Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 3
MODUL FOUNDATION OF CLINICAL PRACTICE

KELOMPOK 7
Jamalludin I11108071
Tan Sri Ernawati I11111071
Riyan Wirawan I11112052
Hafitz Al Khairi I1011131049
Merdianing Ika Mahendra I1011131079
Tri Sandra I1011141001
Yalenko Afirio I1011141048
Oktavia Karim I1011141051
Ayunda Larasti Basadi I1011141054
M. Hammam Faishal F. I1011141066
Anggita Serli Verdian I1011141074
Agitya Goesvie Ajie I1011141075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Seorang laki-laki berusia 18 tahun datang ke klinik dengan keluhan tiba-tiba
pingsan dan diikuti kejang-kejang di rumah. Wawancara terhadap ibunya
menyatakan bahwa anaknya mendadak jatuh, otot-otot terlihat kaku
mengejang dan kemudian bergerak-gerak tidak terarah, mukanya menjadi
pucat, berkeringat, keluar ludah dan berbusa dari mulut. Setelah kira-kira 2
menit, anak tampak lemas dan mengantuk. Saat kejang terjadi sang anak
sedang menonton televisi, sebelumnya dimarahi sang ibu karena pulang
kuliah terlambat. Riwayat kejang saat masih kecil, usia 8, 10, dan 12 tahun
tanpa demam.
Data Tambahan:
KU: mengantuk
Tanda vital: TD: 110/80 mmHg; N: 90/menit; R: 24/menit; t: 36,8°C (afebris)
BB: 54 kg
Kepala/leher: dalam batas normal
Pemeriksaan kaku kuduk: negatif/ tidak kaku
Pemeriksaan Refleks Babinsky: negatif: fleksi jari-jari kaki dan penarikan
tungkai
1.2. Klarifikasi dan Definisi
-
1.3. Kata Kunci
1. Laki-laki 18 tahun
2. Kejang-kejang 2 menit
3. Tiba-tiba pingsan
4. Otot kaku dan bergerak tidak terarah
5. Pucat, berkeringat, keluar ludah dan busa dari mulut
6. Lemas dan mengantuk
7. Riwayat kejang saat masih kecil (tanpa demam)

1
8. Sedang menonton TV
1.4. Rumusan Masalah
Laki-laki 18 tahun dengan keluhan tiba-tiba pingsan dan diikuti kejang-
kejang yang berlangsung selama 2 menit.
1.5. Analisis Masalah

Pasien

Anamnesis

Identitas Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat Penyakit


- Keluhan utama tiba-tiba pingsan di Dahulu
- Laki-laki rumah
- 18 tahun - Onset: 2 menit - Riwayat kejang
- Perjalanan penyakit: masih kecil, usia
8, 10, 12 tahun
 Pasien mendadak jatuh
mengejang dan bergerak-gerak tanpa demam
tak terarah
 Muka pucat, keringat, keluar
ludah dan keluar busa dari
mulut

Diagnosis Banding
1. Epilepsi
2. Syncope
3. Non epileptic attack disorder

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Tatalaksana

Prognosis dan Edukasi

2
1.6. Hipotesis
Laki-laki 18 tahun didiagnosis mengalami epilepsi dan dibutuhkan
pemeriksaan lanjut.
1.7. Pertanyaan Diskusi
1. Epilepsi
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Patofisiologi (neuroanatomi)
e. Faktor risiko
f. Klasifikasi dan Gejala klinis
g. Diagnosis
h. Tatalksana
i. Edukasi
2. Jelaskan manajemen status epileptikus
3. Jelaskan perbedaan diagnosis banding (epilepsi, syncope, non epileptic
attack disorder)
4. Jelaskan tatalaksana awal pada kasus

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Epilepsi
1. Definisi
Epilepsi merupakan kelainan serebral yang ditandai dengan faktor
predisposisi menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi
ini. Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada
tiga kondisi, yaitu:1,2
a. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari
24 jam
b. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang
selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang
tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta,
c. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).
2. Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:3
a. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya
berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus.
c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.
3. Epidemiologi
Prevalensi dinegara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari
pada negara maju. Dilaporkan prevalensi dinegara maju berkisar antara

4
4-7 /1000 orang dan 5-74/1000 orang dinegara sedang berkembang.
Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan
daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-
37,7) diperkotaan. Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang
aktif (bangkitan dalam 5 tahun terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3),
sedanglkan pada negara berkembang dipedalaman 12,7 /1000(3,5-45,5)
dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2).2 dinegara Asia, prevalensi epilkepsi aktif
tertinggi dilaporkan divietnam 10,7/1000 orang, dan terendah ditaiwan
2,8/1000 orang.4
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju
diperkirakan sekitar >0,9%, lebih dari decade 1 dan 2 kehidupan. Pada
usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi
epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada usia decade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah
insiden yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih
tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin dinegara-negara
asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.4
Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18
rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288
pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus
baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada kasus lama
adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali
ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan
sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat. 4
4. Patofisiologi (Neuroanatomi)
Seizure atau kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang
berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang
terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di
otak tengah, talamus dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya

5
tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:5
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifkan
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara
berlebihan
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)
d. Ketidaksembangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau
elektrloit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan
ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmiter eksitatorik
atau deplesi neurotransmiter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron, selama kejang kebutuhan metabolik secara
drastis meningkat dan lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikosida jaringan. Asetilkolin muncul
dicairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.5

Secara umum tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi, bukti
histopatologik menunjuang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten dtemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai diantara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmiter fasilatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.5

6
5. Faktor risiko
Faktor risiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat
demam tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita
dengan latar belakang susah melahirkan atau pengguna obat-obatan,
hipertensi), pasca trauma kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan obat
anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi obat-obatan
maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,
mumps), riwayat gang-guan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat
keturunan epilepsi. Penyebab timbulnya kejang pada penderita antara lain
ketidak patuhan meminum obat sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter
dan dosis yang telah ditetapkan, meminum minuman keras seperti
alkohol, memakai narkoba seperti kokain atau pil lain seperti ekstasi,
kurangnya tidur pada penderita, mengkonsumsi obat lain sehingga
mengganggu efek obat epilepsi.6
6. Klasifikasi dan Gejala Klinis
Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE 1981:7
a. Bangkitan Umum
Bangkitan umum terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan
terganggu pada awal kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi
diawali dengan kejang parsial simpleks atau kejang parsial kompleks.
Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik sekunder.
1) Tonik – Klonik (Grand Mal)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang
akan terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot
(klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu terputus
menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumu-lasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah
tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang
biasanya berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering
diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala
dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.

7
2) Absens (Petit Mal)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa
terjadi pada orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau
pun tidak perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga.
Diawali mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi,
tidak ada respon, menghenti-kan aktifitas yang dilakukan.
Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas.
Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba.
Penderita akan segera kembali sadar dan melanjutkan aktifitas
yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang
yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal.
Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.
3) Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara
intens terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan
mengakibatkan menjatuh-kan dan menumpahkan sesuatu. Meski
kesadaran tidak terganggu, penderita dapat merasa kebingun-gan
dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode
singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.
4) Tonik
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi
berdiri. Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat
bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur.
5) Atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye-babkan
penderita lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya
terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan
kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.
b. Bangkitan Parsial / Fokal
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan
dengan kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang

8
menyebar ke area lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum
(sekunder), paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita
epilepsi merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten
terhadap terapi antiepileptik.
1) Parsial Sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warn-ing” dan
terjadi sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik.
Tidak ada penurunan kesadaran, dengan durasi kurang dari satu
menit.
2) Parsial Kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area
dimulai dan penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks
dimulai dengan tatapan kosong, kehilangan ekspresi atau samar-
samar, penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan orang
mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku
yang tidak biasa. Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah,
berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang parsial dapat
berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang
kejang.
7. Diagnosis
a. Anamnesis
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:1,4
1) Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat
paroksismal merupakan bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar
kasus, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi
yang diperoleh dari anamnesis baik auto maupun allo-anamnesis
dari orang tua maupun saksi mata yang lain.
a) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
- Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/
bebaring/ tidur/ berkemih.

9
- Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech
arrest).
- Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan
tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah
tergigit, pucat berkeringat, deviasi mata.
- Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala,
tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.
- Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
- Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat
perubahan pola bangkitan.
b) Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun
riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik
maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
c) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antar bangkitan.
d) Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap
terapi (dosis, kadar OAE, kombinasi terapi).
e) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f) Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit
psikitrik atau sistemik.
g) Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan
perkembangan bayi/anak.
h) Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i) Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
2) Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukan bangkitan tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi
ILAE 1981).
3) Langkah ketiga: menentukan etiologi, sindrom epilepsi, atau
penyakit epilepsi apa yang diderita pasien dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk
menentukan prognosis dan respon terhadap OAE (Obat Anti
Epilepsi).

10
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker,
defisit neurologik fokal. 1,4
c. Pemeriksaan Neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat
tergantung dari interval antara dilakukannya pemeriksaan dengan
bangkitan terakhir. 1,4
1) Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan
maka akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti
todds paresis (hemiparesis setelah kejang yang terjadi sesaat), trans
aphasic syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi.1,4
2) Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir
berlalu, sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda
disfungsi system saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan
walaupun jarang apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial. 1,4
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Radiologi (neuroimaging dengan pemeriksaan CT-scan/MRI. 1,4
2) EGG seringkali tidak memberikan hasil yang spesifik.1,4
8. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping.
Obat anti epilepsi diberikan bila:1,4
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang tidur,
dan lain-lain)
c. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
d. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan terhadap
tujuan pengobatan

11
e. Pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping yang timbul dari obat anti epilepsi.
Obat-obat lini pertama untuk epilepsi antara lain:1
a. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak
efektif untuk kejang absens. Dapat memperburuk kejang myok-lonik.
Dosis total 600-1200 mg dibagi menjadi 3-4 dosis per hari.
b. Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis
100-200 mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis
200-400 mg bila digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital,
atau karbamazepine.
c. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan
kejang absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.
d. Obat-obat yang tersedia di puskesmas:
1) Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis 60mg/hari per oral
dinaikkan 30 mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90-120
mg/hari.
2) Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua
dosis).
3) Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per oral dibagi menjadi tiga
hingga empat dosis). Obat ini merupakan obat pilihan untuk pasien
epilepsi pada kehamilan.
Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan obat anti epilepsi
pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam darah
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif. Bila diduga
ada perubahan farmakokinetik obat anti epilepsi (kehamilan, penyakit hati,
penyakit ginjal, gangguan absorpsi obat anti epilepsi), diduga penyandang
epilepsi tidak patuh pada pengobatan. Setelah pengobatan dosis regimen
obat anti epilepsi, dilihat interaksi antar obat anti epilepsi atau obat lain.
Bila pada penggunaan dosis maksimum obat anti epilepsi tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan

12
penambahan obat anti epilepsi kedua. Bila obat anti epilepsi kedua telah
mencapai kadar terapi, maka obat anti epilepsi pertama diturunkan
bertahap (tapering off) perlahan-lahan. Penambahan obat anti epilepsi
ketiga baru dilakukan di layanan sekunder atau tersier setelah terbukti
tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua obat anti
epilepsi pertama.
Obat anti epilepsi dapat dihentikan pada keadaan:
a. Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
b. Gambaran EEG normal.
c. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
d. Bila digunakan lebih dari 1 obat anti epilepsi, maka penghentian
dimulai dari 1 obat anti epilepsi yang bukan utama.
e. Keputusan untuk menghentikan obat anti epilepsi dilakukan pada
tingkat pelayanan sekunder/tersier.
Tabel 1. Efek Samping Obat Anti Epilepsi4
Efek Samping
Obat Efek Samping Minor
Mengancam Jiwa
Carbamazepine Anemia aplastik, Dizzines, ataksia, diplopia, mual,
hepatotoksitas, sindrom kelelahan, agranulositosis,
Steven Johnson, Lupus leukopenia, trombositopenia,
like syndrome hiponatremia, ruam, gangguan
perilaku, tiks, peningkatan berat
badan, disfungsi seksual, disfungsi
hormon tiroid, neuropati perifer.
Phenytoin Anemia aplastik, Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia,
gangguan fungsi hati, nistagmus, diplopia, ruam,
sindrom Steven Johnson, anoreksia, mual, makroxytosis,
lupus like syndrome, neuropati perifer, agranu-lositosis,
psudolymphoma trombositopenia, disfungsi seksual,
disfungsi serebelar, penurunan
absorpsi kalsium pada usus.

13
Phenobarbital Hepatotoksik, gangguan Mengantuk ataksia, nistagmus,
jaringan ikat dan sum-sum ruam kulit, depresi, hiperaktif (pada
tulang, sindrom Steven anak), gangguan belajar (pada
Johnson. anak), disfungsi seksual.
Valproate Acid Hepatotoksik, Mual, muntah, rambut menipis,
hiperamonemia, tremor, amenore, peningkatan berat
leukopeni, badan, konstipasi, hirsutisme,
trombositopenia, alopesia pada perempuan,
pancreatitis Polycystic Ovary Synrome (POS)

Penambahan vitamin seperti asam folat dan B12 sebaiknya juga


diberikan pada orang dengan epilepsi yang meminum obat anti epilepsi
golongan carbamazepin, oxcarbazepin, gabapentin, phenytoin, primidone
dan valproat. Dari hasil penelitian yang dipublikasikan pada Februari 2011
yang dilakukan oleh Drs. Linnebank dan teman-teman dari University
Hospital di Zurich, Swiss dan University Hospital di Bonn, Jerman
terhadap 2.730 orang yang minum obat anti epilepsi di bandingkan dengan
170 orang dengan epilepsi yang tidak diobati dan 200 orang sehat,
menemukan bahwa mereka yang meminum carbamazepin, oxcarbazepin,
gabapentin, phenytoin, primidone dan valproat berhubungan dengan
rendahnya kadar folat.8
Terapi lain berupa terapi diet ketogenik dan terapi bedah (lobektomi
dan lesionektomi). Diet rendah karbohidrat tinggi lemak mengubah kimia
tubuh dengan menghasilkan keton. Keadaan asidosis yang terjadi
tampaknya memiliki efek antikejang pada sebagian anak dengan kejang
mioklonik. Lesionektomi adalah pengangkatan lesi spesifik. Pasien dengan
gangguan kejang parsial paling cocok untuk terapi bedah. Walaupun angka
keberhasilan bervariasi, dan hasil mungkin memerlukan waktu sampai 2
tahun, namun 60% pasien mengalami eliminasi total atas kejangnya dan
20% pasien mengalami pengurungan 90% frekuensi kejang.1,5
Pilihan lain yang sedang diteliti adalah pemakaian stimulator saraf
vagus. Pada teknik ini, dilakukan implantasi suatu prostesis

14
neurosibernetik di sekitar saraf vagus kiri. Dipostulasikan bahwa stimulasi
saraf vagus akan menyebabkan desinkronisasi aktivitas listrik otak, yaitu
timbul efek antiepileptik. Beberapa dari alat ini sudah digunakan, dan
hasilnya kurang dari ideal, dengan kurang dari 50% pasien yang
mengalami pengurangan aktivitas kejang. 5
9. Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan pada pasien dan keluarga pasien
epilepsi adalah sebagai berikut:1,4
a. Hidari faktor pencetus seperti alkohol, stress, dan kurang tidur.
b. Waspada atau awasi anak saat mandi, berenang, dan masak.
c. Minum obat teratur sesuai dosis agar tidak terjadi kejang berulang
d. Ketidakmampuan belajar biasanya terjadi
e. Pada saat terjadinya kejang tidak diperlukan memaksa membuka mulut
memasukkan sesuatu untuk mencegah lidah tergigit. Tidak diperlukan
megekang kejang karena akan berakibat timbulnya cedera. Pastikan
pasien berada di tempat yang aman saat kejang. Setelah kejang
berakhir, balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi setengah
telungkup untuk membantu pernafasan dan pemulihan serta berikan
bantal di kepala. Awasi jalan nafas pasien.
2.2 Manajemen Status Epileptikus
Manajemen status epileptikus dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Manajemen Status Epileptikus9,10
Waktu Tindakan
0-5 menit Tatalaksana umum:
1. Oksigenasi
2. Stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan hemodinamik
3. Akses IV dan berikan infus normal salin dengan tetesan
lambat
4. Pemeriksaan darah ke laboratorium
5. Cek kadar glukosa
6. Monitoring EKG
5-10 menit 1. Tiamin 100 mg IV dan D50% 50 ml IV

15
2. Diazepam 0,15 mg/kg IV atau lorazepam 0,1 mg/kg IV
dalam 1-2 menit, ulangi setelah 5 menit jika masih kejang
3. Jika tidak ada akses IV, berikan diazepam per rektal atau
midazolam intranasal, bukal, atau intramuskuler
10-20 menit Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 20 mg/kg IV (50
mg/menit) atau fosfenitoin 20 mg/kg IV (150 mg/
menit). Jika masih kejang, tambahkan 5-10 mg/kg
20-30 menit 1. Intubasi, pasang kateter urin, mulai perekaman EEG, cek
temperatur
2. Berikan fenobarbital dengan loading dose 20 mg/kg IV
(100 mg/menit)
40-60 menit Jika kejang masih berlanjut, induksi koma dengan pilihan:
1. Midazolam 0,2 mg/kg IV, ulangi dosis 0,2-0,4 mg/kg IV
bolus setiap 5 menit hingga maksimal loading dose 2
mg/kg, kemudian dosis pemeliharaan 0,05-2,9 mg/kg/jam,
titrasi dengan monitoring EEG. Atau
2. Propofol 1-2 mg/kg, ulangi 1-2 mg/kg tiap 3-5 menit
sampai kejang berhenti dengan loading dose maksimal 10
mg/kg, diikuti 1-15 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring
EEG. Atau
3. Pentobarbital dosis awal 5 mg/kg IV, selanjutnya 5 mg/kg
IV bolus hingga kejang berhenti, lanjutkan infus
pentobarbital 1 mg/kg/jam, infus dilambatkan setiap 6 jam
untuk memastikan bangkitan kejang berhenti dengan
pedoman monitoring EEG, observasi tekanan darah dan
pernapasan. Jika perlu berikan pressor untuk
mempertahankan tekanan darah.

2.3 Perbedaan Epilepsi, Syncope dan Non Epileptic Attack Disorder


Berikut tabel perbedaan kejang pada epilepsi, sinkop dan non epileptic
attack disorder:4

16
Tabel 3. Perbedaan Kejang Epileptik, Sinkop, dan Non Epileptic Attack
Disorder4
Non epileptic
Perbedaan Kejang Epileptik Sinkop
attack disorder
Riwayat Trauma kepala, alkohol, Menggunakan obat Wanita (3:1),
ketergantungan obat, kejang antihipertensi, ketergantungan
demam yang antidepresan (terutama seksual dan fisik
berkepanjangan, meningitis, trisiklik)
encepalithis, stroke, riwayat
keluarga (+)
Faktor pencetus 1. Sleep deprivation 1. Perubahan posisi 1. Stress
saat serangan 2. Putus alkohol 2. Prosedur medis 2. Disterss
3. Stimulasi fotik 3. Bediri lama sosial
4. Gerakan leher
(carotis baroreseptor)

Karakteristik 1. Sterotipi 1. Lightheadedness Gejala awal


klinis menjelang 2. Paroksimal (detik) 2. Gejala visual tidak khas
serangan 3. Bisa disertai aura 3. Gelap, kabur
Karakteristik 1. Gerakan tonik (kaku) 1. Pucat Mirip dengan
klinis pada saat diikuti erakan jerking 2. Bisa disertai kaku kejang epileptik,
serangan yang ritmis atau menghentak- akan tetapi
2. Gerakan otomatism hentak sebentar gerakan lengan
3. Sianosis tidak beraturan,
4. Bisa terjadi dimana saja pengangkatan
dan kapan saja pelvis, kadang
tidak bergerk
sama sekali

17
Gejala sisa 1. Mengantuk Lesu
pasaca serangan 2. Lidah tergigit
3. Nyeri anggota gerak
4. Defisit neurologik fokal
(Todd’s paralisis)

2.4 Tatalaksana Awal Pada Kasus


Pada kasus laki-laki 18 tahun tersebut mengalami tonik-klonik (grand
mal) epilepsi sehingga untuk terapi pertamanya dapat kita berikan obat anti
epilepsi seperti Karbamazepine 200 mg 3x1 hari atau Fenitoin 100 mg 3x1
hari. Karena pasien akan meminum karbamazepine atau fenitoin dapat kita
tambahkan asam folat 400 mg 2x1. Obat anti epilepsi dapat diberikan
beberapa hari kira-kira 5-7 hari dan pasien kita rujuk ke dokter spesialis
saraf yang ada.1,4,8
Kita bisa memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien
sebagai berikut:1,4
1. Hidari faktor pencetus seperti alkohol, stress, dan kurang tidur.
2. Waspada atau awasi anak saat mandi, berenang, dan masak.
3. Minum obat teratur sesuai dosis agar tidak terjadi kejang berulang. Obat
dapat dihentikan (penurunan dosis) sampai minimal 2 tahun bebas
bangkitan.
4. Ketidakmampuan belajar biasanya terjadi.
5. Pada saat terjadinya kejang tidak diperlukan memaksa membuka mulut
memasukkan sesuatu untuk mencegah lidah tergigit. Tidak diperlukan
megekang kejang karena akan berakibat timbulnya cedera. Pastikan
pasien berada di tempat yang aman saat kejang. Setelah kejang berakhir,
balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi setengah telungkup
untuk membantu pernafasan dan pemulihan serta berikan bantal di
kepala. Awasi jalan nafas pasien.

18
BAB III
KESIMPULAN

Laki-laki 18 tahun didiagnosis mengalami tonik-klonik (grand mal)


epilepsi.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014.p.961-3.
2. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, et al. ILAE
Official Report: A Practical Clinical Definition of Epilepsy. Epilepsia.
2014;55(4): 475-82.
3. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management.
UK: Blandom Medical Publishing; 2005.p.1-26.
4. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman Tatalaksana Epilepsi
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI). Surabaya: Airlangga University Press; 2014.p.10-44.
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
vol 2. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012. p. 1157-66.
6. Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy:
Definitions Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE)
and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.
7. Bancaud J, Henriksen O, Donnadieu FR, et al. Proposal for Revised Clinical
and Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures. Epilepsia.
1981;22:489-501.
8. Linnebank M, Moskau S, Semmler A, et al. Antiepileptic Drugs Interact with
Folate and Vitamin B12 Serum Levels. Ann Neurol. 2011 Feb;69(2):352-9.
9. Sirven JI, Waterhouse E. Management of Status Epilepticus. Am Fam
Physician 2003; 68(3): 469-76.
10. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of Status Epilepticus. Semin Neurol. 2008; 28:
342-54.

20

Anda mungkin juga menyukai