Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2016

UNIVERSITAS HALU OLEO

SINDROM HORNER

PENYUSUN :

Dwi Pascawitasari, S.Ked

K1A1 12 105

PEMBIMBING :

dr. Sri Muryati, M.Kes., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2016

HORNER SYNDROME
Dwi Pascawitasari, Sri Muryati
A. Pendahuluan
Sindrom Horner atau Oculosympathetic palsy adalah suatu kelainan
yang disebabkan adanya lesi yang mengenai jaras simpatis di sepanjang
perjalanan ke mata ditandai dengan trias okular yang terdiri dari: (1)
penyempitan fisura palpebralis (ptosis), (2) miosis, (3) enoftalmus.
Anhidrosis dan vasodilatasi di separuh sisi wajah ipsilateral juga dapat
terjadi jika persarafan simpatis wajah juga terkena. Sindrom Horner
disebut juga Bernards Syndrome atau Bernard-Horner Syndrome atau
Horners Ptosis. Orang pertama yang memperkenalkan syndroma ini
adalah Johann Friedrich Horner, seorang ahli oftalmologi berkebangsaan
Swiss (1831-1886).1,2
B. Anatomi
1. Sistem Saraf
Sistem saraf tersusun menjadi susunan saraf pusat (SSP),
yang terdiri dari otak dan medulla spinalis, dan susunan saraf tepi
(SST) yang terdiri dari serat-serat saraf yang membawa informasi
antara SSP dan bagian tubuh yang lain (perifer). SST dibagi lagi
menjadi divisi aferen dan eferen. Divisi aferen membawa informasi ke
SSP, memberi tahu tentang lingkungan eksternal dan aktivitas internal
yang sedang di atur oleh susunan saraf. Instruksi dari SSP disalurkan
melalui divisi aferen ke organ efektor otot atau kelenjar yang
melaksanakan perintah agar dihasilkan efek yang sesuai. Sistem saraf
eferen dibagi menjadi sistem saraf somatic yang terdiri dari serat-serat
neuron motorik yang menyarafi otot rangka; dan sistem saraf otonom
yang terdiri dari serat-serat yang menyarafi otot polos, otot jantung,
dan kelenjar. Sistem yang terakhir ini dibagi menjadi sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis, di mana keduanya menyarafi
sebagian besar organ-organ yang disarafi oleh sistem saraf otonom.3

2
Gambar 1. Susunan sistem saraf pusat3
Sistem saraf otonom memiliki dua subdivisi yaitu sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Setiap jalur saraf otonom terdiri dari dua
rangkaian neuron yaitu serat praganglion dan serat pascaganglion.
Serat saraf simpatis berasal dari region toraks dan lumbal medula
spinalis. Sebagian besar serat praganglion sangat pendek, bersinap
dengan badan sel neuron pascaganglion di dalam ganglia yang terletak
di rantai ganglion simpatis (juga disebut trunkus simpatikus) yang
berada di sepanjang kedua sisi medulla spinalis. Serat pasca ganglion
yang panjang yang berasal dari rantai ganglion berakhir di organ
efektor. Sebagian serat pascaganglion melewati rantai ganglion tanpa
bersinaps. Serat ini berakhir di ganglion kolateral simpatis sekitar
separuh perjalanan antara SSP dan organ yang disarafi dengan serat
pascaganglion menempuh jarak yang tersisa. Serat praganglion
parasimpatis berasal dari daerah kranial (otak) dan sakrum (medula
spinalis bagian bawah) SSP. Serat-serat ini lebih panjang daripada
serat praganglion simpatis karena mereka tidak berakhir sampai
mereka mencapai ganglion terminal yang terletak di dalam atau dekat
organ efektor. Serat pascaganglion sangat pendek dan berakhir di sel-
sel organ itu sendiri.3

Gambar 2. Jalur saraf otonom3

3
Serat praganglion simpatis dan parasimpatis mengeluarkan
neurotransmitter yang sama, asetilkolin (ACh) tetapi ujung
pascaganglion kedua sistem saraf ini mengeluarkan neurotransmiter
yang berbeda (neurotransmiter yang mempengaruhi organ efektor).
Serat pascaganglion parasimpatis mengeluarkan asetilkolin. Karena
itu, serat-serat ini bersama dengan semua serat praganglion otonom
disebut serat kolinergik. Sebagian besar serat pascaganglion simpatis
sebaliknya disebut serat adrenergik karena mengeluarkan
noradrenalin, yang umum dikenal sebagai norepinefrin. Baik
asetilkolin maupun norepinefrin juga berfungsi sebagai pembawa
pesan kimiawi di bagian lain tubuh.
Sistem simpatis mendorong respon-respon yang
mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik berat dalam situasi darurat
atau penuh stress, misalnya ancaman fisik dari luar. Jantung berdenyut
lebih cepat, dan lebih kuat, tekanan darah meningkat akibat konstriksi
(penyempitan) generalisata pembuluh darah, saluran napas membuka
lebar untuk memaksimalkan aliran udara, glikogen dan simpanan
lemak diuraikan untuk mengeluarkan bahan bakar tambahan ke dalam
darah dan pembuluh darah yang mendarahi otot rangka berdilatasi
(membuka lebih lebar). Semua respons ini ditujukan untuk
meningkatkan aliran darah kaya nutrient dan beroksigen ke otot
rangka sebagai antisipasi terhadap aktivitas fisik berat. Selain itu,
pupil berdilatasi dan mata menyesuaikan diri untuk melihat jauh,
memungkinkan yang bersangkutan dapat melihat seluruh hal yang
mengancam. Berkeringat meningkat sebagai antisipasi terhadap
peningkatan produksi panas oleh aktivitas fisik. Karena aktivitas
pencernaan dan kemih tidak esensial untuk menghadapi ancaman,
maka sistem simpatis menghambat aktivitas-aktivitas ini.3

4
Gambar 3. Skematik struktur yang dipersarafi oleh sistem saraf
simpatis dan parasimpatis4

5
Gambar 4. Jalur anatomi saraf simpatis ke mata11
Persarafan simpatis mata terdiri dari 3 percabangan neuron.
Area nuklear tempat munculnya persarafan simpatis, disebut pusat
siliospinalis. Pertama, serat simpatis sentral berasal dari hipotalamus
posterolateral (nukleus suprakiasmatikus), kemudian turun melalui
otak tengah dan pons kemudian berakhir pada intermediolateral dari
sumsum tulang belakang setinggi level C8-T2 (pusat siliospinal
Budge). Kedua, serat pupillomotor preganglionik keluar dari sumsum
tulang belakang setinggi level T1 dan memasuki rantai simpatis
servikal, dimana mereka berada di dekat puncak paru dan arteri
subklavia. Serat naik melalui rantai simpatis dan sinaps di ganglion
servikal superior di tingkat bifurkasio dari arteri karotis umum (C3-
C4). Ketiga, serat pupillomotor postganglionik keluar dari ganglion
servikal superior dan naik sepanjang arteri karotis interna. Tak lama
setelah serat postganglionik meninggalkan ganglion sevikal superior,
vasomotor dan sudomotor serat bercabang, perjalanan sepanjang arteri
karotis eksterna untuk menginervasi pembuluh darah (serabut-serabut
vasokonstriktor) dan kelenjar keringat dari wajah. Serat pupillomotor
postganglionik sepanjang arteri karotis interna memasuki sinus
kavernosa. Serat kemudian meninggalkan pleksus karotis untuk
bergabung dengan saraf abdusen (N.VI) dalam sinus kavernosus dan
memasuki orbit melalui fisura orbita superior bersama dengan capang
oftalmikus dari saraf trigeminal (N.V) melalui saraf siliaris panjang.

6
Saraf siliaris lama kemudian menginervasi iris dilator dan otot Mller
(muskulus tarsalis superior dan muskulus tarsalis inferior).7,2
2. Anatomi Mata
Pada sistem penglihatan, mata adalah organ yang sangat khusus
untuk persepsi bentuk, cahaya dan warna. Mata terletak dalam rongga
protektif di dalam tengkorak yang disebut orbita. Masing-masing
mata memiliki selubung protektif untuk mempertahankan bentuknya,
sebuah lensa untuk memfokuskan cahaya, sel-sel fotosensitif yang
berespons terhadap rangsangan cahaya, dan banyak sel yang
memproses informasi penglihatan. Impuls penglihatan dari sel-sel
fotosensitif kemudian disalurkan ke otak melalui akson di saraf optic
(nervus opticus).
Setiap bola mata dikelilingi oleh tiga lapisan yang berbeda.
Lapisan luar mata adalah sklera, suatu lapisan opak jaringan ikat
padat. Sklera sebelah dalam terletak berbatasan dengan koroid. Lapisn
ini mengandung berbagai jenis serat jaringan ikat dan sel jaringan ikat,
termasuk makrofag dan melanosit. Di sebelah anterior, sklera
mengalami modifikasi menjadi kornea yang transparan, tempat
lewatnya cahaya masuk ke mata. Lapisan tengah atau vascular (uvea),
lapisan ini terdiri dari tiga bagian yaitu lapisan berpigmen padat yaitu
koroid, badan siliar, dan iris. Di koroid terdapat banyak pembuluh
darah yang memberi makan sel fotoreseptor di retina dan struktur bola
mata. Lapisan paling dalam di ruang paling posterior pada mata
adalah retina. Tiga perempat posterior retina adalah daerah
fotosensitif. Bagian ini terdiri dari sel batang (neuron baciliferum), sel
kerucut (neuron coniferum), dan berbagai interneuron, yang
terangsang oleh dan berespons terhadap cahaya. Retina berakhir di
daerah anterior bola mata yaitu ora serrata, merupakan bagian retina
yang tidak fotosensitif. Bagian ini berlanjut ke depan untuk melapisi
bagian dalam bagan siliar dan daerah posterior iris.

7
Gambar 5. Struktur Mata dan Vaskularisasinya5
Mata juga mengandung tiga ruang. Camera anterior adalah
suatu ruang yang terletak di antara kornea, iris dan lensa. Camera
posterior adalah suatu ruang kecil yang terletak di antara iris, prosesus
siliaris, serat zonula (fibrae zonulares) dan lensa. Camera viterus
adalah ruang posterior yang lebih besar, terletak di belakang lensa dan
saraf zonula dan dikelilingi oleh retina. Camera anterior dan posterior
terisi oleh cairan encer disebut humor aquous. Cairan ini terus-
menerus diproduksi oleh prosesus siliaris yang terletak di belakang
iris. Humor aquous beredar dari camera posterior ke camera anterior
tempat cairan ini dikeluarkan oleh vena. Camera vitreus terisi oleh
bahan gelatinosa yaitu korpus viterus.5
Sensitivitas mata terhadap cahaya bergantung pada jumlah
fotopigmen peka cahaya yang ada di sel batang dan sel kerucut.
Ketika berada di tempat terang-benderang ke tempat yang gelap
gulita, mula-mula tidak dapat melihat apa-apa, tetapi secara perlahan

8
mulai dapat membedakan benda-benda berkat proses adaptasi gelap.
Penguraian fotopigmen selama pajanan ke sinar matahari sangat
menurunkan sensitivitas fotoreseptor . Dalam keadaan gelap,
fotopigmen yang terurai sewaktu pajanan sinar matahari secara
bertahap dibentuk kembali. Akibatnya, sensitivitas mata perlahan
meningkat sehingga mulai dapat melihat dalam lingkungan sekitar
yang gelap. Namun, hanya sel batang yang sangat sensitive dan telah
di remajakan yang dihidupkan oleh cahaya temaram. Sebaliknya,
ketika berpindah dari tempat gelap ke tempat terang, mula-mula mata
sangat peka terhadap sinar terik. Dengan sedikit kontras antara bagian
terang dan gelap, keseluruhan bayangan tampak keputihan. Setelah
sebagian foto pigmen cepat diuraikan oleh sinar intens, sensitivitas
mata menurun dan kontras normal dapat kembali terdeteksi, suatu
proses yang dinamai adaptasi terang. Sel batang sedemikian peka
terhdaap cahaya sehingga cukup banyak rhodopsin yang diuraikan
dalam keadaan terang dan hal ini pada hakikatnya menghanguskan sel
batang yaitu setelah diuraikan oleh sinar terang, fotopigmen sel batang
tidak lagi dapat berespons terhadap sinar. Selain itu, mekanisme
adaptif sentral mengubah mata dari sistem batang ke sistem kerucut
ketika terpajan ke sinar terang. Dengan demikian, hanya sel-sel
kerucut yang kurang peka yang digunakan utuk penglihatan terang.3
C. Etiologi
Sindrom Horner biasanya diperoleh dari proses patologi suatu
penyakit tetapi dapat juga kongenital, iatrogenik dan sangat jarang bersifat
idiopatik.6 Beberapa penyebab umum antara lain:
1. Lesi dari neuron primer
2. Stroke batang otak atau tumor atau syrinx dari neuron preganglionik.
Pada sebuah penelitian didapatkan 33% pasien dengan lesi batang
otak menunjukkan sindrom horner
3. Lesi dari neuron postganglionik

9
4. Cluster headache kombinasi disebut Hortons headache
5. Migren
6. Trauma leher, biasanya trauma tumpul, kadang-kadang memerlukan
operasi. Trauma pleksus brachialis
7. Infeksi telinga tengah
8. Tumor sering bronkogenik karsinoma pada fisura superior (Tumor
Pancoast) pada apeks paru, tumor pada fosa kranial tengah.
Neoplasma di apeks paru mungkin menginvasi pleksus simpatikus
servikalis atau brakialis dan menyebabkan nyeri hebat dalam
distribusi saraf ulnaris atau menyebabkan sindrom Horner
9. Aneurisma aorta toraks
10. Neurofibromatosis tipe 1
11. Gondok
12. Aneurisma aorta binokuler
13. Karsinoma tiroid
14. Multipel sclerosis
15. Pembedahan aneurisma karotis. Pada sebuah penelitian ditemukan
44% (65/146) dari pasien dengan pembedahan arteri karotis
ektrakranial interna memiliki sindrom horner yang sangat nyeri
16. Iskemik arteri karotis
17. Klumpke paralysis
18. Efek sementara dari angiografi serebral6,7,8,9,10
Kebanyakan dari kasus dikarenakan stroke batang otak, trauma,
tumor apeks paru atau malformasi vaskular. Meskipun bentuk dominan
herediter autosomal diketahui, sindrom Horner idiopatik jarang ditemui.6
Predileksi usia, jenis kelamin serta ras tidak diketahui. 7 Secara anatomi,
inervasi saraf simpatis ke mata terbagi menjadi 3 jalur yaitu central,
preganglionik dan postganglionik, dimana ketiganya dapat menyebabkan
sindrom horner. Berdasarkan struktur anatominya, sindrom horner dapat
disebabkan oleh:

10
Tabel 1. Etiologi Sindrom Horner11

D. Patofisiologi
Sindrom Horner dapat berkembang dari lesi pada setiap titik di
sepanjang jalur simpatik. Kelainan yang ditemukan pada semua pasien,
terlepas dari tingkat gangguan, adalah sebagai berikut; penyempitan fisura
palpebralis akibat hilangnya fungsi m.tarsalis superior (ptosis), miosis
akibat hilangnya fungsi m.dilator pupilae, sehingga menyebabkan efek
konstriksi m.sfingter pupilar menjadi lebih dominan, enoftalmus karena
hilangnya fungsi m.orbitalis. Anhidrosis dan vasodilatasi di separuh sisi
wajah ipsilateral terjadi jika persarafan simpatis wajah juga terkena, baik
di pusat siliospinalis atau di serabut eferen yang keluar dari pusat ini.2

11
Gambar 6. Sindrom Horner2
E. Diagnosis
1. Gejala Klinis
a. Ptosis
b. Miosis, karena terjadi miosis pada mata yang terkena maka akan
menyebabkan anisokor
c. Enoftalmus
d. Anhidrosis1,2,11
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis yang diperiksa adalah tanda vital umum
seperti tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan. Pada penyakit
hipertensi juga terdapat sindrom Horner yang mencerminkan
terputusnya serabut-serabut simpatis servikal.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Farmakologi
Thompson dan Mensher menjelaskan bahwa penggunaan topikal
kokain digunakan untuk konfirmasi sindrom Horner dan
hydroxyamphetamine untuk membedakan lesi penyebab antara pre
dan postganglionik. Selama hampir 40 tahun, obat tersebut telah
menjadi andalan untuk tes farmakologi sindrom Horner. Obat lain
juga sekarang ini dapat digunakan untuk tes farmakologi sindrom
Horner dalam diagnosis dan penentuan lokasi lesi. Obat tersebut
adalah pholedrine, apraclonidine, adrenaline dan phenylephrine.
1) Kokain
Kokain topikal 2-10% menyebabkan midriasis pada pupil
normal, berperan dalam menghambat serapan noradrenalin (NA)
pada ujung saraf simpatis postganglionik. Noradrenalin
terakumulasi pada celah sinap dan merangsang otot dilator

12
pupil. Jika inervasi simpatis terganggu dimana saja sepanjang
jalurnya, maka tidak ada noradrenalin yang disekresi dan kokain
karena itu tidak akan menyebabkan midriasis,
mengkonfirmasikan diagnosis sindrom Horner.12

Gambar 7. Tes Kokain dan Hydroxyamphetamine13


2) Hydroxyamphetamine
Hydroxyamphetamine merupakan golongan adrenergik indirect-
acting yang menyebabkan midriasis, contoh tyramine,
amphetamine dan ephedrine. Obat tersebut menyebabkan
pelepasan noradrenalin endogen pada ujung saraf simpatis dan
karena itu tidak merangsang sel efektor secara langsung. Jika
terdapat lesi pada central atau preganglionik, maka pemberian
perlahan hydroxyamphetamine menyebabkan midriasis pupil,
postganglionic masih utuh karena itu masih dapat terjadi
pelepasan noradrenalin. Tetapi jika terjadi kerusakan pada saraf
postganglionik maka pelepasan noradrenalin sedikit atau tidak
ada, dan midriasis dapat bersifat inkomplit atau tidak ada pada
respon terhadap hydroxyamphetamine topikal.12

13
Tabel 2. Tipe Sindrom Horner dan Tes Diagnosis terhadap
kokain, hydroxyamphetamine13

3) Pholedrine
Pholedrine merupakan derivat N-methyl hydorxyamphetamine
dan telah disarankan sebagai obat alternatif untuk mengetahui
lokasi lesi penyebab OSP (oculosympathetic paresis).12

4) Apraclonidine
Apraclonidine merupakan adrenergik yang terdiri dari reseptor
-1 dengan aksi agonis yang lemah dan reseptor -2 dengan aksi
agonis yang kuat. Apraclonidine digunakan untuk mengurangi
tekanan intra okular jangka pendek.12 Pada sindrom Horner,
dapat ditemukan ketidakteraturan respon reseptor -1 sehingga
menyebabkan denervasi saraf simpatis, yang menghasilkan
supersensitivitas pupil, dilatasi akibat respon terhadap
apraclonidine. Sebaliknya, pupil yang normal akan
menunjukkan tidak ada perubahan dalam ukuran atau konstriksi

14
akibat aktivitas dari reseptor -2. Kriteria diagnosis sindrom
Horner adalah penurunan anisokor setelah pemberian
apraclonidine topikal secara bilateral.
Gambar 8 merupakan contoh penggunaan apraclonidine sebagai
tes farmakologi untuk menentukan ada atau tidaknya sindrom
Horner. Pada gambar terlihat bahwa sebelum diberikan 1%
apraclnidine, pupil tampak anisokor dan mengalami miosis pada
pupil mata kanan (gambar A) dan sesudah pemberian
apraclonidie maka terlihat pupil mengalami dilatasi akibat
respon terhadap apraclonidine dan mengurangi anisokor
(gambar B).14

Gambar 8. Pemberian 1% Apraclonidine14


5) Adrenalin
Adrenalin merupakan simpatomimetik direct-acting karena
strukturnya sama dengan noradrenalin yang bertindak sebagai
neurotransmiter di jalur saraf simpatis. Oleh karena itu, secara
tidak langsung merangsang sel efektor seperti pada otot dilator
pupil jika konsentrasinya cukup dan menyebabkan midriasis.
Lesi yang menyebabkan OSP mempengaruhi neuron
preganglionik, MAO (monoamine oxidases) di neuron
postganglionik akan tetap tidak aktif, tiap adanya adrenalin dan
noradrenalin dan meskipun denervasi hipersensitivitas, tidak ada

15
pupil yang berdilatasi setelah pemberian adrenalin secara
bertahap 1:1000. Namun, seharusnya neuron postganglionik
terpengaruh, tidak ada MAO yang akan dikeluarkan untuk
metabolism adrenalin. Hasil dari denervasi hipersensitivitas,
pupil akan berdilatasi, sedangkan pada keadaan normal pupil
akan sensitive terhadap konsentrasi rendah adrenalin. Dengan
demikian, adrenalin 1:1000 dapat membedakan antara lesi pre
dan postganglionik yang menyebabkan OSP.
6) Phenylephrine
Thompson dan Mensher menemukan bahwa phenylephrine lebih
berguna daripada adrenalin dalam melakukan tes sensitivitas
otot dilator iris, tetapi kadar larutan hanya dapat digunakan 10%
karena dapat menyebabkan midriasis luas bahkan pada pupil
yang normal.12

16
Gambar 9. Flow chart untuk evaluasi anisokor12
b. Pemeriksaan Radiologi
Sindrom Horner terdiri dari tiga tipe yaitu sentral,
preganglionik dan postganglionic.
1. Sindrom Horner tipe sentral
Sindrom Horner tipe sentral relative jarang terjadi. Sindrom
Horner tipe sentral dapat diidentifikasi atas dasar keterlibatan
hipotalamus, batang otak atau medulla spinalis dengan melihat
tanda dan gejala, sehingga mudah untuk melokalisasi lesi. Pada
kasus ini, pemilihan pemeriksaan radiologi tidak didasarkan atas
temuan khas sindrom Horner namun berdasarkan temuan
neurologisnya. Keadaan yang dapat menyebabkan sindrom
Horner tipe sentral yang paling sering adalah sindrom medulla
lateral partial oleh karena infark pada arteri cerebellaris
posteroinferior atau arteri vertebra distal. Temuan neurologis
lainnya adalah disfagia, analgesia facial ipsilateral, kontralateral
analgesia pada ekstremitas, ataksia serebellum, nystagmus
berputar. Sebanyak 3 dari 4 pasien yang mengalami sindrom
Horner, juga mengalami OSP (okulo-simpatoparesis).

17
Gambar 10. MRI Axial T2-weighted image13
Gambar 10 menunjukkan adanya infark medulla lateral akut
yang ditunjuk tanda panah.

Gambar 11. MRI Axial T1-weighted image13

Gambar 11 menunjukkan adanya thrombus yang tampak


hiperintens pada arteri vertebra distal kiri yang ditunjuk tanda
panah. Gambar 10 dan gambar 11 adalah pasien laki-laki usia 46
tahun yang mengalami hemiplegia tiba-tiba setelah berenang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan miosis, ptosis dan
anhidrosis.13
2. Sindrom Horner tipe preganglionik
Sindrom Horner tipe preganglionik sering terjadi dan
disebabkan oleh trauma atau tumor. Trauma atau traksi medulla
spinalis langsung pada pleksus brachialis dapat mengubah jalur
ventral dan mengganggu inervasi saraf simpatis. Trauma
bertanggungjawab terhadap adanya kerusakan yang sering

18
iatrogenic, termasuk trauma lahir, anastesi spinal epidural dan
trauma bedah (contoh diseksi kolum radikal).

Gambar 12. CT-Scan aksial13


Gambar 12 adalah pasien wanita 43 tahun dengan karsinoma
tiroid papilar. Total tiroidektomi bilateral dengan adanya diseksi
kolum radikal.
Tumor paru dan mediastinum dapat menimpa saraf simpatis.
Tumor dari apeks paru dapat menyebabkan sindrom Horner
diikuti dengan nyeri pada bahu dan lengan juga disebut sindrom
Pancoast.
3. Sindrom Horner tipe postganglionik
Sindrom Horner tipe postganglionic dapat mnyebabkan kondisi
mulai dari yang jinak sampai dapat mengancam jiwa. Lesi yang
menyebabkan sindrom Hornern tipe postganglionik
dikategorikan menjadi tiga jalur yaitu arteri karotis interna, basis
cranii dan sinus cavernosus beserta apeks orbita.

19
Gambar 13. CT-Scan koronal13

Gambar 14. Angiografi Arteri carotis interna13

Gambar 13 menunjukkan adanya thrombus isointens yang


berbentuk sabit (tanda panah) pada aneurisma kanan dan
peningkatan intens pada aneurisma kiri. Sedangkan gambar 14
menunjukkan adanya aneurisma thrombus parsial pada arteri
karotis interna pada sinus kavernosus kanan (tanda panah
panjang) serta tampak aneurisma lainnya pada arteri karotis
interna pada sinus kavernosus kiri (tanda panah pendek).
Gambar 12 dan gambar 13 merupakan pasien wanita usia 67
tahun dengan ptosis, miosis dan diplopia.13
F. Differential diagnosis
Kondisi yang dianggap sebagai diferensial diagnosis adalah
dibawah ini:

20
1. Anisokor esensial
2. Sindrom Holmes-Adie (Sindroma pupil tonik)
3. Pupil Argyll Robertson
4. Pupil otak tengah
5. Pupil dilatasi secara farmakologik
6. Palsi N.III (nonvascular)7,15

Tabel 3. Sifat-sifat khas pupil pada sindrom horner dan penyakit


lainnya15
Sifat-sifat Respons Kondisi Respons Respons Respons
umum terhadap ruangan terhadap terhadap terhadap obat
cahaya dengan midriatiku miotikum farmakologik
dan anisokori m
stimuli a lebih
dekat besar
Sindrom Kecil, bulat, Keduanya Gelap Dilatasi Menyempi Kokain 4%
Horner unilateral cepat t dilatasi lemah,
paredrine 1%
tidak
berdilatasi jika
kerusakan
neuron urutan
ketiga
Anisokor Bulat, Keduanya Tidak Dilatasi Menyempi Normal dan
esensial teratur cepat berubah t jarang
diperlukan
Sindrom Biasanya Tidak ada Terang Dilatasi Menyempi Pilokarpin
Holmes-Adie lebih besar terhadap t 0,1% atau
dalam sinar cahaya, 0,125%
terang, tonik menyempit
kelumpuha terhadap
n pupil, radiasi
gerakan
vermiformi
s
Pupil Argyll Kecil Lemah Tidak Lemah Menyempi
Robertson ireguler, terhadap berubah t
bilateral cahaya,
lebih baik

21
terhadap
dekat
Pupil otak Dilatasi Lemah Tidak Dilatasi Menyempi
tengah sedang, terhadap berubah t
mungkin cahaya,
oval, lebih baik
bilateral terhadap
dekat
(atau
tetap pada
keduanya
)
Pupil dilatasi Sangat Tetap Terang Tidak ada Pilokarpin 1%,
secara besar, bulat, tidak
farmakologik unilateral menyempit
Palsy N.III Dilatasi Tetap Terang Dilatasi Menyempi
(nonvascular sedang (6- t
) 7 mm),
unilateral,
jarang
bilateral

G. Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan yang tepat terhadap sindrom Horner
tergantung pada penyebab yang mendasari. Tujuan pengobatan adalah
untuk melawan proses penyakit yang mendasari. Pada banyak kasus,
tidak ada pengobatan yang efektif diketahui. Rujukan untuk spesialis
yang tepat sangat penting. Apakah perawatan bedah diindikasikan dan
jenis apa yang tepat tergantung pada penyebab tertentu dari sindrom
Horner. Potensi intervensi bedah meliputi perawatan bedah saraf untuk
penyebab aneurisma pada kasus sindrom horner dan perawatan bedah
vaskular untuk kondisi penyebab seperti diseksi arteri karotis atau
aneurisma.
Untuk pengelolaan yang optimal dari penyebab yang mendasari,
konsultasi spesialis berikut mungkin diperlukan:
1. Pulmonologi
2. Penyakit dalam

22
3. Neurologi atau neuro-ophthalmology
4. Intervensi radiologi (pada kasus suspek diseksi arteri karotis)
5. Pembedahan atau onkologi
6. Neurosurgery (pada kasus suspek aneurisma).7

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC
2. Baehr, Mathias dan Michael F. 2014. Diagnosis Topik Neurologi DUUS.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC

23
3. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC
4. Netter FH. 2006. Atlas of human anatomy 3 rd ed. Philadelphia: Elsevier-
Saunders
5. Eroschenko, Victor P. 2012. Atlas Histologi diFiore Edisi 11. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
6. Agarwal, Mohit et al. Idiopathic Horners Syndrome: An Enigma. Indian
Journal of Clinical Practice. June 2012. Vol. 23 No.1 Hal. 30-31
7. Bardorf Christopher M. et al. Horner Syndrome. 2016.
file:///E:/REFERAT%20DWI%20PASCA/SUMBER%20SYNDROME
%20HORNER/Jurnal-Jurnal/Horner%20Syndrome%20%20Overview,
%20Anatomy,%20Pathophysiology.htm (Diakses tanggal 29 Juni 2016)
8. Price, Sylvia A. dan Lorraine MW. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
9. Kumar, V., Ramzi SC dan Stanley LR. 2012. Robbins Volume 2 Buku Ajar
Patologi Edisi 7. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
10. Howlett, William P. 2012. Cranial Nerve Disorders Chapter 12. Norway:
University of Bergen
11. George A, Haydar dan Adams. Imaging of Horners Syndrome. Journal of
Clinical Radiology. Desember 2008; 63, Hal.499-505
12. Smitt, Derrick P. Pharmacological testing in Horners syndrome a new
paradigm. Journal of Stellenbosch. November 2010; Vol. 100 No.11 Hal.
738-740
13. Lee, J. Hun et al. Neuroimaging Strategies for Three Types of Horner
Syndrome with Emphasis on Anatomic Location. Journal of Ulsan.
Januari 2007. Vol.188 Hal. W74-W81
14. Knock, Jonathan C. et al. Early Diagnosis of Horner Syndrome Using
Topical Apraclonidine. Journal of Neuro-Ophtalmo. 2011. Vol. 31. Hal.
214-216

24
15. Isselbacher et al. 1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC

25

Anda mungkin juga menyukai