Anda di halaman 1dari 17

DEPARTEMEN NEUROLOGI CASE EPILEPSY

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

JUVENILE MYOCLONIC EPILEPSY

OLEH :

dr. Ananda Asmara


C155201010

PEMBIMBING :
Dr. dr. Audry Devisanty Wuysang, Sp.S (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

2
Laporan Kasus

I. Identitas pasien
 Nama : Nn. W
 Tanggal lahir : 19 Juni 2009
 Usia : 13 tahun
 Status : Belum menikah
 Alamat : Bau Bau
 Pekerjaan : Siswa
 No.Rekam Medis : 191839
 No Handphone : 085255298***
 Tanggal pemeriksaan : 22 Desember 2022
 Berat badan : 55 kg
 Tinggi badan : 158 cm
 BMI : 22,2 kg/m2

II. Anamnesis
 Keluhan utama : Bangkitan
 Anamnesis terpimpin :
Pasien dikonsul dari Poliklinik Anak oleh TS Anak, dengan riwayat bangkitan
berupa gerakan menyentak pada kedua bahu yang dialami pada bulan
September 2022 (3 bulan sebelum berobat ke poliklinik), frekuensi bangkitan 1
kali, dengan durasi kurang lebih 3-4 detik yang dialami saat pasien baru bangun
tidur. Saat bangkitan, pasien terlihat seperti bengong, mata melotot, mulut
tertutup, anggota gerak tidak kaku. Setelah bangkitan pasien merasa lemas,
pasien sadar sebelum, saat dan setelah bangkitan. Sebelum terjadi bangkitan,
pasien sangat lelah dan kurang tidur. Bangkitan terjadi hanya 1 kali.

Riwayat Penyakit Dahulu


Ada riwayat kejang demam sebelumnya, pada saat pasien umur 1 tahun hingga
pasien berusia 5 tahun, pola kejang kaku dan diikuti kelonjotan pada kedua
tangan dan kedua kaki dengan frekuensi 1x dengan durasi kurang dari 2 menit.

Riwayat Tumbuh Kembang


Riwayat kehamilan ibu sehat selama kehamilan,
Riwayat kelahiran normal, cukup bulan, dengan BBL 2500gr dan PBL tidak
diketahui. Riwayat tumbuh kembang sesuai usia. Pasien di sekolah sangat aktif
dan memiliki prestasi di sekolah nya.
Riwayat imunisasi dasar lengkap.

3
Riwayat Keluarga
Tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga
Tidak ada riwayat Kejang demam dalam keluarga

Riwayat Penyakit lainnya


Riwayat trauma tidak ada
Riwayat Infeksi tidak ada

Riwayat pengobatan :
Saat kejang 13 tahun yang lalu, pasien sempat dirawat di rumah sakit Bau Bau
dan diberikan obat dalam bentuk puyer, dan pasien tidak mengetahui jenis obat
yang diberikan, pasien meminum obat saat masuk rumah sakit dan tidak lanjut
minum obat saat dirumah.

Riwayat pemeriksaan EEG


EEG tanggal 28/9/2022 di klinik Maxima, Bau Bau, oleh dr. A. Israyanti Mawardi,
Sp.N, Kesan : abnormal III ( tampak IED berupa spike and wave generalized
intermitten)

III. Pemeriksaan Fisik


 Tanda Vital
a. Tekanan darah : 90/60 mmHg
b. Nadi : 80 kali/menit; reguler; kuat angkat
c. Pernapasan : 22 kali/menit
d. Suhu : 36,5˚ C
 Kepala : normocephal, posisi normal.
 Mata : konjunctiva anemis (-/-); Sclera ikterik (-/-)
 Leher : Bruit Carotis negatif, JVP +2 cmH2O
 Ketiak : Normal
 Thorax : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
 Abdomen : Supel, bising usus kesan normal, nyeri tekan/lepas negatif,
organomegali tidak teraba
 Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

4
IV. Pemeriksaan Neurologi
 Kesadaran : compos mentis
 GCS : E4M6V5
 NPRS :0
 Fungsi kortikal luhur : normal
 Rangsang meningeal : kaku kuduk negatif, kernig’s sign
negatif/negatif
 Nervus kranial : Pupil bundar isokor diameter 2,5 mm/2,5 mm, Refleks
cahaya langsung (+/+), Refleks cahaya tidak langsung (+/+)
 Nervus kranialis lain: normal
 Motorik :
Pergerakan kekuatan tonus Refleks fisiologis refleks patologis
NN 5 5 N N BPR +2 +2 KPR +2 +2 HT Neg
Neg
NN 5 5 N N TPR +2 +2 APR +2 +2 BS Neg
Neg
 Sensorik : normal
 Otonom : BAB dan BAK normal

V. Pemeriksaan Penunjang
Elekroencepalografi (EEG) 22/12/2022), di RS UNHAS

Rekaman EEG :
Deskripsi :

5
 Rekaman EEG dilakukan selama 30 menit dalam keadaan bangun (90%) dengan
irama dasar 9-10 Hz, amplitudo tinggi simetris bilateral, Tidur (10%) dengan irama
dasar tetha 6-7 Hz, amplitudo sedang-rendah simetris bilateral, dengan deprivasi
tidur parsial dan tanpa premedikasi
 Ditemukan Interictal Epileptiform Discharge berupa spike and wave complex dan
polyspike and wave complex yang generalized dan bervoltage tinggi
 Tampak photic driving pada frekuensi 5 Hz, 10 Hz, 15 Hz, 20 Hz, 25 Hz, 30 Hz pada
stimulasi photic, tidak tampak photo paroxysmal response
 Tidak tampak perubahan bermakna pada prosedur hiperventilasi

Klasifikasi EEG : Abnormal III (Tampak Interictal Epileptiform Discharge berupa


spike and wave complex dan polyspike and wave complex)
Kesan : Rekaman EEG abnormal spesifik (suspek Juvenile Myoclonic
Epilepsy)
Usul : -

VI. Diagnosa Kerja


 Diagnosa klinis : Myoclonic Seizure
 Diagnosa Topis : Hemisfer Cerebri Bilateral
 Diagnosa etiologis : Idiopatik
 Diagnosa Sindrom : Juvenile Myoclonic Epilepsy

VII. Tatalaksana
Asam Valproat 500mg/12jam/oral

VIII. PROGNOSIS
- Qua ad vitam : bonam
- Qua ad sanationem : dubia

IX. DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesis terdapat bangkitan berupa gerakan menyentak pada kedua
bahu yang dialami pada bulan September 2022 (3 bulan sebelum berobat ke poliklinik),
frekuensi bangkitan 1 kali, dengan durasi kurang lebih 3-4 detik yang dialami saat pasien
baru bangun tidur. Saat bangkitan, pasien terlihat seperti bengong, mata melotot, mulut
tertutup, anggota gerak tidak kaku, dan Pemeriksaan penunjang (EEG) ditemukan Tampak
Interictal Epileptiform Discharge berupa spike and wave complex dan polyspike and wave
complex, Kesan : Rekaman EEG abnormal spesifik (suspek Juvenile Myoclonic Epilepsy),
maka kami menyimpulan bahwa pasien ini memenuhi kriteria sebagai Sindrom Juvenile
Myoclonic Epilepsy

6
JME termasuk sebagai suatu sindrom yang cukup sering dijumpai dan salah satu dari
kelompok genetic general eilepsi. Karakteristik utama dari JME berupa manifestasi
kejang mioklonik (yang sering terjadi terutama ketika bangun tidur). Selain itu, pasien
JME juga dapat menunjukkan jenis kejang lainnya seperti kejang absans dan kejang
umum tonik klonik. JME merupakan kejang reflex yang dapat diprovokasi oleh cahaya
(fotosensitif).

Klasifikasi oleh ILAE mendefinisikan JME sebagai suatu sindrom yang teemasuk dalam
genetic general epilepsy. Juvenile Myoclonic Epilepsi/JME (impulsive petit mal) sering
mengenai usia pubertas dengan karakteristik berupa kejang bilateral, tunggal atau
berulang, aritmia, irregular mioklonik jerk/ hentakan mioklonik dengan lokasi
predominan mengenai lengan. Jerk/hentakan yang menyebabkan kebanyakan pasien
mendadak terjatuh. Kejang tanpa disertai hilangnya kesadaran. Penyakit ini diturunkan,
dapat terjadi pada berbagai usia (terutama pubertas). Selain kejang mioklonik, dapat
berupa kejang umum tonik klonik, kejang lena meskipun sangat jarang. Kejang
biasanya muncul singkat setelah bangun tidur dan sering diprovokasi oleh deprivasi
tidur. Rekaman iktal dan interiktal didapatkan gambaran spike atau polispike and waves
yang irregular, cepat, general. Mayoritas pasien fotosensitif dan respon terhadap
antiepilepsi pilihan yang baik.

7
Gangguan ini biasanya muncul pertama kali antara usia 12 dan 18 tahun
dengan episode kontraksi otot tunggal atau ganda yang tiba-tiba dan tidak disengaja
yang disebabkan oleh aktivitas neuronal yang berlebihan atau sinkron yang
abnormal di otak. Peristiwa ini biasanya terjadi baik di pagi hari atau saat kurang
tidur.

Insidensi JME pada populasi umum diperkirakan 1 kasus per 1000-2000 orang
secara internasional. JME mewakili sekitar 5-10% dari semua epilepsi; namun, angka
pastinya mungkin lebih tinggi, karena kondisi ini sering didiagnosis keliru. JME
biasanya dimulai pada masa remaja, meskipun usia onset yang dilaporkan bervariasi
dari 6 tahun hingga 36 tahun, gejala biasanya dimulai pada remaja, dengan usia
puncak paling sering 12-18 tahun. Sentakan mioklonik, bangkitan umum tonik-klonik,
dan bangkitan absans semuanya memiliki onset terkait usia pada JME. Biasanya
kejang mulai antara usia 5 tahun dan 16 tahun. Bangkitan mioklonik dapat terjadi 1-9
tahun kemudian, biasanya sekitar usia 15 tahun. Kejang umum tonik-klonik biasanya
muncul beberapa tahun kemudian.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa JME sedikit lebih umum di kalangan


perempuan daripada laki-laki. Alasannya tidak diketahui. Namun, data dari penelitian
lain menunjukkan prevalensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Tidak ada
perbedaan ras sistematis yang diamati. Namun, ada kemungkinan bahwa beberapa
mutasi genetik spesifik di antara berbagai jenis yang dijelaskan dalam keluarga dengan
JME mungkin lebih umum di antara kelompok ras yang berbeda. Misalnya, mutasi
mioklonin (EFHC1) telah ditemukan pada 9-20% keluarga Meksiko-Amerika dengan
JME tetapi hanya 3% keluarga Jepang dengan gangguan ini.5

Penyebab pasti dari JME masih belum diketahui, meskipun kemungkinan besar
karena faktor genetik. Mutasi spesifik pada berbagai gen telah diidentifikasi dengan
mode pewarisan yang kompleks.5 Kemungkinan besar, beberapa gen menghasilkan
sindrom elektroklinis yang serupa. Mutasi pada gen yang mengkode saluran ion telah
dikaitkan dengan JME, termasuk subunit saluran kalsium beta-4 (CACNB4), subunit
reseptor GABA (GABRA1), dan saluran klorida (CLCN2).6

8
Berdasarkan penelitian oleh Suzuki et al 7 dan kelompok Delgado-Escueta8
menggambarkan mutasi missense dari gen mioklonin (EFHC1) di situs EJM1 di 6p12-
p11. Disregulasi kalsium versus kelainan selama perkembangan kortikal merupakan
alasan yang mendasari disfungsi pada pasien yang terkena JME dan mutasi pada gen
EFHC1. Disfungsi gen di lokus lain (EJM2, EJM3) juga sedang dipelajari.

Meskipun JME dikenal sebagai kelainan bawaan, cara yang tepat dari pewarisan
tidak jelas. Sekitar sepertiga pasien dengan JME memiliki riwayat keluarga yang
positif epilepsi. Sekitar 17-49% pasien dengan JME memiliki kerabat yang
mengalami serangan epilepsi, termasuk orang tua (sekitar 4%) dan anak-anak
(sekitar 7%). Sebagian besar penelitian telah menduga bahwa JME adalah kondisi
dominan autosomal (yaitu, 50% risiko pewarisan), memiliki penetrasi yang tidak
lengkap, yang berarti bahwa beberapa individu yang mewarisi gen JME atau gen
tidak mengekspresikan JME klinis. Namun, anak-anak mungkin mewarisi gen JME
dan mengekspresikan penyakit yang jelas secara klinis. Sebuah studi di Perancis-
Kanada dengan JME menunjukkan hanya sindrom absans pada 27% dari kerabat
dengan kejang

JME merupakan genetic epilepsy general terbanyak pada populasi yang dapat
dijelaskan menurut Mendel dan pewarisan genetic kompleks. Factor genetic
terjadinya JME sangat kompleks dimana melibatkan sekitar 20 locus kromosom
yang berhubungan dengan sindrom epilepsy ini. Terjadinya disfungsi saluran ion,
dimana mutasi autosomal dominan GABRA 1 yang merusak fungsi dan ekspresi
reseptor GABA dan mutasi EFHC1 menyebabkan mitosis spindle. GABRA 1 pada
kromosom 5q34 yang mengkode subunit α1 pada reseptor γ amino butirat acid
subtype A (reseptor GABAA) yang berhubungan dengan saluran klorida (Cl).
Aktivasi pada reseptor ini akan menyebabkan hiperpolarisasi neuron. Mutasi
GABRA1 menyebabkan hilangnya fungsi reseptor GABAA sehingga menyebabkan
penutupan saluran dan menurunkan ekspresi reseptor permukaan yang akan
menghambat fungsi inhibisi.
Juvenile myoclonic epilepsy (JME) didiagnosis berdasarkan temuan klinis yang
diperoleh ketika pemeriksaan. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) adalah

9
standar pemeriksaan yang dilakukan pada kejang tipikal. Selain pemeriksaan EEG,
riwayat penyakit juga perlu diketahui, yang sering berkaitan dengan interictal EEG.
Sekitar 17-49% pasien memiliki riwayat epilepsi di keluarganya. Gejala pada
pasien dengan JME biasanya muncul saat mulai masa dewasa, berupa gerakan
menghentak jerky movements yang terjadi pada pagi hari (bersifat tipikal, muncul
seketika sesaat setelah bangun tidur) tanpa kehilangan kesadaran.
Pada 60% pasien, JME dimulai dengan myoclonic jerks, diikuti dengan bangkitan
umum tonic-clonic pada waktu yang relatif tidak dapat diprediksikan lazimnya terjadi
beberapa tahun kemudian. Adanya myoclonic jerks yang disertai bangkitan absans
dan bangkitan umum tonic-clonic adalah kombinasi yang bisa terjadi kedepannya
dan terjadi rata-rata pada 30% pasien dengan JME. Sedangkan kombinasi
myoclonic jerks dan bangkitan absans tanpa adanya bangkitan umum tonic-clonic
sangatlah jarang, terjadi pada 2% pasien.10

Sentakan mioklonik atau bangkitan tanpa adanya gangguan kesadaran


merupakan gejala utama JME. Sentakan mioklonik yang kuat sesekali dapat
membuat pasien sesaat tampak dalam kabut, kata kuncinya bahwa fungsi
kesadaran masih dapat dipertahankan selama sentakan berlangsung. Sentakan
biasanya berlangsung singkat yang terutama melibatkan bahu dan lengan.
Namun, beberapa pasien melaporkan bahwa gerakan menyentak terjadi pada
tungkai bawah, batang tubuh, atau kepala. Dalam pemeriksaan dengan rekaman
EEG, Hirano dkk., menjelaskan bahwa sentakan mioklonik pada pasien dengan
JME sering terjadi pada anggota tubuh bagian distal dan melibatkan otot
ekstensi.11
Frekuensi dan intensitas sentakan mioklonik dapat bervariasi. Misalnya,
beberapa pasien hanya merasakan secara internal, sebagian seperti sengatan
listrik. Jika sentakannya keras, pasien dapat melempar benda yang mereka
pegang atau bahkan jatuh ke lantai. Sentakan mioklonik dapat terjadi secara
berurutan dan bahkan berkembang menjadi status epileptikus mioklonik. Namun
lebih sering berkembang menjadi kejang umum tonic-clonic primer. Sentakan
mioklonik terjadi sebagai satu-satunya jenis kejang pada sekitar 17% pasien
dengan JME dan sisanya mengalami kombinasi sentakan mioklonik, kejang
10
umum tonic-clonic, dan kejang absans. Kejang mioklonik cenderung mereda
pada usia memasuki dekade keempat, tetapi jenis bangkitan lainnya bisa saja
tetap bertahan.12
Bangkitan umum tonic-clonic terjadi pada sekitar 80% pasien dengan JME.
Bangkitan umum tonic-clonic yang terjadi pada JME biasanya simetris, dengan
fase tonik yang berkepanjangan dan dapat menyebabkan sianosis dan lidah
tergigit.
Pada pasien dengan JME, kejadian bangkitan absans kurang umum terjadi
daripada bangkitan umum tonic-clonic. Berdasarkan penelitian dari Janz,
melaporkan bahwa 28% pasien dengan JME juga mengalami bangkitan absans.
Pada JME, bangkitan absans biasanya singkat, berlangsung beberapa detik, dan
biasanya tidak disertai dengan tanda-tanda motorik. Tingkat keparahan
bangkitan absans pada JME tergantung usia. 10
Bangkitan JME sering dipicu oleh kurang tidur, stres psikologis, konsumsi
alkohol, dan ketidakpatuhan terhadap rejimen pengobatan. Faktor-faktor ini
semua bisa menjadi masalah khusus pada remaja. Bangkitan mioklonik,
bangkitan umum tonik-klonik, dan bangkitan absans semua cenderung terjadi di
pagi hari setelah pasien bangun, walaupun dapat juga terjadidi malam hari ketika
pasien sedang bersantai. Ketika bangkitan mioklonik terjadi di pagi hari, pasien
mungkin mengalami kesulitan untuk sarapan atau menyikat gigi. Dalam
beberapa penelitian, hampir 90% pasien dengan JME mengalami bangkitan
mioklonik saat bangun, sisanya mengalami bangkitan acak sepanjang hari atau
sentakan di malam hari.

Peneliti Badawy et al melaporkan bahwa penghambatan intrakortikal pendek dan


panjang jauh lebih terganggu di pagi hari daripada di sore hari pada pasien JME. 14 Hal
ini menjadi dasar untuk pengamatan klinis peningkatan frekuensi kejang dalam satu jam
pertama setelah bangun pada pasien dengan JME.

Pemeriksaan fisik biasanya tidak mengidentifikasi adanya kelainan pada pasien


dengan JME. Kecerdasan biasanya normal, berbeda dengan temuan dengan penyakit

11
seperti epilepsi mioklonik progresif, di mana kerusakan mental progresif menjadi dasar
diagnosis.

Abnormalitas khas elektroensefalografi (EEG) sangat mendukung diagnosis


klinis juvenile mioklonik epilepsi (JME). Studi neuroimaging menunjukkan normal di
JME. Banyak klinisi percaya bahwa dengan adanya riwayat suportif yang memadai,
kelainan EEG, kecerdasan normal, dan temuan neurologis normal, studi neuroimaging
tidak diperlukan. Namun, skenario klinis mungkin tidak sejelas yang disarankan oleh
deskripsi klasik.10

Studi pilihan untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis JME adalah EEG sleep
deprivation dengan prosedur aktivasi (yaitu, hiperventilasi, stimulasi fotik). Sebuah studi
normal tidak mengesampingkan epilepsi atau JME, karena sensitivitas studi rutin
terbatas. Pengulangan studi EEG rutin dilaporkan meningkatkan hasil setelah studi non-
diagnostik pertama. Abnormalitas EEG yang khas sangat mendukung diagnosis klinis.17
a. Interictal EEG
Abnormalitas EEG interiktal yang khas terdiri dari burst 4 hingga 6 Hz atau
polyspike dan pelepasan gelombang lambat yang berlangsung 1-20 detik (lihat
gambar 1). Biasanya, burst 1-3 mendahului setiap gelombang lambat. Ketika tidak
ada kejang juga hadir, aktivitas 3-Hz spike-and-wave (SW) dapat dilihat di samping
pola polyspike-and-wave (PSW). Kadang-kadang, fragmen terisolasi dari
generalized spikes.10

12
Gambar. 1 EEG anak laki-laki dengan JME. Gambaran EEG menunjukkan cetusan
generalized polyspike and wave 3 Hz. a) dalam keadaan bangun dan b) dalam keadaan
drowsy

Pengobatan yang secara klinis efektif pada JME dapat mengurangi frekuensi
kelainan interiktal. Terapi tambahan seperti levetiracetam pada pasien JME dapat
meningkatkan gambaran EEG normal, dari 8% menjadi 53%. stimulasi fotik dapat
menurunkan frekuensi pelepasan interiktal dan penekanan paroxysms.10

b. Ictal EEG

EEG iktal yang terkait dengan sentakan mioklonik biasanya menunjukkan


pelepasan polyspike 10 hingga 16 Hz. Ini mungkin didahului oleh aktivitas SW dan
sering diikuti oleh gelombang lambat 1-3 Hz. Jumlah paku biasanya 5-20 dan
cenderung berkorelasi secara proporsional dengan intensitas klinis kejang.
Pelepasan epilepsi ini dapat bertahan sebentar, bahkan setelah aktivitas klinis

13
berhenti. Kejang pada pasien dengan JME cenderung berhubungan dengan
polyspikes dan disorganisasi paroxysm.13
Tidak adanya bangkitan` JME dapat dikaitkan dengan pola EEG iktal yang terdiri
dari aktivitas SW 3-Hz. Kadang-kadang, ini didahului oleh pelepasan PSW 4 hingga
6 Hz, yang melambat hingga 3 Hz saat pasien kehilangan kesadaran.
Latar belakang aktivitas EEG pada kasus JME biasanya normal. Aktivasi ini
berlangsung karena adanya hiperventilasi dan stimulasi fotik yang memfasilitasi
munculnya pelepasan epileptiform. Stimulasi fotik sering memicu pola SW atau
respons fotokonvulsif. Fotosensitifitas EEG pada pasien dengan JME telah
dilaporkan setinggi 50% dari kasus.19
Pola SW oleh stimulasi fotik terjadi pada 30% pasien dengan JME, dibandingkan
dengan 18% pasien dengan epilepsi absans masa kanak-kanak, 13% pasien
dengan kejang epilepsi saat bangun, dan 7,5% pasien dengan epilepsi absans
remaja.10

Gambar 2. EEG iktal kejang mioklonik. Kontraksi otot bilateral pada elektromiogram
(panah) terjadi secara bersamaan selama 0,2 detik terkait dengan polyspikes.

14
Gambar 3. Anak perempuan 5 tahun dengan generalized polyspike waves 3 Hz

Manajemen terapi

JME relatif mudah dikendalikan dengan obat anti-epilepsi (AED), dan sebagian besar
pasien menanggapi monoterapi. Asam valproat adalah obat yang paling efektif dan obat
pilihan untuk pengobatan JME. Ini adalah obat spektrum luas dan mengobati semua
jenis kejang JME. Penggunaannya membutuhkan banyak kehati-hatian pada wanita
usia subur, mengingat potensi teratogeniknya yang terkenal. Pilihan pengobatan lain
termasuk levetiracetam, lamotrigin, topiramate, dan zonisamide. Lamotrigin dapat
memperburuk kejang mioklonik tetapi masih banyak digunakan untuk pengobatan JME
karena mengontrol jenis kejang lainnya. Jika hanya kejang absen, etosuksimid dapat
menjadi pilihan terapi. Clonazepam efektif melawan sentakan mioklonik. Agen
kontraindikasi termasuk carbamazepine, oxcarbazepine, phenytoin (agen penghambat
saluran natrium), mengingat potensinya untuk memperburuk kejang mioklonik dan
absen. Tapi, mereka bisa berguna untuk pengobatan kejang GTC di JME. Obat lain
yang harus dihindari termasuk vigabatrin, tiagabine, gabapentin, pregabalin, dan
primidon. JME sulit ditangani hanya pada beberapa pasien, dan terapi kombinasi
dengan atau tanpa stimulasi saraf vagus (VNS) adalah pilihan dalam kasus tersebut.

15
Secara umum, pasien dengan JME dapat mengontrol Bangkitannya dengan
pengobatan yang baik yang dapat dicapai dengan dosis yang relatif rendah dari
antikonvulsan yang sesuai (misalnya, asam valproat). Risiko kekambuhan lebih tinggi
dari 80% jika antikonvulsan dihentikan, karenanya pada pasien dengan JME
memerlukan pengobatan seumur hidup biasanya diperlukan.17

Beberapa pasien juga menderita gangguan seumur hidup, namun beban


bangkitan JME tampaknya menurun di masa dewasa dan tua. Sebuah studi
epidemiologi diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan kasus JME. Kasus langka
JME dengagn onset lambat telah dilaporkan hingga dekade kedelapan kehidupan.
Berdasarkan data dari Camfield melakukan studi berbasis populasi jangka panjang
pasien dengan JME, antara tahun 1977-1985, 24 pasien di Nova Scotia yang
terdiagnosis JME pada usia 16 tahun dan dilakukan follow up pada usia 25 tahun
kemudian. Pada 17% kasus, semua jenis kejang di JME telah sembuh, pada 13%
hanya terdapat gejala sisa mioklonus yang bertahan. Namun, banyak kehidupan pasien
dengan JME disertai oleh depresi, berkurangnya interaksi sosial, pengangguran, dan
impulsif sosial.32

16
Kematian mendadak tak terduga pada epilepsi (SUDEP) dan morbiditas dan
mortalitas yang tidak disengaja juga telah diamati pada JME, seperti pada kasus kejang
umum tonik-klonik.10

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes. Commission


on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy. Epilepsia. 1989 Jul-Aug. 30(4):389-99.

2. Panayiotopoulos, CP; taat, T; Tahan, AR (1994). "epilepsi mioklonik remaja: studi


prospektif 5 tahun". Epilepsi . 35 (2): 285–296.

3. Chaitanya A; Rosario M; Juvenile Myoclonic Epilepsy. National Library of Medicine.


last update (2023).

4. Syvertsen, M; Halo, MK; Hansen, G; Edland, A; Nakken, KO; Selmer, KK; Koht, J.
(2017). "Prevalensi epilepsi mioklonik remaja pada orang <30 tahun-Sebuah studi
berbasis populasi di Norwegia". Epilepsi . 58 (1): 105-112.

5. Delgado-Escueta AV. Advances in genetics of juvenile myoclonic epilepsies. Epilepsy


Curr. 2007 May-Jun. 7(3):61-7.

6. Wallace R. Identification of a new JME gene implicates reduced apoptotic neuronal


death as a mechanism of epileptogenesis. Epilepsy Curr. 2005 Jan-Feb. 5(1):11-3.

7. Suzuki T, Delgado-Escueta AV, Aguan K, et al. Mutations in EFHC1 cause juvenile


myoclonic epilepsy. Nat Genet. 2004 Aug. 36(8):842-9.

8. Medina MT, Suzuki T, Alonso ME, Durón RM, Martínez-Juárez IE, Bailey JN, et al.
Novel mutations in Myoclonin1/EFHC1 in sporadic and familial juvenile myoclonic
epilepsy. Neurology. 2008 May 27. 70(22 Pt 2):2137-44.

9. Kinirons P, Rabinowitz D, Gravel M, Long J, Winawer M, Sénéchal G, et al.


Phenotypic concordance in 70 families with IGE-implications for genetic studies of
epilepsy. Epilepsy Res. 2008 Nov. 82(1):21-28.

10. Selph J, Sen S. Juvenile Myoclonic Epilepsy: Clinical Presentation. Bethesda:


MedScape. 2016.

18

Anda mungkin juga menyukai