Anda di halaman 1dari 28

TINJAUAN PUSTAKA

“Guillain-Barre Syndrome”

OLEH :
Ketut Angga Aditya Putra Pramana
H1A015034

PEMBIMBING :
dr. Ilsa Hunaifi, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2020

1
KATA
PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka ini tepat pada waktunya.
Tinjauan pustaka dengan judul “Sindrom Guillain-Barre” disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD
Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan dan
dukungan kepada penulis.
1. dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S selaku pembimbing dan Koordinator
Pendidikan SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUDP NTB
2. dr. Ester Sampe, Sp.S selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUDP NTB
3. dr.Wayan Subagiartha, Sp.S, selaku Supervisor
4. dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed,Sp.N selaku Supervisor
5. dr. Muhammad Ghalvan, Sp.N selaku Supervisor
6. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tinjauan ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk perbaikan karya tulis ini. Semoga tinjauan pustaka ini
dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis
dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter.
Terima kasih.
Mataram, April 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun pada sistem
saraf perifer yang sering didahului oleh adanya proses infeksi akut dan
merupakan penyebab tersering kasus paralisis flaksid akut.1,2 Guillain-Barre
Syndrome biasanya didahului oleh infeksi atau stimulasi imun lainnya yang
menginduksi respons autoimun menyimpang yang menargetkan saraf tepi dan
radiks spinalis.7 Kasus terbanyak disebabkan oleh proses autoimun, dimana
proses mimikri molecular antara antigen mikroba penyebab infeksi dengan saraf
merupakan pendorong utama untuk terjadinya perkembangan gangguan.7
Penyebab infeksi terbanyak yang sudah teridentifikasi adalah Campylobacter
jejuni, Cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, Mycoplasma pneumonia, dan
Haemophilus influenza.4,5
GBS merupakan neuropati demielinasi yang paling sering terjadi, dengan
angka insidensi 1-2 per 100000 penduduk per-tahunnya. Insidensi penyakit ini
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dari 1 per 100000 penduduk pada
usia dibawah 30 tahun hingga sekitar 4 per 100000 penduduk pada usia diatas 75
tahun, namun penyakit ini dapat terjadi pada segala usia. Laki-laki memiliki risiko
1,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan untuk mengalami
penyakit ini.1,2,4
GBS dikarakteristikan dengan kelemahan ascending yang berkembang
dengan cepat, kehilangan sensorik ringan dan hypo- atau arefleksia.2,4
Perkembangan penyakit bisa cepat, dan sebagian besar pasien dengan GBS
mengalami disabilitas maksimal dalam waktu 2 minggu. Acute Inflammatory
Demyelinating Polineuropathy (AIDP) merupakan bentuk GBS yang paling
sering dengan system imun yang menyerang selubung myelin system saraf perifer
dengan beberapa kerusakan akson saraf.4,8 Dalam tinjauan pustaka ini, penulis
akan membahas mengenai GBS lebih mendalam.

3
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Guillain-Barre Syndrome ?


2. Bagaimana epidemiologi dari Guillain-Barre Syndrome ?
3. Apa saja etiologi dari Guillain-Barre Syndrome ?
4. Bagaimana pathogenesis dari Guillain-Barre Syndrome ?
5. Apa saja sub-tipe dan manifestasi klinis dari Guillain-Barre Syndrome ?
6. Bagaimana hubungan infeksi dengue dengan AIDP ?
7. Bagaimana diagnosis dari Guillain-Barre Syndrome ?
8. Bagaimana tatalaksana dari Guillain-Barre Syndrome ?
9. Apa saja komplikasi dan bagaimana prognosis dari Guillain-Barre
Syndrome ?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan meliputi

1. Untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis, sub-tipe dan


manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari
Guillain-Barre Syndrome.
2. Untuk menambah pengetahuan mengenai Guillain-Barre Syndrome bagi
penulis dan pembaca.
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan meliputi
1. Agar dokter muda mampu mengenali dan memahami Guillain-Barre
Syndrome dengan tepat.
2. Agar dokter muda mampu menegakkan diagnosis dan melakukan
penatalaksanaan awal pada kasus Guillain-Barre Syndrome.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun pada sistem saraf
perifer yang sering didahului oleh adanya proses infeksi akut dan merupakan
penyebab tersering kasus paralisis flaksid akut. Saraf perifer menyampaikan
informasi sensorik (mis., rasa sakit, sensasi suhu) dari tubuh ke otak dan sinyal
motorik (yaitu, gerakan) dari otak ke tubuh.1,2 GBS merupakan sindrom yang
bermanifestasi sebagai inflamasi akut poliradikuloneuropati yang menyebabkan
terjadinya kelemahan dan penurunan refleks.3 GBS ditandai dengan kelemahan,
mati rasa atau sensasi kesemutan, dan hipo- atau arefleksia pada kaki yang
menyebar ke lengan dan otot kranial, meskipun presentasi klinis penyakit ini
heterogen dan ada beberapa varian klinis yang berbeda.1,2,4

2.2 Epidemiologi

GBS merupakan neuropati demielinasi yang paling sering terjadi, dengan


angka insidensi 1-2 per 100000 penduduk per-tahunnya.2,5 Insidensi penyakit ini
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dari 1 per 100000 penduduk pada
usia dibawah 30 tahun hingga sekitar 4 per 100000 penduduk pada usia diatas 75
tahun, namun penyakit ini dapat terjadi pada segala usia.1,5 Laki-laki memiliki
risiko 1,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan untuk
mengalami penyakit ini.1

Insidensi terjadiya GBS di Eropa sekitar 1,2-1,9 kasus per 100000 penduduk
per-tahunnya, di Amerika Serikat sekitar 1,65-1,79 kasus per 100000 penduduk
per-tahun, dan di China 0.66 kasus per 100000 penduduknya. Sekitar dua pertiga
dari kasus GBS memiliki infeksi di masa lampau dalam waktu tiga hingga enam

5
minggu sebelum timbulnya gejala, umumnya infeksi saluran pernapasan atas atau
gastroenteritis.1,6 Laporan dari beberapa wilayah geografis telah diterbitkan dalam
5 tahun terakhir yang menunjukkan bahwa insidensi bisa lebih tinggi di beberapa
daerah, yang mungkin terkait dengan tingkat paparan yang lebih tinggi terhadap
organisme yang menular. Beberapa wabah Guillain-Barre Syndrome telah
dilaporkan, paling baru terkait dengan infeksi Campylobacter jejuni.7

2.3 Etiologi

Sindrom Guillain-Barré biasanya didahului oleh infeksi atau stimulasi imun


lainnya yang menginduksi respons autoimun menyimpang yang menargetkan
saraf perifer dan radiks spinalis. Mimikri molekuler antara antigen mikroba dan
saraf merupakan kekuatan pendorong utama di balik perkembangan gangguan ini,
terutama dalam kasus infeksi Campylobacter jejuni. Namun, interaksi antara
mikroba dan faktor host yang menentukan jika dan bagaimana respon imun
mengarah ke autoreaktivitas yang tidak diinginkan masih belum dipahami. 7
Sekitar dua pertiga dari kasus GBS memiliki infeksi di masa lampau dalam waktu
tiga hingga enam minggu sebelum timbulnya gejala, umumnya infeksi saluran
pernapasan atas atau gastroenteritis.1,6 Banyak infeksi di masa lampau yang
berbeda telah diidentifikasi pada pasien dengan gangguan ini, tetapi hanya
beberapa mikroorganisme yang memiliki hubungan dengan gangguan ini
ditunjukkan dalam studi case-control. C jejuni adalah infeksi utama, ditemukan
pada 25-50% pasien dewasa, dengan frekuensi yang lebih tinggi di negara-negara
Asia. Infeksi lain yang terkait dengan Guillain-Barre Syndrome adalah
Cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr Virus, Influenza A Virus, Mycoplasma
pneumoniae, dan Haemophilus influenzae.5,7 Organisme infeksius, seperti C.
jejuni, mengekspresikan lipooligosaccharides di dinding bakteri yang mirip
dengan gangliosides. Mimikri molekuler ini menciptakan antibodi antiganglioside
yang menyerang saraf. Antibodi spesifik yang dirangsang dan daerah targetnya di
saraf dapat menjelaskan berbagai subtipe GBS. 6 Kasus Guillain-Barré Syndrome

6
juga telah dilaporkan tidak lama setelah vaksinasi dengan vaksin rabies, berbagai
jenis vaksin virus influenza A, vaksin polio oral, vaksin dipteri-tetanus, dan
vaksin hepatitis. Secara umum, tidak ada kontraindikasi untuk vaksinasi pasien
yang sebelumnya mengalami Guillain-Barre Syndrome, kecuali untuk pasien
yang memiliki gangguan dalam 3 bulan terakhir atau mengalami Guillain-Barre
Syndrome yang terkait dengan vaksinasi.7

2.4 Patogenesis

GBS adalah penyakit pasca infeksi, yang dimediasi system kekebalan tubuh.
Mekanisme imun seluler dan humoral mungkin berperan dalam
perkembangannya. Sebagian besar pasien melaporkan mengalami penyakit
menular pada minggu-minggu sebelum timbulnya GBS. Banyak agen infeksi
yang diidentifikasi diduga menginduksi produksi antibodi terhadap gangliosida
dan glikolipid spesifik, seperti GM1 dan GD1b, didistribusikan ke seluruh myelin
di sistem saraf tepi. Sebagian besar patogen yang diketahui menyebabkan GBS
masuk ke tubuh melalui mukosa atau epitel usus. Respon imun bawaan
menyebabkan penyerapan patogen oleh immature antigen presenting cells (APC).
Setelah migrasi ke kelenjar getah bening, APC yang matur dan berdiferensiasi
dapat mempresentasikan peptida dalam molekul MHC kelas II dan mengaktifkan
sel T CD4 yang mengenali antigen dari patogen infeksius. Sel B juga dapat
diaktifkan oleh sel Th2 yang baru saja diaktifkan. Ini menyebabkan respons
humoral yang diperantarai sel terhadap pathogen. Dalam kasus infeksi C. jejuni,
antibodi diproduksi, yang mengarah ke aktivasi sistem komplemen, dan terjadi
fagositosis bakteri. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi yang
diproduksi terhadap antigen C. jejuni tertentu juga akan berikatan dengan
gangliosida jaringan saraf, menyebabkan aktivasi komplemen dan kerusakan oleh
fagosit. Hal ini menyebabkan kerusakan pada jaringan saraf tepi, yang mengarah
pada demielinasi dan kerusakan aksonal. Mekanisme yang paling umum untuk
menjelaskan perkembangan penyakit autoimun adalah mimikri molekuler.

7
Mimikri molekuler mengacu pada situasi di mana patogen dan inang berbagi
antigen yang hampir identik, yang menginduksi respon imun antibodi dan sel T
yang reaktif silang.1

Meskipun GBS dianggap penyakit autoimun, patogenesis molekuler yang


tepat dari GBS dan variannya masih belum pasti. Data pada dasarnya
mengimplikasikan setiap komponen dari sistem imun seluler dan humoral. GBS
adalah penyakit autoimun yang kompleks terutama saraf perifer proksimal dan
radiks saraf yang dimediasi dalam Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) oleh infiltrasi sel mononuklear limfositik dan
demielinisasi segmental yang intens terkait makrofag. Banyak bukti patogenesis
penyakit berasal dari neuritis alergi eksperimental dan disebabkan oleh kombinasi
autoimunitas seluler-T pada protein mielin dan antibodi terhadap mielin
glikolipid. Antibodi terhadap glikolipid mielin merupakan indikasi autoimunitas
humoral dalam varian GBS. Deposisi komplemen yang dimediasi antibodi pada
sel schwann abaxonal plasmalemma tetapi tidak pada selubung mielin
menyebabkan degenerasi dan retraksi mielin. Makrofag kemudian direkrut untuk
menanggalkan lamella mielin.4

8
Gambar 1. Subtipe GBS Mayor dimana jalur efektor yang dimediasi-antibodi,
termasuk aktivasi komplemen, menyebabkan cedera membran glial atau aksonal
dengan akibat kegagalan konduksi.
Tidak seperti AIDP, Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) ditandai oleh
kurangnya infiltrasi limfositik pada radiks saraf dorsal, ganglia radiks dorsal dan
saraf sensorik perifer. Dua perubahan awal adalah pemanjangan nodus ranvier
diikuti oleh perekrutan makrofag ke wilayah nodal. Pemanjangan nodal bersifat
reversibel dan mengakibatkan gangguan transmisi impuls listrik karena tidak
adanya kanal natrium seperti pada neuropati blok konduksi akut. Selanjutnya,
aktivasi komplemen menyebabkan rekrutmen makrofag. Makrofag mendistorsi
akson paranodal dan selubung mielin, memisahkan mielin dari axolemma. Atau,
akson motorik dapat mengalami degenerasi seperti Wallerian pada kasus yang
parah, menjelaskan pemulihan yang tertunda pada beberapa kasus AMAN.
Mimikri molekuler dianggap sebagai mekanisme patogenetik AMAN berdasarkan
hubungan kuat dengan infeksi C. jejuni. Kapsul lipopolysaccharide dari C. jejuni
berbagi epitop dengan GM1 dan GD1a yang menghasilkan antibodi reaksi silang.

9
GM1 ditemukan dalam konsentrasi tinggi di nodus ranvier, di mana pengikatan
antibodi akan mengganggu fungsi saraf. Acute Motor and Sensory Axonal
Neuropathy (AMSAN) memiliki banyak kesamaan dengan AMAN meskipun
serangan di AMSAN lebih parah atau lebih lama yang menghasilkan degenerasi
Wallerian pada akson sensorik dan akson motorik. Selain AMAN dan AMSAN,
mimikri molekuler adalah mekanisme yang paling masuk akal di Miller Fisher
Syndrome (MFS) di mana 90% kasus memiliki antibodi terhadap GQ1b.4

2.5 Sub-tipe dan Manifestasi Klinis Guillain-Barre Syndrome

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)


AIDP adalah bentuk paling umum dari GBS. Varian GBS ini
merupakan bentuk yang paling sering dijumpai di Eropa dan Amerika
Utara, dengan proporsi mencapai 90%. Dalam AIDP, sistem kekebalan
menargetkan selubung myelin saraf perifer.5,8 Perkembangan AIDP terlihat
terutama pada saraf kranial dan sensorik dibandingkan dengan saraf
motorik. Respon imun yang ditimbulkan dalam AIDP difokuskan pada sel
Schwann atau selubung mielin. Kerusakan pada sel myelin atau Schwann
menyebabkan demielinisasi, yang merupakan karakteristik dari AIDP.1 Ini
terjadi karena infiltrasi limfositik selubung mielin dan kerusakan pada
komponen membran sel Schwann, tidak seperti AMAN dan AMSAN
yang memiliki kerusakan pada axolemma. Glikoprotein dan glikolipid
dalam selubung mielin rusak akibat respons imun humoral pada AIDP. Ini
menyebabkan kerusakan segmental selubung mielin dan kelainan
konduksi saraf berikutnya.10 Fitur patologis yang ditemukan pada AIDP
adalah demyelinasi perifer multifocal dan remyelinasi yang lambat. Gejala
utamanya adalah kelemahan motoric asendens, kehilangan sensoris
asendens, hipo atau arefleksia.5,6

10
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) / Acute Motor and Sensory
Axonal Neuropathy (AMSAN)
Tipe aksonal, atau dikenal juga sebagai acute motor axonal
neuropathy (AMAN), memiliki target akson pada sel saraf motorik.
Kondisi ini disebut acute motor and sensory axonal neuropathy
(AMSAN) jika melibatkan saraf sensorik maupun motorik. Tipe aksonal
adalah bentuk yang sering dijumpai 30-47% kasus di Asia Timur dan
Amerika Selatan.5,9 Bentuk-bentuk GBS ini memiliki onset dan keparahan
yang lebih cepat, sering menyebabkan kegagalan pernapasan
neuromuskuler dan ketergantungan ventilator dan keterlibatan saraf
kranial. AMAN adalah varian autoimun di mana antigen ganglioside
dalam membran akson itu sendiri ditargetkan oleh makrofag yang
menghasilkan degenerasi akson seperti degenerasi wallerian. Makrofag
memotong selubung mielin dan menyerang axolemma tempat gangliosida
berada. Baik AMAN maupun AMSAN dikaitkan dengan infeksi C. jejuni
sebelumnya dan memiliki manifestasi klinis yang lebih parah dan cepat
daripada AIDP. Mereka sering mengalami puncak kelemahan dalam
beberapa hari bersamaan dengan gagal napas dini. Dalam AMAN (dan
AMSAN), gangliosida GM1, GM1b, GD1a, dan GalNAc-GD1a
ditargetkan oleh fagositosis yang dimediasi oleh antibodi sebagai hasil
dari epitop bersama dengan C. jejuni. AMSAN berbeda dari AMAN
dalam beberapa hal, yaitu hadir dengan perjalanan yang lebih lama dan
lebih parah, baik akson sensorik dan motorik rusak, dan antibodi GalNAc-
GD1a biasanya tidak ada.10 Pada AMAN hanya muncul gejala motoric dan
reflex tendon masih dapat dipertahankan, sedangkan pada AMSAN
mempunyai manifestasi yang mirip dengan AMAN, namun cenderung
dominan pada keterlibatan sensoris.6
3. Miller Fisher Syndrome (MFS)

11
MFS adalah varian yang jarang dari GBS, dan diamati pada sekitar 5%
dari semua kasus GBS. Sindrom ini terdiri dari ataksia, bilateral
ophthalmoplegia (masalah mengendalikan pergerakan mata), dan areflexia
(kehilangan refleks neurologis). Ataksia terutama terlihat selama gaya
berjalan dan di trunkal, dengan keterlibatan anggota gerak yang lebih
sedikit. Antibodi anti-GQ1b yang dipicu oleh strain C. jejuni tertentu
memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang relatif tinggi untuk penyakit ini.
Konsentrasi padat gangliosida GQ1b ditemukan di saraf oculomotor,
trochlear, dan abducens, yang dapat menjelaskan hubungan antara
antibodi anti-GQ1b dan ophthalmoplegia pada MFS.1,5,6,10
2.6 Hubungan infeksi Dengue Fever dengan AIDP
Dengue fever (demam dengue) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue, termasuk dalam genus Flavivirus dan family Flaviviridae.
Virus dengue mempunyai 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Keempat serotipe tersebut ada di wilayah Indonesia dengan DEN-3 merupakan
serotipe terbanyak.12 Manifestasi komplikasi neurologi pada demam dengue
sangat jarang terjadi, dilaporkan sekitar 0,5-6% kasus. Penelitian yang dilakukan
Verma et al. menyebutkan bahwa, dari 26 pasien yang diobservasi hanya 1 pasien
yang mengalami komplikasi Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
(AIDP).13,14 Mekanisme terjadinya komplikasi AIDP pada infeksi virus dengue
masih belum diketahui secara pasti, namun terdapat bukti bahwa ini merupakan
penyakit neurologis yang disebabkan oleh sistem imun. Mediator pro-inflamasi
yang berperan dalam respon imun terhadap infeksi virus dengue seperti tumor
necrosis factor-a, komplemen, dan interleukin juga mempunyai peranan yang
penting dalam pathogenesis GBS.15 Reaksi autoimun terhadap self-antigen juga
merupakan sebuah hipotesis terkait kondisi ini. Proses mimikri molecular pada
antigen mikroba menyebabkan terbentuknya antibodi reaksi silang terhadap
selubung mielin dan sel schwan sehingga terjadi demielinasi yang merupakan
karakteristik dari AIDP.1,4,16

12
2.7 Diagnosis Guillain-Barre Syndrome
 Step 1 : Kecurigaan yang mengarah ke Guillain-Barre Syndrome
o Manifestasi klinis tipikal
GBS harus dipertimbangkan sebagai diagnosis pada pasien yang
memiliki kelemahan bilateral progresif cepat pada tungkai dan / atau
lengan, dengan tidak adanya keterlibatan SSP atau penyebab jelas lainnya.
Pasien dengan GBS sensorimotor klasik muncul manifestasi paraesthesias
distal atau kehilangan sensoris, disertai atau diikuti oleh kelemahan yang
dimulai pada kaki dan berlanjut ke lengan dan otot kranial. Refleks
menurun atau tidak ada pada sebagian besar pasien saat serangan dan di
hampir semua pasien saat puncak serangan. Disautonomia sering terjadi
dan dapat mencakup ketidakstabilan tekanan darah atau detak jantung,
disfungsi pupil, dan disfungsi usus atau kandung kemih. Onset penyakit
akut atau subakut, dan pasien biasanya mencapai kecacatan maksimum
dalam 2 minggu.2
o Manifestasi klinis atipikal
GBS juga dapat hadir dengan manifestasi klinis atipikal. Kelemahan
dan tanda-tanda sensorik, meskipun selalu bilateral, dapat asimetris atau
sebagian besar proksimal atau distal, dan dapat mulai di kaki, lengan atau
secara bersamaan di semua anggota badan. Anak-anak muda (<6 tahun)
khususnya dapat muncul gambaran klinis yang tidak spesifik atau atipikal,
seperti nyeri yang terlokalisasi dengan buruk, mudah marah,
meningismus, atau gaya berjalan yang tidak stabil. Kegagalan untuk
mengenali tanda-tanda ini sebagai presentasi awal GBS dapat
menyebabkan keterlambatan diagnosis.2
o Variasi gejala

13
Beberapa pasien memiliki varian klinis yang berbeda dan persisten
dari GBS yang tidak berkembang menjadi pola classic sensorimotor.
Varian ini meliputi: kelemahan tanpa tanda-tanda sensorik (pure motor
variant); kelemahan terbatas pada saraf kranial (bilateral facial palsy with
paraesthesias), ekstremitas atas (pharyngeal-cervical-brachial weakness)
atau ekstremitas bawah (paraparetic variant); dan Miller Fisher
Syndrome (MFS), yang dalam manifestasi lengkapnya terdiri dari
oftalmoplegia, areflexia, dan ataksia.2

Gambar 2. Pola gejala pada varian Guillain-Barre Syndrome


o Peristiwa masa lampau
Sekitar dua pertiga pasien yang mengalami GBS melaporkan gejala
infeksi dalam 6 minggu sebelum timbulnya gejala yang mengarah ke
GBS. Infeksi ini diduga memicu respons imun yang menyebabkan GBS.
Secara umum, tidak adanya penyakit sebelumnya tidak dapat
menyingkirkan diagnosis GBS, karena infeksi atau rangsangan imunologis
lainnya dapat bersifat subklinis.2

14
Gambar 3. Manifestasi klinis yang mengarah ke kecurigaan Guillain-Barre
Syndrome

 Step 2 : Bagaimana mendiagnosis Guillain-Barre Syndrome


Kriteria diagnosis
Dengan tidak adanya biomarker penyakit yang cukup sensitif dan
spesifik, diagnosis GBS didasarkan pada riwayat klinis dan pemeriksaan
klinis, dan didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan CSF
dan studi elektrodiagnostik. Dua kriteria diagnostik yang paling umum
digunakan untuk GBS dikembangkan oleh National Institute of Neurological
Disorders and Stroke (NINDS) pada 1978 (direvisi pada 1990) dan Brighton
Collaboration pada tahun 2011. Penulis menganggap kriteria NINDS lebih
cocok untuk dokter karena mereka menyajikan fitur klinis bentuk khas dan
atipikal dari GBS, meskipun kriteria dari Brighton Collaboration juga
penting, banyak digunakan, dan dapat membantu dokter untuk
mengklasifikasikan kasus GBS atau MFS sesuai dengan kepastian diagnostik.2

Kriteria Diagnosis GBS berdasarkan National Institute of Neurological


Disorders and Stroke (NINDS)2,7
Fitur yang diperlukan untuk diagnosis
 Kelemahan bilateral progresif lengan dan kaki (awalnya hanya kaki
yang terlibat).
 Refleks tendon yang tidak ada atau menurun pada anggota tubuh yang
terkena (pada titik tertentu dalam perjalanan klinis).
Fitur yang sangat mendukung diagnosis

15
 Fase progresif berlangsung dalam hitungan hari hingga 4 minggu
(biasanya <2 minggu).
 Gejala dan tanda relatif simetris.
 Gejala dan tanda sensorik yang relatif ringan (tidak ada pada varian
motorik murni).
 Keterlibatan saraf kranial, terutama kelumpuhan wajah bilateral.
 Disfungsi autonom.
 Nyeri otot atau punggung atau tungkai.
 Peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinal (CSF); kadar
protein normal tidak mengesampingkan diagnosis.
 Gambaran elektrodiagnostik neuropati motorik atau sensorimotor
(elektrofisiologi normal pada tahap awal tidak mengesampingkan
diagnosis)
Fitur yang meragukan diagnosis
 Peningkatan jumlah sel mononuklear atau polimorfonuklear di CSF (>
50 × 106 / l).
 Kelemahan asimetri yang persisten dan jelas.
 Disfungsi kandung kemih atau usus saat onset atau persisten selama
perjalanan penyakit.
 Disfungsi pernapasan berat dengan kelemahan anggota gerak terbatas
saat onset.
 Tanda sensoris dengan kelemahan terbatas saat onset.
 Demam saat onset
 Puncaknya <24 jam
 Level sensorik yang tajam mengindikasikan cedera sumsum tulang
belakang.
 Hyperreflexia atau clonus.
 Nyeri abdomen

16
 Progresi yang lambat dengan kelemahan terbatas tanpa keterlibatan
pernapasan.
 Progresi berlanjut selama> 4 minggu setelah dimulainya gejala.
 Gangguan kesadaran.

Diagnosis GBS adalah kombinasi dari temuan klinis dan laboratorium;


satu instrumen khusus yang digunakan dalam evaluasi diagnostik GBS adalah
Brighton Score yang dirilis oleh Brighton Working Group. Brighton Score
yang inovatif ini juga menjelaskan tingkat kepastian diagnostik berdasarkan
temuan yang ada pada pemeriksaan klinis dan tambahan, mulai dari tingkat 1
(tingkat kepastian diagnostik tertinggi) hingga tingkat 4 (dilaporkan sebagai
GBS, mungkin disebabkan tidak cukup data untuk klasifikasi lebih lanjut).10,11

Gambar 4. Brighton score


Pemeriksaan laboratorium
Pengujian laboratorium tergantung diagnosis banding pada masing-
masing pasien, tetapi secara umum semua pasien yang diduga GBS akan
diperiksa darah lengkap dan tes darah untuk glukosa, elektrolit, fungsi ginjal,
dan enzim hati. Hasil dari tes ini dapat digunakan untuk menyingkirkan
penyebab lain dari kelumpuhan flaksid akut seperti infeksi atau disfungsi

17
metabolik atau elektrolit. Nilai diagnostik untuk mengukur kadar serum
antibodi antiganglioside terbatas dan tergantung pada hasil uji. Hasil tes
positif dapat membantu, terutama ketika diagnosis diragukan, tetapi hasil tes
negatif tidak mengesampingkan GBS. Antibodi anti-GQ1b ditemukan pada
hampir 90% pasien dengan MFS dan karena itu memiliki nilai diagnostik
yang lebih besar pada pasien dengan dugaan MFS daripada pada pasien
dengan GBS klasik atau varian lainnya. Ketika dicurigai GBS, disarankan
untuk tidak menunggu hasil tes antibodi sebelum memulai pengobatan.2
Pemeriksaan CSF(Cerebrospinal fluid)
Pemeriksaan CSF terutama digunakan untuk menyingkirkan penyebab
kelemahan selain GBS dan harus dilakukan selama evaluasi awal pasien.
Temuan klasik dalam GBS adalah kombinasi dari peningkatan kadar protein
CSF dan jumlah sel CSF normal <50 sel/ul (dikenal sebagai disosiasi
albumino-sitologi). Namun, kadar protein normal pada 30-50% pasien pada
minggu pertama setelah onset penyakit dan 10-30% pasien pada minggu
kedua. Oleh karena itu, kadar protein CSF normal tidak mengesampingkan
diagnosis GBS.1,2,6,7
Electrodiagnostic studies
Studi elektrodiagnostik tidak diperlukan untuk mendiagnosis GBS.
Namun, penulis merekomendasikan bahwa pemeriksaan ini dilakukan sedapat
mungkin karena sangat membantu dalam mendukung diagnosis, terutama
pada pasien dengan presentasi atipikal. Secara umum, pemeriksaan
elektrofisiologis pada pasien dengan GBS akan mengungkapkan sensorimotor
polyradiculoneuropathy atau polyneuropathy, yang ditunjukkan oleh
berkurangnya kecepatan konduksi, berkurangnya amplitudo sensorik dan
motorik, dan / atau blok konduksi motor parsial. Namun, pengukuran
elektrofisiologis mungkin normal bila dilakukan pada awal perjalanan
penyakit (dalam 1 minggu setelah onset gejala) atau pada pasien dengan

18
kelemahan proksimal, penyakit ringan, dan progresivitas lambat. Pada pasien
ini, studi elektrodiagnostik ulang 2-3 minggu kemudian dapat membantu.2
Imaging
MRI bukan bagian dari evaluasi diagnostik rutin GBS, tetapi dapat
membantu, terutama untuk menyignkirkan diagnosis banding seperti infeksi
batang otak, stroke, peradangan sumsum tulang belakang atau sel kornu
anterior, kompresi radiks saraf atau keganasan leptomeningeal. Kehadiran
peningkatan intensitas radiks saraf pada gadolinium-enhanced MRI adalah
fitur GBS yang tidak spesifik namun sensitif dan dapat mendukung diagnosis
GBS, terutama pada anak-anak, di mana penilaian klinis dan elektrofisiologis
dapat menjadi tantangan.2

Gambar 5. Bagaimana mendiagnosis Guillain-Barre Syndrome

2.8 Tatalaksana Guillain-Barre Syndrome


Sebagian besar pasien dengan GBS pulih secara spontan. Namun, karena
perjalanan yang tidak terduga dan potensi kematian atau kecacatan yang
signifikan, semua pasien dengan penyakit ini harus dirawat di rumah sakit untuk
perawatan suportif multidisiplin.6

 Indikasi masuk Intensive Care Unit (ICU)


Alasan untuk menerima pasien ke unit perawatan intensif (ICU)
meliputi yang berikut: berkembangnya gangguan pernapasan dengan
insufisiensi pernapasan yang segera terjadi, disfungsi kardiovaskular otonom

19
berat (misalnya, aritmia atau variasi tekanan darah yang jelas), disfungsi
menelan yang parah atau refleks batuk yang berkurang, dan perkembangan
kelemahan yang cepat. Keadaan insufisiensi pernapasan didefinisikan sebagai
tanda-tanda klinis dari gangguan pernapasan, termasuk sesak napas saat
istirahat atau selama berbicara, ketidakmampuan untuk menghitung hingga 15
dalam satu napas, penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, peningkatan
pernapasan atau detak jantung, kapasitas vital <15– 20 ml / kg atau <1 l, atau
abnormalitas pada pengukuran gas darah arteri atau oksimetri nadi. Karena
hingga 22% dari pasien dengan GBS memerlukan ventilasi mekanis dalam
minggu pertama masuk, pasien yang berisiko gagal pernapasan harus
diidentifikasi sedini mungkin.2

Prediktor penggunaan ventilator mekanis6


 Gejala bulbar
 Ketidakmampuan untuk mengangkat kepala atau fleksi lengan
 Batuk yang tidak adekuat
 Tekanan ekspirasi maksimum: <40 cm H2O
 Tekanan inspirasi maksimal: <30 cm H2O
 Waktu dari timbulnya gejala sampai masuk rumah sakit kurang dari
tujuh hari
 Kapasitas vital: <60 persen dari yang diperkirakan atau <20 mL per kg
 Kapasitas vital, tekanan inspirasi maksimum, atau tekanan ekspirasi
maksimum berkurang setidaknya 30 persen

 Kapan memulai terapi


Terapi imunomodulator harus dimulai jika pasien tidak dapat berjalan
secara independen selama 10 m. Bukti efikasi pengobatan pada pasien yang
masih dapat berjalan secara independen terbatas, tetapi pengobatan harus

20
dipertimbangkan, terutama jika pasien ini menunjukkan kelemahan progresif
cepat atau gejala berat lainnya seperti disfungsi otonom, gangguan bulbar atau
gangguan pernapasan. Percobaan klinis telah menunjukkan efek pengobatan
untuk imunoglobulin intravena (IVIg) ketika dimulai dalam waktu 2 minggu
dari timbulnya kelemahan dan untuk pertukaran plasma ketika dimulai dalam
waktu 4 minggu.2
 Pilihan terapi
IVIg (0,4 g / kg berat badan setiap hari selama 5 hari) dan pertukaran
plasma (200–250 ml plasma / kg berat badan dalam lima sesi) adalah
pengobatan yang efektif untuk GBS. IVIg dan pertukaran plasma membawa
risiko terjadinya efek samping, meskipun studi awal menunjukkan bahwa
pertukaran plasma lebih mungkin dihentikan daripada IVIg. Karena IVIg juga
lebih mudah diberikan dan umumnya tersedia lebih luas daripada pertukaran
plasma, biasanya ini merupakan pengobatan pilihan. Selain IVIg dan
pertukaran plasma, tidak ada prosedur atau obat lain yang terbukti efektif
dalam pengobatan GBS. Pertukaran plasma merupakan pengobatan lini
pertama pada pasien GBS dan harus diberikan dalam 7 hari onset gejala.
Meskipun kortikosteroid diharapkan akan bermanfaat dalam mengurangi
peradangan dan perkembangan penyakit GBS, delapan uji coba terkontrol
secara acak pada efikasi kortikosteroid untuk GBS tidak menunjukkan
manfaat yang signifikan, dan pengobatan dengan kortikosteroid oral bahkan
terbukti memiliki efek negatif.2 Kombinasi IVIg dan metilprednisolon tidak
lebih efektif daripada IVIg saja, meskipun mungkin ada beberapa efek jangka
pendek tambahan setelah koreksi. Kombinasi pertukaran plasma diikuti oleh
IVIg tidak secara signifikan lebih baik dari pertukaran plasma atau IVIg
saja.6,7 IVIg atau pertukaran plasma tidak dikontraindikasikan selama
kehamilan. Namun, karena pertukaran plasma membutuhkan pertimbangan
dan pemantauan tambahan, IVIg mungkin lebih direkomendasikan.

21
Pertukaran plasma hanya tersedia di pusat-pusat yang berpengalaman dengan
penggunaannya dan tampaknya menghasilkan ketidaknyamanan yang lebih
besar dan tingkat komplikasi yang lebih tinggi daripada IVIg pada anak-anak,
IVIg biasanya terapi lini pertama untuk anak-anak dengan GBS.2
 Monitoring progresi penyakit
Diperlukan penilaian rutin untuk memantau perkembangan penyakit
dan terjadinya komplikasi. Pertama, pemeriksaan rutin fungsi pernapasan
disarankan, karena tidak semua pasien dengan insufisiensi pernapasan akan
memiliki tanda-tanda klinis dyspnoea. Pengukuran pernapasan ini dapat
mencakup penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, kapasitas vital, dan
tekanan inspirasi dan ekspirasi maksimum. Dokter harus mempertimbangkan
untuk menggunakan “20/30/40 rule”, di mana pasien dianggap berisiko gagal
pernapasan jika kapasitas vitalnya <20 ml / kg, tekanan inspirasi maksimum
<30 cmH2O atau tekanan ekspirasi maksimum < 40 cmH2O. Kedua, kekuatan
otot di leher, lengan dan kaki harus dinilai. Ketiga, pasien harus dipantau
untuk kesulitan menelan dan batuk. Terakhir, disfungsi otonom harus dinilai
melalui elektrokardiografi dan pemantauan denyut jantung, tekanan darah,
dan fungsi usus dan kandung kemih.2
 Monitoring Komplikasi
Komplikasi pada GBS dapat menyebabkan morbiditas dan kematian
yang parah. Beberapa dari komplikasi ini, termasuk ulkus, infeksi nosokomial
(misalnya, pneumonia atau infeksi saluran kemih) dan trombosis vena dalam,
dapat terjadi pada setiap pasien yang dirawat di rumah sakit. Komplikasi lain
lebih spesifik untuk GBS, misalnya, ketidakmampuan untuk menelan dengan
aman pada pasien dengan bulbar palsy; ulserasi kornea pada pasien dengan
kelumpuhan wajah; dan kontraktur ekstremitas, dan palsi tekan pada pasien
dengan kelemahan ekstremitas. Nyeri, halusinasi, kecemasan dan depresi juga
sering terjadi pada pasien dengan GBS, dan perawat harus secara khusus

22
bertanya kepada pasien apakah mereka mengalami gejala-gejala ini, terutama
jika pasien memiliki kemampuan komunikasi yang terbatas dan / atau berada
di ICU. Pengenalan dan perawatan yang memadai dari gejala psikologis dan
rasa sakit pada tahap awal adalah penting karena gejala-gejala ini dapat
berdampak besar pada kesejahteraan pasien. Penatalaksanaan komplikasi yang
adekuat paling baik dilakukan oleh tim multidisiplin, yang mungkin meliputi
perawat, fisioterapis, spesialis rehabilitasi, terapis okupasi, terapis wicara, dan
ahli gizi.2
 Perencanaan rehabilitasi
Pasien dengan GBS dapat mengalami berbagai masalah residual
jangka panjang, termasuk pemulihan fungsi motorik dan sensorik yang tidak
lengkap, nyeri, dan tekanan psikologis. Mengatur program rehabilitasi dengan
spesialis rehabilitasi, fisioterapis dan terapis okupasi adalah langkah penting
menuju pemulihan. Program harus bertujuan untuk mengurangi kecacatan
pada tahap awal pemulihan dan kemudian mengembalikan fungsi motorik dan
sensorik dan kondisi fisik ke tingkat saat sebelum sakit. Program latihan untuk
pasien dengan GBS, yang mencakup berbagai latihan gerak, bersepeda statis,
dan latihan berjalan dan kekuatan, telah terbukti meningkatkan kebugaran
fisik, kemampuan berjalan dan kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-
hari. Nyeri parah dilaporkan pada setidaknya sepertiga pasien dengan GBS 1
tahun setelah onset penyakit dan dapat bertahan selama> 10 tahun. Nyeri
kronis pada GBS ditandai dengan nyeri otot di punggung bagian bawah dan
anggota badan, paraestesia yang nyeri, artralgia, dan nyeri radikuler.
Meskipun patogenesis nyeri ini tidak sepenuhnya dipahami, nyeri otot dan
artralgia mungkin disebabkan oleh imobilitas, dan nyeri neuropatik mungkin
disebabkan oleh regenerasi, atau kerusakan terus-menerus pada serabut saraf
kecil. Strategi penatalaksanaan meliputi mendorong mobilisasi dan
memberikan obat untuk nyeri neuropatik atau nosiseptif. Kehilangan fungsi

23
fisik yang cepat, seringkali pada individu yang sebelumnya sehat, dapat
sangat traumatis dan dapat menyebabkan kecemasan dan / atau depresi.
Pengenalan dini dan penatalaksanaan tekanan psikologis penting pada pasien
dengan GBS, terutama karena status mental dapat memengaruhi pemulihan
fisik dan sebaliknya; rujukan ke psikolog atau psikiater mungkin bermanfaat
bagi beberapa pasien.2
2.9 Komplikasi dan Prognosis Guillain-Barre Syndrome
Sindrom Guillain-Barré masih merupakan gangguan yang mengancam jiwa
dengan morbiditas yang sering, bahkan dengan pengobatan terbaik yang tersedia.
Sebagian besar pasien dengan GBS mulai pulih pada 28 hari dengan waktu rata-
rata untuk pemulihan sempurna adalah 200 hari dalam 80% kasus. Namun,
sebanyak 65% memiliki tanda-tanda atau gejala sisa kecil yang sering membuat
pemulihan kurang lengkap. Selain itu, gejala sisa defisit neurologis utama terjadi
pada 10-15% pasien.4

Prediktor disabilitas jangka panjang6


 Tidak adanya respons motorik
 Penyakit diare yang mendahului
 Keterlibatan aksonal
 Infeksi Campylobacter jejuni atau cytomegalovirus
 Ketidakmampuan berjalan pada 14 hari
 Usia yang lebih tua
 Perkembangan gejala yang cepat

Dalam sebuah penelitian terhadap 79 kasus setahun setelah timbulnya GBS,


8% telah meninggal (semua lebih tua dari 60), 4% tetap di tempat tidur atau
tergantung ventilator, 9% tidak dapat berjalan tanpa bantuan, 17% tidak dapat
berjalan, dan 62 % telah membuat pemulihan lengkap. Pada sebagian besar kasus
GBS dengan pemulihan lengkap hingga hampir lengkap, gejala defisit sisa yang

24
signifikan secara fungsional dapat dideteksi pada evaluasi yang cermat. Defisit ini
terutama di ekstremitas bawah dan dalam beberapa kasus ada bukti disautonomia
persisten. Tingkat kematian di Eropa dan Amerika Utara bervariasi antara 3% dan
7%. Lima persen kasus GBS meninggal karena penyakit mereka akibat
komplikasi penyakit kritis (infeksi, sindrom gangguan pernapasan, emboli paru),
dan jarang disautonomia. Pasien dapat meninggal pada tahap progresif akut,
kemungkinan besar karena insufisiensi ventilasi atau komplikasi paru, atau dari
disfungsi otonom termasuk aritmia.4

BAB III
KESIMPULAN

25
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun pada sistem saraf
perifer yang sering didahului oleh adanya proses infeksi akut dan merupakan
penyebab tersering kasus paralisis flaksid akut dan penurunan refleks. GBS
merupakan neuropati demielinasi yang paling sering terjadi, dengan angka insidensi
1-2 per 100000 penduduk per-tahunnya. Insidensi penyakit ini meningkat seiring
dengan bertambahnya usia dan laki-laki lebih berisiko dibandingkan perempuan.
Pasien dengan gejala kelemahan tungkai asenden bilateral progresif, deficit sensoris,
hipo atau arefleksia harus dicurigasi mengarah ke GBS. Saat diagnose GBS sudah
ditegakkan, tatalaksana harus segera dilakukan dengan berbagai tim multidisiplin
untuk mendapatkan hasil pengobatan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Anand B Pithadia, Nimisha Kakadia. Guillain-Barre syndrome. Pharmacological
reports. 2010; 62: 220-232.
2. Sonja E Leonhard, Mellisa R Mandarakas, Fransisco A A Gondim. Diagnosis and
management of Guillain-Barre syndrome in ten steps. Nature Review Neurology.
2019; 15: 671-683.
3. Michael T Andary. Guillain-Barre syndrome.2020. Diakses dari :
https://emedicine.medscape.com/article/315632-overview.
4. Mazen M Dimachkie, Richard J Barohn. Guillain-Barre syndrome and variants.
Neuro Clin. 2013; 31(2): 491-510.
5. Kurniawan, S.N. 2013. Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan II Neurologi Malang 2013. Malang: PT. Danar Wijaya.
6. Anne D Walling, Gretchen Dickson. Guillain-Barre syndrome. American Family
Physician. 2013; 87(3): 191-197.
7. Hugh J Willison, Bart C Jacobs, Pieter A van Doorn. Guillain-Barre syndrome.
Lancet. 2016; 388: 717-727.
8. Ravi Sankar P. Rare Presentation of Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculopathy (AIDP). Ann Clin Case Rep. 2019; 4: 1688.
9. Dian Sawelinggi, Wayan Aryabiantara, Made Wiryana. Penatalaksanaan Guillain-
Barre syndrome di ICU; sebuah laporan kasus. Medicina. 2019; 50(2): 304-307.
10. Eric Lombardi, Ryan Misek, Krishna Patel. An unusual presentation of acute
weakness: acute inflammatory demyelinating polyneuropathy in a patient with
psychiatric illness. Case Report in Emergency Medicine. 2018: 1-5.
11. Christiian Fokke et al. Diagnosis of Guillain-Barre syndrome and validation of
Brighton criteria. Brain. 2014; 137: 33-43.
12. Siti Setiati et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-7. Jakarta: Interna
Publishing; 2014. Hlm 539.
13. Chamara Dalugama, John Selton, Mahendra Ekanayake. Dengue fever
complicated with Guillain-Barre syndrome: a case report and review of the
literature. J Med Case Rep. 2018; 12: 137.

27
14. Rajesh Verma et al. Neurological complication of dengue fever: experience from
a tertiary centre of North India. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14(4): 272-278.
15. Eduardo Goncalves. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(Guillain-Barre syndrome) following dengue fever. Rev.Inst.Med.Trop.Sao Paulo.
2011; 53(4): 223-225.
16. Pandey S, Garg RK, Malhotra HS, Kumar N, Uniyal R. Simultaneous occurrence
of axonal Guillain-Barre syndrome in two siblings following dengue infection.
Ann Indian Acad Neurol. 2018; 21(4): 315-317.

28

Anda mungkin juga menyukai