Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

Disusun Oleh
:
Muhammad Alif
Farhan
2310221049

Pembimbing:

dr. Dini Zuriana, Sp.A.

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LEUWILIANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 23 OKTOBER – 29 DESEMBER 2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
EPILEPSI

Disusun oleh:
Muhammad Alif Farhan 2320221049

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian


Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Leuwiliang

Leuwiliang, 14 November 2023

Telah diterima dan disahkan oleh,

Pembimbing

dr. Dini Zuriana, Sp.A.

ii
3
BAB I
STATUS PASIEN

I.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. SNA
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 13 tahun
Rekam Medis : ******
Tanggal Pemeriksaan : 6 November 2023
I. 2 ASSESMENT AWAL
Anamnesis dilakukan di IGD RSUD Leuwiliang pada tanggal 6 November
2023.
I.2.1 KELUHAN UTAMA
Kejang.
I.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Awal mula muncul kejang pada Januari 2022, saat itu frekuensi kejang jarang,
3 bulan sekali. Kemudian kejang semakin sering terjadi. Bulan ini (November 2023)
kejang 2-3 x dalam sehari. Kejang tidak diawali dengan demam, tak ada faktor
pemicu terjadinya kejang, kejang terjadi sewaktu-waktu. Pasien mengeluhkan pusing
dan kepala rasanya berat ketika akan kejang.
Ketika kejang, diawali jatuh terlebih dahulu, hilang kesadaran, kemudian
tubuh kaku, lalu kelojotan. Mata pasien tertutup, tak ada gambaran mulut mengecap-
ngecap. Kejang mengenai bagian tubuh kanan dan kiri pasien. Durasi kejang sekitar 5-
15 menit. Setelah kejang, pasien akan tampak melamun selama 1 jam kemudian
tertidur. Pasien juga sering mengalami kejang kemudian tertidur kemudian kejang
kembali tanpa kembali sadar terlebih dahulu. Sebelum berobat, kejang bisa terjadi 1-3
kali sehari. Tak ada faktor yang memperberat atau memperingan kejang.
I.2.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat kejang pertama pada Januari 2022.
I.2.4 RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien sudah berobat ke dokter umum, diberikan vitamin, namun belum ada
perbaikan lalu dirujuk ke rumah sakit.
I.2.5 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
1
Tidak ada keluarga pasien yang menderita kejang.
I.2.6 RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Pasien berasal dari keluarga menengah. Lingkungan pasien kurang memahami
kondisi medis seperti epilepsi
I.2.7 RIWAYAT IMUNISASI
Pasien diimunisasi lengkap sesuai usia.
I.2.8 RIWAYAT TUMBUH KEMBANG
Tidak ada keterlambatan.
I.2.9 RIWAYAT KEHAMILAN
Tak ada gangguan dan kelainan selama kehamilan.
I.2.10 RIWAYAT PERSALINAN
Pasien lahir normal, cukup umur, dan BB lahir normal
I.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit ringan, tampak gelisah.
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36.5⁰C
BB : 44 kg
TB : 156 cm
Status Generalis
Kepala : Normosefali, warna rambut hitam, distribusi rambut
merata.
Mata : Gerakan bola mata ke segala arah normal,
ikterik (-/-), anemis (-/-).
THT : sekret (-), deformitas (-)
Mulut : mukosa bibir lembab, sianosis (-)
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar betah gening
Paru : napas simetris, retraksi (-), taktil fremitus normal
dan simetris, sonor, vesikular, bunyi tambahan (-)
Jantung : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)

2
Abdomen : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik.
I.5 DIAGNOSIS KERJA
Status Epileptikus dengan Epilepsi General Tonik-klonik
I. 6 DIAGNOSIS BANDING
1. Status Epileptikus
2. Epilepsi General
3. Epilepsi Fokal
4. Bangkitan Psikogenik
5. Keadaan episodik aritmia
I.7 RESUME
Pasien datang ke IGD pada hari Senin, 6 November 2023 dengan keluhan
kejang. Kejang tidak diawali dengan demam, tak ada faktor pemicu terjadinya kejang,
kejang terjadi sewaktu-waktu. Pasien mengeluhkan pusing dan kepala rasanya berat
ketika akan kejang. Ketika kejang, diawali jatuh terlebih dahulu, hilang kesadaran,
kemudian tubuh kaku, lalu kelojotan. Mata pasien tertutup, tak ada gambaran mulut
mengecap-ngecap. Kejang mengenai bagian tubuh kanan dan kiri pasien. Durasi
kejang sekitar 5-15 menit. Setelah kejang, pasien akan tampak melamun selama 1 jam
kemudian tertidur. Pasien juga sering mengalami kejang kemudian tertidur kemudian
kejang kembali tanpa kembali sadar terlebih dahulu. Tak ada faktor yang memicu,
memperberat, atau memperingan kejang.
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien
sebelumnya berobat ke dokter umum dan diberikan vitamin namun keluhan kejang
tetap terjadi. Ibu pasien mengakui imunisasi lengkap sesuai dengan buku imunisasi.
Pasien tidak memiliki Riwayat alergi makanan ataupun obat. Pasien lahir dengan usia
kehamilan ± 38 minggu. Pasien lahir secara normal, ditolong oleh bidan. Berat badan
lahir dan panjang badan lahir tidak diketahui. Pasien spontan menangis saat
lahir. Nafsu makan pasien sehari-hari baik. Menurut Ibu pasien, tidak ada
keterlambatan tumbuh kembang.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Epilepsi
Definisi

Epilepsi merupakan kondisi yang ditandai oleh bangkitan kejang


(seizure) berulang tanpa provokasi yang terjadi 2 kali atau lebih dengan
interval lebih dari 24 jam. 4 Kelainan ini bukan disebabkan oleh penyakit otak
akut melainkan disebabkan hiperaktifitas listrik pada sekelompok sel saraf di
otak. Kejang epilepsi berbeda dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi
merupakan timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan
serangan tunggal atau tersendiri sedangkan sindrom epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis yang ditandai dengan kejang epilepsi
berulang yang dipengaruhi oleh berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus, dan kronisitas.

Status Epileptikus merupakan kejadian kejang lebih dari 30 menit atau


kejang terjadi dua kali tanpa pasien sadar sepenuhnya terlebih dahulu. 5 Banyak
hal yang disebabkan epilepsi, seperti aspek psikosisial pasien menjadi malu di
dalam lingkungan masyarakat sehingga menarik diri. Gangguan listrik di otak
yang terjadi terus menerus merupakan komplikasi yang tersering dialami,
sehingga timbul kerusakan otak akibat hipoksia, bahkan bisa berujung
kematian. 5
Epidemiologi
Pada saat ini sebanyak kurang lebih 50 juta jiwa mengidap epilepsi di
seluruh dunia. Perkiraan antara proporsi populasi dan epilepsi aktif pada
negara berpenghasilan rendah dan menengah lebih tinggi, yaitu 80% pasien
epilepsi tinggal di sana. Di Indonesia, jumlah pasti pasien epilepsi pada anak
belum diketahui. 6 Namun di Indonesia prevalensinya sekitar 5 - 10 kasus per
1000 orang dengan insidensi 50 kasus per 100.000 orang per tahun. Di bagian
ilmu kesehatan anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, terdapat sekitar 175 -
200 pasien baru per tahunnya dan yang terbanyak adalah kelompok usia 5 - 12
tahun. 6

4
Etiologi dan Faktor Risiko

Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE (International League Againts


Epilepsy) 2017 telah memperbaharaui klasifikasi tersebut sejak tahun 2010.
Klasifikasi terbaru ini merupakan klasifikasi bertingkat yang dirancang untuk
mengklasifikasikan epilepsi di lingkungan klinis yang berbeda. Seizure type
diklasifikasikan menjadi onset fokal, onset umum, dan onset unknown.
Epilepsy type yang di tingkat kedua adalah mengasumsikan bahwa pasien
memiliki diagnosis epilepsi berdasarkan definisi 2014. Epilepsy type memiliki
kategori baru yaitu "Gabungan Epilepsi Umum dan Fokal" selain epilepsi
umum dan epilepsi fokal. Ini termasuk juga kategori epilepsi unknown.
Terakhir , epilepsy syndrome mengacu pada sekelompok fitur yang
menggabungkan jenis kejang, EEG, dan fitur pencitraan yang cenderung
terjadi bersama-sama. Seringkali memiliki aspek yang bergantung pada usia
seperti usia saat onset dan remisi (jika berlaku), pemicu kejang, variasi
diurnal, dan terkadang prognosis.

Dari saat pasien datang dengan kejang epilepsi pertama, dokter harus
menentukan etiologi epilepsi pada pasien. Beberapa kondisi dapat memicu
epilepsy, sebagai berikut
Kelainan genetik bisa menyebabkan epilepsi mungkin:
a. Kelainan kromosom : Sindrom fragile X, sindrom Rett.

b. Trisomi parsial 13q22-qter berkaitan dengan epilepsi umum onset


lambat dan leukoensefalopati.
Kelainan struktural atau metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi sebagai
berikut:
a. Kelainan neurokutan : Tuberosklerosis, neurofibromatosis,
hipomelanosis ito, sindrom Sturge-Weber.
b. Palsi serebral : Epilepsi didapatkan pada 50% kasus palsi serebral
spastik kuadriplegia atau hemiplegia dan 26% kasus palsi serebral
diplegia atau diskinetik.

c. Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga


mengubah rangkaian sirkuit listrik otak menjadi epileptogenesis,
termasuk mesial temporal sclerosis.

5
d. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% kasus epilepsi
intraktabel), hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD),
heterotopia nodular periventikular, agiria, pakigiria, skizensefali,
polimikrogiria.
e. Tumor otak dan lesi lain : Astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma,
angioma kavernosum.
f. Trauma kepala.

g. Infeksi : Ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria


serebral, dan sistiserkosis.
h. Kelainan metabolik bawaan. 7
Klasifikasi

Berdasarkan tipe bangkitan yang diobservasi secara klinis atau


elektrofisiologi, kejang dibagi menjadi dua menurut ILAE tahun 1981 yaitu
kejang umum yang melibatkan kedua hemisfer otak atau fokal (parsial) yang
dimulai dari satu bagian otak, melibatkan banyak area. Klasifikasi tersebut
terus berkembang dan direvisi kembalik oleh ILAE pada tahun 2017.

Tabel II.1 Klasifikasi epilepsy berdasarkan tipe bangkitan ILAE 1989 7

Menurut ILAE 2017, klasifikasi epilepsy dibagi menjadi fokal, umum,


kombinasi fokal – umum, dan unknown:

a. Umum: Individu dengan epilepsi umum mungkin memiliki berbagai


jenis kejang seperti absen, mioklonik, atonik, tonik, dan kejang tonik-
klonik. Diagnosis epilepsi umum dibuat atas dasar klinis, didukung oleh
temuan khas discharge EEG interiktal (gambaran paku – ombak
generalized)

6
b. Fokal: termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta kejang yang
melibatkan satu hemisfer. Jenis kejang yaitu:

1) kejang sadar fokal

2) kejang gangguan kesadaran fokal

3) kejang motorik fokal

4) kejang non-motor fokal

5) kejang tonik-klonik fokal hingga bilateral

EEG interiktal biasanya menunjukkan pelepasan epileptiform fokal,


tetapi diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis alasan, didukung oleh
temuan EEG

c. Kombinasi fokal – umum: klasifikasi ini dibuat karena ada pasien yang
mengalami kejang umum dan fokal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
klinis alasan, didukung oleh temuan EEG. Rekaman iktal adalah
membantu tetapi tidak penting. EEG interiktal dapat menunjukkan
keduanya gelombang lonjakan umum dan pelepasan epileptiform fokal,
tetapi aktivitas epileptiform tidak diperlukan untuk diagnosis.

d. Unknown: menunjukkan bahwa pasien menderita epilepsi tetapi dokter


tidak dapat menentukan apakah jenis epilepsinya fokal atau umum
karena informasi yang tersedia tidak mencukupi. Ini mungkin karena
berbagai alasan seperti tidak ada akses ke EEG, atau studi EEG mungkin

tidak informatif, misalnya, hasil normal.

Epilepsi juga dibagi oleh ILAE tahun 1989 berdasarkan etiologinya. yaitu:
a. Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik : Epilepsi tanpa adanya kelainan
struktur otak dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor genetik
diduga berperan pada tipe ini dan biasanya khas mengenai usia tertentu.
b. Epilepsi atau sindrom epilepsi simptomatik : Epilepsi yang disebabkan
oleh satu atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.
c. Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik : Epilepsi atau sindrom
epilepsi yang diasumsikan simptomatik tetapi etiologinya masih belum
diketahui. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan (studi pencitraan,
genetik, dan metabolik), klasifikasi kriptogenik ini banyak yang bisa

7
digolongkan sebagai epilepsi simptomatik. 7
Pathogenesis
Mekanisme kejang melalui 2 fase yaitu fase inisiasi dan fase
propagasi. Fase inisiasi memiliki karakteristik dengan 2 kejadian yang terjadi
secara bersamaan yaitu adanya aliran gelombang listrik frekuensi tinggi dan
adanya hipersinkronisasi. Adanya influx kalsium (Ca2+) ekstraseluler yang
menyebabkan depolarisasi yang berkepanjangan, sehingga kanal sodium
(Na+) voltage-dependent terbuka yang mengakibatkan influx Na+ sehingga
terciptanya potensial aksi berulang dengan mekanisme yang sama. Proses ini
kemudian diikuti dengan hiperpolarisasi yang dimediasi receptor GABA atau
kanal potassium (K+).

πGambar II.1 Fisiologi eksitabilitas neuron 8

Seharusnya letusan ini dapat dicegah dengan hiperpolarisasi intak dan


inhibisi dari neuron inhibitor di sekitarnya oleh neurotransmitter GABA ( -
amino Butiric Acid) pada neuron yang normal. Sedangkan pada yang
abnormal terjadi discharges berulang yang disebabkan oleh:
a. Peningkatan K+ ekstraseluler, sehingga menumpulkan hiperpolarisasi
dan men-depolarisasi neuron di sekitarnya.
b. Akumulasi Ca2+ di terminal presinaptik (intraseluler) menyebabkan
peningkatan pelepasan neurotransmitter.
c. Gangguan efek inhibisi
i. Blockade inhibisi yang dimediasi GABA.
ii. Teraktivasinya receptor glutamate eksitatorik (subtype NMDA)
akibat depolarisasi menyebabkan influx Ca2+ dan aktivasi
8
neuronal.
Pengaruh neuron abnormal ini terhadap neuron normal yang ada di
sekitarnya menyebabkan fungsi inhibisi hilang dan adanya penyebaran
discharge kejang ke korteks yang berdekatan melalui koneksi kortikal (local
cortical connection), ke korteks di hemisfer yang berseberangan, dan ke
struktur subkortikal. Sehingga kejang yang awalnya fokal menjadi kejang
general. Discharge kejang akan menyebar hingga motor corteks dan mengalir
melalui persarafan motoric, sehingga otot akan teraktivasi. 1,2,9,10

Gambar II.2 Perubahan neuron pada lesi epileptogenik 11

Gambar II.3 Penyebaran discharge seizure 11

Berbagai faktor dapat mempengaruhi eksitabilitas neuronal sehingga


mengaktivasi letusan. Faktor tersebut meliputi faktor instrinsik seperti
9
perubahan konduksi kanal ion, karakteristik respon kanal membrane,
sitoplasma yang terhambat, system second – messenger, dam juga ekspresi
protein sebagai produk dari transkripsi, tranlasi, dan modifikasi post –
translasional. Faktor ekstrinsik juga berpengaruh seperti perubahan jumlah
neurotransmitter di sinaps, modulasi receptor, serta properti temporal dan
spasial dari input sinaptik dan non – sinaptik.

Gambar II.4 Pathogenesis Epilepsi 5,8

Epileptogenesis menjadi salah satu penyebab tercetusnya


hipereksitabilitas pada neuron. Tidak selalu setelah kejadian trauma, stroke,
atau infeksi akan muncul kejang pertama, bahkan kejadian ini bisa saja delay
munculnya. Cidera yang dialami awalnya dapat menurunkan ambang
rangsang kejang terlebih dahulu pada neuron yang terkena. 1,2 Neuron pada
fokus epileptic memiliki aktivitas listrik abnormal sehingga menjadi lebih
rentan terprovokasi akibat hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hipokalsemia,
dan hiponatremi. 10
Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh
dengan penjelasan mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan
sesudah serangan. Anamnesis perlu juga menggali informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler, dan obat-obatan tertentu. 12
10
1) Riwayat Penyakit Sekarang
1. Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab
kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya
memiliki penyebab sekunder berupa gangguan pada masa perinatal,
kelainan metabolik, dan malformasi kongenital. Serangan kejang
umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja.
2. Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai pada
waktu terjaga dan di pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat
terjadi setiap waktu. Serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul
pada waktu malam hari.
3. Serangan kejang dapat dicetuskan oleh kurang tidur, cahaya yang
berkedip, panas, kelelahan fisik dan mental, atau suara tertentu.
Dengan mengetahui faktor pencetus ini, sewaktu konseling dengan
pasien dan keluarganya hal tersebut dapat membantu dalam mencegah
serangan kejang.
4. Pernyataan mengenai frekuensi serangan kejang dapat membantu
untuk mengatahui bagaimana respons pengobatan bila sudah mendapat
obat anti kejang.
5. Usaha mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum dan apakah obat tersebut yang sedang digunakan
spefisik bermanfaat dengan menggali informasi mengenai periode
bebas kejang sejak awal serangan kejang.
6. Perlu menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan
menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

7. Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka akibat


serangan kejang yang diawali dengan aura dengan mengetahui luka di
tubuh sehubungan dengan serangan kejang. Informasi ini dapat
dipersiapkan upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
8. Kita dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang yang
mungkin disebabkan oleh kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan
minum obat, atau ada penyakit penyertanya.
Anamnesis harus lengkap mencakup informasi mengenai pre iktal, iktal,
dan post iktal yang dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis:

11
1. Pre iktal : Kondisi fisik dan psikis sebelum bangkitan yang
mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, seperti perubahan
perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermia, mengantuk, menjadi
sensitif, dan lainnya. Perlu ditanyakan ingatan terakhir sebelum terjadi
serangan. Gejala neurologis mungkin dapat menunjukkan lokasi fokal.
Kita perlu menggali beberapa informasi seperti ada tidaknya penyakit
penyerta, riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan, riwayat
penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya, riwayat penyakit epilepsi
dalam keluarga.
2. Iktal : Selama bangkitan harus ditanyakan apakah terdapat aura atau
ada gejala yang dirasakan pada awal bangkitan. Bagaimana pola atau
bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan
tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada satu atau kedua lengan
dan tungkai, bangkitan tonik atau klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lainnya. Perlu dicari tahu berapa banyak pola
bangkitan dalam satu kali serangan. Adakah perubahan pola dari
bangkitan sebelumnya, serta aktivitas pasien saat terjadi bangkitan,
misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain, dan lainnya. Seberapa lama
bangkitan berlangsung.
3. Post iktal : Apa yang terjadi segera setelah serangan kejang. Pasien
setelah mengalami serangan kejang umum tonik - klonik biasanya akan
tertidur. Periode disorientasi dan penurunan kesadaran biasanya terjadi
setelah pasien mengalami serangan kejang parsial kompleks.
Hemiparese atau hemiplegia setelah serangan kejang disebut dengan
Todd’s Paralysis yang menggambarkan adanya fokus patologi di otak.
Afasia tanpa disertai gangguan kesadaran menggambarkan adanya
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada kejang absans, khas
tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang. 12
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Informasi ini dapat memberikan informasi dalam memperkirakan
atau menduga etiologi. Berikut informasi yang perlu diperhatikan dalam
menggali riwayat penyakit terdahulu yaitu:
1. Apakah pasien lahir secara normal atau melalui proses persalinan
lainnya dengan usia kehamilan cukup bulan atau tidak?
12
2. Apakah setelah lahir pasien mengalami asfiksia?

3. Apakah tumbuh kembang pasien berlangsung normal sesuai usianya?

4. Adakah riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi setelah


serangan kejang demam sederhana adalah sekitar 2% dan serangan
kejang demam kompleks sekitar 13%.
5. Adakah riwayat infeksi pada susunan saraf pusat seperti meningitis
atau ensefalitis, atau penyakit infeksi lainnya (misalnya sepsis atau
pneumonia yang disertai serangan kejang)?
6. Adakah riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun atau amnesia yang
lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak? 12
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Sindrom epilepsi spesifik atau kelainan neurologis lainnya yang
berkaitan dengan faktor genetik digali lebih banyak lagi informasinya
untuk mengetahui apakah diturunkan dari orang tua. Contohnya, juvenile
myoclonic epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic
epilepsy, dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik yang disertai
kejang demam. 12
4) Riwayat alergi
Jika pasien pernah atau sedang menggunakan obat-obatan seperti
OAE (Obat Anti Epilepsi), kita harus dapat membedakan respons tubuh
merupakan efek samping obat atau efek reaksi hipersensitivitas tubuh.
Bila pada pasien ditemukan rash, kita harus bisa membedakan apakah hal
itu efek fotosensitif yang disebabkan paparan sinar matahari atau efek
hipersensitivitas yang sifatnya lebih luas lagi. 12
5) Riwayat Pengobatan
Jika pasien tengah menggunakan OAE (Obat Anti Epilepsi), maka
perlu menanyakan mengenai nama obat yang digunakan, kemanjuran
pengobatan, frekuensi minum obat, dan berapa lama sudah diminum
selama ini, berapa dosisnya, dan apakah ada efek sampingnya. 12
b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksa dapat mencari tanda-tanda dari gangguan yang


13
berhubungan seperti trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologis
fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus pada pemeriksaan fisik umum dan
neurologis. Pada pasien anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan ada tidaknya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran anggota tubuh. 13
Dilakukan pemeriksaan kulit untuk mendeteksi sindrom neurokutaneus seperti
cafe au lait spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis, ash leaf spots,
shahgreen patches, subungual fibromas, adenoma sebaceum pada tuberoskelrosis,
port-wine stain (capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Lihat juga
ada bekas gigitan di lidah yang dapat terjadi sewaktu serangan kejang
berlangsung atau adakah bekas luka lecet karena pasien terjatuh akibat serangan
kejang.
Pemeriksaan neurologi perlu memeriksa status mental, gait,
koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Jika
ada lateralisasi atau lesi struktural di area otak biasanya diikuti defisit neurologis
seperti hemiparese, distonia, disfasia, gangguan lapang pandang, atau papiledema
mungkin menunjukkan. Nistagmus, diplopia, atau ataksia bisa jadi disebabkan
efek toksik OAE. Demensia, mioklonus yang memberat menunjukan adanya
kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatisme dapat menunjukkan ada
kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral, sedangkan distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral di lobus temporalis. 12
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi

Pemeriksaan radiologi berguna untuk mendeteksi lesi otak yang bisa


menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental yang
menyertai. Pencitraan dilakukan untuk menentukan etiologi, memperkirakan
prognosis, dan merencanakan penatalaksanaan klinis yang sesuai. Magnetic
resonance imaging (MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi
kelainan yang mendasari epilepsi. Indikasi MRI pada anak dengan epilepsi
adalah sebagai berikut: 14
a. Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG.

b. Pemeriksaan neurologi yang abnormal seperti defisit neurologis fokal,


stigmata kelainan neurokutan, tanda malformasi otak, keterlambatan
perkembangan yang bermakna, atau kemunduran perkembangan.
14
c. Anak berusia kurang dari 2 tahun.

d. Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simptomatik, misalnya


spasme infantil atau sindrom Lennox-Gastaut.
e. Epilepsi intraktabel.

f. Status epileptikus.

Gambar II.5 Hasil MRI pada otak 12

2. Ekltrodiagnosis

EEG dapat rutin dilakukan pada kasus kejang pertama tanpa provokasi
dan dugaan epilepsi, namun pemeriksaan ini bukanlah gold standard untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Kelainan hasil EEG dapat ditemukan pada 2 -
4% anak yang tidak pernah kejang sebelumnya, namun hasil EEG inter iktal
bisa normal pada 55% anak dengan kejang pertama tanpa provokasi.
Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi klinis tidak bisa
menyingkirkan atau menegakkan diagnosis epilepsi.
Pada EEG penting memperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang
irama dasar, ada tidaknya asimetri, dan apakah ada aktivitas epileptiform yang
dapat berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku-tombak, tajam-ombak,
paku multipel, burst- suppression, dan hipsaritmia. Kita perlu memperhatikan
juga lokalisasi aktivitas abnormal. Peran EEG dalam mendiagnosis adalah
sebagai berikut:
a. Membantu dalam menentukan tipe kejang.

b. Menunjukkan lokalisasi fokus kejang.

15
c. Membantu dalam menentukan sindrom epilepsi.

d. Pemantauan keberhasilan terapi.

e. Membantu dalam menentukan apakah terapi obat anti epilepsi dapat


dihentikan.

Gambar II.6 Gelombang EEG pada kejang General tonic – clonic 11

Sensitivitas EEG untuk mendiagnosis epilepsi hanya sekitar 25 -


56%, sedangkan spesifisitasnya sekitar 78 - 98%. Jika pemeriksaan ini
digunakan bersamaan dengan temuan klinis, maka sensitivitasnya
menjadi 98,3% dan spesifisitasnya 86%. Beberapa hal yang dapat
meningkatkan nilai diagnostik EEG adalah sebagai berikut: 11
a. Melakukan EEG saat pasien tidur (sensitivitas 81%) terutama
apabila dilakukan pengulangan siklus bangun-tidur (sensitivitas
92%).
b. Pengulangan EEG.
c. Deprivasi tidur parsial meningkatkan angka deteksi aktivitas
epileptiform pada EEG sebesar 10%.
d. Hiperventilasi terutama pada epilepsi absans.
e. Stimulasi fotik.

16
Gambar II.7 Gelombang EEG pada kejang absence 11

Prosedur yang paling baik untuk mengaktivasi neuron kortikal


adalah ketika tidur karena gelombang elektriknya lebih sinkronis dari
pada saat bangun. Interpretasi EEG harus disesuaikan dengan gejala
klinis yang ditemukan. Kadang kala ditemukan pasien tanpa gejala
klinis, namun ditemukan pola fokal atau epileptiform pada EEG. 9
d. Diagnosis Banding

1. Bangkitan psikogenik : dipicu stres emosional. Pasien biasanya


menutup mata, gerakan tidak sinkron dan tidak berpola, durasi
serangan lama, napas cepat dan dangkal, tidak ada luka di lidah atau
jika ada lokasinya di depan lidah (luka lidah khas serangan epileptik
adalah di bagian lateral lidah), dan jarang terjadi cedera fisik.
2. Keadaan episodik aritmia : Ada palpitasi, riwayat infarks miokard,
riwayat penyakit katup jantung, EKG abnormal, penurunan
kesadaran dan kadang disertai gerakan yang menyerupai mioklonik.
3. Migrain : Manifestasi neurologis fokal biasanya berevolusi lebih
lama dibandingkan dengan epilepsi. Aura migrain dapat berdurasi
hingga 60 menit.
4. Transient ischemic attack : Keluhan sesuai bagian otak yang
terkena, evolusi gejala lebih lambat dibandingkan dengan
bangkitan, serta ada faktor risiko vaskular.
5. Bangkitan simptomatik akut akibat gangguan eletrolit (misalnya,
hipomagnesemia, hiponatremia, atau hipokalsemia) atau gangguan
metabolik (misalnya, hipoglikemia, hiperglikemia, atau uremia). 5

17
Tata Laksana

Diagnosis epilepsi atau sindrom epilepsi harus pasti sebelum


memulai OAE. Respons individu terhadap OAE tergantung dari tipe
kejang yang dialaminya, klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus
dievaluasi setiap kali kunjungan. Pengobatan epilepsi adalah pengobatan
jangka panjang. 15
Pemberian OAE harus mempertimbangkan risiko dan manfaat.
Faktor akseptabilitas OAE sangat menentukan kepatuhan berobat.
Penatalaksanaan epilepsi umumnya terbagi dalam 2 fase, yaitu :
a. Penatalaksanaan fase akut (saat kejang)
Tujuan penatalaksanaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin,
mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Penanganan
pertama untuk serangan kejang, kita dapat memberikan diazepam per
rektal dengan dosis 5 mg bila BB anak < 10 kg atau 10 mg bila BB anak
> 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, kita dapat mengulangnya
setelah selang waktu 5 menit dengan obat dan dosis yang sama. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam per rektal, kejang masih belum
berhenti, maka pasien dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. 5
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat pasien
epilepsi terbebas dari serangan. Apabila kejang terjadi terus-menerus
maka kerusahan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan
penurunan fungsi kognitf. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan
pasien dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
dikontrol dengan obat- obatan setelah pasien tersebut bebas kejang
selama 2 tahun atau lebih. 5
Pemberian obat anti epilepsi (OAE) merupakan terapi utama
epilepsi untuk mengontrol bangkitan epilepsi. Di Indonesia memiliki
banyak jenis OAE mulai dari first line (pilihan pertama sampai second
line (pilihan kedua). OAE lini pertama adalah karbamazepin, asam
valproat, fenobarbital, dan fenitoin. Karbamazepin, asam valproat,
klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE untuk epilepsi

18
yang baru terdiagnosis untuk semua kelompok usia dan semua jenis
kejang, tidak ada perbedaan yang bermakna dari efikasi obat-obat
tersebut. 16
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan
kadar GABA di otak setelah pemberian asam valproat, meskipun
mekanisme peningkatan ini masih belum diketahui dengan jelas. Asam
valproat juga dapat memfasilitasi asam glutamat dekarboksilasi, enzim
yang berperan dalam sintesis GABA. Efek inhibitorik pada pengangkut
transporter GABA (GAT-1) juga mungkin berperan. Pada konsentrasi
yang sangat tinggi, asam valproat menghambat GABA transaminase di
otak sehingga penguraian GABA terhambat. Asam valproat adalah
inhibitor kuat histone deacetylase dan melalui mekanisme ini dapat
mengubah transkripsi banyak gen. 17
Panduan memilih OAE lini pertama adalah:

1)Fenobarbital : Untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 3 - 4


mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis.
2)Fenitoin : Untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5 - 7 mg/kg terbagi
dalam 2 dosis.
3)Asam valproat : Untuk epilepsi umum, parsial, dan absans. Dosis
15 - 40 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis.
4)Karbamazepin : Untuk epilepsi parsial. Dosis 10 - 30 mg/kg/hari
terbagi dalam 2- 3 dosis.

Panduan memilih OAE lini kedua, yaitu:

1) Topiramate : Untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5 - 9


mg/kg/hari terbagi dalam 2 - 3 dosis.

2) Levetirasetam : Untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan


mioklonik. Dosis 20 - 60 mg/kg/hari terbagi dalam 2 - 3 dosis.

3) Oxcarbazepine : Untuk epilepsi parsial dan benign rolandic


epilepsy. Dosis 10 - 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 - 3 dosis.

4) Lamotrigine : Untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik.


Dosis 0,5 - 5 mg/kg/hari terbagi dalam 2 - 3 dosis.
Adapun panduan pemberian pengobatan dari NICE berdasarkan jenis
19
kejangnya sebagai berikut:
1) Kejang fokal
a) Berikan lamotrigine sebagai pengobatan lini pertama pada laki
– laki, wanita dan perempuan yang berpotensi melahirkan.
b) Carbamazepine dapat diberikan namun kontra indikasi pada
Wanita atau perempuan melahirkan.
2) Kejang general tonic – clonic
a) Berikan sodium valproate sebagai pengobatan lini pertama pada
laki – laki, wanita dan perempuan yang tidak berpotensi
melahirkan. Kontra indikasi pada wanita atau perempuan
melahirkan.
b) Berikan lamotrigine jika dengan sodium valproate tidak
membaik.
c) Carbamazepine atau oxcabazepine dapat menjadi pilihan,
namun hati – hati efek samping dapat memberikan eksaserbasi
pada kejang myoclonic dan absence.
3) Kejang absence
a) Berikan ethosuximide pada laki – laki, wanita dan perempuan
berpotensi atau tidak berpotensi melahirkan. Dapat diberikan
sodium valproate namun kontra indikasi pada Wanita atau
perempuan melahirkan.
b) Berikan lamotrigine jika dengan kedua obat di atas tidak
membaik.
4) Kejang myoclonic
a) Berikan sodium valproate sebagai pengobatan lini pertama.
Kontra indikasi pada Wanita atau perempuan melahirkan.
b) Berikan levetiracetam atau topiramate jika tidak membaik
dengan sodium valproate.
5) Kejang tonik atau atonik
a) Berikan sodium valproate sebagai pengobatan lini pertama.
Kontra indikasi pada Wanita atau perempuan melahirkan. 15

20
Tabel II.2 Obat Anti Epilepsi Lini Pertama dan Lini Ke Dua 2

Pertimbangan pemberian OAE untuk kejang unprovoked berdasarkan


kemungkinan rekurensi dengan risiko penggunaan OAE jangka Panjang.
Sebesar 60% kasus pasien anak dengan terapi OAE dapat control
kejangnya dan efek samping minimal dengan menggunakan obat initial,
namun jika kejang tidak terkontrol walau hasilnya bagus maka perlu
ditambahkan obat kedua. 9,18

Gambar II.8 Indikasi Pemberian OAE Berdasarkan Jenis Kejang 2

Klasifikasi OAE
a. Na+ - dependent potential action (fenitoin, carbamazepine,
lamotrigine, topiramate, zonisamide).
b. Inhibisi kanal voltage gated Ca2+ (fenitoin, asam valproate).
c. Penurun glutamate release (lamotrigine).
d. Potensiasi fungsi GABA receptor (benzodiazepine dan
barbiturates).
e. Peningkat availabilitas GABA (asam valproate, gabapentine,
tiagabine).
21
f. Modulator pelepasan vesikel sinaptik (levetiracetam).
g. Inhibitor kanal T – type Ca2+ di neuron thalamic (asam valproate
dan ethosuximide) 2

Tabel II.3 OAE spektrum luas dan sempit serta manfaatnya 2

Waktu penyembuhan epilepsi variatif tiap individunya. Oleh karena itu


ada berbagai faktor yang mempercepat penyembuhan tersebut, yaitu meliputi

22
proses fisiologis intrinsik seperti stress fisik atau psikologis, gangguan tidur,
atau perubahan hormonal terkait siklus menstruasi dan proses eksogenik yang
disebabkan oleh racun dan medikasi tertentu. 2

Tabel II.4 Efek samping OAE 19

Edukasi
a. Menjelaskan mengenai diagnosis pasien dan minum obat secara teratur.
b. Menghindari faktor pencetus.
c. Memantau aktivitas anak seperti saat berenang.
d. Komunikasi dengan sekolah agar dapat memberikan keleluasan pada
pasien epilepsy serta menghindari dan melindungi dari perundungan.
e. Kontrol ulang secara teratur untuk memantau efek terapetik dan melihat
tanda – tanda efek samping obat. 15
Komplikasi
Pada pasien dengan gangguan perkembangan otak atau cidera otak
dapat mengalami gangguang fungsi kognitif dan defisit neurologis lainnya.

23
Selain itu pasien epilepsy juga memiliki risiko permasalahan psikiatrik seperti
depresi, anxietas, dan psikosis. Yang mengerikan adalah pasien epilepsy
memiliki 2 – 3 kali berisiko kematian dari pada orang yang tidak pernah
epilepsy. 2
Prognosis

A. Prognosis setelah kejang tanpa provokasi pertama kali

Terdapat risiko 24% pada anak tanpa gangguan neurologis mengalami


kejang tanpa provokasi pertama kali untuk mengalami kejang kedua pada tahun
pertama, dan 45% untuk mengalami kejang kedua dalam waktu 14 tahun
kemudian. berisiko timbulnya kejang kedua dalam 1 tahun pertama lebih besar
sekitar 37% jika anak tersebut memiliki gangguan neurologis, maka. Bila anak
mengalami kejang kedua tanpa provokasi dengan interval > 24 jam dari kejang
pertama, maka risiko untuk mengalami kejang berikutnya meningkat hingga
70%. 11
B. Rekurensi

Gambaran EEG abnormal dan status epileptikus pada kejang pertama


digunakan sebagai prediktor timbulnya kejang kedua adalah. Risiko rekurensi
mencapai 41% dalam satu tahun pada anak dengan gambaran EEG abnormal
setelah kejang pertama, dibandingkan hanya 15% pada anak dengan gambaran
EEG normal. 11
C. Fungsi kognitif

Anak dengan kejang intraktabel dapat mengalami penurunan kemampuan


kognitif dan memori. gangguan kognitif, terutama apabila kejang muncul pada
usia muda dapat terjadi pada anak dengan kejang yang sulit diatasi dalam suatu
studi observasi. Epilepsi dapat mempengaruhi psikologis, perilaku, prestasi
akademik, dan kehidupan sosial mengganggu kualitas hidup pasien epilepsi. 20

24
D. Mortalitas

Sebanyak 60 dari 245 pasien meninggal dari sebuah studi kohort dengan
pengamatan hingga 40 tahun. Angka kematian tersebut 2 hingga 3 kali lipat angka
kematian pada populasi umum. Risiko kematian lebih tinggi pada pasien epilepsi
yang belum mengalami remisi dan epilepsi simptomatik. Sekitar 30% dikategorikan
sebagai kematian mendadak yang tidak dapat diterangkan sebabnya (SUDEP,
sudden unexpected death in epilepsy). Penyebab kematian lainnya adalah
tenggelam. 21
E. Kecelakaan
Risiko mengalami kecelakaan juga meningkat pada pasien epilepsi.
Sebuah studi kohort pada lebih dari 11.000 anak dan dewasa muda, pasien
epilepsi menunjukkan bahwa pasien epilepsi punya risiko lebih tinggi untuk
mengalami patah tulang, luka akibat benda panas, dan keracunan produk
kesehatan termasuk obat. 22

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Milligan TA. Epilepsy: A Clinical Overview. American Journal of Medicine [Internet]. 2021 Jul
1 [cited 2023 Jul 18];134(7):840–7. Available from:
http://www.amjmed.com/article/S0002934321001637/fulltext
2. Hauser SL. HARRISON’S Neurology in Clinical Medicine.
3. Stafstrom CE, Carmant L. Seizures and Epilepsy: An Overview for Neuroscientists. Cold
Spring Harb Perspect Med [Internet]. 2015 [cited 2023 Jul 18];5(6):1–19. Available from:
/pmc/articles/PMC4448698/
4. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, et al. ILAE
Official Report: A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475–82.
5. Smith DM, McGinnis EL, Walleigh DJ, Abend NS. Management of Status Epilepticus in
Children. J Clin Med. 2016;5(4):47. Published 2016 Apr 13. doi:10.3390/jcm5040047.
6. Gusta N, Yolanda A, Sareharto P, Istiadi H, Nuh G, Ady Y, et al. FAKTOR FAKTOR
YANG BERPENGARUH PADA KEJADIAN EPILEPSI INTRAKTABEL ANAK DI
RSUP DR KARIADI SEMARANG. Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro
Medical Journal) [Internet]. 2019 [cited 2023 Aug 7];8(1):378–89. Available from:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/article/view/23369
7. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L, et al. ILAE
classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for Classification
and Terminology. Epilepsia [Internet]. 2017 [cited 2023 Aug 7];58(4):512–21. Available
from: http://www.ilae.org/Visitors/Docume
8. Bromfield EB, Cavazos JE, Sirven JI. Basic Mechanisms Underlying Seizures and
Epilepsy. 2006 [cited 2023 Jul 21]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2510/
9. Nelson Essentials of Pediatrics 7th Edition DrAbotaleb.
10. Bowman J, Spitz M. Epilepsy [Internet]. Available from: www.els.net
11. Benbadis SR, Beniczky S, Bertram E, MacIver S, Moshé SL. The role of EEG in patients
with suspected epilepsy. Epileptic Disorders [Internet]. 2020 Apr 1 [cited 2023 Aug
8];22(2):143–55. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1684/epd.2020.1151

26
12. Nowacki TA, Jirsch JD. Evaluation of the first seizure patient: Key points in the history
and physical examination. 2017 [cited 2023 Aug 8]; Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.seizure.2016.12.002
13. Oguni H. Diagnosis and treatment of epilepsy. Epilepsia [Internet]. 2004 [cited 2023 Aug
7];45 Suppl 8(SUPPL. 8):13–6. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15610188/
14. Gano D, Sargent MA, Miller SP, Connolly MB, Wong P, Glass HC, et al. MRI findings
in infants with infantile spasms after neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatr
Neurol [Internet]. 2013 Dec [cited 2023 Aug 8];49(6):401. Available from:
/pmc/articles/PMC4117575/
15. Epilepsies in children, young people and adults NICE guideline. 2022 [cited 2023 Aug
8]; Available from: www.nice.org.uk/guidance/ng217
16. Penelitian H, Agustina S, Widjaja S, Puspasari R. Penggunaan Asam Valproat pada
Pasien Epilepsi di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Tingkat III Brawijaya Surabaya Periode
Maret-Agustus 2021. Cermin Dunia Kedokteran [Internet]. 2022 Mar 1 [cited 2023 Aug
7];49(3):126–8. Available from: https://cdkjournal.com/index.php/cdk/article/view/203
17. Khairin K, Zeffira L, Malik R. Karakteristik Penderita Epilepsi di Bangsal Anak RSUP
Dr. M. Djamil Padang Tahun 2018. Health & Medical Journal [Internet]. 2020 Jul 26
[cited 2023 Aug 7];2(2):16–26. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/343223488_Karakteristik_Penderita_Epilepsi_d
i_Bangsal_Anak_RSUP_Dr_M_Djamil_Padang_Tahun_2018
18. Epilepsy seizure types, classification and treatment. 2018; Available from:
www.tandfonline.com/oemd
19. Epilepsies: diagnosis and management. Epilepsies: diagnosis and management [Internet].
2021 May 12 [cited 2023 Aug 3]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553536/
20. Berg AT, Zelko FA, Levy SR, Testa FM. Age at onset of epilepsy, pharmacoresistance,
and cognitive outcomes: a prospective cohort study. Neurology [Internet]. 2012 Sep 25
[cited 2023 Aug 8];79(13):1384–91. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22972641/
21. Nickels KC, Grossardt BR, Wirrell EC. Epilepsy-related mortality is low in children: a
27
30-year population-based study in Olmsted County, MN. Epilepsia [Internet]. 2012 Dec
[cited 2023 Aug 8];53(12):2164–71. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22989286/
22. Prasad V, Kendrick D, Sayal K, Thomas SL, West J. Injury among children and young
adults with epilepsy. Pediatrics [Internet]. 2014 [cited 2023 Aug 8];133(5):827–35.
Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24733872/

28

Anda mungkin juga menyukai