Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2017

UNIVERSITAS HALU OLEO

DIFTERI

PENYUSUN :

Dwi Pascawitasari, S.Ked

K1A1 12 105

PEMBIMBING :

dr. Yeni Haryani, M.Kes., Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017
DIFTERI

Dwi Pascawitasari, Yeni Haryani

A. PENDAHULUAN

Difteri ditandai dengan infeksi pseudomembran setempat pada saluran

pernapasan atas, yang dapat menimbulkan penyumbatan, dan oleh kerusakan

yang bersifat toksik pada organ viseral dan sistem saraf.1

Difteri dikenal ditemukan sebagai suatu sindrom klinis oleh

Bretonneau pada awal abad ke-19. Basil penyebabnya yaitu

Corynebacterium diphtheriae, ditemukan oleh Klebs pada tahun 1884, tahun

berikutnya Loeffler menunjukkan adanya peristiwa epidemiologi yang

berkaitan dengan penyakit ini dan memperlihatkan patogenesitasnya pada

hewan coba sehingga memberikan asal nama basil Klebs-Loeffler.1 Toksin

difteri ditemukan pada tahun 1890 oleh EA Von Behring. Pada tahun 1951,

Freeman menemukan gen toksin yang tidak dikodekan pada kromosom

bakteri, namun oleh fasa lisogenik yang menginfeksi semua strain

toksigenik.10 Difteri juga dapat disebabkan oleh spesies Corynebacterium

yang lain.4,5

Kasus difteri sangat jarang dijumpai dinegara maju, terutama setelah

berhasilnya program imunisasi. Namun di negara berkembang seperti di

Indonesia, kasus difteri masih sering terjadi, bahkan menjadi wabah. Di

Kabupaten Cianjur, Jawa Barat misalnya kasus difteri di laporkan setiap

tahun, sejak tahun 1994. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1994-2000

2
ditemukan 147 kasus difteri (Case Fatality Rates [CFR] 27,8%). Sebagian

besar kasus difteri dilaporkan dari puskesmas, sedangkan dari rumah sakit

dilaporkan 7 kasus per tahun. Tidak semua kasus yang dilaporkan disertai

pemeriksaan laboratorium yang memadai.2

B. DEFINISI DAN ETIOLOGI

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular.6,7

Difteri disebabkan oleh produksi toksin Corynebacterium diphtheria yang

merupakan bakteri basil gram positif, tidak bergerak, tidak membentuk

spora, pleomorfik, tidak berkapsul.4,5 Difteri juga dapat disebabkan oleh

produksi toksin dari spesies Corynebacterium yang lain yaitu C. ulcerans

dan C. pseudotuberculosis namun jarang.4,5,9 Di Eropa Barat dan Inggris,

Corynebacterium ulcerans diidentifikasi sebagai agen penyebab difteri yang

semakin meningkat, juga di Amerika Serikat.8 Pada pemeriksaan

mikroskopis, tampak bakteri berbentuk basil yang tersusun paralel

membentuk huruf “V” dan juga sering terdapat granula metakormatik.1,5

Organisme ini cenderung bercabang atau menggelung ujungnya sehingga

menimbulkan bentuk kuneiformis.1 Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak

dalam susunan palisade, bentuk L atau V atau merupakan kelompok dengan

formasi mirip huruf Cina.5 Masa inkubasi kuman 2-6 hari. Transmisi paling

sering dari orang yang sakit difteri sebelumnya atau “carier” akibat

penularan droplet.5

3
Gambar 1. Corynebacterium diphtheria14

Secara umum dikenal 4 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu

tipe gravis, intermedius, mitis, dan belfanti.1,4,5,6,9 Metode diferensiasi

regangan ini telah digantikan oleh metode molekuler (ribotyping) dan

selanjutnya oleh keseluruhan sekuens genom.5 Tipe ini dibedakan menurut

morfologi, pertumbuhan dan reaksi biokimia.1,4 Namun dipandang dari

antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen

dan mempunyai banyak tipe serologik.1,4 Semua jenis ini mengeluarkan

eksotoksin. Toksin difteri adalah suatu protein yang bersifat sitotoksik, yaitu

dengan mengganggu pembentukan protein sel.1,4,8 Kemampuan strain

Corynebacterium diphtheria menghasilkan toksin dilakukan oleh bakteriofag

lisogenik yang membawa gen pembentuk toksin. Jadi, strain yang nontoksik

bisa menjadi toksigenik melalui infeksi dengan bakteriofag yang cocok.

Toksin dapat diubah menjadi toksoid imunogenik dengan cara mengobati

dengan formalin.1 Toksin yang dihasilkan oleh keempat jenis tadi secara

kualitatif mirip, tetapi strain gravis dan intermedius menghasilkan toksin

yang lebih banyak dibanding strain mitis.1,4

4
Ciri khas Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya

memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini

merupakan suatu protein (rantai polipeptida tunggal dari 535 asam amino)

dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya, mempunyai

2 fragmen yang dihubungkan oleh Jembatan disulfida yaitu fragmen A

(amino-terminal) bersifat lebih stabil dan fragmen B (karboksi-terminal)

bersifat kurang stabil. Fragmen A menghambat sintesis protein dalam

berbagai jaringan termasuk jantung (di mana menyebabkan miokarditis) dan

saraf (dimana hal itu menyebabkan proses pelonggaran), sedangkan fragmen

B mengikat dan memfasilitasi masuk sel.5,10 Struktur Kristal toksin

homodimer difteri telah ditentukan sampai 2,5 Angstrom resolusi. Struktur

tersebut mengungkapkan molekul berbentuk Y yang terdiri dari tiga domain.

Fragmen A berisi domain C katalitik, dan fragmen B terdiri dari domain T

dan R.10

Fragmen B adalah subunit pengenal yang mendapatkan toksin masuk

ke sel inang dengan mengikat domain mirip EGF dari faktor pertumbuhan

EGF yang menyerupai heparin (HB-EGF) pada permukaan sel. Ini

menandakan sel untuk menginternalisasi toksin dalam endosom melalui

endositosis yang dimediasi reseptor. Di dalam endosome, toksin dibagi oleh

protease seperti tripsin menjadi fragmen A dan B individu. Keasaman

endosom menyebabkan fragmen B membentuk pori-pori di membran

endosom, herby mengkatalisis pelepasan fragmen A ke dalam sitoplasma sel.

Fragmen A menghambat sintesis protein baru pada sel yang terkena. Hal ini

5
dilakukan dengan mengkatalisis ADP-ribosilasi faktor pemanjangan EF-2

protein yang penting untuk tahap translasi ke sintesis protein. Ribbonilasi

ADP ini melibatkan transfer ribosom ADP dari NAD+ ke residu diphiramide

(residu histidin yang dimodifikasi) dalam protein EF-2. Karena EF-2

diperlukan untuk memindahkan tRNA dari situs A ke P-situs ribosom selama

translasi protein. ADP-ribosilasi EF-2 mencegah sintesis protein. ADP-

ribosilasi EF-2 dibalik dengan memberi dosis tinggi. Nikotinamida (bentuk

vitamin B3), karena ini adalah salah satu produk akhir reaksi, dan jumlah

yang tinggi akan mendorong reaksi ke arah yang berlawanan.10

Kemampuan suatu strain untuk membentuk / memproduksi toksin

dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh

Corynebacterium diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang

mengandung toxigene. Produksi toksin diatur oleh protein repressor toksin

difteri (DtxR) yang juga terdapat pada banyak isolate non-toksigenik. Oleh

karena itu, isolate non-toksigenik berfungsi sebagai reservoir potensial untuk

munculnya kembali isolate toksigenik jika mereka memiliki gen DtxR

fungsional dan terinfeksi dengan fasa pembawa tox gen.5

C. EPIDEMIOLOGI

Manusia adalah satu-satunga host untuk Corynebacterium

diphtheria.4,5,6,8,9 Sebaliknya, C.ulcerans dan C.pseudotuberculosis adalah

penyakit zoonis pada manusia (didapat dari hewan piaraan atau binatang

liar), walaupun penularan manusia ke manusia dari patogen ini telah

6
dilaporkan dalam beberapa kasus.5 C.pseudotuberculosis adalah pathogen

yang signifikan pada hewan, terutama domba. Transmisi C.ulcerans dari

kucing, anjing, dan babi dilaporkan telah menyebabkan difteri pada manusia.

Perjalanan ke suatu daerah tampaknya tidak menjadi faktor risiko utama

untuk mengakumulasi difteri oleh C.ulcerans. Namun, menangani hewan

perah yang terinfeksi dan mengkonsumsi susu yang terkontaminasi telah

dikaitkan dengan penyakit difteri pernapasan yang disebabkan oleh

C.ulcerans dan C.pseudotuberculosis.8 C.diphtheria bukanlah organisme

yang sangat invasif.10. C.diphtheria, C.ulcerans dan C.pseudotuberculosis

menyebar melalui droplet saluran pernapasan atau kontak langsung dengan

lesi kulit yang terinfeksi atau sekresi pernapasan atau jarang dengan kontak

barang-barang yang kotor dengan ekskresi orang yang terinfeksi, jarang

penularan melalui susu mentah.5,6,8 Peran peralatan seperti baju atau handuk

dan hewan dapat diabaikan. Kedekatan dan lama kontak dengan pasien

difteri atau pasien carier merupakan penentu penting penyebaran infeksi.

Akibatnya, laju serangan penyakit di rumah tangga dan di pemukiman padat

sangat tinggi.1

Difteri dapat terjadi pada orang yang mendapatkan imunisasi lengkap,

imunisasi tidak lengkap/sebagian dan yang tidak mendapatkan imunisasi

sama sekali. Namun, penyakit biasanya kurang parah pada mereka yang

sebagian atau sepenuhnya diimunisasi.4,9 Orang yang mendapatkan imunisasi

lengkap biasanya carier asimtomatik atau mempunyai gejala sakit

tenggorokan yang ringan.9

7
Difteri endemik di banyak belahan dunia.4,9 dan dapat terjadi setiap

waktu sepanjang tahun, meskipun paling sering di musim dingin.1 Gejala

pernapasan pada difteri paling banyak terjadi pada musim gugur dan musim

dingin., namun epidemik musim panas dapat terjadi di daerah beriklim

hangat dimana infeksi kulit lazim terjadi.1,4,9

Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang anak usia 5-7 tahun.5,13

Laki-laki menyumbang 60% kasus.5 Kasus difteri terjadi pada usia antara 4-

41 tahun (rerata 10 tahun).5 Semua golongan umur dapat terinfeksi oleh

bakteri C. diphtheria, namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia

kurang dari 15 tahun dan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Jarang

ditemukan pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan dikarenakan, adanya

imunitas pasif melalui plasenta dari ibunya. Bahkan juga jarang pada usia di

atas 10 tahun.8,13 Kasus difteri pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa

faktor risiko seperti status gizi anak, status imunisasi yang tidak lengkap,

serta adanya riwayat kontak dengan penderita.11,13

Sumber C.diphtheriae di nasofaring adalah sumber utama infeksi baru,

tetapi lesi kulit juga dapat menjadi reservoir. Pada tempat dengan iklim

bermusim, lesi kulit difteri berupa ulkus superfisial yang tidak terlalu

bermakna yang menyerupai impetigo. Orang yang mempunyai lesi kulit

umumnya tidak memperlihatkan manifestasi toksik, tetapi lesi ini secara

epidemiologi penting sebagai sumber penyakit saluran pernapasan yang

baru.1

8
Tanpa pengobatan, orang sehat pembawa infeksi dinasofaring dapat

memiliki kolonisasi selama berminggu-minggu; laju penurunan pembawaan

ini kira-kira 5% sehari.1 Pada orang yang tidak diobati, bakteri ada pada

hidung, tenggorokan dan mata serta lesi kulit terjadi selama 2-6 minggu

setelah infeksi. Pada orang yang mendapat pengobatan dengan antimikroba

yang tepat biasanya menular selama kurang dari 4 hari.8,9 Sedangkan pada

orang carier asimtomatik dapat menularkan organisme selama 6 bulan atau

lebih.8

Insidensi difteri berbanding terbalik dengan persentase orang yang

kebal di daerah itu. Difteri tetap merupakan penyakit yang umum di negara-

negara tanpa program imunisasi yang efektif. Di Amerika Serikat, insiden

difteri menurun secara dramatis sejak tahun 1950, dan terutama selama

1960-an saat dilaksanakannya usaha imunisasi yang agresif. Sejak tahun

1980 dilaporkan kurang dari 5 pasien per tahun. Bersamaan dengan itu,

difteri beralih dari penyakit anak menjadi penyakit orang dewasa. Namun,

kemungkinan wabah berlanjut bila masyarakat tidak diimunisasi. Hal ini

dilihat dari pecahnya wabah di San Antonio, Texas tahun 1970, yang

mengenai 196 pasien, terutama anak kulit hitam dan Spanyol yang tidak

diimunisasi, dengan laju serangan penyakit sekitar 45 per 100.000,

sedangkan pada populasi kulit putih non Spanyol dalam masyarakat yang

sama hanya 4 per 100.000. Epidemik besar terjadi di Rusia pada tahun 1993

merupakan peringatan adanya wabah potensial saat angka imunisasi

menurun.1

9
Di Indonesia difteri tersebar merupakan masalah kesehatan berbasis

lingkungan yang tersebar di seluruh dunia. Di Asia Tenggara (South East

Asia Regional Office) pada tahun 2010 Indonesia negara kedua tertinggi

yaitu terdapat 385 kasus difteri setelah negara India dengan kasus 3123 dan

yang ketiga tertinggi adalah negara Nepal 146. Sedangkan kasus difteri

tertinggi pertama di dunia tahun 2011 adalah India dengan 3485 kasus.13,15

Tabel 1. Jumlah kasus difteri di dunia tahun 201015

Negara Jumlah Kasus


Bangladesh 27
Brazil (10) 32
Cambodia 3
Dominician Republic 4
Eritrea 3
Ghana (7) 47
India (1) 3123
Indonesia (2) 385
Iran (5) 106
Iraq 2
Lao Republic Democratic Republic (9) 34
Latvia 2
Malaysia 3
Myanmar 4
Nepal (3) 146
Pakistan (8) 37
Filipina (4) 107
Thailand (6) 65
Sudan 1
Turkmenistan 2
Ukraina 17
United Arab Emirates 1
Vietnam 6
Yemen 7

10
Pada tahun 2011, jumlah kasus difteri di Indonesia tersebar 18 provinsi

dengan total 811 kasus dengan 38 orang meninggal yaitu Porvinsi Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,

Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa

Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Bali. Pada

tahun 2014, jumlah kasus difteri sebanyak 296 kasus dengan jumlah kasus

meninggal sebanyak 16 orang dengan nilai CFR disteri sebesar 40%. Dari 22

provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di

Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 295 kasus yang berkontribusi sebesar

74%. Dari total kasus tersebut, sebanyak 37% tidak mendapatkan vaksin

campak. Kasus difteri meningkat setiap tahunnya di Provinsi Jawa Timur

yang tersebar di kabupaten/kota yang dengan angka kematian yang cukup

tinggi. KLB difteri ditetapkan di Jawa Timur.13

Di Sulawesi Tenggara tahun 2013 kasus difteri ditemukan di

Kabupaten Kolaka sebanyak 1 kasus pada perempuan dan dilaporkan

meninggal dengan CFR kasus difteri tahun 2013 mencapai 100%.3

Pemahaman mengenai difteri dan hal apa saja yang perlu diperhatikan

sebagai faktor risiko penyebab difteri anak masih sangat terbatas bagi tenaga

kesehatan terutama dalam hal mendiagnosis suatu penyakit diperlukan

pemeriksaan yang tepat. Apabila terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis

maka akan menyebabkan pula terlambatnya penanganan medis akibatnya

akan timbul komplikasi klinik yang fatal bahkan menyebabkan kematian.13

11
Gambar 2. Kasus difteri yang dilaporkan, cakupan DTP3, tahun 1980-201516

D. PATOFISIOLOGI

Setelah kolonisasi di faring, C.diphtheria tetap berada dilapisan

superfisial mukosa pernapasan atau lesi kulit dimana bisa menginduksi

reaksi inflamasi ringan jaringan lokal.5,10 Virulensi utama hasil C.diphtheria

berasal dari tindakan eksotoksin potennya, yang menghambat sintesis protein

pada sel manusia.10

Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, toksin

diuraikan secara lokal menginduksi koagulum nekrotik padat yang terdiri

dari fibrin, leukosit, eritrosit, sel epitel saluran pernapasan yang mati dan

organisme.10 Toksin difteri menyebabkan nekrosis jaringan lokal yang

menyebabkan radang, ulserasi dan edema jaringan yang terkena, dan

menghasilkan pembentukan pseudomembran klasik.5 Lesi pseudomembran

umumnya ditemukan pada membran mukosa faring, tonsil, dan uvula dan

lebih jarang di hidung, laring dan saluran pernapasa bawah. Kadang-kadang

12
proses meluas ke telinga tengah atau ke esophagus dan lambung; lesi ini juga

dapat mengenai kulit atau mukosa organ kelamin. Pseudomembran terdiri

dari epitel nekrotik yang tertanam dalam eksudat peradangan yang

menggumpal di permukaan. Perubahan inflamatorik ditemukan pada epitel

landasan yang hidup, dan bisa meluas ke submukosa, tempat manifestasi

perdarahan dapat terjadi. Basil tetapi tunggal di permukaan lesi; hanya pada

keadaan perkecualian hasil ini menginvasi struktur lebih dalam dan lebih

jarang lahi basil yang menimbulkan bacteremia. Akan tetapi, toksin diserap

dari lesi setempat, sehingga menimbulkan kerusakan di jaringan dan organ

yang letaknya jauh.1

Selain itu, toksin difteri dapat diserap ke dalam aliran darah,

menyebabkan berbagai efek sistemik.5 Efek toksin terjadi pada semua sel di

dalam tubuh, namun paling menonjol pada jantung (miokarditis), saraf

(demyelinating neuritis perifer) dan ginjal (nekrosis tubular).5,6,10 Jarang,

C.diphtheria dapat tersebarluas dari saluran pernapasan atau kulit untuk

menyebabkan infeksi sistemik jauh, termasuk bakteriemia, endocarditis dan

artritis septik.5

Miokarditis lazim terjadi, perubahannya bersifat degenerative dan

bukan peradangan. Dapat terjadi sedikit perdarahan dan pada beberapa

pasien disertai dengan infiltrasi sel bulat. Sistem penghantaran dijantung

sering dikenai. Fungsi hati dapat terganggu sampai derajat tertentu. Ginjal

umumnya memperlihatkan pembengkakan berkabut, sel epitel granular

tubule kontortus membengkak. Bisa terjadi nefritis interstisial. Lesi korteks

13
adrenal yang mirip dengan lesi pada meningokoksemia sering ditemukan

pada infeksi yang fatal. Perubahan degenerative sistem saraf terjadi pada

hampir semua infeksi yang bersifat fatal. Di medulla spinalis, lesi terjadi di

sel ganglion kornu anterior dan ganglion akar posterior. Nervus kranialis dan

pusatnya dapat dikenai, tetapi korteksi tidak. Lesi lain yang ditemukan ialah

perubahan degenerative di limpa dan nodus limfatikus; kadang-kadang

terjadi perdarahn di bawah kapsul. Tidak jarang juga terjadi perdarahan

bawah kulit.1

Orang dengan difteri pernapasan menular selama penyakit, tetapi

mungkin juga menular selama masa inkubasi (bila tidak bergejala), dan

terkadang juga selama masa penyembuhan (saat carier bisa berlangsung

beberapa minggu). Orang sehat mungkin juga sebagai carier nasofaring

asimtomatik dari Corynebacterium toksigenik. Orang carier dapat

dieradikasi dengan pemberian antibiotic yang tepat.5 Difteri kulit (kutaneus)

lebih memungkinkan menularkan daripada difteri pernapasan dan dapat

menyebabkan infeksi pernapasan dan kutaneus sekunder dan bahkan

mungkin menjadi sumber wabah.5,8 Lesi kulit tampak penting dalam

penularan penyakit di daerah beriklim hangat atau dalam kondisi hygiene

yang buruk.8

14
E. MANIFESTASI KLINIS7,10

Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteri,

virulensi serta toksigenitas Corynebacterum diphteriae dan lokasi penyakit

secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan

penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa inkubasi

untuk difteri pernapasan biasanya 2-7 hari, namun berkisar 1-10 hari.4,5,7,8

dengan perjalanan penyakit bersifat insidious (perlahan-lahan) dimulai

dengan gejala yang tidak spesifik. Pasien pada umumnya datang berobat

setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi

38,ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit

difteri.

1. Difteria Hidung

Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala

klinis pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret

hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen

menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak

membran putih pada daerah septum nasi. Absorsi toksin sangat

lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis

lambat dibuat.

2. Difteria Tonsil Faring

Gejala difteri tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan

nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,

berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas

15
ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea.

Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis

terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul

bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan

luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau

sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun

bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,

kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus

sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai

penyulit miokarditis dan neuritis. Pada kasus ringan, membran akan

terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Gambar 3. Pseuomembran dan bull neck19

3. Difteri Laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri

primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring

mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring

16
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala

klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups

yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan

batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi

suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan

membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.

Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan

trakeobrongkial.Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari

difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala

obsruksi dan toksemia

4. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtifa dan Telinga merupakan tipe

difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di

kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan

cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva

berupa kemerahan, oedem dan membran pada konjungtiva palpebra.

Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

F. DIAGNOSIS4,5

Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan

pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman difteri

dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat

adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun

17
untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi

Corynebacterum diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler,

dilanjutkan dengan test oksinogenesitas secara in vivo (marmut) dan in vitro

(tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu

menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal

dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.

Tabel 2. Tahap Pengambilan Spesimen untuk Isolasi4

Apus Tenggorokan 1. Faring harus terlihat jelas dan baik-diterangi.


2. Lidah di tekan dengan aplikator dan usap
tenggorokan tanpa menyentuh lidah atau
bagiandalampipi. Tenggorokan penyeka
3. Gosok dengan penuh semangat atas setiap
membran, bintik-bintik putih, atau daerah
meradang; sedikit tekanan dengan gerakan
berputar harus diterapkan untuk kapas.
4. Jika ada membran hadir, angkat tepi dan swab
bawahnya untuk mencapai bagian organisme
berada. Sebagian dari membran juga dapat
diajukan untuk pengujian.
Spesimen Nasofaring 1. Masukkan sikat ke hidung melalui satu lubang
hidung di luar nares anterior.

2. Perlahan kenakan swab di sepanjang lantai


rongga hidung, di bawah tengah turbinate

18
sampai dinding faring tercapai. Angkatan tidak
boleh digunakan untuk mengatasi halangan.
Biarkan dioleskan selama sepuluh detik.
Prosedur ini bisa menyebabkan batuk dan
robek. Usap secara perlahan.

Untuk PCR, spesimen harus diambil


bersamaan dengan yang digunakan untuk
pembiakan. Tempatkan penyeka di tabung
steril, kering atau vial.

3. Segera kirim di + 4°C (dengan kemasan dingin


dalam wadah steril atau dalam sachets silika
gel), sehingga spesimen sampai di
laboratorium sesegera mungkin setelah
pengumpulan.
Kulit dan Lesi Lain 1. Lesi harus dibersihkan dengan cairan steril,
normal, dan bahan berkerak harus dilepas.
2. Tekan sikat dengan kuat ke dalam lesi.

Tabel 3. Tahap Pemeriksaan Laboratorium untuk difteri4

19
Bagan 1. Algoritma untuk Diagnosis, Pengobatan dan Follow up Suspek

Kasus Difteri dan Kontak Infeksi4,6

20
KRITERIA DIAGNOSIS

Anamnesis

a. Kontak dengan penderita difteri

b. Suara serak

c. Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas

d. Demam tak begitu tinggi

Pemeriksaan Fisik

a. Tonsilitis, faringitis, rhinitis

b. Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)

c. Sangat penting untuk diagnosis ditemukannya membrane pada tempat

berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat

Laboratorium

a. Hitung leukosit darah tepi dapat meningkat

b. Kadang-kadang timbul anemia

c. Protein likuor pada neuritis difteria sedikit meningkat

d. Urea N darah dapat nekrosis tubular akut dapat meningkat

e. Diagnosis pasti : Kuman difteri pada sediaan langsung/biakan (+)

G. DIAGNOSIS BANDING7

1. Difteri Hidung: rhinorrhea (common cold), sinusitis, adenoiditis), bend

hidung, snuffles (lues kongenital)

2. Difteri Faring: tonsillitis, membranosa akut yang disebabkan oleh

(tonsillitis akut septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis

21
membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood

dyscrasia pasca tonsilektomi

3. Difteri Laring: laryngitis dapat menyerupai infectious croups yang lain

yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring dan benda

asing dalam laring.

4. Difteri Kulit: impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh

streptokokus dan stafilokokus

H. PENATALAKSANAAN4,5,6

Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah

penularan, serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.

Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2-3 minggu.

1. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama

bila terjadi miokrditis

2. Oksigen bila sesak nafas

3. Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan

kalori tinggi

22
4. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta

dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.

5. Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat

6. Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus berat

selama 14 hari.

Khusus

1. Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difter.

Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh

karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi

anafilaktik maka harus tersedia larutan Adrenalin 1:1000 dalam semprit.

Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan

garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20

menit terjadi indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan

meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam faali. Pada mata

yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak

gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.

Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara

desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas

negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis serum

anti difteri ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak

tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-

23
120.000 KI. Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo

disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :

a. 20.000 KI i.m. untuk difteri ringan (hidung, kulit, konjungtiva).

b. 40.000 KI i.v. untuk difteri sedang (pseudomembran terbatas pada

tonsil, difteri laring).

c. 100.000 KI i.v. untuk difteri berat (pseudomembran meluas ke luar

tonsil, keadaan anak yang toksik, disertai "bullneck", disertai

penyulit akibat efek toksin).

Literatur lain mengatakn dosis yang diberikan seperti:

a. Difteri hidung/faring ringan 40.000 U

b. Difteri faring 60.000-80.000 U

c. Difteri faring berat/laring dengan bull neck 100.000 120.000 U

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam

larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap

kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin

dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya

reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

2. Antibiotik

Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk

menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000

KI/BB/hari selama 7-10 hari atau 25.000 – 50.000 U/kgbb/hari intra

muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari

berturut-turut negative (-).

24
Tabel 4. Pengobatan Antibiotik untuk Difteri5

Parenteral Penisilin G Eritromisin Keterangan


Anak 50.000 U/kg/dosis 15-25 mg/kg/dosis Dapat beralih dari
IV 12 jam 6 jam IV terapi parenteral ke
(maksimum 1g per terapi oral secepat
dosis) mungkin saat sudah
Dewasa 50.000 U/kg/dosis 15-20 mg/kg/hari dapat menelan
(maksimum 1,2jt (maksimum4g per
U per dosis) IV 12 dosis) terbagi
jam dalam 4 dosis, tiap
6 jam
Oral Penisilin G Makrolid
Eritromisin Asitromisin
Anak 15 mg/kg/dosis 15-25 mg/kg/dosis 10 mg/kg per hari
(maksimum 500 6 jam IV
mg per dosis) per 6 (maksimum 1g per
jam dosis)
Dewasa 500 mg per 6 jam 500 mg – 1g per 6 1. per hari
jam (maksimum
4g/hari)

Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 - 50 mg/kg/hari, di bagi

dalam 4 dosis maksimal 2gr/hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam

selama 14 hari.

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini

pada difteri. Di Ruang Menular Anak RSUD dr. Soetomo kortikosteroid

25
diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian

atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

Pengobatan penyulit

Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar hemodinamika

penderita tetap baik oleh karena penyakit yang disebabkan oleh toksin pada

umumnya reversibel.

Pengobatan Carier

Carier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan mempunyai

reaksi. Schick negative tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan atau

eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan

tonsilektomi/adenoidektomi.

Pengobatan yang diberikan adalah Penisilin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntkan atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

I. PENCEGAHAN

Hal penting yang perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan adalah

memelihara kualitas vaksin, memperkuat program imunisasi lebih lanjut

dengan norma yang lebih ketat untuk dokumentasi sejarah vaksinasi,

meningkatkan cakupan vaksin dan memberikan kekebalan seumur hidup

dianjurkan.12

Kejadian luar biasa yang terjadi di Jawa Timur dan secara sporadik di

daerah lain (Pontianak dan Banjarmasin) merupakan indikator bahwa

26
program imunisasi nasional tidak mencapai sasaran. Oleh karena itu, dalam

menghadapi dan mengatasi masalah difteri, kita harus memperbaiki

pelaksanaan program imunisasi secara menyeluruh. Hal tersebut penting

untuk mendapat perhatian yang serius dari semua kalangan kesehatan,

khususnya dokter spesialis anak. Upaya pencegahan harus dilakukan

bersama-sama dengan tindakan deteksi dini kasus, pengobatan kasus,

rujukan ke rumah sakit, mencegah penularan, dan memberantas karier.

Upaya pencegahan dapat ditujukan kepada anggota IDAI dan kepada

masyarakat. Edukasi mengenai imunisasi harus senantiasa diberikan oleh

setiap petugas kesehatan pada setiap kesempatan bertemu orang tua pasien.

Seluruh anggota IDAI diharapkan turut berpartisipasi aktif dalam

memberantas difteri dan meningkatkan cakupan imunisasi DPT.17

Gambar 4. Jadwal Imunisasi18

27
Karena serangan difteri tidak menimbulkan kekebalan antitoksik yang

nyata, pasien yang telah pulih harus mendapat toksoid difteri. Tes Shick dan

Maloney untuk kekebalan pada dasarnya menarik secara sejarah;

kenyataannya sulit mendapatkan bahan untuk pemeriksaan Shick. Pada tes

Shick, dilihat adanya reaksi terhadap suntikan intradermal toksin difteri dan

terhadap bahan kontrol yang dipanaskan. Terlihat suatu reaksi positif berupa

eritema dalam 48 jam dan maksimal dalam 5-7 hari. Reaksi palsu. Tes yang

positif menunjukkan kerentanan terhadap toksin dan tes yang negatif

menandakan kekebalan. Tes Maloney terdiri atas penyuntikan intradermal

0,1 ml, larutan toksoid cairan difteri 1:100. Eritema yang timbul dalam 24

jam menunjukkan kekebalan. Bayi baru lahir mempunyai kekebalan

sementara dari antibodi ibu bila ibu imun. Semua bayi secara rutin harus

diimunisasi dengan jadwal yang dianjurkan oleh Komite Penyakit infeksi

dari American Academy of Pediatrics. Dosis buster toksoid difteri sebaiknya

diberikan setiap 10 tahun.1

Tabel 5. Vaksin yang tersedia untuk Difteri5

28
Tabel 6. Jadwal DTaP untuk anak < 7 tahun4

Tabel 7. Jadwal DTaP untuk anak > 7 tahun4

J. PROGNOSIS1

Secara keseluruhan, angka kematian adalah sekitar 10%, tetapi

prognosis bergantung pada jenis penyakit, usia dan keadaan umum pasien,

serta jarak antara serangan penyakit dengan terapi antitoksin. Lebih dari

sepuluh pasien dengan difteri leher lembu meninggal meskipun diberikan

perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis atau

gagal ginjal pada perjalanan penyakit yang dini.

Bila pasien ditangani dengan fasilitas perawatan intensif, kematian

akibat sumbatan saluran napas kecil kemungkinannya, kecuali bila

pseudomembran meluas ke bronkus.

29
Sesudah sembuh dari penyakit akut, pasien masih mempunyai risiko

mengalami kelumpuhan atau miokarditis yang timbul lambat.

Tidak ada gejala yang bisa menetap akibat difteri kecuali bila terjadi

kerusakan yang bersifat anoksik.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Rudolph, Abraham M, Julien Hoffman dan Colin D. Rudolph. 2014. Buku


Ajar Pediatri Rudolp Volume 1 Edisi 20. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
2. Handayani, Sarwo. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI. 2012. Vol.39. No.3
3. Tombili Asrum, dkk. 2014. Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara Tahun
2013. Kendari: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara
4. Massachusetts Department of Public Health, Bureau of Communicable
Disease Control. Diphtheria. June 2006. Page 175 to 189.
5. National Institute For Communicable Disease. Diphtheria: NICD
recommendations for diagnosis, management and public health response.
March 2016. Page 1 to 19.
6. Kansas Disease Investigation Guidelines. Diphtheria Disease Management
and Investigation Guidelines. 2009. Page 1 to 9
7. Washington State Department of Health. Diphtheria. April 2016. Page 1 to
12. Reporting and Surveillance Guidelines
8. Communicable Disease Management Protocol. Diphtheria. August 2016.
Manitoba Public Health Branch
9. Missouri Department of Health and Senior Services DHSS Communicable
Disease Investigation Reference Manual. Diphtheria. 2013. California
10. Mustafa, Murtaza et al. Diphtheria: Clinical Manifestation, Diagnosis, and
Role of Immunization In Prevention. Journal of Medicine and Health Science
Malaysia University, Sabah, Kinabalu City. August 2016. Page 71 to 76.
11. Patil, Narendra et al. Investigating Diphtheria Outbreak: A Qualitative Study
In Rural Area. Journal of Medicine Science and Public Health. Tata Institute
of Social Sciences, Mumbai, Maharashtra, India. 2014. Vol. 3. Page 513 to
516.

31
12. Parande, Mahantesh V. et al. Diphtheria outbreak in rural North Karnataka.
Journal of Indian Council of Medical Research. Belgaum, Karnataka, India.
Published by SGM. 2014. Page 1 to 3.
13. Arifin, Isnaniyanti Fajrin dan Corie Indria Prasasti. Faktor yang
Berhubungan dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan Tahun
2016. Jurnal Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya. April 2017. Hal. 26 sampai 36.
14. Centers for Disease Control and Prevention. Diphtheria. 2016. Diakses
tanggal 2 Juli 2017 https://www.cdc.gov/diphtheria/about/photos.html
15. World Helath Organizaton. 2012. World Health Statistics. Switzerland.
WHO Press.
16. World Health Organization. Diphtheria Global annual reported cases and
DTP3 coverage. 2016. Diakses tanggal 8 Juli 2017
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/diphtheri
a/en/
17. IDAI. Kejadian Luar Biasa Difteri. Diakses tanggal 10 Juli 2017
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-
indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri
18. Jadwal Imunisasi 2017. Diakses tanggal 10 Juli 2017.
http://www.drrina.id/article/kapan-bayi-prematur-diberi-imunisasi-
19. Microbioloy. Difteri Toksin. Diakses tanggal 8 Juli 2017.
http://www.wwnorton.com/college/biology/microbiology2/ch/25/etopics.asp
x

32

Anda mungkin juga menyukai