Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN

KEPERAWATAN
MULTIPEL SKLEROSIS
Nama Kelompok :
Kharisma Nur Wijayanti (108118064)

Syahreta Herawati Bawono (108118056)

Vina Ismiatus S (108118076)

Riza Amalia Ramadan (108118052)

Esa Amalia Sasih (108118066)

Adi Nugraha Vanda Damara (108118048)

Huda Athariq Romadon (108118057)


MULTIPEL SKLEROSIS
Multipel sklerosis yang dulu disebut juga sklerosis diseminasi adalah
penyakit degeneratif, bersifat kronis dan progresif yang   merusak myelin pada
sususan saraf pusat (Hickey, 2008)
MS merupakan salah satu gangguan neurologik dimana onset terjadinya
multipel sklerosis rata-rata terjadi di usia 20 dan 40 tahun. Multipel sklerosis
umumnya terjadi pada usia dewasa muda dan sekitar 20% mengalami  onset
awal di usia 40 dan 50 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi  wanita dari pada
pria. sklerosis multipel berasal dari banyaknya daerah jaringan parut (sklerosis)
yang mewakili berbagai bercak demielinasi dalam sistem saraf. Pertanda neu-
rologis yang mungkin dan gejala dari sklerosis multipel sangat beragam se-
hingga penyakit ini tidak terdiagnosis ketika gejala pertamanya muncul.
ETIOLOGI

Penyebab terjadi multipel sklerosis masih belum diketahui secara pasti. Namun,
para ilmuwan memperkirakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya
multipel sklerosis. Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan
berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991).
Kerusakan myelin pada MS mungkin terjadi akibat respon abnormal dari sistem
kekebalan tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari serangan organisme
berbahaya (bakteri dan virus).
a) Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang / infeksi virus)
b) Genetik
c) Kelainan pada unsur pokok lipid myelin
d) Racun yang beredar dalam CSS
e) Infeksi virus pada SSP
KLASIFIKASI
Menurut Basic Neurologi (Mc. Graw Hill,2000),ada beberapa kategori
sklerosis multipel berdasarkan progresivitasnya adalah :
1. Relapsing Remitting sklerosis multiple
Ini adalah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir usia belasan
atau dua puluhan tahun diawali dengan suatu erangan hebat yang kemudian diikuti
dengan kesembuhan semu.Yang dimaksud dengan kesembuhan semu adalah setelah
serangan hebat penderita terlihat pulih.Namun sebenarnya,tingkat kepulihan itu tidak
lagi sama dengan tingkat kepulihan sebelum terkena serangan

2. Primary Progresssiv MS
Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk ada saat – saat  penderita tidak 
mengalami penurunan kondisi, namun jenis sklerosis multipel  ini tidak mengenal isti-
lah kesembuhan semu
3. Secondary Progressiv sklerosis multiple
Ini adalah kondisi lanjut dari Relapsing Remitting sklerosis multipel. Pada jenis ini
kondisi penderita menjadi serupa pada kondisi penderita Primary Progresssiv sklerosis
multipel.

4. Benign sklerosis multiple


Sekitar 20% penderita sklerosis multipel jinak ini. Pada jenis sklerosis multipel ini
penderita mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada
siapapun. Serangan – serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah berat se-
hingga para penderita sering tidak menyadari bahwa dirinya menderita sklerosis mul-
tipel.
PATOFISIOLOGI
Neuron atau sel saraf memiliki sebuah badan sel.  Terdapat dua macam serabut
saraf yang keluar dari badan sel yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengir-
imkan impuls ke badan sel saraf sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari
badan sel ke jaringan yang lain. Akson ditutupi oleh lapisan lemak yang disebut
lapisan myelin. Myelin merupakan kumpulan sel Schwan yang berfungsi melindungi
akson dan memberikan nutrisi. Sel Schwan adalah sel glia yang membentuk selubung
lemak. Myelin menfasilitasi dalam konduksi saraf. .
Pada kasus multipel sklerosis pemicu terjadinya kerusakan myelin belum diketahui
secara pasti. Namun suatu teori menyatakan bahwa adanya serangan reaksi autoimun
yang disebabkan oleh infeksi virus dan toksin lingkungan serta dipengaruhi oleh fak-
tor genetik individu. Respon imun memicu kerusakan selaput myelin yang menye-
limuti saraf pusat. Proses yang disebut demyelinasi ini disertai dengan edema dan in-
flamasi. Adanya inflamasi kronis dan terbentuknya jaringan parut menyebabkan kon-
duksi impuls saraf menjadi terganggu atau menjadi lambat.
MANIFESTASI KLINIS
Sindrom klinis pada MS secara klasik ditemukan adanya gangguan yang bersifat re-
laps dan remisi yang mengenai traktus-traktus sistem saraf dengan onset pada usia
muda , dengan variasi gambaran klinis yang ditemukan sering beragam, variasi ini ter-
masuk dalam hal onset usia,manifestasi awal, frekuensi, berat ringannya penyakit dan
gejala sisa relaps, tingkat progresifitas dan banyaknya gejala neurology yang timbul.
Variasi gambaran klinis ini menggambarkan banyaknya atau luasnya daerah system
saraf yang rusak (MS plak). Secara umum seorang dokter mencurigai suatu kasus MS
bila ditemukan gejala :
1.Pasien mendapat 2 serangan dari gangguan neurologi (tiap serangan lebih dari 24
jam dan berlangsung lebih dari 1 bulan, atau
2.Perkembangan gejala yang progresif secara perlahan selama periode paling sedikit 6
bulan
Gejala-gejala umum tersebut adalah:
1. Gangguan Sensorik
2. Gangguan Motorik
3. Gangguan indra perasa
4. Gangguan kemampuan berbicara
5. Gangguan berkemih dan BAB
6. Gangguan Seksual
7. Gangguan Kognitif dan Emosi
8. Gangguan Nervus Cranialis
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS : Untuk mengungkapkan adanya ikatan
oligoklonal ( beberapa pita imunoglobulin G [ IgG ] ), yang menunjukkan abnormalitas
immunoglobulin.
2. Pemeriksaan potensial bangkitan : dilakukan untuk memebantu memastikan luasnya
proses penyakit dan dan memantau perubahan penyakit.
3. CT scan : dapat menunjukkan atrofi serabral
4. MRI untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit
dan efek pengobatan.
5. Pemeriksaan urodinamik untuk mengetahui disfungsi kandung kemih
6. Pengujian neuropsikologik dapat  diindikasikan untuk mengkaji kerusakan kognitif.

( Mutaqin Arif, Asuhan keperawatan klien dangan gangguan system persyarafan, (2008)
hal 216 )
 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan farmakoterapi
a) Terapi obat untuk fase akut : Kortikosteroid dan ACTH, digunakan sebagai
agens anti-inflamasi yang dapat meningkatkan konduksi saraf.
b) Terapi obat untuk menurunkan jumlah kekambuhan : Beta interferon ( be-
taseron ), digunakan dalam perjalanan relapsing-remittting, dan juga menu-
runkan secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi
c) Baklofen : Sebagai agens antispasmodic merupakan pengobatan yang dipilih
untuk spastisitas
d) Imunosupresan (immunosuppressant) dapat menstabilkan kondisi penyakit
e) Terapi obat lain : cycloscospamid, total limpoid irradiation (TLI).
2. Terapi suportif
Terapi suportif diberikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan memperta-
hankan kondisi pasien agar tetap stabil. Fisioterapi dan terapi okupasi diberikan untuk
mempertahankan tonus dan kekuatan otot serta ditambah dengan obat untuk relak-
sasi otot untuk mengurangi ketidaknyamanan dan nyeri karna spastik.
 
3. Blok saraf dan pembedahan
Dilakukan jika terjadi spastisitas berat dan kontraktur untuk mencegah kerusakan
lebih lanjut
 KOMPLIKASI

Komplikasi yang biasanya terjadi pada multiple skleriosis adalah :


1. Disfungsi pernafasan
2. Infeksi kandung kemih, system pernafasan dan sepsis
3. Komplikasi dari imobilitas
 PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Tanyakan biodata klien
b. Kaji keluhan klien
c. Dapatkan riwayat kesehatan sekarang, terdahulu, keluarga
d. Pemeriksaan Fisik : tanda – tanda vital
e. Pemeriksaan per sistem :
1) Sistem Pernafasan
2) Kardiovaskuler Dan Limfe 
3) Persyarafan
4) Perkemihan-Eliminasi Uri
5) Sistem Pencernaan-Eliminasi Alvi
6) Sistem Muskuloskeletal Dan Integumen
7) Sistem Endokrin dan Eksokrin
8) Sistem Reproduksi
9) Persepsi Sensori
 ANALISA DATA

Pengumpulan informasi merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Dari


informasi yang terkumpul, didapatkan data dasar tentang masalah-masalah yang
dihadapi klien. Selanjutnya data dasar itu digunakan untuk menentukan diagnosis
keperawatan, merencanakan asuhan keperawatan, serta tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah-masalah klien. Pengumpulan data dimulai sejak pasien masuk
Rumah Sakit, selama klien dirawat secara terus menerus, serta pengkajian ulang
untuk menambah/melengkapi data (Prasetyo, 2010).
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas
2. Resiko cedera berhubungan dengan kerusakan sensori dan penglihatan, dampak
tirah baring lama dan kelemahan spastic
3. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan  kelumpuhan saraf perkemi-
han
 INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas
NOC NIC
Dalam waktu x jam klien mampu
melaksanakan aktifitas fisik sesuai 1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap pen-
dengan kemampuannya ingkatan kerusakan, kaji secara teratur fungsi motoric
  2. Modifikasi peningkatan mobilitas fisik
Kriteria hasil : 3. Anjurkan teknik aktifitas dan teknik istirahat
1. Klien dapat  ikut serta dalam 4. Ajarkan teknik latihan jalan
program latihan 5. Ubah posisi klien tiap 2 jam
2. Tidak terjadi kontraktor sendi 6. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada
3. Bertambahnya kekuatan otot ekstermitas yang tidak sakit
4. Klien menunjukkan tindakkan 7. Lakukan gerak pasif pada ekstermitas yang sakit.
untuk meningkatkan mobilitas 8. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri
sesuai toleransi
9. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
2. Resiko cedera berhubungan dengan kerusakan sensori dan penglihatan, dampak
tirah baring lama dan kelemahan spastic
NOC NIC
Dalam waktu x jam resiko 1. Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi
trauma tidak terjadi 2. Minimalkan efek imobilitas.
  3. Modifikasi pencegahan cedera
Kriteria hasil : 4. Modifikasi lingkungan
1. Klien mau berpartisipasi ter- 5. Ajarkan teknik berjalan
hadap pencegahan trauma 6. Berikan terapi okupasi
2. Decubitus tidak terjadi 7. Meminimalkan resiko decubitus
3. Kontraktur sendi tidak terjadi 8. Inspeksi kulit dibagian distal setiap hari (pantau kulit dan
4. Klien tidak jatuh dari tempat membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet-
tidur lecet)
9. Minimalkan spastisitas dan kontraktur
10.Ajarkan teknik latihan
11.Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki
12.Evaluasi tanda/gejala perluasan cedera jaringan (per-
adangan lokal / sistemik, sperti peningkatan nyeri, edema
3. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan  kelumpuhan saraf perkemi-
han
NOC NIC
Dalam waktu x jam eliminasi urin
terpenuhi 1. Kaji pola berkemih dan catat urin setiap 6 jam
  2. Tingkatkan kontrol berkemih dengan cara berikan
Kriteria hasil : dukungan pada klien tentang pemenuhan eliminasi urin,
1. Pemenuhan eliminasi urin da- lakukan jadwal berkemih, ukur jumlah urin tiap 2 jam
pat dilaksanakan dengan atau 3. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih
tidak mengguanakan keteter 4. Anjurkan klien untuk minum 2000 cc/hari
2. Produksi 50 cc/jam
3. Keluhan eliminasi urin tidak
ada
Thank you
Q&A

Anda mungkin juga menyukai