Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari
lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa
jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah
kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar
menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan
tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh
sempurna (Inawati, 2010)
Guillaine Barre Syndrome merupakan penyebab kelumpuhan yang
cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali
mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia
produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik (Japardi, 2002).
Guillaine Barre Syndrome adalah suatu penyebab disabilitas jangka
panjang yang penting untuk sedikitnya 1,000 orang tiap tahun di Amerika
Serikat. Karena GBS terjadi pada umur yang relatif muda dan harapan
hidup yang masih panjang setelah GBS,setidaknya 50.000 orang di
Amerika Serikat mengalami efek residual dari GBS. Lebih kurang 40%
pasien yang diopname dengan GBS akan memerlukan rehabilitasi saat
dirawat.
Di Indonesia sendiri, angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-
1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara
maju dan berkembang tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak
pada pria dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS
dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun
2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Mikail,
2012).
Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit
GBS relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir
ternyata jumlah kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan
angka nasional negara Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan
dengan kasus yang terjadi di negara ini, karena RSCM merupakan salah
satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional. Berdasarkan fakta di atas perlu
kita mengenal penyakit GBS secara lebih rinci.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di
tubuh anda, sistem kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah
penyakit yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus
ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi
atau prosedur bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya
mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di
kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat
menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah
1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre
Syndrom merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi,
2002).
Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari
proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi;
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini
ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk
klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan
karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif,
paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun
otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial
ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat
menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa (Judarwanto,
2009).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012),
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini
terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf
tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis,
Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini
masih belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi
pada banyak kasus, penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit
infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan saluran pencernaan.
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%,
yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling
sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling
berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis
yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita
membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat
yang terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan
oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah
Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus.
Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter
jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini
dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu
sampai beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB,
antara lain:
 Infeksi
 Vaksinasi
 Pembedahan
 Diare
 Peradangan saluran nafas atas
 Kelelahan
 Demam
 Kehamilan/ dalam masa nifas
 Penyakit sistematik:
Keganasan
systemic lupus erythematosus
tiroiditis
penyakit Addison
2.3 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas
saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan
dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid
GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama
terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan
adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon
adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral
maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf
perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya
proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
2.4 Patofisiologi

Gambar 4.1. Bagan patofisiologi GBS (www.nature.com)


Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan
dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini
adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan
suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel
imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada
GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi
akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba
menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang
menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah
mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B
akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan
tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik
yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi
sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak
sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot
dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu
jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini
merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini,
transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri
ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai
myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi
inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi
yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi
lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan
berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak
oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf
perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom
akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga
mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase
ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari
saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari
otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung
fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik,
dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat,
sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe
demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel
saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson
dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak
dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase
inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan
tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan
paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi
paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik,
karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan
selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka
panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson
serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi
utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi
resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana
tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan
telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai
di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot
dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan
dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara
pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan,
sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot
pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal,
serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf
yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul
relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan,
namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung
dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
2.5 Manifestasi Klinis
Umumnya pasien akan mengalami satu kali serangan, berlangsung selama
beberapa minggu kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.
Kerusakan myelin menyebabkan gangguan fungsi saraf perifer yakni; motorik,
sensorik dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan otot-
otot pernapasan yang dapat menimbulkan kematian.
2.5.1 Gejala Klinis
Gejala klinis GBS bervariasi. Kelemahan dan gangguan sensoris merupakan
gejala yang paling sering dijumpai. Biasanya bersifat progresif dimulai dari
tungkai bawah dan bergerak naik, menyebabkan kesukaran dalam bergerak
yang sering disebut kaki karet, kaki cenderung goyah dengan atau tanpa mati
rasa atau kesemutan sampai paralisis. Kelemahan bergerak ke atas sampai
otot lengan dan wajah, biasanya selama beberapa jam sampai hari (24 – 72
jam). Seringkali, saraf kranial bawah terpengaruh, menyebabkan kelemahan
bulbar (disfagia orofaringeal, yang meliputi sulit menelan, meneteskan air liur,
dan / atau kesulitan mempertahankan jalan nafas terbuka) dan
ophthalmoplegia, yang dapat mempengaruhi otot-otot pernapasan sehingga
menyebabkan gagal napas. Sebagian besar pasien memerlukan rawat inap,
dan sekitar 30% memerlukan bantuan ventilasi mekanik (Pithadia, 2010).
Gejala sensoris biasanya berbentuk kehilangan proprioceptiv (position
sense) dan fibrosia (kehilangan refleks tendon dalam yang dalam), yang
merupakan ciri penting GBS, termasuk juga nyeri, parastesia dan mati rasa.
Rasa nyeri adalah gejala yang umum terjadi sering didapatkan akibat
gangguan tulang belakang bagian bawah dan biasanya labih parah. Mati rasa
dan parastesia dimulai dari bagian distal dan bergerak naik (asending) dijumpai
bentuk yang sama dengan kelemahan motorik pada 80% kasus. Nyeri dapat
hilang sendiri dibutuhkan hanya obat analgetik standar. Perubahan otonom
dapat mencakup takikardia, bradikardia, flushing wajah, hipertensi
paroksismal, hipotensi ortostatik, anhidrosis dan atau diaphoresis. Dijumpai
juga retensi urin dan ileus paralitik. Disfungsi usus dan kandung kemih jarang
ditemukan pada gejala awal, tetapi dapat juga bertahan untuk periode waktu
tertentu, terutama pada kasus yang parah, yang dijumpai pada dua pertiga
kasus.6
Pasien GBS dengan meningitis, ensefalitis, pneumonia, septikemia, malaria
berat, serta bronkitis, sering dijumpai SIADH (syndrome inappropriate anti
diuretic hormone) karena defisit natrium atau kelebihan air akibat kelebihan
cairan iatrogenik. Adanya penghambatan saluran Na + pada cairan
serebrospinal biasanya berhubungan dengan GBS akut. Na+ yang berlebihan
hampir selalu bersifat iatrogenik. Koreksi cepat hiponatremia dapat
menyebabkan terjadinya osmotic brain demyelination (Pithadia, 2010).
2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis GBS pertama kali dilansir tahun 1981 dan dimodifikasi pada
tahun 1990 oleh Asbury AK dan Comblath DR. Kemudian review yang ditulis
olah Eposito S dan Longo MR pada tahun 2016, menyatakan bahwa kriteria
diagnosis GBS berdasarkan pada gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang dapat dilihat pada tabel 2 (Asbury, 1990 dan Eposito, 2016).

Kriteria Diagnostik Sindroma Guillain-Barre

Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis


• Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih Arefleksia
Temuan klinis yang mendukung diagnosis :
• Gejala atau tanda sensorik ringan
• Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya
• Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti
• Disfungsi otonom
• Tidak adanya demam saat onset
• Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu
• Adanya tanda yang relatif simetris
Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:
• Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl
• Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi:
melambatnya atau terbloknya hantaran saraf
Sumber: Asbury dkk, 1990
Gejala yang khas pada GBS adalah progresif dan cepat, kelemahan yang
simetris dan biasanya mencapai puncaknya sampai 4 minggu. Pada penelitian
kohort yang besar dikatakan bahwa 95% pasien GBS yang diamati, 97%
mencapai puncak gambaran klinis pada minggu ke 4 dan 80% dijumpai pada
minggu ke 2. Sekitar 8% dijumpai paraparesis dan dapat menetap sampai 6
bulan, 9% pasien dijumpai dengan refleks tendon yang normal pada lengan
yang lemah dan 2% dengan kelemahan tungkai. Kelemahan otot pernapasan
berat yang memerlukan dukungan alat bantu napas (ventilator) dijumpai pada
10-30% pasien (Fokke, 2014).
2.7 Diagnosis Banding
Anamnesis, pemeriksaan fisik, analisis CSF, penilaian konduksi saraf, dan
penunjang pencitraan dapat membantu membedakan GBS dengan
subfenotipnya. Termasuk juga infeksi sebagai penyebab, keganasan
leptomeningeal, dan gangguan neuromuscular junction (tabel 3).
Memanifestasi monofasik pada GBS dijumpai pada 90% kasus, namun 10%
pasien mengalami bentuk berulang atau kambuh dan dapat juga tidak
menunjukkan perbaikan setelah 8 minggu, tetapi hal ini tidak biasa untuk GBS
(Jasti, 2016).
2.8 Komplikasi
Komplikasi GBS yang signifikan adalah kegagalan ventilasi, pneumonia
aspirasi, sepsis, kontraktur sendi, dan trombosis vena dalam. Namun secara
garis besar oleh Wang dkk, 2015. mengelompokkan komplikasi GBS menjadi
2 yaitu;
1. Komplikasi jangka pendek:
- kardiovaskuler
- Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH)
- Ensefalopati
- Komplikasi respiratori
- Penyakit ginjal
- Rhabdomiolisis
- Konstipasi
2. Komplikasi jangka panjang:
- gangguan psikologis seperti kecemasan, susah tidur
- rasa nyeri
2. 9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tatalaksana Farmakologi
Tatalaksana pada pasien GBS membutuhkan pendekatan multidisiplin,
pengobatan medis secara umum, termasuk monitoring kapasitas tanda vital,
menjaga terjadinya infeksi, imunitas, monitoring kemungkinan terjadinya
disfungsi otonom, terapi fisik, rehabilitasi, dan juga menjaga atau mengatasi
terjadinya komplikasi. Tatalaksana termasuk juga mencegah terjadinya deep
vein thrombosis (DVT) dan manajemen nyeri, pada tabel 4 (Eposito, 2016).

Tabel 4. Terapi pada GBS (Eposito, 2016)


Meskipun belum ada obat khusus untuk GBS, sejumlah obat yang telah
digunakan bertujuan untuk komponen respons kekebalan tubuh. Pengobatan
imunomodulasi, terutama dalam bentuk imunoglobulin intravena (IVIg) dan
pertukaran plasma (PE), terbukti berkhasiat mempercepat pemulihan dan
memperbaiki hasil. Baik IVIg dan PE harus dimulai sesegera mungkin, sebelum
kerusakan saraf menjadi ireversibel. Tidak diketahui apakah dosis total IVIg
2g/kg selama dua hari lebih menguntungkan daripada dosis 0,4g/kg/hari
selama lima hari. Direkomendasika pemberin PE lima sesi selama dua minggu.
Tetapi, di banyak pusat pelayanan, terapi IVIg lebih disukai karena
penggunaannya, karena ketersediaan yang luas dan tolerabilitas yang baik,
meski harganya lebih mahal daripada PE. Gabungan PE dan IVIg tidak lebih
baik dari PE atau IVIg saja. Sedangkan pemberian steroid oral atau intravena
saja atau dikombinasikan dengan IVIg maupun PE, belum terbukti berkhasiat
pada penderita GBS (SPM, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Allison DJ, Ditor DS. 2013. Immune dysfunction and chronic inflammation
following spinal cord injury. Spinal Cord, 2015; 53: 14-18.Giacalone A,
Quitadamo D, Zanet E, Berretta M et all. Cancer-related fatigue in the
elderly. Support Care Cancer ; 21:2899–2911.
Anne DJ, Cavaillon J et al. 2005. Septic shock. Lancet; 365: 63-78.
Asbury Ak, Comblath DR. 1990. Assessment of current diagnostic criteria for
Guillan Barre Syndrome. Ann Neurol; 27:S21-4.
Badjatia N. 2013. Nutrition and Metabolism. Neurocrit Care Society Pract
Update; 1-17.
Burnts, T. 2008. Guillain-Barre Syndrome. (http://www.thieme-connect.com/
ejournals/html/sin/doi/10.1055/s-2008-1062261.html), diakses pada 30
Mei 2016.
Corrigan, ML. Escuro, AA. Celestin, J. and Kirby, DF. 2011. “Nutrition in the
stroke patient,” Nutrition in Clinical Practice, vol. 26, no. 3, pp. 242–252.
Creange A. 2016.Guillain-Barre´ syndrome: 100 years on. J Neurol; 1712: 1-5.
Davids, HR. 2008. Guillain-Barre Syndrome.
(http://emedicine.medscape.com/article /315632-overview.html),
diakses pada 30 Mei 2016.
Dellinger DP, Levy MM, Rhodes A et al, 2013. Surviving sepsis campign:
international guidelines for management of severe sepsis and septic
shock 2012, Crit care; 41:5.
Eposito S and Longo MR. 2016. Guillain–Barré syndrome. Autoimmunity
Reviews; 15: 1-6.
Fokke C, van den Berg B, Drenthen J, et al. 2014. Diagnosis of Guillain-Barré
syndrome and validation of Brighton criteria. Brain;137:33–43.
Fujimura H. 2013. The Guillain–Barre´syndrome. Handbook of Clinical
Neurology, 3rd series. Elsevier 2013; 115: 383-402.
Guillain-Barre Syndrome (GBS). The Merck Manuals:The Merck Manual for
Healthcare Professionals. The Merck Manual:
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch223/ch 223c.html?
qt=guillainbarre&alt=sh. Diakses Januari 2017.
Inawati. 2010. Sindrom Guillan Barre (GBS). (http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/
archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010/SIND
ROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf), diakses pada 31 Mei 2016.
Israr, Y., dkk. 2009. Sindroma Guillaine-Barre. (http://www.Files-of-DrsMed.tk/
guillaine_barre_syndrome_files_of_drsmed.pdf), diakses pada 31 Mei
2016

Japardi I. 2002. Sindroma Guillan-Barre. (http://library.usu.ac.id/download/fk/


bedah-iskandar%20japardi46.pdf), diakses pada 31 Mei 2016.

Jasti AK, Selmi C, Monroy JCS, Vega DA, Anaya JM & Gershwin ME. 2016.
Guillain-Barré syndrome: causes,immunopathogenic mechanisms and
treatment. Expert Rev of Clin Immunology; 12: 1175–1189.
Jasti AK, Selmi C, Monroy JCS, Vega DA, Anaya JM & Gershwin ME. 2016.
Guillain-Barré syndrome: causes,immunopathogenic mechanisms and
treatment. Expert Rev of Clin Immunology; 12: 1175–1189.
Judarwanto, W. 2009. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan
Diagnosis,
(https://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barre-
syndrome-gbs-patofisiologi-manifestasi-klinis-dan-diagnosis/ ), diakses
pada 02 Juni 2016.

Kula R, Chylek V. 2009. Clinical study, A response to infection in patients with


severe sepsis-do we need a ‘Stage directed therapy concept?’. Brastilava
Lek
listy; 110: 459-64.
Martineau J, Bauer JD, Isering E, Cohen S. 2005. Malnutrition determined by
the patient-generated subjective global assessment is associated with
poor outcomes in acute stroke patients. Clin Nutr 2005; 24(6): 1073-7.
Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome. New York : Theime Medical
Publisher.

Pithadia AB, Kakadia N. 2010. Guillain-Barré syndrome (GBS).


Pharmacological Reports; 62 : 220-232.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi:Konsep. Klinik Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Rakel D. 2012.The antiinflammatory diet. In: Integrative Medicine. Third edition.


Elsevier. 2012 pp 795-802.
Remig VM.2008. Medical Nutrition therapy for neurologic disorders dalam
Mahan
LK. Krause,s Food and Nutrition Therapy. 12th Ed. Saunder Elsevier,
2008; 1090-1091.
Roubenoff RA, Borel CO and Hanley DF. 1992. Hypermetabolism and
hypercatabolism in Guillain Barre Syndrome. J Par and Enteral Nutr,; 16:
464-472.
Roubenoff RA, Borel CO and Hanley DF. 1992. Hypermetabolism and
hypercatabolism in Guillain Barre Syndrome. J Par and Enteral Nutr; 16:
464472.
Saharso D. 2006. Sindroma Guillan-Barre (SGB),
(http://www.pediatrik.com/isi03.
php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=
061214-mvib207.html), diakses tanggal 31 Mei 2016.

Shahar E. 2006. Current therapeutic options in severe Guillain-Barré


syndrome. Clin Neuropharmacol; 29: 45–51.
Shahrizaila N, Yuki N. 2010. Guillain-Barré syndrome, Fisher syndrome and
Bickerstaff brainstem encephalitis: Understanding the pathogenesis.
Neurology Asia; 15(3) : 203 – 209.
Singer M,. Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS et al. 2016. The Third
International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-
3), JAMA;315(8):801-810.
Standar Pelayanan Gizi Klinik (SPM). Departemen Ilmu Gizi Klinik
FKUNHAS.2015. Taslim NA. Editor. Masagena Press. Makassar 2015.
Steinberg J. 2012.Guillain-Barré Syndrome: An Acute Care Guide For Medical
Professionals. GBS/CIDP foundation international. Montgomery County,
PA 2012: 1-36.
Tandel H, Vanza J, Pandya N, Jani P. 2016. Guillain- Barre Syndrome (GBS):
A Riview. Ejpm; 3(2): 366-371.
Wang Y, ZhangHL, Wu X & Zhu J. 2015. Complications of Guillain-Barré
syndrome. Expert Review of Clin Immunol; 1-28.
Wang Y, ZhangHL, Wu X & Zhu J. 2015. Complications of Guillain-Barré
syndrome. Expert Review of Clin Immunol; 1-28.
Willson HJ, Jacobs BC, Doorn PA. 2016. Guillain-Barré syndrome. Seminar.
Lancet; 388: 717–27.
Yu RK, Usuki S, Ariga T. 2006. Ganglioside Molecular Mimicry and Its
Pathological Roles in Guillain-Barre Syndrome and Related Diseases.
Infection and immunity; 74: 6517–6527.

Anda mungkin juga menyukai