Step 4
DD penyakit di scenario?
1. GBS (Guillain-Barre Syndrome) Kelainan di saraf perifer
Sistem imun penderita menyerang system saraf perifer dan menyebabkan kerusakan
pada sel saraf. Dipicu oleh infeksi virus atau bakteri yang sifatnya ascending,
terutama pada infeksi saluran pernapasan atas atau pencernaan. Infeksi paling sering
disebabkan oleh Campylobacter jejuni.
Gejala :
Kelemahan ascenden dan simetris
Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
Puncak defisit 4 minggu
Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
Gangguan sensorik pada umumnya ringan
Gangguan otonom dapat terjadi
Gangguan saraf kranial
Gangguan otot-otot nafas
Derajat berat ringannya penyakit ditentukan menurut skala ordinal dari Hughes
dkk
0 : Sehat
1 : Terdapat keluhan dan gejala neuropati ringan, tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaan menggunakan tangan.
2 : Dapat jalan tanpa alat bantu (tongkat) tapi tidak dapat melakukan pekerjaan
tangan.
3 : Dapat jalan dengan bantuan tongkat atau seseorang.
4 : Hanya dapat duduk di kursi roda atau terus berbaring di tempat tidur.
5 : Dengan kegagalan pernapasan dan memerlukan ventilator.
6 : Meninggal.
Diagnosis banding : neuropati perifer, gangguan transmisi akut neuromuscular junction
(miositis, mielitis akut), gangguan metabolik (hipokalemia, hipofosfatemia), infark serebri
(batang otak), poliomielitis post difteri, ganglionopati pada ensefalitis atau meningitis
Prognosis : penyakit ini tergantung dari jenis dan keparahannya. Penderita akan sulit
tertolong bila mengalami komplikasi pernapasan yang progresif. Selain itu prognosis buruk
juga terjadi pada penderita yang mengalami aritmia akibat disfungsi saraf otonom. Penderita
yang mampu bertahan biasanya memiliki gejala sisa berupa nyeri atau kelemahan. Sekitar
20% penderita GBS tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 6 bulan setelah onset.
Perbaikan klinis biasanya terjadi di tahun pertama, baru pada tahun ketiga atau tahun-tahun
berikutnya menjadi semakin baik. Untuk semakin meningkatkan outcome dari GBS,
tatalaksana yang efektif sangatlah dibutuhkan.
2. Myasthenia Gravis (MG)
Suatu penyakit autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh
antibodi yang menyerang komponen dari membran postsinaptik, mengganggu
transmisi neuromuskular, dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot rangka
Otot yang diserang : otot yang mengontrol mata dan pergerakannya, ekspresi wajah,
dan otot untuk menelan
Gejala : kelemahan otot mata yang dapat menyebabkan ptosis (kelopak mata turun)
dan diplopia (penglihatan ganda), kesulitan menelan, dan bicara pelo
Selain itu, dapat juga menyebabkan kelemahan pada tangan, kaki, dan leher
Bila penyakit ini sudah mencapai tahap yang parah, dapat mengenai otot-otot
pernapasan. Kelemahan bersifat fluktuatif dan membaik dengan pemberian
asetilkolinesterase inhibitor sebelumnya.
3. Central Cord Syndrome
Central cord syndrome biasanya terjadi karena cedera traumatis (hiperekstensi
cervical) yang mengakibatkan kompresi simultan dari sumsum tulang belakang
bagian anterior oleh material diskus intervertebralis dan posterior oleh ligamentum
flavum
Penyebab lain yang kurang umum termasuk spondilosis servikal, instabilitas
atlantoaxial, dan osteoporosis
Gejalanya berupa defisit motorik yang lebih buruk di ekstremitas atas daripada
ekstremitas bawah, disfungsi kandung kemih (retensi urin), berbagai defisit sensorik
Sumber:
Ameer MA, Tessler J, Gillis CC. Central Cord Syndrome. [Updated 2022 Jul 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441932/
Fadilah W, Fadlan. 2018. Guillain-Barré Syndrome:Life-threatening Rare Disease with Acute-
onset. Medula. 8 (1): 114
Perdossi. (2016). Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perdossi, 154–156
Li, Z.-Y. (2016). China guidelines for the diagnosis and treatment of myasthenia gravis.
Neuroimmunology and Neuroinflammation, 3(1), 1. https://doi.org/10.20517/2347-
8659.2015.60
Roper, J., Fleming, M. E., Long, B., & Koyfman, A. (2017). Myasthenia Gravis and Crisis: Evaluation
and Management in the Emergency Department. Journal of Emergency Medicine, 53(6), 843–
853. https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2017.06.009
Step 4
PP yang dilakukan utk menegakkan dx
PP GBS
PP MG
Pemeriksaan Antibodi Reseptor – Anti Asetilkolin peningkatan kadar antibodi reseptor
asetilkolin (AChR) dalam serum pasien suspek MG. Tingkat antibodi AChR tidak meningkat
pada semua pasien dengan MG
Pemeriksaan Antibodi Anti Striated Muscle
Pemeriksaan Antibodi Anti Muscle Spesific Kinase
Elektrodiagnostik
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Single-Fiber Electromyography (SFEMG)
Sumber:
Apa saja pencegahan dan edukasi yg dapat di berikan pada kasus di skenario?
Edukasi GBS
• Penjelasan sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa dan tindakan
pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
• Penjelasan mengenai GBS, risiko dan komplikasi selama perawatan
• Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
• Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
• Penjelasan mengenai gejala GBS, dan apa yang harus dilakukan sebelum dibawa ke RS
Edukasi MG
• Penjelasan sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa dan Tindakan
pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
• Penjelasan mengenai Myasthenia Crisis, risiko dan komplikasi selama perawatan
• Penjelasan mengenai factor risiko dan pencegahan rekurensi
• Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
• Penjelasan mengenai gejala Myasthenia Crisis, dan apa yang harus dilakukan sebelum dibawa ke
RS
Sumber:
Perdossi. (2016). Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perdossi, 154–156
Tx MG
Efek samping yang mungkin terjadi dari pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berlebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Hal tersebut terjadi pada pasien
dimana setelah pemberian asetilkolinesterase inhibitor keluhan pasien berkurang dan pasien
membaik namun pasien masih mengeluhkan adanya batuk berdahak. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) dapat berupa kram atau diare.
Cara kerja neostigmin adalah menghambat penghancuran ACh oleh AChE, sehingga
memfasilitasi transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia
dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV, intramuskular (IM),
atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam saluran
gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika piridostigmin tidak ada
Hidayah Chairunnisa, N., Zanariah, Z., & Saputra, O. (2016). Oktadoni dan Karyanto |
Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas J Medula Unila|Volume 6|
Nomor 1|Desember. Jurnal Medula, 6(1), 108–114.
Sumber:
Diagnosis MG:
1. Tes klinis sederhana
a. Tes Wartenberg: penderita diminta untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut
kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positif bila terjadi ptosis.
b. Tes hitung, penderita diminta untuk menghitung 1-100, positif bila suara menjadi
sengau (suara nasal) atau suara menghilang
c. Ice pack eye test; celah antara kedua kelopak mata yang mengalami ptosis akan
diukur terlebih dahulu kemudian dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke
kelopak mata penderita. Celah antara keduakelopak mata yang bertambah Iebar
setelah penempelan es selama 2 menit dianggap positif.
d. Uji Tensilon, bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis dan respons terhadap
pengobatan. Hasil positif bila ditemukan perbaikan gejala kelemahan motorik secara
cepat, tetapi dalam waktu singkat. Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia,
pemberian obat penghambat AChE oral seperti piridostigmin dapat diberikan,
namun perbaikan gejala lebfh lambat, baru terlihat setelah 1-2 jam.
e. Uji rostigmin (Neostigmin), pada tes ini disuntikkan 1,5mg atau 3cc prostigmin
metilsulfat secara intramuskular (diberikan pula atropin O,Bmg bila perllb). Jika
kelemahan itu benar disebabkan oleh MG, maka gejala-gejala seperti ptosis,
strabismus, atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
LO
1A. Komplikasi MG
Krisis Miastenia dan Krisis Kolinergik
Krisis miastenia ditandai dengan memburuknya kelemahan otot rangka yang
mengakibatkan gagal napas dan memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Keadaan
dimana butuh antikolinesterase lebih banyak
Krisis miastenia terjadi pada 15-30% pasien MG. MC dapat terjadi kapan saja dalam
perjalanan penyakit tetapi lebih sering terjadi pada awal setelah diagnosis (dalam 2-3 tahun
pertama, median 8 bulan)
Krisis kolinergik keadaan darurat, ditandai dengan kelumpuhan flaccid dan kegagalan
pernapasan. Terjadi karena pemberian agen antikolinergik yang tidak tepat pada pasien MG
kelebihan obat antikolinesterase
Krisis miastenia dan kolinergik dapat muncul gagal napas
Pemicu untuk krisis miastenia termasuk eksaserbasi penyakit, ketidakpatuhan dengan
pengobatan AChEIs, efek samping dari obat lain, demam, dan stres emosional
Krisis miastenia dosis AChE dapat ditingkatkan dalam batas aman sampai ada perbaikan.
Overdosis AChE dapat diatasi dengan atropin atau metilprednisolon. Untuk beberapa kasus,
bisa menerapkan dosis tinggi g-globulin dan plasmapheresis
Krisis kolinergik pengobatan dengan inhibitor AChE harus dikurangi atau dihentikan dan
tidak boleh dilanjutkan dan ditingkatkan secara bertahap sampai 5-7 hari
AChEIs (Acetylcholinesterase Inhibitors)
Krisis Miastenia Krisis Kolinergik
Heart Rate Takikardi Bradikardi
Otot Kelemahan Kelemahan dan fasikulasi (kedutan otot)
Pupil Normal atau dilatasi Konstriksi
Kulit Dingin dan pucat Hangat dan memerah
Sumber :
Li, Z.-Y. (2016). China guidelines for the diagnosis and treatment of myasthenia gravis.
Neuroimmunology and Neuroinflammation, 3(1), 1. https://doi.org/10.20517/2347-
8659.2015.60
Roper, J., Fleming, M. E., Long, B., & Koyfman, A. (2017). Myasthenia Gravis and Crisis: Evaluation
and Management in the Emergency Department. Journal of Emergency Medicine, 53(6), 843–
853. https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2017.06.009
Harjana, L. T., & Hardiono, H. (2020). Myasthenia Crisis Vs Cholinergic Crisis: Challenges in Crisis
Management Without Plasmapheresis or Intravenous Immunoglobulin (IVIG). Indonesian
Journal of Anesthesiology and Reanimation, 2(2), 53.
https://doi.org/10.20473/ijar.v2i22020.53-58
6. Tatalaksana GBS dan MG dari kondisi awal pasien datang, maintanance, apakah bisa kambuh atau
menyisakan gejala sisa?
Maintanance/Perawatan MG
Untuk mengevaluasi efektivitas pengobatan serta efek samping obat, penting untuk menilai
status klinis pasien secara sistematis pada awal dan pada pemeriksaan interval berulang.
Karena variabilitas gejala MG, riwayat interval dan temuan fisik pada pemeriksaan harus
diperhitungkan. Tes klinis yang paling berguna termasuk waktu abduksi lengan ke depan,
spirometri dengan penentuan kapasitas vital paksa, rentang gerakan mata, dan waktu untuk
terjadinya ptosis. Formulir interval dapat memberikan ringkasan singkat tentang status
pasien dan panduan untuk hasil pengobatan. Penurunan progresif tingkat antibodi AChR
pasien juga memberikan konfirmasi klinis yang bermakna tentang efektivitas pengobatan;
sebaliknya, peningkatan kadar antibodi AChR (Acetylcholine receptor) selama pengurangan
obat imunosupresif dapat memprediksi eksaserbasi klinis.
Obatan yang harus dihindari pada pasien MG
Banyak obat dapat memperburuk kelemahan pada pasien MG. Contohnya antibiotik,
kebanyakan eksaserbasi karena antibiotik akan terjadi dalam 24-48 jam pertama.
Sumber :
Hauser, Stephen L, et al. 2017. Harrison Neurology in Clinical Medicine 4th ed. McGraw-Hill
Education