Anda di halaman 1dari 12

GANGGUAN

SARAF TEPI
DAN OTOT

I. GANGGUAN SARAF TEPI

Gangguan fungsi dan atau struktur dan saraf tepi disebut sebagai neuropati. Manifestasi utama
suatu neuropati akan memberikan gejala dan tanda kelumpuhan Lower Motor Neuron yaitu adanya
kelumpuhan flasid dengan atau tanpa atrofi, refleks tendo yang menurun atau menghilang, berbagai
derajat gangguan sensibilitas dengan distribusi sesuai saraf tepi, dan berbagai derajat gangguan saraf
otonom.

Etiologi neuropati
Genetik
Trauma
Tumor
lnfeksi (Lepra, Herpes Zoster)
Gangguan vaskuler (vaskulitis, aterosklerosis vasa nervorum)
Gangguan metabolik
Gangguan imunologik
Intoksikasi (sitostatika, pestisida, INH)
Idiopatik

Klasifikasi neuropati

Secara patologi anatomi:


- degenerasi aksonal, demielinisasi segmental, atau keduanya
- pada neuropati akibat trauma (menurut Seddon) neuropraxia (gangguan fungsional saja),
axonotmesis (akson saja yang terputus), neurotmesis (akson dan mielin terputus).
Secara klinis:
- Polineuropati: banyak saraf tepi terkena, distribusi simetris dan bilateral
- Mononeuropati: bila hanya satu saraf tepi terkena
- Mononeuropati multipleks: bila lebih dan satu saraf tepi terkena, tetapi distribusi tidak
simetris
Menurut etiologi:
- Neuropati diabetikum
- Neuropati uremikum, dil
Menurut pola waktu:
- Akut: bila gajala penyakit mencapai puncak dalam waktu 3 minggu
- Subakut: bila gejala penyakit mencapai puncak dalam waktu 3 minggu s.d. 3 bulan
- Kronik: bila gejala penyakit mencapai puncak dalam waktu lebih dari 3 bulan
Menurut distribusi anatomi dan otot yang lumpuh: proksimal, distal atau campuran
Menurut tipe serabut yang terkena: motorik saja, predominan motorik, sensorik saja, predominan
sensorik atau campuran, otonom

I.1 POLINEUROPATI

Etiologi
1. Idiopatik
2. lntoksikasi tembaga, timah, air raksa, fosfor, kliokuinol, bahan sitotoksik.
3. Metabolik DM, penyakit hati, defisiensi kelompok vitamin B, alkoholism.
4. Infeksi
5. Genetik
6. Vaskuler

Dasar diagnosis:
1. Kelemahan pada lebih dan satu anggota badan yang relatif simetris
2. Gangguan sensorik dapat minimal atau berupa hipestesi dengan distribusi seperti kaus
kaki dan sarung tangan
3. Arefleksia
4. Progresivitas penyakit bervariasi
5. LCS bisa normal atau abnormal (protein meningkat, jumlah sel normal)
6. EMG: perubahanpola interferensi danyenunmaiu1cesfptanhiaiitaransaraf

Diagnosis banding
a. Poliomielitis anterior akut
b. Botulism
c. Periodic paralysis
d. Polimiositis akut
e. Myasthenia gravis

Penyulit
a. Kelumpuhan otot-otot pernafasan dan diafragma (ascending paralysis tipe Landry)
b. Pneumonia
c. Sepsis
d. Gangguan metabolik
e. Tromboflebitis

Terapi penatalaksanaan
Umum
a) Perawatan dengan memperhatikan komplikasi
b) Fisioterapi
Khusus
a) Tergantung etiologi
b) Steroid untuk kasus yang idiopatik kronis
c) Plasmaferesis untuk yang idiopatik
d) Pemberian vitamin B bila terdapat defisiensi

I.1.1 Sindroma Guillain-Barre

Pendahuluan

Sinonim polineuritis akut paskainfeksi, polineuritis akut toksik, polineuritis febrilis,


poliradikulopati, dan acute ascending paralysis. Sering ditemukan di bangsal penyakit saraf,
insidensi rata-rata 0.4 - 1.7/100.000 populasi. Sindroma ini ditandai oleh kelumpuhan otot
ekstremitas yang akut dan progresif, biasanya muncul sesudah infeksi.

Etiologi

Dahulu sindroma ini diduga disebabkan oleh virus, tetapi teori yang dianut sekarang adalah suatu
kelainan imunobiologik.

Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kelainan akut. Interval antara
penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya antara 1-3 minggu.

Pada umumnya sindroma ini sering didahului infeksi influenza, infeksi saluran nafas bagian atas
atau saluran pencernaan (terutama disebabkan oleh virus). Sindroma ini dapat pula didahului
oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.

Gambaran klinik

Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresivitasnya akan berhenti
setelah berjalan 4 minggu. Lebih kurang 50% akan terjadi kelemahan menjelang 2 minggu, 80 %
menjelang 3 minggu, dan lebih dan 90% selama 4 minggu.

Kelemahan terjadi secara simetris dan mengenai lebih dari satu anggota gerak, jarang yang
asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja, dan dapat pula terjadi
paralisis total keempat anggota gerak yang terjadi secara cepat, dalam waktu kurang dan 72 jam.
Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis atau ascending Landrys paralysis.

Gangguan sensorik pada umumnya ringan, dapat berupa hipestesi atau hipalgesia dengan
distribusi seperti kaos kaki dan sarung tangan. Hipotoni dan hiporefleksia selalu ditemukan.

Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50% kasus dan sering bilateral.
Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena, khususnya yang mengurus lidah, otot-otot menelan,
dan otot-otot motorik ekstraokular. Terlibatnya nervi kraniales dapat merupakan awal sindroma
Guillain-Barre.

Fungsi saraf otonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung, hipotensi postural,
hipertensi, atau gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi gejala dan tanda klinik sindroma
Guillain-Barre.

Proses penyembuhan biasanya mulai setelah 2-4 minggu terhentinya progresivitas klinik. Namun
demikian proses penyembuhan bisa tertunda selama 4 bulan. Secara klinis banyak penderita yang
sembiuh secara fungsional. Pada umumnya pemeriksaan ENMG masih menunjukkan kelainan.

Pemeriksaan Penunjang

Pada cairan serebrospinal (CSS) didapatkan kadar protein yang tinggi, kadang-kadang dapat
sampai 1000 mg%; hal demikian ini tidak sesuai dengan jumlah sel dalam CSS yang dapat
dikatakan tidak mengalami perubahan. Keadaan ini disebut disosiasi sel-albumin (albumin-
cytologic dissociation) dan mencapai puncaknya pada minggu ke 4-6. Peningkatan protein mi
diduga sebagai akibat iniflamasi yang luas.

Pemeriksaan elektroneurografi menunjukkan adanya demielinisasi pada hampir semua penderita


sindroma Guillain-Barre. Kecepatan hantar saraf tepi (KHST) menurun.

Terapi

Untuk sindroma Guillain-Barre dapat dikatakan tidak ada drug of choice, yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkintan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang
memberat sehingga mengancam otot-otot prnafasan. Apabila terjadi keadaan ini, maka penderita
harus segera dirawat di ruang perawatan intensif.

Apabila terjadi kesulitan mengunyah dan atau menelan akibat kelumpuhan otot-otot wajah dan
menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung (nasogatric tube) untuk dapat memenuhi
kebutuhan makanan dan cairan serta menghindari aspirasi.

Manfaat kortikosterold untuk sindroma Guillain-Barre masih kontroversial. Namun saat ini
steroid dianggap tidak membantu mempercepat penyembuhan, bahkan terdapat suatu penelitian
yang menunjukkan bahwa steroid dapat memperlambat perbaikan klinis.
Plasmaferesis dapat memberi manfaat yang besar terutama antuk kasus yang akut. Di negara
barat plasmaferesis sering dilakukan pada penderita sindroma Guillain-Barre fase akut (dalam 2
minggu), terutama yang mengalami gejala berat atau perburukan cepat.

Intravenous Immunoglobulin (IVIg) memiliki efektivitas yang sama dengan plasmaferesis dan
lebih mudah diberikan, namun memerlukan biaya yang lebih besar.

Terlepas dari obat apa diberikan, maka perawatan terhadap penderita sindroma Guillain-Barre
harus tetap prima. Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses
pemulihan.

Prognosis

Prognosis akan lebih baik apabila usia penderita lebih muda, selama sakit tidak memerlukan alat
bantu nafas, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak terjadi kelumpuhan total

Kecepatan penyembuhan bervariasi dan beberapa minggu sampai beberapa bulan kira-kira 85%
penderita akan sembuh sempurna dalam 6-12 bulan. Sekitar 7-15% akan sembuh dengan gejala
sisa. Apabila terjadi paralisis otot-otot pernafasan maka prognosis akan lebih buruk. Hal
demikian ini akan lebih diperburuk lagi apabila rumah sakit tidak mempunyai fasilitas perawatan
yang memadai. Dengan fasilitas yang memadai kematian terjadi pada 5% kasus akibat ARDS,
sepsis, emboli paru, atau henti jantung.

I.1.2 Neuropati karena Defisiensi Vitamin

Neuropati karena defisiensi vitamin saat ini jarang dijumpai. Penyebab dan neuropati ini adalah
kekurangan vitamin dalam makanan sehari-hari, dapat terjadi pada orang yang jarang makan
makanan segar (makanan kaleng tanpa suplemen vitamin), operasi usus diet yang eksklusif ,
striktura oesophagus, malabsorbsi, atau dispepsia akibat gaugguan penyakit sistemik.

Di negara barat neuropati ini dapat terjadi pada pencando alkohol yang melalaikan makanan
segar dalam menu utamanya. Akhir-akhir ini dilaporkan bertambahnya kasus defisiensi vitamin
B (terutama vitamin B12) pada pasien usia lanjut karena adanya gangguan absorbsi akibat
kurangnya faktor intrinsik pada lambung.

Gambaran patologi anatomi

Gambaran patologi anatomi dan neuropati sering menunjukkan adanya aksonopati distal, yaitu
degenerasi aksonal terutama di bagian distal serabut- serabut saraf.

Gambaran klinik

Keluhan dan gejala yang sering dijumpai adalah paresthesi, nyeri, dan kelemahan pada kedua
tungkai yang dapat menjalar ke proximal, setelah itu disertai pula ada hiporefleksia atau
arefleksia. Defisiensi vitamin selain menimbulkan gejala neuropati juga menyebabkan gangguan
sistemik, seperti adanya Wernickes Enchephalopathy (nistagmus parese NIII, confuse),
degenerasi serebelum, anemia, mielopati.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan elektromiografi. Pemastian


diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan kadar serum vitamin B1,B6, dan B12.

Pengobatan

Neuropati ini mempunyai dasar penyebab defisiensi vitamin, maka pemberian vitamin pengganti
merupakan tindakan yang tepat. Dosis yang dianjurkan biasanya vitamin B 1 50mg perhari,
vitamin B6 30mg perhari dan vitamin B12 100 g perhari. Pemberian vitamin ini dapat diberikan
sepanjang ada indikasi penyebab defisiensi yang belum teratasi.

Prognosis

Pengobatan yang diberikan dalam stadium yang belum terlalu lanjut biasanya akan memberikan
kesembuhan yang sempurna, namun bila sudah dalam keadaan penyembuhan sering tidak
sempurna sehingga meninggalkan kecacatan.

I.1.3 Neuropati diabetik

Prevalensi dan neuropati akibat diabetes mellitus bervariasi antara 30 -70%. Secara patologi
anatomi didapat adanya campuran degenerasi axsonal dan demielinisasi segmental. Namun pada
kasus yang sudah menahun dapat terjadi kehilangan akson yang hebat sehingga membatasi
regenerasi.

Patogenesis neuropati ini belum jelas. Terdapat hipotesis yang menyebutkan adanya gangguan
metabolisme akibat hiperglikemi, ada yang mengajukan hipotesi gangguan vaskuler dengan
akibat iskemik atau infark endoneurial, ada pula yang mengemukakan gabungan dari kedua
hipotesis diatas.

Gambaran klinis

Bentuk neuropati diabetik secara klinis dibedakan atas:


1. Polineuropati
2. Mononeuropati/ mononeuropati multipleks
3. Campuran
Polineuropati simetris distal merupakan bentuk neuropati diabetik yang sering dijumpai,
awitannya biasanya tidak jelas. Keluhan dan gejala yang sering dijumpai adalah parestesia atau
hipestesia pada kaki dan tungkai bawah, refleks tendon menurun, kelemahan otot-otot bagian
distal ekstremitas, kadang-kadang disertai kelainan berupa rasa nyeri atau rasa terbakar di malam
hari pada kaki atau telapak kaki.

Gangguan otonom berupa berupa diare pada malam hari, pengosongan lambung yang lambat,
hipotensi postural, berbagai gangguan denyut jantung, retensio atau inkontinensia urine,
impotensi, berkurangnya produksi keringat, dapat menyertai polineuropati.

Bentuk mononeuropati atau moneuropati multipleks dapat berupa gangguan saraf otak ke
III,VI, dan VII secara tersendiri atau bersam-sama, biasanya kejadiannya mendadak. Selain saraf
otak, saraf spinal juga dapat terkena, salah satu bentuk yang kadang-kadang dapat dijumpai
adalah dimana otot-otot bagian proksimal ekstremitas bawah mengalami kelumpuhan yang
asimetris disertai atropi dan rasa nyeri serta refleks tendon yang menurun

Neuropati ini sering didapat pada pasien DM usia lanjut, dengan perjalanan penyakit yang
menetap atau dapat sembuh spontan. Saraf spinal yang terkena pada neuropti ini terutama n.
femoralis, kadang kadang n. obturatorius dan n. ischiadicus.

Bentuk neuropati campuran juga dapat terjadi, dengan gambaran klinik campuran dan
polineunopati dan mononeuropati.

Diagnosis dan Diagnosa banding

Diagnosis neuropati diabetik ditegakan dan gejala klinis dan pemeriksaan elektromiografi serta
menyingkirkan neuropati kronis oleh penyebab lain. Pasien DM juga dapat mengalami neuropati
karena defisiensi atau kompresi.
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah neuropati karena parakarsinomatosa, defisiensi
vitamin B12, atau 1epra.

Pengobatan:

Sampai saat ini belum ada terapi yang meuaskan, beberapa peneliti menyebutkan bahwa control
darah yang teratur dapat menghambat progresivitas neuropati diabetik.

Pemberian vitamin B tidak akan mengubah perjalanan dari neuropati kecuali bila ada tanda-tanda
defisiensi vitamin B yang menyertainya. Rasa nyeri yang terdapat pada neuropati asimetris
proksimal dapat diobati dengan Difenilhidantoin atau Karbamazepin.

I.2 MONONEUROPATI

I.2.1 Nervus Radialis

Nervus Radialis berasal dan radiks C5, C6, C7, C8, mempersrafi otot-otot triceps,
brachioradialis, ekstensor carpi dan digitorum, kulit bagian lateral lengan atas bagian distal dan
bagian posterior lengan bawah dan dorsum manus 3 jari radial.

Penyebab dan gejala klinik biasanya berhubungan dengan lokasi:


Lesi di daerah aksila biasanya disebabkan oleh trauma (crutch atau
penyangga tubuh, luka oleh benda tajam), gejala yang timbul ialah kelumpuhan otot-otot
lengan atas dan bawah (ekstensor, supinator) dan gangguan sensibilitas terutama lengan
bawah dan tangan.
Lesi di lengan atas yang sering disebabkan oleh tarikan atau tekanan fragment fraktur
tulang humerus, tekanan bidai, atau benda berat pada nervus radialis. Gejala klinis
tampak sebagai kelumpuhan otot-otot ekstensor dan supinator lengan hawah dan jari,
sedangkan otot triceps tidak terganggu. Selain itu juga terdapat gangguan sensibilitas
pada daerah dorsum manus.
Lesi di lengan bawah lebih sering disebabkan oleh trauma_tajam, tertekan atau terobek
oleh fragmen tulang yang patah, gejalanya berupa drop hand dengan m.brachioradialis
utuh, gangguan sesibilitas seperti lesi pada lengan atas.

I.2.2 Nervus medianus

Nervus medianus berasal dan radix C7, C8, T1. Di atas siku tidak ada
percabangan ke otot, dibawah siku saraf menginervasi semua otot fleksor jari
dan tangan, kecuali m.fleksor carpi ulanris dan fleksor digitorum profundus
sebelah medial, selain itu juga mempersarafi otot pronator. Sesudah melewati terowongan
karpal, keluar cabang motorik untuk m.abductor pollicis brevis, opponens pollicis, fleksor
pollicis brevis, dan sebagian m.lumbricales dan cabang sensorik mempersarafi kulit bagian
palmar 3 jari dan tangan radial.

Lesi yang paling sering dijumpai adalah sindroma terowongan karpal, yaitu terjepitnya
nervus medianus di daerah terowongan karpal yang disebabkan oleh fleksi atau ekstensi yang
berlebihan dan tangan pada pergelangannya (overuse), Diabetes mellitus, Rhematoid
arthritis, tendonitis, dislokasi tulang karpal.

Keluhan yang paling sering dikemukakan ialah adanya rasa kesemutan pada tiga jari tengah,
keluhan lain biasanya tidak dirasakan pada waktu bekerja dan bertambah bila sedang
isitirahat atau tidur. Selain itu ada juga pasien yang mengeluh kurang kuatnya genggaman
tangan, sehingga tidak jarang bila memegang barang terasa lemah dan kadang - kadang jatuh.
Pada pemeriksaan fisik didapatkant adanya kelemahan otot abduksi dan oposisi ibu jari, bila
kompresi cukup berat dapat disertai atrofi otot-otot tersebut. Gangguan sensibilitas biasanya
berupa paresthesia pada telapak tangan 3 jari sisi radial, jarang sampai terjadi anesthesia
atau analgesia pada telapak dan jari.

Hiperfleksi pada pergelangan tangan yang dikenal dengan tanda phalen dapat menimbulkan
paresthesia pada ujung tangan yang disuplai oleh n.medianus. Perkusi pada n.medianus di
karpal tunnel menimbulkan rasa seperti kena listik, (Tinnel pergelangan )

Pengobatan biasanya bersifat konservatif dan kausal, antara latihan dengan mengurangi
hiperfleksi dan hiperekstensi yang berlebihan, bila perlu dipasang bidai pendek sekitar
pergelangan tangan, pemberian obat anti inflamasi non steroid, dan pengendalia kadar gula
darah. Bila tidak menolong dan terdapat tanda-tanda parese dan atrofi, sebaiknya dilakukan
pembedahan.

Lesi n. medianus lebih proksimal terutama pada daerah aksila atau lengan atas akan
memberikan gejala berupa parese semua otot yang dipersarafinya dan gangguan sensorik
dengan distribusi 3 1/2 jari dan telapak tangan sebelah radial.

Parese yang disertai atrofi dari m.abductor pollicis brevis dan opponens pollicis dapat
menyebabkan posisi tangan seperti tangan kera, (simian/ape hand), selain itu juga dapat
terjadi gangguan pronasi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan dan sebagian jari-jari.

Penyebab lesi di proksimal seringnya karena trauma atau kompresi oleh sikatriks jahitan
luka.

I.2.3 Nervus Ulnaris

Nervus Ulnaris berasal dari radiks C7,C8,T1, terutama mempersrafi oto fleksor tangan dan
jari dan beberapa otot tangan dan kulit 1 jari sisi ulnar dan sisi ulnaris tangan baik bagian
dorsal maupun palmar.

Lesi n.ulnaris bagian proksimal sering disebabkan oleh trauma, jepitan pada cubital tunnel di
daerah siku, lepra diabetes mellitus.

Gejala lesi n.ulnaris di proksimal nampak sebagai parese dan atrofi otot-otot hipotenar dan
interossei, sehingga dapat memberikan bentuk tangan yang disebut claw hand._Selain itu
disertai gangguan sensorik pada 1 jari ulnar dan sisi ulnar tangan baik bagian palmar
maupun dorsal.

Pengobatan lesi n. ulnaris tergantung dan etiologi. Bila trauma sebagai penyebabnya dapat
dilakukan tindakan seperti cedera pada saraf tepi umumnya, sedang jepitan dapat dihilangkan
dengan tindakan operatif. Pada kasus lepra harus diberi kemoterapi yang sesuai dan lengkap.
Bila terjadi kompresi tentu harus dibantu dengan tindakan operatif selama saraf tepi belum
rusak total.

I.2.4 Nervus ischiadicus

Saraf ini berasal dari L4, L5,S1, mempersarafi otot fleksor tungkai bawah dan adductor paha.
Pada fosa poplitea, saraf ini bercabang dua menjadi n.tialis dan n.peroneus.

N. tibialis berjalan di sebelah poterior tungkai bawah untuk mempersarafi otof plantar fleksor
kaki dan jari-jari serta kulit sekitar plantar pedis dan betis. N. peroneus berjalan ke lateral
dari fibula untuk kemudian mempersarafi otot dorsofleksi kaki dan jari, eversi kaki, serta,
kulit tungkai bawah sebelah lateral, dorsum pedis, dan jari-jari.
Lesi n. ischiadicus sering disebabkan oleh trauma, fraktur, aneurisma, dislokasi tulang
panggul atau kompresi oleh neoplasma maupun sikatriks.

Gejala dari lesi saraf ini sering bermanifestasi sebagai paralise dari otot-otot yang dipersarafi
oleh n.peroneus sehingga otot dorsofleksi kaki dan jari-jari lumpuh dan terjadi foot drop
dengan kaki sedikit dalam posisi inversi. Selain itu terdapat pula kelumpuhan otot fleksor
tungkai atas, plantar fleksor kaki dan jari.

Lesi pada n.tibialls sering disebabkan oleh trauma, jepitan terutama di daerah tarsal tunnel,
atau diabetes mellitus. Lesi akan menyebabkan gangguan otot plantar fleksor kaki dan jari-
jari (claw foot) serta gangguan sensibilitas sekitar telapak kaki dan bagian dorsal dan tungkai
bawah.
Pengobatan lesi n. ischiadicus dan cabang-cabangnya tergantung penyebabnya, dapat
konservatif seperti pada lepra dan diabetes mellitus atau operatif bila ada penekanan atau
jepitan

Pencegahan berupa pemasangan bidai yang tidak boleh menekan fibula serta pemberian
bantalan lunak sekitar capitulum fibula pada tungkai yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah penekanan pada n. peroneus.

Prognosis dan berbagai mononeuropati sangat terantung dan etielogi. Bila disebabkan oleh
trauma dengan derajat ringan biasanya akan mengalami penyembuhan spontan, sedang
derajat lesi yang berat dapat menimbulkan sekuele walaupun dilakukan operasi.

Mononeuropati pada DM dan lepra bila sudah dalam keadaan lanjut juga kurang baik
prognosisnya, sedangkan gangguan sanaf tepi karena jepitan atau kompresi tergantung dari
makin cepat dikenalnya lesi tersebut, makin cepat dikenal makin baik prognosisnya.

1.3 PLEKSOPATI

1.3.1 Pleksopati Brachialis

Pleksopati brachialis sering disebabkan oleh trauma, neoplasma, idiopatik. Gejala klinik
tergantung dari komponen yang terkena, letak lesi, dan lengkap atau tidaknya lesi.

Pada lesi bagian atas pleksus (Erb, Duchene type), yang terkena adalah trunkus superior
C5-C6) sehingga yang terganggu ialah otot-otot ekstremitas bagian proksimal (deltoid,
biceps, brachioradialis), sehingga posisi lengan atas dalam keadaan adduksi dan endorotasi,
sedang lengan bawah dalam posisi ekstensi dan pronasi, memberi kesan seperti porters tip .
Gangguan sensibi1itas biasanya sekitar otot deltoid dan disetai menghilangnya atau
menurunnya refleks biceps.

Lesi pada bagian tengah pleksus yang berasal trunkus media (C7) memberi gejala seperti n.
radialis, refleks triceps menghilang atau menurun, dan gangguan sensibilitas sekitar
permukaan ekstensor lengan bawah dan sisi radial dorsum manus.

Lesi pada bagian tengah pleksus ( dejerine-klumpke type) yang berasal dan trunkus (C8-
T1) menyebabkan kelumpuhan dan atrofi otot-otot tangan dan jari-jari, gangguan sensibilitas
sebelah medial lengan atas, lengan bawah dan sisi ulnar tangan, refleks ulnar menurun
sampai menghilang dan dapat disertai dengan sindroma Horner ipsilateral.

Lesi pleksus pada tingkatan fasikulus (cord) dapat menyerupai lesi n. medianus atau ulnar
atau radialis bagian proksimal, sedangkan total pleksus palsy akan menyebabkan
kelumpuhan semua otot-otot ekstremitas atas dan gangguan sensibilitas dari puncak bahu
kebawah, serta hilangnya semua refleks di daerah lengan.
1.3.2 Pleksopati Lumbosakralis

Pleksopati lumbosakralis sering disebabkan oleh neoplasma sekitar panggul (kelenjar limfe,
prostat, serviks uteri, rektum), trauma dengan fraktur atau operasi sekitar pelvis, diabetes
mellitus, atau mungkin idiopatik.

Lesi pada segmen lumbal pleksus ini akan menyebabkan kelumpuhan otot-otot yang
dipersarafi oleh n. femoralis dan n. obturatorius, dimana akan
terjadi gangguan ekstensi tungkai bawah dan adduksi paha. Selain itu juga terdapat gangguan
sensibilitas sekitar inguinal, genital, paha sebelah lateral, anterior dan medial serta medial
tungkai bawah. Refleks tendo lutut dan refleks kremaster menurun sampai menghilang.

Diagnosis lesi pada pleksus disamping pemeriksaan klinis yang teliti juga dapat dibantu
oleh pemeriksaan elektroneuromiografi, pemeriksaan X-foto thoraks atau panggul,
pemeriksaan labpratojjurn yang menunjang diagnostik (Fib, leakosit, kadar gula darah).

Pengobatan pleksopati biasanya tergantung dan penyebabnya, bila tidak jelas penyebabnya
atau diabetes mellitus, biasanya pengobatan bersifat konservatif atau operatif tergantung dari
derajat kerusakan; sedangkan imtuk kompresi oleh neoplasma, pengobatan operatif
merupakan tindakan terpilih.

II. GANGGUAN OTOT

POLIMIOSITIS

Polimiositis/dermatomiositis adalah suatu miopati yang didapat. Etiologi dari


polimiositis/dermatomiositis dapat berupa infeksi oleh trichinosis, toxoplasmosis,
tripanosomi1sis, cysticercosis, coxsackie, virus group B, virus influenza, virus Epstein-Barr,
kuman typhoid. Selain itu dapat pula menyertai berbagai penyakit kolagen, keganasan, atau
bahkan tidak jelas penyebabnya.

Polimiositis/dermatomiositis idiopatik merupakan penyakit otot yang tidak jarang dijumpai


pada RS-RS rujukan, biasanya mengenai otot-otot proksimal dan ekstremitas, otot trunkus,
otot- otot leher, pharynx dan larynx.

Bila hanya mengenai otot-oto disebut polimiositis, namun bila mengenai otot dan kulit
disebut sebagai dermatomiositis.

Penyakit ini mengenai semua usia baik laki-laki maupun wanita, tapi sering didapat setelah
usia 30 tahun.

Manifestasi klinik dari polmiositis adalah parese gelang bahu dan panggul yang simetris pada
otot-otot proksimal ekstrimitas yang terjadi pada periode beberapa minggu sampai bulan,
biasanya tidak disertai rasa nyeri, febris, atau atrofi yang jelas.

Kadang-kadang ada disfagi, disfonia. Refleks tendo dapat normal atau menurun. Pada
dermatomiositis didapat kulit yang eritematous atau dermatitis eksimatous/eksfoliatif,
kadang-kadana kulit menebal seperti skierodenina. Perubahan Warna kulit menjadi lilac
seperti terjadi sekitar pangkal hidung, pipi, kening, dan seikitar kuku jari. Tidak jarang
dijumpai adanya edema perioral dan periorbital. Nyeri pada otot atau mialgia dapat pula
dijumpai, tapi lebih sering pada tipe dermatomiositis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Yang menunjang biasanya berupa peninggian serum creatinin kinase (CK) dan laju endap
darah. Kelainan itu dapat berkurang bial ada penyembuhan dari penyakitnya. Selain itu bila
menyertai penyakit kolagen dapat diperiksa pula adanya rheumatoid factor, anti nuclear
antigen, sel lupus erythematosus, dan lain - lain.

PEMERIKSAAN ELEKTROMIOGRAFI

Dapat menunjukkan gambaran miopatik pada separuh dari kasus. Pemeriksaan biopsi otot
dapat menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi dari serabut otot dengan infiltrasi sel
radang perivaskuler dan intyertitial. Gambaran patologik yang khas ini hanya dijumpai pada
65% kasus, sisanya dapat normal atau hanya menunjukkan degenerasi dan regenerasi saja.

Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, tapi ada yang menganggap sebagai penyakit
autoimun, sehingga dengan dasar tersebut diberikan Prednison.

Pada awalnya Prednison dapat diberikan dengan dosis 60 mg sehari. Dibagi dalam 3-4 kali
pemberian, kemudian tiap 2-3 minggu diturunkan 5 mg bila sudah ada perbaikan dalam
kekuatan otot bersamaan dengan serum CK yang mengurang. Bila Prednison sudah mencapai
20 mg sehari, dapat diganti dengan 40 mg tiap 2 hari sekali, dengan maksud untuk
mengurangi efek samping kortikosteroid.

Bila telah mencapai perbaikam sebaiknya tetap diberikan Prednison dengan dosis 7,5- 20 mg
perhari untuk wakti 6-12 bulan. Bila terjadi relaps, Prednison perlu dinaikan lagi.

Umumnya pengobatan dengan kortikosteroid dapat memberikan prognosa ad vitam atan ad


fungsionam yang lebih baik Pada 20 % kasus akan sembuh sempurna, sisanya sembuh
parsial dan tetap memerlukan Prednison untuk jangka panjang.

Fisioterapi yang ringan dapat dilakukan untuk mencegah kontraktur

III. GANGGUAN SAMBUNGAN SARAF-OTOT

MYASTHENIA GRAVIS

Myasthenia Gravis adalah penyakit otoimun yang ditandai secara klinik oleh kelemahan otot
yang berfluaktif dan kelelahan yang berlebihan akibat gangguan transmisi di sambungan
saraf otot.

Patogenesis dari penyakit ini disebabkan oleh jumlah acetilcholine receptor (Ac-R) pada
membrane pascasinaptik yang berkurang akibat adany antibodi teerhadap resptor ini.
Antibodi ini dibentuk oleh timus sebagai respon terhadap adanya antigen resptor asetilkoloin
pada sel mioid dan epitel timus.

Yang menjadi pertanyaan ialah kenapa Ac-R dalam sel-sel tersebut kehilangan toleransi
immunologiknya. Hal mi kemungkinan berhubungan dengan factor genetik atau infeksi virus
pada timus.

Hampir 70% pasien dengan Myasthenia gravis mengalami hiperplasia timus dan
15% mengandung timoma.

Penyakit mi secara sporadis mengenai segala usia, terutama sering pada orang dewasa dan
dapat mengenai kedua jenis kelamin.
Secara klinis terdapat beberapa tipe yang bervariasi dalam pola dan derajat dari otot yang
terkena. Pola otot yang sering terkena adalah otot-otot seran lintang pada mata, wajah, dan
bulbar, pada stadium yang lanjut barulah otot ekstremitas dan trunkus terkena.

Awitan penyakit ini biasanya tidak jelas, progresivitasnya berjalan dalam beberapa minggu.

Tipe okuler yang merupakan 20% dari kasus, merupakan bentuk yang ringan dengan gejala
menonjol diplopia dan strabismus, reaksi pupil terhadap cahaya masih normal. Bentuk ini
masih kurang memiliki hubungan dengan timoma, namun respon terhadap obat
antikolmnesterase buruk.

Bentuk yang umum dapat melibatkan otot bulbar, ekstremitas, trunkus dengan gejala
disartria, disfagia, dan kelemahan otot ekstremitas (terutama proksimal) sehingga pasien
tidak mampu mengangkat tangan ke atas kepala (sulit menempelkan lipstick/menyisir) atau
susah bangun dan duduk. Bila berat dapat mengganggu otot respirasi dan menimbulkan sesak
nafas, susah batuk, serta banyak lendir.

Bentuk ini terdapat pada 70% kasus dan mempunyai respon yang baik terhadap obat anti
kolinesterase, tetapi prognosis kurang balik serta sering ada hubungan dengan timoma dan
dijumpai peninggian antibodi serum terhadap Ac-R.

tidak jarang penyakit Myasthenia gravis menyertai thyrotoxicosis, Rheumatoid Arthritis,


Lupus Erithematosus. dan polimiositis.

Perjalanan penyakit ini biasanya akan mengalami remisi baik spontan atausesudah
pengobatan, tapi dapat mengalami eksaserbasi lalu remisi lagi dan
seterusnya. Komplikasi yang sering adalah kegagalan respirasi sehingga bila tidak dibantu
alat bantu nafas pasien dapat meninggal dunia. Tidak jarang pula terjadi aspirasi makanan
dan ludah ke saluran nafas, disusul dengan pneumonia dan kematian.

DIAGNOSIS PENYAKIT

Secara klinis dapat dilakukan dengan tes menatap benda selama 30 detik lalu
dilihat adanya ptosis. Atau pasien disuruh menghitung satu sampai seratus lalu
didenngar adanya disartria dan suara sengau. Dapat juga dengan menyuruh pasien
merentangkan lengan horizontal ke depan, pasien biasanya tidak mampu mempertahankan
posisi tersehut selama 3 menit.

Diagnosis dapat dipastikan dengan tes Tensilon (Endrophonium Chloride) atau tes
Prostigmin dengan menyuntikan Prostigmin 1-1,5 mg.IM. dalam waktu 20-30 menit
kelemahan akan berkurang. Bila tes ini negatif perilu diulangi misalnya sesudah melakukan
suatu aktivitas.

Pemberian Tensilon atau Prostigmin injeksi dapat memberikan efek samping mual, muntah,
dan diare. Karena itu, 10 menit sebelum pemberiannya dapat diber suntikan sulfas atropine
1/2 mg IM untuk mengurangi efek samping tersebut.

Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosis adalah pemeriksaan EMG yang
menunjukkan adanya penurunan potensial aksi otot sesudah stimulasi listrik berturut-turut
(repetitive nerve stimulation test), dan pemeriksaan titer antibodi serum terhadap Ac-R yang
menunjukkan peningkatan.

Untuk mencari adanya penyakit penyerta dapat pula di periksa fungsi tiroid, RA faktor, tes
untuk LE, dan enzim otot. Pemeriksaan X-foto thoraks, CT Scan/MRI untuk melihat adanya
adanya pembesaran kelenjar timus dapat pula dilakukan, disamping untuk menyingkirkan
adanya keganasan di paru-paru yang dapat pula memberikan gejala sindroma miastenik.
DIAGNOSIS BANDING

Sindroma miastenik yang menyertai karsinoma sistemik (Eaton Lambert


/ Syndrome) Ditandai nyeri pada otot proksimal dari kelainan seperti myastenia gravis,
disini kekuatan otot mula-miula melemah kemudian bertambah sesudah
suatu aktivitas. Penyakit ini tidak berhubungan dengan antibodi terhadap Ac-R, paling sering
menyertai karsinoma paru.

MYASTHENIA GRAVIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN OBAT

Obat-obat seperti golongan aminoglikosid, quinidine, lidokain, propanolol, fenitoin,


chlorpromazine, ACTH, dan hormone tiroid dapat menimbulkan gejala seperti myasthenia
gravis melalui mekanisme_inhibisi pelepasan_asetilkolin dan terminal saraf atau memblokir
reseptor asetilkolin pascasipnatik.

PENGOBATAN

Pengobatan bervariasi menurut berat ringannya penyakit. Umumnya dapat diberi obat-obat
golongan antikolinesterase, yaitu Neostigmin dimulai dengan dosis 5-6x 15 mg/hari,
kemudian dapat dinaikan dengan rata-rata dosis mencapai 150 mg sehari.

Piridostigmin dapat diberikan dengan dosis 2 kali Neostigmin dengan masa kerja lebih lama.
Golongan obat ini hanya bermanfaat untuk myasthenia umum daripada myasthenia gravis
okuler. Dosis yang berlebihan dari obat antikolinesterase dapat menyebabkan terjadinya
krisis kolinergik.

Bila ada tumor timus atau pada pasien myasthenia gravis umum dengan progresivitas cepat
dapat dilakukan timektomi. Remisi sesudah operasi ini dapat mencapai 35%.

Pemberian kortikosteroid dengan dosis tinggi dalam jangka panjang merupakan terapi
terpilih saat ini. Terapi ini diberikan untuk pasien yang krang berhasil dengan terapi
antikolinesterase dan timektomi atau pasien orang tua. Kortikosteroid yang terpilih adalah
Prednison, dosis yang dianjurkan antara 10-45mg. Dosis ini dikurangi secara lambat dalam
waktu 2 tahun bila ada perbaikan. Namun seringkali pemberian Prednison pada awal terapi
menyebabkan kelemahan bertambah sehingga pasien dianjurkan untuk dirawat di RS, dan
bila perlu diberikan bersama-sama obat antikolinesterase. Plasmaferesis/pemberian IVIg juga
dianjurkan bila pasien tidak ada respon terhadap pengobatan di atas atau dalam keadaan
kritis.

Anda mungkin juga menyukai