Anda di halaman 1dari 19

REFERAT September 2021

“Sindroma Guillain Barre (SGB)”

Nama : Ryzki

No. Stambuk : N 111 20 059

Pembimbing : dr. Amsyar Praja, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ryzki

No. Stambuk : N 111 20 059

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul : Sindroma Guillain Barre (SGB)

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Undata Palu

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, September 2021

Pembimbing Dokter Muda

dr. Amsyar Praja, Sp.A Ryzki


BAB I
PENDAHULUAN

Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. [1]
Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi
paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat
terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis
ascending. Pertama dideskripsikan sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik
dengan gagal napas. [1]
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur.
Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan
dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi
timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Bukti yang paling kuat
adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga dilaporkan pada infeksi berikut yaitu
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal
napas dan aritmia. [2]
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul.
Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien
dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama.
Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum ada terapi
spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki
prognosisnya. Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini
termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. [1]
SGB jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan
setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa
muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau
berkembang seperti Indonesia. [2]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu
kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi
dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Guillain-Barré syndrome ini memiliki beberapa subtipe yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP). Acute inflammatory


demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis paling umum ditemukan pada
SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling
sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang
paling umum terlibat adalah nervus facialis. [3]
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi yang terbentuk
dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan GD1b pada
akson saraf motorik perifer tanpa disertai adanya proses demielinisasi. Berhubungan
dengan infeksi Campylobacter jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien
muda. [3]
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme yang sama
dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal sensoris, sehingga pada kasus ini
sering ditemukan gangguan pada sensoris. [3]
4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana antibodi imunoglobulin
G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher syndrome merupakan kasus
yang jarang terjadi, yang memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia

5
dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan
ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus. [3]
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus ini sangat
jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan visual,
kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini. [3]

2. EPIDEMIOLOGI
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15tahun) sebanyak 34-134/100
000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih sering terkena daripada
laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia.
Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di
negara-negara barat dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua
umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah, masing
masing 2 bulan dan 95 tahun. [4]

3. ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan merupakan
penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses
autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau
bakteri seperti dibawah ini :
 Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,
Human Immunodefficiency Virus (HIV).
 Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
 Pasca pembedahan dan Vaksinasi.
 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi
[4]
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.

3. PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi. [5]
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid
merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi
terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga
sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. [5]

Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung


protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh
Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada
akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk
merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi
imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf
perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf. [5]

4. GEJALA KLINIS
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara
natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-
otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan
otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas
mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari
sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia
dengan kegagalan ventilasi. [6]
2. Keterlibatan Syaraf Kranialis
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial III-VII
dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai
berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia,
Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya
muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik
karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial. [6]
3. Perubahan Sensoris
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung
minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan
sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya
dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak
melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran,
proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir. [6]
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien melaporkan
nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling
parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi
bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan
penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau
sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas.
Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10% pasien. Sindrom nyeri lainnya
yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic,
nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan
palsi saraf, ulkus dekubitus). [6]
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup
sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing , Hipertensi paroksimal, Hipotensi
ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,
karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering
pada pasien dengan kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. [6]
6. Pernafasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea
saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel, Kegagalan ventilasi yang
memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. [6]
Hasil Pemeriksaan
a. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP
serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian: - Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 [6]
b. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan
hantar kurang 60% dari normal
 Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna [6]
1. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul
2. Fase Laten
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang
b. mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.
c. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari

3. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg
d. bertambah berat sampai maksimal
e. Perburukan > 8 minggu disebut › chronic inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (CIDP)
4. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg
5. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik
b. beberapa bulan. [6]

5. KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis GBS yang sering dipakai adalah kriteria menurut Gilroy dan Meyer,
yaitu jika memenuhi lima dari enam kriteria berikut:
1. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan simetris yang dapat disertai
oleh paralysis facialis bilateral.
2. Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih ringan dari kelumpuhan
motoris.
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna terjadi dalam waktu 6 bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif dimulai pada minggu kedua
dari paralisis, dan tanpa atau dengan pleositosis ringan (disosiasi sito albuminemik)
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama berlangsungnya kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan kenaikan laju endap
darah. [7]
Diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and Communicative
Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk diagnosis GBS; meliputi gejala
utama, gejala tambahan, pemeriksaan CSS, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan gejala yang
menyingkirkan diagnosis. [7]
a. Gejala utama
1) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataksia
2) Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
b. Gejala tambahan
1) Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4
minggu.
2) Biasanya simetris
3) Adanya gejala sensoris yang ringan
4) Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain
dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5%
kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
5) Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan
gejala vasomotor.
6) Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
7) Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah progresivitas berhenti.
penyembuhan umumnya fungsionil dapat kembali
c. Pemeriksaan CSS
1) Peningkatan protein
2) Sel MN < 10 /µl
d. Pemeriksaan elektrodiagnostik
1) Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
e. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1) Kelemahan yang sifatnya asimetri
2) Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
3) Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul
4) Gejala sensoris yang nyata. [7]
Derajat berat ringannya penyakit ditentukan menurut skala ordinal dari Hughes dkk. seperti
tercantum dalam tabel berikut: [7]

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LCS
- Disosiasi sitoalbumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan dari
sel < 10 limposit/mm3, Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai.
Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV, membantu menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI. [8]
2. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis motorik akut
disebabkan oleh neuropati perifer.
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal. [8]
3. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati. [8]
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada
hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan
pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan radiks
kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darahsaraf. Hal ini dapat terlihat
pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. 10,11 Akan tetapi,
pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak
perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat digunakan sebagai modalitas
diagnostic tambahan, terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil
yang samar. [8]

7. PENATALAKSANAAN
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomatik. Tatalaksana Anak dengan kelemahan sedang, berat atau progresif cepat harus
dirawat di unit perawatan intensif anak (ICU). Fungsi paru dan perlu dipantau terus-menerus.
Intubasi endotrakea harus dilakukan secara elektif pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda
awal hipoventilasi atau akumulasi sekret bronkus. Terapi bersifat simtomatik dan rehabilitatif
dan ditujukan untuk mengontrol tekanan darah dan aritmia jantung; nutrisi, cairan, dan
elektrolit; kontrol nyeri; pencegahan komplikasi (kulit, layanan, dan sendi, infeksi);
manajemen miksi dan defekasi; dukungan psikologis; dan terapi komunikasi. sebagian besar
pasien awal diterapi dengan imunoglobulin intravena (IV) (dosis total 1-2 g/kg diberikan
selama 2 sampai 5 hari). Plasmaferesis dan imunoglobulin IV bermanfaat pada penyakit yang
progresif cepat. [9]
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset
gejala (minggu pertama). [10]

8. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding GBS antara lain adalah neuropati perifer, gangguan transmisi akut
neuromuscular junction (miositis, mielitis akut), gangguan metabolik (hipokalemia,
hipofosfatemia), infark serebri (batang otak), poliomielitis post difteri, ganglionopati pada
ensefalitis atau meningitis. [11]
9. KOMPLIKASI
1. Paralisis menetap
2. Gagal nafas
3. Hipotensi
4. Tromboembolisme
5. Pneumonia
6. Aritmia Jantung
7. Ileus
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Problem psikiatrik [12]
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu
yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya
berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien maupun keluarga
pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi
yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun – tahun
pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh
sempurna pada tahun kedua atau setelahnya. [12]
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa tetapi lebih sedikit
pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS
yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. [12]
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim
atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS gangguan lain yang
signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial. [12]

10. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini tergantung dari jenis dan keparahannya. Penderita akan sulit
tertolong bila mengalami komplikasi pernapasan yang progresif. Selain itu prognosis buruk
juga terjadi pada penderita yang mengalami aritmia akibat disfungsi saraf otonom. Penderita
yang mampu bertahan biasanya memiliki gejala sisa berupa nyeri atau kelemahan. Sekitar
20% penderita GBS tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 6 bulan setelah onset.
Perbaikan klinis biasanya terjadi di tahun pertama, baru pada tahun ketiga atau tahun – tahun
berikutnya menjadi semakin baik. [13]
BAB III
KESIMPULAN

Guillain–Barré Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang
saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut, bersifat
simetris dan asendens yang biasanya terjadi dalam 1-3 minggu dan kadang sampai 8 minggu
setelah suatu infeksi akut. [13]
Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralisis dari
tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada
segala umur dan tidak bersifat herediter. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa faktor
pencetus yang terlibat, diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan
risiko komplikasi pencernaan. [13]
Pemeriksaan penunjang untuk GBS adalah pemeriksaan cairan serebrospinal, elektromiografi
dan MRI. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik, serta prognosis GBS tergantung pada
progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. Tatalaksana untuk Guillain–
Barré Syndrome meliputi plasmaparesis dan IVIg serta terapi suportif. Tujuan utama
penatalaksanaan GBS adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat
penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan
prognosis yang lebih baik. Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas
dan aritmia. [13]

18
DAFTAR PUSTAKA

[1]
Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus Abdominalis. Unit Neurologi
RS Husada Jakarta; 2012. Available from : URL :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/14SindormGuillainBarr
e93.html.
[2]
Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from : URL :
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
[3]
Erasmus MC. Gullain-Barre Syndrome. Professor Marianne de vissers, Editor. University
Medical Center Rotterdam. Netherlands; 2014.
[4]
Dr Iskandar J, Guillain Barre Syndrome. Universitas Sumatera Utara ; 2015
[5]
Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological Types and
Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National Neuroscience Institute,
SGH Campus; 2003.
[6]
Ropper H A, Brown H R. Adam’s and Victor, Principles of Neurological 8th edition. United
States of America; 2015. p.1117-27
[7]
Shrivastava M, Nehal S, Seema N. Guillain-Barre syndrome: demographics, clinical profile &
seasonal variation in a tertiary care centre of central India. Indian J Med Res. 2017;145:203-8.
[8]
Mishra A, G. Sai Khrisna, T. Komal Krishna. Guillain-Barre syndrome: an orphan disease.
World journal of pharmaceutical research. 2017;6(5):393-400.
[9]
Marcdante, dkk., 2013. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Elsevier - Local.
Jakarta.
[10]
Willison HJ, Jacobs BC, Van Doorn PA. Guillain-Barré syndrome. Lancet. 2016;388:717-27.
[11]
Ramachandran TS. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. New York:
Medscape; 2017.
[12]
Van den Berg B, Bunschoten C, van Doorn PA, Jacobs BC. Mortality in Guillain-Barre
syndrome. Neurology. 2013;80:1650-4.
[13]
Wahyu, Fadlan Fadilah. "Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang
Mengancam Nyawa." Jurnal Medula 8.1 (2018): 112-116.

iv

Anda mungkin juga menyukai