Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


DISFAGIA ET CAUSA NEUROLOGIS

DISUSUN OLEH :
Febrihardita Dwinovitch
FK UPH – 00000002264

Pembimbing :
dr. Pulo Raja Soaloon Banjarnahor, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE GEDUNG B
Periode 8 Mei 2017 – 10 Juni 2017
TANGERANG
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke adalah penyakit pembuluh darah otak yang disebabkan oleh terhentinya
asupan oksigen kebagian otak tertentu, sehingga daerah tersebut dapat kehilangan
fungsinya. Gejala tersering yang disebabkan oleh stroke adalah lemah anggota gerak,
kesulitan bicara, disfagia atau kesulitan menelan, wajah mencong, dll. disebabkan oleh
penyakit yang menyerang korteks serebral, batang otak, saraf kranialis, neuromuskular
junction, dan otot menelan itu sendiri. Yang akan dibahas pada kesempatan kali ini
adalah kesulitan menelan yang disebabkan oleh stroke. Kesulitan menelan terjadi akibat
lumpuhnya otot-otot yang bekerja pada proses menelan karena terganggunya inervasi
persarafan dari sistem saraf pusat menuju bagian motorik, sehingga dapat menimbulkan
gejala.

Jika terdapat kesulitan menelan akan berdampak tidak baik bagi pasien karena fungsi
menelan dan refleks batuk penting bagi pasien untuk proses menelan dan mencegah
terjadinya aspirasi dari orofaring, dimana jika terdapat gangguan dapat meningkatkan
resiko terjadinya infeksi paru. Pada pasien stroke dengan disfagia memiliki resiko untuk
mengalami pneumonia aspirasi, kesulitan bernafas, malnutrisi, dan dehidrasi lebih
tinggi. Disfagia pada pasien stroke paling sering didapatkan disfagia orofaringeal, yaitu
terganggunya aliran bolus makanan dari mulut menuju faring. Mekanisme terjadinya
disfagia pada stroke ini melibatkan komponen sistem saraf pusat, baik dari korteks
motorik dan saraf kranialis yang berperan dalam proses menelan.

Penanganan yang tepat dan adekuat dapat menurunkan angka terjadinya komplikasi
pada pasien stroke dengan disfagia. Tujuan utama yang dapat dicapai pada pasien
dengan keadaan seperti ini adalah dapat memperbaiki fungsi menelan dan dapat
mengurangi resiko terjadi komplikasi. Terdapat beberapa teknik yang dapat diterapkan
pada pasien stroke dengan disfagia guna memperbaiki kualitas hidup pasien, melihat
stroke sebagai penyakit kronik yang akan diderita dalam jangka waktu panjang oleh
pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Disfagia merupakan gangguan yang terjadi pada daerah orofaring dan esofagus, yang
menyebabkan pasien merasa kesulitan pada saat menelan. Terdapat beberapa kondisi
lain yang berhubungan dengan kesulitan menelan. Yaitu afagia atau kesulitan untuk
menelan didefinisikan sebagai obstruksi esofagus total yang sering terjadi ketika
tersedak makanan atau benda asing. Odinofagia adalah rasa sakit yang timbul ketika
menelan yang biasanya disebabkan oleh ulserasi mukosa di dalam orofaring atau
esofagus. Globus adalah sensasi benda asing pada tenggorok yang tidak mengakibatkan
obstruksi. Fagofobia (rasa takut untuk menelan) dan penolakan untuk menelan
merupakan keadaan psikogenik atau berhubungan dengan kekhawatiran akan obstruksi
bolus makanan, odinofagia, atau aspirasi yang biasanya disebabkan oleh faktor
psikologis pasien.

2.2.Epidemiologi
Kesulitan menelan dapat terjadi akibat adanya kelainan saluran pencernaan, kerusakan
struktur, dan kondisi medis tertentu. Disfagia dapat disebabkan oleh penyakit yang
menyerang korteks serebral, batang otak, saraf kranialis, neuromuskular junction, dan
otot menelan itu sendiri. Kelainan neurologis yang dapat menyebabkan disfagia antara
lain yang disebabkan oleh penyakit vaskular seperti stroke, perdarahan intrakranial,
multipel sklerosis, motor neuron disease, penyakit neurodegeneratif, dan penyakit
infeksi otak lainnya. Namun yang akan dibahas kali ini adalah disfagia yang disebabkan
oleh neurologis terutama stroke.

Secara global ditemukan lebih dari 15 juta orang yang mengalami stroke setiap
tahunnya, dan diketahui lebih dari 50% pasien stroke mengalami gangguan fungsi
menelan, yang dalam waktu kurang dari 7 hari terdapat perbaikan pada fungsi menelan,
dan hanya 11-13% saja yang tetap kesulitan menelan setelah 6 bulan. Pada 80% pasien
yang mengalami perpanjangan disfagia akan membutuhkan alternatif lain untuk asupan
nutrisi. Ditemukan pula pada sejumlah penelitian didapatkan bahwa pasien stroke
dengan gangguan fungsi menelan memiliki lesi yang terdapat pada korteks serebral.

3
Komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien stroke dengan disfagia adalah aspirasi
makanan atau minuman yang dikaitkan pada kegagalan mekanisme batuk dan gangguan
fungsi menelan, sehingga dapat masuk kesaluran pernafasan sehingga menyebabkan
aspirasi yang dapat berakibat fatal.

2.3.Etiologi
Disfagia merupakan gejala dari berbagai penyebab yang berbeda seperti pada pasien
stroke akibat kelumpuhan otot-otot menelan, keganasan kepala-leher, penyakit
esophagus progresif seperti penyakit parkinson, multipel sklerosis atau amyotrophic
lateral sclerosis, scleroderma, akalasia, spasme esofagus difus, lower esophageal
(Schatzki) ring, striktur esofagus, dan keganasan esofagus.

Jika dibagi berdasarkan penyebab, terdapat 3 macam yaitu:


i. Disfagia mekanik, timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus, diameter
lumen kurang dari 2,5cm.
Penyebab : sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing,
peradangan mukosa esofagus, striktur lumen esofagus, penekanana esofagus dari
luar (perbesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening pada
daerah mediastinum perbesaran jantung dan elongasi aorta) letak, a.subklavia
yang abnormal (disfagia lusoria).
ii. Disfagia motorik, timbul bila terjadi kelainan neuromuskular yang berperan
dalam proses menelan, seperti lesi terdapat pada pusat menelan di batang otak,
kelainan saraf ( N.V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII ), kelumpuhan otot faring dan
lidah seerta gangguan peristaltik esofagus. Kelainan otot polos esofagus yang
dipersarafi oleh komponen parasimpatik nervus vagus dan neuron nonkolinergik
paska ganglion di dalam ganglion mienterik juga dapat menyebabkan gangguan
kontraksi dinding esofagus dan relaksasi dari otot sfingter esofagus bagian
bawah, sehingga timbul keluhan disfagia
Penyebab : akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan
skleroderma esofagus.
iii. Disfagia oleh gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat dikenal sebagai
globus histerikus.

4
Berdasarkan letak anatomis :
i. Disfagia orofaringeal:
 Neurologis: stroke, Parkinson, multiple sclerosis, pemyakit saraf motorik
(ASL, progressive bulbar palsy, pseudobulbar palsy), bulbar poliomyelitis,
giant cell arteritis.
 Muskular: mistenia gravis, dermatomiositis, distropi otot, cricopharyngeal
incordination.
ii. Fase esofageal:
 Gangguan motilitas: akalasia, diffuse esophageal spasm, systemic sclerosis,
eosinophilic esophagitis.
 Mekanis: striktur lambung, esophageal cancer, lower esophageal rings,
esophageal webs, striktur radiasi, kompresi (pembesaran atrium kanan,
aneurisme aorta, pembesaran arteri subklavia, pembesaran tiroid, cervical
bony exositosis, tumor torasik), caustic ingestion.

2.4.Anatomi faring
A. Struktur faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler berbentuk seperti corong yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah. Faring mempunyai fungsi yang berperan
dalam proses pencernaan dan pernafasan. Struktur faring berupa kantong yang
berjalan mulai dari dasar tengkorak hingga bersambung ke esofagus setinggi dengan
vertebra servikal keenam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan ke bawah berhubungan dengan laring melalui aditus laring
dan dengan esofagus. Dinding faring terdiri dari empat lapisan, dari dalam ke luar
yaitu selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia
bukofaringeal. Didalam faring terdapat tonsil yang berperan mempertahankan daya
tahan tubuh karena memproduksi limfosit.
Unsur-unsur faring meliputi:
i. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi tergantung letaknya. Pada nasofaring yang
berfungsi untuk saluran pernapasan, mukosanya bersilia, sedangkan
epitelnya berbentuk torak berlapis yang mengandung sel goblet. Pada

5
orofaring dan laringofaring yang berfungsi untuk saluran cerna, epitelnya
berbentuk gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat
ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian
jaringan ikat yang termasuk sistem retikuloendotelial, maka dari itu faring
disebut juga sebagai daerah pertahanan tubuh terdepan.
ii. Palut lendir
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang dihisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di
atas silia dan bergerak sesuai arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini
berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang
dihisap. Palut lendir mengandung enzim lisozim yang berperan penting
untuk proteksi.
iii. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan sirkular dan longitudinal. Otot-otot
sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-
otot ini terletak di sebelah luar dan berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sisi
depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada
jaringan ikat yang disebut raphe faring. Otot-otot konstriktor ini dipersarafi
oleh n. vagus yang berfungsi untuk mengecilkan lumen faring.
Terdapat otot-otot longitudinal yaitu m. stilofaring dan m. palatofaring, otot-
otot ini terletak di sebelah dalam, kedua otot ini bekerja sebagai elevator.
Fungsi m. stilofaring yaitu untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m. palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan
bagian bawah faring dan laring. M. stilofaring dipersarafi oleh n.
glosofaringeal, sedangkan m. palatofaring dipersarafi oleh n. vagus.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang menjadi satu dalam
sarung fascia dari mukosa yaitu m. levator veli palatini, m. tensor veli
palatini, m. palatoglosus, m. palatofaring, dan m. azigos uvula. M. levator
veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba eustachius. M.
tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan berfungsi untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba
eustachius. M. palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan

6
menyempitkan ismus faring, m. palatofaring membentuk arkus posterior
faring, sedangkan m. azigos uvula bekerja memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Keseluruhan otot palatum mole dipersarafi oleh n.
vagus.

Gambar 1.1. Otot-otot faring

7
B. Pembagian faring
Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi:
i. Nasofaring/epifaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, di depan adalah rongga hidung, sedangkan di belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting:
 Adenoid
 Fosa Rosenmuller: jaringan limfoid pada dinding lateral laring
dengan resesus faring
 Kantong Rathke: invaginasi struktur embrional hipofisis serebri
 Torus tubarius: suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba eustachius
 Koana
 Foramen jugulare: dilalui oleh saraf kranial n. IX-XI dan v. jugularis
interna
 Bagian petrosus os temporalis
 Foramen laserum
 Muara tuba eustachius
ii. Orofaring/mesofaring
Orofaring memiliki batas atas yaitu palatum mole, batas bawah yaitu tepi
atas epiglotis, batas depan yaitu rongga mulut, dan batas belakang yaitu
vertebra servikal. Struktur yang terdapat pada orofaring yaitu:
 Dinding posterior faring: secara klinis penting karena ikut terlibat
pada radang akut atau kronik faring, abses retrofaring, serta
gangguan otot-otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring
bersama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.
vagus.
 Fossa tonsil
 Tonsil

8
iii. Laringofaring/hipofaring
Batas laringofaring di sebelah atas adalah tepi atas epiglotis, batas bawah
yaitu esofagus, batas depan yaitu laring, dan batas belakang yaitu vertebra
servikal. Struktur yang terdapat di sini adalah:
 Valekula
 Epiglotis: berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan ketika menuju ke esofagus
 N. laring superior

Gambar 1.2. Pembagian faring

9
C. Perdarahan faring
Perdarahan faring berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Perdarahan utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna (mempunyai cabang a.
faring asendens dan a. fasialis) serta dari cabang arteri maksilaris interna yaitu
cabang palatina superior.

Gambar 1.3. Perdarahan faring

D. Persarafan faring
Persarafan motorik dan sensorik faring berasal dari pleksus faring yang dibentuk
oleh cabang faring dari n. vagus yang berisi serabut saraf motorik, cabang dari n.
glosofaringeus, dan serabut simpatis. Dari pleksus ini keluar cabang-cabang
untuk otot-otot faring kecuali m. stilofaring yang dipersarafi langsung oleh
cabang n. glosofaringeus dan tensor veli palatini yang dipersarafi oleh cabang
mandibula n. trigeminus. Otot konstriktor inferior juga dipersarafi oleh serat
saraf motorik dari cabang eksternal dan laringeal rekuren dari n. vagus. Serat
saraf sensorik pada pleksus faring berasal dari n. glosofaringeus yang
mempersarafi hampir seluruh mukosa ketiga bagian faring. Mukosa pada
nasofaring anterior dan superior dipersarafi oleh serat saraf sensorik dari cabang
maksila n. trigeminus

10
Gambar 1.4. Persarafan faring

2.5.Fisiologi menelan
Selama dalam proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan secara teratur
dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu proses menelan
dimulai, jalur aktivasi otot beruntun dari otot-otot perioral menuju ke bawah. Jaringan
saraf, yang bertanggung jawab untuk menelan secara otomatis ini, disebut dengan pola
generator pusat. Batang otak, termasuk nukleus traktus solitarius dan nukleus ambigus

11
dengan formatio retikularis berhubungan dengan kumpulan motoneuron kranial, diduga
sebagai pola generator pusat.

Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:


i. Fase oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut
melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.
Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah
diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring
(Passavant’s ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah
terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat
kontraksi m. levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglosus yang
menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m. palatofaring,
sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.
Aktivitas fase oral adalah persiapan untuk memulai proses menelan. Saliva
merupakan stimulus proses menelan. Bila didapat mulut kering (xerostomia), maka
menelan akan lebih sukar. Saat melewati pilar anterior, refleks menelan akan timbul
dan makanan masuk ke faring.
ii. Fase faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh
kontraksi m. stilofaring, m. salfingofaring, m. tirohioid, dan m. palatofaring. Aditus
laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini terjadi penghentian
aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus
makanan tidak akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan
meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam
keadaan lurus.
Terjadinya fase ini tidak dapat timbul secara volunter dan tidak dapat
berlangsung bila tidak timbul refleks menelan. Pernafasan terhenti selama fase faring
dan muncul kembali pada akhir fase ini.
Fase faringeal dapat dibagi dalam 3 tahap:

12
1. Tahap pertama dimulai setelah timbul refleks menelan berupa:
a) Kontraksi pilar
b) Elevasi palatum mole
c) Kontraksi otot konstriktor faring superior yang menimbulkan
penonjolan pada dinding faring atas
Fungsi dari tahap pertama adalah untuk membantu bolus masuk ke faring dan
mencegah masuknya bolus ke nasofaring atau kembali ke mulut.
2. Tahap kedua, terjadi proses fisiologis berupa:
a) Kontraksi otot faring dengan peregangan ke atas
b) Penarikan pangkal lidah kearah depan
c) Elevasi laring karena kontraksi otot hyoid tepat di bawah penonjolan
pangkal lidah
d) Adduksi pita suara asli dan palsu
e) Penutupan epiglotis ke arah pita suara
Fungsi dari tahap kedua adalah menarik bolus ke arah faring sehingga dapat
menyebar masuk ke valekula yang terletak di atas epiglotis sebelum didorong
oleh gerakan peristaltik.
Bolus akan melewati dan mengelilingi epiglotis, turun, dan masuk ke sfingter
krikofaring dilanjutkan dengan pergerakan os hyoid dan elevasi laring kearah
atas dari lekukan tiroid.
3. Tahap tiga, bolus akan terdorong melewati sfingter krikofaring dalam
keadaan relaksasi dan masuk ke esofagus.
Proses fisiologis yang terjadi berupa:
a) Peristaltik faring
b) Relaksasi sfingter krikofaring
Peristaltik faring terjadi oleh karena relaksasi otot dinding faring yang
terletak di depan bolus dilanjutkan dengan kontraksi otot di belakang bolus
yang akan mendorong bolus dengan gerakan seperti gelombang. Sfingter
krikofaring selalu dalam keadaan kontraksi untuk mencegah masuknya udara
ke lambung. Bila makanan telah melewati sfingter krikofaring, fase esofageal
dimulai dan otot faring, laring dan hyoid akan relaksasi, saluran nafas
terbuka dan proses pernafasan berlanjut kembali.

13
iii. Fase esofageal
Fase esofageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi m.
krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam
esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat,
melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan
kembali ke faring.
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus
makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Pada akhir fase
esofageal, sfingter esofagus bagian bawah akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal.
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.

2.6.Patofisiologi
Disfagia yang disebabkan oleh stroke terjadi dikarenakan terganggunya perfusi pada
sistem pusat yang mengatur otot-otot tenggorok yang berperan pada proses menelan.
Saat terjadi stroke perfusi ke jaringan otak tertentu berkurang sehingga bagian otak
tersebut mengalami iskemik, iskemik yang nantinya dapat menjadi infark. Saat perfusi
terhadap jaringan otak berkurang maka fungsinyapun akan terganggu, menimbulkan
gejala yang sesuai dengan letak iskemik itu terjadi.

Kontrol persarafan normal pada proses menelan melibatkan fungsi dari batang otak,
ganglia basalis, talamus, sistem limbik, serebelum, dan korteks motorik serta sensorik.
Terdapat lebih dari 30 otot yang bekerja dalam proses menelan. Pada otak, generator
pola sentral (CPG) untuk menelan terletak pada area nukleus traktus solitarius (NTS),
reticular formation, dan nukleus ambigus (NA) pada medula rostral dan ventrolateral.
Jaringan interneuronal pada CPG mengontrol kapan terjadinya masing-masing fase dari
proses menelan dan mengintegrasikan proses aferen dengan eferen.

Rangsang sensorik dari mekanoreseptor, kemoreseptor, dan termoreseptor pada rongga


mulut, faring, dan laring yang diteruskan ke CPG mempengaruhi inisiasi, fasilitasi, dan
perlindungan jalan napas selama menelan. Neuron sensorik pada rongga mulut

14
bersinapsis di nukleus sensorik n. trigeminal, sedangkan neuron sensorik dari faring dan
laring berjalan sesuai percabangan n. kranialis IX, X, dan XI dan bersinapsis pada NTS.
Neuron premotor pada ventral CPG terhubung dengan n. kranialis V, VII, XII, IX, dan
X di NA. Persarafan perifer ini mengkoordinasikan berbagai fase berbeda dari proses
menelan. Nukleus trigeminal dan reticular formation mengontrol fase oral, NTS
menerima rangsang sensorik dan menghasilkan impuls motorik, sedangkan NA dan
nukleus motorik dorsal serta ventromedial mengontrol respon motorik pada fase faringal
dan esofageal. Lesi pada stroke medula sisi lateral mengenai CPG dan nukleus saraf
kranial yang terlibat dalam proses menelan dan menghasilkan sindrom Wallenberg,
yaitu disfagia berat akibat kelumpuhan faring, laring, dan palatum mole ipsilateral.

Terdapat juga bagian-bagian dari struktur supratentorial yang terlibat dalam proses
menelan. Disfagia pasca stroke diyakini disebabkan oleh kerusakan pada korteks dan
subkorteks. Inisiasi menelan secara volunter diatur oleh korteks premotor dan motor
bilateral, namun bagian yang terlibat bersifat asimetris dengan lateralisasi sisi kanan-kiri
yang tidak jelas, sehingga pada stroke, gejala disfagia dapat timbul bila lesi stroke
terdapat pada hemisfer menelan yang lebih dominan.

Infark lakunar bilateral atau amyotrophic lateral sclerosis dapat menyebabkan disfagia,
disartria, disfonia, kehilangan gerakan volunter pada wajah dan lidah, serta emosi yang
labil. Disfagia pada pasien yang demikian berhubungan dengan lesi di ganglia basal,
menyebabkan pencetusan menelan dan kontrol sfingter esofagus atas yang lemah.
Lesi pada daerah periventrikular sisi kiri lebih rentan menyebabkan gangguan proses
menelan dibandingkan sisi kanan. Perpindahan bolus makanan pada fase oral dapat
mengalami gangguan yang berat pada pasien dengan stroke subkortikal murni.

2.7.Manifestasi klinis
Anamnesis yang akurat sangat penting untuk menentukan masalah disfagia ini, baik
orofaringeal atau esofageal. Pada penderita stroke, disfagia yang terjadi adalah disfagia
orofaringeal. Disfagia orofaringeal disebut juga dengan disfagia letak tinggi (“high”
dysphagia). Penderita biasanya memiliki keluhan kesulitan untuk memulai menelan dan
mereka biasanya menunjuk ke area bagian servikal untuk menentukan letak keluhannya.
Pada pasien dengan kelainan neurologik, disfagia ini dapat menyebabkan masalah lain
seperti dehidrasi, malnutrisi, pneumonia, dan bahkan kematian. Gangguan menelan

15
dapat meningkatkan rasa cemas dan takut, sehingga membuat pasien akan menolak
untuk makan, dan sebagai akibatnya dapat terjadi malnutrisi dan depresi. Gejala-gejala
lain selain yang telah disebutkan di atas, yaitu regurgitasi nasal, batuk, nasal speech,
meneteskan air liur, hilangnya refleks batuk, tersedak, disatria dan diplopia, halitosis
(pada penderita zenker diverticulum), dan pneumonia yang berulang.

Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi kelainan yang
terjadi. Pada disfagia mekanik mula-mula kesulitan menelan hanya terjadi pada waktu
menelan makanan padat. Bolus makanan tersebut kadang-kadang perlu didorong dengan
air agar dapat ditelan, dan pada sumbatan lebih lanjut, cairan pun akan sulit ditelan. Bila
sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan, makan harus dicurigai
kemungkinan adanya proses keganasan di esofagus. Sebaliknya, pada disfagia motorik,
keluhan sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi dalam waktu yang bersamaan.

Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang lebih jelas
untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari biasanya disebabkan oleh
peradangan, disfagia yang terjadi dalam beberapa bulan dengan penurunan berat badan
cepar dapat dicurigai adanya keganasan esofagus. Bila disfagia ini berlangsung bertahun
untuk makanan padat perlu dipikirkan adanya kelainan yang bersifat jinak atau di
esofagus bagian distal. Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukan kelainan
esofagus bagian torakal, tetapi jika sumbatan terasa di leher, maka kelainannya dapat di
faring atau esofagus bagian serfikal. Gejala lain yang menyertai disfagia, seperti
masuknya cairan ke dalam hidung waktu minum menandakan adanya kelumpuhan otot-
otot faring.

Aspirasi dapat terjadi sebagai komplikasi dari disfagia. Aspirasi diartikan sebagai
masuknya benda asing ke jalan pernapasan di bawah plika vokalis. Diagnosis aspirasi
harus dicurigai jika penderita stroke mengeluhkan gejala: keluhan subjektif susah
menelan, keanehan pada foto X-ray toraks, perubahan suara, atau keterlambatan dalam
memulai proses menelan yang disadari dan batuk saat atau setelah menelan. Terdapat
beberapa faktor resiko yang telah diketahui dapat meningkatkan resiko aspirasi.

16
2.8.Diagnosis dan pemeriksaan penunjang
i. Pada anamnesis pertanyaan yang diajukan meliputi: :
- Jenis makanan
- Progresif dalam beberapa bulan atau mendadak
- Terdorong dengan cairan atau tidak
- Penyakit sebelumnya
- Waktu dan perjalanan penyakit
- Lokasi daerah sumbatan
- Disertai kesulitan berbicara dan wajah mencong
- Kelemahan pada anggota gerak

ii. Pemeriksaan fisik :


Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba adanya massa
tumor atau pembesaran kelenjar limfa yang dapat menekan esofagus. Daerah rongga
mulut perlu diteliti, apakah ada tanda-tanda peradangan orofaring dan tonsil selain
adanya massa tumor yang dapat menganggu proses menelan. Selain itu perlu dicari
adanya kelumpuhan otot-otot lidah dan arkus faring yang disebabkan oleh gangguan
di pusat menelan maupun pada saraf otak n.V, n. VII, v. IX, n. X, dan n. XII.
Pembesaran jantung sebelah kiri, elongasio aorta, tumor bronkus kiri, dan
pembesaran kelenjar limfa mediastinum juga dapat menyebabkan keluhan disfagia.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan:
a. Mekanisme motoris oral dan laringeal. Pemeriksaan nervus V dan VII-XII
penting dalam menentukan bukti fisik dari disfagia orofaringeal.
b. Pengamatan langsung penutupan bibir, rahang, mengunyah, pergerakan dan
kekuatan lidah, elevasi palatal dan laryngeal, salivasi, dan sensitifitas oral.
c. Periksa kesadaran dan status kognitif pasien karena dapat mempengaruhi
keamanan menelan dan kemampuan kompensasinya.
d. Disfonia dan disartria adalah tanda disfungsi motoris struktur-struktur yang
terlibat pada menelan.
e. Periksa mukosa dan gigi geligi mulut.
f. Periksa reflek muntah.
g. Periksa fungsi pernapasan.
h. Tahap terakhir adalah pengamatan langsung aktivitas menelan. Setelah
menelan, amati pasien selama 1 menit atau lebih jika ada batuk tertunda.

17
iii. Skrining disfagia perlu dilakukan pada penderita stroke untuk menilai
kemungkinan terjadinya aspirasi dan mencegah terjadinya komplikasi. Evaluasi
disfagia dapat dilakukan dengan cara pencitraan maupun non-pencitraan.

Penilaian non-pencitraan dapat menggunakan dua cara, yaitu:


1. Clinical bedside assessment (CBA)
Kuesioner yang digunakan untuk menilai disfagia. Elemen yang dinilai yaitu
anamnesis gejala klinis, pemeriksaan fisik rongga mulut, faring, dan laring,
pemeriksaan neurologis, dan percobaan menelan air.
2. Pemeriksaan Manometrik
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik esofagus.
Dengan mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan sfingter
esofagus dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif.

Penilaian pencitraan dapat menggunakan cara berikut:


a. Videofluoroscopy Swallow Assessment (VFSS)/Modified Barium Swallow
(MBS)
Pemeriksaan ini merupakan baku emas dalam evaluasi disfagia orofaring.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan rongga
mulut, faring, laring, dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan bolus kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur
dengan barium. VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan dengan
memberikan bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan
melakukan beberapa maneuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh
kondisi optimal dalam proses menelan.
Videofluoroskopi memiliki keuntungan untuk melihat dan seberapa banyak
barium yang melewati rongga mulut, faring, dan esofagus. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menentukan konsitensi makanan yang aman untuk
dikonsumsi pasien dan bagaimana postur yang dapat membantu menelan.

b. FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing)


Pemeriksaan ini merupakan evaluasi fungsi menelan dengan
menggunakan nasofaringoskopi serat optik lentur. Pasien diberikan berbagai

18
jenis konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai
kemampuan pasien dalam proses menelan.
Dengan pemeriksaan FEES dinilai 5 proses fisiologi dasar seperti:
1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat
berperan dalam terjadinya aspirasi
2. Spillage (preswallowing leakage): masuknya makaan ke dalam
hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah
terjadi aspirasi.
3. Residu: menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus
piriformis kanan dan kiri, poskrikoid, dan dinding faring posterior
sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke jalan nafas
pada saat proses menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.
4. Penetrasi: masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum
melewati pita suara sehingga menyebabkan mudah masuknya
makanan ke jalan napas pada saat inhalasi.
5. Aspirasi: masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara
yang sangat berperan dalam terjadinya komplikasi paru.
Berbeda dengan videofluoroskopi, pemeriksaan FEES tidak membutuhkan
cairan radiasi seperti barium. Nasoendoskopi dimasukkan lewat hidung sampai
ke uvula atau palatum mole dan dari sini dapat dilihat hipofaring dan laring.
Berbagai macam makanan dapat dipakai dan tidak membutuhkan radiasi. Di
lain sisi, FEES membutuhkan operator yang sudah terlatih. Fase oral dan
esofageal juga tidak dapat dilihat pada FEES ini.

iv. Pemeriksaan Radiologi


Tomogram dan CT-scan dapat mengevaluasi bentuk esofagus dan jaringan
disekitarnya. CT-scan atau MRI dapat membantu melihat kelainan di otak yang
menyebabkan disfagia motorik.

2.9.Tatalaksana
Tujuan utama dari tatalaksana disfagia adalah untuk mengurangi aspirasi dan
mengatasi kesulitan yang dialami dalam proses menelan. Tatalaksana meliputi
memodifikasi makanan dan cairan, mengubah postur, dan menerapkan strategi
khusus untuk menelan dengan menggunakan teknik rehabilitatif.

19
Rehabilitasi untuk penderita disfagia terdiri dari upaya kompensatorik dan
rehabilitatif. Upaya kompensatorik bertujuan untuk mengurangi gejala disfagia
tanpa mengubah fisiologi, sedangkan upaya rehabilitatif bertujuan untuk
meningkatkan fisiologi dan keamanan menelan serta toleransi diet dengan restriksi
seminimal mungkin. Berikut ini adalah terapi tradisional yang biasa digunakan dan
efek yang diharapkan:

Kompensatorik Keduanya Rehabilitatif


 Perubahan postural  Effortful swallow  Latihan tongue hold
 Mengubah  Manuver  Latihan Shaker
karakteristik bolus Mendelsohn (mengangkat
(konsistensi,  Supraglottic & kepala)
kekentalan, volume, Super- Supraglottic  Latihan kekuatan
suhu, rasa) Safety Swallow lidah
 Meningkatkan (menahan napas)  Terapi suara Lee
kontrol volunter  Meningkatkan input Silverman
sensorik  Latihan kekuatan
otot ekspirasi
 Stimulasi elektrik
neuromuskular
(NMES)

Teknik Efek
Effortful swallow Meningkatkan retraksi pangkal lidah
ketika menelan, meningkatkan
perpindahan bolus dari valekula
Manuver Mendelsohn Meningkatkan elevasi laring dan lebar
celah krikofaringeal
Latihan Shaker (mengangkat kepala) Dilakukan pada pasien dengan
pembukaan celah krikofaringeal yang
tidak adekuat sehingga menghasilkan
residu pada sinus piriformis
Supraglottic Safety Swallow Menahan napas, menyebabkan pita

20
suara menutup ketika mulai menelan
dan membersihkan residu dari
vestibulum laring
Super-Supraglottic Safety Swallow Meningkatkan penutupan pita suara
dengan cara mengejan
Latihan tongue hold Meningkatkan kontak pangkal lidah
dengan dinding faring posterior

Teknik kompensatorik mendukung pengaturan makanan dan minuman sesuai


kondisi individual dan mengurangi risiko aspirasi. Pengentalan cairan
memperlambat jalannya bolus dan meningkatkan kohesi bolus, sehingga
mengurangi terjadinya penetrasi dan aspirasi. Jenis modifikasi yang dilakukan
bersifat subyektif dan berbeda-beda untuk setiap pasien. Pengaturan ini bersifat
jangka pendek dan tidak memperbaiki fisiologi menelan atau meningkatkan
pemulihan jaringan persarafan. Teknik postural (misal chin tuck) membantu
mengarahkan bolus dan mengubah dimensi faring. Teknik kompensasi menelan
seperti effortful swallow meningkatkan efisiensi dan keamanan menelan. Teknik
rehabilitasi seperti latihan otal dan lingual cenderung lebih fokus pada kekuatan dan
ketahanan otot.

Saat ini penggunaan teknik neurostimulasi dalam proses rehabilitasi makin


meningkat, misalnya elektromiografi permukaan (sEMG), stimulasi elektrik faring
(PES), dan stimulasi elektrik neuromuskular (NMES). Teknik neurostimulasi
dikombinasikan dengan teknik tradisional memberikan hasil yang memuaskan
dalam beberapa penelitian, namun masih diperlukan evaluasi melalui penelitian
lebih lanjut.

Untuk beberapa pasien yang sudah tidak dapat mengkonsumsi makanan dan
minuman melalui mulut, dapat dianjurkan untuk memakai NGT (nasogastric tube)
atau PEG (percutaneous endoscopy gastrotomy). NGT dapat dipasang dengan cepat
dan mudah serta teknik ini memiliki tingkat mortalitas yang rendah tetapi harus
sering diganti. Secara umum, NGT sebaiknya diganti sekitar setiap 10 – 28 hari.
PEG sendiri secara kosmetik lebih baik untuk pasien, lebih tidak mengiritasi dan

21
lebih jarang terjadi komplikasi, sedangkan PEG tidak perlu diganti dalam beberapa
bulan. PEG direkomendasikan jika membutuhkan masukan enteral selama lebih dari
4 minggu. Pemasangan PEG adalah prosedur yang invasif dan memerlukan sedasi
dan endoskopi serta memiliki beberapa komplikasi, seperti pergeseran, infeksi,
obtruksi selang, bahkan dapat terjadi komplikasi yang lebih parah, seperti
pendarahan lambung, infeksi dinding abdomen, peritonitis, dan fistula gaster.
Prosedur ini memiliki tingkat mortalitas sebesar 0 – 2,5%.

22
BAB III
KESIMPULAN

Disfagia merupakan salah satu keluhan tersering pada penderita stroke, pada disfagia
yang diakibatkan oleh stroke terjadi kegagalan proses menelan pada fase oral dan faringeal
dimana terjadi paralisis atau kelumpuhan pada otot-otot yang berperan pada fase tersebut.
Pada fase oral terjadi proses menelan yang dimulai dari rongga mulut proses mengunyah
hingga bolus makanan mencapai posterior rongga mulut sebelum mencapai faring. Otot
yang terlibat dalam proses ini mencakup otot lidah, otot penggerak palatum mole, penutup
nasofaring, otot ismus fausium. Pada fase faringeal terjadi proses menelan yang dimulai
setelah bolus makanan mencapai faring dan menuju esofagus. Otot-otot yang terlibat adalah
otot yang berperan pada pergerakan faring, epligotis, sfingter laring, pada fase ini yang
paling berperan adalah adanya refleks menelan, yang timbul ketika terjadi kontraksi pilar,
elevasi palatum mole, dan kontraksi otot konstriktor faring superior.

Penderita biasanya memiliki keluhan kesulitan untuk memulai menelan dan mereka
biasanya menunjuk ke area bagian servikal untuk menentukan letak keluhannya, gejala-
gejala lain yang dapat timbul yaitu regurgitasi nasal, batuk, nasal speech, meneteskan air
liur, hilangnya refleks batuk, tersedak, disatria, diplopia, dan pneumonia yang berulang.

Pada pasien disfagia yang disebabkan oleh stroke, disfagia akan membaik seiring
dengan perbaikan perfusi pada otak sehingga tujuan utama dari tatalaksana disfagia yang
dapat dilakukan adalah untuk mengurangi aspirasi dan mengatasi kesulitan yang dialami
dalam proses menelan. Tatalaksana meliputi memodifikasi makanan dan cairan, mengubah
postur, dan menerapkan strategi khusus untuk menelan dengan menggunakan teknik
rehabilitatif. Teknik rehabilitasi untuk penderita disfagia terdiri dari upaya kompensatorik
dan rehabilitatif. Upaya kompensatorik bertujuan untuk mengurangi gejala disfagia tanpa
mengubah fisiologi, sedangkan upaya rehabilitatif bertujuan untuk meningkatkan fisiologi
dan keamanan menelan serta toleransi diet dengan restriksi seminimal mungkin. Terdapat
berbagai macam teknik yang dapat digunakan guna meningkatkan kualitas hidup pasien.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Buku Ajar Telinga Hidung


Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
2. Simanungkalit A, Suryadisastra D, Lalisang L, Ng P, Gunawan P, Ketaren R
et al., ed. by. Pengantar Neurologi Klinik. Ed 1. Tangerang: FK Press
Universitas Pelita Harapan; 2016.
3. Fernandez MG, Ottenstein L, Atanelov L, Christian AB. Dysphagia After
Stroke: an overview. 2013 May 3; 1:187-196.
4. Cohen D, Roffe C, Beavan J, Blackett B, Fairfield C, Hamdy S et al. Post-
stroke dysphagia: A review and design considerations for future trials.
International Journal of Stroke [Internet]. 2017 [dikutip 20 Mei
2017];11(4):399-411. Diunduh dari:
http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1747493016639057
5. Gordon C, Hewer R L, Wade D T. Dysphagia in acute stroke. BMJ (Clin Res
Ed) 1987295411–414.414
6. Mann G, Hankey G J, Cameron D. Swallowing disorders following acute
stroke: prevalence and diagnostic accuracy. Cerebrovasc Dis 200010380–
386.386
7. Buchholz, D. (1987). Neurologic causes of dysphagia. Dysphagia, 1(3), 152-
156. doi:10.1007/bf02412331
8. González-Fernández M, Ottenstein L, Atanelov L, Christian A. Dysphagia
after stroke: an overview. Current Physical Medicine and Rehabilitation
Reports. 2013;1(3):187-196.
9. Singh S. Dysphagia in stroke patients. Postgraduate Medical Journal.
2006;82(968):383-391.

24

Anda mungkin juga menyukai