Anda di halaman 1dari 11

Step 3

Kriteria dx GBS dan klasifikasinya?


Kriteria diagnosis GBS yang sering dipakai adalah kriteria menurut Gilroy dan Meyer, yaitu
jika memenuhi lima dari enam kriteria berikut:
1. Kelumpuhan flaksid (otot lemas dan terkulai) yang timbul secara akut, bersifat difus dan
simetris yang dapat disertai oleh paralysis facialis bilateral
2. Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih ringan dari kelumpuhan
motoris.
3. Pada sebagian besar kasus, penyembuhan yang sempurna terjadi dalam waktu 6 bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinal secara progresif dimulai pada
minggu kedua dari paralisis, dan tanpa atau dengan pleositosis ringan ( peningkatan
jumlah sel)
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama berlangsungnya kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan kenaikan laju
endap darah.
Sumber :
Fadilah W, Fadlan. 2018. Guillain-Barré Syndrome:Life-threatening Rare Disease with
Acute-onset. Medula. 8 (1): 114

Step 4

DD penyakit di scenario?
1. GBS (Guillain-Barre Syndrome)  Kelainan di saraf perifer
Sistem imun penderita menyerang system saraf perifer dan menyebabkan kerusakan
pada sel saraf. Dipicu oleh infeksi virus atau bakteri yang sifatnya ascending,
terutama pada infeksi saluran pernapasan atas atau pencernaan. Infeksi paling sering
disebabkan oleh Campylobacter jejuni.
Gejala :
 Kelemahan ascenden dan simetris
 Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
 Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
 Puncak defisit 4 minggu
 Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
 Gangguan sensorik pada umumnya ringan
 Gangguan otonom dapat terjadi
 Gangguan saraf kranial
 Gangguan otot-otot nafas
Derajat berat ringannya penyakit ditentukan menurut skala ordinal dari Hughes
dkk
0 : Sehat
1 : Terdapat keluhan dan gejala neuropati ringan, tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaan menggunakan tangan.
2 : Dapat jalan tanpa alat bantu (tongkat) tapi tidak dapat melakukan pekerjaan
tangan.
3 : Dapat jalan dengan bantuan tongkat atau seseorang.
4 : Hanya dapat duduk di kursi roda atau terus berbaring di tempat tidur.
5 : Dengan kegagalan pernapasan dan memerlukan ventilator.
6 : Meninggal.
Diagnosis banding : neuropati perifer, gangguan transmisi akut neuromuscular junction
(miositis, mielitis akut), gangguan metabolik (hipokalemia, hipofosfatemia), infark serebri
(batang otak), poliomielitis post difteri, ganglionopati pada ensefalitis atau meningitis
Prognosis : penyakit ini tergantung dari jenis dan keparahannya. Penderita akan sulit
tertolong bila mengalami komplikasi pernapasan yang progresif. Selain itu prognosis buruk
juga terjadi pada penderita yang mengalami aritmia akibat disfungsi saraf otonom. Penderita
yang mampu bertahan biasanya memiliki gejala sisa berupa nyeri atau kelemahan. Sekitar
20% penderita GBS tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 6 bulan setelah onset.
Perbaikan klinis biasanya terjadi di tahun pertama, baru pada tahun ketiga atau tahun-tahun
berikutnya menjadi semakin baik. Untuk semakin meningkatkan outcome dari GBS,
tatalaksana yang efektif sangatlah dibutuhkan.
2. Myasthenia Gravis (MG)
 Suatu penyakit autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh
antibodi yang menyerang komponen dari membran postsinaptik, mengganggu
transmisi neuromuskular, dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot rangka
 Otot yang diserang : otot yang mengontrol mata dan pergerakannya, ekspresi wajah,
dan otot untuk menelan
 Gejala : kelemahan otot mata yang dapat menyebabkan ptosis (kelopak mata turun)
dan diplopia (penglihatan ganda), kesulitan menelan, dan bicara pelo
 Selain itu, dapat juga menyebabkan kelemahan pada tangan, kaki, dan leher
 Bila penyakit ini sudah mencapai tahap yang parah, dapat mengenai otot-otot
pernapasan. Kelemahan bersifat fluktuatif dan membaik dengan pemberian
asetilkolinesterase inhibitor sebelumnya.
3. Central Cord Syndrome
 Central cord syndrome biasanya terjadi karena cedera traumatis (hiperekstensi
cervical) yang mengakibatkan kompresi simultan dari sumsum tulang belakang 
bagian anterior oleh material diskus intervertebralis dan posterior oleh ligamentum
flavum
 Penyebab lain yang kurang umum termasuk spondilosis servikal, instabilitas
atlantoaxial, dan osteoporosis
 Gejalanya berupa defisit motorik yang lebih buruk di ekstremitas atas daripada
ekstremitas bawah, disfungsi kandung kemih (retensi urin), berbagai defisit sensorik

Sumber:
Ameer MA, Tessler J, Gillis CC. Central Cord Syndrome. [Updated 2022 Jul 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441932/
Fadilah W, Fadlan. 2018. Guillain-Barré Syndrome:Life-threatening Rare Disease with Acute-
onset. Medula. 8 (1): 114
Perdossi. (2016). Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perdossi, 154–156
Li, Z.-Y. (2016). China guidelines for the diagnosis and treatment of myasthenia gravis.
Neuroimmunology and Neuroinflammation, 3(1), 1. https://doi.org/10.20517/2347-
8659.2015.60
Roper, J., Fleming, M. E., Long, B., & Koyfman, A. (2017). Myasthenia Gravis and Crisis: Evaluation
and Management in the Emergency Department. Journal of Emergency Medicine, 53(6), 843–
853. https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2017.06.009

Step 4
PP yang dilakukan utk menegakkan dx
PP GBS

 Pemeriksaan laboratorium → Pemeriksaan darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT,


elektrolit, Creatinin kinase, Serologi CMV/EBV/Micoplasma, Antibodi glycolipid, Antibodi
GM1. Hasil tes ini dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan
flaccid akut, seperti infeksi atau disfungsi metabolik atau elektrolit
 Pemeriksaan elektrofisiologis  Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction Velocity
(NCV). NCV akan menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam aktivitas otot
sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan respon saraf

PP MG
 Pemeriksaan Antibodi Reseptor – Anti Asetilkolin  peningkatan kadar antibodi reseptor
asetilkolin (AChR) dalam serum pasien suspek MG. Tingkat antibodi AChR tidak meningkat
pada semua pasien dengan MG
 Pemeriksaan Antibodi Anti Striated Muscle
 Pemeriksaan Antibodi Anti Muscle Spesific Kinase
 Elektrodiagnostik
 Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
 Single-Fiber Electromyography (SFEMG)

Sumber:

Fadilah W, Fadlan. 2018. Guillain-Barré Syndrome:Life-threatening Rare Disease with Acute-


onset. Medula. 8 (1): 114
Perdossi. (2016). Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perdossi, 154–156

Apa saja pencegahan dan edukasi yg dapat di berikan pada kasus di skenario?
Edukasi GBS
• Penjelasan sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa dan tindakan
pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
• Penjelasan mengenai GBS, risiko dan komplikasi selama perawatan
• Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
• Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
• Penjelasan mengenai gejala GBS, dan apa yang harus dilakukan sebelum dibawa ke RS

Edukasi MG
• Penjelasan sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa dan Tindakan
pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
• Penjelasan mengenai Myasthenia Crisis, risiko dan komplikasi selama perawatan
• Penjelasan mengenai factor risiko dan pencegahan rekurensi
• Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
• Penjelasan mengenai gejala Myasthenia Crisis, dan apa yang harus dilakukan sebelum dibawa ke
RS
Sumber:
Perdossi. (2016). Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perdossi, 154–156

Tx MG
 Efek samping yang mungkin terjadi dari pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berlebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Hal tersebut terjadi pada pasien
dimana setelah pemberian asetilkolinesterase inhibitor keluhan pasien berkurang dan pasien
membaik namun pasien masih mengeluhkan adanya batuk berdahak. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) dapat berupa kram atau diare.
 Cara kerja neostigmin adalah menghambat penghancuran ACh oleh AChE, sehingga
memfasilitasi transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia
dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV, intramuskular (IM),
atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam saluran
gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika piridostigmin tidak ada
Hidayah Chairunnisa, N., Zanariah, Z., & Saputra, O. (2016). Oktadoni dan Karyanto |
Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas J Medula Unila|Volume 6|
Nomor 1|Desember. Jurnal Medula, 6(1), 108–114.
Sumber:
Diagnosis MG:
1. Tes klinis sederhana
a. Tes Wartenberg: penderita diminta untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut
kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positif bila terjadi ptosis.
b. Tes hitung, penderita diminta untuk menghitung 1-100, positif bila suara menjadi
sengau (suara nasal) atau suara menghilang
c. Ice pack eye test; celah antara kedua kelopak mata yang mengalami ptosis akan
diukur terlebih dahulu kemudian dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke
kelopak mata penderita. Celah antara keduakelopak mata yang bertambah Iebar
setelah penempelan es selama 2 menit dianggap positif.
d. Uji Tensilon, bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis dan respons terhadap
pengobatan. Hasil positif bila ditemukan perbaikan gejala kelemahan motorik secara
cepat, tetapi dalam waktu singkat. Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia,
pemberian obat penghambat AChE oral seperti piridostigmin dapat diberikan,
namun perbaikan gejala lebfh lambat, baru terlihat setelah 1-2 jam.
e. Uji rostigmin (Neostigmin), pada tes ini disuntikkan 1,5mg atau 3cc prostigmin
metilsulfat secara intramuskular (diberikan pula atropin O,Bmg bila perllb). Jika
kelemahan itu benar disebabkan oleh MG, maka gejala-gejala seperti ptosis,
strabismus, atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
LO
1A. Komplikasi MG
Krisis Miastenia dan Krisis Kolinergik
 Krisis miastenia  ditandai dengan memburuknya kelemahan otot rangka yang
mengakibatkan gagal napas dan memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Keadaan
dimana butuh antikolinesterase lebih banyak
 Krisis miastenia terjadi pada 15-30% pasien MG. MC dapat terjadi kapan saja dalam
perjalanan penyakit tetapi lebih sering terjadi pada awal setelah diagnosis (dalam 2-3 tahun
pertama, median 8 bulan)
 Krisis kolinergik  keadaan darurat, ditandai dengan kelumpuhan flaccid dan kegagalan
pernapasan. Terjadi karena pemberian agen antikolinergik yang tidak tepat pada pasien MG
 kelebihan obat antikolinesterase
 Krisis miastenia dan kolinergik  dapat muncul gagal napas
 Pemicu untuk krisis miastenia termasuk eksaserbasi penyakit, ketidakpatuhan dengan
pengobatan AChEIs, efek samping dari obat lain, demam, dan stres emosional
 Krisis miastenia  dosis AChE dapat ditingkatkan dalam batas aman sampai ada perbaikan.
Overdosis AChE dapat diatasi dengan atropin atau metilprednisolon. Untuk beberapa kasus,
bisa menerapkan dosis tinggi g-globulin dan plasmapheresis
 Krisis kolinergik  pengobatan dengan inhibitor AChE harus dikurangi atau dihentikan dan
tidak boleh dilanjutkan dan ditingkatkan secara bertahap sampai 5-7 hari
AChEIs (Acetylcholinesterase Inhibitors)
Krisis Miastenia Krisis Kolinergik
Heart Rate Takikardi Bradikardi
Otot Kelemahan Kelemahan dan fasikulasi (kedutan otot)
Pupil Normal atau dilatasi Konstriksi
Kulit Dingin dan pucat Hangat dan memerah
Sumber :

Li, Z.-Y. (2016). China guidelines for the diagnosis and treatment of myasthenia gravis.
Neuroimmunology and Neuroinflammation, 3(1), 1. https://doi.org/10.20517/2347-
8659.2015.60
Roper, J., Fleming, M. E., Long, B., & Koyfman, A. (2017). Myasthenia Gravis and Crisis: Evaluation
and Management in the Emergency Department. Journal of Emergency Medicine, 53(6), 843–
853. https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2017.06.009
Harjana, L. T., & Hardiono, H. (2020). Myasthenia Crisis Vs Cholinergic Crisis: Challenges in Crisis
Management Without Plasmapheresis or Intravenous Immunoglobulin (IVIG). Indonesian
Journal of Anesthesiology and Reanimation, 2(2), 53.
https://doi.org/10.20473/ijar.v2i22020.53-58

1B. Kondisi emergency MG


Derajat keparahan MG berdasarkan skala Osserman:
Kelas I: ptosis dan diplopia tanpa kelemahan otot di tempat lain selama 2 tahun
Kelas II: gejala umum dengan lebih dari satu otot mengalami kelemahan  (1) bentuk umum ringan;
Kelemahan pada ekstremitas dengan atau tanpa tanda okular. Pasien bisa hidup mandiri; (2) bentuk
umum atau faciopharyngeal sedang; gejala kelemahan pada ekstremitas dengan tanda bulbar.
Pasien bisa hidup mandiri
Kelas III: bentuk umum akut yang parah; onset akut dan perkembangan yang cepat. Gejala
faciopharyngeal muncul dalam beberapa minggu pertama hingga beberapa bulan, diikuti oleh
insufisiensi pernapasan dengan atau tanpa tanda-tanda okular. Pasien bisa hidup mandiri
Kelas IV: bentuk umum kronis yang parah; tanda-tanda yang tidak terlihat pada tahap awal karena
patologis lambat. Semua gejala dalam Kelas I, II dan III berkembang dalam waktu 2 tahun
Kelas V: perkembangan penyakit parah dengan atrofi otot dalam waktu 6 bulan
Pasien yang membutuhkan ventilasi dan dengan tes fungsi paru di bawah ambang batas harus
berada di ICU. Jika pasien tidak memerlukan ventilasi mekanik tetapi ada kelemahan bulbar atau
indikasi lain dari kegagalan pernapasan, akan dilakukan pemantauan cardiopulmonary di ICU, tes
fungsi paru setiap 2 jam, dan konsultasi neurologi karena risiko penyakit paru yang parah, komplikasi
dan dekompensasi. Jika diagnosis tidak pasti, prosedur diagnostik tambahan, seperti lumbal pungsi,
pemeriksaan elektromiografi (EMG), atau pengambilan spesimen biopsi otot. Antibodi serum dapat
membantu memantau keberhasilan terapi, sementara analisis toksikologi, skrining metabolik, dan
analisis mutasi gen dapat membantu dalam mengevaluasi kondisi lain. Computed tomography atau
magnetic resonance imaging juga dapat membantu mengevaluasi diagnosis lain, serta thymoma
Sumber :
Li, Z.-Y. (2016). China guidelines for the diagnosis and treatment of myasthenia gravis.
Neuroimmunology and Neuroinflammation, 3(1), 1. https://doi.org/10.20517/2347-
8659.2015.60
Roper, J., Fleming, M. E., Long, B., & Koyfman, A. (2017). Myasthenia Gravis and Crisis: Evaluation
and Management in the Emergency Department. Journal of Emergency Medicine, 53(6), 843–
853. https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2017.06.009

6. Tatalaksana GBS dan MG dari kondisi awal pasien datang, maintanance, apakah bisa kambuh atau
menyisakan gejala sisa?
Maintanance/Perawatan MG

Untuk mengevaluasi efektivitas pengobatan serta efek samping obat, penting untuk menilai
status klinis pasien secara sistematis pada awal dan pada pemeriksaan interval berulang.
Karena variabilitas gejala MG, riwayat interval dan temuan fisik pada pemeriksaan harus
diperhitungkan. Tes klinis yang paling berguna termasuk waktu abduksi lengan ke depan,
spirometri dengan penentuan kapasitas vital paksa, rentang gerakan mata, dan waktu untuk
terjadinya ptosis. Formulir interval dapat memberikan ringkasan singkat tentang status
pasien dan panduan untuk hasil pengobatan. Penurunan progresif tingkat antibodi AChR
pasien juga memberikan konfirmasi klinis yang bermakna tentang efektivitas pengobatan;
sebaliknya, peningkatan kadar antibodi AChR (Acetylcholine receptor) selama pengurangan
obat imunosupresif dapat memprediksi eksaserbasi klinis. 
Obatan yang harus dihindari pada pasien MG
Banyak obat dapat memperburuk kelemahan pada pasien MG. Contohnya antibiotik,
kebanyakan eksaserbasi karena antibiotik akan terjadi dalam 24-48 jam pertama.
Sumber :
Hauser, Stephen L, et al. 2017. Harrison Neurology in Clinical Medicine 4th ed. McGraw-Hill
Education

Anda mungkin juga menyukai