Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2016


UNIVERSITAS HALU OLEO

GANGGUAN PSIKOTIK AKIBAT PENGGUNAAN OPIOIDA

F11.5

PENYUSUN :

Dwi Pascawitasari

K1A1 12 105

PEMBIMBING :

dr. Junuda RAF, M.Kes., Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2016
GANGGUAN PSIKOTIK AKIBAT PENGGUNAAN OPIOIDA

Dwi Pascawitasari, Junuda RAF

A. PENDAHULUAN

Opioid telah digunakan selama sedikitnya 3.500 tahun, sebagian besar

dalam bentuk opium mentah atau larutan opium dalam alkohol. Morfin pertama

kali diisolasi tahun 1806 dan kodein pada tahun 1832. Selama satu abad

berikutnya, morfin dan kodein murni secara bertahap menggantikan opium

mentah untuk tujuan medis, meski penggunaan opium non medis (seperti untuk

merokok) masih berlangsung di beberapa belahan dunia. Kata opiate dan

opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium, Papaver somniferum, yang

mengandung sekitar 20 alkaloid opium, termasuk morfin.1

Opiat yang didapatkan alami diselundupkan ke Amerika Serikat dari

Timur Tengah dan Timur Jauh, di mana bunga opium adalah jalur utama

menghasilkan panen. Opiat alami lainnya atau opiat yang disintesis dari opiat

alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan

hydromorphone (Dilaudid). Heroin kira-kira dua kali lebih kuat dari morfin dan

opiat yang paling sering digunakan pada orang dengan gangguan berhubungan

dengan opioid.4 Yang terkenal ialah opium, morfin, heroin, kodein dan

petidin.5

Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin, menyebabkan

analgesia, mengantuk, dan perubahan mood. Walaupun pembuatan, penjualan

dan pemilikan heroin adalah ilegal di Amerika Serikat, telah dilakukan usaha

untuk membuat heroin tersedia bagi pasien dengan kanker terminal karena efek

2
analgesik dan euforiknya yang baik. Banyak orang, termasuk beberapa

pembuat undang-undang, berusaha mengubah hukum, tetapi undang-undang

tersebut telah secara berulang dibatalkan oleh Kongres Ameriksa Serikat.4

Sejumlah besar narkotik sintetik (opioid) telah dibuat, termasuk

meperidine (Demerol), methadone (Dolophine), pentazocine (Talwin), dan

propocyphene (Darvon). Methadone adalah standar emas sekarang ini dalam

pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk

mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid, dan kelas obat tersebut

adalah naloxone (Narcan), naltrexone (Trexan), nalorphine, levalorphan, dan

apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan

antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine,

butorphanol (Stadol), dan buprenorphine (Buprenex). Sejumlah penelitian telah

menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk

ketergantungan opioid.4

DSM-IV menuliskan sejumlah gangguan berhubungan dengan opioid

tetapi mempunyai kriteria spesifik hanya untuk intoksikasi opioid dan putus

opioid di dalam bagian gangguan yang berhubungan dengan opioid. Kriteria

diagnosis untuk gangguan berhubungan dengan opioid lainnya dimasukkan di

dalam bagian DSM-IV yang membicarakan secara spesifik gejala predominan

sebagai contoh, gangguan mood akibat opioid.4

DSM-V menggolongkan gangguan mental dan perilaku akibat

penggunaan zat psikoaktif menjadi beberapa bagian sesuai dengan zat

psikoaktif penyebabnya. Salah satunya, gangguan mental dan perilaku akibat

3
penggunaan opioida dibagi lagi berdasarkan kondisi klinisnya yaitu: intoksikasi

akut (F1x.0), penggunaan yang merugikan (harmful use) (F1x.1), sindrom

ketergantungan (F1x.2), keadaan putus zat (F1x.3), keadaan putus zat dengan

delirium (F1x.4), gangguan psikotik (F1x.5), sindrom amnesik (F1x.6),

gangguan psikotik residual atau onset lambat (F1x.7), gangguan mental dan

perilaku lainnya (F1x.8) dan gangguan mental dan perilaku YTT (F1x.9).3

B. DEFINISI

Gangguan psikotik akibat penggunaan zat psikoaktif merupakan

sekelompok fenomena psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah

penggunaan zat psikoaktif dan ditandai oleh halusinasi nyata (khasnya

auditorik, tetapi sering pada lebih dari satu gangguan modalitas sensorik),

kekeliruan identifikasi, waham dan/atau gagasan yang menyangkut diri sendiri

(ideas of reference) (sering yang bersifat paranoid atau kejaran), gangguan

psikomotor (excitement atau stupor) dan afek yang abnormal, yang terentang

antara ketakutan yang mencekam sampai ke ekstasi. Pada umumnya keadaan

kesadaran jernih, kecuali adanya kesadaran berkabut walaupun tidak sangat

bingung. Gangguan itu mereda setidaknya sebagian dalam sebulan dan hilang

sama sekali dalam enam bulan.2

Opioid merupakan salah satu golongan NAPZA yang sangat kuat

potensi ketergantungannya, sehingga disebut dengan julukan “horror drug”.6

Opioid digunakan secara klinis sebagai analgetik dan antitusif.7 Golongan

opioid yang paling sering disalahgunakan adalah heroin. Sedangkan di negara

Barat yang paling sering disalahgunakan adalah heroin dan morfin. Heroin di

4
Indonesia disebut: putauw (atau ‘pete’, ‘hero’ atau ‘petewe’). Heroin

merupakan opioid semi-sintetik yang berasal dari morfin. Bentuk heroin:

kristal putih yang larut dalam air. Bila heroin berwarna berarti berasal dari

kontaminannya. Ada 3 bentuk penggunaan heroin di Indonesia yaitu: (1)

dragon (atau dregi, ngedreg) uap heroin yang dipanaskan melalui aluminium

foil dihirup dengan bibir (menggunakan bong pipa dari uang kertas atau

plastik); (2) injeksi (cucauw, kipek) dengan menggunakan suntikan (yang

disebut insul, yaitu alat suntik untuk penderita kencing manis) melalui intra

venous atau intra muskuler,6 dapat menyebabkan “serbuan (rush)” perasaan

menyenangkan sementara yang kuat;7 (3) merokok: bubuk heroin dicampurkan

dengan rokok/tembakau.6

Kata opiate dan opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium,

Papaver somniferum, yang mengandung sekitar 20 alkaloid opium, termasuk

morfin.1 Yang terkenal ialah opium, morfin, heroin, kodein dan petidin.5

Opioid bisa dibagi menjadi: (1) alami, seperti morfin dan heroin

(diamorphine), yang didapatkan dari tanaman opium poppy;7 (2) sintetik,

seperti methadone dan oxycodone;6,7 (3) senyawa sintetik yang mempunyai

sifat agonis dan antagonis opioid seperti buprenorphine dan pentazocine. Nama

jalanan untuk penyalahgunaan heroin adalah smac,7 selain itu nama jalanan

heroin juga berupa ‘coklat’ (brown), horse, gear, H, junk, skag, jack.8

Dikalangan remaja opioid yang digunakan termasuk raw opium, putauw,

heroin dalam berbagai kualitas, kodein.9

5
Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat

(DSM-V) menggunakan kata “opioida” untuk mencakup “opiat”, suatu

preparat atau derivat dari opium, dan guna “opioid”, suatu narkotik sintetik

yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium.4 Bunga

madat menghasilkan antara lain opium, morfin dan heroin. Getah yang keluar

dari kepala kembang itu merupakan sumber opium, morfin dan heroin.5

Gambar 1. Bunga madat yang menghasilkan opium, morfin dan heroin 5

C. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Orang dengan ketergantungan opioid paling sering menggunakan

heroin. Menurut DSM-IV-TR, prevalensi seumur hidup penggunaan heroin

adalah sekitar 1 persen, dengan 0,2 persen pernah mengonsumsi zat tersebut

dalam tahun sebelumnya. Jumlah pengguna heroin saat ini diperkirakan antara

6
sekitar 600.000 dan 800.000. Jumlah orang yang diperkirakan menggunakan

heroin pada suatu waktu dalam kehidupan mereka (“pengguna seumur hidup”)

adalah sekitar 2 juta. Rasio pria terhadap wanita dengan ketergantungan heroin

adalah sekitar 3:1. Pengguna opioid biasanya mulai menggunakan zat pada

usia remaja dan awal 20 tahunan; saat ini, sebagian besar orang dengan

ketergantungan opioid berusia 30 tahunan sampai 40 tahunan.1,4 Menurut

DSM-IV-TR, kecenderungan ketergantungan mengalami remisi biasanya

dimulai setelah usia 40 tahun dan disebut “pendewasaan”. Namun, banyak

orang tetap tergantung opioid selama 50 tahun atau lebih. 1

Heroin adalah opiat yang paling luas digunakan pada orang dengan

ketergantungan opioid. Di tahun 1991 diperkirakan 1,3 persen populasi

Amerika Serikat telah menggunakan heroin sekurangnya satu kali. Kira-kira

500.000 orang dengan ketergantungan opioid berada di Amerika Serikat,

setengahnya berada di New York City. Di Amerika Serikat orang cenderung

mengalami pengalaman akibat opioid yang pertamanya dalam awal usia

belasan tahun atau bahkan pada usia 10 tahun. Pengenalan yang awal tersebut

ke dalam kultur obat kemungkinan terjadi di dalam masyarakat di mana

penyalahgunaan zat adalah merajalela dan di dalam keluarga di mana orangtua

adalah penyalah guna zat. Kebiasaan heroin akan menghabiskan ratusan dolar

sehari; jadi seseorang dengan ketergantungan opioid perlu mendapatkan uang

melalui tindakan kriminal dan prostitusi. Keterlibatan orang dengan

ketergantungan opioid di dalam prostitusi berperan besar dalam penyebaran

HIV sehingga perkiraan yang dapat dipercaya tidak dapat dikembangkan. 1,4

7
Angka penggunaan heroin selama hidup secara bermakna lebih tinggi

pada orang dewasa yang berusia 26 sampai 34 tahun (1,8 persen) dibandingkan

orang dewasa yang berusia 18 sampai 25 tahun (0,8 persen) atau remaja

berusia 12 sampai 17 tahun (0,3 persen).4

Antara tahun 1990 dan 1991 prevalensi penggunaan heroin selama

hidup di antara orang dewasa yang berusia 35 tahun dan lebih meningkat

secara bermakna, dari 0,7 persen menjadi 1,5 persen. Tidak ada perubahan lain

untuk kelompok usia spesifik yang bermakna secara statistik. 4

Tidak terdapat data epidemiologi yang relevan tentang gangguan

psikotik karena kondisi medis umum dan gangguan psikotik akibat zat.

Sindrom waham yang dapat menyertai kejang parsial kompleks adalah lebih

sering pada wanita daripada laki-laki.4 Lebih dari 40% penggunaan opioid

dengan ketergantungan mempunyai gangguan psikiatrik, paling sering

gangguan depresi, anxietas, bipolar.9

D. ETIOLOGI

Secara umum penyebab penyalahgunaan opioid sebagai berikut;

1. Faktor Psikososial

Ketergantungan opioid tidak terbatas pada kelas sosioekonomi

rendah, meski insiden ketergantungan opioid lebih besar pada kelompok ini

daripada kelas sosioekonomi yang lebih tinggi. Faktor sosial yang dikaitkan

dengan kemiskinan perkotaan mungkin berperan dalam ketergantungan

opioid. Kurang lebih 50 persen pengguna heroin di perkotaan adalah anak

dari orang tua tunggal atau orang tua yang bercerai dan berasal dari

8
keluarga dengan setidaknya satu anggota keluarga lain mengalami

gangguan terkait zat. Anak yang berasal dari situasi semacam ini berada

pada risiko tinggi ketergantungan opioid, terutama bila mereka juga

menunjukkan masalah perilaku di sekolah atau tanda lain gangguan

perilaku.1,4

Sejumlah pola perilaku konsisten tampaknya terutama menonjol

pada remaja dengan ketergantungan opioid. Pola ini disebut sebagai

sindrom perilaku heroin (heroin behavior syndrome): depresi yang

mendasari, sering berupa tipe agitatif dan kerap disertai gejala ansietas;

impulsivitas yang ditunjukkan dengan orientasi pasif-agresif; rasa takut

akan kegagalan; penggunaan heroin sebagai obat antiansietas untuk

menutupi perasaan rendah diri, keputusasaan, dan agresi; strategi

penyelesaian masalah yang terbatas dan rendahnya toleransi frustasi

disertai kebutuhan pemuasan segera; sensitivitas terhadap hal-hal yang

berhubungan dengan obat, dengan kesadaran yang tajam tentang hubungan

antara perasaan nyaman dan tindakan mengonsumsi zat; perasaan

impotensi perilaku yang dilawan dengan pengambilalihan sementara situasi

kehidupan dengan menggunakan zat; serta gangguan dalam hubungan

sosial dan interpersonal dengan teman sebaya yang dipertahankan dengan

pengalaman menggunakan zat bersama.1,4

2. Faktor Biologis dan Genetik

Terdapat bukti adanya faktor kerentanan yang diturunkan secara

genetik yang meningkatkan kecenderungan mengalami ketergantungan

9
obat. Kembar monozigotik lebih mungkin sama-sama mengalami

ketergantungan opioid dibanding kembar dizigotik.1

Orang dengan gangguan terkait opioid mungkin memiliki

hipoaktivitas yang ditentukan secara genetik pada sistem opiat.

Hipoaktivitas tersebut mungkin disebabkan reseptor opioid yang terlalu

sedikit atau kurang sensitif daripada kemungkinan, mengalami pelepasan

opioid endogen yang terlalu sedikit, atau mempunyai antagonis opiat

endogen yang terlalu tinggi konsentrasinya.1,4 Sejumlah penelitian

mempelajari kemungkinan tersebut.4 Predisposisi biologis terhadap

gangguan terkait opioid mungkin juga fungsi sistem neurotransmiter

menyebabkan dopaminergik maupun noradrenergik yang abnormal.1

Karena kesulitan yang ada pada penelitian gangguan berhubungan zat, data

masih terbatas; tetapi, beberapa data memang mendukung gagasan bahwa

terdapat determinan genetik untuk perkembangan gangguan berhubungan

dengan opioid.4

3. Teori Psikodinamik

Pada literatur psikoanalitik, perilaku orang yang kecanduan narkotik telah

dideskripsikan dalam istilah fiksasi libidinal, dengan regresi ke tingkat

perkembangan psikoseksual pregenital, oral, atau bahkan tingkat

perkembangan psikososial yang lebih lama. Perlunya menjelaskan

hubungan antara penyalahgunaan zat, mekanisme defense (pertahanan),

pengendalian impuls, gangguan afektif, dan mekanisme adaptif mengarah

ke pergeseran dari formulasi psikoseksual ke formulasi yang menekankan

10
psikologi ego. Patologi ego yang serius sering dianggap berkaitan dengan

penyalahgunaan zat dan dianggap mengindikasikan gangguan

perkembangan yang jelas. Masalah hubungan antara ego dan afek muncul

sebagai kunci pemecahan masalah.1,4

E. NEUROFARMAKOLOGI

Efek primer opioid diperantarai reseptor opioid, yang ditemukan pada

paruh kedua 1970-an. Reseptor opioid-µ terlibat dalam regulasi dan mediasi

analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan; reseptor opioid-ĸ

pada analgesia, diuresis, dan sedasi; serta reseptor opioid-δ, mungkin pada

analgesia.1,4,10

Reseptor Opioid terdiri dari Mu (µ), Kappa (ĸ), Delta (δ) dan Sigma

(σ). Reseptor Mu ditemukan pada batang otak dan bagian medial thalamus,

bertanggung jawab terhadap analgetik supraspinal, respiratory depression,

euforia, sedasi, penurunan motilitas gastrointestinal, physical dependence.

Reseptor Mu terdiri dari dua subtype yaitu Mu 1 dan Mu 2. Reseptor Mu

biasanya juga disebut OP3 atau MOR (morphine opioid receptors). Reseptor

Kappa ditemukan pada sistem limbic dan area encephalon lainnya, batang otak,

medulla spinalis dan bertanggung jawab terhadap analgetik spinal, sedasi,

dispnea, dependence, disforia, napas dangkal. Reseptor Kappa biasa juga

disebut OP2 atau KOR (kappa opioid receptors). Reseptor Delta ditemukan

memiliki area yang sangat luas pada otak, efeknya kurang begitu dipelajari,

namun reseptor delta bertanggung jawab terhadap adanya psikomimetik dan

11
efek disforik. Reseptor Delta biasa juga disebut OP1 atau DOR (delta opioid

receptors).10,11

Reseptor Sigma bertanggung jawab terhadap adanya psikomimetik,

efek disforik dan stress yang diinduksi depresi. Reseptor Sigma tidak lagi

dianggap reseptor opioid, tetapi sering menjadi target PCP (phencyclidine).10

Tabel 1. Reseptor opioid dan efeknya10

Gambar 2. Lokasi dari reaksi akibat penyalahgunaan opioid10

12
Pada tahun 1974, enkefalin, suatu pentapeptida endogen dengan kerja

mirip opioid telah ditemukan. Penemuan tersebut telah menyebabkan

identifikasi tiga kelas opiat endogen di dalam otak; termasuk endorfin dan

enkephalin. Endorfin terlibat dalam transmisi neural dan berperan untuk

menekan rasa nyeri. Zat ini dilepaskan secara alami dalam tubuh ketika

seseorang terluka secara fisik dan sebagian berperan pada tidak adanya rasa

nyeri selama cedera akut.1,4

Opioid juga memiliki efek signifikan terhadap sistem dopaminergik dan

noradrenergik. Beberapa jenis data menyatakan bahwa sifat adiktif rewarding

dan menyenangkan dari opiate dan opioid diperantarai melalui aktivasi neuron

dopaminergik area tegmental ventral yang berjalan ke korteksi serebri dan

sistem limbik.1,4

Heroin adalah opioid yang paling sering disalahgunakan dan lebih

poten serta lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin. Karena sifat-

sifat tersebut, heroin melintasi sawar darah otak lebih cepat dan memiliki

awitan/onset yang lebih cepat daripada morfin. Heroin pertama kali

diperkenalkan sebagai terapi untuk kecanduan (adiksi) morfin, namun pada

kenyataannya, heroin lebih menimbulkan ketergantungan dibanding morfin.

Kodein yang terdapat secara alami sekitar 0,5 persen dari alkaloid opiat dalam

opium, diabsorpsi dengan mudah melalui traktus gastrointestinal dan kemudian

diubah/transformasi menjadi morfin dalam tubuh. Sekurangnya satu penelitian

yang menggunakan tomografi emisi positron (PET scan) menemukan bahwa

salah satu efek dari semua opiat dan opioid adalah penurunan aliran darah otak

13
(serebral) pada region tertentu di otak pada orang dengan ketergantungan

opioid.1,4

Toleransi terhadap opiat dan opioid berkembang dengan cepat dan

dapat, sebagai contoh, sangat kuat sehingga pasien kanker yang sakit stadium

akhir mungkin memerlukan 200 sampai 300 mg morfin sehari, di mana suatu

dosis 60 mg dapat mudah mematikan bagi orang yang awam dengan opiat.

Tetapi gejala putus opioid tidak terjadi kecuali seseorang telah menggunakan

opiat atau opioid dalam jangka waktu lama atau jika penghentiannya secara

tiba-tiba, seperti yang terjadi secara fungsional jika diberikan suatu antagonis

opiat. Pemakaian opiat atau opioid jangka panjang menyebabkan perubahan

jumlah dan kepekaan reseptor opiat, yang merupakan mediator untuk efek

toleransi dan putus zat. Walaupun pemakaian jangka panjang disertai dengan

peningkatan sensitivitas neuron dopaminergik, kolinergik dan serotonergik,

efek opiat dan opioid pada neuron noradrenergik kemungkinan mediator utama

untuk gejala putus opioid. Pemakaian singkat opiat atau opioid menurunkan

aktivitas sistem neuron noradrenergik di lokus sereleus; pemakaian jangka

panjang mengaktivasi mekanisme homeostatik kompensatorik di dalam

neuron; dan putus opioid menyebabkan suatu hiperaktivitas “rebound”.

Hipotesis tersebut juga merupakan dasar mengapa clonidine (Catapres), suatu

agonis reseptor adrenergik-2 yang menurunkan pelepasan norepinefrin,

berguna dalam pengobatan gejala putus opioid.4

14
Gambar 3. Acute Opiate Action in the LC4

Berdasarkan gambar 3 diatas, ilustrasi skematik mekanisme kerja opiat jangka

pendek dan jangka panjang pada lokus sereleus (LC). (Atas) Opiat

menginhibisi neuron LC dengan meningkatkan konduktansi saluran K+ dengan

mengopel protein G yang dapat diinhibisi oleh toksin pertusis (kemungkinan

Go) dan dengan menurunkan konduktansi saluran kation nonspesifik melalui

pengkopelan protein G inhibitorik (Gi) dan inhibisi selanjutnya pada jalur

adenosine 31,51-cyclic photophatase (cAMP) (panah besar turun) dan

penurunan fosforilasi sejumlah protein lain, mempengaruhi banyak proses

dalam neuron; di samping menurunkan kecepatan pemicuan, sebagai contoh: ia

memulai perubahan ekspresi gen melalui regulasi faktor transkripsi. (Bawah)

Pemberian opiate jangka panjang menyebabkan regulasi naik kompensantorik

pada jalur cAMP.4

15
Gambar 4. Chronic Opiate Action in the LC4

Berdasarkan gambar 4 diatas, yang berperan dalam ketergantungan

opiate dalam neuron dengan meningkatkan eksitabilitas intrinsiknya melalui

peningkatan aktivasi saluran kation nonspesifik. Di samping itu, regulasi naik

jalur cAMP kemungkinan disertai dengan perubahan menetap pada faktor

transkripsi yang mempertahankan keadaan terobati morfin (morphine-treated)

jangka panjang. Pemberian opiat jangka panjang juga menyebabkan penurunan

relatif pada derajat aktivasi saluran K+ karena toleransi, mekanismenya tidak

diketahui. Juga ditunjukkan dalam gambar adalah VIP-R, vasoactive intestinal

polypeptide receptor (VIP adalah activator utama jalur cAMP dalam (LC), dan

Gs, protein G stimulatorik yang mengaktivasi adenilat siklase.4

16
F. GAMBARAN KLINIS

Opioid dapat dikonsumsi per oral, dihirup secara intra nasal, dan

diinjeksikan secara intravena (IV) atau subkutan. Opioid secara subjektif

bersifat adiktif karena melalui sensasi tinggi euforik (the rush) yang dialami

pengguna, terutama mereka yang mengonsumsi zat secara IV. Gejala terkait

mencakup perasaan hangat, rasa berat di ekstermitas, mulut kering, wajah gatal

(terutama hidung), dan wajah memerah.4 Opioid menimbulkan euforia.7

Euforia awal diikuti oleh periode sedasi, dikenal dalam istilah jalanan sebagai

“nodding off”.4

Penggunaan opioid pertama kali pada seseorang tidak menimbulkan

rasa nyeri dan dapat menginduksi disforia karena rasa mual, muntah, mabuk

dan pikiran berkabut.4,5,9 Jika ada rasa nyeri, maka terjadi “efori negative”

karena rasa nyeri itu hilang. Semua ini merupakan gejala-gejala intoksikasi

akut. Jika seseorang pernah memakai morfin, maka satu dosis dapat

menimbulkan efori positif padanya (rasa senang luar biasa). Ada yang

melaporkan perasaan mirip orgasme, tetapi bertempat di perut. Keinginan

seksual tidak bertambah, walaupun potensi dapat bertambah karena orgasme

tertunda.5

Penggunaan heroin, morfin dan kodein dapat menimbulkan gejala fisik

berupa stupor,5 mengantuk,5,8 tanda jarum pada tubuh, mata berair, nafsu

makan hilang, bekas darah pada lengan baju,5 pilek-pilek.5,9

Efek fisik opioid meliputi depresi napas, konstriksi pupil, kontraksi otot

polos (termasuk ureter dan kandung empedu), konstipasi, perubahan tekanan

17
darah, denyut jantung, dan suhu tubuh. Efek depresi napas diperantarai pada

tingkat batang otak.4

Efek yang lain morfin dosis tunggal, bagaimana pun cara

pemberiannya, ialah miosis pupil, pernafasan dan denyut jantung menjadi

pelan, suhu badan menurun sedikit dan spasme sfinkter-sfinkter otot polos.

Pada umumnya efek satu dosis tunggal morfin mencapai puncak kira-kira 20

menit sesudah suntikan intravena dan 1 jam sesudah suntikan subkutan serta

berlangsung terus dengan efek makin lama makin kurang selama 4-6 jam.

Sesudahnya dapat timbul perasaan kecewa.5 Dosis letal minimal morfin buat

manusia belum diketahui, walaupun pernah dilaporkan kematian dengan 60

mg, tetapi orang yang ketagihan rata-rata memakai 600 sampai 1200 mg sehari.

Dengan morfin terjadi toleransi sampai pada dosis yang tinggi. Pada

intoksikasi menahun penderita biasanya dalam keadaan disforik, ia cemas dan

penuh rasa bersalah.

Gangguan psikotik yang dapat terjadi akibat penggunaan opioid adalah

halusinasi dan waham. Halusinasi dapat terjadi pada satu atau lebih modalitas

sensorik. Halusinasi raba (taktil) (seperti perasaan adanya kutu yang merayap

di kulit) adalah karakteristik pada penggunaan kokain. Halusinasi dengar

(auditoris) biasanya berhubungan dengan penyalahgunaan zat psikoaktif;

halusinasi dengar juga dapat terjadi pada orang yang tuli. Halusinasi cium

(olfaktoris) dapat terjadi pada epilepsy lobus temporalis. Halusinasi lihat

(visual) dapat terjadi pada orang yang buta akibat katarak. Halusinasi dapat

rekuren atau persisten. Halusinasi dan waham dialami di dalam keadaan terjaga

18
penuh dan sadar, pasien tidak menunjukkan perubahan yang bermakna di

dalam fungsi kognitif. Halusinasi lihat sering kali mengambil bentuk gambaran

yang berupa manusia kerdil (liliput) dan berbagai binatang kecil. Halusinasi

musical yang jarang biasanya memperlihatkan ciri lagu keagamaan. Pasien

dengan gangguan psikotik karena kondisi medis umum dan gangguan psikotik

akibat zat mungkin berkelakuan atas dasar halusinasinya. Di dalam halusinasi

berhubungan dengan alkohol, suara-suara yang mengancam, mengkritik, atau

menghina berbicara tentang pasien kepada orang ketiga. Suara-suara tersebut

mungkin meminta pasien untuk melukai dirinya sendiri maupun orang lain,

pasien tersebut adalah berbahaya dan berada pada risiko bermakna untuk

melakukan bunuh diri atau pembunuhan. Pasien mungkin atau tidak

mempercayai bahwa halusinasi adalah nyata.4

Selain itu, gangguan psikotik yang juga dapat terjadi adalah waham.

Waham sekunder dan waham akibat zat biasanya ditemukan pada kesadaran

yang penuh. Pasien tidak mengalami adanya perubahan pada tingkat kesadaran,

walaupun gangguan kognitif ringan dapat dilihat. Waham mungkin

tersistematisasi atau terpecah, dan isinya bermacam-macam. Waham kejar

adalah yang paling sering. Orang mungkin tampak kebingungan, berpakaian

tidak rapi, atau eksentrik. Pembicaraan mungkin tangensial atau bahkan

inkoheren. Hiperaktivitas dan apati mungkin ditemukan. Mood disforik yang

menyertai diperkirakan sering.4

19
G. PEDOMAN DIAGNOSTIK

Untuk diagnosis perlu dicari bekas-bekas suntikan, cacat yang kebiru-

biruan pada vena. Miosis dan mengantuk menunjukkan bahwa penderita masih

di bawah pengaruh opioid. Dalam waktu 24 jam setelah pemakaiannya, opioid

dalam urine dengan tes kimia atau kromatografis.5

Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah penggunaan

obat (biasanya dalam waktu 48 jam) harus dicatat disini, kecuali keadaan itu

bukan merupakan manifestasi dari keadaan putus zat dengan delirium atau

suatu onset lambat. Gangguan psikotik onset lambat (dengan onset lebih dari

dua minggu setelah penggunaan zat) dapat terjadi, namun harus digolongkan

dalam kode F1x.75.2,3

Gangguan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif dapat tampil

dengan pola gejala yang bervariasi. Variasi ini akan dipengaruhi oleh jenis zat

yang digunakan dan kepribadian pengguna zat. Pada penggunaan obat

stimulasi seperti kokain dan amfetamin, gangguan psikotik yang diinduksi oleh

obat umumnya berhubungan erat dengan tinggi dosisnya dan/atau penggunaan

zat yang berkepanjangan.2,3

Diagnosis gangguan psikotik jangan hanya ditegakkan berdasarkan

distorsi persepsi atau pengalaman halusinasi, bila zat yang digunakan ialah

halusinogenika primer (misalnya lisergide (LSD), meskalin, kanabis dosis

tinggi). Pada kasus demikian dan juga untuk keadaan kebingungan, suatu

kemungkinan diagnosis intoksikasi akut (F1x.0) harus dipertimbangkan.2,3

20
Perlu diperhatikan untuk menghindari kesalahan diagnosis psikosis

sebagai keadaan yang lebih berat (misalnya skizofrenia), padahal diagnosisnya

ialah psikosis yang disebabkan oleh zat psikoaktif. Banyak keadaan psikotik

yang disebabkan oleh zat psikoaktif berlangsung singkat asal tidak ada lagi

obat yang digunakan (seperti pada kasus psikosis akibat amfetamin dan

kokain). Diagnosis yang salah pada kasus demikian, dapat memberi dampak

yang merugikan dan biaya tinggi baik bagi pasien maupun fasilitas pelayanan

kesehatan. Termasuk halusinosis alkoholik, kecumburuan alkoholik, paranoid

alkoholik dan psikosis alkoholik YTT.2

Diagnosis suatu keadaan psikotik dapat ditemukan lebih lanjut dengan

kode lima karakter berikut:2,3

F1x.50 Lir-Skizofrenia

F1x.51 Predominan waham

F1x.52 Predominan halusinasi (termasuk halusinosis alkoholik)

F1x.53 Predominan polimorfik

F1x.54 Predominan gejala depresif

F1x.55 Predominan gejala manik

F1x.56 Campuran

Gangguan psikotik akibat opioid dapat dimulai selama intoksikasi

opioid. Kriteria diagnostik DSM-IV adalah berada dalam bagian skizofrenia

dan gangguan psikotik lainnya. Klinisi dapat menentukan apakah gejala

predominan adalah halusinasi atau waham.4

21
DSM-IV telah mengkombinasikan berbagai kategori diagnostik di

dalam DSM-III-R yang berhubungan dengan gangguan psikotik akibat zat

psikoaktif ke dalam kategori diagnostik tunggal, gangguan psikotik akibat zat.

Diagnosis diberikan bagi orang yang memiliki gejala psikotik akibat zat tanpa

adanya tes realitas. Orang yang memiliki gejala psikotik akibat zat (sebagai

contoh, halusinasi) tetapi mempertahankan tes realitas harus diklasifikasikan

sebagai menderita gangguan persepsi. Maksud memasukkan diagnosis

gangguan psikotik akibat zat ke dalam diagnosis gangguan psikotik lainnya

adalah untuk langsung mengarahkan klinisi untuk mempertimbangkan

kemungkinan bahwa suatu zat adalah yang menyebabkan gejala psikotik.

Diagnosis yang lengkap gangguan psikotik akibat zat harus termasuk zat yang

digunakan, stadium penggunaan zat saat gangguan mulai (sebagai contoh,

selama intoksikasi atau putus zat), dan fenomena klinis (sebagai contoh,

halusinasi atau waham).4

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Psikotik Akibat Zat4

A. Halusinasi atau waham yang menonjol. Catatan: Jangan masukkan


halusinasi jika orang memiliki tilikan bahwa halusinasi adalah akibat zat.
B. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium adanya salah satu (1) atau (2):
(1) Gejala pada kriteria A berkembang selama, atau dalam satu bulan,
intoksikasi atau putus zat
(2) Pemakaian medikasi adalah berhubungan secara etiologis dengan
gangguan
C. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh suatu gangguan psikotik
yang bukan diakibatkan zat. Tanda-tanda bahwa gejala adalah lebih baik
diterangkan oleh suatu gangguan psikotik dan bukan diakibatkan zat

22
mungkin berupa seperti berikut: gejala mendahului onset pemakaian
(atau pemakaian medikasi); gejala menetap untuk periode waktu yang
cukup lama (misalnya, kira-kira satu bulan) setelah hilangnya putus akut
atau intoksikasi parah, atau cukup lama melebihi apa yang diperkirakan
menurut jenis atau jumlah zat yang digunakan atau lama pemakaian; atau
terdapat bukti lain yang menyatakan adanya gangguan psikotik akibat
non-zat yang tersendiri (misalnya, suatu riwayat episode berhubungan
non-zat yang rekuren.
D. Ganguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium.
Catatan: Diagnosis ini harus dibuat bukannya diagnosis intoksikasi zat atau
putus zat hanya jika gejala melebihi dari yang biasanya berhubungan dengan
sindrom intoksikasi atau putus dan jika gejala adalah cukup parah sehingga
memerlukan perhatian klinis tersendiri.
Penulisan: Gangguan psikotik akibat [zat spesifik] salah satunya opioid
dengan waham, opioid dengan halusinasi
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi: jika kriteria untuk intoksikasi untuk zat
terpenuhi dan gejala berkembang selama sindrom intoksikasi
Dengan onset selama putus: jika kriteria untuk putus dari zat terpenuhi dan
gejala berkembang selama, atau segera setelah, suatu sindrom putus.

H. EFEK SAMPINNG DAN DAMPAK PENGGUNAAN OPIOID

Efek satu dosis tunggal morfin atau opioid yang lain ternyata

tergantung pada pengalaman individu dengan obat tersebut sebelumnya, pada

kepribadiannya, adanya atau tidak adanya rasa nyeri serta tergantung pula pada

keadaan dan suasana pemakaian.5

Efek samping paling sering dan paling serius yang dikaitkan dengan

gangguan terkait opioid adalah kemungkinan penularan hepatitis (B dan/atau

23
C) dan HIV melalui penggunaan jarum terkontaminasi oleh lebih dari satu

orang.1,4,8,9 Perhatikan juga infeksi lain dengan periksa darah, pemeriksaan

genital untuk chlamydia, gonococcal, human papilloma virus, pemeriksaan

kulit untuk cellulitis.9 Seseorang dapat mengalami reaksi alergik idiosinkratik

terhadap opioid, yang mengakibatkan syok anafilaktik, edema paru, dan

kematian bila mereka tidak menerima penanganan yang tepat dan adekuat.

Efek samping serius lain adalah interaksi obat idiosinkratik antara meperidin

dan inhibitor oksidase monoamine (MAOIs) yang dapat menimbulkan

instabilitas otonom menyeluruh, agitasi perlaku berat, koma, kejang, dan

kematian. Untuk alasan ini, opioid dan inhibitor oksidase monoamine

sebaiknya tidak diberikan bersamaan.1,4 Kematian juga dapat terjadi karena

dosis berlebihan, adiksi, infeksi hati dan infeksi lain karena jarum tidak steril.5

Secara umum, akibat penyalahgunaan opioid adalah sebagai berikut;6

1. Problem Fisik

a) Abses pada kulit sampai septikemia

b) Infeksi karena emboli, dapat sampai stroke

c) Endokarditis

d) Hepatitis (B dan C)

e) HIV/AIDS

f) Injeksi menyebabkan trauma pada jaringan saraf lokal

g) Opiate neonatal abstinence syndrome

h) Penggunaan jarum suntik bergantian dan atau hubungan seks dapat

menyebabkan sifilis9

24
i) Tuberkulosis9

2. Problem Psikiatri

a) Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif

b) Suicide

c) Depresi berat sampai skizofrenia

3. Problem Sosial

a) Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat

b) Kecelakaan lalu lintas

c) Perilaku kirminal sampai tindak kekerasan

d) Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam, menodong,

membohong, menipu sampai membunuh)

4. Sebab-sebab kematian

a) Reaksi heroin akut menyebabkan kolapsnya kardiovaskuler dan

akhirnya meninggal

b) Overdose, karena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar bernafas

dan menyebabkan kematian

c) tindak kekerasan

d) bronkopneumonia

e) endokarditis

I. DIAGNOSIS BANDING

Pertimbangkan kemungkinan adanya gangguan jiwa lain yang

dicetuskan dan diberatkan oleh penggunaan zat psikoaktif (misalnya

skizofrenia (F20) di mana pasien memiliki gejala lain gangguan berpikir dan

25
gangguan fungsi; gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) (F30-F39) di

mana gejala afektif dapat menonjol2,3,4; gangguan kepribadian paranoid atau

skizoid (F60.0-F60.1). Pada kasus demikian, diagnosis keadaan psikotik yang

disebabkan oleh zat psikoaktif mungkin tidak memadai.2 Gangguan psikotik

akibat zat perlu dibedakan dari delirium, di mana pasien mengalami kesadaran

yang berkabut; dari demensia, di mana pasien menderita defisit intelektual

yang utama.4

J. TERAPI

Terapi termasuk identifikasi kondisi medis umum atau zat tertentu yang

terlibat. Pada saat tersebut, terapi diarahkan kepada kondisi yang mendasari

dan pengendalian perilaku pasien dengan segera. Perawatan di rumah sakit

mungkin diperlukan untuk menilai pasien secara menyeluruh dan untuk

memastikan keamanan pasien. Obat antipsikotik mungkin diperlukan untuk

mengendalikan perilaku psikotik atau perilaku agresif dengan segera dan

jangka pendek, walaupun benzodiazepine dapat juga berguna untuk

mengendalikan agitasi dan kecemasan.4

Dosis antipsikotik disesuaikan sehingga tercapai dosis terapeutik. Dapat

dimulai dengan dosis yang rendah lalu pelan-pelan dinaikkan, dapat juga

langsung diberi dosis tinggi, tergantung pada keadaan pasien dan kemungkinan

timbulnya efek samping. Bila pasien dirawat di rumah sakit, maka boleh segera

diberikan dosis tinggi karena pengawasannya yang baik. Dalam memilih

antipsikotik perlu diperhatikan gejala sasaran (target symptoms). Antipsikotik

dosis tinggi seperti flufenazin, trifluoperazin, perfenazin, haloperidol, pimozid,

26
rupanya lebih manjur untuk gejala skizofrenia seperti; gangguan proses

berpikir (non-realistik, waham dan sebagainya) dan gangguan persepsi.5

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Gangguan Amnesik. Dalam: Kaplan & Sadock
Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed Ke-2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal 129-
134

2. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis


Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
Hal 97-99

3. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta. Hal 40-41

4. Kaplan, Harold, Benjamin dan Jack. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu


Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Binarupa Aksara. Hal 672-
683; 746-748

5. Maramis, Willy F dan Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran


Jiwa Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 372-378

6. Utama, Hendra dkk. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal 147-148

7. Puri B.K, Laking dan I.H. Treasaden. 2008. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal 140-141

8. Hibber, Allison, Alice Godwin dan Frances Dear. 2004. Rujukan Cepat
Psikiatri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal 107,111

9. Mardiati, Ratna dkk. 2013. Gangguan Penggunaan Zat Psikoaktif. Yogyakarta:


Kemitraan UNFPA dan Angsamerah Institution.

10. Trescot, Andrea et al. Opioid Pharmocology. Journal of Pain Physician. 2008.
Gainesville: University of Florida.

11. Corbett, Alistair, Sandy McKnight dan Graeme Henderson. Opioid Receptors.
1993. Bristol: University of Bristol.

28

Anda mungkin juga menyukai