Anda di halaman 1dari 11

1.

1 Pengertian Zat Opioid


Opioid terdiri dari suku kata, oh-pee-oyds.Yang sering disebut dengan Opioid
(opium), yaitu sejenis obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengontrol,
mengendalikan atau menghilangkan rasa nyeri.Opioid (opium) dapat menimbulkan
kecanduan dan termasuk dalam jenis narkotika.

Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver
somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin.Nama
Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan
narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium.
Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin
(diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone
(Dilaudid).Opiat adalah obat-obatan yang memengaruhi kerja otak. Pengguna opiat
sering bermimpi yang indah-indah, merasakan seakan-akan terbang.

2.2 Klasifikasi Opioid Dan Kokain


Opioid dihasilkan dari getah opium poppy yang diolah menjadi morfin,
kemudian dengan proses tertentu menghasilkan putaw, dimana putau mempunyai
kekuatan 10 kali melebihi morfin.Opiate disalahgunakan dengan cara disuntik atau
dihisap, dengan nama jalannya adalah putau, ptw, black heroin, brown sugar. Opiate
dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu :
a. Opioid alamiah : morfin, opium, codein
b. Opioid semi sintetik : heroin/putau, hidromorfin
c. Opioid sintetik : meperidin, propoksipen, metadon.
1. Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah.Dan, morfin merupakan
alkaloida utama dari opium (C17H19NO3).Morfin diisolasi dari crude opium melalui
pelarutan dalam air dan reaksi dengan amonia.Morfin dapat pula direaksikan dengan
anhidrida asetat–zat kimia yang juga digunakan pada produksi aspirin–melaui tahapan
reaksi yang cukup kompleks, untuk kemudian menghasilkan turunan opium lainnya,
yaitu heroin.Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam
bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.
2. Heroin (Putaw)

Heroin merupakan turunan dari opium yang merupakan obat yang bersifat adiktif
berbahaya .Heroin atau Putaw adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang
kecanduan karena efeknya yang sangat kuat. Heroin/Putaw bentuk pil, bubuk, dan ada
juga dalam bentuk cairan.Apabila seseorang yang sudah ketergantungan dengan heroin
(putaw) dapat membahayakan fisik maupun mental. Seseorang yang sudah kecanduan
dengan heroin, ketika berhenti mengkonsumsi, akan mengalami rasa sakit yang
berkesinambungan.
Heroin, juga disebut dengan "chasing the dragon."Dan heroin mempunyai kekuatan dua
kali lebih kuat dari morfin. Di negera kita, Indonesia termasuk jenis narkotika yang
paling sering disalahgunakan.kecanduan karna efeknya sangat kuat. Kemurnian dari
morfin sebagai bahan baku akan menetukan kualitas dari heroin yang dihasilkan.
Produsen besar dari opium dan turunannya yang paling dikenal di Asia adalah daerah
Segi Tiga Emas (Golden Triangle), sebuah kawasan perbatasan Vietnam, Laos,
Thailand, dan Myanmar. Di samping itu, daerah Timur Tengah seperti Afganistan dan
Irak termasuk produsen heroin yang cukup dikenal.

Pada tahun 1898 sampai 1910, heroin telah dipasarkan secara luas sebagai
pengganti morfin yang nonadiktif dan sebagai obat batuk bagi anak-anak.Bahkan
industri farmasi besar sekelas Bayer (asal Jerman), sempat memasarkan heroin sebagai
obat dalam penyembuhan bagi ketergantungan morfin.

Namun kemudian, para ahli menemukan bahwa heroin sesungguhnya dikonversi


menjadi morfin dalam hati.Semua turunan opium dikonversi di hati manusia menjadi
molekul-molekul identik dengan tingkat konsentrasi yang berbeda-beda dalam aliran
darah. Penemuan ini sempat menjadi blunder sejarah bagi Bayer. Heroin memberikan
efek yang sangat cepat terhadap si pengguna, dan itu bisa secara fisik maupun mental.

Efek pemakaian heroin

a. kejang-kejang, mual,
b. hidung dan mata yang selalu berair,
c. kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh,
d. mengantuk, cadel, bicara tidak jelas,
e. tidak dapat berkonsentrasi Sakaw atau
f. sakit karena putaw terjadi apabila si pecandu “putus” menggunakan putaw.
Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si
pecandu melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi
untuk sembuh.

Gejala sakau

a. mata dan hidung berair,


b. tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit perut/diare dan
kedinginan.

Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan adalah

a. kesakitan dan kejang-kejang,


b. keram perut dan menggelepar,
c. gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair,
d. kehilangan nafsu makan, kekurangan cairan tubuh.

Heroin disebut juga dengan nama : putauw, putih, bedak, PT, etep, dll. Heroin adalah
obat bius yang sangat mudah membuat seseorang.

3. Codein

Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu.Efek codein lebih lemah
daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah.Biasanya
dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih.Cara pemakaiannya ditelan dan
disuntikkan.Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu.Efek codein lebih
lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan
rendah.Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih.Cara pemakaiannya ditelan
dan disuntikkan.
4. Methadone

Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan


opioid.Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan
ketergantungan opioid.Kelas obat tersebut adalah nalaxone (Narcan), naltrxone
(Trexan), nalorphine, levalorphane, dan apomorphine.Sejumlah senyawa dengan
aktivitas campuran agonis dan antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah
pentazocine, butorphanol (Stadol), dan buprenorphine (Buprenex).Beberapa penelitian
telah menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk
ketergantungan opioid.

5.Demerol

Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan
suntikan.Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna.

3.1Mekanisme Kerja Zat Opioid Dalam Tubuh


Opioid diabsorbsi baik setelah pemberian melalui IM atau oral, dengan onset
efek yang berbeda-beda tergantung jenis opioidnya.Misalnya morfin dengan onset efek
mulai 5 menit sampai 30 menit dan mencapai puncaknya dalam 45 sampai 90 menit.
Sedangkan durasi kerja dari kodein adalah 3 sampai 3,5 jam. Untuk mekanisme dari
opioid ini tergantung pada jenisnya.Opioid dimetabolisme di hepar dan ginjal.Opioid
termasuk obat yang berbahaya yang termasuk dalam kelompok obat yang berpengaruh
pada system saraf pusat yang dapat menimbulkan efek ketagihan.Misalnya morphine,
codein dan lain sebagainya.opioid menyerang saraf pusat sehingga terjadi penurunan
kepekaan dari saraf-saraf tersebut.

Opioid bekerja sebagai agonis pada reseptor opioid sterespesifik pada tempat
presinaps dan postsinaps pada system saraf pusat (SSP) (utamanya di batang otak dan
korda spinalis) dan dilluar SSP pada jaringan perifer (Pleuvry,1993; Stein,1993;
Stein,1995). Keadaan hiperalgesik inflamasi tampak dapat diterima secara khusus pada
kerja antinisiseptif opioid perifer.Mekanisme yang paling mungkin pada kerja perifer ini
tampaknya menjadi aktivasi pada reseptor opioid yang berlokasi pada saraf aferen
primer. Reseptor opioid yang sama secara normal diaktivasi oleh tiga ligand reseptor
opioid peptide endogen yang dikenal dengan enkephalin, endorphin dan dynorphin.
Enkephalins (berati di dalam kepala) adalah suatu polipeptida kecil, terikat dengan
reseptor opium dalam tanduk dorsal sumsum tulang belakang dan kelihatannya
menghambat pelepasan substansi P. Enkephalins juga ditemukan di luar sumsum tulang
belakang yaitu di dalam batang otak, sistem limbik, hipotalamus, kelenjar adrenal dan
saluran pencernaan. 2 jenis enkephalins yang menonjol adalah leuenkephalin & met-
enkephalin

Endorphins (berarti di dalam morphin) adalah polipetida yang lebih besar, disintesis
dan disimpan dalam kelenjar pituitary, yang juga dapat ditemukan di hipotalamus, otak
tengah, sistem limbik dari SSP. Ada beberapa golongan endorphin, salah satunya adalah
beta-endorphin, yang konsentrasi terbanyaknya ada di hipotalamus dan kelenjar
pituitary.Betaendorphin lebih poten daripada enkephalin. Betaendorphin akan
meningkat dengan latihan (exercise)

Dynorphins ditemukan dalam kelenjar pituitary, hipotalamus dan sumsum tulang


belakang, yang mempunyai efek analgesic 50x lebih besar daripada endorphin

Opioid menyerupai kerja dari ligan endogen ini melalui ikatan pada resptor
opioid, yang terjadi dalam aktivasi sistem modulasi nyeri (antinosesptif).i

Keberadaan opioid ini dalam keadaan terionisasi tampaknya penting untuk


ikatan yang kuat pada tempat reseptor opioid anionik.Hanya bentuk levorotasi pada
opioid menunjukkan aktivitas agonis.Tentu saja, secara alami terjadi dari morfin adalah
isomer lavorotasi.Afinitas pada kebanyakan opioid agonis untuk reseptor berhubungan
baik dengan kekuatan analgesiknya.

Efek utama pada aktivasi reseptor opioid adalah suatu penurunan pada
neurotransmisi (Atecheson dan Lambert,1994; de Leon-Casasola dan Lema,1996).
Penurunan pada neorotansmisi terjadi secara luas melaui inhibisi presinaps pada
pelepasan neurotransmitter (asetilkolin, dopamis, norepinefrin, substansi P), meskipun
inhibisi postsinaps pada pembangkitan aktivitas mungkin juga terjadi.

Keadaan biokimia intraseluler diawali dengan okupasi pada reseptor opioid


dengan suatu opioid agonis yang ditandai dengan peningkatan daya hantaran kalium
(mengarah pada hiperpolarisasi), inaktivasi kalsium channel, atau keduanya, yang
menimbulkan suatu penurunan awal pada pelepasan neurotransmitter. Inhibisi yang
dimediasi oleh reseptor opioid pada adenilat siklase tidak bertanggung jawab untuk
suatu efek awal tetapi mungkin memiliki suatu efek yang tertunda, kemungkinan
melalui suatu reduksi pada gen neuropeptida responsive cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dan reduksi pada konsentrasi neuropeptida messenger RNA.
Reseptor opioid terdapat pada ujung perifer pada saraf feren primer dan aktivasinya baik
pada penurunan neurotansitter secara langsung maupun penghambatan pelepasan
neurotransmitter yang mengeksitasi, seperti substansi P. Berkenaan dengan hal ini,
morfin intraartikuler (3 mg) menimbulkan analgesia yang memanjang setelah
pembedahan lutut arthroskopik (Heine skk,1994). Penekanan pada transmisi kolinergik
pada SSP sebagai suatu hasil dari inhibisi pelepasan asetilkolin yang diinduksi oleh
opioid dari ujung saraf mungkin memainkan suatu peranan penting pada analgesik dan
efek samping lain pada opioid agonis. Opioid tidak mengubah reseptor respon pada
ujung saraf aferen pasa stimulasi nyeri, tidak pula mengganggu konduksi pada impuls
saraf sepanjang saraf perifer.Terdapat perkiraan bahwa peningkatan kedudukan reseptor
opioid sesuai dengan efek opioid.

Penggunaan opiod berkelanjutan akan menimbulkan toleransi opiod yaitu suatu


proses dimana terjadi neuroadaptation (adaptasi neuron) melalui desensitisasi reseptor
sehingga efek dari obat atau tranduksi sinyal akibat penempelan ligan terhadap
reseptornya berkurang, dalam hal ini yang berfungsi sebagai ligan atau obatnya adalah
opioid.

Toleransi adalah fenomena pemakaian obat secara kronis sehingga dibutuhkan


dosis obat yang lebih besar.Toleransi dapat timbul pada semua pasien yang
menggunakan narko analgesik lebih dari 1-2 minggu.

Tanda pertama timbulnya toleransi adalah menurunnya efek analgetik yang


efektif. Toleransi bisa terjadi oleh sebab bawaan dan didapat, toleransi bawaan adalah
berkurangnya sensitivitas tubuh terhadap obat yang diturunkan secara genetik,
sedangkan toleransi yang didapat bisa disebabkan proses farmakokinetik dan
farmakodinamik.
Toleransi opioid ini berfungsi untuk mengurangi/menghilangkan efek
penghilang rasa nyeri yang dirtimbulkan oleh opioid di dalam tubuh.Di dalam tubuh
manusia, pada frekuensi pensinyalan normal, sinyal rasa nyeri yang dibawa oleh
neurotransmitter dikeluarkan dari presinaptik dan sinyal tersebut ditransmisikan di
seluruh celah sinaptik.Namun, ketika neuron atau sel saraf tersebut berada dibawah
pengaruh atau kontrol opioid, maka penerusan tranduksi sinyal nyeri menjadi
terhambat/hilang.Hal ini terjadi karena analgetik opioid dan endogen opioid mempunyai
daya penghalang nyeri yang sangat kuat, dengan titik kerja yang terletak di susunan
syaraf pusat (SSP). Dengan timbulnya mekanisme penghambatan nyeri oleh opioid ini,
sel di dalam tubuh membangun suatu mekanisme pertahanan terhadap penghambatan
tersebut dengan cara membangun kembali kekuatan dari transmisi sinyal nyeri itu,
melalui suatu fenomena yang disebut sebagai toleransi opioid. Toleransi (penurunan
efek kerja) terhadap opioid ini dapat terjadi karena pemakaian secara kontinu dari
analgesik opioid.

Salah satu mekanisme yang diperkirakan dapat memperantarai fenomena ini


adalah terjadinya proses down-regulation receptor. Pengikatan ligan opioid dengan
reseptor opioid (membentuk suatu kompleks reseptor-ligan) yang terdapat di permukaan
membran neural menciptakan sebuah jalur biokimiawi yang menekan kemampuan dari
neuron untuk mengtrasmisikan sinyal rasa nyeri ke dalam sel.

Reseptor ini diaktifkan oleh peptida opioid endogen maupun oleh pemberian
senyawa opiat eksogen (Waldhoer, 2004). Setelah reseptor opioid ini diaktivasi oleh
ligannya, komplek reseptor-ligan opioid ini masuk ke dalam sel. Pada kondisi normal,
sebagian besar kompleks reseptor-ligan yang masuk ke dalam sel itu direcycle (didaur
ulang) kembali ke permukaan sel dan ada beberapa kompleks reseptor-ligan yang
terdegradasi melalui proses biokimiawi kompleks. Sehingga timbullah suatu peristiwa
keseimbangan antara kompleks reseptor yang mengalami recycle dan yang terdegradasi.

4.1 Tanda Dan Gejala Opioid

Gejala intoksikasi opioid berkembang dengan cepat setelah satu dosis IV (1-5 menit)
lamanya bervariasi bergantung pada obat yang digunakan.
Gejala psikologis: suatu keresahan segera mengikuti masuknya obat secara IV
(digambarkan sebagai”orgasme seluruh tubuh”dengan fokusnya dibagian perut). Hal ini
disertai dengan euphoria dan suatu perasaan bahagia atau disforia (biasanya ansietas dan
ketakutan), perasaan mengantuk, “terkantuk-kantuk”, apatis, kemunduran psikimotor,
dan sulit berkonsentrasi.

Gejala fisik: miosis (konstriksi pupil), ucapan yag tidak jelas, depresi respiratorik,
hipotensi, hipertemia, bradikardia, konstipasi, serta mual dan muntah. Ulkus pada kulit
sering terjadi pada injeksi mepheridine.Kejang-kejang mungkin terjadi pada pasien yang
toleran terhadap mipheridin.

Gejala putus zat opioid: tidak nyama, tetapi tidak mengancam nyawa pada
dewasa muda sehat dan penatalaksanaannya tidak sebahaya atau sesulit seperti pada
gejla lepas zat dari obat-obatan sedative hipnotis. Gejala putus zat mirip untuk tiap
narkotika, tetapi lama terjadiya bervariasi (bergantung pada berapa besar kebiasaannya).

Gejala psikologis: pada awalnya sering kali merasa menginginkan obat


sedemikian kuat yang diikuti dengan ansietas berat,kegelisahan, mudah marah,
insomnia, dan nafsu makan menurun.

Gejala fisik: menguap, diaphoresis, mengeluarkan air mata, rinorhea, dilatasi


pupil, piloereksi (sulit dilakukan dengan berpura-pura) ,kedutan pada otot, dan perasaan
panas dan kemerahan diwajah kemudian mual dan muntah, hipertensi, takikardi, diare,
dan kram perut.

5.1 Akibat Pengguna Opioid

Efek yang ditimbulkan dari Opoid ini adalah:

a. Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara


b. Kerusakan penglihatan pada malam hari
c. Mengalami kerusakan pada liver dan ginjal
d. Peningkatan resiko terkena virus
e. HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya .
f. Penurunan hasrat dalam hubungan sex.
g. kebingungan dalam identitas seksual
h. kematian karena overdosis

Gejala putus obat dari ketergantungan opioid adalah:

a. Kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea
lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi takikardia
disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia.
b. Seseorang yang ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid,
kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit
jantung.
c. Gejala residual seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan
kecanduan opiat mungkin menetap selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap
waktu selama sindroma abstinensi, suatu suntikan tunggal morfin atau heroin
menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah kegelisahan,
iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah.

6.1 Manfaat Positif Opioid

Opioid atau opium digunakan selama berabad-abad sebagai penghilang rasa


sakit dan untuk mencegah batuk dan diare. Opioid digunakan sebagai analgesik.
Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat, terutama
yang pada bagian viseral. Penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan
dan toleransi, tapi ini bukan alasan tidak digunakannya dalam mengatasi nyeri pada
penyakit terminal. Penggunaan opioid kuat mungkin sesuai untuk beberapa kasus nyeri
kronis non-keganasan; pengobatan sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis dan kondisi
pasien sebaiknya dikaji setiap interval tertentu

Efek Samping Berbagai analgesik opioid memiliki banyak efek samping yang
sama walaupun ada perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Yang paling sering, di
antaranya mual, muntah, konstipasi, dan rasa mengantuk. Dosis yang lebih besar
menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Overdosis, lihat Perawatan Darurat pada
Keracunan. Mengemudi yang menimbulkan Rasa mengantuk dapat mempengaruhi
kemampuan kerja seseorang (misalnya mengemudi); efek alkohol diperkuat.
Pilihan Morfin tetap merupakan analgesik opioid pilihan untuk nyeri berat
walaupun sering mengakibatkan mual dan muntah. Morfin merupakan standar yang
digunakan sebagai pembanding bagi analgesik opioid lain. Namun selain
menghilangkan nyeri, morfin juga menimbulkan keadaan euforia dan gangguan mental.

Morfin merupakan opioid pilihan untuk pengobatan oral nyeri berat pada perawatan
paliatif. Obat diberikan tiap 4 jam (atau tiap 12 atau 24 jam sebagai sediaan lepas
lambat).

a. Kodein efektif untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang, tetapi terlalu
sering menimbulkan konstipasi bila dipakai untuk jangka panjang.
b. Difenoksilat (dikombinasi dengan atropin, sebagai co-phenotrope) digunakan
pada diare akut.
c. Dipipanon yang digunakan secara tunggal kurang menimbulkan sedasi
dibanding morfin, tetapi merupakan satu-satunya sediaan yang mengandung
antiemetik dan oleh karena itu tidak sesuai sebagai regimen reguler pada
perawatan paliatif.
d. Oksikodon mempunyai khasiat dan efek samping yang mirip dengan morfin.
Biasanya digunakan pada penanganan nyeri pada perawatan paliatif.
e. Metadon kurang menimbulkan sedasi dibanding morfin dengan masa kerja
lebih lama.. Metadon dapat digunakan sebagai pengganti morfin pada penderita
yang mengalami reaksi eksitasi (atau eksaserbasi rasa nyeri) dengan morfin.
f. Diamorfin (heroin) adalah opioid analgesik yang sangat kuat. Diamorfin dapat
menyebabkan lebih sedikit mual dan hipotensi dibanding morfin. Pada
perawatan paliatif kelarutan diamorfin yang lebih besar memungkinkan dosis
efektif disuntikkan dengan volume yang lebih kecil dan hal ini penting pada
pasien yang sangat kurus.
g. Dihidrokodein memiliki khasiat analgesik mirip kodein. Dosis dihidrokodein
per oral biasanya 30 mg tiap 4 jam, menggandakan dosis menjadi 60 mg dapat
meningkatkan efek analgesiknya, tetapi mual dan muntah juga meningkat.

Alfentanil, fentanil, dan remifentanil biasanya digunakan melalui injeksi sebagai


penghilang nyeri dalam intra-operasi; fentanil tersedia dalam sediaan transdermal
seperti plester yang diganti setiap 72 jam. Meptazinol dinyatakan jarang menimbulkan
depresi pernapasan. Lama kerjanya 2-7 jam dan mula kerja 15 menit.

Anda mungkin juga menyukai