Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Menelan merupakan suatu proses yang kompleks yang memungkinkan pergerakan
makanan dan cairan dari rongga mulut ke lambung. Proses ini melibatkan struktur mulut, faring,
laring dan esofagus. Keluhan sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-
otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung. Jenis makanan
yang dapat menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi mengenai kelainan yang terjadi.1
Prevalensi disfagia pada populasi umum sekitar 5-8%. Prevalensi disfagia orofaring pada
kelainan serebrovaskular sekitar 30%, 52%-82% pada penderita dengan penyakit Parkinson, 84%
pada penyakit Alzheimer, lebih dari 40% terjadi pada orang dewasa umur lebih 65 tahun, 60%
pada penderita usia lanjut di fasilitas perawatan/rumah jompo, 28,2% pada penderita kanker
rongga mulut, 50,9% kanker faring, dan 28,6% pada kanker laring, 50,6% disfagia orofaring pada
tumor kepala leher yang menjalani operasi dan radioterapi atau kemoterapi, serta 13,5% kejadian
disfagia pada refluks laringofaring.1-3
Proses menelan secara umum terbagi atas tiga fase, yaitu fase oral, fase faring, dan fase
esofagus. Gangguan pada proses menelan disebut dengan disfagia. Disfagia dapat dibedakan
menjadi disfagia orofaring dan disfagia esofagus. Sebagian besar pasien dengan keluhan disfagia
mengeluhkan atau kesulitan menelan terutama pada fase orofaring.4 Disfagia orofaring pada
dewasa dapat disebabkan karena kelainan neurologis (pasca-stroke, kelainan saraf tepi daerah
laring, faring, lidah dan rahang, miastenia gravis, serta miopati), kelainan anatomi kepala dan leher
(kanker, perubahan pascaoperasi, kemoterapi atau terapi radiasi, pascatrauma, iatrogenik, kelainan
kongenital) dan penyebab lainnya (infeksi, refluks laringofaring, kelainan sistemik, efek samping
obat, dan psikogenik.4
Komplikasi yang dapat timbul akibat dari disfagia dapat berupa malnutrisi, dehidrasi,
pneumonia akibat aspirasi, obstruksi saluran napas (spasma laring/spasma bronkus), penurunan
kualitas hidup, aktivitas, dan produktivitas kerja.5 Salah satu metode pemeriksaan penunjang
diaganostik disfagia adalah dengan menggunakan endoskop fleksibel yang disebut Flexible
Endoscopic Examination of Swallowing (FEES). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh

1
Susan Langmore dan kawan-kawan pada tahun 1988.4-5
FEES sekarang ini menjadi pilihan pertama untuk evaluasi pasien dengan disfagia karena
mudah, dapat dilakukan di tempat mana saja, dan lebih murah. Prosedur ini dapat menilai anatomi
dan fisiologi menelan, perlindungan jalan napas dan hubungannya dengan fungsi menelan
makanan padat dan cair, serta diagnosis dan rencana terapi selanjutnya.4,6 Tujuan FEES adalah
untuk menegakkan diagnosis disfagia pada fase faringeal, menentukan kelainan anatomi dan
fisiologi penyebab disfagia dan menentukan posisi aman dan lebih efisien untuk menelan pada
penderita disfagia.6
Flexible endoscopic evaluation of swallowing merupakan pemeriksaan evaluasi fungsi
menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat optic lentur. Pasien diberikan berbagai jenis
konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien dalam
proses menelan. Komplikasi dari pemeriksaan FEES memiliki kasus yang cukup rendah. Pada
tahun 1995, dari 600 prosedur FEES hanya tercatat 27 kasus komplikasi yang terjadi. Angka
pembatalan prosedur FEES sebesar 3,7% sedangkan pada prosedur video-fluoroskopi sebesar
3,1% sebagai akibat adanya muntah atau aspirasi yang memerlukan tindakan penghisapan untuk
pembersihan jalan napas.6 Penatalaksanaan disfagia orofaring bertujuan untuk menghilangkan
aspirasi atau memperbaiki proses menelan yang tidak efisien. Modalitas terapi yang dipilih antara
lain modifikasi diet, pengalihan rute pemberian makanan dengan Nasogastric Tube (NGT), infus,
penggunaan prostetik dalam rongga mulut, atau intervensi operatif.4

2
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Faring

Gambar 2.1. Anatomi faring.

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
oroaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah
berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih
14cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.7
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:
2.1.1 Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring
yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya
adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resessus faring yang disebut fosa
rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus

3
tubarius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus
asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.temporalis dan foramen
laserum dan muara tuba Eustachius.7
2.1.2 Orofaring7
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan superior tulang hyoid
inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet orofaringeal dan pangkal lidah, dan perbatasan posterior
dibentuk oleh otot-otot konstriktor superior dan media dan mukosa faring.
Orofaring berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran masuk orofaringeal, yang
menerima bolus makanan. Inlet orofaringeal terbuat dari lipatan palatoglossal lateral, tepat di
anterior tonsil palatina. Lipatan itu sendiri terbuat dari otot palatoglossus, yang berasal dari
palatum mole itu sendiri dan mukosa diatasnya.
Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah, atau pangkal lidah, meneruskan perbatasan
anterior orofaring. Valekula, yang merupakan ruang antara pangkal lidah dan epiglotis,
membentuk perbatasan inferior dari orofaring. Ini biasanya setara dengan tulang hyoid.
Pada dinding-dinding lateral orofaring terdapat sepasang tonsil palatina di fosa anterior
yang dipisahkan oleh lipatan palatoglossal dan posterior oleh lipatan palatopharyngeal. Tonsil
adalah massa jaringan limfoid yang terlibat dalam respon imun lokal untuk patogen oral.
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot konstriktor faring
superior dan tengah dan membran mukosa diatasnya yang saling tumpang tindih. Saraf
glossopharyngeus dan otot faring stylopharyngeus memasuki faring pada perbatasan antara
konstriktor superior dan tengah.
2.1.3 Hipofaring7
Perbatasan hipofaring adalah di bagian superior terdapat tulang hyoid dan sfingter esofagus
atas (Upper Esophagus Sphincter/UES), dan otot krikofaringeus di bagian inferior.
Batas anterior hipofaring sebagian besar terdiri dari inlet laring, yang meliputi epiglotis
dan kedua lipatan aryepiglottic dan tulang rawan arytenoid. Permukaan posterior dari kartilago
arytenoid dan pelat posterior kartilago krikoid merupakan perbatasan anteroinferior dari
hipofaring. Lateral kartilago arytenoid, hipofaring terdiri dari kedua sinus Piriformis, yang dibatasi
oleh tulang rawan lateral tiroid.
Dinding posterior faring terdiri dari otot konstriktor tengah dan inferior dan selaput lendir
diatasnya. Di bawahnya, sejajar dengan kartilago krikoid, otot cricopharyngeus membentuk UES.

4
Otot ini kontraksi tonik selama istirahat dan relaksasi saat menelan untuk memungkinkan bolus
makanan masuk ke esofagus.

2.2 Anatomi Esofagus7


Esofagus adalah tabung muskular yang menghubungkan faring dengan lambung.
Esophagus berukuran panjang sekitar 8 inci dan dilapisi oleh jaringan merah muda yang lembab
disebut mukosa. Esophagus berjalan di belakang trakea dan jantung, dan di depan tulang
belakang. Tepat sebelum memasuki lambung, esofagus melewati diafragma.

Gambar 2.2 Anatomi Esofagus.

Sfingter esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus di bagian atas esofagus.
Otot-otot UES berada di bawah kendali sadar (involunter), digunakan ketika bernapas, makan,
bersendawa, dan muntah.
Sfingter esophagus bagian bawah (Lower esophageal sphincter/LES) adalah sekumpulan
otot pada akhir bawah dari esofagus, yang mana berbatasan langsung dengan gaster. Ketika LES
ditutup, dapat mencegah asam dan isi gaster naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES tidak berada
di bawah kontrol volunter.

5
2.3 Vaskularisasi Tenggorok
2.3.1 Vaskularisasi Faring7
Pasokan arteri ke faring berasal dari 4 cabang dari arteri karotis eksternal. Kontribusi
utama adalah dari arteri faring asenden, yang berasal dari arteri karotis eksternal yang tepat berada
diatas bifurkasio (percabangan) karotis dan melewati posterior selubung karotis, memberikan
cabang ke faring dan tonsil.
Cabang arteri palatina memasuki faring tepat diatas dari muskulus konstriktor faring
superior. Arteri fasialis juga bercabang menjadi arteri palatina asenden dan arteri tonsilaris, yang
membantu pasokan untuk muskulus konstriktor faring superior dan palatum. Arteri maksilaris
bercabang menjadi arteri palatina mayor dan cabang pterygoideus, dan arteri lingualis dorsalis
berasal dari arteri lingual memberi sedikit kontribusi.
Darah mengalir dari faring melalui pleksus submukosa interna dan pleksus faring eksterna
yang terkandung dalam fasia buccopharyngeal terluar. Pleksus mengalir ke vena jugularis interna
dan, sesekali, vena fasialis anterior. Hubungan yang luas terjadi antara vena yang terdapat di
tenggorokan dan vena-vena pada lidah, esofagus, dan laring.

2.3.2 Vaskularisasi Esofagus7


Esofagus mendapat perdarahan dari arteri secara segmental. Cabang-cabang dari arteri
tiroid inferior memberikan pasokan darah ke sfingter esofagus atas dan esofagus servikal. Kedua
arteri aorta esofagus atau cabang-cabang terminal dari arteri bronkial memperdarahi esofagus
bagian toraks. Arteri gaster sinistra dan cabang dari arteri frenikus sinistra memperdarahi sfingter
esophagus bagian bawah dan segmen yang paling distal dari esofagus. Arteri yang memperdarahi
akhir esofagus dalam jaringan sangat luas dan padat di submukosa tersebut. Suplai darah
berlebihan dan jaringan pembuluh darah yang berpotensi membentuk anastomosis dapat
menjelaskan kelangkaan dari infark esofagus.
Vaskularisasi vena juga mengalir secara segmental. Dari pleksus vena submukosa yang
padat darah mengalir ke vena cava superior. Vena esofagus proksimal dan distal mengalir ke
dalam sistem azygos. Kolateral dari vena gaster sinistra, cabang dari vena portal, menerima
drainase vena dari mid-esofagus. Hubungan submukosa antara sistem portal dan sistem vena
sistemik di distal esofagus membentuk varises esofagus pada hipertensi portal. Varises submukosa
ini yang merupakan sumber perdarahan GI utama dalam kondisi seperti sirosis.

6
2.4 Persarafan Tenggorok
2.4.1 Persarafan Faring7
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring dan dibentuk oleh
cabang dari nervus glossopharingeus (saraf kranial IX), nervus vagus (saraf kranial X), dan serat
simpatis dari rantai servikal. Selain muskulus stylopharyngeus, yang dipersarafi oleh saraf
glossopharingeus, semua otot-otot faring dipersarafi oleh nervus vagus.
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laringeus, cabang nervus vagus,
kecuali untuk otot krikotiroid, yang menerima persarafan dari cabang eksternal dari nervus
laringeus superior, juga dari cabang nervus vagus.
Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan glossopharingeus untuk
persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah posterior, di orofaring, menerima baik sensasi rasa dan
sensasi somatik dari nervus glossopharingeus. Otot krikofaringeus (UES) menerima persarafan
parasimpatis untuk relaksasi dari nervus vagus dan persarafan simpatis untuk kontraksi dari
serabut post ganglionik dari ganglion servikalis superior.

2.4.2 Persarafan Esofagus7


Persarafan motor esophagus didominasi melalui nervus vagus. Esophagus menerima
persarafan parasimpatis dari nucleus ambiguus dan inti motorik dorsal nervus vagus dan
memberikan persarafan motor ke mantel otot esofagus dan persarafan secretomotor ke kelenjar.
Persarafan simpatis berasal dari servikal dan rantai simpatis torakalis yang mengatur penyempitan
pembuluh darah, kontraksi sfingter esofagus, relaksasi dinding otot, dan meningkatkan aktivitas
kelenjar dan peristaltik.

Gambar 2.4.2. Persarafan Faring dan Esofagus.

7
Pleksus Auerbach, yaitu ganglia yang terletak antara lapisan longitudinal dan melingkar
dari tunika muskularis myenteric bekerja mengatur kontraksi lapisan otot luar. Pleksus Meissner,
yaitu ganglia yang terletak dalam submukosa bekerja mengatur sekresi dan kontraksi peristaltik
dari mukosa muskularis.

2.5 Aliran Limfatik Tenggorok


2.5.1 Aliran Limfatik Faring8
Aliran limfatik faring mengalir ke KGB servikalis profunda (deep cervical lymph node)
sepanjang selubung karotis. Aliran limfatik pada hipofaring juga dapat mengalir ke KGB
paratrakeal. Pembuluh limfatik laring mengalir ke kelenjar servikalis profunda, nodus pretracheal,
dan nodus prelaryngeal.

2.5.2 Aliran Limfatik Esofagus7-8


Limfatik dari sepertiga proksimal esofagus mengalir ke kelenjar getah bening servikal
profunda, dan kemudian menjadi duktus toraksikus. Limfatik dari sepertiga tengah esofagus
mengalir ke nodus mediastinum superior dan posterior. Limfatik sepertiga distal esofagus
mengikuti arteri gaster kiri ke kelenjar getah bening gaster dan celiac.
Ada interkoneksi yang cukup besar antara ketiga wilayah drainase terutama karena asal
embryologic ganda jalur limfatik dari branchiogenic dan mesenkim tubuh. Aliran getah bening dua
arah di daerah ini bertanggung jawab untuk penyebaran keganasan dari esofagus bawah ke
kerongkongan bagian atas.

Gambar 2.5.2. Aliran Limfatik Esofagus

8
2.6 Fisiologi Menelan:
2.6.1 Struktur yang berperan9
Area anatomi yang berhubungan dengan proses menelan meliputi rongga mulut, faring,
laring, dan esofagus. Struktur rongga mulut meliputi bibir anterior, gigi, palatum durum, palatum
mole, uvula, mandibula, dasar mulut, lidah, dan arkus faringeus.

Lidah sebagian besar disusun oleh serat-serat otot rangka yang dapat bergerak ke segala
arah. Sehubungan dengan proses menelan, lidah dibagi menjadi bagian oral dan bagian faringeal.
Lidah bagian oral meliputi bagian ujung, depan, tengah, dan belakang daun lidah. Lidah bagian
oral aktif selama proses bicara dan proses menelan pada fase oral, dan berada dibawah kontrol
kortikal (volunter). Lidah bagian faringeal atau dasar lidah dimulai dari papila sirkumvalata
sampai tulang hioid. Dasar lidah aktif selama fase faringeal dan berada dibawah kontrol involunter
dengan koordinasi batang otak, tetapi bisa juga berada dibawah kontrol volunter. Atap mulut
dibentuk oleh maksila (palatum durum), velum (palatum mole), dan uvula.

Struktur faring yang berperan dalam proses menelan meliputi 3 otot konstriktor faringeal,
yaitu superior, medial, dan inferior, yang berorigo pada kranium, tulang hioid, dan kartilago tiroid,
serta berinsersio pada bagian posterior median raphe. Otot krikofaringeal merupakan struktur
faring yang paling inferior. Kontraksi otot ini akan mencegah masuknya udara ke dalam esofagus
saat respirasi. Otot ini melekat pada kartilago krikoid dan bersama dengan lamina krikoid
membentuk valvula ke dalam esofagus yang dikenal dengan upper esophageal sphincter (UES)
atau pharyngoesophageal sphincter (PES). UES berfungsi mengu- rangi risiko aliran balik
makanan dari esofagus ke faring. Pada waktu tertentu sfingter ini terbuka untuk mengijinkan bo-
lus makanan masuk ke dalam esofagus.

Esofagus merupakan lapisan otot berbentuk tabung dengan panjang sekitar 23-25 cm dan
mempunyai sfingter pada kedua ujungnya, yaitu UES pada bagian atas dan lower esophagal
sphincter (LES) pada bagian bawah.

2.6.2 Fase menelan normal

Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut, (1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegah terhamburnya
bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat masuknya bolus makanan kedalam faring
9
pada saat respirasi (4) mencegah masuknya makanan dan minuman kedalam nasofaring dan laring
(5) kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan kearah
lambung (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan dimulut, faring, laring
dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.

2.6.2.1 Fase oral


Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut
melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.
Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah
diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring akan
terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan
dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontaksi m. levator veli
palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglosus yang menyebabkan ismus
fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m. palatofaring, sehingga bolus makanan tidak
akan berbalik ke rongga mulut.8
2.6.2.2 Fase faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak keatas oleh
kontraksi m. stilofaring, m. salpingofaring, m. tirohioid dan m. palatofaring. Aditus
laring tertutup oleh epiglotis, sedangakan ketiga sfingter laring, yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup oleh kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obligus.8-9
Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentin udara ke laring karena refleks yang
menghambat menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke
dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur kearah esofagus,
karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.8
2.6.2.3 Fase esofagal
Fase esofagal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertututp. Dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi m.
krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam

10
esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat,
melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat sehingga makanan tidak akan
kembali ke faring dengan demikian refluks dapat dihindari.
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus
makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Dalam keadaan
istirahat, sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8
mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi
lambung.8
Pada akhir fase esofagal, sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal.
Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.8-9
Gerakan menelan dimaksudkan tidak hanya untuk memperoleh nutrisi tetapi juga untuk
melindungi sistem pernafasan. Karena itu disfagia dianggap sebagai gangguan pernafasan.
Kita harus menyadari bahwa kemungkinan pasien disfagia berat dapat menyebabkan
gangguan pernafasan kapan saja, seperti mati lemas atau pneumonia. Tes skrining untuk
disfagia dimaksudkan untuk memilih pasien yang diduga kuat disfagia. Tak perlu dikatakan,
videofluorografi dan video endoscopic examination dari menelan adalah baku emas. Namun,
sangat sensitif, tes skrining sederhana yang mengarah pada pemeriksaan ini berguna ketika
memeriksa pasien rawat jalan pada umumnya, pasien rawat inap, dan pasien dalam perawatan
di rumah.10

2.7 Disfagia
2.7.1 Definisi Disfagia
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengalirkan makanan padat atau cair dari
mulut melalui esofagus. Penderita disfagia mengeluh sulit menelan atau makanan terasa tidak
turun ke lambung. Disfagia harus dibedakan dengan odinofagia (sakit waktu menelan). Disfagia
dapat disebabkan oleh gangguan pada masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal
dan fase esofageal.9
Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi ke hidung,
terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai menelan. Sedangkan disfagia fase

11
esofageal, pasien mampu menelan tetapi terasa bahwa yang ditelan terasa tetap mengganjal atau
tidak mau turun serta sering disertai nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama
terjadi pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula pada
makanan cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural.
Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan penyebabnya adalah gangguan
neuro muskular. Bila keluhan bersifat progresif bertambah berat, sangat dicurigai adanya proses
keganasan.8-9 Keluhan dapat berupa tersedak atau aspirasi. Tersedak adalah refleks pelindung yang
disebabkan oleh masuknya bolus makanan (benda asing) ke dalam trakea. Ini dialami oleh siapa
saja dalam beberapa keadaan, dan bukan gerakan patologis. Namun, karena tersedak jelas
menunjukkan masuknya benda asing ke saluran pernapasan bawah, tersedak yang sering
memberikan dasar untuk mencurigai disfagia. Pada waktu bersamaan, tingkat keparahan tersedak
atau batuk tidak berhubungan dengan tingkat keparahan disfagia harus dicatat. Sementara tersedak
memang menunjukkan aspirasi, tidak adanya tersedak tidak menunjukkan bahwa tidak terjadi
aspirasi. Jika saluran pernapasan bagian bawah setelah aspirasi jangka panjang atau karena kondisi
lain, atau jika refleks protektif dari saluran pernafasan telah berkurang atau hilang, masuknya
benda asing ke saluran pernapasan mungkin tidak menyebabkan tersedak. Ini disebut silent
aspiration, yang kita yakini dalam tingkatan disfagia yang lebih serius.

2.7.2 Epidemiologi Disfagia


Disfagia merupakan masalah yang sering dijumpai. Satu dari 17 orang akan mengalami
disfagia dalam hidupnya. Penelitian pada tahun 2011 di United Kingdom melaporkan prevalensi
disfagia sekitar 11% pada masyarakat umum. Disfagia mengenai 40-70% pasien dengan stroke,
60-80% pasien dengan penyakit neurodegeneratif, lebih dari 13% pada usia di atas 65, serta 60-
75% pada pasien yang sedang menjalani radioterapi pada kanker kepala leher.9
Prevalensi orofaringeal disfagia sangat tinggi, ini mengenai lebih dari 30% pasien
serebrovaskular, 52-82% pasien parkinson, lebih dari 40% dewasa di atas 65 tahun, dan lebih dari
60% pasien usia tua di tempat perawatan.9
Data saat ini menunjukkan penyakit pada kelainan fungsi esofagus(termasuk tidak
kompetennya LES) mengenai hampir 20% orang di atas usia 60 tahun. Tetapi, kelainan motilitas
yang paling dapat dipastikan adalah akalasia. Beberapa penelitian mengatakan bahwa akalasia
adalah kasus yang jarang dijumpai. Tetapi, tidak ada penelitian pada suatu populasi yang berfokus

12
pada prevalensi penyakit mengenai fungsi esofagus, dan baisanya ini diperkirakan berdasarkan
nyeri dada dan disfagia. Epidemiologi dari ulasan terakhir mengenai akalasia menunjukkan
insidensi keadaan ini antara 0,03-1,1 pada 1.000.000 orang per tahun. Prevalensi spasme esofagus
difus serupa dengan akalasia, dimana penyakit yang lain(penyakit kelainan motilitas esofagus
yang non spesifik) lebih sering dijumpai.9-10
Data epidemiologi sulit untuk didapatkan secara global karena prevalensi penyakit yang
menyebabkan disfagia cenderung berbeda pada setiap daerah dan benua. Prevalensi juga
bergantung pada usia pasien dan juga harus diingat bahwa disfagia pada anak-anak berbeda dari
grup usia lebih tua. Pada pasien yang lebih muda, disfagia sering terlibat dalam kasus cedera
kepala leher dan juga kanker tenggorokan dan mulut. Disfagia secara umum terjadi pada seluruh
usia, namun prevalensinya meningkat sesuai usia.10

2.7.3 Etiologi
Disfagia merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit di orofaring dan esophagus.
Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi
makanan dari rongga mulut ke lambung.4
Disfagia adalah istilah nonspesifik untuk gangguan menelan. Etiologi yang mendasarinya
antara lain adalah anatomi, neurologis, muscular atau psikologis. Mekanisme menelan yang
terganggu mencegah pengiriman bolus secara komplit dan beraturan menuju esophagus atau
menyebabkan bolus tidak dicerna sesuai alurnya, menyebabkan refluks ke nasal, meninggalkan
residu, kebocoran sebelum menelan, penetrasi, aspiration dan regurgitasi esofagofaringeal.
Perawatan oral yang buruk, kontraksi faring yang lemah, pembukaan UES (Upper Esophageal
Sphincter) dan tidak terkordinasinya semua proses berkontribusi terhadap disfungsi menelan.3-4
Disfagia berhubungan dengan penyebab yang bervariasi, diantaranya yang paling sering
adalah gangguan neurologis yang mengganggu satu atau lebih fase menelan. Disfagia juga dapat
diakibatkan trauma pada fraktur aerodigestif atau karena prosedur operasi seperti laringektomi
atau faringolaringektomi. Disfagia dapat diderita akibat beragam jenis penyakit. Defisit fungsi
maupun struktur dari rongga mulut, faring, laring, esofagus, ataupun spinkter esofagus dapat
menyebabkan disfagia. Disfagia dapat menyebabkan komplikasi serius termasuk dehidrasi,
malnutrisi, dan pneumonia.4
Disfagia orofaringeal terjadi ketika mekanisme orofaringeal dalam proses menelan yang
dalam keadaan normal menjamin perjalanan lengkap bolus dari mulut ke kerongkongan dan secara

13
bersamaan melindungi jalan nafas, menjadi terganggu. Walaupun terdapat banyak penyebab
orofaringeal disfagia, kecelakaan serebrovaskular merupakan penyebab kasus terbanyak, dan
aspirasi pneumonia merupakan penyebab umum kematian pada pasien ini. Kondisi neurologis lain
seperti penyakit parkinson sering menyebabkan kasus-kasus orofaringeal disfagia, dengan
gangguan miopati dan lesi struktural yang menjadi sebagian besar penyebab lainnya.3
Terdapat tiga kondisi yang seringkali menyebabkan esofageal disfagia, yaitu:1
- Penyakit pada mukosa (instrinsik), ini menyempitkan lumen akibat inflamasi, fibrosis,
atau neoplasma.
- Penyakit mediastinal (ekstrinsik), ini menghambat esofagus melalui invasi langsung
atau melalui pembesaran kelenjar lymph.
- Penyakit neuromuskular yang mempengaruhi otot polos esofagus dan intervasinya,
menggangu peristaltik maupun LES( lower esophageal spincter).

2.7.3.1 Penyebab Disfagia


A. Disfagia mekanik
Disfagia mekanik dapat disebakan oleh bolus makanan yang sangat besar,
penyempitan instrinsik atau kompresi ekstrinsik lumen lintasan untuk gerakan
menelan. Pada orang dewasa, lumen esophagus dapat mengembang hingga mencapai
diameter 4 cm karena elastisitas dinding esophagus tersebut. Jika esophagus tidak
mampu berdilatasi hingga melebihi diameter 2,5 cm, gejala disfagia dapat terjadi tetapi
keadaan ini selalu terdapat kalau diameter esophagus tidak dapat berdilatasi melebihi
diameter 1,3 cm. lesi yang melingkar lebih sering menimbulkan gejala disfagia
daripada lesi yang mengenai sebagian dari lingkaran dinding esophagus saja,
mengingat segmen yang tidak terkena tetap mempertahankan kemampuannya untuk
mengadakan distensi.10

Penyebab disfagia mekanik antara lain:10

1. Luminal
a. Bolus makanan yang besar
b. Benda asing
2. Penyempitan Intrinsik
a. Keadaan inflamasi yang menyebabkan edema :
14
1) Faringitis
2) Epiglotitis
3) Esofagitis
a) Virus
b) Bakteri
c) Fungus (kandida)
d) Penyakit bulosa mukokutaneus
e) Cedera termal dan kimia
b. Selaput dan cincin
1) Faring : sindroma Plummer- Vinson
2) Esofagus : congenital, inflamasi
3) Cincin mukosa esophagus distal : cincin Schatzki
c. Striktur benigna
1) Peptic
2) Inflamasi : penyakit Chron, Candidiasis, Lesi mukokutaneus
3) Iskemia
4) Pascaoperasi
5) Kongenital
d. Tumor Maligna
1) Karsinoma primer
a) Karsinoma sel skuamosa
b) Adenokarsinoma
c) Karsinosarkoma
d) Pseudosarkoma
e) Limfoma
f) Sarcoma Kaposi
2) Karsinoma metastatic
e. Tumor Benigna
1) Leiomioma
2) Lipoma
3) Angioma

15
4) Polip fibroid inflamatorik
5) Papiloma epithelial
3. Kompresi Ekstrinsik
a. Spondilitis servikalis
b. Abses dan Massa retrofiring
c. Pembesaran kelenjar tiroid
d. Divertikulum Zenker
e. Kompresi Vaskuler
1) Subklavia Aberan kanan
2) Aorta sisi kanan
3) Aneurisma aorta
f. Massa mediastinm posterior
g. Hematoma dan fibrosis pascavagotomi

B. Disfagia motorik10

Disfagia motorik dapat terjadi akibat kesulitan dalam memulai gerakan menelan atau
abnormalitas pada gerakan peristaltic dan akibat inhibisi deglutisi yang disebabkan oleh
penyakit pada otot lurik atau otot polos esophagus. Penyakit pada otot lurik meliputi
faring, sfingter esophagus bagian atas dan esophagus pars proksimal. Otot lurik dipersarafi
oleh komponen somatic nervus vagus dengan badan-badan sel lower motor neuron yang
terletak dalam nucleus ambigus. Neuron- neuron ini bekerja kolinergik serta eksitatorik
dan merupakan satu-satunya factor penentu aktivitas otot tersebut. Gerakan peristaltic pada
segmen otot lurik disebabkan oleh aktivasi sentral sekuensial neuron-neuron yang
menginervasi otot-otot pada tingkat yang berbeda-beda di sepanjang esophagus.
Disfagia motorik faring terjadi akibat kelainan neuromuskuler yang menyebabkan
paralisisotot, kontraksi nonperistaltik simultan atau tertutupnya lubang pada sfingter
esophagus bagian atas. Hilangnya proses membuka sfingter atas disebabkan oleh paralisis
geniohioid dan otot suprahioid atau hilangnya inhibisi deglutif otot krikofaringeus. Karena
setiap sisi faring diinervasi oleh saraf ipsilateral, lesi motor neuron yang terjadi hanya
pada satu sisi menyebabkan paralisis faring unilateral. Meskipun lesi otot lurik juga
mengenai bagian servikal esophagus, manifestasi klinis gangguan fungsi faring

16
mengalihkan manifestasi akibat terkenanya esophagus.
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang berperan
dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf otak n. V, n.
VII, n. IX, n. X dan n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan peristaltic
esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab utama dari disfagia motorik adalah
akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan otot faring dan skleroderma esophagus.
Macam- macam penyebab disfagia motorik antara lain :11
1. Kesulitan dalam memulai reflex menelan :
a. Lesi oral dan paralisis lidah
b. Anesthesia orofaring
c. Penurunan produksi saliva : sindroma Sjogren
d. Lesi pada komponen sensorik nervus vagus dan glossofaringeus
e. Lesi pada pusat menelan
2. Kelainan otot lurik faring dan esophagus
a. Kelemahan otot
1) Lesi lower motor neuron (paralisis bulbar)
a) Cerebrovascular accident
b) Poliomyelitis, sindroma postpolio
c) Amiotrofik lateral sklerosis
2) Neuromuskuler
a) Miasthenia Gravis
3) Kelainan otot
a) Poliomiositis
b) Miopati : distrofi miotonik, miopati okulofaringeus
4) Paralisis Muskulus suprahioideus
5) Akalasia krikofaringeus
3. Kelainan pada otot polos esophagus
a. Paralisis korpus esophagus yang menyebabkan kontraksi lemah
b. Spasme esophagus yang difus
c. Akalasia

17
C. Disfagia oleh gangguan emosi
Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa yang
berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.10

2.7.3.2 Lokasi Disfagia


1. Disfagia orofaringeal

Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring ke dalam


kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal dari proksimal ke kerongkongan.
Pasien mengeluh kesulitan memulai menelan, regurgitasi nasal, dan aspirasi trakea diikuti oleh
batuk.10-11

Disfagia orofaringeal (Oropharyngeal dysphagia/OPD) terjadi ketika mekanisme


orofaringeal dalam proses menelan yang, dalam keadaan normal menjamin perjalanan lengkap
bolus dari mulut ke kerongkongan dan secara bersamaan melindungi jalan napas, menjadi
terganggu. Aspirasi pneumonia, malnutrisi, dan kualitas hidup berkurang dapat terjadi akibat
OPD. Walaupun terdapat banyak penyebab OPD, kecelakaan serebrovaskular merupakan
penyebab kasus terbanyak, dan pneumonia aspirasi merupakan penyebab umum kematian pada
pasien ini. Kondisi neurologis lain seperti penyakit Parkinson bertanggung jawab atas
sejumlah kasus OPD, dengan gangguan miopati dan lesi struktural yang menjadi sebagian
besar penyebab lainnya. Meskipun segudang penyebab OPD, hasil akhir patofisiologis jatuh ke
salah satu dari dua kategori yang saling terkait: 1) kelainan transfer bolus, dan 2) kelainan
perlindungan jalan napas. Kelainan transfer bolus dapat dikelompokkan lagi ke dalam yang
disebabkan oleh: 1) Kegagalan pompa orofaringeal, 2) gangguan koordinasi oral/faring, dan 3)
obstruksi aliran keluar faring.11

Gangguan menelan dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ yang berperan dalam
proses menelan. Dampak yang timbul akibat ketidaknormalan fase oral antara lain:11

1. Keluar air liur (drooling = sialorrhea) yang disebabkan gangguan sensori dan motorik pada
lidah, bibir dan wajah.
2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat disebabkan oleh
defisiensi sensori pada rongga mulut dan/atau gangguan motorik lidah.

18
3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan meningkatkan sensitivitas
gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.
4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung dari saraf kranial.
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidaksanggupan memanipulasi bolus.
6. Gangguan mendorong bolus ke faring.
7. Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena gangguan motorik
dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke faring sebelum refleks menelan muncul.
8. Rasa tersedak oleh batuk pada saat fase faring.
Sedangkan dampak ketidaknormalan pada fase faringeal adalah chocking, coughing dan
aspirasi. Gejala disfagia orofaringeal adalah ketidakmampuan untuk menjaga bolus dalam
rongga mulut, kesulitan mengumpulkan bolus di belakang lidah, ragu-ragu atau
ketidakmampuan untuk memulai menelan, makanan menempel di tenggorokan, regurgitasi
nasal, ketidakmampuan untuk mendorong bolus makanan ke dalam faring, kesulitan
menelan makanan padat, sering menelan berulang-ulang, sering membersihkan
tenggorokan, suara berkumur (gargly voice) setelah makan, suara serak, suara bindeng
(nasal speech) dan disartria, batuk saat menelan: sebelum, selama, atau setelah menelan,
menghindari makan bersama orang lain, berat badan menurun dan pneumonia berulang.12

2. Disfagia esophageal

Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi makanan ke kerongkongan. Hal ini


diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi mekanis. Disfagia esofagus mengacu
pada sensasi makanan menempel atau mendapatkan digantung di pangkal tenggorokan atau
dada. Penyebab umum dari disfagia esofagus meliputi:10-2

a. Akalasia. Hal ini terjadi ketika otot esophagus bawah (sfingter) tidak benar-benar rileks
untuk membiarkan makanan masuk ke lambung. Otot-otot di dinding esofagus sering
lemah juga. Hal ini dapat menyebabkan regurgitasi makanan belum tercampur dengan isi
perut, kadang-kadang menyebabkan untuk membawa makanan kembali ke dalam
tenggorokan.
b. Proses penuaan. Dengan usia, kerongkongan cenderung kehilangan beberapa kekuatan
otot dan koordinasi yang diperlukan untuk mendorong makanan ke dalam perut.

19
c. Spasme difus. Kondisi ini menghasilkan beberapa, tekanan tinggi, kontraksi kurang
terkoordinasi kerongkongan biasanya setelah menelan. Spasme difus pada esofagus adalah
gangguan langka yang mempengaruhi otot polos di dinding esofagus bawah secara
involunter. Kontraksi sering terjadi sesekali, dan mungkin menjadi lebih parah selama
periode tahun.
d. Striktur esofagus. Penyempitan kerongkongan (striktur) menyebabkan potongan besar
makanan tidak dapat lewat. Persempitan lumen ini mungkin akibat dari pembentukan
jaringan parut, sering disebabkan oleh penyakit gastroesophageal reflux (GERD), atau dari
tumor.
e. Tumor. Kesulitan menelan cenderung untuk mendapatkan semakin buruk ketika terdapat
tumor esofagus.
f. Benda asing. Terkadang, makanan, seperti sepotong besar daging, atau objek lain dapat
menjadi tersangkut di tenggorokan atau kerongkongan. Orang dewasa dengan gigi palsu
dan orang-orang yang mengalami kesulitan mengunyah makanan mereka dengan baik
mungkin lebih cenderung memiliki gangguan pada tenggorokan atau kerongkongan.
Anak-anak mungkin akan menelan benda-benda kecil, seperti peniti, koin atau potongan
mainan, yang dapat menjadi terjebak.
g. Cincin esofagus. Pada daerah ini terdapat penyempitan di esofagus bagian bawah yang
dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan padat.
h. Gastroesophageal reflux disease (GERD). Kerusakan jaringan esofagus dari asam
lambung yang naik (refluks) ke dalam kerongkongan dapat menyebabkan spasme atau
jaringan parut dan penyempitan kerongkongan bawah membuat sulit menelan.
i. Eosinofilik esofagitis. Kondisi ini, disebabkan oleh kelebihan populasi sel yang disebut
eosinofil di kerongkongan, dapat menyebabkan kesulitan menelan. Ini mungkin terkait
dengan alergi makanan, tetapi sering tidak ada penyebab yang ditemukan.
j. Scleroderma. Penyakit ini ditandai oleh perkembangan bekas luka-seperti jaringan,
menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan. Hal ini dapat melemahkan lower
esophageal sphincter, sehingga asam lambung dapat refluks ke kerongkongan dan
menyebabkan gejala dan komplikasi mirip dengan GERD.
k. Terapi radiasi. Hal ini pengobatan kanker dapat menyebabkan peradangan dan jaringan
parut pada kerongkongan, yang dapat menyebabkan kesulitan menelan.

20
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang berperan dalam
proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Keberhasilan
mekanisme menelan ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu:12
a. Ukuran bolus makanan
b. Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus
c. Kontraksi peristaltik esophagus
d. Fungsi sfingter esophagus bagian atas dan bagian bawah
e. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah

Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuskular mulai dari
susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan uvula, persarafan
ekstrinsik esophagus serta persarafan intrinsic otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga
aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan
aktivitas komponen orofaring, otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas. Oleh karna
otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti motor
N. Vagus, maka aktivitas peristaltik esophagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi
sfingter esophagus bagian bawah terjadi akibat perenggangan langsung dinding esophagus.12

2.7.4 Diagnosis Disfagia

Penilaian disfagia dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang.

2.7.4.1 Anamnesis

Selama tahap awal disfagia, tersedak disebabkan oleh aspirasi merupakan gejala mencolok
yang dapat dilihat secara obyektif. Meskipun aspirasi tidak ada pada semua pasien dengan
disfagia, itu adalah gejala yang paling penting yang berhubungan dengan disfagia. Namun, harus
diperhatikan aspirasi tidak selalu berhubungan dengan tersedak. Jika tersedak atau batuk terjadi
saat makan, seseorang harus mengira waktu muncul gejala saat makan atau menelan,
frekuensinya, postur pasien, dan variasi pada bentuk makanan, baik melalui anamnesis
menyeluruh atau mengamati saat makan.

21
Data harus dikumpulkan dari riwayat kesehatan umum penderita. Riwayat neurologik yang
mungkin berhubungan dengan beberapa penyakit yang dapat menyebabkan disfagia seperti
multiple sclerosis, stroke, serta penyakit Parkinson dan Alzheimer harus ditanyakan. Operasi yang
pernah dialami penderita pada kepala dan leher juga perlu ditanyakan. Semua pengobatan yang
sedang dijalani penderita harus dicatat. Obat-obatan dengan efek samping seperti sedasi,
kelemahan otot, dan disorientasi dapat menyebabkan disfagia. Selain itu, faktor psikososial juga
dapat memengaruhi proses menelan, terutama pada orangtua.13

Keluhan subyektif penderita dapat membantu menegakkan diagnosis disfagia, yaitu antara
lain: air liur yang mengalir berlebihan; batuk atau tersedak saat makan; terkumpulnya makanan
pada pipi, di bawah lidah, atau pada palatum durum; suara serak; suara cegukan setelah makan
atau minum atau beberapa kali membersihkan kerongkongan; susah mengontrol gerakan lidah;
kelemahan otot wajah; harus menelan beberapa kali untuk satu bolus makanan; slurred speech;
adanya perasaan makanan seperti tertahan di leher atau dada; dan waktu mengunyah serta waktu
makan yang lebih lama.13

2.7.4.2 Pemeriksaan Fisik13

Pemeriksaan fisik umum sangat penting dilakukan untuk melihat adanya penyakit
kardiopulmoner, gastrointestinal, atau neurologik yang dapat memengaruhi fungsi menelan.
Pemeriksaan dilakukan juga terhadap status mental, kemampuan bekerjasama, dan fungsi bahasa
penderita. Saraf kranialis harus dinilai secara teliti.

Pemeriksaan terhadap fungsi pernapasan meliputi tanda-tanda obstruksi atau restriksi


seperti takipnea, stridor, penggunaan otot pernapasan tambahan, dan pergerakan dinding dada
yang asimetris. Inspeksi dan palpasi terhadap kelainan struktur pada kepala dan leher perlu
dilakukan. Sensasi pada wajah diperiksa secara bilateral; juga kekuatan otot-otot wajah. Otot
maseter dan temporalis dipalpasi saat penderita diminta menggigit atau mengunyah. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan pada saat pemeriksaan saraf kranialis.

Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan inspeksi intraoral untuk melihat lesi, sisa
makanan, atau kelainan struktural. Palpasi dengan sarung tangan pada dasar mulut, gusi, fosa
tonsiler, bahkan lidah, untuk menyingkirkan adanya tumor. Adanya atrofi, kelemahan, dan
fasikulasi lidah dicatat. Kekuatan lidah bisa diukur dengan menempatkan jari pada pipi bagian luar
22
dan menahan lidah penderita yang diminta untuk menekan pipi dari dalam. Palatum diinspeksi
untuk melihat posisi simetris pada saat istirahat dan saat fonasi. Setiap sisi palatum distimulasi
untuk menimbulkan refleks muntah, sambil memperhatikan apakah palatum mole dan dinding
faring berkontraksi secara simetris. Adanya refleks primitif (sucking, biting, dan snout) perlu
dicatat. Terdapatnya refleks-refleks ini pada orang dewasa mengindikasikan adanya kerusakan
pada kedua hemisfer atau lobus frontalis yang menyebabkan kelemahan oral motor control.

2.7.4.3 Pemeriksaan Penunjang


2.7.4.3.1 Prosedur untuk Tes Skrining Sederhana
Seperti halnya dengan kondisi patologis lainnya, pendekatan untuk disfagia dimulai
dengan mencurigai kehadirannya. Prosedur diagnostik untuk disfagia dimulai dari mengumpulkan
informasi pasien melalui pengambilan riwayat, pemeriksaan visual, palpasi, dll. Pasien yang
diduga menderita disfagia dilanjutkan ke tes skrining yang tercantum di bawah ini. Berdasarkan
hasil tes, pasien yang berisiko tinggi cukup diduga menderita disfagia disaring, dan jika perlu,
pasien-pasien ini melanjutkan pemeriksaan lebih menyeluruh seperti videofluorografi atau video
endoscopic examination of swallowing. Di bawah ini, menjelaskan 6 metode skrining yang tidak
menggunakan endoskopi, yang karenanya tersedia untuk dokter spesialis atau terapis bicara
lainnya. Ketika menggunakan salah satu dari metode berikut ini dalam prakteknya, orang harus
membuat penilaian komprehensif tanpa memaksakan satu metode tertentu.14
A. Dry Swallowing
Manusia mengulangi menelan pada interval tertentu untuk membuang air liur di mulut,
bahkan ketika tidak makan. Metode ini adalah gerakan dasar yang digunakan untuk menelan
air liur. Oleh karena itu diperlukan untuk memeriksa apakah pasien bisa menelan baik sebelum
melakukan tes skrining lainnya.14
B. Repetitive Saliva Swallowing Test (RSST)
Tes ini dimaksudkan untuk memeriksa kemampuan pasien untuk secara sadar menelan
berulang kali, yang berkorelasi sangat tinggi dengan aspirasi. RSST sederhana dan juga relatif
aman untuk dilakukan. Tempatkan pasien dalam posisi istirahat, dan basahi bagian dalam
mulut pasien dengan air dingin. Instruksikan dia untuk berulang kali menelan udara, dan
pantau jumlah menelan yang dicapai. Tiga atau lebih menelan kering dalam 30 detik dianggap
normal. Jumlah menelan dihitung oleh pergerakan elevasi laring, baik secara visual atau
dengan meraba.14

23
C. Tes menelan air
Air sulit ditelan pada pasien dengan disfagia, terutama pada pasien dengan disfagia statis
dengan fungsi transportasi makanan yang buruk karena penyakit serebrovaskular atau
neuromuskular. Tes ini dimaksudkan untuk mendeteksi aspirasi dengan akurasi tinggi dengan
meminta pasien untuk menelan air. Di Jepang, 2 metode dengan kuantitas air yang berbeda
telah diadvokasi secara luas: Satu menggunakan 30 mL, dan yang lainnya menggunakan 3 mL
(Tabel 2). Mengikut metode asli seperti yang diusulkan oleh Kubota dkk., 3mL air harus
digunakan untuk upaya pertama, diikuti oleh tambahan 30 mL. Namun, karena 30 mL air
memiliki risiko yang lebih besar untuk pasien yang berisiko aspirasi, dijelaskan Saito metode
yang dimodifikasi yang menggunakan 3mL air dengan pemantauan ketat untuk kondisi pasien.
Dimetode apa pun, aktivitas menelan pasien dipantau, dan setiap tersedak dianalisis
karakteristiknya. Tes serupa juga ada yang menggunakan puding custard atau jeli untuk
mengevaluasi fungsi menelan.14
D. Tes air berwarna
Tes ini digunakan pada pasien trakeostomi. Pasien diminta untuk menelan air berwarna
untuk monitor setiap kebocoran dari insisi trakeostomi. Untuk mewarnai air, pewarna seperti
biru Evans, biru metilen, atau kristal violet sering digunakan. Pada pasien dengan tabung
trakeostomi, menempatkan sepotong kain kasa tipis atau kertas antara insisi trakeostomi dan
tabung membuat lebih mudah untuk mengkonfirmasi kebocoran. Ketika melakukan demikian,
harus dilakukan dengan sangat berhati-hati untuk mencegah kasa atau kertas seperti itu jatuh
ke dalam sayatan bersama dengan inhalasi.14
E. Cervical auscultation of swallowing
Auskultasi servikal selama atau setelah menelan memungkinkan penilaian aspirasi non-
invasif atau kehadiran sisa makanan di faring. Perubahan dalam suara pernapasan (kebanyakan
bunyi ekspirasi) dan adanya murmur pernapasan di pharynx setelah menelan khususnya
penting dalam penilaian, seperti suara yang moist, suara stenotik, wheezing, bunyi berkumur,
dan suara cairan bergetar. Ada penelitian tentang suara menelan yang dapat didengar untuk
waktu singkat selama menelan. Namun,sejauh ini belum ada metode penyaringan yang solid
telah dikembangkan karena mekanismenya belum sepenuhnya dipahami.14
F. Tes provokasi menelan (tes refleks menelan)
Metode ini menggunakan tabung tipis yang dimasukkan melalui hidung ke area orofaring

24
diikuti dengan suntikan volume air yang sedikit untuk mengukur waktu dari suntikan air
hingga refleks menelan. Dalam metode yang diusulkan olehTeramoto et al., waktu rata-rata
pada individu yang sehat adalah 1,7 detik ketika menggunakan 0,4 mL air pada suhu normal,
dan 3 detikatau lebih lama dianggap tidak normal. Namun, kali ini dapat bervariasi bergantung
pada volume air yang disuntikkan, suhu air, dan laju injeksi. Tes ini memungkinkan penilaian
input sensorik dan output motorik di faring dengan tidak adanya pengaruh fase oral, dan oleh
karena itu dapat menilai risiko silent aspiration. Metode ini membutuhkan beberapa
pengalaman insersi tabung.14

2.7.4.3.2 Tes yang Memerlukan Peralatan Khusus


Bagian ini menjelaskan 2 metode pengujian yang memerlukan peralatan khusus.
a. Pemantauan saturasi oksigen arteri menggunakan pulse oxymeter
Metode ini menggunakan pulse oxymeter untuk memantau saturasi oksigen arteri (SpO2)
selama makan untuk menyimpulkan potensi aspirasi dari penurunan SpO2. Dalam
prakteknya, pasien harus diinstruksikan untuk menghentikan makan jika SpO2nya
menurun hingga 90% atau lebih rendah atau rata-rata 3% per menit dari baseline saat
makan. Meskipun tes ini tidak secara langsung mendeteksi aspirasi, hal ini dapat berguna
dalam memonitor kondisi pernapasan saat makan sebagai manajemen risiko.14
b. X-ray polos leher
Pasien diminta menelan media kontras dalam volume kecil. Dengan membandingkan X-
ray biasa leher yang diambil sebelum dan sesudah menelan, kondisi masuknya laring dan
keadaan aspirasi atau residu faring dapat ditemukan. Tidak seperti fluoroskopi sinar-X,
metode ini tidak memungkinkan pemantauan dinamis menelan; Namun, itu dapat
dilakukan dengan mudah menggunakan peralatan X-ray biasa.14

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menilai seorang pasien dengan
keluhan disfagia antara lain : Videofluoroscopic Swallow Study (=Modified Barium Swallow
(MBS)), Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES), Fiberoptic Endoscopic
Examination of Swallowing with Sensory Testing (FEESST), Scintigraphy.
A. Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah pemeriksaan

25
yang sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan aspirasi. Pemeriksaan ini
menggambarkan struktur dan fisiologi menelan rongga mulut, faring, laring dan esofagus
bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan bolus kecil dengan berbagai
konsistensi yang dicampur dengan barium. VFSS dapat panduan dalam terapi menelan
dengan memberikan bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan
melakukan beberapa manuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi optimal
dalam proses menelan.13-14

Gambar 2.7.4.3.2. Pemeriksaan Videofluoroskopi Swallow Assesment

B. Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing (FEES)


FEES merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
fungsi laring, menilai jumlah residu hipofaringeal, dan mengobservasi ada tidaknya
aspirasi. Endoskop dimasukan melalui hidung melewati nasofaring dan ditempatkan di
dalam laringofaring di atas pita suara palsu. Bolus berbentuk cair dan padat diberi warna
hijau sehingga mudah dilihat.13 Pemeriksaan FEES ini akan lebih dibahas lebih lanjut pada
bab 3.
C. Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan visual dari esofagus, ini dapat menggunakan
endoskopi rigid maupun fleksibel. Dikarenakan esofagoskopi rigid membutuhkan anestesi
dan lebih terasa tidak nyaman serta beresiko, makan endoskopi fleksibel lebih sering
digunakan untuk evaluasi menelan. Endoskopi fleksibel dapat menilai lambung dan sedikit
bagian awal intestine(duodenum) sebaik esofagus. Endoskopi merupakan pemeriksaan

26
terbaik untuk menilai abnormalitas mukosa esofagus, seperti esofagitis. Ini juga baik untuk
mengevaluasi kondisi penyempitan esofagus (seperti struktur esofagus), walaupun
kemungkinan sulit untuk menilai struktur yang masih ringan ataupun sedang. Endoskopi
buruk untuk menilai fungsi esofagus, tetapi ini cukup membantu dalam menilai
abnormalitas pergerakan esofagus. Teknologi endoskopi fleksibel telah memulai evolusi
penggunaan endoskopi yang dapat dengan mudah dan aman melewati transnasal untuk
evaluasi bagian atas traktus aerodigestif pada pasien yang tidak di sedasi. Indikasi
transnasal esofagoskopi dapat untuk melihat esofageal, ekstraesofageal, dan intervensi.
Indikasi yang paling sering di jumpai untuk menggunakan transnasal esofagoskopi adalah
skrining evaluasi pasien dengan refluks, disfagia, dan globus, pada 80% pemeriksaan.14
D. Manometri Resolusi Tinggi
Meskipun endoskopi mampu menunjukkan pandangan langsung ke traktus aerodigestif
dari vestibulum hidung ke lambung, namun alat ini terbatas pada kemampuan objektif
faring dan motilitas esofagus serta fungsi UES dan LES. Manometri resolusi tinggi menilai
fungsi menelan secara signifikan, meningkatkan kemampuan klinis mendiagnosa dan
mengklasifikasikan penyakit untuk pencernaan. Manometri resolusi tinggi terbukti
bermanfaat dalam membedakan kelemahan faring, lemahnya relaksasi faringeal dan UES,
relaksasi esofagus atas yang tidak sempurna, motilitas esofagus, dan fungsi LES.14

2.7.5 Diagnosa Banding


Diagnosa banding orofaringeal disfagia:12
a. Penyakit pada sistem saraf pusat (masalah serebrovaskuler, Parkinson disease, tumor
batang otak)
b. Parkinson degeneratif (multipel sklerosis)
c. Post infeksi
d. Neuropati perifer
e. Maestenia gravis
f. Miopati (polimiositis, dermatomiositis, akalasia)
g. Tumor
h. Massa inflamasi
i. Trauma

27
j. Zenker’s divertikulum

Kondisi yang paling sering dihubungkan dengan esofageal disfagia adalah:12


a. Struktur peptik, terjadi pada 10% pasien GERD namun insiden menurun dengan
penggunaan proton pump inhibitor (PPI)
b. Neoplasma esofagus
c. Esofageal web
d. Akalasia
e. Skleroderma
f. Penyakit motilitas spastik
g. Disfagia fungsional
h. Cedera akibat radiasi

2.7.6 Terapi

Tujuan dari pengobatan disfagia adalah untuk mempertahankan intake nutrisi secara
adekuat untuk pasien dan memaksimalkan proteksi jalan nafas. Terdapat beberapa cara
penanganan rehabilitasi penderita disfagia, yaitu: teknik postural, modifikasi volume dan
kecepatan pemberian makanan, modifikasi diet, compensatory swallowing maneuver, teknik untuk
memperbaiki oral sensory awareness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan penyesuaian peralatan
yang digunakan.13

Diet pada pasien bergantung pada disfagia. Pasien dapat mendapatkan diet makanan yang
lembut karena sulit untuk mencerna bolus yang padat. Intervensi sederhana dapat dilakukan
dengan manipulasi besar dan konsistensi bolus. Masalah menelan pada mulut dan faring biasanya
dilakukan rehabilitasi termasuk dengan modifikasi diet dan pelatihan teknik menelan serta
manuver untuk melatih meningkatkan transfer bolus dan keamanan saluran nafas. Operasi jarang
diindikasikan terhadap pasien ini meskipun dalam keadaan yang berat. Salah satu pilihan adalah
dengan precutaneus endoscopic gastrostomy dan intermittent oroesophageal chateterization.
2.7.6.1 Teknik Postural

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan tubuh


dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia. Sebaiknya terapis harus
mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik yang dialami penderita sebelum
28
menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik postural yang digunakan yaitu: chin down
atau chin tuck, chin up, head rotation, head tilt, dan lying down.13

Gambar 2.7.6.1. Teknik Postural

2.7.6.2 Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan

Pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus yang
besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang mengalami gangguan fase
faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan untuk setiap bolus. Pemberian makanan
dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu cepat akan menyebabkan terkumpulnya bolus di
dalam laring dan menyebabkan aspirasi sedangkan pemberian makanan dalam jumlah
sedikit dan secara lambat akan mengurangi terjadinya aspirasi.13
2.7.6.3 Modifikasi diet
Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah menyebabkan
aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring sebelum terjadinya refleks
menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat lunak lebih aman karena
kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih kecil. Selain itu, bolus yang lebih
kental meningkatkan pergerakan lidah dan membantu mempercepat terjadinya inisiasi
fase faringeal. Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan
diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali menelan. Penderita
juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila menggunakan makanan kental,
makanan dengan kekentalan seperti madu yang dapat dijadikan pilihan.13

29
2.7.6.4 Compensatory swallowing maneuver13

Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari proses


menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi:
a. Effortful swallow: bertujuan memperbaiki gerakan dasar lidah ke arah posterior selama
fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan menggerakan lidah ke arah
posterior secara kuat untuk membantu perjalanan bolus melewati rongga faring.
b. Supraglotic swallow: bertujuan menutup pita suara sebelum dan selama proses
menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi. Makanan atau minuman di
tempatkan dalam mulut, penderita diminta untuk menarik napas dalam kemudian
ditahan, lalu penderita menelan 1-2 kali sambil tetap menahan napas, dan batuk dengan
segera setelah menelan.
c. Super-supraglotic swallow: dirancang untuk menutup pintu masuk jalan napas secara
volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid ke anterior, ke bagian dasar dari
epiglotis sebelum dan selama proses menelan serta menutup erat pita suara palsu.
d. Mandehlson maneuever: penderita diminta untuk merasakan adanya sesuatu bergerak
pada bagian dalam lehernya saat menelan, kemudian melakukan proses menelan
kembali (menggunakan dry swallow atau dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk
menahan gerakan tadi selama 3-5 detik, kemudian menelan dan rileks.

Teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness, terdapat beberapa jenis teknik yang meliputi:13
1. Menekan sendok ke arah bawah melawan lidah saat pemberian makanan ke dalam
mulut.
2. Memberikan bolus dengan karakteristik sensorik tertentu, seperti bolus dingin, bolus
dengan tekstur tertentu, atau bolus dengan rasa yang kuat seperti jus lemon
3. Memberikan bolus yang harus dikunyah sehingga proses mengunyah tersebut akan
memberikan stimulasi oral.
4. Memberikan volume bolus yang besar.
5. Thermal tactile stimulation (TTS) dengan melakukan gerakan stroking pada arkus
faringeus anterior. Stroking dilakukan menggunakan kaca laring berukuran 00 (telah
dimasukan dalan es selama ±10 detik) pada arkus faringeus anterior dari bagian dasar
ke arah atas sejauh yang bisa dijangkau. Terapi ini diangap bisa memberikan stimulus

30
sensorik ke batang otak dan korteks sehingga saat penderita sudah mulai fase oral,
maka fase faringeal akan terpicu lebih cepat.
2.7.6.5 Stimulasi elektrikal
Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan memberikan
stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang ditempatkan di atas otot-otot
tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan stimulasi listrik ini menunjukkan bahwa
NMES merupakan alternatif terapi yang efektif dan aman untuk penderita disfagia serta
dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan NMES ini efektif pada disfagia akibat
penyakit tertentu seperti stroke, kanker pada kepala dan leher, serta multipel sklerosis.13

2.7.7 Komplikasi Disfagia

Komplikasi disfagia dapat berupa aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, obstruksi jalan
napas bila bolus berukuran cukup besar yang memasuki jalan napas, dan kematian.13

2.7.8 Prognosis

Gangguan menelan yang diakibatkan oleh stroke atau traumatic brain injury memiliki
potensi untuk pulih. Penelitian mendapatkan bahwa sekitar 87% penderita stroke kembali ke diet
semula setelah 6 bulan, tetapi hasil videofluroskopi menunjukkan terdapat 51% penderita yang
tetap menunjukkan adanya gangguan pada proses menelan. Penderita dengan kondisi yang statis
atau progresif seperti amyothropic lateral sclerosis, multipel sklerosis, muskular distrofik, dan
Parkinsonisme harus dievaluasi secara periodik, dengan mempertimbangkann pemberian nonoral
feeding.13

31
BAB III
Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES)

3.1 Definisi Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES)


FEES merupakan pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan
nasofaringoskop serat optic lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis
makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan. FEES sekarang
menjadi pilihan pertama untuk evaluasi pasien dengan disfagia di eropa karena mudah, dapat
dilakukan berpindah tempat dan lebih murah dibandingkan MBS. Prosedur ini dapat dilakukan
oleh dokter spesialis THT-KL bersama dokter spesialis Rehabilitasi Medik dan dapat menilai
anatomi dan fisiologi menelan, perlindungan jalan nafas dan hubungannya dengan fungsi menelan
makanan padat atau cair, diagnosis, rencana terapi selanjutnya serta evaluasi keberhasilan setelah
terapi.15
Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES) adalah pemeriksaan fase
faringeal pada proses menelan yang dilakukan secara endoskopi. FEES sudah digunakan sebagai
alat evaluasi pada kasus gangguan menelan sejak dideskripsikan oleh Susan E. langmore pada
tahun 1988. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa FEES dapat mendeteksi dengan baik adanya
aspirasi, penetrasi dan residu faringeal apabila dibandingkan dengan videofluoroskopi. Namun
demikian FEES bukan merupakan pengganti dari pemeriksaan lainnya seperti
videofluoroskopi.13,15
FEES merupakan prosedur instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi menelan
dan menuntun penatalaksanaan kelainan menelan. Dengan menggunakan endoskopi transnasal
untuk memvisualisasikan secara langsung anatomi struktur yang penting dalam proses menelan
agar dapat mengevaluasi pergerakan struktur tersebut selama menelan makanan maupun minuman
pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat optik lentur.
Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan
dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan. Tahap pemeriksaan dibagi dalam beberapa
tahap:15,16
1. Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswallowing assessment) sangat penting karena
tes menelan dengan makanan padat dan cairan beresiko menyebabkan aspirasi. Reflek
batuk yang adekuat adalah penting sebelum manajemen nutrisi per-oral dimulai.

32
preswallowing assessment meliputi penilaian pada keadaan rongga mulut (pergerakan
lidah, arkus faring, ukuran tonsil, tonus otot bukal, rongga hidung), dan nasofaring untuk
menilai fungsi muskular dan mengetahui kelainan fase oral.
a. Penilaian otot ekspresi muka
Otot muka sebaiknya diinspeksi saat istirahat maupun saat melakukan gerakan,
bandingkan kesimetrisannya.
b. Penilaian otot mastikasi (mengunyah)
Otot masseter dan temporalis dipalpasi saat pasien melakukan gerakan menggigit dan
mengunyah. Berikan tahanan halus untuk menilai kekuatannya. Lakukan pemeriksaan
yang sama terhadap otot pterygoideus externus yang berfungsi menggerakkan mandibula
dari sisi ke sisi pada gerakan memutar.
c. Penilaian otot palatofaringeal
Otot-otot palatofaringeal dinilai sebagai satu unit. Konstriksi palatofaringeal dinilai
kesimetrisannya pada saat bernafas, fonasi dan stimulasi reflek muntah. Sekaligus dinilai
ada tidaknya nasal emisi dan suara sengau.
d. Tes menelan
Pemeriksa dapat merasakan saat terjadinya reflek menelan bila jari-jari diletakkan pada
thyroid notch antara os hyoid dan laring dan terasa laring bergerak ke atas dan ke depan.
Bila terdapat kelemahan otot atau reflek tidak adekuat maka jari pemeriksa akan tertinggal
dan berbelok oleh elevasi laring. Pada keadaan ini, cricofaringeus gagal membuka dan
epiglottis tidak adekuat terbawa ke dasar lidah sehingga jalan nafas tidak aman.
2. Pemeriksaan langsung dengan berbagai konsistensi makanan yang berbeda (ice chips, thin
liquids, thick liquids, puree, soft food, solid food, mixed consistencies), dinilai kemampuan
pasien dan diketahui konsistensi apa yang paling aman untuk pasien. Beberapa tetes
pewarna makanan (hijau atau biru) ditambahkan pada makanan atau cairan untuk
memudahkan visualisasi pemeriksa.
3. Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasikan berbagai manuver dan posisi kepala untuk
menilai apakah terdapat peningkatan kemampuan menelan.
4. Penilaian anatomi dan fisiologi menelan: velar, anatomi faring dan laring, pergerakan dan
sensasi yang berkaitan dengan proses menelan.
5. Penilaian fungsi menelan makanan dan cairan secara langsung.

33
6. Aplikasi manuver terapi, modifikasi diet dan strategi perilaku, serta evaluasi efektifitasnya.

3.2 Indikasi FEES


Secara umum, indikasi FEES adalah untuk mengevaluasi pasien dengan kesulitan
menelan dan kemungkinan risiko aspirasi dalam proses menelan. Metode ini juga dapat
menentukan intake nutrisi yang optimal untuk meminimalkan risiko aspirasi. Indikasi lain adalah :
menilai struktur anatomi orofaring, nasofaring, dan laringofaring. Menilai integritas sensorik
struktur faring dan laring. Menilai kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas pada saat
menelan.
Tanda dan gejala disfagia di bawah ini dapat mengindikasikan untuk dilakukan
pemeriksaan FEES, yakni :
a. Riwayat disfagia faringeal
b. Kesulitan mengolah sekret oral
c. Kesulitan dalam mengkoordinasikan proses menelan dan bernapas.
d. Kualitas fokal yang abnormal disertai suspek disfagia
e. Fatig selama menelan
f. Globus pharyngeus

FEES dapat diaplikasikan pada beberapa populasi berbeda, yakni pasien-pasien dengan
kelainan neurologis seperti stroke dan tumor di kepala serta post bedah kepala leher.14,15 Alur
pemeriksaan tindakan penanganan (FEES) pada disfagia:

34
Skema 3.2. Alur pemeriksaan tindakan penanganan (FEES) pada disfagia

3.3 Kontraindikasi FEES


a. Agitasi berat dan tidak kooperatif
b. Kelainan pergerakan yang berat
c. Riwayat vasovagal
d. Riwayat epistaksis yang berat
e. Trauma nasal
f. Riwayat penatalaksanaan pada kanker kepala maupun leher (bedah, kemoterapi,
radioterapi)
g. Obstruksi pada kedua saluran nasal
h. Kondisi kardiovaskuler yang tidak stabil
i. Riwayat pengobatan antikoagulan
j. Stenosis nasofaringeal
k. Fraktur pada wajah atau basis kranii

35
l. Pasien dengan kelainan darah
m. Etiologi disfagia berlokasi di esofagus.15,16

3.4 Keuntungan FEES


FEES memberikan informasi anatomi yang lebih baik termasuk ada tidaknya akumulasi
sekret. FEES juga lebih sensitif dalam evaluasi masuknya bolus, aspirasi dan residu faringeal
dibanding MBS.17
Beberapa keuntungan FEES dibanding evaluasi fungsi menelan yang lain adalah sebagai
berikut:17
a. Non radiaktif
b. Portabel
c. Tidak memerlukan ruangan khusus
d. Hasilnya dapat langsung diketahui.

3.5 Kelemahan FEES16


a. Blind spot (visusalisasi tertutup pada saat menalan)
b. Tidak dapat mengevaluasi krikofaring fungsi otot-otot faring dan laring
c. Tidak dapat mengevaluasi kelainan dalam esofagus.

3.6 Prosedur pemeriksaan16


Agar pemeriksaan FEES ini dapat berlangsung dengan baik dan untuk menghindari
komplikasi yang mungkin timbul, perlu diperhatikan persiapan yang optimal. Persiapan meliputi:
3.6.1 Persiapan penderita
Sebelum tindakan FEES perlu dilakukan:
a. Anamnesis lengkap dan cermat
b. Pemeriksaan THT rutin
c. Pemeriksaan darah tertutama penderita dengan kecurigaan gangguan perdarahan.
d. Pemeriksaan tanda-tanda vital sesaat sebelum pemeriksaan.
3.6.2 Anastesi
Anastesi dan atau dekongestan topikal digunakan untuk mengurangi rasa tidak nyaman.
Namun demikian penggunaannya tidak dianjurkan karena dapat mempengaruhi aspek sensoris

36
dari menelan. Pemakaian lubrikan (K-Y Jelly) di ujung endoskop dapat memudahkan insersi
endoskop.

3.7 Jenis makanan dan minuman pada pasien dengan pemeriksaan FEES
Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi pemberian lebih
sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan diberikan dalam jumlah
sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali menelan. Penderita juga diminta untuk tidak makan
sambil berbicara. Bila menggunakan makanan kental, makanan dengan kekentalan seperti madu
yang dapat dijadikan pilihan. Memberikan bolus dengan karakteristik sensorik tertentu, seperti
bolus dingin, bolus dengan tekstur tertentu, atau bolus dengan rasa yang kuat seperti jus lemon,
cairan dapat dikentalkan dengan sereal kering bayi, bubur kentang atau serpihan kentang, pati
jagung, atau yogurt.16 Nutrition and Dietics telah membagi tingkatan jenis makanan, antara lain:
- Level 1 : Makanan yang halus atau yang dihaluskan sehingga tidak perlu dikunyah seperti
puding, yougurt, kentang halus, dan sayuran atau daging yang dihaluskan
- Level 2 : Makanan lunak yang perlu dikunyah seperti buah-buahan atau sayur-sayuran
yang lunak, daging yang lunak, telur orak-arik yang lembut, hindari kacang-kacangan atau
makanan kering lainnya.
- Level 3 : Makanan lunak padat yang perluh lebih banyak mengunyah, seperti buah dan
sayuran yang mudah dipotong, daging yang lembut. Hindari makanan yang renyah,
lengket, atau sangat kering.
- Level 4 : Semua makanan.

3.8 Persiapan alat16


Alat-alat dan bahan yang dibutuhkan adalah :
a. Endoskop fleksibel
b. Light source
c. Stimulator sensoris pada ujung endoskop
d. Monitor televisi
e. Kamera dan video untuk merekam
f. Minuman dan makanan yang berwarna dengan berbagai konsistensi.

37
Gambar 3.8. Fiber Optic Flexible Endoscopic
3.9 Tahap Pemeriksaan17
Tahap pemeriksaan dibagi dalam 3 tahap :
a. Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswallowing assesment) untuk menilai
fungsi muscular dari oromotor dan mengetahui kelainan fase oral.
b. Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi makanan, dinilai
kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa yang paling aman untuk pasien
c. Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasikan berbagai manuver dan posisi kepala
untuk menilai apakah terdapat peningkatan kemampuan menelan.

3.10 Teknik Pemeriksaan


FEES dilakukan di poliklinik atau ruang perawatan. Pasien dalam posisi duduk menghadap
pemeriksa. Endoskop dimasukkan ke dalam vestibulum nasi menelusuri dasar hidung, ke arah
velofaringeal masuk ke dalam orofaring. Pada pemeriksaan FEES perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut: Evaluasi laring dan supraglottis meliputi plika ariepiglotik, incisura interaritenoid,
plika vokalis dan plika ventrikularis, subglotik dan bagian proksimal trakea. Evaluasi pergerakan
laring pada saat respirasi dan fonasi. Evaluasi pengaturan sekret. Prosedur pemeriksaan FEES ada
2 tahap, pertama yaitu evaluasi refleks adduktor laring terhadap rangsangan berupa pulsasi udara
yang diberikan melalui saluran khusus dalam endoskop dan yang kedua evaluasi menelan
makanan berwarna dengan berbagai konsistensi.16

38
Gambar 3.10. Pemeriksaan FEES

3.11 Evaluasi Pemeriksaan16


Dengan pemeriksaan FEES dinilai 5 proses fisiologi dasar seperti;
a. Sensitivititas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan dalam terjadinya
aspirasi.
b. Spillage (preswallowing leakage): masuknya makanan ke dalam hipofaring sebelum
refleks menelan mulai sehingga mudah terjadi aspirasi.
c. Residu: menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus piriformis kanan dan kiri,
poskrikoid dan dinding faring posterior sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke
jalan napas pada saat proses menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.
d. Aspirasi: masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara yang sanagt berperan
terhadap terjadinya komplikasi paru.

3.12 Evaluasi Transpor Bolus


Setelah evaluasi kemampuan proteksi jalan napas, selanjutnya dilakuakn penilaian transpor
bolus makanan dan cairan yang telah diberi pewarna. Konsistensi makanan yang diberikan
berdasarkan diet yang terakhir diberikan dan temuan evaluasi disfagia sebelumnya. Makanan
diberikan dengan ukuran bolus yang makin besar mulai dari ¼ sendok the (sdt), ½ sdt, dan 1 sdt.
Cairan diberikan lewat sendok teh. Proses menelan di evaluasi untuk masing-masing konsistensi.
Urutan pemberian makanan mulai dari cairan, makanan lunak dan makana padat. Faktor-faktor
yang dinilai adalah transit time oral, tepatnya waktu inisisasi menelan, elevasi laring, spillage,
residu, kekuatan dan koordinasi menelan, penutupan laring (retrofleksi epiglotis dan penutupan
plika vokalis), refluks, penetrasi, dan aspirasi. Perhatikan kemampuan membersihkan residu
makanan atau miuman, penetrasi dan aspirasi, baik secara spontan ataupun dengan cara-cara

39
tertentu misalnya dengan merubah posisi kepala ke kiri atau ke kanan, menelan beberapa kali atau
menelan kuat-kuat.16

3.13 Komplikasi
Survei yang dilakukan oleh Langmore pada tahun 1995 menemukan hanya 27 kasus dari
6000 prosedur FEES yang mengalami komplikasi. Adapun komplikasi yang bisa timbul pada
pemeriksaan FEES adalah sebagai berikut:17
a. Rasa tidak nyaman : biasanya ringan, dari 500 pemeriksaan dengan FEES dilaporkan 86%
pasien merasa tidak nyaman yang ringan.
b. Epistaksis : terdapat kurang dari 1,1% kasus epistaksis dilaporkan selama pemeriksaan
FEES. Pemeriksaan dianjurkan untuk waspada pada pasien yang diberikan terapi
antikoagulan, mereka dengan kelainan pembekuan darah serta yang memiliki riwayat
bedah nasal sebelumnya.
c. Respon vasovagal: sinkop vasovagal merupakan tipe sinkop yang paling sering terjadi
selama prosedur FEES. Dalam sebuah studi dengan 500 prosedur FEEST yang dilakuakan,
tidak terdapat laporan.

40
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Diagnosis disfagia dimulai dengan mencurigai kehadirannya, dan kemudian pasien dengan
risiko tinggi harus dipilih menggunakan tes skrining sederhana, termasuk yang dijelaskan dalam
makalah ini. Banyak dari tes-tes ini relatif mudah dilakukan dan sangat luar biasa berguna dalam
memperoleh gambaran kasar tentang kondisi menelan. Di sisi lain, kebanyakan metode
menggunakan chocking/tersedak sebagai indikator. Risiko silent aspiration pada pasien yang
memiliki mekanisme perlindungan saluran pernafasan yang menurun atau gagal tidak boleh
dilupakan, karena jenis aspirasi ini terjadi tanpa tersedak. Untuk diagnosis selain anamnesis dan
pemeriksaan yang di disfagia fase oral dan fase faring adalah videofluoroskopi swallow assesment
(VFSS) dan Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing (FEES). Masalah menelan pada mulut
dan faring biasanya dilakukan rehabilitasi termasuk dengan modifikasi diet dan penelitian teknik
menelan serta maneuver.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Rofes L, Arreola V, Almirall J, Cabre M, Campins L, Garcia PP, et al. Diagnosis and
management of oropharyngeal dysphagia and its nutritional and respiratory complica-tion
in the elderly. Gastroenterol Res Pract 2011:1-13.
2. Judith E, Durlacher R, Brennan MT, Gibson RJ, Eilers JG. Swallowing dysfunction in
cancer patients. Support Care Cancer 2011; 20:433-443.
3. Wilkins T, Gilies RA, Thomas AM, Wagner PJ. The prevalence of dysphagia in primary
care patients: a HamesNet Research Network study, J Am Board Farm Med 2006;
20(2):144-50.
4. Lazarus CL. Management of dysphagia. In: Byron J. Bailey & Jonas T, editors. Jonhson
Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincot William &
Wilkins, 2006. p.714-20
5. Abou-Elsaad. Handout assessment and management of orophayngeal dysphagia in adult.
Workshop, IALP, Copenhagen. 2007. [cited 2014 Feb 17]. Available from: http://
www.docin.com/p-398556957 .html.
6. Kelly AM, Hydes K, Mclaughlin C, Wallace S. Fiberoptic Endoscopic Evaluation of
Swallowing (FEES): the role of speech and laguage therapy. RCSTL policy
Statement.2005.
7. Dhingra P.L. Dan Shruti Dhingra, 2010. Anatomy And Physiology Of Oesophagus.Eds 17.
In: Diseases Of Ear, Nose And Throat. Thomson Press ( Limited ): New Delhi
8. Liston L S. 1994. Anatomi Dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus Dan Leher
dalam : GL, Boies LR, Higler PA, Boies Buku Ajar Penyakit THT. Alih Bahasa Wijaya C.
Edisi 6. Jakarta : EGC
9. Palmer JB, Pelletier CA, Matsuo K. Rehabilitation of patient with swallowing disorder. In:
Braddom RL, editor. Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2007; p.581-600.
10. Anthony S. Fauci. Harrison Internal Medicine, 17th edition. USA, McGraw-Hill. 2008.
p.239-42
11. Fujishima I. Symptoms and screening. In: Fujishima I, ed.Dysphagia Made Easy. Osaka:
Nagai Shoten; 2001. p.78–85

42
12. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6.
Jakarta: FKUI. 2007. p. 276-302.
13. Pandalake JJC, Sengkey LS, Angliadi E. Rehabilitasi medik pada penderita disfagia. Jurnal
Biomedik (JBM) 6(3);2014:h.159-163.
14. Horiguchi S, Suzuki Y. Screening test in evaluating swallowing function. JMAJ
54(1);2011:h.32-3.
15. Elluru RG, Wilging JP. Endoscopy of the Pharynx and Esophagus. Otolaryngologi: Head
& Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia: Mosby Inc; 2005.
16. Kelly A, Hydes K, Mclaughlin C, et.al. Fibreoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing
(FEES): The Role of Speech and Language Therapy. RCSLT Policy Statement; 2007.
17. Postma GN, Belafsky PC, Amin MR, Et.al, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology.
4th ed: Lippincot Williams & Wilkins; 2006.

43

Anda mungkin juga menyukai