Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Status epileptikus (SE) merupakan keadaan kegawatdaruratan medis yang

mengancam jiwa sehingga memerlukan pengenalan dan pengobatan yang tepat.

Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE), Status Epileptikus adalah

kejang yang berlangsung terus- menerus selama periode waktu tertentu atau berulang

tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Namun belum terdapat keseragaman

mengenai definisi status epilepsi tersebut, sehingga ada pendapat para ahli yang lain

yang kemudian membuat kesepakatan mengenai batasan waktu status epileptikus

tersebut yaitu selama 30 menit atau lebih.1,2,3

Status epileptikus terjadi akibat adanya gangguan pada susunan saraf pusat.

Penyebab tersering adalah epilepsi simtomatik (33%) dan kejang demam lama (32%).1

Angka kejadian status epileptikus pada anak berkisar 10-58 per 100.000

penduduk pertahun. Adapun kejadian satus epileptikus pada populasi pasien epilepsi

anak berkisar antara 9,5% sampai 27%. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak

dibawah usia 2 tahun, dimana 80% tanpa demam atau penyebab simptomatik akut.4,5

Tatalaksana yang tepat untuk menangani status epileptikus adalah identifikasi

dan mengobati penyebab yang mendasari terjadinya kejang, sehingga kejang akan

terkontrol dan mencegah kerusakan yang terjadi. Semakin lama kejang terjadi maka

akan semakin sulit untuk dapat menghentikannya. Oleh karena itu, tatalaksana kejang

1
toniklonik umum lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah

terjadinya status epileptikus.6,7

Dalam referat ini akan dibahas mengenai status epileptikus pada anak mulai

dari definisi hingga tatalaksananya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Status epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung terus atau

berulang tanpa pulihnya kesadaran selama 30 menit atau lebih. Status epileptikus

dibagi menjadi status epileptikus konvulsivus (parsial/fokal motorik dan tonik-

klonik umum) dan status epileptikus bukan konvulsivus (absens dan parsial

kompleks). Status epileptikus konvulsivus terdiri atas kejang tonik atau klonik

yang berlangsung terus, mungkin asimetri, subtlem atau gerakan bilateral yang

kadang asimetri.1,2,3

Umumnya kejang akan berlangsung sebentar dan berhenti sendiri. Oleh

karena itu definisi operasional yang digunakan untuk pengobatan kejang adalah

kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit atau kejang berulang tanpa pulihnya

kesadaran.1,2

1.2. Epidemiologi

Angka kejadian status epileptikus pada anak berkisar 10 – 58 per 100.000

penduduk pertahun. Adapun kejadian status epileptikus pada populasi pasien

epilepsi anak berkisar antara 9,5% sampai 27%. Status epileptikus lebih sering

terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun, dimana 80% nya tanpa demam atau

penyebab simtomatik akut.4,5

3
1.3. Etiologi

Secara umum, etiologi status epileptikus dibagi menjadi :6,7

1. Simptomatis : penyebab belum diketahui

a. Akut : infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan

elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau stroke.

b. Remote : bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati

hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan

otak kongenital.

c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik,

otoimun (contohnya vaskulitis).

d. Epilepsi

2. Idiopatik/ kriptogenika: penyebab tidak dapat diketahui

Penyebab lain status epileptikus pada anak dapat dilihat pada tabel berikut

ini: 6,7

Tabel 1. Penyebab status epileptikus pada anak


Etiologi Presentase
Epilepsi simptomatik 33%
Kejang demam lama 32%
Kejang simptomatik 26%
Demam 22%
Tidak diketahui penyebab 15%
Infeksi susunan saraf pusat 13%
Kelainan metabolik akut 6%

4
Tan dkk tahun 2010, mendapatkan penyebab lain status epileptikus pada

anak yang lebih besar seperti: penyakit imunologis (ensefalitis paraneoplastik,

ensefalopati hashimoto, ensefalitis anti-NMDA receptor), kelainan mitokondria

(POLGI mutation, MELAS), dan infeksi (Cat-scratch disease encephalopathy,

HIV and HIV related disorders). 3,4

1.4. Klasifikasi Status Epileptikus

Setiap tipe kejang yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi status

epileptikus. Klasifikasi status epileptikus ditegakkan berdasarkan observasi

klinis dan gambaran elektroensefalografi bila memungkinkan. Untuk tatalaksana

pasien, yang terpenting adalah membedakan apakah status pasien konvulsivus

atau bukan. Klasifikasi ini menentukan tatalaksana dan intervensi selanjutnya.

Klasifikasi status epileptikus dapat dibagi menjadi konvulsivus dan bukan

konvulsivus. Klasifikasi status epileptikus terbagi atas parsial dan umum.

Pembagian klasifikasi status epileptikus konvulsivus dapat dilihat pada tabel

berikut ini.6,7,8

Tabel 2.1. klasifikasi status epileptikus konvulsivus


Proposed clasivication of status epilepticus convulsive
Partial
 Tonic: hemiclonic SE, hemiconvulsion-hemiplegia-epilepsy
 Clonic hemiconvulsive, generalized convulsive, status epilepticus
Generalized
 Tonic
 Clonic
 Tonic-clonic: generalized convulsive, epilepticus convulsivus
 Myoclonic: myoclonic SE

5
1.5. Pemeriksaan penunjang

Untuk mentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak,

diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal,

elektroensefalografi, dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan

penunjang ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan.6,7

A. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang ditujukan selain untuk

mencari etiologi kejang, juga untuk mencari komplikasi akibat kejang yang lama.

Jenis pemeriksaan laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan. 6,7

Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama kali

adalah kadar glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan protrombin time.

Beberapa peneliti lain menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium yaitu

darah tepi lengkap, elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium, dan

magnesium. Pada kejang demam beberapa peneliti mendapatkan kadar yang

normal pada pemeriksaan laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak

diindikasikan pada kejang demam, kecuali bila didapatkan kelainan pada

anamnesis dan pemeriksaan fisik. 6,7

Bila dicurigai adanya meningitis bakterial, lalukan pemeriksaan kultur

darah, dan kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya ensefalitis, lakukan

pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.


6,7

6
B. Pungsi Lumbal

Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai

penurunan status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejang lama,

gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor

pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48

atau 72 jam untuk memastikan adanya infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan

neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan

memeriksakan CT scan kepala terlebih dahulu, untuk mencegah terjadinya risiko

herniasi. 6,7

Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics, pungsi lumbal

sangat dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia

di bawah 12 bulan, karena meningitis pada kelompok usia ini dapat menunjukkan

gejala klinis yang minimal atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan

lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi

dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis). 6,7

C. Neuroimaging

Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan

trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada

kelainan pembekuan darah (APCD – aquired prothrombine complex deficiency).

MRI dilakukan bila kelainannya mengenai batang otak, atau dicurigai adanya

adanya tumor otak atau gangguan mielinisasi. 6,7

7
D. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24-

48 jam, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan.

Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya manifestasi

klinis. Gambaran EEG akan memperlihatkan gelombang iktal epileptiform.

Normal atau kelainan ringan pada EEG merupakan indikasi baik terhadap

kemungkinan bebasnya kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan. 6,7

1.6. Tatalaksana

Status epileptikus konvulsivus pada anak adalah kegawatan yang

mengancam jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini

tergantung dari penyebab dan lamanya kejang berlangsung. Makin lama kejang

berlangsung, makin sulit untuk menghentikannya. Oleh karenanya, tatalaksana

kejang tonik-klonik umum lebih dari 5 menit, adalah menghentikan kejang dan

mencegah terjadinya status epileptikus.8

Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu : 0-5 menit, 5-10 menit, 10-

30 menit dan > 30 menit. Pembagian ini untuk membedakan tindakan yang

dilakukan, pemberian obat-obatan, dan menilai apakah pasien sudah masuk

kedalam status epileptikus atau bahkan menjadi status epileptikus refrakter. 8

Penghentian kejang

Pembagian waktu penghentian kejang dapat dilihat di bawah ini:

8
0-5 menit 8

1. Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah

dari tungkai untuk mencegah aspirasi bila pasien muntah.

2. Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, berikan oksigen bila ada.

3. Pada saat dirumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (berat

badan < 10 kg= 5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg = 10mg) dosis

maksimal adalah 10 mg/ dosis.

4. Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit.

5. Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.

5-10 menit 8

1. Bila saat tiba dirumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan diazepam

rektal 1 kali dengan dosis yang sama.

2. Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk

pemeriksaan: darah rutin, glukosa, dan elektrolit

3. Bila masih kejang berikan diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena

(kecepatan 5 mg/menit)

4. Jika didapatkan hipoglikemi, berikan glukosa 25% 2 mL/KgBB

10–30 menit 8

1. Cenderung menjadi status konvulsivus

2. Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg

fenitoin diencerkan dengan 1 mL NaCl 0,9% dan diberikan dengan kecepatan

50 mg/menit. Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.

9
3. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus

perlahan-lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang

diberikan adalah 1000 mg fenobarbital.

4. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus

perlahan-lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang

diberikan adalah 1000 mg fenobarbital.

5. Bila kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan

bolus perlahan dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg/jam yang

diberikan secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa 3

mL midazolam diencerkan dengan 12 mL NaCL 0,9% menjadi 15 mL larutan

dan diberikan per drip dengan kecepatan 1 mL/jam (1 mg/jam).

>30 menit 8

1. Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul

kejang kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena

dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5-7 mg/kg

intravena dengan pengenceran diberikan 12 jam kemudian.

2. Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang

kembali diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena

secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5-7 mg/kg intravena

diberikan 12 jam kemudian.

10
3. Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan

fenobarbital tetap diberikan.

4. Pemeriksaan laboratoorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis gas

darah, elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang ada

dan awasi tanda-tanda depresi pernapasan.

Tabel 3. Obat-obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang.


Diazepam Fenitoin Fenobarbital Midazolam
Dosis inisial 0,3–0,5 20 mg/kgbb 20 mg/kgbb 0,2 mg/kgbb
mg/kgbb bolus
0,02-0,1
mg/kgbb drip
Maksimum dosis 10 mg 1000 mg 1000 mg -
awal
Dosis ulangan 5 menit dapat Bila kejang Bila kejang 10 – 15 menit
diulang berhenti, berhenti,
kejang kejang
kembali 10 kembali 10
mg/kgbb mg/kgbb
Lama kerja 15 menit – 4 Sampai 24 Sampai 24 jam 1-6 jam iv
pemberian jam iv rektal jam iv iv atau im perlahan 0,2
perlahan mcg/min dan
kecepatan 50 titrasi dengan
mg/ menit infus 0,4-0,6
diencerkan mcg/kg/menit
dengan Nacl
0,9%
Catatan Dilanjutkan Hindarkan Monitor tanda
dengan fenitoin pengulangan vital
atau AED sebelum 48
jam
Efek samping Somnolen, Bingung, Hipotensi, Hipotensi,
ataxia, depresi depresi napas depresi napas, depresi napas
napas aritmia

11
1.7. Status Epileptikus Refrakter

Status Epileptikus refrakter terjadi bila kejang terus berlangsung walaupun

telah diberikan pengobatan yang adekwat. Pada keadaan ini, jalan napas

dipertahankan lancar, ventilasi terkontrol dengan intubasi, sirkulasi terpasang,

dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Umumnya kejang masih

berlangsung dalam 30 – 60 menit pengobatan. Obat yang sering digunakan

adalah profopol dan pentobarbital. 8

Propofol diberikan 3–5 mg/kg secara bolus perlahan dilanjutkan dengan

pemberian per drip dengan pompa infus 1 – 15 mg/kg/jam. Cairan obat dibuat

dengan memasukkan propofol 200 mg dalam 20 ml larutan. Larutan ini

mengandung propofol untuk setiap 1 mL =1 0 mg, Obat diberikan secara infus

dengan kecepatan 1 mL per jam. Bila kejang masih berlangsung dapat diberikan

pentobarbital 2–10 mg/kg secara bolus sampai 20 mg/kg dan dilanjutkan dengan
8
pemberian per drip 0.5–5 mg/kg/jam.

Adapun algoritma tata laksana penghentian kejang sesuai di atas dapat

terlihat pada skema tata laksana penghentian kejang. Tatalaksana selanjutnya

setelah kejang teratasi adalah menilai skala koma Glasgow, Doll’s eye movement,

pola napas, dan reaksi pupil. Hasil kumpulan pemeriksaan ini akan menentukan

tingkat gangguan penurunan kesadaran apakah di tingkat korteks serebri,

midbrain, atau batang otak. Keadaan ini sangat menentukan prognosis pasien.

Edema otak dapat ditata laksana dengan pemberian manitol karena edema yang

ada adalah edema sitotoksik. 8

12
1.8. Prognosis

Prognosis pasien dengan Status Epileptikus tergantung dari etiologi, usia,

lamanya kejang.dan tatalaksana kejang teratasi. Tata laksana penyebab kejang

memegang peranan penting dalam mencegah kejang berulang setelah kejang

teratasi. Kemungkinan teratasinya Status Epileptikus konvulsivus dapat menjadi

Status Epileptikus bukan konvulsivus. Gejala sisa yang sering terjadi pada Staus

Epileptikus konvulsivus adalah gangguan intelektual, deficit neurologi atau

epilepsi, dengan Angka kematian berkisar 16 – 32 %. 8

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung terus atau berulang tanpa

pulihnya kesadaran selama 30 menit atau lebih.

2. Status epileptikus pada anak merupakan kasus kegawatdaruratan oleh karena

itu, penghentian kejang dalam waktu 5 menit harus segera dilakukan.

Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu : 0-5 menit, 5-10 menit, 10-30

menit dan > 30 menit.

3. Obat-obatan yang digunakan dalam terapi status epileptikus adalah: diazepam,

fenitoin, fenobarbital dan midazolam.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross JH,

Arzimanoglou A, penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw Hill

Medical, 2013. h. 288-96.

2. Morton LD, Pellock JM. Status epilepticus. Dalam : Swaiman, KF, Ashwal S,

Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s Pediatric neurology principles

and practice. Edisi ke-5. China: Elsevier Saunders, 2012. h. 798-810.

3. Riviello JJ, Ashwal SD, Glauser T, Ballaban-Gil K, Kelley K, Morton LD,

Phillips S, Sloan E, Shinnar S. Practice parameter: diagnostic assessment of the

child with status epilepticus (an evidence best review). Report of the Quality

Standard Subcommittee of the American Academy of Neurology and the

practice committee of the Child NeurologySociety. Neurology. 2006;67:1542

50.

4. Tan RYL,Neligan A, Shorvon SD. The uncommon causes of status epilepticus:

A systematic review. Epilepsy Research .2010; 91:111—22.

5. Singh RK, Gaillard WD Status epilepticus in children. Curre Neurol Neurosc

Repor. 2009,: 9:137–144.

6. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS,

Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York:

Demosmedical; 2013. h 117–138.

15
7. Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW,

Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric:

Diagnosis and treatment. Edisi ke-18. International Edition: McGrawHill;

2008. h. 735.

8. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangutnamadja I, Handrayastuti S.

Rekomendasi penatalaksanaan status epileptikus. Ikatan Dokter Anak

Indonesia. 2016.

16

Anda mungkin juga menyukai