila
gerakan bola mata pasien bolak balik involuntor.

7. Nervus fasialis/N VII (motorik dan sensorik)

Cara pemeriksaan : dengan memberikan sedikit berbagai zat di 2/3 lidah bagian depan
seperti fula, garam dan kina. Pasien disuruh menjulurkan lidah pada waktu diuji dan
selama menentukan zat-zat yang dirasakan klien disebutkan atau ditulis dikertas oleh
klien.

8. Nervus akustikus / N VIII (sensorik)


a) Pengdengaran : diuji dengan mendekatkan, arloji ketelinga pasien di ruang yang
sunyi. Telinga diuji bergantian dengan menutup salah satu telinga yang lain. Normal
klien dapat mendengar detik arloji 1 meter. Bila jaraknya kurang dari satu meter
kemungkinan pasien mengalami penurunan pendengaran.
b) Keseimbangan : dilakukan dengan memperhatikan apakah klien kehilangan
keseimbangan hingga tubuh bergoyah-goyah (keseimbangan menuurun) dan normal
bila pasien dapat berdiri/berjalan dengan seimbang.
9. Nervus glosso-faringeus / N IX (motorik dan sesorik)

Cara pemeriksaan dengan menyentuhkan tongspatel keposterior faring pasien.


Timbulnya reflek muntah adalah normal (positif), negative bila tidak ada reflek
muntah (motorik).

10. Nervus vagus /N X (motorik dan sensorik)

6
Cara pemeriksaan pasien disuruhn membuka mulut lebar-lebar dan disuruh berkata
“aaah” kemudian dilihat apakah terjadi regurgitasi kehidung. Lihat kesimetrisan pita
suara dan observasi denyut jantung klien apakah ada takikardi atau brakardi.

11. Nervus aksesorius/N XI (motorik)

Cara pemeriksaan : dengan menyuruh pasien menengok kesatu sisi melawan tangan
pemeriksa sedang mempalpasi otot wajah test angkat bahu dengan pemeriksa
menekan bahu pasien ke bawah dan pasien berusaha mengangkat bahu keatas. Normal
bila klien dapat melakukannya dengan baik, bila tidak dapat kemungkinan klien
mengalami parase.

12. Nervus hipoglosus (motorik)

Cara pemeriksaan : pasien disuruh menjulurkan lidah dan menarik lidah kembali,
dilakukan berulang kali. Normal bila gerakan lidah terkoordinasi dengan baik, parese
/miring bila terdapata lesi pada hipoglosus.

 Pemeriksaaan Refleks Patologis


♯ Refleks Babinski adalah salah satu refleks patologis yang dilakukan dengan
menggores permukaan plantar kaki dengan alat yang sedikit runcing. Bila
positif akan terjadi reaksi berupa ekstensi ibu jari kaki disertai dengan
menyebarnya jari-jari kaki yang lain. Refleks ini normal pada bayi sampai
umur 18 bulan; bila masih terdapat pada umur 2-2½ tahun, mungkin terdapat
lesi piramidal.3
♯ Refleks Oppenheim dilakukan dengan menekan sisi medial pergelangan kaki;
reaksi yang terjadi adalah seperti refleks babinski.3
♯ Refleks Hoffmann dilakukan dengan cara mengetuk falang terakhir jari
kedua. Bila positif akan terjadi fleksi jari pertama dan ketiga. Tanda
Hoffmann juga menunjukkan terjadinya lesi piramidal (upper motor neuron),
tetapi tanda ini juga terdapat pada pasien tetani.3
♯ Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki
pasien dengan cepat dan kuat sementara sendi lutut diluruskan dengan tangan
lain pemeriksa yang diletakkan pada fosa poplitea. Bila klonus positif akan
terjadi gerakan fleksi dan ejstensi kaki secara terus menerus dan cepat.3
♯ Klonus patela adalah gerakan patela naik turun dengan cepat, timbul bila
patela ditekan kuat-kuat dan cepat, sementara tungkai dalam keadaan

7
ekstensi dan lemas. Klonus sering menyertai setiap keadaan dengan hiper-
refleksi dan refleks patologis.3

Pemeriksaan Penunjang

1. CT scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat;
sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah
serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah serangan.
2. Angiografi Serebral
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi
aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif
serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh
pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma
multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama.
Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk
melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang otak.
3. Lumbal Punski
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic selanjutnya
adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung
diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat
pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan
kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit,
terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.

Working Diagnosis

Cephalgia Akut ec Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak


dan selaput otak (rongga subaraknoid).2 diantara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah
(arachnoid mater) para jaringan yang melindungan otak (meninges).3 Subarachnoid
hemorrhage adalah gangguan yang mengancam nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat

8
permanen yang serius. Hal ini adalah satu-satunya jenis stroke yang lebih umum diantara
wanita.

Differensial Diagnosis

Tumor Otak

Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak ruang
yang timbul didalam rongga tengkorak baik didalam kompartemen supratentorial maupun
infratentorial. Dimana terjadi pertumbuhan sel-sel abnormal didalam organ otak dan dapat
bersifat jinak maupun ganas. Dengan gejala klinis sering sakit kepala, mual dan muntah tanpa
penyebab, kejang, penglihatan kabur, kesulitan berbicara, kehilangan keseimbangan,
gangguan mental.

Perdarahan Intraserebral

Perdarahn intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau vena yang
ada di parenkim otak. Regio frontal dan temporal merupakan daerah yang paling
sering terkena. Kontusio intraserebral juga dapat terjadi karena trauma melalui jejas
coup atau countercoup. Dengan gejala klinis onset sangat mendadak disertai nyeri
kepala hebat, muntah dan penurunan kesadaran, kadang disertai kejang.

Anatomi

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah


pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea
dan piamater.

9
 Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu
lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi
otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk
menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara
lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak.

 Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman
padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.

Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara
relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut
menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut
cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna
ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid
umum.

 Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak
dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak.

10
Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di
tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung
dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu

Etiologi

Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma


(85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari
pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya
bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic
hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan
secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang
mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan
perdarahan berbagai jenis tumor.2

PSA primer dapat muncul dari ruptur tipe kesatuan patologis berikut ini (2 yang
pertama adalah yang tersering): 1

 Aneurisma sakular
 MAV
 Ruptur aneurisma mikotik
 Angioma
 Neoplasma
 Trombosis kortikal
 PSA dapat mencerminkan diseksi sekunder darah dari hematom intraparenkim (misal
perdarahan dari hipertensi atau neoplasma)
 2/3 kasus PSA non-traumatik disebabkan ruptur aneurisma sakular
 Penyebab kongenital mungkin bertanggung jawab untuk PSA

Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari jaringan
pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada
MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi
perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang datang
langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung

11
menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri. pPembuluh darah yang lemah
nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi pada
aneurisma. MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang
didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.

Epidemiologi
Insiden tahunan PSA anerurisme non-traumatik adalah 6-25 kasus per 100.000. Lebih
dari 27.000 orang amerika menderita ruptur aneurisme intrakranial setiap tahunnya.
Insiden tahunan meningkat sesuai dengan usia dan mungkin di anggap remeh karena
kematian di hubungkan dengan penyebab lain yang tidak bisa di pastikan dengan autopsi.
Beragam insiden PSA telah di laporkan pada daerah lain di dunia (2-49 kasus per 100.000).
Insidennya 62% perdarahan subarakhnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pecahnya
pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi lebih sering pada usia 25-50 tahun.
Perdarahan subarakhnoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Pada MAV laki-laki
lebih banyak dari pada wanita. Pendarahan Subarakhnoid (PSA) menduduki 7-5% dari
seluruh kasus Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO).
Usia : insidensya, 62% PSA timbul pertama kali pada 40-60 tahun.
Kelamin : pada Malformasi ArterioVenosa (MAV), laki-laki lebih banyak dari pada
wanita.

Patofisiologi
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama.
Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi
posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans anterior
diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi
posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie
otak posterior.
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,
terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture tidak
dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang
relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap
stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan
disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan
kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan

12
kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung
jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah. Meskipun
masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya
menjadi ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur
cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture. Aneurisma yang pecah Puncak
kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya 20% dari
aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor
predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-
hari, dan aktivitas berat. Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis
pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum
perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada
risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture dan
mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi
terkait perdarahan kedua hampir 70%.

Manifestasi Klinis
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi :

1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,

2. Hilangnya kesadaran,

3. Fotofobia

4. kejang,

5. Mual dan muntah.

Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak tadi,
sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh perhatian
sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi
dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan
yang hebat. Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian
hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia
(40-50%), dan beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar petir”. Sementara
itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai
berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital, atau

13
nyeri kepala yang terlokalisasi. Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat
menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah
frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius,
defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada
arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula karotiko-
kavernosus, dapat menimbbulkan sindrom sinus kavernosus. Aneurisma pada arteri serebri
media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada
bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius.

Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan.
Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan hematom
subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda klinis dapat bervariasi
mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma.
Semnetara itu, reflek Babinski positif bilateral. Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari
letargi sampai koma, biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada
beberapa hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia
maka perlu dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya
demensia dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai
akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior. Disfungsi nervi kraniales
dapat terjadi sebagai akibat dari a) kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung
oleh darah yang keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus
seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat
adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk PSA.

Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau besar,
atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme. Perdarahan
dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-
aksial. Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA.
Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang
terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih
lama lagi.

Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi dan prognosis
pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa digunakan.

14
Tabel Skala Hunt dan Hess

Grade Gambaran Klinis


I Asimtomatik atau sakitkepala ringan dan iritasi meningeal
II Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat seumur hidupnya),
meningismus, deficit saraf kranial (paresis nervus abdusen sering ditemukan)
III Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan
IV Stupor, deficit neurologis berat (misalnya hemiparesis, manifestasi otonom)
V Koma, desebrasi

Penatalaksanaan

Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah identifikasi


sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan
intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasive terhadap central
venous pressure dan atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah
arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi
pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien
harus istirahat total.
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi dan
hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar 30-35 mmHg.
Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial seperti6 :
 Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara signifikan
(50% dalam 30 menit pemberian).
 Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial
 Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial masih
kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain.
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan
pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya.
Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-obat antihipertensi
intravena, seperti labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan
penggunaan obat-obat anti hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg. Setelah
aneurisma dapat diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini
belum ada kesepakatan berapa nilai amannya.

15
Analgesic seringkali diperlukan, obat- obat narkotika dapat diberikan berdasarkan
indikasi. Dua factor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia
dan hipertermia, karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap thrombosis
vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan kompresif
sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan penatalaksanaan terhadap
aneurisma. Calcium channel blocker dapat mengurangi risiko komplikasi iskemik,
direkomendasikan nimodipin oral.

Komplikasi
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan
subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis
fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama,
yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan
ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan
diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan
nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua
pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan
dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan
meningkat sampai 1200- 220 mmHg.
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.

Prognosis
Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi bedah
maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama,
dan 60% dalam 2 bulan pertama.
Prognosis pasien-pasien PSA tergantung lokasi dan jumlah perdarahan serta ada
tidaknya komplikasi yang menyertai. Disamping itu usia tua dan gejala-gejala yang berat
memperburuk prognosis. Seseorang dapat sembuh sempurna setelah pengobatan tapi
beberapa orang juga meninggal walaupun sudah menjalani treatment.8 Sedangkan prognosis
yang baik dapat dicapai jika pasien-pasien ditangani secara agresif seperti resusitasi

16
preoperative yang agresif, tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan tekanan
intracranial dan vasospasme yang agresif serta perawatan intensif perioperative dengan
fasilitas dan tenaga medis yang mendukung.

Kesimpulan

Perdarahan subarachnoid paling sering terjadi adalah ruptur aneurisma salah satu
arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Hampir 90% pasien pulih
dari ruptur intraserebral arteriovenous malformasi tetapi perdarahan ulang tetap
membahayakan

17
Daftar Pustaka
1. Setyoprando I. Penatalaksanaan perdarahan subarachnoid. Continuing mecidal
education. 2012; 39
2. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis topik neurologi DUUS anatomi, fisiologi,
tanda, gejaka. Edisi 4. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC; 2012
3. Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid hemorrhage. Netter’s
neurology. 2014;526-37
4. Perdossi. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gajah mada university pers;
2011.
5. Zebian RC. Subarachnoid Hemorrhage : Overview. Last updated 25 Februari
2009. Available from http://emedicine.medscape.com/article/794076-overview
6. Perdarahan Subaraknoid. Last updated 2009. Available from
http://irwanashari.blogspot.com/2009/12/perdarahan-subaraknoid.html
7. Subarachnoid Hemorrhage. Available from
http://medicastore.com/penyakit/3103/Subarachnoid_Hemorrhage.html
8. Zebian RC. Subarachnoid Hemorrhage : Subarachnoid Hemorrhage: Differential
Diagnoses & Workup. Last updated 25 Februari 2009. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/794076-diagnosis
9. Zebian RC. Subarachnoid Hemorrhage : Treatment & Medication. Last updated
25 Februari 2009. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/794076-treatment

18

Anda mungkin juga menyukai