Anda di halaman 1dari 92

Pleno Modul 5

Kelompok 19 C
STEP 1 : TERMINOLOGI
 Test Wartenberg : memandang objek di atas bidang antara kedua
bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
 Counting test : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (positif).
 EMG : Elektromiografi (EMG) adalah teknik yang digunakan untuk
mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara merekam aktivitas
listrik yang dihasilkan oleh otot skeletal. Ini merupakan tes penting
yang digunakan untuk mendiagnosis kelainan otot dan saraf. Ini
sering digunakan untuk mengevaluasi kelainan sistem saraf periferal.
 CT Thorax : CT Scan Thorax merupkan teknik pemeriksaan secara
radiologi untuk mendapatkan informasi anatomis irisan atau
penampang melintang thorax.
 Rasa baal : Mati rasa alias baal adalah kondisi di mana tidak dapat
merasakan apapun. Kondisi ini terjadi, karena tidak tersalurkannya
rangsangan pada saraf, yang bertujuan dalam mengirimkan sinyal
rasa pada tubuh. Mati rasa disertai dengan timbulnya rasa kesemutan
dan sensasi rasa terbakar. Pada sebagian besar kasus, mati rasa
sering terasa pada jari, tangan, kaki, lengan, maupun telapak kaki.
Mengapa Ani mengeluh melihat ganda dan kelopak mata sulit
untuk dibuka terutama setelah pulang sekolah, dan keluhan
membaik setelah beristirahat?

 Melihat ganda
Diplopia adalah suatu gangguan penglihatan di mana
pasien akan melihat dua gambar dari satu objek yang
berdekatan (penglihatan ganda). Kondisi ini harus dianggap
sebagai kondisi yang serius, karena beberapa penyebab
memerlukan diagnosis serta pengobatan segera.
Dalam beberapa kasus, penglihatan pasien dapat membaik
apabila pasien mengarahkan objek mendekati atau menjauhi
wajahnya, menyipitkan mata, atau menambah cahaya di dalam
ruangan. Namun, ada juga beberapa orang yang tidak dapat
memperbaiki penglihatan mereka.
 Kerusakan pada saraf yang mengendalikan otot ekstraokular –
beberapa kodisi medis akibat penyakit saraf otak atau sumsum tulang
belakang seperti multiple sclerosis, stroke,dan tumor otak.
 Diabetes – Penyakit ini bisa menimbulkan masalah pada saraf yang
mengendalikan gerakan otot mata. Terkadang hal ini bisa terjadi
sebelum orang tersebut sadar bahwa ia menderita diabetes.
 Myasthenia gravis – Ini adalah penyakit neuromuskular kronis yang
menyebabkan otot-otot tubuh mudah lelah dan menjadi lemah. Hal ini
terjadi karena sistem kekebalan tubuh seseorang mengalami kelainan
sehingga menyerang jaringan dan saraf yang sehat pada tubuh.
 Penyakit Graves – Kondisi ini adalah salah satu jenis gangguan pada
sistem imun tubuh yang menjadi penyebab paling umum
hipertiroidisme – kelebahan hormon tidroid. Tiroid adalah kelenjar
endokrin yang memiliki peran penting dan terletak di leher di mana
hormon tiroid diproduksi untuk mengontrol aktivitas tubuh.
 Trauma pada otot mata – Otot rongga mata bisa terluka akibat karena
trauma akibat cedera atau patah tulang di sekitar rongga mata.
 Ptosis congenital dan acquired memiliki penyebab yang berbeda.
Ptosis yang ditemukan sejak kelahiran sering kali disebabkan
oleh kelainan perkembangan otot levator palpebra superior,
yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atas.
 Acquired ptosis memiliki banyak kemungkinan penyebab, namun
sering kali disebabkan masalah pada saraf dan/ atau otot pada
mata. Contohnya myasthenia gravis, progressive external
opthalmoplegia, Horner syndrome, dan masalah pada saraf
kranial III (yang mempersarafi otot levator palpebra superior).
Proses penuaan atau trauma pada mata juga bisa menyebabkan
regangan atau pemisahan otot levator palpebra superior dari
kelopak mata, yang berpotensi menyebabkan ptosis.
Bagaimana interpretasi pemeriksaan
fisik Ani?

 Dari pemeriksaan didapatkan keadaan umum sedang, sadar


dan kooperatif.
 Test Wartenberg (+)  Ini terjadi karena kelemahan m.
Levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta untuk
melihat ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik
setelah pasien diminta untuk menutup mata secara maksimal
 Counting test (+)  Kelemahan otot menelan (bulbair palsy),
penderita di suruh menghitung berurutan agak lama, angka-
angka (1-50) akan terjadi kelemahan suara jadi bindeng atau
serak (Counting Test positif)
Mengapa Ani dianjurkan untuk
pemeriksaan EMG dan pemeriksaan CT
Thorax?
 EMG : Elektromiogram (EMG), untuk mengukur aktivitas listrik yang mengalir dari
saraf ke otot. Pada Myasthenia Gravis : Elektromiografi single-fiber : Single-
fiber Electromyography (EMG) merupakan metode yang lebih sensitif dalam
mendeteksi defek pada transmisi neuromuskuler. Pemeriksaan EMG dapat
menunjukkan inkonsistensi pada variasi interval atau blokade total antara unit
motoris dan serabut otot. Kecepatan konduksi saraf dan latensi motoris distal
biasanya masih intak kecuali terdapat polineuropati yang muncul bersamaan.
 CT Thorax : untuk menyingkirkan kemungkinan thymoma dan penyakit lainnya yang
menyertai myasthenia gravis. Hiperplasi limfofolikuler nonneoplastik pada medulla
timus terjadi pada 65%  atau lebih kasus myasthenia gravis, sedangkan tumor timus
terjadi pada 10 sampai 15%  pasien. Presentase ini menunjukkan adanya hubungan
antara organ timus dan terjadinya myasthenia gravis. Secara struktural, kelainan
pada timus mengakibatkan kelainan pada motor endplate.  Luas permukaan
membran postsinaptik mengalami reduksi dan synaptic cleft terkesan melebar
tanpa adanya alterasi jumlah dan ukuran vesikel presinaps serta jumlah
neurotransmiter asetilkolin.
Mengapa Yanto mengalami kelemahan
kaki kanan setelah kena tusuk di
punggung bagian kanan?
 Cedera medulla spinalis/saraf tulang belakang merupakan salah satu jenis cedera fisik
yang sangat serius, dan dampaknya bisa bersifat jangka panjang. Informasi dari otak ke
seluruh bagian tubuh atau sebaliknya, akan terganggu bila terdapat cedera pada saraf
tulang belakang. Hal ini dapat menimbulkan penurunan kemampuan tubuh dalam
bergerak (motorik) dan merasa (sensorik), baik pada sebagian anggota tubuh maupun
seluruhnya.
 Dampak cedera saraf tulang belakang bergantung pada derajat kerusakan yang terjadi.
Pada cedera ringan, mungkin gangguan pada saraf sensorik dan motorik belum terjadi.
Namun pada cedera saraf tulang belakang yang berat, dapat terjadi kerusakan saraf
yang menyebabkan kelemahan, mati rasa, hingga kelumpuhan pada bagian tubuh.
 Cedera saraf tulang belakang bagian bawah, misalnya pada tingkat dada atau
pinggang, dapat menyebabkan kelumpuhan pada kedua tungkai kaki. Sedangkan
cedera saraf tulang belakang pada area leher, dapat menyebabkan kelumpuhan pada
kedua lengan dan tungkai kaki. Bahkan, bila cedera mengenai bagian atas leher,
penderita dapat mengalami kesulitan bernapas sehingga membutuhkan alat bantu
pernapasan.
Apakah penglihatan Ani dapat kembali lagi seperti semula?

 Pada Miastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata


menetap lebih dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang
menjadi Miastenia gravis generalisata. Penanganan dengan
steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada Miastenia
gravis generalisata, membaik dengan pemberian
imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat yang
dianjurkan.
Bagaimana tatalaksana kasus Ani?
 Acetilkolinesterase inhibitor
 Kortikosteroid (prednison)
 Azatioprin / obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik. Obat ini diberikan
dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati
 Plasma Exchange (PE)
 PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana
pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari penggantian yang dibutuhkan
kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x dalam 2 minggu.
 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
 Timektomi
STEP 4 : SKEMA
STEP 5 : LEARNING OBJEKTIF

 Definisi dan Klasifikasi miopati dan gangguan medula spinalis


 Epidemiologi miopati dan gangguan medula spinalis
 Etiologi dan faktor risiko miopati dan gangguan medula spinalis
 Patogenesis dan patofisiologi miopati dan gangguan medula
spinalis
 Manifestasi klinis miopati dan gangguan medula spinalis
 Diagnosis dan diagnosis banding miopati dan gangguan medula
spinalis
 Tatalaksana miopati dan gangguan medula spinalis
 Komplikasi dan prognosis miopati dan gangguan medula spinalis
 Kriteria rujukan miopati dan gangguan medula spinalis
MYASTENIA GRAVIS
Myasthenia Gravis

 suatu penyakit autoimun


 terdapatnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin
 otot tidak mampu menerima sinyal dari saraf dan
mengakibatkan kelemahan.

 >> usia 20-50 tahun


 Lebih banyak mengenai wanita 6:4
 > ras asian

 Bisa menyebabkan kegagalan pernapasan


Klasifikasi Myasthenia gravis
 berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America
(MGFA):
1. Kelas I, kelemahan otot okular dan mungkin disertai gangguan menutup mata, otot lain masih normal
2. Kelas II, kelemahan ringan pada otot selain okular, bisa juga terdapat kelemahan pada otot okular pada tingkat
keparahan tertentu
2.a Kelas IIa, utamanya mempengaruhi ekstermitas, otot axial atau keduanya. Sedikit mempengaruhi otot-otot
orofaringeal
2.b Kelas IIb, utamanya mempengaruhi otot-otot faringeal, otot pernafasan ataupun keduanya. Sedikit mengenai
ekstremitas, otot axial ataupun keduanya
3. Kelas III, kelemahan sedang pada otot selain okuler, bisa juga terdapat kelemahan pada otot okular pada tingkat
keparahan tertentu
3.a Kelas IIIa, utamanya mempengaruhi ekstermitas, otot axial atau keduanya. Sedikit mempengaruhi otot-otot
orofaringeal
3.b Kelas IIIb, utamanya mempengaruhi otot-otot faringeal, otot pernafasan ataupun keduanya. Sedikit mengenai
ekstremitas, otot axial ataupun keduanya
4. Kelas IV, kelemahan berat pada selain otot okuler, bisa juga terdapat kelemahan pada otot okular pada tingkat
keparahan tertentu
4.a Kelas IVa, utamanya mempengaruhi ekstermitas, otot axial atau keduanya. Sedikit mempengaruhi otot-otot
orofaringeal
4.b Kelas IVb utamanya mempengaruhi otot-otot faringeal, otot pernafasan ataupun keduanya. Sedikit mengenai
ekstremitas, otot axial ataupun keduanya
5. Kelas V, pasien yang membutuhkan intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik (kecuali pada kasus manajemen
post-operatif). Penggunaan feeding tube tanpa intubasi menempatkan pasien pada kelas IVb
Patofisiologi Adanya
autoantibodi
Reseptor Ach

Penurunan keberadaan
jumlah reseptor ACh

gangguan transmisi sinyal


neuromuskular

kelemahan otot
Manifestasi klinis

adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka


dan kelemahan ini membaik dengan istirahat.
 Kelemahan Otot okular
 Kelemahan otot wajah
 Kelemahan otot bulbar
 Kelemahan otot ekstremitas
 Kelemahan otot respirasi
Diagnosis
 ANAMNESIS adanya kelemahan otot wajah bilateral menyebabkan
timbulnya a mask like face dengan adanya ptosis dan senyum yang
horizontal. Terdapat juga kelemahan otot bulbar.
 PEMERIKSAAN FISIK
 Ptosis, diplopia
 Pem. Motorik melalui tes kekuatan otot
 Abduksi lengan kedepan ( 5 menit )
 Kapasitas vital
 Tanda neurologis lain DBM
 PEMERIKSAAN KHUSUS : Tes berhitung, Iceberg test, test waterberg,
tes tensilon dan tes prostigmin
 Uji Lab
 Pemeriksaan EMG
Tatalaksana
KESIMPULAN

1. Myasthenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh
tubuh hingga ke otot pernapasan.
2. Myasthenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan
neuromuskular akibat penyakit otoimun.
3. Gejala utama Myasthenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga
yang sembuh kembali setelah istirahat.
4. Diagnosis Myasthenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran
klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi
anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.
5. Pengobatan Myasthenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat
antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin, obat-obatan
imunomodulator, serta bisa tymectomy.
Brown-Sequard Syndrome
Definisi
Anatomi Medulla Spinalis
Traktus Medulla Spinalis
Fisiologi Sensorik
Fisiologi Motorik
Etiologi
Patofisiologi
Ipsilateral Hemiplagia
Flaccid Paralysis
Patofisiologi
Kerusakan Kolumna Dorsalis
Diagnosis

Pemeriksaan
• Gejala mungkin akut/bertahap fisik • Pemeriksaan Laboratorium
progresif • Pemeriksaan Radiologis
• . Keluhan terkait dengan • Parsial sindrom Brown • Pemeriksaan lain
hemiparesis atau hemiparalysis • Pure sindrom Brown-Sequard
dan perubahan sensorik,
parestesia, atau dysesthesias di
tungkai kontralateral

Pemeriksaan
Anamnesis
Penunjang
Tatalaksana
Evaluasi Medikamentosa Terapi Fisik
• Pasang kateter • Kortikosteroid • monitor perubahan
• Imobilisasi pada perbaikan
• Pasang NGT • perbaiki status
• Imobilisasi cervikal, keadaan pasien
vertebra dorsal • pertahankan
bawah, hard collar integritas dari kulit
• CT-Scan atau pasien
peritoneal lavage • perbaiki kekuatan
• stabbing wound, pasien.
tidak boleh • meningkatkan
pencabuatn alata control posisi tubuh
• operatif untuk pasien
dekompresi spinal • mendukung atau
dan menghindari memberi motivasi
kerusakan pada pasien ataupun
keluarga pasien.
Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini berbuhungan dengan cedera
spinal dapat terhadu akibat trauma atau karena masalah
dalam tubuh.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi ada Brown sequard
syndrome antara lain sebagai berikut:
1. Osteoporosis
2. Hiperkalemia
3. Depresi
4. Hipotensi
5. Cedera medula spinalis
6. Diseksi arteri vertebra (Urrutia & Fadic, 2012).
Prognosis
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplet hanya
mempunyai harapan untuk sembuh <5%. Jika kelumpuhan
total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk
sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik
masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk
berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita
cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.
Radikulopati
Atau gangguan pada radiks merupakan salah satu penyebab nyeri leher
dan punggung bawah dan merupakan rujukan terbanyak ke laboratorium
elektrodiagnosis
Anatomi
 Radiks merupakan bagian SST yang keluar dari kornu anterior (ventral)
medulla spinalis yang terdiri atas saraf motoric dan kornu posterior
(dorsal) medulla spinalis yang terdiri aras saraf sensorik.
 Masing masing radix melekat pada menula spinalis melalui filla radicularia
 Radiks keluar melalui medula spinalis melalui kanalis spinalis lalu menuju
foramen neural yang berada diantara dua vertebra yang berdekatan.
 Kanalis spinalis dibatasi oleh ligamentum flavum dan lamina pada sisi
posterior, diskus intervertebralis, dan korpus vertebra pada sisi anterior,
dan pedikel pada sisi anterolateral.
 Didalam foramen neural melintas radiks, nervus meningeal rekuren, dan
pembuluh darah radikular
 Radiks berjumlah 31 pasang, 8 radiks servikal, 12 radiks torakal, 5 radiks lumbal, 5
radiks sacral, dan 1 radiks koksigis.
 Radiks servikal 1 hingga 7 keluar diatas vertebra servikal yg bersesuaian dan radiks
servikal 8 keluar diantara vertebra servikal 7 dan torakal 1. Hal ini disebabkan karena
jumlah vertebra servikal 7 tp radiksnya ada 8. Setelah itu, radiks keluar ibawah
vertebra yang bersesuaian.
 MS pada dewasa berakhir pada L1 kemudian membentuk konus medularis. Kauda
ekuina keluar dari konus medularis dan berlanjut menjadi radiks lumbodskral.
 Radiks bercabang menjadi ramus dorsalis dan ramus ventralis. Ramus dorsalis
meninversi otot paraspinal dan kulit di area paraspinalis
Ramus ventralis c5-8 th1= pleksus brakialis
Th2-6:nervus interkostalis
Th7-th12:inversi otot dinding abdominal
Medula spinalis, radiks, dan vetebra
mikroskopis

 Secara mikroskopis, radiks memiliki perbedaan


dengan saraf perifer lainnya. Radiks tidak memiliki
epineurium, perineurium, dan lebih sedikit kolagen
pada endoneuriumnya. Hal tersebut menyebabkan
radiks kekuatan lebih lemah bagian saraf tepi lain dan
mudah mengalami avulsi.
 Perineum berfungsi sebagai sawar, tidak adanya
perineum menyebabkan rentan mengalami infeksi
dan inflamasi.
Miotom dan dermatom

 Miotom adalah otot-otot yang diinervasi oleh satu


segmen spina.
 Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh satu
segmen spinal.
Epidemiologi

 Lebih banyak terjadi pada perempuan (7:1)


 Rochester menyebut angka kejadian tahunan berkisar 83,2 per
100.000 penduduk
 puncaknya pada usia 50-54 tahun dengan angka kejadian 202,9
per 100.000 penduduk
 Studi klinis dan radiologis menunjukan mayoritas keterlibatan
mayoritas c7 (70%) c6(19-25%) c8 (4-10%) dan c5 (2%) kasus
 Radikulopati lumbosacral akibat herniasi diskus melibatkan
terutama radiks L4-5 (55%)L5-s1(43%) dan L3-4 pada 2% kasus
 Pada torakal jarang terjadi
Etiologi

 Traumatik
dapat direct atau indirect akibat trauma pada struktur
disekitarnya, sehingga terjadi disrupsi mekanik baik berupa
regangan atau pun kompresi radiks.
 Non traumatic
dapat berupa lesi structural yang menyebabkan kompresi
dan lesi inflamasi atau infiltrative, sehingga terjadi kerusakan
radiks melalui mekanisme iskemia, perubahan metabolic,
dll.contohnya adalah lesi degenerative, infeksi, neoplasma,
metabolic, dan vascular.
Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya diklasifikasikan ke dalam 3 jenis:

1. akibat proses kompresif


Kelainan-kelainan yang bersifat kompresif adalah seperti : hernia nucleus
pulposus (HNP) atau herniasi diskus, tumor medulla spinalis, neoplasma
tulang, spondilolisis dan spondilolithesis, stenosis spinal, traumatic dislokasi,
kompresif fraktur, scoliosis dan spondilitis tuberkulosa, cervical spondilosis
2. proses inflammatori
Kelainan-kelainan inflamatori sehingga mengakibatkan sindrom radikular
adalah seperti : Gullain-Barre Syndrome (autoimun menyerang SST dan
ascending pathway dari kaki menjalar ke tubuh atas) dan Herpes Zoster.
3. proses degeneratif
Kelainan-kelainan yang bersifat degeneratif sehingga mengakibatkan
gangguan struktural akibat degenerasi struktur di sekitar radiks
Berdasarkan lokasinya
Faktor risiko

 Gangguan degeneratif vertebra dan diskus intervertebralis merupakan


penyebab tersering lesi, usia tua dapat menyebabkan kerapuhan dari
vertebra sehingga dapat menyebabkan terjadinya stenosis pada foramina
intervertertabralis tempat keluarnya radiks spinalis
 berbagai kelainan struktural yang menyebabkan kompresi dari radiks
spinalis sepanjang segmen vertebra
 kompresi juga dapat disebabkan oleh pertumbuhan corpus alienum pada
foramen vertebra seperti tumor juga dapat mendesak radiks spinalis
 posisi tubuh dan kebiasaan mengangkat benda berat yang dapat
menyebabkan cedera pada discus intervertabralis sehingga menyebabkan
herniasi diskus yang dapat menimbulkan lesi pada radiks spinalis
Patofisiologi

Radikulopati dapat disebabkan oleh proses penjempitan,


kompresi,transeksi, infiltrasi, dan iskemia. Kompresi merupakan
mekanisme radikulopati yang paling sering. Secara structural
radiks tidak memiliki epineurium serta memiliki sedikit kolagen
pada endoneurium serta aksonnya dilindungi lebih sedikit
jaringan lemak serta jaringan penyambung -> kemampuan tensil
menurun dan rentan terhadap kompresi dan regangan. Serta
rentan infeksi dan inflamsi.
kerusakan saraf yang terjadi dapat berupa demielinasi atau
degenrasi aksonal (pada derajat kerusakan yg lebih berat)
Manifestasi klinis

Manifestasi klinis berdasarkan lokasi radiks saraf yang terkena


Secara umum:
 Rasa nyeri berupa nyeri tajam yang menjalar dari daerah parasentral dekat vertebra hingga ke
arah ekstremitas. Rasa nyeri ini mengikuti pola dermatomal. Nyeri bersifat tajam dan diperhebat
oleh gerakan, batuk, mengedan, atau bersin.
o servikal: terasa dari leher atau punggung atas ke bahu atau lengan hingga tangan.
o Torakal:menjalar dari dinding posterior dada dan punggung ke arah anterior, terasa seperti terikat.
o lumbosacral:menjalar hingga area lutut
 Paresthesia yang mengikuti pola dermatomal.
 Hilang atau berkurangnya sensorik (hipesthesia) di permukaan kulit sepanjang distribusi
dermatom radiks yang bersangkutan.
 Kelemahan otot-otot yang dipersarafi radiks yang bersangkutan.
 Refles tendon pada daerah yang dipersarafi radiks yang bersangkutan menurun atau bahkan
menghilang.
*kelemahan pada radikulopati biasanya tidak berat, karena satu otot diinversi oleh 2-3 radiks.ex:
otot trisep tidak mengalami paralisis akibat radikulopati c7 karena masi ada c6 dan c8.
Diagnosis

ANAMNESIS
nyeri radicular sesuai dermatome, rasa kebas, dan kelemahan otot
PEMRIKSAAN FISIK
1. Manuver valsava
manuver valsa dapat mengekserbasi nyeri radicular dan
parestesia yang menjalar.Manuver ini menyebabkan peregangan
pada durameter pada titik kompresi interspinal.
Pasien diminta untuk menahan nafas dan selanjutnya berusaha
keluarkan nafas namun ditahan seperti ketika sedang mengangkat
beban berat. + apabila ditemukan rasa nyeri. Indikasi bahwa adanya
herniasi dan tumor.
2. Tes Lhermitte
Dilakukan dengan cara melakukan fleksi pada
leher. Respon positif berupa parestesia yang
menjalar sepanjang vertebra servikal atau
menjalar ke ekstrimitas atas yang sumtomatik.
Hal ini mengindikasikan disfungsi kolumna
posterior medulla spinalis yang dapat disebabkan
oleh kompresi karena spondylosis, massa dalam
kanal spinal, atau proses intramedular
3. Tes Spurling (manuver kompresi leher atau
tes kompresi foramen)
Mengekstensikan leher,merotasi leher ke arah
yang simtomatik, dan melakukan penekanan
ke bawah pada kepala.+ apanila nyeri atay
parestesis yang menjalar ke ekstrimitas atas.
Ketika muncul respon segera hentikan
manuver.
4. Tes Laseque ( straight leg raising)
Dilakukan ekstensi pada sendi panggul
dalam keadaan ekstensi lutut, sehingga
terjadi regangan radiks. Hasil tes dikatakan
positif jika terdapat nyeri paa ekstrimitas
bawah saat ekstensi <70 derajat
5. Crossed Straight Leg Raising Testv( tanda fajerstajn)
Positif ketika melakukan manuver laseque timbul nyeri
pada ekstrimitas kontralateral.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen
Tujuan utama foto polos Roentgen adalah untuk mendeteksi adanya kelainan struktural .
2. MRI
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang utama untuk mendeteksi kelainan diskus
intervertebra. MRI selain dapat mengidentifikasi kompresi medula spinalis dan radiks
saraf, juga dapat digunakan untuk mengetahui beratnya perubahan degeneratif pada
diskus intervertebra. MRI merupakan prosedur skrining yang ideal untuk menyingkirkan
diagnosa banding gangguan struktural pada medula spinalis dan radiks saraf
3. CT scan
CT Scan dapat memberikan gambaran struktur anatomi tulang vertebra dengan baik, dan
memberikan gambaran yang bagus untuk herniasi diskus intervertebra. Namun demikian
sensitivitas CT Scan tanpa myelography dalam mendeteksi herniasi masih kurang bila
dibandingkan dengan MRI
3. Myelografi
Pemeriksaan ini memberikan gambaran anatomik yang detail, terutama elemen
osseus vertebra. Myelografi merupakan proses yang invasif karena melibatkan
penetrasi pada ruang subarachnoid. Secara umum myelogram dilakukan sebagai
test preoperatif, seringkali dilakukan bersama dengan CT Scan
4. Nerve Concuction Study (NCS), dan Electromyography (EMG)
CS dan EMG sangat membantu untuk membedakan asal nyeri atau untuk
menentukan keterlibatan saraf, apakah dari radiks, pleksus saraf, atau saraf
tunggal. Selain itu pemeriksaan ini juga membantu menentukan lokasi kompresi
radiks saraf
5.Laboratorium
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap, laju endap darah, faktor rematoid,
fosfatase alkali/asam, kalsium.
2. Urin analisis, berguna untuk penyakit nonspesifik seperti infeksi.
Diagnosis banding

 Lesi pleksus, saraf terminal (entrapment neuropathy),


dan medulla spinalis.
Tatalaksana

 Hindari aktivitas proaktif


 Medikamentosa
- pemebrian analgetic:OAINS
-pemberian steroid pada kondisi akut:prednisone 60-80
mg/hari selama 5-7 hari
-pemberian antikovulsan (gabapentin,pregabalin),anti
depresan trisiklik pada nyero neuropatik
 Atasi kausatif sesuai
etiologi(kronis/akut,lumbar,servikal,torakal)
Pembedahan

 Jika disertai deficit neurologi yang nyata dan progresif


 Nyeri yang refrakter, tidak respon setelah 6 minggu
konservatif
 Adanya lesi structural sesuai gejala klinis
 Adanya tanda mielopati
 Meliputi: disektomi, laminektomi, fasektomi dan
foraminotomi
Diagnosis

 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisik (nyeri radikular atau parestesis
sesuai dermatom)
 Pemeriksaan Penunjang (pencitraan,
elektrodiagnosis)
Manuver Pemeriksaan Fisik

 Manuver Valsava
 Tes Lhermitte
 Tes Spurling (Manuver Kompresi Leher atau tes Kompresi Foramen)
 Upper Limb Tension Test
 Shoulder Abduction Relief Sign (Tes Abduksi Bahu)
 Tes Distraksi Leher
 Tes Laseque (Straight Leg Raising Test/SLR)
 Reversed SLR Test atau Ely’s Test atau Tes Tegangan Femoral
 Crossed Straight Leg Raising Test (Tanda Fajersztajn)
 Tanda Kernig
Diagnosis Banding

 Lesi pleksus
 Lesi saraf terminal (entrapment neuropathy)
 Lesi medula spinalis
Tatalaksana

Simptomatik : penggunaan analgetik non-narkotik, hindari


aktivitas provokatif, dan atasi kausatif sesuai etiologi.
 Radikulopati Servikal Akut
 Radikulopati Servikal Kronik dan Nyeri Leher Kronik
 Manajemen Bedah pada Gangguan Spinal Servikal
 Herniasi Diskus Lumbosakral
 Stenosis Lumbalis
 Herniasi Diskus Torakal
 Spondilosis Torakal
Radikulopati Servikal Akut

 Menghindari aktivitas proaktif


 Penggunaan analgesik non-narkotik
 Traksi servikal (apabila akibat stenosis foramen
neuronal)
 Akibat protrusi diskus atau spondilosis :
kortikosteroid dosis tinggi dengan penurunan cepat
(prednisone 60-80mg per hari selama 5-7 hari)
Radikulopati Servikal Kronik dan Nyeri
Leher Kronik

(Gejala >4 minggu disertai defisit neurologis yang menetap)


 Terapi fisik
 Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
 Traksi servikal
 Injeksi kortikosteroid (kombinasi dengan agen anestesi epidural)
 Blok radiks selektif
 Injeksi kortikosteroid intraartikular pada sendi faset
 Neurotomi radiofrekuensi perkutaneus cabang medial ramus
dorsalis servikal
Manajemen Bedah pada Gangguan
Spinal Servikal

Dengan indikasi :
 Kasus defisit neurologis yang jelas
 Nyeri refrakter
 Ada lesi struktural
 Tanda mielopati
Herniasi Diskus Lumbosakral

 Tatalaksana konservatif : 4-6 minggu, medikamentosa


(OAINS, pelemas otot, atau analgetik opioid), terapi
fisik, biofeedback, pemasangan korset lumbal, TENS,
dan akupuntur.
 >6 minggu atau adanya defisit neurologis :
pertimbangan bedah
Stenosis Lumbalis

 Manajemen konservatif sama dengan herniasi diskus


 Pada dekompresi luas (skoliosis degeneratif, kifosis,
atau spondilolistesis) : perlu tambahan stabilisasi
spinal
Herniasi Diskus Torakal

 Manajemen konservatif sama dengan herniasi diskus


 Dekompresi bedah : tanda kompresi medula spinalis
atau terapi konservatif tidak efektif
Spondilosis Torakal

 Indikasi Pembedahan : stenosis kanalis, keterlibatan


radiks T1, tatalaksana konservatif tidak efektif
Prognosis

 Baik apabila terapi tepat


 Manajemen konservatif efektif pada 80-90% pasien
SPONDILOLISTESIS
DEFINISI

Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang


terdiri atas kata “spondylo” yang berarti tulang
belakang (vertebra) dan “listhesis” yang berarti
bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu
pergeseran korpus vertebrae (biasanya kedepan)
terhadap korpus vertebra yang terletak dibawahnya
EPIDEMIOLOGI

 Spondilolistesis mengenai 5-6 % populasi pria, dan 2-3


% wanita.
KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI

 Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik


(kongenital) dan terjadi akibat kelainan kongenital.
Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan
L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5
 b.Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak
pada bagian isthmus atau pars interartikularis, mempunyai
angka kepentingan klinis yang bermakna pada individu di
bawah 50 tahun. Tipe II dibagi dalam tiga subkategori
 Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau
stress spondilolistesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-
fraktur rekuren yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut
dengan stress fraktur pars interarticularis dan paling sering terjadi
pada laki-laki.
 Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA,
pars interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang
dimana fraktur mengisinya dengan tulang baru.
 Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interkularis.
 Tipe III merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai
akibat degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan
sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau
ke belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada
tipe III, spondilolistesis degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi
30 %.
 Tipe IV spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan
dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
 Tipe V spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang
lainnya.
GAMBARAN KLINIS

 Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa low back pain
yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama
selama aktivitas tinggi
 Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi
bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa :
- Terbatasnya pergerakan tulang belakang
- Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
- Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
- Hiperkifosis lumbosacral junction
- Kesulitan berjalan
- Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)

Anda mungkin juga menyukai