DIFTERI
PENYUSUN :
K1A1 12 105
PEMBIMBING :
KENDARI
2017
DIFTERI
A. PENDAHULUAN
difteri ditemukan pada tahun 1890 oleh EA Von Behring. Pada tahun 1951,
yang lain.4,5
tahun, sejak tahun 1994. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1994-2000
2
ditemukan 147 kasus difteri (Case Fatality Rates [CFR] 27,8%). Sebagian
besar kasus difteri dilaporkan dari puskesmas, sedangkan dari rumah sakit
dilaporkan 7 kasus per tahun. Tidak semua kasus yang dilaporkan disertai
formasi mirip huruf Cina.5 Masa inkubasi kuman 2-6 hari. Transmisi paling
sering dari orang yang sakit difteri sebelumnya atau “carier” akibat
penularan droplet.5
3
Gambar 1. Corynebacterium diphtheria14
eksotoksin. Toksin difteri adalah suatu protein yang bersifat sitotoksik, yaitu
lisogenik yang membawa gen pembentuk toksin. Jadi, strain yang nontoksik
dengan formalin.1 Toksin yang dihasilkan oleh keempat jenis tadi secara
4
Ciri khas Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya
merupakan suatu protein (rantai polipeptida tunggal dari 535 asam amino)
dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya, mempunyai
dan R.10
ke sel inang dengan mengikat domain mirip EGF dari faktor pertumbuhan
Fragmen A menghambat sintesis protein baru pada sel yang terkena. Hal ini
5
dilakukan dengan mengkatalisis ADP-ribosilasi faktor pemanjangan EF-2
ADP ini melibatkan transfer ribosom ADP dari NAD+ ke residu diphiramide
vitamin B3), karena ini adalah salah satu produk akhir reaksi, dan jumlah
difteri (DtxR) yang juga terdapat pada banyak isolate non-toksigenik. Oleh
C. EPIDEMIOLOGI
penyakit zoonis pada manusia (didapat dari hewan piaraan atau binatang
6
dilaporkan dalam beberapa kasus.5 C.pseudotuberculosis adalah pathogen
kucing, anjing, dan babi dilaporkan telah menyebabkan difteri pada manusia.
lesi kulit yang terinfeksi atau sekresi pernapasan atau jarang dengan kontak
penularan melalui susu mentah.5,6,8 Peran peralatan seperti baju atau handuk
dan hewan dapat diabaikan. Kedekatan dan lama kontak dengan pasien
sangat tinggi.1
sama sekali. Namun, penyakit biasanya kurang parah pada mereka yang
7
Difteri endemik di banyak belahan dunia.4,9 dan dapat terjadi setiap
pernapasan pada difteri paling banyak terjadi pada musim gugur dan musim
Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang anak usia 5-7 tahun.5,13
Laki-laki menyumbang 60% kasus.5 Kasus difteri terjadi pada usia antara 4-
bakteri C. diphtheria, namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia
kurang dari 15 tahun dan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Jarang
imunitas pasif melalui plasenta dari ibunya. Bahkan juga jarang pada usia di
faktor risiko seperti status gizi anak, status imunisasi yang tidak lengkap,
tetapi lesi kulit juga dapat menjadi reservoir. Pada tempat dengan iklim
bermusim, lesi kulit difteri berupa ulkus superfisial yang tidak terlalu
baru.1
8
Tanpa pengobatan, orang sehat pembawa infeksi dinasofaring dapat
ini kira-kira 5% sehari.1 Pada orang yang tidak diobati, bakteri ada pada
hidung, tenggorokan dan mata serta lesi kulit terjadi selama 2-6 minggu
yang tepat biasanya menular selama kurang dari 4 hari.8,9 Sedangkan pada
lebih.8
kebal di daerah itu. Difteri tetap merupakan penyakit yang umum di negara-
difteri menurun secara dramatis sejak tahun 1950, dan terutama selama
1980 dilaporkan kurang dari 5 pasien per tahun. Bersamaan dengan itu,
difteri beralih dari penyakit anak menjadi penyakit orang dewasa. Namun,
dilihat dari pecahnya wabah di San Antonio, Texas tahun 1970, yang
mengenai 196 pasien, terutama anak kulit hitam dan Spanyol yang tidak
sedangkan pada populasi kulit putih non Spanyol dalam masyarakat yang
sama hanya 4 per 100.000. Epidemik besar terjadi di Rusia pada tahun 1993
menurun.1
9
Di Indonesia difteri tersebar merupakan masalah kesehatan berbasis
Asia Regional Office) pada tahun 2010 Indonesia negara kedua tertinggi
yaitu terdapat 385 kasus difteri setelah negara India dengan kasus 3123 dan
yang ketiga tertinggi adalah negara Nepal 146. Sedangkan kasus difteri
tertinggi pertama di dunia tahun 2011 adalah India dengan 3485 kasus.13,15
10
Pada tahun 2011, jumlah kasus difteri di Indonesia tersebar 18 provinsi
dengan total 811 kasus dengan 38 orang meninggal yaitu Porvinsi Sumatera
Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
tahun 2014, jumlah kasus difteri sebanyak 296 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 16 orang dengan nilai CFR disteri sebesar 40%. Dari 22
Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 295 kasus yang berkontribusi sebesar
74%. Dari total kasus tersebut, sebanyak 37% tidak mendapatkan vaksin
Pemahaman mengenai difteri dan hal apa saja yang perlu diperhatikan
sebagai faktor risiko penyebab difteri anak masih sangat terbatas bagi tenaga
11
Gambar 2. Kasus difteri yang dilaporkan, cakupan DTP3, tahun 1980-201516
D. PATOFISIOLOGI
dari fibrin, leukosit, eritrosit, sel epitel saluran pernapasan yang mati dan
umumnya ditemukan pada membran mukosa faring, tonsil, dan uvula dan
12
proses meluas ke telinga tengah atau ke esophagus dan lambung; lesi ini juga
perdarahan dapat terjadi. Basil tetapi tunggal di permukaan lesi; hanya pada
keadaan perkecualian hasil ini menginvasi struktur lebih dalam dan lebih
jarang lahi basil yang menimbulkan bacteremia. Akan tetapi, toksin diserap
menyebabkan berbagai efek sistemik.5 Efek toksin terjadi pada semua sel di
artritis septik.5
sering dikenai. Fungsi hati dapat terganggu sampai derajat tertentu. Ginjal
13
adrenal yang mirip dengan lesi pada meningokoksemia sering ditemukan
pada infeksi yang fatal. Perubahan degenerative sistem saraf terjadi pada
hampir semua infeksi yang bersifat fatal. Di medulla spinalis, lesi terjadi di
sel ganglion kornu anterior dan ganglion akar posterior. Nervus kranialis dan
pusatnya dapat dikenai, tetapi korteksi tidak. Lesi lain yang ditemukan ialah
bawah kulit.1
mungkin juga menular selama masa inkubasi (bila tidak bergejala), dan
yang buruk.8
14
E. MANIFESTASI KLINIS7,10
secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan
penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa inkubasi
untuk difteri pernapasan biasanya 2-7 hari, namun berkisar 1-10 hari.4,5,7,8
dengan gejala yang tidak spesifik. Pasien pada umumnya datang berobat
38,ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteri.
1. Difteria Hidung
klinis pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,
berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas
15
ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea.
terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul
luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau
3. Difteri Laring
16
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups
yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
F. DIAGNOSIS4,5
dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
17
untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.
18
sampai dinding faring tercapai. Angkatan tidak
boleh digunakan untuk mengatasi halangan.
Biarkan dioleskan selama sepuluh detik.
Prosedur ini bisa menyebabkan batuk dan
robek. Usap secara perlahan.
19
Bagan 1. Algoritma untuk Diagnosis, Pengobatan dan Follow up Suspek
20
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
b. Suara serak
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium
G. DIAGNOSIS BANDING7
21
membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood
H. PENATALAKSANAAN4,5,6
Umum
1. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama
3. Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan
kalori tinggi
22
4. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
selama 14 hari.
Khusus
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam faali. Pada mata
yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak
23
120.000 KI. Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo
2. Antibiotik
muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari
24
Tabel 4. Pengobatan Antibiotik untuk Difteri5
selama 14 hari.
3. Kortikosteroid
25
diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian
Pengobatan penyulit
penderita tetap baik oleh karena penyakit yang disebabkan oleh toksin pada
umumnya reversibel.
Pengobatan Carier
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan atau
tonsilektomi/adenoidektomi.
I. PENCEGAHAN
dianjurkan.12
Kejadian luar biasa yang terjadi di Jawa Timur dan secara sporadik di
26
program imunisasi nasional tidak mencapai sasaran. Oleh karena itu, dalam
setiap petugas kesehatan pada setiap kesempatan bertemu orang tua pasien.
27
Karena serangan difteri tidak menimbulkan kekebalan antitoksik yang
nyata, pasien yang telah pulih harus mendapat toksoid difteri. Tes Shick dan
Shick, dilihat adanya reaksi terhadap suntikan intradermal toksin difteri dan
terhadap bahan kontrol yang dipanaskan. Terlihat suatu reaksi positif berupa
eritema dalam 48 jam dan maksimal dalam 5-7 hari. Reaksi palsu. Tes yang
0,1 ml, larutan toksoid cairan difteri 1:100. Eritema yang timbul dalam 24
sementara dari antibodi ibu bila ibu imun. Semua bayi secara rutin harus
28
Tabel 6. Jadwal DTaP untuk anak < 7 tahun4
J. PROGNOSIS1
prognosis bergantung pada jenis penyakit, usia dan keadaan umum pasien,
serta jarak antara serangan penyakit dengan terapi antitoksin. Lebih dari
perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis atau
29
Sesudah sembuh dari penyakit akut, pasien masih mempunyai risiko
Tidak ada gejala yang bisa menetap akibat difteri kecuali bila terjadi
30
DAFTAR PUSTAKA
31
12. Parande, Mahantesh V. et al. Diphtheria outbreak in rural North Karnataka.
Journal of Indian Council of Medical Research. Belgaum, Karnataka, India.
Published by SGM. 2014. Page 1 to 3.
13. Arifin, Isnaniyanti Fajrin dan Corie Indria Prasasti. Faktor yang
Berhubungan dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan Tahun
2016. Jurnal Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya. April 2017. Hal. 26 sampai 36.
14. Centers for Disease Control and Prevention. Diphtheria. 2016. Diakses
tanggal 2 Juli 2017 https://www.cdc.gov/diphtheria/about/photos.html
15. World Helath Organizaton. 2012. World Health Statistics. Switzerland.
WHO Press.
16. World Health Organization. Diphtheria Global annual reported cases and
DTP3 coverage. 2016. Diakses tanggal 8 Juli 2017
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/diphtheri
a/en/
17. IDAI. Kejadian Luar Biasa Difteri. Diakses tanggal 10 Juli 2017
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-
indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri
18. Jadwal Imunisasi 2017. Diakses tanggal 10 Juli 2017.
http://www.drrina.id/article/kapan-bayi-prematur-diberi-imunisasi-
19. Microbioloy. Difteri Toksin. Diakses tanggal 8 Juli 2017.
http://www.wwnorton.com/college/biology/microbiology2/ch/25/etopics.asp
x
32