Anda di halaman 1dari 32

JUDUL MAKALAH

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA


Disusun untuk Memenuhi
Mata Kuliah : KMB 2
Pengampu : Agus Prasetyo, M.kep

Disusun Oleh :
Nur Aprilianingsih (108118069)
Dias Rizki Yuliannisa (108118045)
Feliyah (108118062)
Meisi Awandani (108118050)
Ikhsan Kurniawan (108118051)
Emilia Martina A (108118059)
Muhammad Farhan M (108118078)

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES AL IRSYAD AL ISLAMIYAH
TAHUN PELAJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Benigna
Prostat Hiperplasia tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah
satu tugas KMB 2.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai
pihak, penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Oleh
karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua elemen yang
turut membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, dan
dapat memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca. Meskipun penulis
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan, karena tak ada satupun
yang sempurna di dunia ini, demikian dengan tulisan ini. Oleh karena itu, kritik yang
membangun kami harapkan dari para pembaca, demi penulisan makalah selanjutnya
yang lebih baik. Terima Kasih.

Cilacap, 23 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Contents

JUDUL MAKALAH......................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................2
C. TUJUAN........................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
TINJAUAN TEORI.......................................................................................................3
A. PENGERTIAN..............................................................................................3
B. ETIOLOGI....................................................................................................3
C. MANIFESTASI KLINIS..............................................................................5
D. PATOFISIOLOGI........................................................................................6
E. PATHWAY..................................................................................................10
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG...............................................................11
G. KOMPLIKASI............................................................................................12
H. PENATALAKSANAAN MEDIS...............................................................13
I. PENGELOLAAN PASIEN........................................................................16
J. ASUHAN KEPERAWATAN.....................................................................18
BAB III PENUTUP.....................................................................................................28
A. KESIMPULAN...........................................................................................28
B. SARAN.........................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................29
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

BPH merupakan kelainan pembesaran kelenjar yaitu hiperplasia yang


mendesak jaringan asli keporifer. Pada pasien BPH usia lanjut sangat
memerlukan tindakan yang tepat untuk mengantisipasinya. Sebagai salah satu
tindakan yang akan dilakukan adalah dengan operasi prostat atau prostatektomi
untuk mengangkat pembesaran prostat. Dari pengangkatan prostat, pasien harus
dirawat inap sampai keadaannya membaik, guna mencegah komplikasi lebih
lanjut. (Suwandi, 2007).
Menurut Silva (2007), BPH dianggap menjadi bagian dari proses penuaan
yang normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang berat dan tidak
segera ditangani dapat menimbulkan komplikasi yang mungkin terjadi pada
penderita BPH yang dibiarkan tanpa pengobatan adalah pembentukan batu vesika
akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil, sehingga terjadi
pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut
diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang
akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang
lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam dan Fransisca, 2006). Menurut
pengamatan peneliti selama praktek Di RSUD Pandanarang Boyolali pada
tanggal 7 Mei 2012, Di Bangsal Bedah Flamboyan, dari hasil Rekam Medik pada
tahun 2012 dari bulan Januari sampai Mei 2012 Di RSUD Pandanarang Boyolali
dari 40 % terdapat 30 % yang menderita BPH rata-rata penderita berusia 50
tahun keatas dan berjenis kelamin laki-laki. Dan dari 20 % penderita harus
dilakukan operasi
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari BPH ?
2. Apa Etiologi dari BPH ?
3. Bagaimana Manifestasi Klinis dari PBH ?
4. Bagaimana Patofisiologi BPH ?
5. Bagaimana Pathway dari BPH ?
6. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang dari BPH ?
7. Apa saja Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita BPH ?
8. Bagaimana Penatalaksanaan Medis pada pasien BPH ?
9. Bagaimana Pengelolaan pasin PBH ?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan pasien BPH ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari BPH
2. Untuk mengetahui Etiologi dari BPH
3. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis dari PBH
4. Untuk mengetahui Patofisiologi BPH
5. Untuk mengetahui Pathway dari BPH
6. Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang dari BPH
7. Untuk mengetahui Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita BPH
8. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Medis pada pasien BPH
9. Untuk mengetahui Pengelolaan pasin BPH
10. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pasien BPH
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker, (Corwin, 2000).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak
bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun
orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang
dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan
kondisi patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
Menurut Doengoes, 2000 benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran
progresif pada kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang
menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.

Jadi dapat disimpulkan bahwa benign prostat hipertrofi adalah


pembesaran pada kelenjar prostat, ditandai dengan meningkatnya ukuran
kelenjar periuretra yang disebabkan karena hiperplasi beberapa atau semua
komponen prostat yang biasanya terjadi pada pria berusia lebih dari 50 tahun.

B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen.
Faktor lain yang erat kaitannya denganBPH adalah proses penuaan Ada beberapa
factor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

3. Interaksi stroma – epitel


Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.

4. Berkurangnya sel yang mati


Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat

5. Teori sel stem


Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit
BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

C. MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala iritatif meliputi  :


a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

2. Gejala obstruktif meliputi :


a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume
residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
1. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak
puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
2. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah
hebat.
3. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan
dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

D. PATOFISIOLOGI
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia  30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi
anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan
hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular  pada prostat.

 Teori-teori tentang terjadinya BPH :

1. Teori Dehidrosteron (DHT)


Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron
(DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam
inti sel yang menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan
terjadinya sintesa protein.

2. Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia
yamg disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen
bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan dan
perkembangan  hiperplasi prostat.

3. Faktor interaksi stroma dan epitel


Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast
growth factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat
jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. b-FGF dapat
dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan infeksi.

4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) 


atau reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk
berploriferasi dan membentuk jaringan prostat.

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga


perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Adapun patofisiologi dari
masing-masing gejala yaitu :

1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah


gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh
edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi
uretra.
3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan
rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang
banyak dalam buli-buli.
4. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar
miksi lebih pendek. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia)
karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan
uretra berkurang selama tidur.
5. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada
saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter,
6. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli
mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik
melebihi tekanan spingter.
7. Hematuri biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah submukosa
pada prostat yang membesar.
8. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau
uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau
retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
9. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian
urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk
organisme infektif.
10. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-
buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.
Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks
dapat terjadi pielonefritis.
11. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia dan hemoroid.
E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus
diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih,
batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar
dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml

2. Pemeriksaan darah lengkap


Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan
biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka
fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.

3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG,
dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat
disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya
batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga
dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat
supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran
ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu
urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah
terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli
dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum
kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing
(viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah
kencing adalah untuk menilai residual urin

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesika urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)

BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

           

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan
kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat  karena ia tidak
dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat
mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu
insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase
yang adekuat.

Jenis pengobatan pada BPH  antara lain:

1. Observasi (watchfull waiting)


Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu
sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan
pemeriksaan colok dubur

2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor
pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini
akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga
gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
b.  Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

3. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk
terapi bedah yaitu :
a. Retensi urin berulang
b. Hematuri
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f. Ada batu saluran kemih.

4. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen
bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam
prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat
dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral
jarang menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi
retrogard karena pengangkatan jaringan prostat  pada kolum kandung kemih
dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam
kandung kemih dan bukan melalui uretra.
a. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih
dan kelenjar prostat diangkat dari atas.

b. Prostatektomi  Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam
perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan
sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia,
impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi  dari cara ini.
Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan
spingter eksternal serta  bidang operatif terbatas.

c. Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis  dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih. Keuntungannya adalah periode
pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih
lebih sedikit. 
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang
jaringan prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang
mungkin terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan,
infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter
dan disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak
menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal
dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal.
Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali
dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah
sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam
kandung kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan
anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.

5. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).


Yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak
kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan  di klinik rawat jalan dan mempunyai
angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.

6. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )


TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan
alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik.
Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan
tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas
minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai
efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada
prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian
dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan
cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan
terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika 
(Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24
yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan
darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan
setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas
tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah
operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan
pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka
pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena
bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra,
ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali
8-10 tahun kemudian.

7. Terapi invasif minimal


Seperti dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum  transuretral

TURP BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

I. PENGELOLAAN PASIEN
1. Pre operasi
a. Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
b. Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
c. Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
d. Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara.

2. Post operasi
a. Irigasi/Spoling dengan Nacl
1) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
2) Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
3) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
4) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
5) Hari ke 4 post operasi diklem
6) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
7) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
b. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan
baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
c. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
d. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin
e. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
f. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
g. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
h. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
i. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih
dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
j. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
k. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
l. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
m. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan
memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter
pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Sebelum Operasi
a. Data Subyektif
1) Klien mengatakan nyeri saat berkemih
2) Sulit kencing
3) Frekuensi berkemih meningkat
4) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
5) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
6) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
7) Pancaran urin melemah
8) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
9) Kalau mau miksi harus menunggu lama
10) Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
11) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
12) Urin terus menetes setelah berkemih
13) Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
14) Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan

b. Data Obyektif
1) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
2) Terpasang kateter

Sesudah Operasi

a. Data Subyektif
1) Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
2) Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah
operas

b. Data Obyektif
1) Ekspresi tampak menahan nyeri
2) Ada luka post operasi tertutup balutan
3) Tampak lemah
4) Terpasang selang irigasi, kateter, infus
c. Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya
hidup, apakah masalah urinari yang dialami pasien

d. Pengkajian fisik
1) Inspeksi buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra
pubik (buli-buli penuh / kosong ).
2) Palpasi  buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik menimbulkan
rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa
massa yang kontraktil dan “Ballottement”.
3) Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
4) Colok dubur.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus
sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di
dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur
harus di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat
jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris  adakah nodul pada
prostat , apa batas atas dapat diraba. Dengan colok dubur besarnya
prostat dibedakan :
a) Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
b) Grade 2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
c) Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.

Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi


berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urine,
seperti bagan dibawah : 

Derajat Colok dubur Sisa vol. Urine

I Penonjolan prostat, batas atas       < 50 ml


mudah diraba   
II  Penonjolan prostat jelas, batas 50-100ml
atas dapat     dicapai   
III Batas atas prostat tidak bisa > 100 ml
diraba   
IV Retensi urine Total
e. Gangguan dalam berkemih seperti
1) Sering berkemih
2) Terbangun pada malam hari untuk berkemih
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
4) Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah
5) Rasa tidak puas sehabis miksi
6) Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
7) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah
berkemih.

f. Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik
g. Kaji status emosi : cemas, takut
h. Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
i. Kaji tanda vital
j. Kaji pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan radiografi
2) Urinalisa
3) Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urin
k. Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang
keadaan dan proses penyakit, pengobatan dan cara perawatan di
rumah.

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
2) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
proses bedah.
3) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan factor biologi
4) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih.

b. Post operasi
1) Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
3) Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d
kurangnya paparan informasi.
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi
5) Disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten dari
TURP

3. Rencana keperawatan

N Diagnosa
Tujuan Intervensi Keperawatan
o Keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Manajemen Nyeri
Definisi : Sensori asuhan keperawatan Definisi : perubahan atau
dan pengalaman selama ….x 24 jam, pengurangan nyeri ke tingkat
emosional yang tidak klien dapat: kenyamanan yang dapat
menyenangkan yang 1. Mengontol nyeri diterima pasien
timbul dari Definisi : tindaka Intervensi:
kerusakan jaringan n seseorang untuk -  Kaji secara menyeluruh
aktual atau potensial, mengontrol nyeri tentang nyeri, meliputi: lokasi,
muncul tiba-tiba atau     ndikator: karakteristik, waktu kejadian,
lambat dengan  Mengenal lama, frekuensi, kualitas,
intensitas ringan faktor-faktor intensitas/beratnya nyeri, dan
sampai berat dengan penyebab faktor-faktor pencetus
akhir yang bisa  Mengenal -  Observasi isyarat-isyarat non
diantisipasi atau onset/waktu verbal dari ketidaknyamanan,
diduga dan kejadian nyeri khususnya dalam
berlangsung kurang  tindakan ketidakmampuan untuk
dari 6 bulan. pertolongan komunikasi secara efektif
non-analgetik -  Berikan analgetik sesuai
Faktor yang  Menggunakan dengan anjuran
berhubungan : Agen analgetik -  Gunakan komunkasi
injuri (biologi,  melaporkan terapeutik agar klien dapat
kimia, fisik, gejala-gejala mengekspresikan nyeri
psikologis) kepada tim -  Kaji latar belakang budaya
kesehatan klien
Batasan karakteristik (dokter, -  Tentukan dampak dari
: perawat) ekspresi nyeri terhadap
-   Laporan secara  nyeri terkontrol kualitas hidup: pola tidur,
verbal atau non nafsu makan, aktifitas mood,
verbal adanya nyeri hubungan, pekerjaan,
-   Fakta dari  2.  Menunjukkan tanggungjawab peran
observasi tingkat nyeri -  Kaji pengalaman individu
-   Posisi untuk Definisi : tingkat terhadap nyeri,  keluarga
menghindari nyeri keparahan dari nyeri dengan nyeri kronis
-   Gerakan yang dilaporkan -  Evaluasi  tentang keefektifan
melindungi atau ditunjukan dari tindakan mengontrol
-   Tingkah laku nyeri yang telah digunakan
berhati-hati Indikator: -  Berikan dukungan terhadap
-  Muka topeng   Melaporkan klien dan keluarga
-  Gangguan tidur nyeri
(mata sayu, tampak  Frekuensi nyeri 2. Pemberian Analgetik
capek, sulit atau   Lamanya  Definisi : penggunaan agen
gerakan kacau, episode nyeri farmakologi  untuk  
menyeringai)   Ekspresi nyeri: mengurangi atau
-   wajah menghilangkan nyeri
  Posisi Intervensi:
melindungi -  Tentukan lokasi nyeri,
tubuh karakteristik, kualitas,dan
 Kegelisahan keparahan sebelum
pengobatan
  Perubahan
-  Berikan obat dengan prinsip
Respirasirate
5 benar
  Perubahan
-  Cek riwayat alergi obat
Heart Rate
-  Libatkan klien dalam
  Perubahan
pemilhan analgetik yang akan
tekanan Darah
digunakan
  Perubahan
-  Pilih analgetik secara tepat
ukuran Pupil
/kombinasi lebih dari satu
 Perspirasi analgetik jika telah diresepkan
  Kehilangan -  Tentukan pilihan analgetik
nafsu makan (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri
-  Monitor tanda-tanda vital,
sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
-  Monitor reaksi obat dan
efeksamping obat

3. Manajemen lingkungan :
kenyamanan
Definisi : memanipulasi
lingkungan untuk kepentingan
terapeutik
Intervensi :
- Pilihlah ruangan dengan
lingkungan yang tepat
- Batasi pengunjung

2 Cemas Setelah dilakukan . Menurunkan cemas


Definisi : Perasaan asuhan keperawatan Definisi : meminimalkan rasa
gelisah yang tak selama......x24 jam takut, cemas, merasa dalam
jelas dari pasien menunjukan bahaya atau ketidaknyamanan
ketidaknyamanan dapat : terhadap sumber yang tidak
atau ketakutan yang 1. Mengontrol diketahui
disertai respon cemas: Intervernsi:
autonom (sumner Definisi : Tindakan -  Tenangkan pasien
tidak spesifik atau seseorang untuk -  Jelaskan seluruh prosedurt
tidak diketahui oleh mengurangi tindakan kepada pasien dan
individu); perasaan perasaan perasaan yang mungkin muncul
keprihatinan tertekan/terbebani pada saat melakukan tindakan
disebabkan dari dan ketegangan dari - Berusaha memahami keadaan
antisipasi terhadap sumber yang tidak pasien
bahaya. Sinyal ini dapat diidentifikasi - Berikan informasi tentang
merupakan Indikator : diagnosa, prognosis dan tindakan
peringatan adanya -    Monitor -  Mendampingi pasien untuk
ancaman yang akan intensitas cemas mengurangi kecemasan dan
datang dan -    Meghilangkan meningkatkan kenyamanan
memungkinkan penyebab cemas - Dorong pasien untuk
individu untuk -    Menurunkan menyampaikan tentang isi
mengambil langkah stimulus lingkungan perasaannya
untuk menyetujui ketika cemas -  Kaji tingkat kecemasan
terhadap tindakan. -    Mencari -  Dengarkan dengan penuh
Batasan informasi untuk perhatian
karaktersistik : menurunkan cemas -  Ciptakan hubungan saling
Perilaku -    Gunakan strategi percaya
-      Produktivitas koping efektif -  Bantu pasien menjelaskan
berkurang -    Melaporkan keadaan yang bisa menimbulkan
-      Scanning dan kepada perawat kecemasan
kewaspadaan penurunan lama - Bantu pasien untuk
-      Kontak mata cemas mengungkapkan hal hal yang
yang buruk -    Menggunakan membuat cemas
-      Gelisah teknik relaksasi  - Ajarkan pasien teknik relaksasi
-      Pandangan untuk menurunkan - Berikan obat obat yang
sekilas cemas mengurangi cemas
-      Insomnia -    Mempertrahanka
-      Resah n hubungan sosial
Affektive -    Mempertahankan
-      Penyesalan konsentrasi
-      Irritable -    Melaporkan
-      Kesedihan yang kepada perawat
mendalam tidur cukup
-      Ketakutan -    Melaporkan
-      Gelisah, gugup kepada perawat
-      Mudah bahwa cemas tidak
tersinggung mempengatruhi
-      Rasa nyeri hebat keadaan fisik
dan menetap -    Tidak adanya
-      Ketidakberdaya tingkahlaku yang
an meningkat menunjukan cemas
-      Membingungka
n 2. Koping yang baik
-      Ketidaktentuan Definisi : Tindakan
-      Peningkatan untuk mengelola
kewaspadaan stressor yang
-      Fokus pada diri menggunakan
-      Perasaan tidak sumber individu
adekuat Indikator :
-      Ketakutan -    Mengenal koping
-      Distress efektif
-      Kekhawatiran, -    Mengenal koping
prihatin tak efektif
-      Cemas
3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Manajemen Nutrisi
nutrisi: kurang dari asuhan keperawatan Definisi : membantu dengan atau
kebutuhan tubuh selama …. X 24 jam menyediakan masukan diet
Definisi : Intake klien dapat seimbang dari makanan dan
nutrisi tidak cukup menunjukkan cairan
untuk keperluan 1. status Intervensi :
metabolisme tubuh nutrisi yang  baik, -          Catat jika klien memiliki
Batasan karakteristik Definisi : Nutrisi alergi makanan
: cukup untuk -          Catat makanan kesukaan
-          Berat memenuhi klien
badan ³ 20 % di kebutuhan -          Tentukan jumlah kalori
bawah ideal metabolisme tubuh dan tipe nutrien yang dibutuhkan
-          Dilaporkan     Indikator : -          Dorong asupan kalori
adanya intake -          Masukan -          Berikan gula tambahan
makanan yang nutrisi k/p
kurang dari RDA -          Masukan -          Tawarkan bumbu sebagai
(Recomended Daily makanan dan cairan pengganti garam
Allowance) -          Tingkat -          Berikan makanan tinggi
-          Membran energi cukup kalori, protein dan minuman yang
mukosa dan -          Berat badan mudah dikonsumsi
konjungtiva pucat stabil -          Berikan pilihan makanan
-          Kelemahan -          Nilai -          Sesuaikan diet dengan
otot yang digunakan laboratorium gaya hidup klien
untuk -          Ajarkan klien cara
menelan/mengunyah membuat catatan makanan
-          Luka,
peradangan pada 2.    Monitor nutrisi
rongga mulut Definisi : mengumpulkan dan
-          Mudah menganalisa data dari pasien
merasa kenyang, untuk mencegahatau
sesaat setelah meminimalkan malnutrisi.
mengunyah makanan Intervensi :
-          Dilaporkan -          Monitor tipe dan jumlah
atau fakta adanya nutrisi untuk aktivitas biasa
kekurangan makanan -          Monitor  respon emosi
-          Dilaporkan klien saat berada dalam situasi
adanya perubahan yang mengharuskan makan.
sensasi rasa -          Monitor interaksi anak
-          Pembuluh dengan orang tua selama makan.
darah kapiler mulai -          Monitor turgor kulit
rapuh -          Monitor kekeringan,
-          Diare dan rambut kusam dan mudah patah.
atau steatorrhea -          Monitor adanya bengkak
-          Kehilangan pada alat pengunyah, peningkatan
rambut yang cukup perdarahan, dll.
banyak (rontok) -          Monitor mual dan muntah
-          Suara usus
hiperaktif
Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan
atau mengabsorpsi
zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis,
psikologis atau
ekonomi.
4 Perubahan Pola Setelah dilakukan  1. Kaji haluaran urine dan system
eliminasi tindakan kateter/drainase, khususnya
keperawatan  selama selama irigasi kandung kemih
5-7 hari pasien tidak 2. Bantu pasien memilih posisi
mengalami normal untuk berkemih (berdiri,
inkontinensia berjalan ke kamar mandi) dengan
Kriteria = frekuensi sering setelah kateter
-         pasien dapat dilepas
buang air kecil 3. Perhatikan waktu, jumlah
teratur urine, ukuran aliran setelah
-         bebas dari kateter dilepas.
distensi kandung 4. Beri tindakan asupan oral
kemih 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi
5. Beri latihan perineal (Kegel
traning) 15-20 kali/jam selam 2-3
minggu anjurkan dan motivasi
pasien untuk melakukannya
6. Pertahankan irigasi kandung
kemih secara kontinou sesuai
indikasi pada periode
pascaoperasi dini.

4. Implementasi
Merupakan tahap keempat dari proses perawatan dimana rencana
keperawatan dilaksanakan, melaksanakan intervensi/ aktivitas yang telah
ditentukan (Doenges, Moorhous, & Burley, 2000).

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, yakni
proses yang dilakukan secara terus-menerus dan penting untuk menjamin
kualitas serta ketepatan perawatan yang diberikan dan dilakukan dengan
meninjau respon untuk menentukan keefektifan rencana keperawatan dalam
memenuhi kebutuhan pasien (Doenges, Moorhous, & Burley, 2000).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang


disebabkan   oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra. Hingga sekarang masih belum diketahui secara
pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT)
dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi
pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang, akan
terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan
usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

B. SARAN

          Sebagai tenaga kesehatan hendaknya memberikan suhan keperawatan


dengan semaksimal mungkin agar klien mendapatkan perawatan yang baik dan
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, M; Maas, M; Moorhead, S. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC).


Mosby: Philadelphia

Mansjoer, A, et all, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapis,


Jakarta

McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing Interventions Classification


(NIC). Mosby: Philadelphia

Nanda (2000), Nursing Diagnosis: Prinsip-Prinsip dan Clasification, 2001-2002,


Philadelphia, USA.

Smeltzer, S.C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
Vol 2,  EGC, Jakarta

Anonim. 2012. Diakses 5 Mei 2012


pada http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-BPH

Anonym. 2010. http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/10/asuhan-
keperawatan-benigna-prostat.html

Anda mungkin juga menyukai