Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver
somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin.Nama
Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan
narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium.
Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin
(diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone
(Dilaudid).Opiat adalah obat-obatan yang memengaruhi kerja otak. Pengguna opiat
sering bermimpi yang indah-indah, merasakan seakan-akan terbang.
Heroin merupakan turunan dari opium yang merupakan obat yang bersifat adiktif
berbahaya .Heroin atau Putaw adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang
kecanduan karena efeknya yang sangat kuat. Heroin/Putaw bentuk pil, bubuk, dan ada
juga dalam bentuk cairan.Apabila seseorang yang sudah ketergantungan dengan heroin
(putaw) dapat membahayakan fisik maupun mental. Seseorang yang sudah kecanduan
dengan heroin, ketika berhenti mengkonsumsi, akan mengalami rasa sakit yang
berkesinambungan.
Heroin, juga disebut dengan "chasing the dragon."Dan heroin mempunyai kekuatan dua
kali lebih kuat dari morfin. Di negera kita, Indonesia termasuk jenis narkotika yang
paling sering disalahgunakan.kecanduan karna efeknya sangat kuat. Kemurnian dari
morfin sebagai bahan baku akan menetukan kualitas dari heroin yang dihasilkan.
Produsen besar dari opium dan turunannya yang paling dikenal di Asia adalah daerah
Segi Tiga Emas (Golden Triangle), sebuah kawasan perbatasan Vietnam, Laos,
Thailand, dan Myanmar. Di samping itu, daerah Timur Tengah seperti Afganistan dan
Irak termasuk produsen heroin yang cukup dikenal.
Pada tahun 1898 sampai 1910, heroin telah dipasarkan secara luas sebagai
pengganti morfin yang nonadiktif dan sebagai obat batuk bagi anak-anak.Bahkan
industri farmasi besar sekelas Bayer (asal Jerman), sempat memasarkan heroin sebagai
obat dalam penyembuhan bagi ketergantungan morfin.
a. kejang-kejang, mual,
b. hidung dan mata yang selalu berair,
c. kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh,
d. mengantuk, cadel, bicara tidak jelas,
e. tidak dapat berkonsentrasi Sakaw atau
f. sakit karena putaw terjadi apabila si pecandu “putus” menggunakan putaw.
Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si
pecandu melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi
untuk sembuh.
Gejala sakau
Heroin disebut juga dengan nama : putauw, putih, bedak, PT, etep, dll. Heroin adalah
obat bius yang sangat mudah membuat seseorang.
3. Codein
Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu.Efek codein lebih lemah
daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah.Biasanya
dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih.Cara pemakaiannya ditelan dan
disuntikkan.Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu.Efek codein lebih
lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan
rendah.Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih.Cara pemakaiannya ditelan
dan disuntikkan.
4. Methadone
5.Demerol
Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan
suntikan.Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna.
Opioid bekerja sebagai agonis pada reseptor opioid sterespesifik pada tempat
presinaps dan postsinaps pada system saraf pusat (SSP) (utamanya di batang otak dan
korda spinalis) dan dilluar SSP pada jaringan perifer (Pleuvry,1993; Stein,1993;
Stein,1995). Keadaan hiperalgesik inflamasi tampak dapat diterima secara khusus pada
kerja antinisiseptif opioid perifer.Mekanisme yang paling mungkin pada kerja perifer ini
tampaknya menjadi aktivasi pada reseptor opioid yang berlokasi pada saraf aferen
primer. Reseptor opioid yang sama secara normal diaktivasi oleh tiga ligand reseptor
opioid peptide endogen yang dikenal dengan enkephalin, endorphin dan dynorphin.
Enkephalins (berati di dalam kepala) adalah suatu polipeptida kecil, terikat dengan
reseptor opium dalam tanduk dorsal sumsum tulang belakang dan kelihatannya
menghambat pelepasan substansi P. Enkephalins juga ditemukan di luar sumsum tulang
belakang yaitu di dalam batang otak, sistem limbik, hipotalamus, kelenjar adrenal dan
saluran pencernaan. 2 jenis enkephalins yang menonjol adalah leuenkephalin & met-
enkephalin
Endorphins (berarti di dalam morphin) adalah polipetida yang lebih besar, disintesis
dan disimpan dalam kelenjar pituitary, yang juga dapat ditemukan di hipotalamus, otak
tengah, sistem limbik dari SSP. Ada beberapa golongan endorphin, salah satunya adalah
beta-endorphin, yang konsentrasi terbanyaknya ada di hipotalamus dan kelenjar
pituitary.Betaendorphin lebih poten daripada enkephalin. Betaendorphin akan
meningkat dengan latihan (exercise)
Opioid menyerupai kerja dari ligan endogen ini melalui ikatan pada resptor
opioid, yang terjadi dalam aktivasi sistem modulasi nyeri (antinosesptif).i
Efek utama pada aktivasi reseptor opioid adalah suatu penurunan pada
neurotransmisi (Atecheson dan Lambert,1994; de Leon-Casasola dan Lema,1996).
Penurunan pada neorotansmisi terjadi secara luas melaui inhibisi presinaps pada
pelepasan neurotransmitter (asetilkolin, dopamis, norepinefrin, substansi P), meskipun
inhibisi postsinaps pada pembangkitan aktivitas mungkin juga terjadi.
Reseptor ini diaktifkan oleh peptida opioid endogen maupun oleh pemberian
senyawa opiat eksogen (Waldhoer, 2004). Setelah reseptor opioid ini diaktivasi oleh
ligannya, komplek reseptor-ligan opioid ini masuk ke dalam sel. Pada kondisi normal,
sebagian besar kompleks reseptor-ligan yang masuk ke dalam sel itu direcycle (didaur
ulang) kembali ke permukaan sel dan ada beberapa kompleks reseptor-ligan yang
terdegradasi melalui proses biokimiawi kompleks. Sehingga timbullah suatu peristiwa
keseimbangan antara kompleks reseptor yang mengalami recycle dan yang terdegradasi.
Gejala intoksikasi opioid berkembang dengan cepat setelah satu dosis IV (1-5 menit)
lamanya bervariasi bergantung pada obat yang digunakan.
Gejala psikologis: suatu keresahan segera mengikuti masuknya obat secara IV
(digambarkan sebagai”orgasme seluruh tubuh”dengan fokusnya dibagian perut). Hal ini
disertai dengan euphoria dan suatu perasaan bahagia atau disforia (biasanya ansietas dan
ketakutan), perasaan mengantuk, “terkantuk-kantuk”, apatis, kemunduran psikimotor,
dan sulit berkonsentrasi.
Gejala fisik: miosis (konstriksi pupil), ucapan yag tidak jelas, depresi respiratorik,
hipotensi, hipertemia, bradikardia, konstipasi, serta mual dan muntah. Ulkus pada kulit
sering terjadi pada injeksi mepheridine.Kejang-kejang mungkin terjadi pada pasien yang
toleran terhadap mipheridin.
Gejala putus zat opioid: tidak nyama, tetapi tidak mengancam nyawa pada
dewasa muda sehat dan penatalaksanaannya tidak sebahaya atau sesulit seperti pada
gejla lepas zat dari obat-obatan sedative hipnotis. Gejala putus zat mirip untuk tiap
narkotika, tetapi lama terjadiya bervariasi (bergantung pada berapa besar kebiasaannya).
a. Kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea
lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi takikardia
disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia.
b. Seseorang yang ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid,
kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit
jantung.
c. Gejala residual seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan
kecanduan opiat mungkin menetap selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap
waktu selama sindroma abstinensi, suatu suntikan tunggal morfin atau heroin
menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah kegelisahan,
iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah.
Efek Samping Berbagai analgesik opioid memiliki banyak efek samping yang
sama walaupun ada perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Yang paling sering, di
antaranya mual, muntah, konstipasi, dan rasa mengantuk. Dosis yang lebih besar
menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Overdosis, lihat Perawatan Darurat pada
Keracunan. Mengemudi yang menimbulkan Rasa mengantuk dapat mempengaruhi
kemampuan kerja seseorang (misalnya mengemudi); efek alkohol diperkuat.
Pilihan Morfin tetap merupakan analgesik opioid pilihan untuk nyeri berat
walaupun sering mengakibatkan mual dan muntah. Morfin merupakan standar yang
digunakan sebagai pembanding bagi analgesik opioid lain. Namun selain
menghilangkan nyeri, morfin juga menimbulkan keadaan euforia dan gangguan mental.
Morfin merupakan opioid pilihan untuk pengobatan oral nyeri berat pada perawatan
paliatif. Obat diberikan tiap 4 jam (atau tiap 12 atau 24 jam sebagai sediaan lepas
lambat).
a. Kodein efektif untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang, tetapi terlalu
sering menimbulkan konstipasi bila dipakai untuk jangka panjang.
b. Difenoksilat (dikombinasi dengan atropin, sebagai co-phenotrope) digunakan
pada diare akut.
c. Dipipanon yang digunakan secara tunggal kurang menimbulkan sedasi
dibanding morfin, tetapi merupakan satu-satunya sediaan yang mengandung
antiemetik dan oleh karena itu tidak sesuai sebagai regimen reguler pada
perawatan paliatif.
d. Oksikodon mempunyai khasiat dan efek samping yang mirip dengan morfin.
Biasanya digunakan pada penanganan nyeri pada perawatan paliatif.
e. Metadon kurang menimbulkan sedasi dibanding morfin dengan masa kerja
lebih lama.. Metadon dapat digunakan sebagai pengganti morfin pada penderita
yang mengalami reaksi eksitasi (atau eksaserbasi rasa nyeri) dengan morfin.
f. Diamorfin (heroin) adalah opioid analgesik yang sangat kuat. Diamorfin dapat
menyebabkan lebih sedikit mual dan hipotensi dibanding morfin. Pada
perawatan paliatif kelarutan diamorfin yang lebih besar memungkinkan dosis
efektif disuntikkan dengan volume yang lebih kecil dan hal ini penting pada
pasien yang sangat kurus.
g. Dihidrokodein memiliki khasiat analgesik mirip kodein. Dosis dihidrokodein
per oral biasanya 30 mg tiap 4 jam, menggandakan dosis menjadi 60 mg dapat
meningkatkan efek analgesiknya, tetapi mual dan muntah juga meningkat.