B. Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah
sebagai berikut :
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran
cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf
sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
C. Etiologi
Penyebab yang pasti pada Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini belum
diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi virus. Virus
merubah sel dalam system syaraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut
sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan magrofag akan
menyerang myelin. Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk
menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu dari selubung myelin yang
menyebabkan kerusakan myelin (NINDS, 2000).
Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah virus yang
menyerang sistem pernapasan (influenza), Measles, Cytomegalovirus (CMV), HIV
dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri yang paling sering
oleh Campylobacter jejuni.
Selain beberapa factor diatas ada beberapa factor predisposisinya yaitu :
- Imunisasi
- Tindakan pembedahan
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response
maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala
polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat
disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak
kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula
spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan
saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu
sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang
timbul.
b. Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga
muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota
gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota
gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia
atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal
lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian
distal lebih berat dari bagian proksimal.
2) Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa
dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.
3) Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-
otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.
4) Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya
keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia
urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari
satu atau dua minggu.
5) Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan
oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai
pada 10-33 persen penderita.
6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang.
E. Patofisiologi
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi
ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang kadang juga
dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin.
Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh
antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk
merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari
seluruh bagian tubuh.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel
saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan
pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf.
Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi
sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,
myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau
terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan
kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,
termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila
sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan
kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf
kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan
medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya,
saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom
(involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung
dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak
atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat,
sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi;
dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf
2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam
beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses
demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat.
Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan
lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang
dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan
memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan
waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang
pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung
saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi,
namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
G. Komplikasi
1. Paralysis yang persisten
2. Kegagalan pernafasan
3. Hipotensi atau hipertensi
4. Tromboembolisme
5. Pneumonia
6. Aritmia kardial
7. Aspirasi
8. Retensi urinae
9. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
10. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
11. Tetraparese oleh karena penyebab lain.
12. Hipokalemia.
13. Kelumpuhan otot pernafasan
14. Dekubitus.
15. Ileis
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kelemahan atau paralisis pada otot-
otot pernafasan, kardiovaskuler dan kelumpuhanm otot yang menetap.
Komplikasi lain meliputi disritmia jantung, trombosis vena profunda dan
emboli paru. (Buku Saku Patofisiologi. Elizabeth J. Corwin. 2009: hal 266)
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling
ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edema serebri sering
mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut
adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada
pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran
dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal
yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas
permanen (Denise, 2010).
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi
serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi.
Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume
hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk
dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga
memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi
(Denise, 2010).
H. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang.
Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-
otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku
kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan
otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam
cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3.
Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian
kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa
timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH
(Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
d. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl )
tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48
jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar
protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari
10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
e. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus SGB.
1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
I. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002).
Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah
yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda
kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi
dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan
ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko
terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi
respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau
hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah
takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu
kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid,
propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan
untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan
terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok
jantung derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke
dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma
yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari
dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin :
dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu
substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena
penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi
hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral
nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur
untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan
mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang
lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang
lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter melaporkan
kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan. Dilaporkan
3 dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon sodium succinate
intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg
setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-
obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan
(fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti :
enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme
vena secara dramatik, yang merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis
ekstremitas. DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true
gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic
disease (TED) hose).
3) Pengobatan imunosupresan:
a) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin
atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat
mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis.
Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi.
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan
tetapi harganya mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai
sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki
aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari
selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4
minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini
dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini
dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
b) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP).
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, status, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, no RM,
diagnosa medis, ditambah lagi dengan identitas penanggung jawab.
2. Status Kesehatan
a. Riwayat kesehatan saat ini
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik
secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
Pasien mengeluhkan parastesia (kesemutan dan kebas) pada otot kaki,
sesak napas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
c. Riwayat kesehatan psikososial
Umumnya pasien cepat marah, merasa takut, cemas akan kemungkinan
paralisis yang permanen, sehingga pasien menjadi pendiam dan malas
berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Terkadang pasien merasa Tuhan
tidak adil dengannya akibat penyakit yang diderita (hubungan spiritualnya
kurang baik)
3. Pola Kebutuhan Dasar
a. Pola persepsi dan manajemen kesehatan
Pasien tampak cemas
b. Pola nutrisi dan metabolic
Asupan nutrisi pada pasien yang kurang karena adanya kelemahan otot
untuk mengunyah dan menelan.
c. Pola eliminasi
Adanya perubahan pola eliminasi. kelemahan pada otot-otot abdomen,
hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter.
Retensi urine dan kerusakan rangsang defekasi
Pasien sering mengalami konstipasi, adanya penurunan haluaran urin (< 500
cc),retensi urine atau inkontinensia.
4. Pengkajian Fisik
a. Keadaan umum
mengelami penurunan kesadaran, Suara bicara : kadang mengalami
gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afasia: tanda-
tanda vital: hipotensi/ hipertensi (tekanan darahnya labil, naik turun)
b. Pemeriksaan integument :
a) Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
b) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis.
c) Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
d. Pemeriksaan dada
Adanya penggunaan otot-otot bantu pernapasan
e. Pemeriksaan abdomen
Bising usus menurun, pasien mengalami konstipasi.
f. Pemeriksaan genetalia dan inguinal
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g. Pemeriksaan ekstremitas
Adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat ke arah atas,
hilangnya kontrol motorik halus tangan. Kelemahan otot, paralysis plaksid
(simetris), cara berjalan tidak mantap.
h. Pemeriksaan Neurosensori
Kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus naik,
perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu,
perubahan dalam ketajaman penglihatan. hilangnya/menurunnya refleks
tendon dalam, hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan,
adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata,
kehilangan kemampuan untuk berbicara.
B. Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah
1. DS : Pasien mengatakan tidak Kelemahan/ paralisis Ketidakefektifan
mampu bernafas dengan otot pernafasan. bersihan jalan nafas
lega
Pasien mengatakan tidak
mampu batuk
DO :
- Pasien tampak lemah
- Pasien tampak terbaring
- Pasien tampak gelisah
- Adanya penggunaan otot
bantu pernafasan pada
dada.
DO :
- Pasien tampak lemah
- Pasien tampak terbaring
- Kelemahan otot tubuh
- Aktivitas dibantu
DO :
- Pasien tampak lemah
- Pasien tampak terbaring
- Kelemahan otot tubuh
- Pasien tampak sulit
mengunyah dan menelan
makanan.
- Bising usus menurun
- Pasien mengalami
konstipasi
DO :
- Pasien tampak lemah
- Pasien tampak cemas
- Pasien tampak gelisah
DO :
- Psien tampak lemah
- Pasien tampak terbaring
- Kelemahan pada otot
abdomen
- Hilangnya sensasi untuk
BAK & BAB, refleks
sfingter
- Adanya penurunan haluaran
urin (< 500 cc),
- Pasien mengalami
konstipasi
DO :
- Pasien tampak lemah
- Pasien tampak terbaring
- Kelemahan otot tubuh
- Aktivitas dibantu
7. DS : Gangguan Resiko cedera
penglihatan
DO :
Faktor resiko :
- Eksternal
Biologis, zat kimia, manusia
- Internal
Profil darah yang abnormal,
disfungsi biokimia, fisiologi
psikososial, disfungsi imun-
autoimun, malnutrisi fisik
(integritas kulit tidak utuh,
gangguan mobilitas),
disfungsi sensorik, hipoksia
jaringan.
Kriteria Hasil :
- Pasien terbebas dari cedera
- Pasien mampu menjelaskan
cara / metode untuk
mencegah cedera
- Mampu memodifikasi gaya
hidup untuk mencegah
injury
- Menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada
- Mampu mengenali
perubahan status kesehatan.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan kelemahan/ paralisis
otot pernafasan.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5. Gangguan eliminasi berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
7. Resiko cedera berhubungan dengan gangguan penglihatan
D. Intervensi
DIAGNOSA
NO KEPERAWATAN DAN INTERVENSI RASIONAL
TUJUAN
1. Ketidakefektifan Airway Suction 1. Klien dan keluarga mau
bersihan jalan nafas 1. Berikan penjelasan kepada klien berpartisipasi dalam mencegah
berhubungan dengan dan keluarga tentang sebab dan terjadinya ketidakefektifan
kelemahan/ paralisis akibat ketidakefektifan jalan bersihan jalan nafas.
otot pernafasan. nafas.
Tujuan: Setelah 2. Rubah posisi tiap 2 jam sekali 2. Perubahan posisi dapat
melakukan tindakan melepaskan sekret darim saluran
keperawatan selama 3. Berikan intake yang adekuat pernafasan.
3X24 jam Jalan nafas (2000 cc per hari) 3. Air yang cukup dapat
tetap efektif 4. Observasi pola dan frekuensi mengencerkan secret.
Respiratory status : nafas 4. Untuk mengetahui ada tidaknya
Ventilation 5. Auskultasi suara nafas ketidakefektifan jalan nafas
Respiratory status : 6. Lakukan fisioterapi nafas sesuai 5. Untuk mengetahui adanya
Airway patency dengan keadaan umum klien. kelainan suara nafas.
6. Agar dapat melepaskan sekret
Kriteria Hasil: dan mengembangkan paru
1. Klien tidak
sesak nafas.
2. Tidak terdapat
ronchi,
wheezing
ataupun suara
nafas tambahan.
3. Tidak retraksi
otot bantu
pernafasan.
kriteria hasil:
1. Tidak terjadi
kontraktur sendi.
2. Bertabahnya kekuatan
otot.
Klien menunjukkan
tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.