Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN INTENSIF PASIEN


GUILLAIN BARRE SYNDROME DI ICU RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

PEMBIMBING:
Dr. dr Dadik Wahyu Wijaya, Sp. An

PENYUSUN:
Fiony Adida 130100269
Clara Shinta 130100364
Cristya Kartika P.S. 130100374
Peter Obrian Ginting 130100316

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN 2018
ii

DAFTAR ISI

Gullain Barre Syndrome

Bab 1 Tinjauan Pustaka....................................................................................1


2.1. Definisi ...............................................................................................1
2.2. Epidemiologi .......................................................................................1
2.3. Etiologi ...............................................................................................1
2.4. Patogenesis .........................................................................................2
2.5. Klasifikasi ...........................................................................................4
2.6. Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosis ..................................................5
2.7. Diagnosa Banding ..................................................................................... 6
2.8. Terapi. ......................................................................................................... 6
2.9. Kegawatdaruratan dan Tatalaksana ICU Pasien GBS .......................9
BAB 2 Status Pasien ……………………………………………………...…16
BAB 3 Diskusi Kasus dan Pembahasan………………………………...........27
BAB 4 Kesimpulan…………………………………………………………..32
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi
setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan
suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialis.5

2.2. Epidemiologi

Insidensi Guillain-Barre Syndrome bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun..6

2.3. Etiologi

Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:5

1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit Sistemik :
 Keganasan
 SLE
2

 Tiroiditis
 Penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
Guillain-Barre Syndrome sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.7
Infeksi Akut yang Berhubungan dengan Guillain-Barre Syndrome
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella- Zoster Measles
Vaccinia/Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borreila B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria
Tabel 1 : Infeksi akut yang berhubung dengan SGB.7
2.4. Patogenesis

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain


yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain-Barre Syndrome
masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa
kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
3

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang


menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.8

Gambar 1 : Patogenesis dan fase klinikal dari Guillain-Barre Syndrome.9


4

2.5. Klasifikasi

Beberapa subtipe dari Guillain-Barre Syndrome dapat diklasifikasikan,


yaitu:11.12
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada Guillan-Barre Syndrome, yang juga cocok dengan
gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah
kelemahan anggota gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling
umum terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada
AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental
makrofag.
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas
Guillain-Barre Syndrome epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan
55% hingga 65% dari pasien Guillain-Barre Syndrome merupakan jenis ini. Jenis
ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor
axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan sering
dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki
prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks,
tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan melalui
interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motorik.
3. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik.
Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan
lebih buruk dari AMAN.
4. Miller Fisher Syndrome
5

Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy
mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto
antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di
daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
2.6. Gejala klinis dan kriteria diagnosa

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan


timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa
yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu: 8

I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:


 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS:
a. Ciri-ciri Klinis
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
6

 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,


hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
2.7. Diagnosa Banding
GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan
motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut:8

1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun


terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS
tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah
beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil
masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan
pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski
3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan
otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
4. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak,
namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum
asam aminolevulinik delta.
5. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala
meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
2.8. Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).9
7

Plasmaparesis

Plasmapharesis adalah terapi membuang dan mengembalikan komponen


plasma dari sirkulasi darah. Plasmapharesis selanjutnya disebut sebagai
extracorporeal therapy atau prosedur medis yang dilakukan di luar tubuh. Selama
plasmapharesis, darah awalnya dikeluarkan dari tubuh melalui kateter plasma,
kemudian dihilangkan dari tubuh oleh pemisah sel (cell separator). Tiga prosedur
yang umumnya digunakan untuk memisahkan plasma dari sel darah :

• Discontinuous flow centrifugation : dibutuhkan satu kateter vena. Secara khusus,


300 ml darah dihilangkan pada satu waktu dan diputar untuk memisahkan plasma dari
sel darah.

• Continous flow centrifugation : dibutuhkan 2 kateter vena. Metode ini


membutuhkan lebih sedikit volume darah untuk dikeluarkan dari tubuh pada satu
waktu karena dapat secara terus menerus memutar plasma.

• Filtrasi plasma : digunakan 2 kateter vena. Plasma difiltrasi menggunakan peralatan


hemodialisa standard. Proses ini membutuhkan kurang dari 100 ml darah untuk
dikeluarkan tubuh pada satu waktu.

Masing-masing metode memiliki keuntungan dan kerugian. Pada


plasmapharesis tradisional, setelah pemisahan plasma, sel darah (termasuk plasma
yang mengandung antibodi) dikembalikan ke orang yang menjalani terapi. Pada
plasma exchange, plasma yang dikeluarkan dibuang dan pasien mendapat
penggantian plasma donor, albumin atau kombinasi albumin dan salin. Pada keadaan
yang jarang, cairan pengganti lain seperti hidroxyethyl starch, dapat digunakan pada
pasien. Plasmapharesis didasarkan pada pemisahan plasma dari elemen seluler darah.
Hal ini dapat dicapai dengan alat sentrifuge atau dengan filter darah. Selama
sentrifuge continuous atau intermittent, komponen darah dipisahkan karena adanya
perbedaan densitas. Di dalam ultrafiltrasi membrane, pemisahan berdasarkan ukuran
molekul. Pada filtrasi plasma, substansi dengan berat molekul 3x106 dalton dapat
8

dikeluarkan, termasuk immunoglobulin, kompleks imun, factor komplemen,


lipoprotein dan endotoksin. Plasmaparesis (plasma exchange) sangat berharga pada
GBS. Pada dua penelitian yang besar memperlihatkan penurunan kebutuhan pasien
terhadap ventilasi mekanik, mengurangi durasi ventilsi mekanik pada pasien yang
membutuhkan, mengurangi waktu untuk pemulihan motorik dan waktu untuk
berjalan sendiri tanpa asisten. Mortalitas tidak berubah. Plasma exchange paling
efektif jika dilakukan dalam 7 hari dari onset. Plasma exchange dijadwalkan 3 sampai
5 kali, tiap kalinya 1-2 volume plasma (2-4 liter) selama 90-120 menit, dalam 1-2
minggu. Efek samping biasanya berhubungan dengan penyakit itu sendiri. Fresh
frozen plasma dilaporkan memiliki efek samping yang lebih banyak dibanding
albumin sebagai cairan pengganti. Kontraindikasi relatif plasmaparesis yaitu sepsis,
infark miokard dalam 6 bulan, disotonom yang nyata dan perdarahan aktif. Efek
samping meliputi reaksi vasovagal, hipovolemia, anafilaksis, hemolysis, hematom,
hipokalsemia, trombositopenia, hipotermia dan hipokalemia.13

Pengobatan imunosupresan:

1. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan


dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance
0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.9,10

2. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:11

 6 merkaptopurin (6-MP)
 Azathioprine
 cyclophosphamid Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia,
muntah, mual dan sakit kepala.
9

2.9 Kegawatdaruratan dan Tatalaksana ICU pasien GBS

1. Pemaantauan pernafasan dan airway protection


Guillain–Barre Syndrome (GBS) merupakan penyebab utama terjadinya
gangguan neuromuskular pada pernafasan sehingga membutuhkan bantuan ventilasi
mekanik. Gagal nafas merupakan komplikasi GBS yang paling sering dan paling
ditakuti. Persentase pasien GBS yang membutuhkan ventilasi mekanik antara 25%
sampai 44%. Demielinisasi nervus phrenikus dan intercostal menyebabkan mekanikal
paru terbatas, kesulitan menelan akibat kelemahan otot faring menyebabkan risiko
aspirasi. Ventilasi mekanik diberikan jika batuk tidak adekuat, kolaps pulmonal,
berkembangnya konsolidasi, analisa gas darah abnormal, dispneu, takipneu atau
terlihat kehabisan tenaga. Gagal nafas pada pasien GBS dapat terjadi tiba-tiba,
mengancam nyawa dan menyebabkan morbiditas yang signifikan.Status respirasi
pasien GBS harus dimonitor hati-hati dan frekuen. Pemulihan pernafasan berlangsung
lambat pada GBS, menyebabkan penggunaan ventilator mekanik yang lama.
Setengah dari pasien GBS yang terintubasi membutuhkan trakeostomi. Intubasi biasa
dilakukan dengan pemberian thiopentone atau propofol secara intravena.13
Penggunaan benzodiazepine (midazolam, diazepam) obat tunggal atau
dikombinasikan dengan opioid (fentanyl, morphine) juga biasa diberikan.14

Gangguan pernafasan merupakan manifestasi kelemahan otot diafragma dan


otot pernafasan tambahan yang harus diantisipasi pada pasien GBS dengan
kelemahan anggota gerak serta kesulitan menelan yang progresif. Gerakan nafas
paradoksal menunjukkan kelemahan diafragma. Fungsi diafragma dapat dinilai dari
kapasitas vital, volume tidal, dan tekanan negative inspirasi dimana penurunan
progresif mengindikasikan ancaman gagal nafas dan memerlukan intubasi serta
bantuan nafas. Tanda klinis yang menunjukkan kelelahan otot pernapasan antara lain
takipnea, berkeringat, takikardia, gerakan yang tidak sinkron antara dada dan perut,
dan penggunaan otot respirasi pernapasan secara episodik.13
10

Tes fungsi paru dengan spirometri untuk menilai kapasitas vital (VC), tekanan
inspirasi maksimal (MIP), dan tekanan ekspirasi maksimal (MEP) menjadi acuan
perlu tidaknya intubasi. Kapasitas vital ≤ 30 ml/kg ( nilai normal 60-70 ml/kg), batuk
akan melemah, akumulasi sekret di orofaring, terjadi atelectasis dan hipoksemia.
Intubasi diperlukan bila kapasitas vital paru 15 ml/ kg. MIP normal ≤ 70 cmH2O
menunjukkan kekuatan diafragma dan otot inspirasi lainnya, dan secara umum
menunjukkan kemampuan mempertahankan pengembangan paru dan mencegah
atelectasis. MEP normal ≥ 100 cmH2 O menunjukkan kekuatan otot ekspirasi dan
berkolerasi dengan kekuatan batuk dan kemampuan membuang secret dari jalan
nafas. Kriteria tambahan untuk intubasi adalah MIP ≥ 30 cmH2O dan MEP < 40
cmH2O. Berikut merupakan kriteria dilakukan intubasi:

Normal Kriteria Kriteria Kriteria


intubasi weaning ekstubasi

Kapasitas vital >60ml/kg ≤15 ml/kg ≥10ml/kg ~ 25 ml/kg

Tekanan(-) inspirasi >70 cmH2O <20 cm H20 ≥20 CM H2O ~40 cm H2O

Tekanan(+)ekspirasi >100cmH2O <40cm H2O ≥40 cm H2O ~ 50 cm H2O

Tabel 2. Kriteria Intubasi

Gagal nafas berkontribusi dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas


pasien GBS. Pemantauan fungsi paru, pemberian ventilasi mekanik dan rehabilitasi
fungsi paru sangat penting dalam penatalaksanaan dan pemulihan pasien.

Pada pasien dengan nafas spontan, fisioterapi dada dan monitoring fungsi
respirasi merupakan hal yang penting. Penilaian regular terhadap kapasitas vital
merupakan cara terbaik untuk menilai kegagalan respirasi. Pasien dengan kapasitas
11

vital kurang dari 15ml/kg atau 30% dari nilai yang diprediksikan, atau peningkatan
PCO2 arterial membutuhkan ventilasi mekanik. Keterlibatan bulbar harus hati-hati
dicari, karena terdapat risiko sigknifikan aspirasi dari sekresi jalan nafas atas, isi
lambung atau makanan yang dicerna. Jika reflek batuk tidak adekuat, maka proteksi
jalan nafas dengan intubasi trakea atau trakeostomi dibutuhkan. Makanan per oral
harus dihentikan pada pasien yang diduga mengalami keterlibatan bulbar.

Indikasi ventilasi mekanik dilakukan jika batuk tidak adekuat, paru-paru


kolaps atau berkembangnya konsolidasi, gas darah arteri abnormal, kapasitas vital
kurang dari volume tidal yang diprediksi, pasien sesak nafas, takipneu atau tampak
kelelahan.13

Rekomendasi

Fungsi pernapasan harus dipantau pada pasien dengan GBS. Bantuan ventilasi
mekanik sangat diperlukan. Trakeostomi juga dapat dipertimbangkan Trakeostomi
dini meningkatkan kenyamanan pasien dan keselamatan jalan napas dan dapat
membantu penyapihan.13

2. Profilaksis untuk Deep Vein Trombosis (DVT)13

Imobilisasi karena GBS merupakan faktor risiko untuk terjadinya deep vein
thrombosis (DVT). Waktu terjadinya DVT atau emboli paru bervariasi dari 4 sampai
67 hari setelah onset. Suatu penelitian observasional pada pasien bedah umum atau
bedah ortopedi memperlihatkan keuntungan dari heparin subkutan (5000 U per 12
jam) sebagai profilaksis DVT. Pada pasien kritis, pemberian profilaksis dengan
enoxaparin subkutan (40 mg per hari) mengurangi insidensi terjadinya DVT. Dari
penelitian meta analisis sebelumnya, penggunaan support stocking mengurangi resiko
sebesar 70% pada pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami tromboemboli paska
operasi.
12

Rekomendasi

Semua pasien dewasa sebaiknya diberikan LMWH atau unfractioned heparin


subkutan dan stoking sampai mereka dapat berjalan secara independen.

3. Pemantauan jantung dan hemodinamik

Gangguan fungsi otonom merupakan penyebab kematian yang signifikan pada


pasien GBS. Gejala yang ditimbulkan antara lain hipertensi, hipotensi postural, dan
takikardi. Hal ini disebabkan oleh kerja aktivitas simpatis yang berlebihan dibanding
parasimpatis. Irama jantung dan tekanan darah harus di monitor. Sinus takikardi
merupakan manifestasi otonom yang paling sering pada GBS, biasanya tidak
memerlukan terapi. Hipotensi ringan dan bradikardi tidak membutuhkan terapi,
terutama jika fungsi ginjal dan serebral terpelihara baik. Hipotensi dapat diatasi
dengan menjaga volume intravascular dan mneghindari penggunaan duiretika. Paien
yang memiliki resiko hipotensi tidak boleh diposisikan dalam posisi duduk tegak.
Hipertensi biasanya sementara, kadang-kadang membutuhkan terapi obat yang
sesuai.13 Jika hipertensi berat (MAP > 125mmHg), perlu diterapi dengan spesifik.
Antihipertensi dengan kerja cepat seperti labetolo, esmolol, atau nitroprusside dapat
digunakan. Hati-hati pada penggunaan beta-adrenergic atau Calcium Channel
Blocker, apalagi jika terdapat episode hipertensi berubah menjadi hipotensi. Hipoksia,
hiperkarbi, nyeri dan distensi visceral harus disingkirkan sebagai penyebab.15 Obat
yang berhubungan dengan instabilitas kardiovaskular pada GBS :

 Obat yang menyebabkan hipotensi yaitu Phentolamin, Nitrogliserin,


Edrophonium, Thiopental, Morfin, Furosemid

 Obat yang menyebakan hipertensi yaitu Fenilefrin, Efedrin, Dopamin,


Isoprenalin

 Aritmia yaitu Suksamethonium


13

Jika memugkinkan makanan dapat diberikan enteral atau via pipa nasogastrik
jika menggunakan ventilator. Pada pasien yang tidak menggunakan ventilator, sedasi
harus dihindari karena dapat memperburuk respirasi dan fungsi jalan nafas atas.

Rekomendasi

Perlu dilakukan pemantauan ketat tekanan darah dan nadi per menit pasien
GBS.

4. Pemberian Antibiotik13

Penggunaan antibiotik diberikan kebanyakan pada pasien yang menggunakan


ventilator mekanik. Indikasi pemberian antibiotik jika terdapat demam, sekret
purulen, perubahan gambaran radiologis atau pertumbuhan bakteri pada kultur.
Infeksi oportunistik harus dicari secara aktif dengan kultur urin dan sekret respirasi
minimal 2x seminggu.

5. Pemberian PPI13

Perawatan ICU yang lama merupakan hal yang membuat pasien stress dan
predisposisi terbentuknya ulkus pada gaster akibat penggunaan jenis obat yang
berbeda-beda. Perdarahan dari lokasi ulkus juga merupakan penyebab terjadinya
perdarahan gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh penggunaan NSAID, steroid, dan
heparin sebagai profilaksis DVT. Pemberian PPI seperti omeprazole dan lansoprazole
lebih superior dibandingkan H2RA dalam mengurangi resiko perdarahan
gastrointestinal akibat stress ulcer.

6. Penanganan Nyeri13
Nyeri anggota tubuh, terutama dengan gerakan pasif, sangat sering terjadi dan
terkadang agak parah. Analgesik non steroid dan obat antidepresan dapat diberikan,
tetapi jika nyeri sulit dikontrol, opioid sering diperlukan. Metadon, fentanyl,
14

gabapentin dan tramadol juga dianjurkan. Program fisioterapi komprehesif dapat


diberikan oleh perawat dan fisioterapis.

Rekomendasi

Analgesik lini pertama seperti asetaminofen dan NSAID dapat digunakan


untuk mengatasi nyeri. Pada suatu penelitian randomized controlled trial, Gabapentin
or carbamazepine efektif dalam mengatasi nyeri pada fase akut. Analgesik narkotika
dapat digunakan tetapi perlu dipantau dengan ketat untuk mencegah terjadinya
gangguan otonom. Adjuvant dengan tricyclic antidepressant medication, tramadol,
gabapentin, carbamazepine, or mexilitene sangat berguna terhadap nyeri neuropati.

7. Penanganan disfungsi organ kandung kemih dan usus.13

Konstipasi sering terjadi pada pasien yang berbaring lama. Pada fase akut
pasien GBS dapat mengalami ileus. Resiko meningkat dengan imobilisasi yang lama,
penggunaan opioid untuk mengatasi nyeri, dan penyebab lain seperti tindakan bedah
pada abdomen.

Rekomendasi

Lakukan auskultasi abdomen secara rutin untuk mengidentifkasi apakah suara


peristaltik usus terdengar dan control penggunaan opioid

8. Pemantauan nutrisi13

Pemasangan nasogastrik atau gastrik tube perlu segera dilakukan sejak awal.
Makanan dengan kalori tinggi (40–45 kkal nonprotein) and dan protein yang tinggi
(2–2.5 g/kg) direkomendasikan pada pasien untuk mengurangi muscle wasting dan
membantu penyapihan pernafasan. Pemberian makanan enteral secara terus menerus.

9. Masalah psikologi, terutama depresi, sering terjadi, dan beberapa pasien


memerlukan obat antidepresi.13
15

2.9. Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara
lain:9

 pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal


 mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
 progresifitas penyakit lambat dan pendek
 pada penderita berusia 30-60 tahun
16

BAB 3

STATUS PASIEN

3.1. Identitas Pasien


Nama : Rosmedi Simorangkir
Umur : 39 tahun 9 bulan 25 hari
Suku : Batak
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Petani
Alamat : Parratusan Pangaribuan
Tanggal Masuk : 3 Mei 2018 (Pukul 21.03)
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 155 cm

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Lemah keempat anggota gerak
Telaah : Hal ini dialami os ± 1 minggu yang lalu, dialami secara
perlahan-lahan dan dirasakan semakin memberat. Awalnya, 1
minggu yang lalu os mengeluhkan merasa kebas pada tungkai
dan lengan. Disusul merasa kelemahan oleh kedua tungkai
secara bersamaan pada hari berikutnya, lalu 2 hari kemudian
disusul kelemahan pada kedua lengan. Riwayat sulit menelan
(+) pada beberapa minggu ini. Riwayat trauma (-). Riwayat
demam naik-turun (+) sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat nyeri
saat BAK (+) dalam 2 minggu ini. Riwayat sakit kepala (-).
Riwayat kejang (-).Riwayat mual dan muntah (-). Riwayat
keluhan yang sama sebelumnya (-). Riwayat Hipertensi (-
).Riwayat Diabetes Melitus (-). Riwayat stroke (-). Pasien
merupakan rujukan dari RS Luar.
17

RPT : Infeksi Saluran Kemih


RPO : - Injeksi Cefotaxim 1gr

- Injeksi Ranitidine 1 amp


- Injeksi Mecobalamine 1 amp
- Asam folat 1x1

3.3. Time Sequences

Tanggal 26 April 2018 Tanggal 26 April 2017 Tanggal 3 Mei 2018


Pukul 21.30 WIB Pukul 23.00WIB Pukul 04.00 WIB Tanggal 16 Mei 2018
Pasien masuk ke Blue Setelah assesment Pasien dikonsulkan ke Pasien masih menjali
Line IGD RSUP HAM neuro, pasien di anestesi untuk perawatan ICU
dan merupakan rawat di RA4 perawatan ICU dan dewasa BED 4
pasien neuro Neurologi dipindah rawat ke ICU

3.4. Pemeriksaan Fisik


3.4.1. Primary Survey

Primary Survey Hasil


A (Airway) Clear, Snoring/Gargling/Crowing: (-)/(+)/(-), C-
spine stabil, terpasang endotracheal tube
B (Breathing)  Inspeksi:
Nafas spontan namun usaha nafas besar, simetris
fusiformis, pergerakan toraks kanan=kiri,
18

ketinggalan bernafas (-), retraksi (-), luka(-), jejas


(-), SpO2: 98%,
 Palpasi:
Fremitus suara lapangan paru kiri = kanan
 Perkusi:
Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi:
SP: Vesikuler, ST: (-), RR: 20 x/menit, reguler
C (Circulation) TD: 160/100 mmHg, HR: 82 x/menit, reguler, t/v:
Cukup/Kuat, Akral: Hangat/Merah/ Kering, CRT >
2 detik
D (Disability) Kesadaran: Compos Mentis, AVPU: Alert, GCS: 15
(E4 M6 V5), Pupil: Isokor, Diameter pupil: 3 mm/3
mm, Refleks cahaya (+/+)
E (Exposure) Suhu: 36,8 ˚C, Fraktur (-), Edema (-), Luka (-)

3.4.2. Secondary Survey

Secondary Survey Hasil


B1 (Breath) Airway clear, S/G/C: (-)/(-)/(-), RR: 21 x/menit, SP:
Vesikuler, ST: (-), SpO2: 99%, terpasang endotracheal
tube
B2 (Blood) Akral: Hangat/Merah/Kering, TD: 90/60 mmHg, HR:
100 x/menit, reguler, t/v: cukup/kuat; CRT < 2 detik,
Suhu: 35,7 ˚C
B3 (Brain) Sensorium: Sopor, GCS: 4 (E4 Mx Vt), Pupil: Isokor,
Ø: 3 mm/3 mm, Refleks cahaya (+/+)
19

B4 (Bladder) UOP (+) 150cc , terpasang kateter urin


B5 (Bowel) Abdomen: Simetris, Soepel, Timpani, Peristaltik (+)
Normal, terpasang NGT
B6 (Bone) Fraktur (-), Edema (+), Luka (-)

3.5. AMPLE (Allergies, Medication, Past Illness, Last Meal,Event)

Allergies : Tidak jelas

Medication : Tidak jelas

Past Illness : Infeksi Saluran Kemih

Last Meal : Pukul 15.00 WIB (26 April 2017)

Event : Shortness Of Breath

3.6. Penatalaksanaan
 Bed rest dengan head up 30o
 Pasang monitor untuk memantau status hemodinamik pasien
 Memasang IV line dengan abocath ukuran 16G dan threeway serta pastikan
lancar
 O2 8 L/i via non-rebreathing mask
 IVFD R-Sol 20 gtt/i
 Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/iv
 Tab. Vit B Comp 3x1
 Tab. Klobazam 1 x 10 mg
 Tab. Amitriptilin 2 x 12,5 mg
 Tab.Amlodipine 1 x 10 mg
 Tab. Betahistine 3 x 6 mg

3.7. Pemeriksaan Penunjang


20

3.7.1. Laboratorium (26 April 2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
DARAH LENGKAP
 Hemoglobin (Hb) 13,1 g/dL 12 – 16 g/dL
 Hematokrit (Ht) 39% 36 – 47%
 Eritrosit (RBC) 4,65 jt/ µL 4,10-510 juta/µL

 Leukosit (WBC) 13.910 /µL 4.000-11.000/µL


 Trombosit (PLT) 438.000/µL 150.000 – 450.000/µL
HITUNG JENIS LEUKOSIT
 Neutrofil 74,00% 50,00 – 70,00 %
 Limfosit 14,50% 20,00 – 40,00 %
 Monosit 11,30% 2,00 – 8,00 %
 Eosinofil 0,10% 1,00 – 3,00 %
 Basofil 0,10% 0,00 – 1,00%
METABOLISME
KARBOHIDRAT
 KGD ad random 100 mg/dL < 200 mg/dL
 KGD Puasa 86 mg/dL 70-105 mg/dL
 KGD 2 Jam PP 113 mg/dL 76-140 mg/dL

 Hb-A1c 5.6 % 4.0 – 6.0

GINJAL
 BUN 18 mg/dL 7 – 19 mg/dL
 Ureum 39 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
 Kreatinin 0,51 mg/dL 0,6 – 1,1 mg/dL
ELEKTROLIT
 Natrium (Na) 132 mEq/L 135 – 155 mEq/L

 Kalium (K) 3,5 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L

 Klorida (Cl) 100 mEq/L 96 – 106 mEq/L


21

3.7.2. Foto Toraks AP Supine

Hasil : Kedua sinus kostofrenikus lancip, kedua diafragma licin. Tidak tampak
infiltrat pada kedua lapangan paru. Jantung ukuran normal CTR < 50%. Trakea
di tengah. Tulang-tulang dan soft tissue intak.
Kesimpulan : Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo.
22

3.8. Diagnosis

 Tetraparese type Lower Motor Neuron ec. Guaillain Barre Syndrome

3.9. Rencana

 Stabilisasi hemodinamik pasien di IGD


 Pengecekan ulang definitive airway pada pasien di IGD
 Konsul untuk dirawat di ruang ICU
23

3.10 Time Sequence

26 April 2018 26 April 2018 26 April 2018

Pukul 21.30 WIB Pukul 21.35 WIB Pukul 22.30WIB

Pasien tiba di IGD RSUP Pasien dikonsulkan ke Pasien masuk ruang rawat
HAM dengan keluhan neurologi dan dilakukan inap RA4 Neuro dengan
kelemahan keempat pemeriksaan laboratorium, diagnosa tetraparese tipe
anggota gerak. pemasangan NGT, dan
EKG, serta dilakukan foto UMN ec. Susp. GBS.
thoraks.

27 April 2018 30 April 2018 2 Mei 2018

Pukul 06.00 WIB Pukul 09.15 WIB Pukul 06.00


Diagnosa pasien menjadi
tetraparese tipe UMN ec.
GBS.
Pasien direncanakan Dilakukan EMG pada
EMG oleh neurologi. pasien di IDT Direncanakan
pemeriksaan AGDA cito
dan pindah ruangan ICU

3 Mei 2018 3 Mei 2018 3 Mei 2018

Pukul 06.00 WIB Pukul 07.15 WIB Pukul 08.30

Keluhan pasien
bertambah dengan
sesak dan nyeri perut
kanan. Konsul dijawab oleh Pasien dikonsulkan ke
anestesi dengan isi: ACC UDT untuk tindakan
Pasien dikonsulkan ke untuk perawatan ICU pada plasma exchange.
anestesi untuk
pasien ini.
perawatan ICU.
24

3 Mei 2018 3 Mei 2018 3 Mei 2018

Pukul 09.00 WIB Pukul 09.15 WIB Pukul 10.00


Konsul dijawab oleh
Pasien direncanakan Telah dilakukan intubasi
UDT dengan isi:
intubasi oleh anestesi. pada pasien ini dengan
ETT no. 7. theurapetic plasma
exchange saat ini belum
Support ventilator modus dapat dilakukan karena
SIMV 14, PS 12, VT 400
FiO2 60%, SaO2 99% penurunan kesadaran dan
tensi 160/120 mmHg.

3 Mei 2018
3 Mei 2018 3 Mei 2018

Pukul 10.00
Pukul 09.00 WIB Pukul 09.15 WIB
Konsul dijawab oleh
UDT dengan isi:
Pasien direncanakan Telah dilakukan intubasi
theurapetic plasma
intubasi oleh anestesi. pada pasien ini dengan
ETT no. 7. exchange saat ini belum
dapat dilakukan karena
Support ventilator modus penurunan kesadaran dan
SIMV 14, PS 12, VT 400
FiO2 60%, SaO2 99% tensi 160/120 mmHg dan
pasien dalam kondisi
tidak stabil.

5 Mei 2018

Pukul 08.00 WIB

Pasien dilakukan
pemasangan triple
lumen pada v.
subclavia sin dengan
kedalaman 15 cm
oleh anestesi.
25

7 Mei 2018 7 Mei 2018 8 Mei 2018

Pukul 06.00 WIB Pukul 09.15 WIB Pukul 10.30


UDT melakukan
Pasien direncanakan IRM menjawab dengan
theurapetic plasma
pemberian lovenox fisioterapi chest FI dan
0,6 cc/SC/hari dan mobilisasi pasif pada exchange pertama.
fisio terapi oleh IRM ekstremitas atas dan Dilakukan sebanyak 10
bawah. siklus.

9 Mei 2018 11 Mei 2018 13 Mei 2018

Pukul 06.00 WIB Pukul 09.15 WIB Pukul 13.00


Lovenox dan Clobazam
Pasien direncanakan UDT melakukan di stop oleh anestesi.
oleh neurologi untuk theurapetic plasma
plasma exchange
exchange kedua.
siklus kedua pada
tanggal 11 Mei 2018. Dilakukan sebanyak 10
siklus.

16 Mei 2018 17 Mei 2018 17 Mei 2018

Pukul 12.00 WIB Pukul 09.15 WIB Pukul 12.00


THT menjawab dengan
UDT melakukan Pasien dikonsulkan ke mohon koreksi dahulu
theurapetic plasma THT untuk trakeostomi. anemia + leukositosis +
exchange ketiga. hipokalemi terhadap
pasien ini. Konsul
Dilakukan sebanyak 3 kembali jika hasil sudah
siklus. keluar untuk rencana
trakeostomi.
26

18 Mei 2018 18 Mei 2018

Pukul 11.00 WIB Pukul 12.15 WIB

Keluarga menolak UDT melakukan


trakeostomi. theurapetic plasma
exchange keempat.
27

BAB 5

DISKUSI KASUS

Teori Kasus
Epidemiologi Epidemiologi
Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada Pada kasus pasien perempuan berumur
umumya lebih banyak terjadi pada orang tua. 39 tahun, puncaknya adalah pada pasien
Orang berumur 50 tahun keatas merupakan usia produktif
golongan paling tinggi risikonya untuk mengalami
GBS (CDC, 2012). Namun, menurut ketua
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp S (K)
mengatakan bahwa GBS dapat dialami semua usia
mulai anak-anak sampai orang tua, tapi
puncaknya adalah pada pasien usia produktif (
Mikail, 2013).
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. K. Motorik :
SBG ditandai dengan timbulnya suatu ESD : 33333 / 33333
kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks- EID : 11111 / 11111
refleks tendon dan didahului parestesi dua atau
tiga minggu setelah mengalami demam disertai ESS : 33333 / 33333
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan EIS : 11111 / 11111
sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa
yang umum dipakai adalah criteria dari National Primary
Hasil
Institute of Neurological and Communicative Survey
Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu: 4 A (Airway) Clear,
III. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: Snoring/Gargling/Crow
 Terjadinya kelemahan yang ing: (-)/(+)/(-), C-spine
28

progresif stabil, terpasang


 Hiporefleksi endotracheal tube
IV. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong B  Inspeksi:
diagnosis SGB: (Breathing Nafas spontan
b. Ciri-ciri Klinis ) namun usaha nafas
 Progresifitas: gejala besar, simetris
kelemahan motorik fusiformis,
berlangsung cepat, pergerakan toraks
maksimal dalam 4 kanan=kiri,
minggu, 50% mencapai ketinggalan bernafas
puncak dalam 2 minggu, (-), retraksi (-),
80% dalam 3 minggu, luka(-), jejas (-),
dan 90% dalam 4 SpO2: 98%,
minggu.  Palpasi:
 Relatif simetris Fremitus suara
 Gejala gangguan lapangan paru kiri =
sensibilitas ringan kanan
 Gejala saraf kranial ±  Perkusi:
50% terjadi parese N VII Sonor pada kedua
dan sering bilateral. Saraf lapangan paru
otak lain dapat terkena  Auskultasi:
khususnya yang SP: Vesikuler, ST:
mempersarafi lidah dan (-), RR: 20 x/menit,
otot-otot menelan, kadang regular
< 5% kasus neuropati C TD: 160/100 mmHg,
dimulai dari otot (Circulatio HR: 82 x/menit,
ekstraokuler atau saraf n) reguler, t/v:
otak lain Cukup/Kuat, Akral:
 Pemulihan: dimulai 2-4 Hangat/Merah/ Kering,
minggu setelah CRT > 2 detik
progresifitas berhenti,
29

dapat memanjang sampai D Kesadaran: Compos


beberapa bulan. (Disability Mentis, AVPU: Alert,
 Disfungsi otonom. ) GCS: 15 (E4 M6 V5),
Takikardi dan aritmia, Pupil: Isokor, Diameter
hipotensi postural, pupil: 3 mm/3 mm,
hipertensi dangejala Refleks cahaya (+/+)
vasomotor. E Suhu: 36,8 ˚C, Fraktur
 Tidak ada demam saat (Exposure) (-), Edema (-), Luka (-)
onset gejala neurologis
Secondary Survey

Secondary
Hasil
Survey
B1 (Breath) Airway clear, S/G/C:
(-)/(-)/(-), RR: 21
x/menit, SP:
Vesikuler, ST: (-),
SpO2: 99%, terpasang
endotracheal tube
B2 (Blood) Akral:
Hangat/Merah/Kering,
TD: 90/60 mmHg,
HR: 100 x/menit,
reguler, t/v:
cukup/kuat; CRT < 2
detik, Suhu: 35,7 ˚C
B3 (Brain) Sensorium: Sopor,
GCS: 4 (E4 Mx Vt),
Pupil: Isokor, Ø: 3
mm/3 mm, Refleks
cahaya (+/+)
30

B4 (Bladder) UOP (+) 150cc ,


terpasang kateter urin
B5 (Bowel) Abdomen: Simetris,
Soepel, Timpani,
Peristaltik (+) Normal,
terpasang NGT
B6 (Bone) Fraktur (-), Edema
(+), Luka (-)
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, Darah Lengkap: Leukositosis
pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil Elektrolit : Dalam Batas Normal
hemostasis/koagulasi.
CT- Scan Kepala :
CT-Scan Kepala Belum dilakukan pemeriksaan CT-Scan
Tidak tampak adanya gangguan struktural pada
kepala
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat  Bed rest dengan head
sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat up 30o
simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit  Pasang monitor untuk
ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu memantau status
perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan hemodinamik pasien
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan  Memasang IV line
tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah dengan abocath ukuran
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat 16G dan threeway serta
penyembuhan melalui sistem imunitas pastikan lancar
5
(imunoterapi).  IVFD R-Sol 20 gtt/i
Tatalaksana ICU  Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12
1. Intubasi dan venilasi mekanik jam/iv
Timbulnya kesulitan bernafas
31

pada pasein GBS akibat kelumpuhan otot  Tab. Vit B Comp 3x1
pernafasan yang dieksaserbasikan oleh  Tab. Klobazam 1 x 10
aspirasi paru karena gangguan menelan mg
atau refleks batuk yang berkurang  Tab. Amitriptilin 2 x
maupun tidak ada refleks batuk. 12,5 mg
Dukungan ventilasi diberikan jika terjadi  Tab.Amlodipine 1 x 10
hipoksemia atau hipercarbia. Intubasi mg
biasa dilakukan dengan pemberian  Tab. Betahistine 3 x 6
thiopentone atau propofol secara mg
intravena. Penggunaan benzodiazepine
(midazolam, diazepam) obat tunggal atau
dikombinasikan dengan opioid (fentanyl,
morphine) juga biasa diberikan.
2. Antibiotik
Penggunaan antibiotik diberikan
kebanyakan pada pasien yang
menggunakan ventilator mekanik.
Indikasi pemberian antibiotik jika terdapat
demam, sekret purulen, perubahan
gambaran radiologis atau pertumbuhan
bakteri pada kultur.
3. PPI
Perawatan di ICU dalam jangka
waktu yang panjang dapat menimbulkan
peptic ulcers.
4. LMWH dan fisioterapi
Pencegahan dari deep vein
thrombosis (DVT) dan emboli.
5. Mobilisasi sama eyecare
Pencegahan ulkus dekubitus dan
ulkus kornea.11
32

BAB 6

KESIMPULAN

Pasien RS, perempuan, usia 39 tahun dibawa oleh keluarga ke IGD RSUP HAM
dengan keluhan kelemahan keempat anggota gerak. Pasien didiagnosa dengan Tetraparese
type LMN ec. GBS melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan saat primary
survey dan secondary survey. Telah dilakukan initial assesment dan diberi penatalaksanaan:

 Bed rest dengan head up 30o


 Pasang monitor untuk memantau status hemodinamik pasien
 Memasang IV line dengan abocath ukuran 16G dan threeway serta pastikan
lancar
 O2 8 L/i via non-rebreathing mask
 IVFD R-Sol 20 gtt/i
 Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/iv
 Tab. Vit B Comp 3x1
 Tab. Klobazam 1 x 10 mg
 Tab. Amitriptilin 2 x 12,5 mg
 Tab.Amlodipine 1 x 10 mg
 Tab. Betahistine 3 x 6 mg
Pasien masih dirawat di ICU hingga terakhir di follow-up pada tanggal 16 Mei 2018.
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller A, Ali OE. Guillain Barre Syndrome. 2007. Available from :


http://www.emedicine.medscape.com/article 

2. Davids HR, Oleszek JL. Guillain Barre Syndrome 2006. Available from :
http://www.emedicine.medscape.com/article 

3. Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology,8th edition.
New York : McGraw-Hill Company. 2005.p1121-1127 

4. Meythaler JM. Rehabilitation of Guillain-Barre Syndrome. Arch Phys Med
Rehabil. 1997 ; 78 :872-879.
5. Arnason B.G.W. 1985. Inflammatory polyradiulopathy in Dick P.J. et al
Peripheral neuropathy. Philadelphia : WB. Sounders.
6. Center for disease control (CDC). 2012. Guillain Barre Syndrome (GBS)
http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm.
7. Asbury A.K. 1990. Gullain-Barre Syndrome : Historical aspects. Annals of
Neurology (27): S2-S6
8. Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological
Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology,
National Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003.
9. Mayo Clinic staff. 2011 [08/04/2017]. Available from :
http://www.mayoclinic.com/health/guillain-barre
syndrome/DS00413/DSECTION=treatments-and-drugs
10. Andary T M, 2011 [08/04/2017]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/315632-treatment
11. Hughes RAC, Cornblath DR. Guillain-Barré syndrome. Lancet. 2005;366:1653–
66.
12. Winer JB. Guillain Barré syndrome. J Clin Pathol Mol Pathol. 2001;54:381–5.
13. Sudadi, Sri Rahardjo, Adi Hidayat. Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome Di
Icu. Jurnal Komplikasi Anestesi Volume 4 Nomor 2. 2017.
14. Hemant Bhagat, Hari Hara Dash. Intensive care management of Guillain-Barre
syndrome: A retrospective outcome study and review of literature. Journal of
Neuroanaesthesiology and Critical Care. 2014.
15. A. K. Meena, S. V. Khadilkar. Treatment guidelines for Guillain–Barré
Syndrome. Ann Indian Acad Neurol.2011.
34

Anda mungkin juga menyukai