Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

GUILLAIN BARRE SYNDROME

Dosen Pengampu :

Rida Darotin, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 2

1. Nathalia Dwi G 19010103


2. Mochammad Mashuri 20010085
3. Moh. Hoirul Anam 20010187
4. Muhammad Angger Wijaksono 20010090
5. Nabila Putri Miranti 20010094
6. Nabila Septia Diningrum 20010095
7. Ni Putu Natari Ayunda Oktavia 20010100
8. Nur Wahyu Yuliyana 20010105
9. Rejila Jepatrika Gumalindi 20010117
10. Robiatul Adawiah 20010120
11. Alfiana Miswatin Azizah 20010168
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER
2023

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
Keperaratan Kritis. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Kritis

Semoga Makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa keperawatan yang ingin


menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang Keperawatan Kritis dan mengharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan kita semua.
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit GBS dapat menyerang siapa saja, baik anak-anak, remaja, maupun orang
(dewasa, meskipun yang paling sering terkena penyakit ini adalah usia kerja. Sindrom ini
diyakini jarang terjadi pada orang-orang di seluruh dunia. Manfaluthy menjelaskan,
jumlah kasus GBS berkisar antara 0,6 hingga 1,9 per 100.000 penduduk. Ia juga
menjelaskan bahwa GBS dapat terjadi pada usia berapa pun dan kapan pun. Di Indonesia
sendiri, selama tahun 2010-2011, terdapat 48 kasus GBS yang dirawat di RSCM
(Krisnamurti, 2012). Biasanya penyakit ini menyerang sistem kekebalan tubuh
(autoimun) penderita, yang selanjutnya menyerang sel saraf tepi sehingga menyebabkan
beberapa organ yang terkena saraf tersebut tidak menerima atau merespon informasi dari
otak (Nurlaila & Nandiasa, 2011). . Kerusakan pada bagian saraf ini akan menyebabkan
kesemutan, kelemahan otot, dan kelumpuhan. Sindrom ini paling sering menyerang
selubung mielin, yang disebut demielinasi, yang menyebabkan sinyal saraf berjalan lebih
lambat. Sementara itu, kerusakan pada saraf lain dapat menghambat fungsi saraf tersebut
secara penuh (Bararah. 2011).
Pengobatan dan pemulihan GBS memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu
yang relatif lama. Pemulihan memerlukan waktu 3 hingga 6 bulan, terkadang lebih lama
dan dalam beberapa kasus hingga 18 bulan. Orang dengan kelemahan otot yang parah
mungkin perlu tinggal di rumah sakit rehabilitasi untuk melanjutkan terapi fisik dan
pekerjaan guna memulihkan fungsi motorik normal. Untuk 3 dari mereka tinggal di
rumah. Alat yang membantu beberapa aktivitas sehari-hari dapat digunakan hingga fungsi
motorik dan kekuatan otot kembali (Inawati, 2012). Penderita GBS yang dirawat di
rumah sakit dalam jangka waktu lama mungkin akan merasa jenuh, letih, dan stres jika
dihantui pikiran tidak bisa sembuh, lumpuh seumur hidup, atau kematian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Dari jantung Guillain Barre Syndrom?
2. Bagaimana Etiologi Guillain Barre Syndrom?
3. Bagaimana Klasifikasi Guillain Barre Syndrom?
4. Bagaimana Patofisiologi Guillain Barre Syndrom?
5. Bagaimanana Manifestasi Klinis Pada Penyakit Guillain Barre Syndrom?
6. Bagaimana Melakukan Pemeriksaan Diagnostic Pada Guillain Barre Syndrom
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep keseluruhan dari Guillain Barre
Syndrom dan bentuk asuhan keperawatan pada gangguan Guillain Barre Syndrom.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami Definisi Guillain Barre Syndrom
b. Mahasiswa mampu memahami Etiologi Guillain Barre Syndrom
c. Mahasiswa mampu memahami Klasifikasi Guillain Barre Syndrom
d. Mahasiswa mampu memahami Patofisiologi Guillain Barre Syndrom
e. Mahasiswa mampu memahami Manifestasi Klinis pada Penyakit Guillain Barre
Syndrom
f. Mahasiswa mampu memahami Pemeriksaan Diagnostik pada Guillain Barre
Syndrom
g. Mahasiswa mampu memahami Komplikasi yang Terjadi pada Penyakit Guillain
Barre Syndrom
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengankarekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnyaprogresif, Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat
simetris dan ascenden, yang biasanya terjadi 1-3 minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut.
a. SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya
demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.
b. SGB adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau
subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi
c. SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain:
1. Polineuritis akut pasca infeksi
2. Polineuritis akut toksik
3. Polineuritis febril
4. Poliradikulopati.dan Acute Ascending Paralysis

2.2 Etiologi
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan
merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini
merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah
penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini:
1. Infeksi virus: Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,
Human Immunodefficiency Virus (HIV).
2. Infeksi bakteri: Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
3. Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
4. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
2.3 Klarifikasi
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran
cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf
sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN) Berhubungan dengan infeksi saluran
cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a,
GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk
tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan
hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi sindrom ini belum dapat di jelaskan dengan jelas. Namun, salah
satu yang paling banyak di teliti adalah infeksi C. jejuni. Pada infeksi C. jejuni.
Antigen pada kapsul bakteri serupa dengan antigen ganglosida pada selubung mielin
saraf, sehingga tubuh membentuk antibodi yang tidak hanya menyerang pathogen ini,
namun Juga menyerang dan merusak selubung mielin saraf. Terjadi infiltrasi limfosit
dan fagositosis oleh magrofag. Rusaknya mielin menyebabkan hantaran saraf
terhambat atau tidak terjadi sama sekali sehingga terjadi paralisis. (Sukman tulus
putra dkk , 2014).

2.5 Manifestasi Klinis


a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat
timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai
28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
b. Gejala Klinis
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga
muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota
gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota
gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranial Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa
dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.
Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-
otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral,
sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa
dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV
atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa
sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis nervus laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya
keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin
jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu
atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada
10-33 persen penderita.
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus
dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang
lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal.
Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
2. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan
otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam
cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
3. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan
hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang
kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada
segmen proksimal dan radiks saraf. Disamping itu untuk mendukung diagnosis
pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit :
bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit
lebih lama dan tidak sembuh sempurna.
4. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 — 1,5 g/dl )
tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai
disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama
penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya
terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada
pasien akanmenunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).
5. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira
pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI MASALAH
Gejala dan tanda mayor Kelemahan progresif otot – Pola napas tidak efektif
Subjektif : otot pernapasan dan ancaman
 Dipsnea gagal napas

Objektif :
 Penggunaan otot
bantu pernapasan
 Fase ekspirasi
memanjang
 Pola napas abnormal

Gejala dan tanda minor


Subjektif :
 Ortopnea

Objektif
 Pernapasan pursed lip
 Pernapasan cuping
hidung
 Diameter thoraks
anterior posterior
meningkat
 Ventilasi semenit
menurun
 Kapasitas vital
menurun
 Tekanan ekspirasi
menurun
 Tekanan inspirasi
menurun
 Ekskursi dada berubah

Gejala dan tanda mayor Perubahan frekuensi irama Resiko penurunan curah
Subjektif : dan konduksi electrikel jantung
-

Objektif
-

Gejala dan tanda minor


Subjektif
_

Objektif
-

Gejala dan tanda mayor Asupan nutrisi tidak adekuat Deficit nutrisi
Subjektif :
-

Objektif
-

Gejala dan tanda minor


Subjektif
_

Objektif
-

Gejala dan tanda mayor Kerusakan neuromuskular Gangguan mobilitas fisik


Subjektif :
 Mengeluh sulit
menggerakkan
ekstermitas

Objektif
 Kekuatan otot
menurun
 Rentan gerak(ROM)
menurun

Gejala dan tanda minor


Subjektif
 Nyeri saat bergerak
 Enggan melakukan
peregrakan
 Merasa cemas saat
bergerak

Objektif
 Sendi kaku
 Gerakan tidak
terkoordinir
 Gerakan terbatas
 Fisik lemah
Gejala dan tanda mayor Perubahan kesehatan Ansietas
Subjektif :
 Merasa bingung
 Merasa khawatir
dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi
 Sulit berkonsentrasi

Objektif
 Tampak gelisah
 Tampak tegang
 Sulit tidur

Gejala dan tanda minor


Subjektif
 Mengeluh pusing
 Anoreksia
 Palpitasi
 Merasa tidak berdaya

Objektif
 Frekuensi napas
meningkat
 Frekuensi nadi
meningkat
 Tekanan darah
meningkat
 Diaphoresis
 Tremor
 Muka tampak pucat
 Suara bergetar
 Kontak mata buruk
 Sering berkemih
 Berorientasi pada
masa lalu

DIAGNOSA
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Perencanaan tindakan
keperawatan (SLKI) (SIKI)
1 Pola napas tidak Dalam waktu 3x24 jam setelah Manajemen jalan napas
efektif D.0005 yang diberikan tindakan pola napas l.01012
berhubungan dengan kembali efektif. Kriteria: secara 1. Kaji fungsi paru,
kelemahan progresif subjektif sesak napas (-), adanya bunyi napas
cepat otot otot frekuensi napas 16-20 tambahan, perubahan
pernapasan, dan L.01004 irama dan kedalaman,
ancaman gagal napas. Indicator SA ST penggunaan otot – otot
Dipsnea 2 4 aksesori.
Penggunaan 2 4 2. Evaluasi keluhan sesak
otot bantu napas, baik secara
napas verbal dan non verbal.
Ortopnea 2 4 3. Beri ventilasi mekanik.
Pernapasan 2 4 4. Lakukan pemeriksaan
purped-lip kapasitas vital
Pernapasan 2 4 pernapasan.
cuping 5. Kolaborasi: Pemberian
hidung humidifikasi oksigen
3 liter/menit.
2 Resiko tinggi Setelah dilakukan perawatan perawatan jantung
penurunan curah selama 2x24 jam, diharapkan l.02075
jantung D.0008 yang penurunan curah jantung 1. Auskultasi Tekanan
berhubungan dengan tidak terjadi .Dengan kriteria : darah. Bandingkan
perubahan frekuensi, Stabilitas hemodinamik baik kedua lengan, ukur
irama, dan konduksi (tekanan darah dalam batas dalam keadaan
elektrikel. normal, curah jantung kembali berbaring, duduk, atau
meningkat, input dan output berdiri bila
sesuai, tidak menunjukkan memungkinkan.
tanda-tanda disritmia) L.13112. 2. Evaluasi kualitas dan
Indicator SA ST kesamaan nadi.
Verbalisasi 2 4 3. Catat murmur.
keinginan 4. Pantau frekuensi
untuk jantung dan irama.
mendukung 5. Kolaborasi : Berikan
anggota O2 tambahan
keluarga sesuai indikasi.
yang sakit
Menanyakan 2 4
kondisi
pasien
Mencari 2 4
dukungan
social bagi
anggota
keluarga
yang sakirt
Mencari 2 4
dukungan
spiritual bagi
anggota
keluarga
yang sakit
Bekerja sama 2 4
dengan
anggota
keluarga
yang sakit
dalam
menentukan
perawatan
Bekerja sama 2 4
dengan
pemnyedia
pelayanan
kesehatan
daloam
menentukan
perawataan
Berpartisipasi 2 4
dalam
perencanaan
pulamng
3 Resiko deficit nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi
D.0032 akibat keperawatan selama 2x24 jam l.03119
perubahan kebutuhan diharapkan pemenuhan nutrisi 1. Kaji kemampuan klien
nutrisi: kurang dari klien terpenuhi. Dengan dalam pemenuhan
kebutuhan tubu yang kriteria : Tidak terjadi nutrisi oral.
berhubungan dengan komplikasi akibat penurunan 2. Monitor komplikasi
asupan yang tidak asupan nutrisi. akibat paralisis akibat
adekuat. Status nutrisi L.03030 insufisiensi aktivitas
indicator SA ST parasimpatis.
Kekuatan otot 2 4 3. Berikan nutrisi via
pengunyah selang ansogastrik.
Kekuatan otot 2 4 4. Berikan nutrisi via oral
menelan serum bila paralisis menelan
albumin berkurang.
Verbalisasi 2 4
keinginan untuk
meningkatkan
nutrisi
Pengetahuan 2 4
tentang pilihan
makanan dan
minuman yang
sehat
Pengetahuan 2 4
tentang standart
asupan nutrisi
yang tepat
Penyiapan dan 2 4
penyimpanan
minuman yang
aman
Sikap terhadap 2 4
makanan/minuma
n sesuai dengan
tujuan kesehatan
4 Gangguan mobilitas Dalam waktu 3x24 jam setelah Dukungan mobilisasi
fisik D.0054 Hambatan diberikan tindakan mobilitas l.05173
mobilitas fisik yang klien meningkat atau 1. Kaji tingkat
berhubungan dengan teradaptasi. Kriteria : kemampuan klien
kerusakan peningkatan kemampuan dan dalam melakukan
neuromuskular , tidak terjadi thrombosis vena mobilitas fisik.
penurunan kekuatan provunda dan emboli paru 2. Dekatkan alat dan
otot, dan penurunan merupakan ancaman klien sarana yang
kesadaran paralisis, yang tidak mampu dibutuhkan klien
menggerakkan ekstremitas. dalam pemenuhan
Dekubitus tidak terjadi aktvitas sehari – hari.
Mobilitas fisik L.05042 3. Hindari faktor yang
Indicator SA ST memungkinkan terjadi
Pergerakan 2 4 trauma pada saat klien
ekstermitas melakukan mobilisasi.
Kekuatan 2 4 4. Sokong ekstremitas
otot yang mengalami
Rentan 2 4 paralisis.
gerak 5. Monitor komplikasi
(ROM) hambatan mobilitas
fisik.
Nyeri 2 4 6. Kolaborasi dengan tim
Kecemasan 2 4 fisioterapis.
Kaku sendi 2
Gerakan 2 4
tidak
terkoordinasi
Gerakan 2 4
terbatas
Kelemahan 2 4
fisik
5 Ansietas D.0080 yang Setelah dilakukan tindakan Terapi relaksasi
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 jam, l.09326
ancaman, kondisi sakit diharapkan ansietas hilang dan 1. Bantu klien
dan perubahan berkurang. Dengan kriteria mengekspresikan
kesehatan. hasil : mengenal perasaannya, perasaan marah,
dapat mengidentifikas i kehilangan dan takut.
penyebab atau faktor yang 2. Kaji tanda verbal dan
memenuhinya dan menyatakan nonverbal ansietas,
ansietas berkurang/hilang damping klien dan
Tingkat ansietas L.09093 lakukan tindakan bila
Indicator SA ST menunjukan perilaku
Verbalisasi 2 4 merusak.
kebingunga 3. Hindari konfrontasi.
n 4. Mulai melakukan
Verbalisasi 2 4 tindakan untuk
khawatir mengurangi
akibat kecemasan. Beri
kondisi yang lingkungan yang
dihadapi tenang dan suasana
Perilaku 2 4 penuh istirahat.
gelisah 5. Tingkatkan control
Perilaku 2 4 sensasi klien.
tegang 6. Orientasi klien
Keluhn 2 4 terhadap prosedur
pusing rutin dan aktivitas
Anoreksia 2 4 yang diharapkan.
Palpitasi 2 4 7. Beri kesempatan pada
klien untung
mengungkapkan
ansietasnya
8. Berikan privasi untuk
klien dengan orang
terdekat
IMPLEMENTASI
NO DIAGNOSA IMPLEMENTASI
1 Pola Napas TidakEfektif 1. Mengkaji fungsi paru, adanya bunyi napas
D.0005 tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot – otot aksesori.
2. Mengevaluasi keluhan sesak napas, baik
secara verbal dan non verbal.
3. Memberikan ventilasi mekanik.
4. melakukan pemeriksaan kapasitas vital
pernapasan.
mengkolaborasi: Pemberian humidifikasi oksigen
3 liter/menit.
2 Resiko Tinggi Penurunan 1. Mengauskultasi Tekanan darah. Bandingkan
Curah Jantung kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring,
D.0008 duduk, atau berdiri bila memungkinkan.
2. Mengevaluasi kualitas dan kesamaan nadi.
3. Mencatat murmur.
4. Memantantau frekuensi jantung dan irama.
Mengkolaborasikan : Berikan O2 tambahan sesuai
indikasi.
3 Resiko Defisit Nutrisi 1. Mengkaji kemampuan klien dalam
D. 0032 pemenuhan nutrisi oral.
2. Memonitor komplikasi akibat paralisis akibat
insufisiensi aktivitas parasimpatis.
3. Memberikan nutrisi via selang ansogastrik.
4. Memberikan nutrisi via oral bila paralisis
menelan berkurang.
4 Gangguan Mobilitas 1. Mengkaji tingkat kemampuan klien dalam
D.0054 melakukan mobilitas fisik.
2. Mendekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan
klien dalam pemenuhan aktvitas sehari – hari.
3. Menghindari faktor yang memungkinkan
terjadi trauma pada saat klien melakukan
mobilisasi.
4. Menyokong ekstremitas yang mengalami
paralisis.
5. Memoonitor komplikasi hambatan mobilitas
fisik.
6. Mengkolaborasikan dengan tim fisioterapis.
5 Ansietas 1. Membantu klien mengekspresikan perasaan
D.0080 marah, kehilangan dan takut.
2. Mengkaji tanda verbal dan nonverbal ansietas,
damping klien dan lakukan tindakan bila
menunjukan perilaku merusak.
3. Menghindari konfrontasi.
4. Memulai melakukan tindakan untuk
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang
tenang dan suasana penuh istirahat.
5. Meningkatkan control sensasi klien.
6. Mengorientasikan klien terhadap prosedur
rutin dan aktivitas yang diharapkan.
7. Memberi kesempatan pada klien untung
mengungkapkan ansietasnya
8. memberikan privasi untuk klien dengan orang
terdekat

EVALUASI

No Diagnosa Evaluasi

1. Pola napas tidak efektif D.0005 S : Pasien mengatakan sesak berkurang


O : Pola napas tampak teratur
Tidak menggunakan otot bantu pernapasan
Tidak ada cuping hidung
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan

2. Resiko penurunan curah S : Pasien mengatakan sesak berkurang


jantung D.0008 O : Irama napas tampak teratur
Frekuensi jantung normal
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

3. Resiko deficit nutrisi D.0032 S : Pasien mengatakan nafsu makannya kembali


normal
O : Tampak pasien makan habis 1 porsi
Terpasang infus
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

4. Gangguan mobilitas fisik S : Pasien mengatakan sudah bisa menggerakkan


D.0054 tangan dan kaki kanannya, begitu pula tangan dan
kaki kirinya. Juga sudah cukup kuat menahan beban.
O : Pasien tampak mampu menggerakkan ekstremitas
kanan dan kiri secara perlahan, kekuatan otot 4 pada
ekstremitas kanan dan 5 pada ektremitas kiri, kondisi
fisik pasien baik
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi

5. Ansietas D.0080 S : Pasien mengatakan sekarang sudah mengerti dan


paham tentang ansietas dan mengetahui bagaimana
cara mengatasi ansietas
O : Pasien tampak bisa melakukan teknik relaksasi
Pasien sudah lebih tenang
Pasien sudah mulai terbuka
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi klinis berupa
kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko komplikasi
pencernaan.
Masalah utama yang biasanya muncul adalah tangan kesemutan dan kaki tidak dapat
digerakkan yang memerlukan penatalaksanaan khususnya latihan rentang gerak pasif
untuk menghindari atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, dan mencegah kontraktur.
Tindakan perlu dilakukan secara rutin dan kontinu, mengingat GBS memerlukan waktu
yang lama dalam penyembuhannya.

4.2 SARAN
1. Keilmuan
Kelumpuhan pada penderita GBS memerlukan penatalaksanaaan yang baik untuk
mencegah komplikasi dan meningkatkan prognosa, salah satunya latihan gerak pasif.
Perlu adanya penelitian tentang efektivitas latihan gerak pada GBS.
2. Perawat
Perawat hendaknya senantiasa mengembangkan diri dan menambah pengetahuan
dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan GBS terutama
tentang perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya. Penderita GBS memerlukan
perawatan yang baik untuk meningkatkan kesembuhan dan mencegah komplikasi.
Kelumpuhan pada GBS memerlukan latihan gerak pasif yang sebaiknya dilakukan
sesuai batas toleransi klien untuk mencegah kontraktur dan paralisis lebih lanjut.
Keterlibatan keluarga dalam intervensi hendaknya ditingkatkan sehingga tujuan yang
ingin dicapai klien juga ikut benar-benar berperan dan berusaha mencapai tujuan yang
direncanakan.
3. Klien dan keluarga
Klien dan keluarga hendaknya berpartisipasi aktif dalam pemberian intervensi yang
direncanakan sebagai upaya penyembuhan serta bekerjasama mematuhi terapi yang
diberikan. Semangat klien untuk sembuh akan membantu keberhasilan intervensi.
DAFTAR PUSTAKA

GuillainBarréSyndrome.Availablefrom:http://www.medicinenet.com/
guillainbarre_syndrome/article.htm.

Overview of Guillain-Barre Syndrome. http://www.mayoclinic.com/health/guillain- barre-


syndrome /DS00413/DSECTION.

Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus abdominalis Unit Neurologi
RS Husada Jakarta. Available from URL
http://www.kalbe.co.id/files/edk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/
14SindromGuillainB arre93.html.

Newswanger Guillain-Barre Dana L., Warren http://www.americanfamilyphysician.com


Charles R. Syndrome,

Japardi I. Sindroma Guillan-Barre, FK USU Bagian Bedah. Available from: URL:


http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi-46.pdf.

Mardjono Mahar, Sidharta Priguna, Sindroma Guillain-Barre: Neurologi Klinis Dasar,


Cetakan ke 8. Dian Rakyat. Jakarta, 2000

Anda mungkin juga menyukai