Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea fasialis merupakan infeksi dermatofita yang umumnya terbatas pada

stratum korneum kulit, dan tidak mengalami penetrasi kedalam jaringan.1 Biasanya

tinea ini terjadi pada bagian wajah yang bukan area tempat tumbuhnya janggut.2

Agen penyebab tinea fasialis sangat beragam tergantung dari daerah geografis.

Umumnya, penghantarnya berupa hewan dengan dermatofita zooflik, khususnya

Microsporum canis.3

Microsporum canis merupakan fungi zoofilik, dan fungi ini paling sering

menyebabkan kejadian dermatofitosis pada hewan. Kucing dan anjing merupakan

natural host untuk jenis fungi ini, infeksi yang terjadi pada manusia disebabkan

karena kontak dengan hewan yang terinfeksi dengan Microsporum canis.4

Walaupun banyak studi epidemiologi mengenai dermatofitosis telah di

publikasikan, hanya beberapa seri tinea fasialis yang dilaporkan.2 Di Italia, Spanyol,

Swiss, dan Yunani, spesies zoophilic microsporum canis dan bentuk granular dari

Trichopyton mentagrophytes var. granulare adalah agen yang paling sering diisolasi,

dalam banyak kasus yang berkaitan dengan kontak yang sering dengan hewan. 2

Epidemiologi dari tinea fasialis ini sendiri sangat jarang terjadi. Tinea fasialis

bisa terjadi pada semua kelompok umur dengan puncaknya terjadi saat masih anak-

anak dan usia antara 20 dan 40 tahun. Bisa ditemukan pada semua negara, tetapi lebih

sering pada daerah tropis dan lembab.1

1
Dermatofit mensintesis keratinase yang memungkinkan jamur tersebut untuk

menginvasi Stratum corneum dari epidermis.4 Dan bisa mencerna keratin dan

mempertahankan keberadaan jamur dalam struktur keratin. Ringworm klasik atau

morfologi anular dari tinea akibat respon host melawan penyebaran dermatofit yang

diikuti oleh reduksi atau pembersihan elemen fungi dalam plak, dan banyak kasus

oleh resolusi spontan dari infeksi.4

Dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi khas. Penderita

merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit

(polimorfi). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada

bagian tengah.5 gambaran khassnya bisa berupa lesi yang mulai sebagai eritematosa,

plak bersisik yang mungkin cepat memburuk, diikuti penyembuhan pada bagian

sentral, dan lesi akhirnya menjadi bentuk anular.6

Diagnosisnya bisa ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditanyakan pada pasien tentang riwayat

kontak dengan hewan peliharaan di rumah, kebiasaan sehari-hari dirumah, riwayat

perjalanan terakhir. Pasien yang terinfeksi bisa memiliki beragam gejala, kadang bisa

asimptomatis. Pruritus, plak.3 Dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan gambaran

inflamasi, peninggian kulit, krusta, papul, vesikel, dan bulla, terutama bagian tepinya,

penyebaran biasanya hanya sekitar wajah. 6

Tinea fasialis biasanya diterapi dengan antifungal topikal, seperti golongan

azol, dan terbinafine dipakai sekali atau dua kali sehari selama 2-4 minggu tetapi jika

2
pegobatannya tidak berhasil. Atau untuk lesi ekstensif, antifungal oral bisa diberikan

seperti griseovulfin, fluconazole dan terbinafine.6,7

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Tinea merupakan infeksi jamur, yang dimana dimaksud disini adalah yang

disebabkan oleh dermatofit.6

Tinea fasialis sendiri merupakan infeksi dermatofit pada permukaan kulit

yang tidak berambut (glabrous skin) pada bagian wajah, termasuk bibir dan pipi. Pada

anak dan wanita. Pada pria, kondisi ini dikenal sebagai tinea barbae ketika infeksi

dermatofit mengenai area janggut ditemukan.3 Yang terkadang memberikan

gambaran luas serta berbagai macam gambaran klinis dari eritema, patch, indurasi,

vesikel, pustul, papular dan lesi sirsinar.1,7

Gambar 1: Tinea fasialis.2

B. Etiologi

Agen penyebab tinea fasialis sangat beragam tergantung dari daerah geografis.

Umumnya, penghantarnya berupa hewan dengan dermatofita zooflik, khususnya

Microsporum canis.3

4
Microsporum canis merupakan fungi zoofilik, dan fungi ini paling sering

menyebabkan kejadian dermatofitosis pada hewan. Kucing dan anjing merupakan

natural host untuk jenis fungi ini, infeksi yang terjadi pada manusia disebabkan

karena kontak dengan hewan yang terinfeksi dengan Microsporum canis.4

Microsporum canis termasuk dalam kelompok dermatofita. Dermatofita ialah

golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Dermatofitosis sendiri adalah

penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada

epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita.7

Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita

termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu, Microsporum,

Tricophyton, dan Epidermophyton.7 Spesies yang dianggap paling sering

menyebabkan tinea fasialis adalah Tricophyton dan Microsprum, dan memberikan

gambaran plak anular eritematous, pustul dan krusta. Gambaran batas inflamasi

terlihat pada kebanyakan kasus.8

Klasifikasi tambahan jamur superfisial tergantung pada habitat alami yang

berkaitan, berhubung dermatofit menyediakan informasi penting tentang sumber

infeksi dan menunjukan gambaran klinis yang beragam.4 Berikut adalah klasifikasi

kelompok jamur secara besar:

a) Antropofilik

Spesies ini terbatas pada manusia sebagai host dan melakukan transmisi

melalui kontak langsung. Kulit atau rambut yang terinfeksi akan tersimpan pada

pakaian, sisir, topi, kaus kaki, dan handuk yang juga berfungsi sebagai tempat

5
penampung. Tidak seperti infeksi geofilik dan zoofilik yang sporadis, infeksi

antropofilik sering mewabah di alam. Dermatofit ini telah beradaptasi dengan

manusia sebagai host, dan dengan demikian menimbulkan respon host yang ringan

sampai tanpa inflamasi.4

b) zoofilik

Spesies ini melakukan transmisi ke manusia dari hewan. Kucing, anjing,

kelinci, babi guinea, burung, kuda, dan hewan ternak lain merupakan sumber utama

infeksi. Transmisi mungkin terjadi melalui kontak langsung dengan hewan atau

secara tidak langsung melalui bulu hewan yang terinfeksi. Area yang terekspos

seperti kulit kepala, janggut, wajah, dan lengan bisa menjadi tempat terjadinya

infeksi. Microsporum canis sering melakukan transmisi ke manusia dari anjing dan

kucing, sementara babi guinea dan kelinci lebih sering menginfeksi manusia dengan

jenis jamur T. interdigitale. Dermatofit ini cenderung menyebabkan respon inflamasi

akut dan intens pada manusia. 4

c) Geofilik

Jamur menyebabkan infeksi pada manusia yang bersifat sporadis setelah

kontak langsung dengan tanah. Microsporum gypseum adalah dermatofit geofilik

yang paling umum yang di kultur dari manusia. Ada potensi untuk penyebaran

epidemi karena virulensi jenis geofilik yang lebih tinggi serta kemampuan untuk

membentuk spora yang bertahan lama bisa berada pada selimut atau alat perawatan

rumah tangga. Seperti pada infeksi zoofilik, dermatofit geofilik biasanya

menyebabkan respon inflamasi yang intens.4

6
Gambar 2: Trichophyton.4 Gambar 3: Microsporum.4

C. Epidemiologi

Epidemiologi dari tinea fasialis ini sendiri sangat jarang terjadi. Tinea fasialis

bisa terjadi pada semua kelompok umur dengan puncaknya terjadi saat masih anak-

anak dan usia antara 20 dan 40 tahun. Bisa ditemukan pada semua negara, tetapi lebih

sering pada daerah tropis dan lembab.1

Prevalensi terjadiya tinea fasialis masih tetap konstan selama beberapa tahun

terakhir. Agen etiologinya bermacam-macam tergantung pada lokasi geografis. Di

USA T. tonsurans, T. rubrum dan M. canis merupakan spesies yang mendominasi.1

Sedangkan di Indonesia sendiri tidak diketahui secara pasti prevalensi terjadinya tinea

fasialis dan dugaan etiologi karena kurangnya sumber informasi terbaru yang bisa

didapatkan.1

Beberapa spesies memiliki penyebaran yang luas di seluruh dunia; sebagian

yang lain terbatas pada beberapa daerah saja. Seperti T. concentricum yang

menyebabkan tinea imbricata, endemik di daerah Pasifik selatan dan Amerika selatan.

7
T. rubrum endemik di negara Asia tenggara, Afrika barat, dan Australia tetapi

sekarang banyak ditemukan di Amerika utara dan Eropa.7

Infeksi dermatofitosis bisa didapat dari tiga sumber: lebih umumnya dari

orang lain biasanya melalui fomit, dari hewan peliharaan seperti anak anjing atau

kucing, dan sedikit dari tanah.7

D. Patogenesis

Dermatofit mensintesis keratinase yang memungkinkan jamur tersebut untuk

menginvasi stratum korneum dari epidermis.3 Dan bisa mencerna keratin dan

mempertahankan keberadaan jamur dalam struktur keratin. Karena keratin yang

mengalami degradasi dan terjadinya pelepasan mediator pro inflamasi, host

menimbulkan respon inflamasi dengan derajat yang beragam. Ringworm klasik atau

morfologi anular dari tinea akibat respon host melawan penyebaran dermatofit yang

diikuti oleh reduksi atau pembersihan elemen fungi dalam plak, dan banyak kasus

oleh resolusi spontan dari infeksi.4

Imunitas seluler dan aktivitas antimikroba dari leukosit polimorfonuklear

membatasi patogenisitas dermatofit.7,8

Gambar 4: patogenesis tinea.4

8
Trauma dan maserasi dapat membantu penetrasi dermatofit untuk masuk ke

kulit. Invasi elemen jamur yang mulai tumbuh selanjutnya dicapai melalui sekresi

protease spesifik, lipase dan seramidase, produk pencernaan yang juga berfungsi

sebagai nutrisi jamur. Menarik manan, yang merupakan komponen dinding sel jamur,

menunjukkan efek penghambatan pada proliferasi keratinosit dan imunitas yang

dimediasi sel.6

Infeksi disebabkan karena dermatofit zoofilik yang biasanya muncul dengan

reaksi inflamasi yang lebih parah daripada jamur antropofilik.3 Faktor host yang

memfasilitasi infeksi dermatofit seperti: atopi, glukokortikoid topikal atau sistemik,

iktiosis, penyakit kolagen vaskular. Faktor lokal yang mendukung infeksi seperti:

berkeringat, oklusi, pajanan pekerjaan, lokasi geografik, kelembaban yang tinggi

(iklim tropis atau sub tropis).9

E. Gambaran klinis

Gambaran klinis dari dermatofitosis tergantung dari beberapa faktor: tempat

infeksi, respon imun host, spesies fungi. Dermatofita (misalnya, T. rubrum) yang

memulai sedikit respon inflamasi lebih mungkin untuk menyebabkan infeksi kronis.

Organisme seperti M. canis menyebabkan infeksi akut yang berhubungan dengan

respons inflamasi yang cepat dan resolusi spontan. Pada beberapa individu, infeksi

dapat melibatkan dermis, seperti pada granuloma Majocchi. Granuloma Majocchi

awalnya dapat muncul sebagai patch oval soliter atau multipel dengan batas yang

jelas atau sebagai sisik yang tidak jelas. Granuloma Majocchi berevolusi menjadi

9
papulopustul perifolikuler dan nodul dengan atau tanpa eritema dan sisik. Sebuah

plak dapat menunjukkan gambaran keloidal. Nodul sering berkelompok, tetapi dapat

juga dalam bentuk tunggal, dan tidak mengeluarkan eksudat bila ditekan.7

Gambar 5: Tinea fasialis.8

Dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi khas, yaitu:

 Penderita merasa gatal

 Kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit

(polimorfik).

 Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian

tengah.7

 Gambaran khasnya bisa berupa lesi yang mulai sebagai eritematosa, plak

bersisik yang mungkin cepat memburuk, diikuti penyembuhan pada bagian

sentral, dan lesi akhirnya menjadi bentuk anular.

 Inflamasi bisa menyebabkan krusta, papul, vesikel, dan bula, khususnya pada

bagian tepi.5

F. Diagnosis

10
Infeksi fungi pada wajah kadang bisa misdiagnosis. Cincin anular tipikal

biasanya kurang, dan lesinya sangat sensitif cahaya.9 Penegakkan diagnosis dari tinea

fasialis pada umumnya hampir sama dengan tinea lainnya apabila dilihat dari

manifestasi klinis yang diberikan.3 Diagnosisnya bisa ditegakkan berdasarkan:

a) Anamnesis

Perlu ditanyakan pada pasien tentang riwayat kontak dengan hewan peliharaan

di rumah, kebiasaan sehari-hari dirumah, riwayat perjalanan terakhir. Pasien yang

terinfeksi bisa memiliki beragam gejala, kadang bisa asimptomatis. Pruritus, plak

anular memberikan gambaran simptomatis. Pasien juga kadang bisa merasakan rasa

terbakar. Pasien yang mengidap HIV atau imunokompromais bisa mengalami pruritus

yang parah atau nyeri yang berlebih.4

b) Pemeriksaan fisik

Dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan lesi yang biasanya bersifat pruritus,

berwarna merah muda, eritematous, atau bersisik, dan anular dengan tepi yang sedikit

lebih tinggi, dan tampak central healing.10 Dan apabila terdapat inflamasi, maka akan

tampak gambaran seperti, peninggian kulit, krusta, papul, vesikel, dan bulla.4

Penyebaran biasanya hanya sekitar wajah. 4

11
Gambar 6: gambaran klinis pasien dengan tinea fasialis

c) Pemeriksaan penunjang

Untuk mengetahui lebih jelas apakah penyebabnya adalah jamur, maka perlu

dilakukan pemeriksaan penunjang, antara lain:

Pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan KOH.

Pengambilan sampel untuk pemeriksaan KOH bisa diambil dari lesi,

dengan menggunakan pisau, objek glass, cotton bud. Kemudian dilakukan

kerokan lalu diletakan di kaca objek dan kemudian di tetesi KOH, di fiksasi

dan dilihat dibawah mikroskop.7

Gambaran yang dilihat adalah gambaran bersepta, struktur seperti

batang (hifa atau mycelia).7

Gambar 7: gambaran septa, struktur seperti tube (hifa atau mycelia) dan gambaran spora. 7

12
Kultur fungal

Spesimen diambil dari lesi kulit, sel keratinosit dan rambut kemudian

diletakan pada tempat khusus kultur jamur pada media agar glukosa Sabouraud.

Dan kultur dianjurkan dilakukan tiap bulan.7

G. Diagnosa Banding

a. Dermatitis kontak

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang

menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak, yaitu dermatitis

kontak iritan dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis iritan merupakan reaksi

peradangan kulit non imunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa

didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergi terjadi pada

seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen.6 ditandai

dengan pola reaksi inflamasi polimorfik yang melibatkan epidermis maupun

dermis seperti pruritus, eritema dan vesikulasi, sedangkan bentuk kronisnya yaitu

pruritus, xerosis, likenifikasi, hiperkeratosis, dan fissuring.9

13
Gambar 8: Dermatitis kontak pada anak.

b. Rosasea

Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah (yang

menonjol/cembung).6 Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu

hidung, pipi, dagu, kening, dan alis. Kadang-kadang meluas ke leher bahkan

pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya simetris. Gejala utamanya adalah

eritema, telangiektasis, papul, edema, dan pustul.6 Adanya eritema dan

telangiektasis adalah persisten pada setiap episode dan merupakan gejala khas

rosasea.6

Gambar: Rosasea

H. Terapi

Infeksi yang disebabkan oleh dermatofit diobati denngan memakai berbagai

macam obat topikal oral. Pada pasien dengan sistem imun yang baik, penggunaan

obat topikal biasanya efektif untuk kasus tinea pada daerah yang tidak berambut.

14
Obat antifungal oral mungkin dibutuhkan pada kasus yang lebih parah, atau jika

infeksi tidak berespon terhadapt pengobatan atau kambuhan.10

Obat topikal tidak efektif melawan organisme yang menginfeksi rambut.

Infeksi seperti itu biasanya diterapi dengan antifungal sistemik. 10

Dalam pengobatan perlu memperhatikan sumber infeksi, seperti hewan

peliharaan, anggota keluarga atau kontak dengan orang yang terinfeksi. 10

Tersedia bermacam pengobatan topikal maupun sistemik untuk berbagai tipe

dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi dermatofita ke dalam folikel rambut, maka

infeksi yang mengenai daerah berambut memerlukan pengobatan oral.6

a) Terapi topikal

Terapi topikal dianjurkan dilakukan dua kali sehari. Berbagai macam agen

topikal dapat digunakan, seperti krim, gel, losion, dan shampo. Obat antifungal

utama atau mayor yang mengandung unsur azole (clotrimazole, miconazole,

econazole, oxiconazole, tioconazole, dan lain-lain. Terbinafin dan naftifin yang hadir

sebagai golongan allylamin dikenal sebagai obat dengan efikasi yang tinggi dalam

melawan dermatofit. Selain itu, amorolfine dan butenafin adalah antifungal populer

yang digolongkan sebagai turunan morfolina. 11

Obat antijamur golongan azol dan golongan allylamin mengalami proses

metabolisme oleh enzim sitokrom P-450 sehingga dapat terjadi interaksi dengan

berbagai obat lain yang mengalami metabolisme oleh kelompok enzim yang sama

misalnya rifampisin, simetidin, sebagai contoh interaksi itrakonazol dengan berbagai

obat lain. 6

15
b) Terapi sistemik

Untuk tinea yang terkena pada daerah berambut biasanya memakai terapi

sistemik. Lima agen sistemik utama yang bisa dipakai adalah terbinafin, itrakonazole,

flukonazole, griseofulvin, dan ketokonazole. Penggunaan itrakonazole dan

terbinafine sudah umum dalam pengobatan onikomikosis. Griseofulvin memainkan

peran penting dalam pengobatan tinea capitis. 11

Pengobatan antifungal oral mungkin berkaitan dengan toksisitas pada hepar,

jarang sekali memberikan efek pada kulit seperti SSJ, dan kemungkinan interaksi

obat pada sitokrom P-450. 11

Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin

dalam bentuk bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang

dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kgBB. Diberikan 1-2

kali sehari, lama pengobatan tergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan

keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis pengobatan dilanjutkan hingga

dua minggu. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-kadang diperlukan

tindakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan.3

Tinea fasialis biasanya diterapi dengan antifungal topikal, seperti golongan

azol, dan terbinafine dipakai sekali atau dua kali sehari selama 2-4 minggu tetapi jika

pegobatannya tidak berhasil. Atau untuk lesi ekstensif, antifungal oral bisa diberikan

seperti griseovulfin, fluconazole dan terbinafine. 6

16
Efek griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah

sefalgia, dizziness dan insomnia. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan

traktus digestivus ialah nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat

fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar. 6

Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang

bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan

obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari- 2 minggu pada pagi hari setelah

makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar. 6

Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti

griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg-250 mg sehari bergantung pada

berat badan. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang

tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus. Nyeri lambung,

diare, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan

pengecapan, presentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya

setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat

pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3-7% kasus. Interaksi obat

dapat terjadi antara lain dengan enmetideine dan ritompisin. 6

Tabel 1. Pilihan terapi untuk dermatofitosis

17
I. Pencegahan

Pengendalian dermatofit pada peliharaan bisa mencegah kasus zoonotik pada

manusia. Peliharaan yang terinfeksi harus diobati, dan semua peralatan rumah tangga

yang diduga terinfeksi harus dibersihkan dan di desinfeksi sesegera mungkin. Kontak

dengan hewan harus dibatasi, penggunaan sarung tangan dan pakaian pelindung harus

dipakai jika peliharaan akan dirawat.

Agar tidak terjadi kekambuhan penyakit, pasien disarankan untuk menjaga atau

memelihara kebersihan diri. 11

J. Prognosis

Infeksi kronis sangat resisten terhadap pengobatan, akan tetapi prognosis cukup

baik bila diagnosis dibuat tepat dan pengobatan tidak dilaksanakan secara bijaksana.6

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kieliger S., Glatz M., Cozzio A., Bosshard PP. Tinea capitis and tinea faciei

in the Zurich area- an 8- year survey of trends in the epidemiology and

treatment patterns. European Academy of Dermatology and Venerology.

2014;29:1524-1529

2. Borges A., Brasileiro A., Galhardas C., Apetato M. Tinea faciei in a central

Portuguese hospital: a 9-year survey. Blackwell Verlag GmbH. 2017:1-

3.availble from: doi: 10.1111/myc.12730 [accessed Agustus 2018]

3. Yamada T., Makimura K., Abe S. Isolation, characterization. And disruption

of dnrl, the areA/nit-2-like nitrogen regulatory gene of the zoophilic

dermatophyte,microsporum canis. Medical mycology. 2006; 44:243-252

4. Schieke SM., Garg A. Superficial Fungal Infection. (eds) Goldsmith LA.,

Katz SI., Gilcherst BA., Paller AS., Leffell DJ., Wolff K. Fitzppatrick’s

Dermatology in General medicine. 8th edition. USA. McGraw-Hill

companies. 2012: 3238-3240.

5. Bimbi C., Brzezinski P. Rosacea-like tinea. Our Dermatol Online.

2016;7(1);78-80

6. Menaldi SLS., Bramono K., Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi 7. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2017

7. Ely J. Rosenfeld S., Stone MS. Diagnosis and management of Tine infections.

American Academy of Family Physicians. 2014;90(10):703-710.

19
8. Dev T., Saginatham H., Sethuraman G. Tinea Faciei: challanges in the

diagnosis.the Journal of Pediatrics.2017;187-331. Available from:

doi.org10.1016/j.jpeds.2017.03.044 [Accessed September 2018]

9. Wolff K., Johnson RA., Suurmond D. Color atlas & synopsis clinical

dermatology. Cutaneus fungal infection 5th edition. USA.. McGraw-Hill

Companies. 2007

10. Spickler, Rovid A. Dermatophytosis. Institute for International Cooperation

in Animal Biologics.2013;1-13

11. Gupta AK., Cooper EA. Update in Antifungal Therapy of Dermatophytosis.

Mycopathologia. 2008; 166:353-367. Available from: DOI 10.1007/s11046-

008-9109-0 [Accessed September 2018]

20

Anda mungkin juga menyukai