Anda di halaman 1dari 24

Laporan Pendahuluan

Miestania Gravis

1. Landasan Teoritis Penyakit


A. Defenisi
Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis.
Miastenia berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi,
terutama yang diinervasi oleh nukleus motorik di batang otak seperti otot
mata, otot kelopa mata, otot pengunyah, dan otot wajah. Gravis sendiri
berasal dari kata “grave” yang berarti buruk. Miastenia gravis adalah
penyakit kelemahan otot motorik yang berfluktuasi dan prognosisnya
buruk (Hill, 2005).
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi dengan remisi dan
eksaserbasi yang melibatkan kelompok otot satu atau beberapa rangka,
terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACHR)
di lokasi pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler tanpa adanya
gangguan sensorik (Romi, 2015).

B. Etiologi
MG adalah idiopatik pada kebanyakan pasien. Meskipun penyebab
utama di balik perkembangannya masih bersifat spekulatif, hasil akhirnya
adalah kekacauan regulasi sistem kekebalan tubuh. MG jelas merupakan
penyakit autoimun dimana antibodi spesifik telah ditandai sepenuhnya.
Dalam sebanyak 90% kasus umum, IgG terhadap ACHR terbukti. Bahkan
pada pasien yang tidak mengembangkan miastenia klinis, anti-antibodi
ACHR kadang-kadang dapat ditunjukkan.
Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif
untuk antibodi terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). biopsi otot
pada pasien ini menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan
mitokondria menonjol yang bertentangan dengan fitur neurogenik dan
atrofi sering ditemukan pada pasien positif MG untuk anti-ACHR.
Penurunan mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti MuSK positif
MG okulobulbar.
Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG. Misalnya, perempuan
dan orang dengan leukosit antigen tertentu manusia (HLA) jenis memiliki
kecenderungan genetik terhadap penyakit autoimun. Profil
histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8, HLA-DRw3, dan HLA-
DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan bentuk ketat
okular MG). Kedua SLE dan RA mungkin berhubungan dengan MG.
Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki reaktivitas silang
dengan reseptor AcH nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab
miastenia gravis, tetapi antigen pemicu belum diidentifikasi. Berbagai
obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk yang
berikut:
a) Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin,
eritromisin, dan ampisilin)
b) Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan
tinggi anti-ACHR titer antibodi terlihat pada 90% kasus, namun,
kelemahan ringan, dan pemulihan penuh dicapai minggu sampai
bulan setelah penghentian obat
c) Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol
dan oxprenolol)
d) Lithium
e) Magnesium
f) Procainamide
g) Verapamil
h) Quinidine
i) Klorokuin
j) Prednisone
k) Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk
glaukoma)
l) Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
m) Agen memblokir neuromuscular (misalnya, vecuronium dan
curare) - Ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
myasthenic untuk menghindari blokade neuromuskuler yang
berkepanjangan
n) Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG
okular dalam 1 laporan kasus; penghentian pemberian obat
mengakibatkan pemulihan lengkap.
Kelainan timus yang umum, dari pasien dengan MG, 75% memiliki
penyakit timus, 85% memiliki hiperplasia timus, dan 10-15% mengalami
timoma. Tumor Ektratimik mungkin termasuk sel kanker paru-paru kecil
dan penyakit Hodgkin. Hipertiroidisme hadir dalam 3-8% pasien dengan
MG dan memiliki hubungan tertentu dengan MG okular

C. Manifestasi Klinis
Keluhan awal yang biasanya terjadi adalah kelemahan otot spesifik
bukan kelemahan otot yang umum dan kondisinya memburuk biasanya
berfluktuasi selama beberapa jam. Tidak terlalu terlihat pada pagi hari dan
biasanya memburuk seiring berjalannya hari (Price,2013).
Ocular MG dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang
tersembunyi dan membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua
kelopak mata atau otot bola mata . Jika meliputi kelopak mata yang jatuh
biasanya dikenal sebagai ptosis ; yang mengenai otot extraocular maka
pasien akan melihat dobel pada arah otot yang lemah.Pasien MG
mempunyai keluhan diplopia pada saat onset penyakit mereka. Pasien
merasakan penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya tidak terlihat
beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat
kearah lateral dan ke atas, biasanya memburuk saat pasien menyetir,
menonton tv, atau saat sore hari. Gejala tersebut hilang apabila satu mata
ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan pada satu
otot ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang
paling menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus
ptosis unilateral, mata yang tidak ptosis akan mengalami ptosis jika mata
yang ptosis di buka dengan menggunakan jari (Hering fenomena).
Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguan
motilitas okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil
didapatkan normal, harus mengarahkan kecurigaan pada myasthenia
gravis MG (Price, 2013).
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot
mata, tetapi biasanya kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi
wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi saraf kranial seperti karsinoma
nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah normal. Namun,
terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan
gejala MG (Price, 2013)
Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat
umum dari MG yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan
kelopak mata tertutup atas terhadap upaya pemeriksa untuk membukanya.
Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan kelopak mata akan
memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama
penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan blefarospasme dari otot-
otot orbicularis oculi mungkin mengeluh kesulitan menjaga mata terbuka,
kondisi ini kadang-kadang bingung dengan kelemahan myasthenic.
Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan blefarospasme, dan
penutupan kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi
simultan pada kelopak mata bawah. Kelemahan Orbicularis Oris
merupakan ketidakmampuan pasien untuk mencegah keluarnya udara
melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi adalah pertanda
kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang disebut "
myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui
sedotan, atau meledakkan balon (Price, 2013).
Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh
kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai oleh kekuatan mendorong
lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan MG, bicara cadel
dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan, seperti
menjelang akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik
tidak khas pada MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di MG dan lidah
berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini (Price, 2013).
Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam
mengunyah karena kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot
masseter), sedangkan pembuka rahang tetap kuat. Ketika kelemahan
parah, rahang mungkin tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan
tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling serius dari myasthenia
adalah disfagia karena kelemahan otot lidah dan faring posterior. Jika
kelemahan otot faring muncul, cairan lebih sulit untuk ditelan dari yang
padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan dingin.
Adakalanya pasien untuk menggunakan es batu untuk meminum cairan
yang dibutuhkan. regurgitasi cairan ke hidung dapat menjadi masalah jika
ada kelemahan otot palatal. Ketidakmampuan untuk menelan air liur
adalah konsekuensi paling parah kelemahan faring dan membutuhkan
suktion mulut.. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini, sebuah
sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk
suplemen gizi (Price, 2013).
Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan
otot yang menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang
lemah diminta untuk menahan kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering
terlibat dalam MG daripada ekstensor leher. Pasien telentang sangat
mengalami kesulitan dalam mengangkat kepala dari bantal. Jalan napas
dapat menjadi terhambat oleh penutupan glotis, yang disebabkan oleh
kelemahan otot rangka yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat
dideteksi dengan adanya “stridor”, selama dalam usaha inspirasi dan
dapat meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah pasien
membutuhkan intubasi endotrakeal (Price, 2013).
Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. pasien
myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk
mempertahankan jalan napas paten dikatakan crisis. kelumpuhan Vokal
dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara
terhambat oleh sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk
terlalu lemah. Batuk membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi
dan batuk berulang terutama dengan cepat dapat menjadi tidak efektif
pada MG. Bahkan jika jalan napas paten, otot yang digunakan untuk
inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin terlalu lemah untuk
menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau
kapasitas vital (> 20 ml / kg berat badan). Pasien tersebut harus diintubasi
dan dibantu dengan respirasi mekanis. Karena kurangnya ekspresi wajah
pasien, penderita MG dalam masa krisis tidak mungkin terlihat tertekan
namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Biasanya, pasien
duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan efek gravitasi pada
diafragma. Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai masalah
pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot pernapasan yang
mengganggu tidur mereka dan dengan demikian menyebabkan mereka
menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang hari. Terkadang sebuah
penelitian tidur berguna dalam mengidentifikasi masalah tersebut (Price,
2013).
Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari
kelemahan otot pada MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan
inkontinensia urin mengklaim bahwa itu diringankan oleh obat
antikolinesterase. Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan
prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan inkontinensia. Jika,
seperti biasanya dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus selama
operasi, suatu sfingter eksternal yang lemah mungkin tidak dapat
melakukan kontraksi refleks selama batuk atau regangan (Price, 2013).
Kelemahan otot ekstrimitas atas proksimal di mana kesulitan dalam
mengangkat lengan untuk mencuci atau menyikat rambut, berpakaian,
memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan kelemahan bahu dan
lengan. kelelahan otot ekstremitas atas dapat diuji secara semikuantitatif
dengan kemampuan timing pasien untuk menahan lengan ke depan saat
ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah karakteristik dari
congenital slow-channel myasthenic syndrome (Price, 2013).
Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan
menaiki tangga atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG.
kelelahan otot tungkai dapat diuji dengan meminta pasien untuk
mengangkat satu kaki di atas yang lain hingga 50 kali, penilaian langsung
dari kekuatan fleksor pinggul akan memperlihatkan peningkatan
kelemahan dari otot-otot aktif pada MG, dibandingkan dengan sisi tidak
aktif (William, 2012).
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan yang terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai
kelemahan pada miopati proksimal dari pada kelemahan otot distal.
Kelemahan otot-otot ekstremitas pada khususnya yang timbul sebagai
sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya 10% saja. Beberapa
faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk:
 Kelelahan, kurang tidur
 Stres, kecemasan, Depresi
 Kelelahan, gerakan berulang
 Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim
 Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)
 Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan
beberapaantibiotik
 Minuman beralkohol
 Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah
 Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan
mungkin tetaptimbul sebentar setalah penyakit / infeksi tersebut
sembuh.
 Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk (William,
2012).

D. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


a. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena,
bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg
tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan
hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap.
Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan
sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Pada tes
Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-
gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak
lama kemudian akan lenyap (William, 2012).
b. Uji Kinin.
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala
seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk
uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat (William, 2012).
c. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.
80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari
penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-
asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa
miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi
(William, 2012).
d. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia
gravis. Tes ini menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang
menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien
tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat
menunjukkan hasil positif (William, 2012).
e. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab (William, 2012).
f. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot
rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu
dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia
muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan
yang kuat akan adanya thymoma pada pasienmuda dengan miastenia
gravis (William, 2012).
g. Chest x-ray
foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai
suatu massa pada bagian anterior mediastinum.Hasil roentgen belum
tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga
terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk mengidentifikasi
thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita
dengan usia tua (William, 2012)..
h. MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk
mencari penyebab defisit pada saraf otak (William, 2012).

E. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


a. Penatalaksanaan Medis
1. Kolinesterase inhibitor
a. Pyridostigmine
Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat
(SSP), dan kelenjar sekretori, di mana kerjanya memblok
AChE. agen intermediate-acting, lebih disukai dalam
penggunaan klinis daripada “short-acting” bromida
neostigmine dan “long acting” klorida ambenonium. bekerja
dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam. MG tidak
mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua
gejala mungkin tidak dapat dikendalikan tanpa efek samping.
Pada pasien kritis atau pasca operasi, obat diberikan secara
intravena (IV). Bentuk timespan adalah sebagai adjuvan
pyridostigmine reguler untuk mengontrol gejala myasthenic
pada malam hari. Penyerapan dan bioavailabilitas tablet
timespan bervariasi antara pasien.
b. Neostigmine
Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE,
sehingga memfasilitasi transmisi impuls di NMJ. Ini adalah
AChE inhibitor short-acting yang tersedia dalam bentuk oral
(15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV,
intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-
60 menit. Obat ini sulit diserap dalam saluran gastrointestinal
(GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine tidak ada.
c. Edrophonium
Edrophonium terutama digunakan sebagai alat diagnostik
untuk memprediksi respon terhadap long-acting cholinesterase
inhibitor. Seperti cholinesterase inhibitor lain, edrophonium
menurunkan metabolisme AcH, meningkatkan efek kolinergik
di NMJ.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi
digunakan untuk mengobati idiopatik dan gangguan autoimun.
Obat ini termasuk di antara para agen imunomodulasi yang
pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih sering
digunakan dan efektif. Obat ini biasanya digunakan dalam kasus
sedang atau berat yang tidak merespon terhadap AChE inhibitor
dan thymectomy. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau
menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan
mungkin terjadi awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4
minggu. Agen ini biasanya diberikan lebih dari 1 atau 2 tahun.
Remisi didapatkan 30% dan perbaikan 40%. Kortikosteroid
bekerja di kedua MG baik ocular MG maupun MG generalisata.
Mereka dapat dikombinasikan dengan obat imunosupresif lainnya
untuk efek yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi
yang lebih singkat.
a. Prednisone
Prednisone efektif dalam mengurangi eksaserbasi MG dengan
menekan pembentukan autoantibodi. Namun, efek klinis
sering tidak terlihat selama beberapa minggu. Peningkatan
signifikan, yang mungkin berhubungan dengan titer antibodi
menurun, biasanya terjadi pada 1-4 bulan.
b. Methylprednisolone
Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang
diintubasi dan pada mereka tidak dapat mentoleransi asupan
oral. Ini mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi sel
polimorfonuklear (PMN) dan membalikkan peningkatan
permeabilitas kapiler.
3. Imunosupresan
a. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga
memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika
dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan
saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama.
Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan
azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek samping
kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan
steroid-sparing medications, misalnya: azathioprine, dengan
dosis yang ditingkatkan secara bertahap sampai 2-3
mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2
tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada
kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan
kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi.
b. Mycophenolate mofetil
sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau
corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali
sehari. Selama mimum obat ini, disarankan untuk menghindari
paparan sinar ultraviolet. Manfaat (perbaikan) klinis dapat
dirasakan setelah 1-2 bulan, sedangkan efek maksimal obat ini
biasanya dirasakan sekitar 6 bulan. Penggunaan mycophenolate
mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak dianjurkan.
c. Cyclosporine
d. Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2
x sehari; setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5
mg/KgBB/hari dengan interval 2 minggu, sampai dosis
maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide dapat
digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping
dan dapat memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat,
potassium, lipid, magnesium, serum creatinine dan BUN) pasien
secara ketat (setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi, lalu
setiap bulan jika pasien sudah stabil).
4. Imunoglobulin
IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan
kelemahan berat yang kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau
sebagai pengganti dari pertukaran plasma dengan dosis 1 g / kg. IVIG
efektif dalam MG sedang atau berat yang memburuk menjadi krisis.
Dosis tinggi IVIG berhasil pada MG, meskipun mekanisme kerja tidak
diketahui. Hal ini digunakan dalam manajemen krisis (misalnya,
myasthenic krisis dan periode perioperatif) bukan atau dalam
kombinasi dengan plasmapheresis. Seperti plasmapheresis, ia
memiliki onset yang cepat, tetapi efek berlangsung hanya dalam
waktu singkat
5. Plasmaparesis
Plasmapheresis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan
menghilangkan faktor humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan
kompleks imun) dari sirkulasi. Hal ini digunakan sebagai tambahan
untuk terapi imunomodulator lain dan sebagai alat untuk manajemen
krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis umumnya digunakan untuk
myasthenic krisis dan kasus-kasus refrakter. Perbaikan terjadit dalam
beberapa hari, tetapi tidak berlangsung lebih dari 2 bulan.
Plasmaferesis merupakan terapi efektif untuk MG, terutama dalam
persiapan untuk operasi atau jangka pendek pengelolaan eksaserbasi.
Plasmapheresis jangka panjang teratur setiap minggu atau bulanan
bisa digunakan bila pengobatan lain tidak dapat mengendalikan
penyakit ini. Komplikasi terutama terbatas pada komplikasi intravena
(IV) akses (misalnya, penempatan garis pusat) tetapi juga dapat
mencakup gangguan hipotensi dan koagulasi (meskipun jarang).
6. Thimektomi
Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam
myasthenia gravis (MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma.
Thimectomi direkomendasikan sebagai pilihan untuk meningkatkan
kemungkinan remisi atau perbaikan.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Perawatan Intensif : Pasien harus diawasi sangat hati-hati, terutama
pada eksaserbasi, dengan mengukur kekuatan inspirasi negatif dan
kapasitas vital. Gagal napas pada pasien MG dapat sering terjadi
jika kondisi tidak diawasi secara ketat karena MG merupakan
penyakit yang dapat memperburuk kondisi dalam hitungan hari atau
minggu.
b. Pemberian Terapi Oksigen : Pemberian terapi oksigen dengan mask
dibutuhkan untuk mempertahankan ventilasi dan saturasi
pernapasan pasin MG dalam kondisi 97%.
c. Pemberian Cairan dan Elektrolit : Umumnya diberikan Normal
Saline 0,9% dengan tetesan cepat.
d. Edukasi Pasien dan Keluarga
1. Instruksikan pasien dan keluarga berkaitan dengan gejala krisis
miastenia
2. Ajari pasien cara-cara untuk mencegah krisis dan memburuknya
gejala seperti :
 Hindari terpajan flu dan infeksi lain
 Hindari panas atau dingin yang berlebihan
 Beritahu pasien untuk menginformasikan pada dokter
gigi tentang kondisi, karena penggunaan prokain
(navokaine) tidak ditoleransi dengan baik dan dapat
mencetuskan krisis
 Hindari kesedihan secara emosional
3. Tinjau kembali masa puncak obat dan bagaimana menjadwalkan
akivitas untuk mendapatakn hasil yang baik
4. Tekankan pentingnya priode istirahat yang terjadwal untuk
menghindari keletihan
5. Anjurkan pasien untuk memakai gelang kewaspadaan medis

F. Komplikasi
Komplikasi myasthenia gravis yang paling berbahaya adalah
myasthenic crisis. Kondisi ini terjadi ketika otot tenggorokan dan
diafragma terlalu lemah untuk mendukung proses pernapasan, sehingga
penderitanya mengalami sesak napas akibat kelumpuhan otot-otot
pernapasan.
Myasthenic crisis dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti infeksi
saluran pernapasan, stres, atau komplikasi dari prosedur operasi. Pada
myasthenic crisis yang parah, penderita bisa berhenti bernapas. Dalam
kondisi ini, dibutuhkan alat bantu napas (ventilator) untuk membantu
penderita bernapas, sampai otot-otot pernapasan dapat kembali bergerak.
Selain henti napas, penderita myasthenia gravis juga berisiko tinggi
mengalami penyakit autoimun lain, seperti tirotoksikosis, lupus, dan
rheumatoid arthritis.
G. WOC

e. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
a. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis
minta pertolongan kesehatan sesuai kondisi dari adanya penurunan
atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan
ganda), ptosis ( jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama
dari 90% klien miestenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah
menelan, dan menguyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama
biasanya adalah ketidak mampuan menutup rahang, ketidakmampuan
batuk efektif, dan dispenia.
b. Riwayat Kesehatan Saat ini
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien
mencoba menelan (otot-otot palatum) menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup mulut
yang dinamakan sebagi tanda rahang menggantung. Terserangnya
otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan
akhirnya dapat berupa serangan dispenea dan klien tak lagi mampu
membersihkan lendir dari trakea dan cabang-cabangnya.Pada kasus
lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang dan terjadi kelemahan
semua otot-otot rangka. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat
diredakan dengan beristirahat dan memberikan obat antikolinesterase
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang
memperberat kondisi miastenia grafis seperti hipertensi dan diabetes
militus.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai
persamaan dengan keluhan klien saat ini.

11 Pengkajian Fungsional Gordon :


a. Pola Persepsi Kesehatan : Ketidaktahuan klien tentang informasi dari
penyakit yang dideritanya.
b. Pola Nutrisi Metabolik : Kehilangan berat badan yang mendadak,
nafsu makan menurun, kurus,makannya sering, kehausan, mual dan
muntah.
c. Pola Eliminasi : Urine dalam jumlah banyak, urin encer berwarna
pucat dan kuning, perubahan dalamfeses ( diare ), sering buang air
besar dan terkadang diare, keringat berlebihan, berkeringat dingin.
d. Pola Aktivitas : Latihan sensitivitas meningkat, otot lemah, gangguan
koordinasi, kelelahan berat, palpitasi, nyeri dada, Bicaranya cepat dan
parau, gangguan status mental dan perilaku, seperti:
bingung,disorientasi, gelisah, peka rangsang, delirium, psikosis,
stupor, koma, tremor halus padatangan, tanpa tujuan, beberapa bagian
tersentak sentak, hiperaktif refleks tendon dalam(RTD). frekuensi
pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada
krisistirotoksikosis), Jari tangan gemetar (tremor), Jantung berdebar
cepat, denyut nadi cepat,seringkali sampai lebih dari 100 kali per
menit Rasa capai, Otot lemas, terutama lenganatas dan paha,
Ketidaktoleranan panas Pergerakan-pergerakan usus besar yang
meningkat Gemetaran Kegelisahan; agitasi.
e. Pola Istirahat Dan Tidur : Insomnia sehingga sulit untuk
berkonsentrasi
f. Pola Kognitif Perseptual : Ada kekhawatiran karena pusing,
kesemutan, gangguan penglihatan, penglihatan ganda,gangguan
koordinasi, Pikiran sukar berkonsentrasi.
g. Pola Persepsi Diri : Gangguan citra diri akibat perubahan struktur
anatomi, mata besar (membelalak = exophthalmus), keluhan lain
pada mata (spt nyeri,peka cahaya,kelainan penglihatan
danconjunctivitis), kurus.
h. Pola Peran : Hubungan Nervus, tegang, gelisah, cemas, mudah
tersinggung. Bila bisa menyesuaikan tidak akan menjadi masalah
dalam hubungannya dengan anggota keluarganya.
i. Pola Seksualitas : Reproduksi penurunan libido, hipomenore,
amenore dan impoten, Haid menjadi tidak teratur dan sedikit, Bola
mata menonjol, dapat disertaidengan penglihatan ganda (double
vision).
j. Pola Koping : Toleransi stress Mengalami stres yang berat baik
emosional maupun fisik. Emosi labil (euforia sedangsampai
delirium), depresi.
k. Pola Nilai Kepercayaan : Tergantung pada kebiasaan, ajaran dan
aturan dari agama yang dianut oleh individu tersebut. Nervus, tegang,
gelisah, cemas.

Pemeriksaan Fisik :
1. B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan
batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan
peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi dan stridor pada klien menandakan adanya
akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot
pernapasan
2. B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi
dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan
kondisi tidak membaikya status pernapasan,Hipotensi / hipertensi,
takikardi / bradikardi
3. B3(brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot
ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau
dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik
4. B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine,ini berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Pemeriksaan lainnya
berhubungan dengan Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine,
hilangnya sensasi saat berkemih.
5. B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun
karena ketidakmampuan menelan maknan sekunder dari kelemahan
otot-otot menelan.pemeriksaan lainnya berhubungan dengan kelemahan
otot diafragma dan peristaltic usus turun.
6. B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktifitas perawatan diri. Pemeriksaan lainnya
berhubungan dengan Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot
yang berlebihan.

Pemeriksaan Neurologis 12 Saraf Kranial :

a. Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan
b. Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda
c. Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya
oftalmoglegia, mimik dari pseudointernuklear oftalmoglegia akibat
gangguan motorik pada saraf VI
d. Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah.
e. SarafVII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan
motorik lidah/triple-furrowed lidah
f. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
g. Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
h. Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
i. Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah
B. Perumusan Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
peningkatan produksi mokus dan penurunan kemampuan batuk efektif
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan
4. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
volunter
5. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, hilangnya kontrol
tonus otot fasial atau oral
6. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan adanya ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal
C. Penentuan Kriteria Hasil dan Intervensi Keperawatan

Diagnosis Keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


1. Pola Napas Tidak Efektif 1. Status pernapasan 2. Manajemen Jalan Napas
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil : Dipertahankan 1 Aktivitas :
- Pola napas abnormal ditingkatkan 5 - Buka jalan nafas, gunakan teknik
- Bradipnea - Frekuensi pernapasan chin lift atau jaw thrust bila perlu
- Dispnea - Kedalaman inspirasi - Posisikan pasien untuk
- Ortopnea - Kepatenan Jalan Napas memaksimalkan ventilasi
- Pernapasan cuping hidung - Identifikasi pasien perlunya
- Fase ekspirasi memanjang pemasangan alat jalan nafas buatan
- Pursed lip-breathing - Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Takipnea - Keluarkan sekret dengan batuk atau
- Penggunaan otot bantu napas suction
- Peningkatan diameter anterior- - Auskultasi suara nafas, catat adanya
posterior suara tambahan
- Lakukan suction, bila perlu
- Berikan bronkodilator bila perlu
- Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan
3. Monitor Pernapasan
Aktivitas :
- Monitor kecepatan,irama,
kedalaman dan kesulitan
bernapas
- Catat pergerakan dada,catat
ketidaksimetrisan, penggunaan
otot bantu napas, dan retraksi
pada oto supraclaviculas dan
intercostra
- Monitor suara napas tambahan
seperti stridor atau mengi
- Monitor pola pernapasan (seperti
bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, pernapasan
kussmaul, 1:1)
- Montor saturasi oksigen pada
pasien yang tersedasi
- Perkusi toraks anterior dan
posterior dari ke apeks ke basis
paru, kanan dan kiri
- Monitor kelelahan otot-otot
diafragma dengan pergerakan
parasoksikal
- Auskultasi suara napas, catat
area dimana terjadi penurunan
atau tidak adanya ventilasi dan
keberadaan suara napas
tambahan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari 1. Status Nutrisi 1. Manajemen Nutrisi
kebutuhan tubuh Kriteria Hasil : Dipertahankan 1 Aktivitas :
Batasan Karakteristik : Ditingkatkan 5 - Tentukan stats gizi pasien dan
- BB kurang dari 20% dari rentang - Asupan Makanan kemampuan untuk memenuhi
BB ideal
- Diare - Asupan Cairan kebutuhan gizi
- Kehilangan nafsu makan - Energi - Identifikasi adanya alergi/
- Rambut rontok - Hidrasi intoleransi makanan
- Bising usus hiperaktif - Instruksikan pasien mengenai
- Tonus otot menurun kebutuhan nutrisi
- Membran mukosa pucat - Tentukan jumlah kalori dan nutrisi
- Kelemahan otot pengunyah yang dibutuhkan untuk memenuhi
- Gangguan menelan persyaratan gizi
- Nyeri dan Kram abdomen - Kolaborasi pengaturan diet yang
diperlukan
- Anjurkan pasien terkait dengan
kebutuhan diet untuk kondisi sakit
- Monitor kalori dan asupan makanan
- Monitor kecenderungan terjadinya
penurunan dan kenaikan berat
badan
2. Manajemen Elektrolit/Cairan
Aktivitas :
- Pantau kadar elektrolit yang
abnormal
- Monitor perubahan status paru atau
jantung yang menunjukkan
kelebihan cairan/dehidrasi
- Dapatkan spesimen laboratorium
untuk pemantauan perubahan
cairan/ elektrolit
- Berikan cairan, yang sesuai
- Pastikan bahwa larutan IV yang
mengandung elektrolit diberikan
dengan aliran yang konstan
- Jaga pencatatan intake dan output
yang akurat
3. Gangguan Mobilitas Fisik 1. Manajemen Energi
Batasan Karakteristik : Aktivitas :
- Penurunan keterampilan motorik - Kaji status fisiologis yang
halus dan kasar menyebabkan kelelahan, sesuai
- Gangguan sikap berjalan konteks usia dan perkebangan
- Ketidaknyaman - Anjurkan pasien mengungkapkan
- Dispnea saat beraktivitas perasaan secara verbal mengenai
- Gerakan lambat keterbatasan yang dimiliki
- Gerakan tidak terorganisir - Gunakan instrumen valid untuk
- Penurunan rentang gerak mengukur kelelahan
- Perbaiki defisit status fisiologis
- Tentukan jenis aktivitas yang
dibutuhkan untuk menjaga ketahanan
- Monitor intake/asupan nutrisi untuk
mengetahui sumber energi yang
adekuat
- Monitor sistem kardiorespirasi
pasien selama kegiatan (seperti
takkiardia, disaritmia, dipsnea,
diaforesis, frekuensi pernapasan)
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN
MIASTENIA GRAVIS DI RUANG SARAF
RSUP DR.DJAMIL PADANG TAHUN 2019

KELOMPOK Q’19 :

CINDY AYU PRATIWI, S.Kep

1941313011

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2019
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. (2016). Nursing Intervention Classification (NIC) edisi bahasa


indonesia. Alih bahasa : Intansari Nurjannah. Singapore : Elsevier ltd.
Herdman, H. (2018). NANDA-I Diagnosis keperawatan defenisi dan klasifikasi
edisi 2018-2020. Jakarta EGC
Hill, McGraw. (2005).Myasthenia Gravis and Related Disorders of The
Neuromuscular Junction. In: Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victor’s :
Principles of Neurology 8th ed53: 1264-1250
Moorhead, S. (2016). Nursing Outcome Classification (NOC) Edisi Bahasa
Indonesia. Alih bahasa : Intansari Nurjannah. Singapore : Elsevier ltd.
Price, S., & Wilson, L. (2013). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. (H. Hartanto & N. Susi, Eds.) (Edisi 6 Vo). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
William, G. Myasthenia Gravis. 20 Januari 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 07 Juni 2012
Romi, dkk. (2005). Myasthenia gravis: clinical, immunological, and therapeutic
advances. Acta Neurol Scand. 111: 141-134

Anda mungkin juga menyukai